Anda di halaman 1dari 37

HIPOGLIKEMIA

1. DEFINISI
Hipoglikemia =Hipoglikemia murni=True hypoglicemy=gejala hipoglikemia
apabila gula darah < 60 mg/dl.(Dr Soetomo ,1998)
Definisi kimiawi dari hipoglokemia adalah glukosa darah kurang dari 2,2 m
mol/l, walaupun gejala dapat timbul pada tingkat gula darah yang lebih tinggi. (Petter
Patresia A,1997)
Hipoglikemia adalah batas terendah kadar glukosa darah puasa(true glucose)
adalah 60 mg %,dengan dasar tersebut maka penurunan kadar glukosa darah di bawah
60 mg%. (Wiyono ,1999).
Hipoglikemia adalah glukosa darah rendah, terjadi pada atau tergantung pada
kadar gula atau glukosa di dalam tubuh lebih rendah dari kebutuhan tubuh.
(www.medicare.com)
2. KLASIFIKASI HIPOGLIKEMIA
Hipoglikemia akut menunjukkan gejala Triad Whipple. Triad Whipple meliputi:
a. Keluhan adanya kadar glukosa darah plasma yang rendah. Gejala otonom seperti
berkeringat, jantung berdebar-debar, tremor, lapar.
b. Kadar glukosa darah yang rendah (<3 mmol/L). Gejala neuroglikopenik seperti
bingung, mengantuk, sulit berbicara, inkoordinasi, perilaku berbeda, gangguan
visual, parestesi, mual sakit kepala.
c. Hilangnya dengan cepat keluhan sesudah kelainan biokimia dikoreksi.
Hipoglikemia juga dapat dibedakan menjadi:
a. True hipoglikemi, ditandai dengan kadar glukosa darah sewaktu < 60 mg/dl
b. Koma hipoglikemi, ditandai dengan kadar glukosa darah sewaktu < 30 mg/dl
c. Reaksi hipoglikemi, yaitu bila kadar glukosa darah sebelumnya naik, kemudian
diberi obat hipoglikemi dan muncul tanda-tanda hipoglikemia namun kadar
glukosa darah normal.

d. Reaktif hipoglikemi, timbul tanda-tanda hipoglikemi 3-5 jam sesudah makan.


Biasanya merupakan tanda prediabetik atau terjadi pada anggota keluarga yang
terkena diabetes melitus.
Selain itu Hipoglikemia juga dapat diklasifikasikan sebagai :
1. Hipoglikemi Ringan (glukosa darah 50-60 mg/dL)
Terjadi jika kadar glukosa darah menurun, sistem saraf simpatik akan
terangsang. Pelimpahan adrenalin ke dalam darah menyebabkan gejala seperti
tremor, takikardi, palpitasi, kegelisahan dan rasa lapar.
2. Hipoglikemi Sedang (glukosa darah <50 mg/dL)
Penurunan kadar glukosa dapat menyebabkan sel- sel otak tidak memperoleh
bahan bakar untuk bekerja dengan baik. Tanda- tanda gangguan fungsi pada
sistem saraf pusat mencakup keetidakmampuan berkonsentrasi, sakit kepala,
vertigo, konfusi, penurunan daya ingat, bicara pelo, gerakan tidak terkoordinasi,
penglihatan ganda dan perasaan ingin pingsan.
3. Hipoglikemi Berat (glukosa darah <35 mg /dL)
Terjadi gangguan pada sistem saraf pusat sehingga pasien memerlukan
pertolongan orang lain untuk mengatasi hipoglikeminya. Gejalanya mencakup
disorientasi, serangan kejang, sulit dibangunkan bahkan kehilangan kesadaran.
3. ETIOLOGI
Etiologi hipoglikemia pada diabetes mellitus (DM)
a.hipoglikemia pada stadium dini
b. hipoglikemia dalam rangka pengobatan DM

penggunaan insulin

penggunaan sulfonylurea

bayi yang lahir dari ibu pasien DM

c.Hipoglikemia yang tidak berkaitan dengan DM

hiperinsulinesme alimenter pasca gastrektomi

insulinoma

penyakit hati berat

tumor ekstra pankreatik,fibrosarkoma,karsinoma ginjal

hipopituitarism, (Mansjoer A, 1999: 602).

Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya hipoglikemia pada pasien yang mendapat pengobatan
insulin atau sulfonylurea:
a. Faktor-faktor yang berkaitan dengan pasien
1. pengurangan/keterlambatan makan
2. kesalalahan dosis obat
3. latihan jasmani yang berlebihan
4. penurunan kebutuhan insulin

penyembuhan dari penyakit

nefropati diabetic

hipotiroidisme

penyakit Addison

hipopituitarisme

5. hari-hari pertama persalinan


6. penyakit hati berat
7. gastro paresis diabetic
b. Faktor-faktor yang berkaitan dengan tindakan medis
1. pengendalian glukosa darah yang ketat
2. pemberian obat-obat yang mempunyai potensi hiperglikemik
3. penggantian jenis insulin, (Mansjoer A, 1999: 602)
4. MANIFESTASI KLINIS
Gejala-gejala hipoglikemia terdiri dari dua fase yaitu
a) Fase I : gejala-gejala aktivas pusat autonom dan hipotalamus sehingga hormon
epinefrin di lepaskan, gejala awal ini merupakan peringatan karena saat itu
pasien masih sadar sehingga dapat di ambil tindakan yang perlu untuk mengatasi
hipoglikemia lanjut.
b) Fase II: gejala-gejala yang terjadi akibat mulai terganggunya fungsi otak,karena
itu di namakan gejala neurologist.

