Anda di halaman 1dari 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan seperti

usaha

pemeliharaan ternak, rumah potong hewan, pengolahan produk ternak, dll. Limbah tersebut meliputi
limbah padat dan limbah cair seperti feses, urine, sisa makanan, embrio, kulit telur, lemak, darah,
bulu, kuku, tulang, tanduk, isi rumen, dll (Sihombing, 2000).

Semakin berkembangnya usaha

peternakan, limbah yang dihasilkan semakin meningkat.


Total limbah yang dihasilkan peternakan tergantung dari species ternak, besar usaha, tipe
usaha dan lantai kandang. Manure yang terdiri dari feces dan urine merupakan limbah ternak yang
terbanyak dihasilkan dan sebagian besar manure dihasilkan oleh ternak ruminansia seperti sapi,
kerbau kambing, dan domba.

Umumnya setiap kilogram susu yang dihasilkan ternak perah

menghasilkan 2 kg limbah padat (feses), dan setiap kilogram daging sapi menghasilkan 25 kg feses
(Sihombing, 2000).
Selain menghasilkan feses dan urine, dari proses pencernaan ternak ruminansia menghasilkan
gas metan (CH4) yang cukup tinggi. Gas metan ini adalah salah satu gas yang bertanggung jawab
terhadap pemanasan global dan perusakan ozon, dengan laju 1 % per tahun dan terus meningkat
(Suryahadi dkk., 2002). Pada peternakan di Amerika Serikat, limbah dalam bentuk feses yang
dihasilkan tidak kurang dari 1.7 milyar ton per tahun, atau 100 juta ton feces dihasilkan dari 25 juta
ekor sapi yang digemukkan per tahun dan seekor sapi dengan berat 454 kg menghasilkan kurang
lebih 30 kg feses dan urine per hari (Dyer, 1986). Sedangkan menurut Crutzen (1986), kontribusi
emisi metan dari peternakan mencapai 20 35 % dari total emisi yang dilepaskan ke atmosfir. Di
Indonesia, emisi metan per unit pakan atau laju konversi metan lebih besar karena kualitas hijauan
pakan yang diberikan rendah. Semakin tinggi jumlah pemberian pakan kualitas rendah, semakin
tinggi produksi metan (Suryahadi dkk., 2002).
Limbah ternak masih mengandung nutrisi atau zat padat yang potensial untuk mendorong
kehidupan jasad renik yang dapat menimbulkan pencemaran. Suatu studi mengenai pencemaran air
oleh limbah peternakan melaporkan bahwa total sapi dengan berat badannya 5000 kg selama satu
hari, produksi manurenya dapat mencemari 9.084 x 10 7 m3 air. Selain melalui air, limbah peternakan
sering mencemari lingkungan secara biologis yaitu sebagai media untuk berkembang biaknya lalat.
Kandungan air manure antara 27-86 % merupakan media yang paling baik untuk pertumbuhan dan

perkembangan larva lalat, sementara kandungan air manure 65-85 % merupakan media yang optimal
untuk bertelur lalat (Dyer, 1986).
Kehadiran limbah ternak dalam keadaan keringpun dapat menimbulkan pencemaran yaitu
dengan menimbulkan debu. Pencemaran udara di lingkungan penggemukan sapi yang paling hebat
ialah sekitar pukul 18.00, kandungan debu pada saat tersebut lebih dari 6000 mg/m 3, jadi sudah
melewati ambang batas yang dapat ditolelir untuk kesegaran udara di lingkungan (3000 mg/m 3)
(Lingaiah dan Rajasekaran, 1986)
Tinja dan urine dari hewan yang tertular dapat sebagai sarana penularan penyakit, misalnya
saja penyakit anthrax melalui kulit manusia yang terluka atau tergores. Spora anthrax dapat tersebar
melalui darah atau daging yang belum dimasak yang mengandung spora. Kasus anthrax sporadik
pernah terjadi di Bogor tahun 2001 dan juga pernah menyerang Sumba Timur tahun 1980 dan burung
unta di Purwakarta tahun 2000 (Soeharsono, 2002).
Dampak limbah ternak memerlukan penanganan yang serius. Skema berikut ini (Gambar 1) memberi
gambaran akibat yang ditimbulkan oleh limbah secara umum dan manajemennya (Chantalakhana dan
Skunmun, 2002).
Peternakan Sapi

Limbah (feces, Urine, dll)

Limbah Padat

Penggunaan

Dikeringkan

langsung

utk dijual

Pupuk Tanaman

Limbah Cair

Penimbunan

Tangki
Penampungan

Manure
Ditimbun di
Area pemukiman

Saluran Air

Polusi
Gambar 1. Dampak Umum dan Manajemen Limbah Ternak

Penanganan limbah cair dapat diolah secara fisik, kimia dan biologi. Pengolahan secara fisik
disebut juga pengolahan primer (primer treatment). Proses ini merupakan proses termurah dan
termudah, karena tidak memerlukan biaya operasi yang tinggi. Metode ini hanya digunakan untuk
memisahkan partikel-partikel padat di dalam limbah.

