Tugas DM HIPERTENSI
Tugas DM HIPERTENSI
1. DEFINISI
Hipoglikemia =Hipoglikemia murni=True hypoglicemy=gejala hipoglikemia
apabila gula darah < 60 mg/dl.(Dr Soetomo ,1998)
Definisi kimiawi dari hipoglokemia adalah glukosa darah kurang dari 2,2 m
mol/l, walaupun gejala dapat timbul pada tingkat gula darah yang lebih tinggi. (Petter
Patresia A,1997)
Hipoglikemia adalah batas terendah kadar glukosa darah puasa(true glucose)
adalah 60 mg %,dengan dasar tersebut maka penurunan kadar glukosa darah di bawah
60 mg%. (Wiyono ,1999).
Hipoglikemia adalah glukosa darah rendah, terjadi pada atau tergantung pada
kadar gula atau glukosa di dalam tubuh lebih rendah dari kebutuhan tubuh.
(www.medicare.com)
2. KLASIFIKASI HIPOGLIKEMIA
Hipoglikemia akut menunjukkan gejala Triad Whipple. Triad Whipple meliputi:
a. Keluhan adanya kadar glukosa darah plasma yang rendah. Gejala otonom seperti
berkeringat, jantung berdebar-debar, tremor, lapar.
b. Kadar glukosa darah yang rendah (<3 mmol/L). Gejala neuroglikopenik seperti
bingung, mengantuk, sulit berbicara, inkoordinasi, perilaku berbeda, gangguan
visual, parestesi, mual sakit kepala.
c. Hilangnya dengan cepat keluhan sesudah kelainan biokimia dikoreksi.
Hipoglikemia juga dapat dibedakan menjadi:
a. True hipoglikemi, ditandai dengan kadar glukosa darah sewaktu < 60 mg/dl
b. Koma hipoglikemi, ditandai dengan kadar glukosa darah sewaktu < 30 mg/dl
c. Reaksi hipoglikemi, yaitu bila kadar glukosa darah sebelumnya naik, kemudian
diberi obat hipoglikemi dan muncul tanda-tanda hipoglikemia namun kadar
glukosa darah normal.
penggunaan insulin
penggunaan sulfonylurea
insulinoma
Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya hipoglikemia pada pasien yang mendapat pengobatan
insulin atau sulfonylurea:
a. Faktor-faktor yang berkaitan dengan pasien
1. pengurangan/keterlambatan makan
2. kesalalahan dosis obat
3. latihan jasmani yang berlebihan
4. penurunan kebutuhan insulin
nefropati diabetic
hipotiroidisme
penyakit Addison
hipopituitarisme
Penelitian pada orang yang bukan diabetes menunjukan adanya gangguan fungsi
otak yang lebih awal dari fase I dan di namakan ganguan fungsi otak subliminal, di
samping gejala yang tidak khas.
Kadang-kadang gejala fase adrenergic tidak muncul dan pasien langsung jauh
pada fase gangguan fungsi otak, terdapat dua jenis hilangnya kewaspadaan, yaitu akut
dan kronik.
Yang akut misalnya : pada pasien DMT I dengan glukosa darah terkontrol sangat
ketat mendekati normal, adanya neuropati autonom pada pasien yang sudah lama
menderita DM, dan menggunakan beta bloker yang non selektif,kehilangan
kewaspadaan yang kronik biasanya irreversible dan di anggap merupakan komplikasi
DM yang serius.
Sebagai dasar diagnosis dapat di gunakan trias whipple, yaitu hipoglikemia
dengan gejala-gejala saraf pusat, kadar glukosa kurang dari 50 mg% dan gejala akan
menghilang dengan pemberian glukosa.
Factor-faktor yang dapat menimbulkan hipoglikemia berat dan berkepanjangan
adalah kegagalan sekresi hormone glukagen dan adrenalin pasien telah lama menderita
DM) adanya antibody terhadap insulin, blockade farmakologik (beta bloker non
selektif), dan pemberian obat sulfonylurea (obat anti DM yang berkasiat lama).