Penelitian pada orang yang bukan diabetes menunjukan adanya gangguan fungsi
otak yang lebih awal dari fase I dan di namakan ganguan fungsi otak subliminal, di
samping gejala yang tidak khas.
Kadang-kadang gejala fase adrenergic tidak muncul dan pasien langsung jauh
pada fase gangguan fungsi otak, terdapat dua jenis hilangnya kewaspadaan, yaitu akut
dan kronik.
Yang akut misalnya : pada pasien DMT I dengan glukosa darah terkontrol sangat
ketat mendekati normal, adanya neuropati autonom pada pasien yang sudah lama
menderita DM, dan menggunakan beta bloker yang non selektif,kehilangan
kewaspadaan yang kronik biasanya irreversible dan di anggap merupakan komplikasi
DM yang serius.
Sebagai dasar diagnosis dapat di gunakan trias whipple, yaitu hipoglikemia
dengan gejala-gejala saraf pusat, kadar glukosa kurang dari 50 mg% dan gejala akan
menghilang dengan pemberian glukosa.
Factor-faktor yang dapat menimbulkan hipoglikemia berat dan berkepanjangan
adalah kegagalan sekresi hormone glukagen dan adrenalin pasien telah lama menderita
DM) adanya antibody terhadap insulin, blockade farmakologik (beta bloker non
selektif), dan pemberian obat sulfonylurea (obat anti DM yang berkasiat lama).
(Mansjoer A, 1997 : 603).
Pertama, hipoglikemia dalam diabetic adalah lebih umum ketimbang
ketoasidosis,

meskipun

sebagian

besar

penyebaran

terdapat

pada

kelompok

ketergantungan insulin.Kedua awitan dari hipoglikemia adalah lebih cepat dan


manifestasinya adalah lebih bervariasi, sering terjadi dengan cara yang tidak jelas
sehingga dapat mengelakan perhatian seseorang sampai orang tersebut tidak menyadari
apa yang sesungguhnya yang sedang terjadi dan tidak mampu untuk mencarari
pengobatan yang tidak sesuai, sehingga reaksi hipoglikemia akibat insulin dapat terjadi
di tengah-tengah kehidupan sehari-hari pasien.Yang setidaknya dapat memalukan dan
yang lebih buruk sangat membahayakan. Ketiga meskipun pemulihan yang berarti dan
hipoglikemia dapat cepat dan sempurna dalam beberapa menit setelah pengobatan yang
sesuai, banyak pasien secara emosional (kemungkinan secara psikologis) tetap
terguncang selama beberapa jam atau bahkan selama beberapa hari setelah reaksi

insulin. Akhirnya dalam kondisi hipoglikemia ekstrim, masih mempunyai kemungkinan


untuk menyebabkan kerusakan otak permanen dan bahkan fatal.(Ester,2000:464).
Di kutip dari Karen Bruke 2005 :1478 ada beberapa tanda gejala ataupun
manifestasi klinis yang meliputi:
-

Lapar

Mual-muntah

Pucat,kulit dingin

Sakit kepala

Nadi cepat

Hipotensi

Irritabilitas

Manifestasi sebab perubahan fungsi serebral


-

Sakit kepala

Koma

Kesulitan dalam berfikir

Ketidakmampuan dalam berkonsentrasi

Perubahan dalam sikap emosi

PATOFISIOLOGI
Diabetes ketoasidosis disebabkan oleh tidak adanya insulin atau tidak
cukupnya jumlah insulin yang nyata, keadaan ini mengakibatkan gangguan pada
metabolisme karbohidrat, protein, lemak, ada tiga gambaran klinis yang penting pada
diabetes ketoasidosis.
a.

dehidrasi

b.

kehilangan elektrolit

c.

asidosis
Apabila jumlah insulin berkurang jumlah glukosa yang memasuki sel akan
berkurang pula, di samping itu produksi glukosa oleh hati menjadi tidak terkendali,
kedua factor ini akan menimbulkan hipoglikemia. Dalam upaya untuk menghilangkan
glukosa yang berlebihan dalam tubuh, ginjal akan mengekskresikan glukosa bersamasama air dan elektrolit (seperti natrium dan kalium). Diuresis osmotic yang di tandai

oleh urinaria berlebihan (poliuria) ini akan menyebabkan dehidrasi dan kehilangan
elektrolit. penderita ketoasidosis diabetic yang berat dapat kehilangan kira-kira 6,5 liter
air dan sampai 400 hingga mEq natrium, kalium serta klorida selama periode waktu 24
jam.
Akibat defisiensi insulin yang lain adalah pemecahan lemak (liposis) menjadi
asam-asam lemak bebas dan gliseral.asam lemak bebas akan di ubah menjadi badan
keton oleh hati, pada keton asidosis diabetic terjadi produksi badan keton yang
berlebihan sebagai akibat dari kekurangan insulin yang secara normal akan mencegah
timbulnya keadaan tersebut, badan keton bersifat asam, dan bila bertumpuk dalam
sirkulasi darah, badan keton akan menimbulkan asidosis metabolic.
Pada hipoglikemia ringan ketika kadar glukosa darah menurun, sistem saraf
simpatik akan terangsang. Pelimpahan adrenalin ke dalam darah menyebabkan gejala
seperti perspirasi, tremor, takikardi, palpitasi, kegelisahan dan rasa lapar.
Pada hipoglikemia sedang, penurunan kadar glukosa darah menyebabkan selsel otak tidak memperoleh cukup bahan bakar untuk bekerja dengan baik. Tanda-tanda
gangguan fungsi pada sistem saraf pusat mencakup ketidak mampuan berkonsentrasi,
sakit kepala,vertigo, konfusi, penurunan daya ingat, pati rasa di daerah bibir serta lidah,
bicara pelo, gerakan tidak terkoordinasi, perubahan emosional, perilaku yang tidak
rasional, penglihatan ganda dan perasaan ingin pingsan. Kombinasi dari gejala ini (di
samping gejala adrenergik) dapat terjadi pada hipoglikemia sedang.
Pada hipoglikemia berat fungsi sistem saraf pusat mengalami gangguan yang
sangat berat, sehingga pasien memerlukan pertolongan orang lain untuk mengatasi
hipoglikemia yang di deritanya. Gejalanya dapat mencakup perilaku yang mengalami
disorientasi, serangan kejang, sulit di bangunkan dari tidur atau bahkan kehilangan
kesadaran. ( Smeltzer. 2001 ).