Beberapa kegiatan yang termasuk dalam

pengolahan secara fisik antara lain : floatasi, sedimentasi, dan filtrasi.


Pengolahan secara kimia disebut juga pengolahan sekunder (secondary treatment) yang bisanya
relatif lebih mahal dibandingkan dengan proses pengolahan secara fisik. Metode ini umumnya
digunakan untuk mengendapkan bahan-bahan berbahaya yang terlarut dalam limbah cair menjadi
padat.

Pengolahan dengan cara ini meliputi proses-proses netralisasi, flokulasi, koagulasi, dan

ekstrasi.
Pengolahan secara biologi merupakan tahap akhir dari pengolahan sekunder bahan-bahan organik
yang terkandung di dalam limbah cair. Limbah yang hanya mengandung bahan organik saja dan
tidak mengandung bahan kimia yang berbahaya, dapat langsung digunakan atau didahului denghan
pengolahan secara fisik (Sugiharto, 1987).
Beberapa cara penanganan limbah ternak sudah diterapkan (Chung, 1988) di antaranya :

Solid Liquid Separator. Pada cara ini penurunan BOD dan SS masing-masing sebesar 15-30%

dan 40-60%. Limbah padat setelah separasi masih memiliki kandungan air 70-80%. Normalnya,
kompos mempunyai kandungan uap air yang kurang dari 65%, sehingga jerami atau sekam padi dapat
ditambahkan. Setelah 40-60 hari, kompos telah terfermentasi dan lebih stabil.

Red Mud Plastic Separator (RMP). RMP adalah PVC yang diisi dengan limbah lumpur merah

(Red Mud) dari industri aluminium. RMP tahan pada erosi oleh asam, alkalis atau larutan garam.
Satu laporan mengklaim bahwa material RMP dengan tebal 1,2 mm dapat digunakan sekitar 20 tahun.
Bila limbah hog dipisahkan dengan menggunakan separator liquid, bagian cair akan mengalir ke
dalam digester anaerobik pada kantong RMP. Pada suatu seri percobaan di Lembaga Penelitian
Ternak Taiwan, didapatkan bahwa ukuran optimum kantong dihitung dengan mengalikan jumlah hogs
dengan 0,5 m3. Pada suhu ambien di Taiwan, jika waktu penyimpanan hidrolik selama 12 hari, BOD
biasanya turun menjadi 70-85% dan kandungan SS menjadi 80-90%.

Aerobic Treatment. Perlakuan limbah hog pada separator liquid-solid dan RMP bag digestor

biasanya cukup untuk menemukan standart sanitasi.

Jika tidak, aliran (effluent) selanjutnya

dilakukan secara aerobik. Perlakuan aerobik meliputi aktivasi sludge, parit oksidasi, dan kolam
aerobik. Rata-rata BOD dan SS dari effluent setelah perlakuan adalah sekitar 200-800 ppm. Setelah

perlakuan aerobik, BOD dan SS akan turun pada level standar yang memenuhi standart dari
kumpulan air limbah oleh aturan pencegahan polusi air. BOD maksimum air limbah dari suatu
peternakan besar dengan lebih dari 1000 ekor babi adalah 200 ppm, sedangkan untuk peternakan
kecil BOD yang diijinkan 400 ppm.

BAB III
PEMBAHASAN
Salah satu akibat dari pencemaran air oleh limbah ternak ruminansia ialah meningkatnya
kadar nitrogen. Senyawa nitrogen sebagai polutan mempunyai efek polusi yang spesifik, dimana
kehadirannya dapat menimbulkan konsekuensi penurunan kualitas perairan sebagai akibat terjadinya
proses eutrofikasi, penurunan konsentrasi oksigen terlarut sebagai hasil proses nitrifikasi yang terjadi
di dalam air yang dapat mengakibatkan terganggunya kehidupan biota air (Farida, 1978).
Hasil penelitian Wibowomoekti (1997) dari limbah cair Rumah Pemotongan Hewan Cakung, Jakarta
yang dialirkan ke sungai Buaran mengakibatkan kualitas air menurun, yang disebabkan oleh
kandungan sulfida dan amoniak bebas di atas kadar maksimum kriteria kualitas air. Selain itu adanya
Salmonella spp. yang membahayakan kesehatan manusia.
Tinja dan urine dari hewan yang tertular dapat sebagai sarana penularan penyakit, misalnya saja
penyakit anthrax melalui kulit manusia yang terluka atau tergores. Spora anthrax dapat tersebar
melalui darah atau daging yang belum dimasak yang mengandung spora. Kasus anthrax sporadik
pernah terjadi di Bogor tahun 2001 dan juga pernah menyerang Sumba Timur tahun 1980 dan burung
unta di Purwakarta tahun 2000 (Soeharsono, 2002).