(Mansjoer A, 1997 : 603).
Pertama, hipoglikemia dalam diabetic adalah lebih umum ketimbang
ketoasidosis,
meskipun
sebagian
besar
penyebaran
terdapat
pada
kelompok
Lapar
Mual-muntah
Pucat,kulit dingin
Sakit kepala
Nadi cepat
Hipotensi
Irritabilitas
Sakit kepala
Koma
PATOFISIOLOGI
Diabetes ketoasidosis disebabkan oleh tidak adanya insulin atau tidak
cukupnya jumlah insulin yang nyata, keadaan ini mengakibatkan gangguan pada
metabolisme karbohidrat, protein, lemak, ada tiga gambaran klinis yang penting pada
diabetes ketoasidosis.
a.
dehidrasi
b.
kehilangan elektrolit
c.
asidosis
Apabila jumlah insulin berkurang jumlah glukosa yang memasuki sel akan
berkurang pula, di samping itu produksi glukosa oleh hati menjadi tidak terkendali,
kedua factor ini akan menimbulkan hipoglikemia. Dalam upaya untuk menghilangkan
glukosa yang berlebihan dalam tubuh, ginjal akan mengekskresikan glukosa bersamasama air dan elektrolit (seperti natrium dan kalium). Diuresis osmotic yang di tandai
oleh urinaria berlebihan (poliuria) ini akan menyebabkan dehidrasi dan kehilangan
elektrolit. penderita ketoasidosis diabetic yang berat dapat kehilangan kira-kira 6,5 liter
air dan sampai 400 hingga mEq natrium, kalium serta klorida selama periode waktu 24
jam.
Akibat defisiensi insulin yang lain adalah pemecahan lemak (liposis) menjadi
asam-asam lemak bebas dan gliseral.asam lemak bebas akan di ubah menjadi badan
keton oleh hati, pada keton asidosis diabetic terjadi produksi badan keton yang
berlebihan sebagai akibat dari kekurangan insulin yang secara normal akan mencegah
timbulnya keadaan tersebut, badan keton bersifat asam, dan bila bertumpuk dalam
sirkulasi darah, badan keton akan menimbulkan asidosis metabolic.
Pada hipoglikemia ringan ketika kadar glukosa darah menurun, sistem saraf
simpatik akan terangsang. Pelimpahan adrenalin ke dalam darah menyebabkan gejala
seperti perspirasi, tremor, takikardi, palpitasi, kegelisahan dan rasa lapar.
Pada hipoglikemia sedang, penurunan kadar glukosa darah menyebabkan selsel otak tidak memperoleh cukup bahan bakar untuk bekerja dengan baik. Tanda-tanda
gangguan fungsi pada sistem saraf pusat mencakup ketidak mampuan berkonsentrasi,
sakit kepala,vertigo, konfusi, penurunan daya ingat, pati rasa di daerah bibir serta lidah,
bicara pelo, gerakan tidak terkoordinasi, perubahan emosional, perilaku yang tidak
rasional, penglihatan ganda dan perasaan ingin pingsan. Kombinasi dari gejala ini (di
samping gejala adrenergik) dapat terjadi pada hipoglikemia sedang.
Pada hipoglikemia berat fungsi sistem saraf pusat mengalami gangguan yang
sangat berat, sehingga pasien memerlukan pertolongan orang lain untuk mengatasi
hipoglikemia yang di deritanya. Gejalanya dapat mencakup perilaku yang mengalami
disorientasi, serangan kejang, sulit di bangunkan dari tidur atau bahkan kehilangan
kesadaran. ( Smeltzer. 2001 ).
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan glukosa darah sebelum dan sesudah suntikan dekstrosa.