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan glukosa darah sebelum dan sesudah suntikan dekstrosa.
(Mansjoer A 1999: 604)
Di kutip dari www.medicare.com ada berbagai pemeriksaan penunjang meliputi :
a) perpanjangan

pengawasan

puasa,

tes

primer

perpanjanganya (48-72 jam) setelah pengawasan puasa.

untuk

hypoglikemia,

b) Tes bercampur makanan, tes ini di gunakan jika anda mempunyai tanda puasa (2
jam PP)
c) Tes urine di simpan untuk mencari substansi keton.
d) Tes ini juga mencari tes pancreas atau penyakit endokrin.
6. PENATALAKSANAAN
a. Glukosa oral
Setelah dignosa hipoglikemi ditegakkan dengan pemeriksaan glukosa darah
kapiler, berikan 10-20 gram glukosa oral. Dapat berupa roti, pisang atau
karbohidrat kompleks lainnya. Pada penderita yang sulit menelan dapat
diberikan madu atau gel glukosa pada mukosa mulut.
b. Glukosa intravena
Pada pasien koma hipoglikemi diberikan injeksi glukosa 40% intravena 25 mL
yang diencerkan 2 kali
Injeksi glukosa 40% intravena 25 mL
1 flash
Bila kadar glukosa 60-90 mg/dL
2 flash
Bila kadar glukosa 30-60 mg/dL
3 flash
Bila kadar glukosa < 30 mg/dL

1 flash dapat meningkatkan kadar


glukosa 25-50 mg/dL.
Kadar glukosa yang diinginkan >

120 mg/dL
c. Bila belum sadar, dilanjutkan infus maltosa 10% atau glukosa 10% kemudian
diulang 25 cc glukosa 40% sampai penderita sadar.
d. Injeksi metil prednisolon 62,5 125 mg intravena dan dapat diulang. Dapat
dikombinasi dengan injeksi fenitoin 3 x 100 mg intravena atau fenitoin oral 3 x
100 mg sebelum makan.
e. Injeksi efedrin 25 -50 mg (bila tidak ada kontra indikasi) atau injeksi glukagon 1
mg intramuskular. Kecepatan kerja glukagon sama dengan pemberian glukosa
intravena. Bila penderita sudah sadar dengan pemberian glukagon, berikan 20
gram glukosa oral dan dilanjutkan dengan 40 gram karbohidrat dalam bentuk
tepung untuk mempertahankan pemulihan.
f. Bila koma hipoglikemia terjadi pada pasien yang mendapat sulfonilurea
sebaiknya pasien tersebut dirawat di rumah sakit, karena ada risiko jatuh koma
lagi setelah suntikan dekstrosa. Pemberian dekstrosa diteruskan dengan infus

dekstrosa 10% selama 3 hari. Monitor glukosa darah setiap 3-6 jam sekali dan
kadarnya dipertahankan 90-180 mg%. Hipoglikemia karena sulfonilurea ini
tidak efektif dengan pemberian glukagon.

Terapi malaria
Manifestasi

klinis

malaria

dapat

bervariasi

dari

ringan

sampai

membahayakan jiwa. Gejala utama demam sering di diagnosis dengan


infeksi

lain,

seperti

demam

typhoid,

demam

dengue,

leptospirosis,

chikungunya, dan infeksi saluran nafas. Adanya thrombositopenia sering


didiagnosis dengan leptospirosis, demam dengue atau typhoid. Apabila ada
demam dengan ikterik bahkan sering diintepretasikan dengan diagnosa
hepatitis dan leptospirosis. Penurunan kesadaran dengan demam sering
juga didiagnosis sebagai infeksi otak atau bahkan stroke. Mengingat
bervariasinya manifestasi klinis malaria maka anamnesis riwayat perjalanan
ke daerah endemis malaria pada setiap penderita dengan demam harus
dilakukan. Diagnosis malaria ditegakkan seperti diagnosis penyakit lainnya
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.
DIAGNOSIS PASTI MALARIA APABILA DITEMUKAN PARASIT MALARIA DALAM
DARAH
A. Anamnesis
Keluhan utama pada malaria adalah demam, menggigil, berkeringat dan
dapat disertai sakit kepala, mual, muntah, diare dan nyeri otot atau
pegalpegal. Pada anamnesis juga perlu ditanyakan:

1. riwayat berkunjung ke daerah endemik malaria;


2. riwayat tinggal di daerah endemik malaria;
3.

riwayat sakit malaria/riwayat demam;

4. riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir;


5. riwayat mendapat transfusi darah
B. Pemeriksaan Fisik
1. Demam (>37,5 C aksila)
2. Konjungtiva atau telapak tangan pucat
3. Pembesaran limpa (splenomegali)
4. Pembesaran hati (hepatomegali)

5. Manifestasi malaria berat dapat berupa penurunan kesadaran, demam


tinggi, konjungtiva pucat, telapak tangan pucat, dan ikterik, oliguria, urin
berwarna coklat kehitaman (Black Water Fever ), kejang dan sangat
lemah (prostration).
C. Pemeriksaan Laboratorium
Untuk

mendapatkan

kepastian

diagnosis

malaria

harus

dilakukan

pemeriksaan sediaan darah. Pemeriksaan tersebut dapat dilakukan melalui


cara berikut.
1.