Penanganan Limbah Ternak


Penanganan limbah cair dapat diolah secara fisik, kimia dan biologi. Pengolahan secara fisik disebut
juga pengolahan primer (primer treatment). Proses ini merupakan proses termurah dan termudah,
karena tidak memerlukan biaya operasi yang tinggi. Metode ini hanya digunakan untuk memisahkan
partikel-partikel padat di dalam limbah. Beberapa kegiatan yang termasuk dalam pengolahan secara
fisik antara lain : floatasi, sedimentasi, dan filtrasi.
Pengolahan secara kimia disebut juga pengolahan sekunder (secondary treatment) yang bisanya
relatif lebih mahal dibandingkan dengan proses pengolahan secara fisik. Metode ini umumnya
digunakan untuk mengendapkan bahan-bahan berbahaya yang terlarut dalam limbah cair menjadi
padat.

Pengolahan dengan cara ini meliputi proses-proses netralisasi, flokulasi, koagulasi, dan

ekstrasi.
Pengolahan secara biologi merupakan tahap akhir dari pengolahan sekunder bahan-bahan organik
yang terkandung di dalam limbah cair. Limbah yang hanya mengandung bahan organik saja dan

tidak mengandung bahan kimia yang berbahaya, dapat langsung digunakan atau didahului denghan
pengolahan secara fisik (Sugiharto, 1987).
Beberapa cara penanganan limbah ternak sudah diterapkan (Chung, 1988) di antaranya :

Solid Liquid Separator. Pada cara ini penurunan BOD dan SS masing-masing sebesar 15-30%

dan 40-60%. Limbah padat setelah separasi masih memiliki kandungan air 70-80%. Normalnya,
kompos mempunyai kandungan uap air yang kurang dari 65%, sehingga jerami atau sekam padi dapat
ditambahkan. Setelah 40-60 hari, kompos telah terfermentasi dan lebih stabil.

Red Mud Plastic Separator (RMP). RMP adalah PVC yang diisi dengan limbah lumpur merah

(Red Mud) dari industri aluminium. RMP tahan pada erosi oleh asam, alkalis atau larutan garam.
Satu laporan mengklaim bahwa material RMP dengan tebal 1,2 mm dapat digunakan sekitar 20 tahun.
Bila limbah hog dipisahkan dengan menggunakan separator liquid, bagian cair akan mengalir ke
dalam digester anaerobik pada kantong RMP. Pada suatu seri percobaan di Lembaga Penelitian
Ternak Taiwan, didapatkan bahwa ukuran optimum kantong dihitung dengan mengalikan jumlah hogs
dengan 0,5 m3. Pada suhu ambien di Taiwan, jika waktu penyimpanan hidrolik selama 12 hari, BOD
biasanya turun menjadi 70-85% dan kandungan SS menjadi 80-90%.

Aerobic Treatment. Perlakuan limbah hog pada separator liquid-solid dan RMP bag digestor

biasanya cukup untuk menemukan standart sanitasi.

Jika tidak, aliran (effluent) selanjutnya

dilakukan secara aerobik. Perlakuan aerobik meliputi aktivasi sludge, parit oksidasi, dan kolam
aerobik. Rata-rata BOD dan SS dari effluent setelah perlakuan adalah sekitar 200-800 ppm. Setelah
perlakuan aerobik, BOD dan SS akan turun pada level standar yang memenuhi standart dari
kumpulan air limbah oleh aturan pencegahan polusi air. BOD maksimum air limbah dari suatu
peternakan besar dengan lebih dari 1000 ekor babi adalah 200 ppm, sedangkan untuk peternakan
kecil BOD yang diijinkan 400 ppm.
Limbah Ternak Sebagai Bahan Pakan dan Media Tumbuh
Sebagai pakan ternak, limbah ternak kaya akan nutrien seperti protein, lemak BETN, vitamin,
mineral, mikroba dan zat lainnya. Ternak membutuhkan sekitar 46 zat makanan esensial agar dapat
hidup sehat. Limbah feses mengandung 77 zat atau senyawa, namun didalamnya terdapat senyawa
toksik untuk ternak. Untuk itu pemanfaatan limbah ternak sebagai makanan ternak memerlukan
pengolahan lebih lanjut. Tinja ruminansia juga telah banyak diteliti sebagai bahan pakan termasuk
penelitian limbah ternak yang difermentasi secara anaerob (Prior et al., 1986).