(Mansjoer A 1999: 604)
Di kutip dari www.medicare.com ada berbagai pemeriksaan penunjang meliputi :
a) perpanjangan
pengawasan
puasa,
tes
primer
untuk
hypoglikemia,
b) Tes bercampur makanan, tes ini di gunakan jika anda mempunyai tanda puasa (2
jam PP)
c) Tes urine di simpan untuk mencari substansi keton.
d) Tes ini juga mencari tes pancreas atau penyakit endokrin.
6. PENATALAKSANAAN
a. Glukosa oral
Setelah dignosa hipoglikemi ditegakkan dengan pemeriksaan glukosa darah
kapiler, berikan 10-20 gram glukosa oral. Dapat berupa roti, pisang atau
karbohidrat kompleks lainnya. Pada penderita yang sulit menelan dapat
diberikan madu atau gel glukosa pada mukosa mulut.
b. Glukosa intravena
Pada pasien koma hipoglikemi diberikan injeksi glukosa 40% intravena 25 mL
yang diencerkan 2 kali
Injeksi glukosa 40% intravena 25 mL
1 flash
Bila kadar glukosa 60-90 mg/dL
2 flash
Bila kadar glukosa 30-60 mg/dL
3 flash
Bila kadar glukosa < 30 mg/dL
120 mg/dL
c. Bila belum sadar, dilanjutkan infus maltosa 10% atau glukosa 10% kemudian
diulang 25 cc glukosa 40% sampai penderita sadar.
d. Injeksi metil prednisolon 62,5 125 mg intravena dan dapat diulang. Dapat
dikombinasi dengan injeksi fenitoin 3 x 100 mg intravena atau fenitoin oral 3 x
100 mg sebelum makan.
e. Injeksi efedrin 25 -50 mg (bila tidak ada kontra indikasi) atau injeksi glukagon 1
mg intramuskular. Kecepatan kerja glukagon sama dengan pemberian glukosa
intravena. Bila penderita sudah sadar dengan pemberian glukagon, berikan 20
gram glukosa oral dan dilanjutkan dengan 40 gram karbohidrat dalam bentuk
tepung untuk mempertahankan pemulihan.
f. Bila koma hipoglikemia terjadi pada pasien yang mendapat sulfonilurea
sebaiknya pasien tersebut dirawat di rumah sakit, karena ada risiko jatuh koma
lagi setelah suntikan dekstrosa. Pemberian dekstrosa diteruskan dengan infus
dekstrosa 10% selama 3 hari. Monitor glukosa darah setiap 3-6 jam sekali dan
kadarnya dipertahankan 90-180 mg%. Hipoglikemia karena sulfonilurea ini
tidak efektif dengan pemberian glukagon.
Terapi malaria
Manifestasi
klinis
malaria
dapat
bervariasi
dari
ringan
sampai
lain,
seperti
demam
typhoid,
demam
dengue,
leptospirosis,
mendapatkan
kepastian
diagnosis
malaria
harus
dilakukan
Pemeriksaan
dengan
mikroskop
Pemeriksaan
dengan
mikroskop
Jika dijumpai 50 parasit per 1000 eritrosit = 5%. Jika jumlah eritrosit
4.500.000/uL maka hitung parasit = 4.500.000/1000 X 50 = 225.000
parasit/uL.
2. Pemeriksaan dengan tes diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test/RDT)
Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria,
dengan menggunakan metoda imunokromatografi. Tes ini digunakan -14pada unit gawat darurat, pada saat terjadi KLB, dan di daerah terpencil yang
tidak tersedia fasilitas laboratorium mikroskopis. Hal yang penting yang
perlu diperhatikan adalah sebelum RDT dipakai agar terlebih dahulu
membaca cara penggunaannya pada etiket yang tersedia dalam kemasan
RDT untuk menjamin akurasi hasil pemeriksaan. Saat ini yang digunakan
oleh Program Pengendalian Malaria adalah yang dapat mengidentifikasi P.
falcifarum dan non P. Falcifarum.