Pemeriksaan

dengan

mikroskop

Pemeriksaan

dengan

mikroskop

merupakan gold standard (standar baku) untuk diagnosis pasti malaria.


Pemeriksaan mikroskop dilakukan dengan membuat sediaan darah tebal
dan tipis. Pemeriksaan sediaan darah (SD) tebal dan tipis di rumah
sakit/Puskesmas/lapangan untuk menentukan:
a) Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif);
b) Spesies dan stadium Plasmodium;
c) Kepadatan parasit:
1) Semi Kuantitatif
(-) = negatif (tidak ditemukan parasit dalam 100 LPB/lapangan pandang
besar)
(+) = positif 1 (ditemukan 1 10 parasit dalam 100 LPB)
(++) = positif 2 (ditemukan 11 100 parasit dalam 100 LPB)
(+++) = positif 3 (ditemukan 1 10 parasit dalam 1 LPB)
(++++) = positif 4 (ditemukan >10 parasit dalam 1 LPB)
Adanya korelasi antara kepadatan parasit dengan mortalitas yaitu:
- Kepadatan parasit < 100.000 /ul, maka mortalitas < 1 %
- Kepadatan parasit > 100.000/ul, maka mortalitas > 1 %
- Kepadatan parasit > 500.000/ul, maka mortalitas > 50 %
2) Kuantitatif
Jumlah parasit dihitung per mikro liter darah pada sediaan darah tebal
(leukosit) atau sediaan darah tipis (eritrosit). Contoh :
Jika dijumpai 1500 parasit per 200 lekosit, sedangkan jumlah lekosit
8.000/uL maka hitung parasit = 8.000/200 X 1500 parasit = 60.000
parasit/uL.

Jika dijumpai 50 parasit per 1000 eritrosit = 5%. Jika jumlah eritrosit
4.500.000/uL maka hitung parasit = 4.500.000/1000 X 50 = 225.000
parasit/uL.
2. Pemeriksaan dengan tes diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test/RDT)
Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria,
dengan menggunakan metoda imunokromatografi. Tes ini digunakan -14pada unit gawat darurat, pada saat terjadi KLB, dan di daerah terpencil yang
tidak tersedia fasilitas laboratorium mikroskopis. Hal yang penting yang
perlu diperhatikan adalah sebelum RDT dipakai agar terlebih dahulu
membaca cara penggunaannya pada etiket yang tersedia dalam kemasan
RDT untuk menjamin akurasi hasil pemeriksaan. Saat ini yang digunakan
oleh Program Pengendalian Malaria adalah yang dapat mengidentifikasi P.
falcifarum dan non P. Falcifarum.
3. Pemeriksaan dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Sequensing
DNA
Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada fasilitas yang tersedia. Pemeriksaan
ini penting untuk membedakan antara re-infeksi dan rekrudensi pada P.
falcifarum. Selain itu dapat digunakan untuk identifikasi spesies Plasmodium
yang jumlah parasitnya rendah atau di bawah batas ambang mikroskopis.
Pemeriksaan dengan menggunakan PCR juga sangat penting dalam
eliminasi malaria karena dapat membedakan antara parasit impor atau
indigenous.
4. Selain pemeriksaan di atas, pada malaria berat pemeriksaan penunjang
yang perlu dilakukan adalah:
a. pengukuran hemoglobin dan hematokrit;
b. penghitungan jumlah leukosit dan trombosit;
c. kimia darah lain (gula darah, serum bilirubin, SGOT dan SGPT, alkali
fosfatase, albumin/globulin, ureum, kreatinin, natrium dan kalium, analisis
gas darah); dan
d. urinalisis

KRISIS HIPERTENSI

2.1. Definisi
Hipertensi darurat (emergency hypertension) : kenaikan tekanan darah
mendadak (sistolik 180 mm Hg dan / atau diastolik 120 mm Hg) dengan kerusakan
organ target yang bersifat progresif, sehingga tekanan darah harus diturunkan segera,
dalam hitungan menit sampai jam. Tekanan darah yang sangat tinggi dan terdapat
kerusakan organ, sehingga tekanan darah harus diturunkan dengan segera (dalam menit
atau jam) agar dapat membatasi kerusakan yang terjadi. Tingginya tekanan darah untuk
dapat dikategorikan sebagai hipertensi darurat tidaklah mutlak, namun kebanyakan
referensi di Indonesia memakan patokan >220/140.
2.2. Etiologi
Hipertensi emergensi merupakan spektrum klinis dari hipertensi dimana terjadi
kondisi peningkatan tekanan darah yang tidak terkontrol yang berakibat pada kerusakan
organ target yang progresif. Berbagai sistem organ yang menjadi organ target pada
hipertensi emergensi ini adalah sistem saraf yang dapat mengakibatkan hipertensi
ensefalopati, infark serebral, perdarahan subarakhnoid, perdarahan intrakranial; sistem
kardiovaskular yang dapat mengakibatkan infark miokard, disfungsi ventrikel kiri akut,
edema paru akut, diseksi aorta; dan sistem organ lainnya seperti gagal ginjal akut,
retinopati, eklamsia, dan anemia hemolitik mikroangiopatik.
Faktor Resiko Krisis Hipertensi

Penderita hipertensi tidak minum obat atau tidak teratur minum obat.

Kehamilan

Penderita hipertensi dengan penyakit parenkim ginjal.