3. Pemeriksaan dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Sequensing
DNA
Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada fasilitas yang tersedia. Pemeriksaan
ini penting untuk membedakan antara re-infeksi dan rekrudensi pada P.
falcifarum. Selain itu dapat digunakan untuk identifikasi spesies Plasmodium
yang jumlah parasitnya rendah atau di bawah batas ambang mikroskopis.
Pemeriksaan dengan menggunakan PCR juga sangat penting dalam
eliminasi malaria karena dapat membedakan antara parasit impor atau
indigenous.
4. Selain pemeriksaan di atas, pada malaria berat pemeriksaan penunjang
yang perlu dilakukan adalah:
a. pengukuran hemoglobin dan hematokrit;
b. penghitungan jumlah leukosit dan trombosit;
c. kimia darah lain (gula darah, serum bilirubin, SGOT dan SGPT, alkali
fosfatase, albumin/globulin, ureum, kreatinin, natrium dan kalium, analisis
gas darah); dan
d. urinalisis
KRISIS HIPERTENSI
2.1. Definisi
Hipertensi darurat (emergency hypertension) : kenaikan tekanan darah
mendadak (sistolik 180 mm Hg dan / atau diastolik 120 mm Hg) dengan kerusakan
organ target yang bersifat progresif, sehingga tekanan darah harus diturunkan segera,
dalam hitungan menit sampai jam. Tekanan darah yang sangat tinggi dan terdapat
kerusakan organ, sehingga tekanan darah harus diturunkan dengan segera (dalam menit
atau jam) agar dapat membatasi kerusakan yang terjadi. Tingginya tekanan darah untuk
dapat dikategorikan sebagai hipertensi darurat tidaklah mutlak, namun kebanyakan
referensi di Indonesia memakan patokan >220/140.
2.2. Etiologi
Hipertensi emergensi merupakan spektrum klinis dari hipertensi dimana terjadi
kondisi peningkatan tekanan darah yang tidak terkontrol yang berakibat pada kerusakan
organ target yang progresif. Berbagai sistem organ yang menjadi organ target pada
hipertensi emergensi ini adalah sistem saraf yang dapat mengakibatkan hipertensi
ensefalopati, infark serebral, perdarahan subarakhnoid, perdarahan intrakranial; sistem
kardiovaskular yang dapat mengakibatkan infark miokard, disfungsi ventrikel kiri akut,
edema paru akut, diseksi aorta; dan sistem organ lainnya seperti gagal ginjal akut,
retinopati, eklamsia, dan anemia hemolitik mikroangiopatik.
Faktor Resiko Krisis Hipertensi
Penderita hipertensi tidak minum obat atau tidak teratur minum obat.
Kehamilan
Pengguna NAPZA
Normal
Dibawah 85 mmHg
Normal tinggi
130-139 mmHg
85-89 mmHg
Stadium 1
(Hipertensi ringan)
140-159 mmHg
90-99 mmHg
Stadium 2
(Hipertensi sedang)
160-179 mmHg
100-109 mmHg
Stadium 3
(Hipertensi berat)
180-209 mmHg
110-119 mmHg
Stadium 4
(Hipertensi maligna)
Penderita hipertensi yang tidak terkontrol sewaktu - waktu bisa jatuh kedalam
keadaan gawat darurat. Diperkirakan sekitar 1-8% penderita hipertensi berlanjut
menjadi Krisis Hipertensi, dan banyak terjadi pada usia sekitar 30-70 tahun. Tetapi
krisis hipertensi jarang ditemukan pada penderita dengan tekanan darah normal tanpa
penyebab sebelumnya. Pengobatan yang baik dan teratur dapat mencegah insiden krisis
hipertensi menjadi kurang dari 1 %.
2.4. Patofisiologi
Bentuk manapun dari hipertensi yang menetap, baik primer maupun sekunder,
dapat dengan mendadak mengalami percepatan kenaikan dengan tekanan diastolik
meningkat cepat sampai di atas 130 mmHg dan menetap lebih dari 6 jam. Hal ini dapat
menyebabkan nekrosis arterial yang lama dan tersebar luas, serta hiperplasi intima
arterial interlobuler nefron-nefron. Perubahan patologis jelas terjadi terutama pada
retina, otak dan ginjal. Pada retina akan timbul perubahan eksudat, perdarahan dan
udem papil. Gejala retinopati dapat mendahului penemuan klinis kelainan ginjal dan
merupakan gejala paling terpercaya dari hipertensi maligna.
Otak mempunyai suatu mekanisme otoregulasi terhadap kenaikan ataupun
penurunan tekanan darah. Batas perubahan pada orang normal adalah sekitar 60-160
mmHg. Apabila tekanan darah melampaui tonus pembuluh darah sehingga tidak mampu
lagi menahan kenaikan tekanan darah maka akan terjadi udem otak. Tekanan diastolik
yang sangat tinggi memungkinkan pecahnya pembuluh darah otak yang dapat
mengakibatkan kerusakan otak yang irreversible.
Pada jantung kenaikan tekanan darah yang cepat dan tinggi akan menyebabkan
kenaikan after load, sehingga terjadi payah jantung. Sedangkan pada hipertensi kronis
hal ini akan terjadi lebih lambat karena ada mekanisme adaptasi. Penderita
feokromositoma dengan krisis hipertensi akan terjadi pengeluaran norefinefrin yang
menetap atau berkala.
Aliran darah ke otak pada penderita hipertensi kronis tidak mengalami
perubahan bila Mean Arterial Pressure ( MAP ) 120 mmHg 160 mmHg, sedangkan
pada penderita hipertensi baru dengan MAP diantara 60 120 mmHg. Pada keadaan
hiper kapnia, autoregulasi menjadi lebih sempit dengan batas tertinggi 125 mmHg,
sehingga perubahan yang sedikit saja dari TD menyebabkan asidosis otak akan
mempercepat timbulnya oedema otak. Meningkatnya tekanan darah di dalam arteri bisa
terjadi melalui beberapa cara:
Meningkatnya tekanan darah di dalam arteri bisa terjadi sehingga mengalirkan lebih
banyak cairan pada setiap detiknya.
Arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku, sehingga mereka tidak dapat
mengembang pada saat jantung memompa darah melalui arteri tersebut. Karena itu
darah pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh yang sempit daripada
biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan. Inilah yang terjadi pada usia lanjut,
dimana dinding arterinya telah menebal dan kaku karena arteriosklerosis. Dengan cara
yang sama, tekanan darah juga meningkat pada saat terjadi vasokonstriksi, yaitu jika
arteri kecil (arteriola) untuk sementara waktu mengkerut karena perangsangan saraf atau
hormon di dalam darah.
Ginjal
darah
> 220/140 Perdarahan,
neurologi
Sakit kepala, Denyut jelas, Uremia,
mmHg
eksudat,
kacau,
membesar,
edema
gangguan
dekompensasi
papilla
kesadaran,
, oliguria
Gastrointestinal
Mual, muntah
proteinuria
kejang.
Table 3. Hipertensi Emergensi (darurat)
Tingginya TD yang dapat menyebabkan kerusakan organ sasaran tidak hany dari
tingkatan TD aktual, tapi juga dari tingginya TD sebelumnya, cepatnya kenaikan TD,
bangsa, seks dan usia penderita. Penderita hipertensi kronis dapat mentolelir kenaikan
TD yang lebih tinggi dibanding dengan normotensi, sebagai contoh : pada penderita
hipertensi kronis, jarang terjadi hipertensi ensefalopati, gangguan ginjal dan
kardiovaskular dan kejadian ini dijumpai bila TD Diastolik > 140 mmHg. Sebaliknya
pada penderita normotensi ataupun pada penderita hipertensi baru dengan penghentian
obat yang tiba-tiba, dapat timbul hipertensi ensefalopati demikian juga pada eklampsi,
hipertensi ensefalopati dapat timbul walaupun TD 160/110 mmHg.