Pengguna NAPZA

Penderita dengan rangsangan simpatis tinggi. (luka bakar, trauma kepala,


penyakit vaskular/ kolagen)

2.3. Klasifikasi Hipertensi


Table 1. Klasifikasi Tekanan Darah Pada Dewasa
Kategori

Tekanan Darah Sistolik

Tekanan Darah Diastolik

Normal

Dibawah 130 mmHg

Dibawah 85 mmHg

Normal tinggi

130-139 mmHg

85-89 mmHg

Stadium 1
(Hipertensi ringan)

140-159 mmHg

90-99 mmHg

Stadium 2
(Hipertensi sedang)

160-179 mmHg

100-109 mmHg

Stadium 3
(Hipertensi berat)

180-209 mmHg

110-119 mmHg

Stadium 4
(Hipertensi maligna)

210 mmHg atau lebih

120 mmHg atau lebih

Penderita hipertensi yang tidak terkontrol sewaktu - waktu bisa jatuh kedalam
keadaan gawat darurat. Diperkirakan sekitar 1-8% penderita hipertensi berlanjut
menjadi Krisis Hipertensi, dan banyak terjadi pada usia sekitar 30-70 tahun. Tetapi
krisis hipertensi jarang ditemukan pada penderita dengan tekanan darah normal tanpa
penyebab sebelumnya. Pengobatan yang baik dan teratur dapat mencegah insiden krisis
hipertensi menjadi kurang dari 1 %.
2.4. Patofisiologi
Bentuk manapun dari hipertensi yang menetap, baik primer maupun sekunder,
dapat dengan mendadak mengalami percepatan kenaikan dengan tekanan diastolik
meningkat cepat sampai di atas 130 mmHg dan menetap lebih dari 6 jam. Hal ini dapat
menyebabkan nekrosis arterial yang lama dan tersebar luas, serta hiperplasi intima
arterial interlobuler nefron-nefron. Perubahan patologis jelas terjadi terutama pada

retina, otak dan ginjal. Pada retina akan timbul perubahan eksudat, perdarahan dan
udem papil. Gejala retinopati dapat mendahului penemuan klinis kelainan ginjal dan
merupakan gejala paling terpercaya dari hipertensi maligna.
Otak mempunyai suatu mekanisme otoregulasi terhadap kenaikan ataupun
penurunan tekanan darah. Batas perubahan pada orang normal adalah sekitar 60-160
mmHg. Apabila tekanan darah melampaui tonus pembuluh darah sehingga tidak mampu
lagi menahan kenaikan tekanan darah maka akan terjadi udem otak. Tekanan diastolik
yang sangat tinggi memungkinkan pecahnya pembuluh darah otak yang dapat
mengakibatkan kerusakan otak yang irreversible.
Pada jantung kenaikan tekanan darah yang cepat dan tinggi akan menyebabkan
kenaikan after load, sehingga terjadi payah jantung. Sedangkan pada hipertensi kronis
hal ini akan terjadi lebih lambat karena ada mekanisme adaptasi. Penderita
feokromositoma dengan krisis hipertensi akan terjadi pengeluaran norefinefrin yang
menetap atau berkala.
Aliran darah ke otak pada penderita hipertensi kronis tidak mengalami
perubahan bila Mean Arterial Pressure ( MAP ) 120 mmHg 160 mmHg, sedangkan
pada penderita hipertensi baru dengan MAP diantara 60 120 mmHg. Pada keadaan
hiper kapnia, autoregulasi menjadi lebih sempit dengan batas tertinggi 125 mmHg,
sehingga perubahan yang sedikit saja dari TD menyebabkan asidosis otak akan
mempercepat timbulnya oedema otak. Meningkatnya tekanan darah di dalam arteri bisa
terjadi melalui beberapa cara:

Meningkatnya tekanan darah di dalam arteri bisa terjadi sehingga mengalirkan lebih
banyak cairan pada setiap detiknya.

Arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku, sehingga mereka tidak dapat
mengembang pada saat jantung memompa darah melalui arteri tersebut. Karena itu
darah pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh yang sempit daripada
biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan. Inilah yang terjadi pada usia lanjut,
dimana dinding arterinya telah menebal dan kaku karena arteriosklerosis. Dengan cara
yang sama, tekanan darah juga meningkat pada saat terjadi vasokonstriksi, yaitu jika
arteri kecil (arteriola) untuk sementara waktu mengkerut karena perangsangan saraf atau
hormon di dalam darah.

Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan meningkatnya tekanan darah.


Hal ini terjadi jika terdapat kelainan fungsi ginjal sehingga tidak mampu membuang
sejumlah garam dan air dari dalam tubuh. Volume darah dalam tubuh meningkat,
sehingga tekanan darah juga meningkat. Sebaliknya, jika aktivitas memompa jantung
berkurang, arteri mengalami pelebaran, dan banyak cairan keluar dari sirkulasi maka
tekanan darah akan menurun.

2.5. Manifestasi Klinis


Gambaran klinis krisis hipertensi umumnya adalah gejala organ target yang
terganggu, diantaranya nyeri dada dan sesak nafas pada gangguan jantung dan diseksi
aorta; mata kabur dan edema papilla mata; sakit kepala hebat, gangguan kesadaran dan
lateralisasi pada gangguan otak; gagal ginjal akut pada gangguan ginjal; di samping
sakit kepala dan nyeri tengkuk pada kenaikan tekanan darah umumnya. Gambaran
klinik hipertensi darurat dapat dilihat pada table 2.

Tabel 2. Gambaran Klinik Hipertensi Darurat 5


Tekanan
Funduskopi
Status
Jantung

Ginjal

darah
> 220/140 Perdarahan,

neurologi
Sakit kepala, Denyut jelas, Uremia,

mmHg

eksudat,

kacau,

membesar,

edema

gangguan

dekompensasi

papilla

kesadaran,

, oliguria

Gastrointestinal
Mual, muntah

proteinuria

kejang.
Table 3. Hipertensi Emergensi (darurat)
Tingginya TD yang dapat menyebabkan kerusakan organ sasaran tidak hany dari
tingkatan TD aktual, tapi juga dari tingginya TD sebelumnya, cepatnya kenaikan TD,
bangsa, seks dan usia penderita. Penderita hipertensi kronis dapat mentolelir kenaikan
TD yang lebih tinggi dibanding dengan normotensi, sebagai contoh : pada penderita
hipertensi kronis, jarang terjadi hipertensi ensefalopati, gangguan ginjal dan
kardiovaskular dan kejadian ini dijumpai bila TD Diastolik > 140 mmHg. Sebaliknya
pada penderita normotensi ataupun pada penderita hipertensi baru dengan penghentian
obat yang tiba-tiba, dapat timbul hipertensi ensefalopati demikian juga pada eklampsi,
hipertensi ensefalopati dapat timbul walaupun TD 160/110 mmHg.
2.6. Diagnosis
Diagnosis hipertensi emergensi harus ditegakkan sedini mungkin, karena hasil
terapi tergantung kepada tindakan yang cepat dan tepat. Tidak perlu menunggu hasil
pemeriksaan yang menyeluruh walaupun dengan data-data yang minimal kita sudah
dapat mendiagnosis suatu krisis hipertensi.
2.6.1 Anamnesis 2
Sewaktu penderita masuk, dilakukan anamnesa singkat. Hal yang penting
ditanyakan :

a.

Riwayat hipertensi, lama dan beratnya.

b. Obat anti hipertensi yang digunakan dan kepatuhannya.


c.

Usia, sering pada usia 30 70 tahun.

d. Gejala sistem syaraf ( sakit kepala, pusing, perubahan mental, ansietas ).


e.

Gejala sistem ginjal ( gross hematuri, jumlah urine berkurang )

f.

Gejala sistem kardiovascular ( adanya payah jantung, kongestif dan oedem paru, nyeri
dada ).

g. Riwayat penyakit glomerulonefrosis, pyelonefritis.


h. Riwayat kehamilan, tanda- tanda eklampsi.
2.6.2 Pemeriksaan fisik 2,4
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran tekanan darah dikedua lengan,
mencari kerusakan organ sasaran ( retinopati, gangguan neurologi, payah jantung
kongestif, diseksi aorta ). Palpasi denyut nadi di keempat ekstremitas. Auskultasi untuk
mendengar ada atau tidak bruit pembuluh darah besar, bising jantung dan ronki paru.
Perlu dibedakan komplikasi krisis hipertensi dengan kegawatan neurologi
ataupun payah jantung, kongestif dan oedema paru. Perlu dicari penyakit penyerta lain
seperti penyakit jantung koroner.
2.6.3

Pemeriksaan penunjang 2,4


Pemeriksaan laboratorium awal : urinalisis, Hb, Ht, ureum, kreatinin, gula darah
dan elektrolit.

Pemeriksaan penunjang: elektrokardiografi, foto thorak

Pemeriksaan

penunjang

lain

bila

memungkinkan:

CT

scan

kepala,

ekokardiogram, ultrasonogram.
2.7. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan pada keadaan darurat hipertensi ialah menurunkan tekanan darah
secepat dan seaman mungkin yang disesuaikan dengan keadaan klinis penderita.
Pengobatan biasanya diberikan secara parenteral dan memerlukan pemantauan yang

ketat terhadap penurunan tekanan darah untuk menghindari keadaan yang merugikan
atau munculnya masalah baru.
Obat yang ideal untuk keadaan ini adalah obat yang mempunyai sifat bekerja cepat,
mempunyai jangka waktu kerja yang pendek, menurunkan tekanan darah dengan cara
yang dapat diperhitungkan sebelumnya, mempunyai efek yang tidak tergantung kepada
sikap tubuh dan efek samping minimal.
Penurunan tekanan darah harus dilakukan dengan segera namun tidak terburuburu. Penurunan tekanan darah yang terburu-buru dapat menyebabkan iskemik pada
otak dan ginjal. Tekanan darah harus dikurangi 25% dalam waktu 1 menit sampai 2 jam
dan diturunkan lagi ke 160/100 dalam 2 sampai 6 jam. Medikasi yang diberikan
sebaiknya per parenteral (Infus drip, BUKAN INJEKSI). Obat yang cukup sering
digunakan adalah Nitroprusid IV dengan dosis 0,25 ug/kg/menit. Bila tidak ada,
pengobatan oral dapat diberikan sambil merujuk penderita ke Rumah Sakit. Pengobatan
oral yang dapat diberikan meliputi Nifedipinde 5-10 mg, Captorpil 12,5-25 mg,
Clonidin 75-100 ug, Propanolol 10-40 mg. Penderita harus dirawat inap.
Tabel 4: Algoritma untuk Evaluasi Krisis Hipertensi 3,5
Parameter

Tekanan darah

Hipertensi Mendesak

Hipertensi Darurat

Biasa

Mendesak

> 180/110

> 180/110

> 220/140

(mmHg)
Gejala

Sakit

kepala,

Sakit kepala hebat, sesak

Sesak

kecemasan;

sering

napas

nokturia, dysarthria, kelemahan,

kali tanpa gejala


Pemeriksaan

napas,

Kerusakan organ target;

Ensefalopati,

organ target, tidak

muncul klinis penyakit

insufisiensi

ada

kardiovaskuler, stabil

jantung

kardiovaskular

dada,

kesadaran menurun

Tidak ada kerusakan


penyakit

nyeri

edema
ginjal,

paru,
iskemia

Terapi

Awasi

1-3

jam;

memulai/teruskan

Awasi 3-6 jam; obat oral

Pasang

berjangka kerja pendek

laboratorium standar, terapi obat

obat oral, naikkan

jalur

IV,

periksa

IV

dosis
Rencana

Periksa ulang dalam

Periksa ulang dalam 24

3 hari

jam

Rawat ruangan/ICU

Adapun obat hipertensi oral yang dapat dipakai untuk hipertensi mendesak
(urgency) dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5: Obat hipertensi oral 3,5
Obat
Captopril