2.6. Diagnosis
Diagnosis hipertensi emergensi harus ditegakkan sedini mungkin, karena hasil
terapi tergantung kepada tindakan yang cepat dan tepat. Tidak perlu menunggu hasil
pemeriksaan yang menyeluruh walaupun dengan data-data yang minimal kita sudah
dapat mendiagnosis suatu krisis hipertensi.
2.6.1 Anamnesis 2
Sewaktu penderita masuk, dilakukan anamnesa singkat. Hal yang penting
ditanyakan :
a.
f.
Gejala sistem kardiovascular ( adanya payah jantung, kongestif dan oedem paru, nyeri
dada ).
Pemeriksaan
penunjang
lain
bila
memungkinkan:
CT
scan
kepala,
ekokardiogram, ultrasonogram.
2.7. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan pada keadaan darurat hipertensi ialah menurunkan tekanan darah
secepat dan seaman mungkin yang disesuaikan dengan keadaan klinis penderita.
Pengobatan biasanya diberikan secara parenteral dan memerlukan pemantauan yang
ketat terhadap penurunan tekanan darah untuk menghindari keadaan yang merugikan
atau munculnya masalah baru.
Obat yang ideal untuk keadaan ini adalah obat yang mempunyai sifat bekerja cepat,
mempunyai jangka waktu kerja yang pendek, menurunkan tekanan darah dengan cara
yang dapat diperhitungkan sebelumnya, mempunyai efek yang tidak tergantung kepada
sikap tubuh dan efek samping minimal.
Penurunan tekanan darah harus dilakukan dengan segera namun tidak terburuburu. Penurunan tekanan darah yang terburu-buru dapat menyebabkan iskemik pada
otak dan ginjal. Tekanan darah harus dikurangi 25% dalam waktu 1 menit sampai 2 jam
dan diturunkan lagi ke 160/100 dalam 2 sampai 6 jam. Medikasi yang diberikan
sebaiknya per parenteral (Infus drip, BUKAN INJEKSI). Obat yang cukup sering
digunakan adalah Nitroprusid IV dengan dosis 0,25 ug/kg/menit. Bila tidak ada,
pengobatan oral dapat diberikan sambil merujuk penderita ke Rumah Sakit. Pengobatan
oral yang dapat diberikan meliputi Nifedipinde 5-10 mg, Captorpil 12,5-25 mg,
Clonidin 75-100 ug, Propanolol 10-40 mg. Penderita harus dirawat inap.
Tabel 4: Algoritma untuk Evaluasi Krisis Hipertensi 3,5
Parameter
Tekanan darah
Hipertensi Mendesak
Hipertensi Darurat
Biasa
Mendesak
> 180/110
> 180/110
> 220/140
(mmHg)
Gejala
Sakit
kepala,
Sesak
kecemasan;
sering
napas
napas,
Ensefalopati,
insufisiensi
ada
kardiovaskuler, stabil
jantung
kardiovaskular
dada,
kesadaran menurun
nyeri
edema
ginjal,
paru,
iskemia
Terapi
Awasi
1-3
jam;
memulai/teruskan
Pasang
jalur
IV,
periksa
IV
dosis
Rencana
3 hari
jam
Rawat ruangan/ICU
Adapun obat hipertensi oral yang dapat dipakai untuk hipertensi mendesak
(urgency) dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5: Obat hipertensi oral 3,5
Obat
Captopril
Dosis
Efek / Lama Kerja
Perhatian khusus
12,5 - 25 mg PO; 15-30
min/6-8 Hipotensi, gagal ginjal,
ulangi per 30 min jam ;
SL 10-20 stenosis arteri renalis
; SL, 25 mg
min/2-6 jam
Clonidine PO 75 - 150 ug, 30-60 min/8-16 jam
Hipotensi,
mengantuk,
ulangi per jam
mulut kering
Propanolo 10 - 40 mg PO; 15-30 min/3-6 jam
Bronkokonstriksi,
blok
l
ulangi setiap 30
jantung,
hipotensi
min
ortostatik
Nifedipin 5 - 10 mg PO; 5 -15 min/4-6 jam
Takikardi,
hipotensi,
e
ulangi setiap 15
gangguan koroner
menit
SL, Sublingual. PO, Peroral
Sedangkan untuk hipertensi darurat (emergency) lebih dianjurkan untuk
pemakaian parenteral, daftar obat hipertensi parenteral yang dapat dipakai dapat dilihat
pada tabel 6.