Dosis
Efek / Lama Kerja
Perhatian khusus
12,5 - 25 mg PO; 15-30
min/6-8 Hipotensi, gagal ginjal,
ulangi per 30 min jam ;
SL 10-20 stenosis arteri renalis
; SL, 25 mg
min/2-6 jam
Clonidine PO 75 - 150 ug, 30-60 min/8-16 jam
Hipotensi,
mengantuk,
ulangi per jam
mulut kering
Propanolo 10 - 40 mg PO; 15-30 min/3-6 jam
Bronkokonstriksi,
blok
l
ulangi setiap 30
jantung,
hipotensi
min
ortostatik
Nifedipin 5 - 10 mg PO; 5 -15 min/4-6 jam
Takikardi,
hipotensi,
e
ulangi setiap 15
gangguan koroner
menit
SL, Sublingual. PO, Peroral
Sedangkan untuk hipertensi darurat (emergency) lebih dianjurkan untuk
pemakaian parenteral, daftar obat hipertensi parenteral yang dapat dipakai dapat dilihat
pada tabel 6.
Tabel 6: Obat hipertensi parenteral 3,5
Obat

Dosis

Sodium

Kerja
0,25-10 mg / kg langsung/2-3

nitroprusside

/ menit sebagai menit setelah panjang


infus IV

Efek / Lama Perhatian khusus

infus

Mual, muntah, penggunaan jangka


dapat

menyebabkan

keracunan

tiosianat,

methemoglobinemia,

asidosis,

keracunan sianida.
Selang infus lapis perak

Nitrogliserin

500-100

mg 2-5 min /5-10 Sakit kepala, takikardia, muntah, ,

sebagai infus IV min

methemoglobinemia;
membutuhkan sistem pengiriman
khusus karena obat mengikat pipa

Nicardipine

5-15 mg / jam 1-5

PVC
min/15- Takikardi, mual, muntah, sakit

sebagai infus IV 30 min


Klonidin

150 ug, 6 amp 30-60


per

250

Glukosa

Diltiazem

kepala,

peningkatan

tekanan

intrakranial; hipotensi
min/ Ensepalopati dengan

gangguan

cc 24 jam

koroner

5%

mikrodrip
5-15

1-5 min/ 15- Takikardi, mual, muntah, sakit

ug/kg/menit

30 min

kepala,

sebagi infus IV

peningkatan

tekanan

intrakranial; hipotensi

Pada hipertensi darurat (emergency) dengan komplikasi seperti hipertensi


emergensi dengan penyakit payah jantung, maka memerlukan pemilihan obat yang tepat
sehingga tidak memperparah keadaannya. Pemilihan obat untuk hipertensi dengan
komplikasi dapat dilihat pada tabel 7.
Tabel 7: Obat yang dipilih untuk Hipertensi darurat dengan komplikasi 2,5
Komplikasi
Diseksi aorta

Obat Pilihan
Nitroprusside + esmolol

Target Tekanan Darah


SBP 110-120 sesegera

AMI, iskemia

Nitrogliserin,

mungkin
nitroprusside, Sekunder untuk bantuan

Edema paru

nicardipine
Nitroprusside,

iskemia
nitrogliserin, 10% -15% dalam 1-2 jam

Gangguan Ginjal

labetalol
Fenoldopam,

nitroprusside, 20% -25% dalam 2-3 jam

Kelebihan

labetalol
Phentolamine, labetalol

10% -15% dalam 1-2 jam

katekolamin
Hipertensi

Nitroprusside

20% -25% dalam 2-3 jam

ensefalopati
Subarachnoid

Nitroprusside,

nimodipine, 20% -25% dalam 2-3 jam

hemorrhage
nicardipine
Stroke Iskemik
nicardipine
AMI, infark miokard akut; SBP, tekanan sistolik bood.

0% -20% dalam 6-12 jam

Pemakaian obat-obat untuk krisis hipertensi


Obat anti hipertensi oral atau parenteral yang digunakan pada krisis hipertensi
tergantung dari apakah pasien dengan hipertensi emergensi atau urgensi. Jika hipertensi
emergensi dan disertai dengan kerusakan organ sasaran maka penderita dirawat
diruangan intensive care unit, ( ICU ) dan diberi salah satu dari obat anti hipertensi
intravena ( IV ).
1. Sodium Nitroprusside : merupakan vasodelator direkuat baik arterial maupun venous.
Secara i. V mempunyai onsep of action yang cepat yaitu : 1 2 dosis 1 6 ug / kg /
menit. Efek samping : mual, muntah, keringat, foto sensitif, hipotensi.
2. Nitroglycerini : merupakan vasodilator vena pada dosis rendah tetapi bila dengan dosis
tinggi sebagai vasodilator arteri dan vena. Onset of action 2 5 menit, duration of
action 3 5 menit. Dosis : 5 100 ug / menit, secara infus i. V. Efek samping : sakit
kepala, mual, muntah, hipotensi.
3. Diazolxide : merupakan vasodilator arteri direk yang kuat diberikan secara i. V bolus.
Onset of action 1 2 menit, efek puncak pada 3 5 menit, duration of action 4 12
jam. Dosis permulaan : 50 mg bolus, dapat diulang dengan 25 75 mg setiap 5 menit
sampai TD yang diinginkan. Efek samping : hipotensi dan shock, mual, muntah,
distensi abdomen, hiperuricemia, aritmia, dll.

4. Hydralazine : merupakan vasodilator direk arteri. Onset of action : oral 0,5 1 jam,
i.v : 10 20 menit duration of action : 6 12 jam. Dosis : 10 20 mg i.v bolus : 10
40 mg i.m Pemberiannya bersama dengan alpha agonist central ataupun Beta Blocker
untuk mengurangi refleks takhikardi dan diuretik untuk mengurangi volume
intravaskular. Efeksamping : refleks takhikardi, meningkatkan stroke volume dan
cardiac out put, eksaserbasi angina, MCI akut dll.
5. Enalapriat : merupakan vasodelator golongan ACE inhibitor. Onsep on action 15 60
menit. Dosis 0,625 1,25 mg tiap 6 jam i.v.
6.

Phentolamine ( regitine ) : termasuk golongan alpha andrenergic blockers. Terutama


untuk mengatasi kelainan akibat kelebihan ketekholamin. Dosis 5 20 mg secar i.v
bolus atau i.m. Onset of action 11 2 menit, duration of action 3 10 menit.

7. Trimethaphan camsylate : termasuk ganglion blocking agent dan menginhibisi sistem


simpatis dan parasimpatis. Dosis : 1 4 mg / menit secara infus i.v. Onset of action : 1
5 menit. Duration of action : 10 menit. Efek samping : opstipasi, ileus, retensia urine,
respiratori arrest, glaukoma, hipotensi, mulut kering.
8.

Labetalol : termasuk golongan beta dan alpha blocking agent. Dosis : 20 80 mg


secara i.v. bolus setiap 10 menit ; 2 mg / menit secara infus i.v. Onset of action 5 10
menit Efek samping : hipotensi orthostatik, somnolen, hoyong, sakit kepala, bradikardi,
dll. Juga tersedia dalam bentuk oral dengan onset of action 2 jam, duration of action 10
jam dan efek samping hipotensi, respons unpredictable dan komplikasi lebih sering
dijumpai.

9.

Methyldopa : termasuk golongan alpha agonist sentral dan menekan sistem syaraf
simpatis. Dosis : 250 500 mg secara infus i.v / 6 jam. Onset of action : 30 60 menit,
duration of action kira-kira 12 jam. Efek samping : Coombs test ( + ) demam, gangguan

gastrointestino, with drawal sindrome dll. Karena onset of actionnya bisa takterduga dan
kasiatnya tidak konsisten, obat ini kurang disukai untuk terapi awal.
10. Clonidine : termasuk golongan alpha agonist sentral. Dosis : 0,15 mg i.v pelan-pelan
dalam 10 cc dekstrose 5% atau i.m.150 ug dalam 100 cc dekstrose dengan titrasi dosis.
Onset of action 5 10 menit dan mencapai maksimal setelah 1 jam atau beberapa jam.
Efek samping : rasa ngantuk, sedasi, hoyong, mulut kering, rasa sakit pada parotis. Bila
dihentikan secara tiba-tiba dapat menimbulkan sindroma putus obat.

Pengobatan khusus krisis hipertensi


1. Ensefalopati Hipertensi
Pada Ensefalofati hipertensi biasanya ada keluhan serebral. Bisa terjadi dari
hipertensi esensial atau hipertensi maligna, feokromositoma dan eklamsia. Biasanya
tekanan darah naik dengan cepat, dengan keluhan : nyeri kepala, mual-muntah, bingung
dan gejala saraf fokal (nistagmus, gangguan penglihatan, babinsky positif, reflek
asimetris, dan parese terbatas) melanjut menjadi stupor, koma, kejang-kejang dan
akhirnya meninggal. Obat yang dianjurkan : Natrium Nitroprusid, Diazoxide dan
Trimetapan.
2. Gagal Jantung Kiri Akut
Biasanya terjadi pada penderita hipertensi sedang atau berat, sebagai akibat dari
bertambahnya beban pada ventrikel kiri. Udem paru akut akan membaik bila tensi telah
terkontrol.
Obat pilihan : Trimetapan dan Natrium nitroprusid. Pemberian Diuretik IV akan
mempercepat perbaikan
3. Feokromositoma

Katekolamin dalam jumlah berlebihan yang dikeluarkan oleh tumor akan


berakibat kenaikan tekanan darah. Gejala biasanya timbul mendadak : nyeri kepala,
palpitasi, keringat banyak dan tremor. Obat pilihan : Pentolamin 5-10 mg IV.
4. Deseksi Aorta Anerisma Akut
Awalnya terjadi robekan tunika intima, sehingga timbul hematom yang meluas.
Bila terjadi ruptur maka akan terjadi kematian. Gejala yang timbul biasanya adalah
nyeri dada tidaj khas yang menjalar ke punggung perut dan anggota bawah. Auskultasi :
didapatkan bising kelainan katup aorta atau cabangnya dan perbedaan tekanan darah
pada kedua lengan. Pengobatan dengan pembedahan, dimana sebelumnya tekanan darah
diturunkan terlebih dulu dengan obat pilihan : Trimetapan atau Sodium Nitroprusid.
5.

Toksemia Gravidarum Gejala yang muncul adalah kejang-kejang dan kebingungan.

Obat pilihan : Hidralazin kemudian dilanjutkan dengan klonidin.


6. Perdarahan Intrakranial
Pengobatan hipertensi pada kasus ini harus dilakukan dengan hati-hati, karena penurunan
tekanan
yang cepat dapat menghilangkan spasme pembuluh darah disekitar tempat perdarahan, yang
justru
akan menambah perdarahan. Penurunan tekanan darah dilakukan sebanyak 10-15 % atau
diastolik
dipertahankan sekitar 110-120 mmHg Obat pilihan : Trimetapan atau Hidralazin .

Anda mungkin juga menyukai