Tabel 6: Obat hipertensi parenteral 3,5
Obat
Dosis
Sodium
Kerja
0,25-10 mg / kg langsung/2-3
nitroprusside
infus
menyebabkan
keracunan
tiosianat,
methemoglobinemia,
asidosis,
keracunan sianida.
Selang infus lapis perak
Nitrogliserin
500-100
methemoglobinemia;
membutuhkan sistem pengiriman
khusus karena obat mengikat pipa
Nicardipine
PVC
min/15- Takikardi, mual, muntah, sakit
250
Glukosa
Diltiazem
kepala,
peningkatan
tekanan
intrakranial; hipotensi
min/ Ensepalopati dengan
gangguan
cc 24 jam
koroner
5%
mikrodrip
5-15
ug/kg/menit
30 min
kepala,
sebagi infus IV
peningkatan
tekanan
intrakranial; hipotensi
Obat Pilihan
Nitroprusside + esmolol
AMI, iskemia
Nitrogliserin,
mungkin
nitroprusside, Sekunder untuk bantuan
Edema paru
nicardipine
Nitroprusside,
iskemia
nitrogliserin, 10% -15% dalam 1-2 jam
Gangguan Ginjal
labetalol
Fenoldopam,
Kelebihan
labetalol
Phentolamine, labetalol
katekolamin
Hipertensi
Nitroprusside
ensefalopati
Subarachnoid
Nitroprusside,
hemorrhage
nicardipine
Stroke Iskemik
nicardipine
AMI, infark miokard akut; SBP, tekanan sistolik bood.
4. Hydralazine : merupakan vasodilator direk arteri. Onset of action : oral 0,5 1 jam,
i.v : 10 20 menit duration of action : 6 12 jam. Dosis : 10 20 mg i.v bolus : 10
40 mg i.m Pemberiannya bersama dengan alpha agonist central ataupun Beta Blocker
untuk mengurangi refleks takhikardi dan diuretik untuk mengurangi volume
intravaskular. Efeksamping : refleks takhikardi, meningkatkan stroke volume dan
cardiac out put, eksaserbasi angina, MCI akut dll.
5. Enalapriat : merupakan vasodelator golongan ACE inhibitor. Onsep on action 15 60
menit. Dosis 0,625 1,25 mg tiap 6 jam i.v.
6.
9.
Methyldopa : termasuk golongan alpha agonist sentral dan menekan sistem syaraf
simpatis. Dosis : 250 500 mg secara infus i.v / 6 jam. Onset of action : 30 60 menit,
duration of action kira-kira 12 jam. Efek samping : Coombs test ( + ) demam, gangguan
gastrointestino, with drawal sindrome dll. Karena onset of actionnya bisa takterduga dan
kasiatnya tidak konsisten, obat ini kurang disukai untuk terapi awal.
10. Clonidine : termasuk golongan alpha agonist sentral. Dosis : 0,15 mg i.v pelan-pelan
dalam 10 cc dekstrose 5% atau i.m.150 ug dalam 100 cc dekstrose dengan titrasi dosis.
Onset of action 5 10 menit dan mencapai maksimal setelah 1 jam atau beberapa jam.
Efek samping : rasa ngantuk, sedasi, hoyong, mulut kering, rasa sakit pada parotis. Bila
dihentikan secara tiba-tiba dapat menimbulkan sindroma putus obat.