Penggunaan feses sapi untuk media hidupnya cacing tanah, telah diteliti menghasilkan biomassa
tertinggi dibandingkan campuran feces yang ditambah bahan organik lain, seperti feses 50% + jerami
padi 50%, feses 50% + limbah organik pasar 50%, maupun feses 50% + isi rumen 50% (Farida,
2000).
Limbah Ternak Sebagai Penghasil Gasbio
Permasalahan limbah ternak, khususnya manure dapat diatasi dengan memanfaatkan menjadi
bahan yang memiliki nilai yang lebih tinggi. Salah satu bentuk pengolahan yang dapat dilakukan
adalah menggunakan limbah tersebut sebagai bahan masukan untuk menghasilkan bahan bakar
gasbio. Kotoran ternak ruminansia sangat baik untuk digunakan sebagai bahan dasar pembuatan
biogas.

Ternak ruminansia mempunyai sistem pencernaan khusus yang menggunakan

mikroorganisme dalam sistem pencernaannya yang berfungsi untuk mencerna selulosa dan lignin dari
rumput atau hijauan berserat tinggi. Oleh karena itu pada tinja ternak ruminansia, khususnya sapi
mempunyai kandungan selulosa yang cukup tinggi. Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa tinja
sapi mengandung 22.59% sellulosa, 18.32% hemi-sellulosa, 10.20% lignin, 34.72% total karbon
organik, 1.26% total nitrogen, 27.56:1 ratio C:N, 0.73% P, dan 0.68% K (Lingaiah dan Rajasekaran,
1986).
Gasbio adalah campuran beberapa gas, tergolong bahan bakar gas yang merupakan hasil fermentasi
dari bahan organik dalam kondisi anaerob, dan gas yang dominan adalah gas metan (CH 4) dan gas
karbondioksida (CO2) (Simamora, 1989). Gasbio memiliki nilai kalor yang cukup tinggi, yaitu
kisaran 4800-6700 kkal/m3, untuk gas metan murni (100 %) mempunyai nilai kalor 8900 kkal/m 3.
Menurut Maramba (1978) produksi gasbio sebanyak 1275-4318 I dapat digunakan untuk memasak,
penerangan, menyeterika dan mejalankan lemari es untuk keluarga yang berjumlah lima orang per
hari.
Bahan gasbio dapat diperoleh dari limbah pertanian yang basah, kotoran hewan (manure), kotoran
manusia dan campurannya. Kotoran hewan seperti kerbau, sapi, babi dan ayam telah diteliti untuk
diproses dalam alat penghasil gasbio dan hasil yang diperoleh memuaskan (Harahap et al., 1980).
Perbandingan kisaran komposisi gas dalam gasbio antara kotoran sapi dan campuran kotoran ternak
dengan sisa pertanian dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi gas dalam gasbio (%) antara kotoran sapi dan campuran kotoran ternak dengan
sisa pertanian.

Jenis gas

Kotoran sapi

Campuran kotoran
ternak dan sisa

Metan (CH4)

65.7

pertanian
54-70

Karbondioksida (CO2)

27.0

45-27

Nitrogen (N2)

2.3

0.5-3.0

Karbonmonoksida (CO)

0.0

0.1

Oksigen (O2)

0.1

6.0

Propen (C3H8)

0.7

tidak terukur

sedikit sekali

6513
Sumber : Harahap et al. (1978).

4800-6700

Hidrogen sulfida (H2S)


Nilai kalor (kkal/m3)

Pembentukan gasbio dilakukan oleh mikroba pada situasi anaerob, yang meliputi tiga tahap, yaitu
tahap hidrolisis, tahap pengasaman, dan tahap metanogenik. Pada tahap hidrolisis terjadi pelarutan
bahan-bahan organik mudah larut dan pencernaan bahan organik yang komplek menjadi sederhana,
perubahan struktur bentuk primer menjadi bentuk monomer. Pada tahap pengasaman komponen
monomer (gula sederhana) yang terbentuk pada tahap hidrolisis akan menjadi bahan makanan bagi
bakteri pembentuk asam. Produk akhir dari gula-gula sederhana pada tahap ini akan dihasilkan asam
asetat, propionat, format, laktat, alkohol, dan sedikit butirat, gas karbondioksida, hidrogen dan
amoniak.
Sedangkan bakteri-bakteri anaerob yang berperan dalam ketiga fase di atas terdiri dari :
1. Bakteri pembentuk asam (Acidogenic bacteria) yang merombak senyawa organik menjadi
senyawa yang lebih sederhana, yaitu berupa asam organik, CO2, H2, H2S.
2. Bakteri pembentuk asetat (Acetogenic bacteria) yang merubah asam organik, dan senyawa netral
yang lebih besar dari metanol menjadi asetat dan hidrogen.
Bakteri penghasil metan (metanogens), yang berperan dalam merubah asam-asam lemak dan
alkohol menjadi metan dan karbondioksida. Bakteri pembentuk metan antara lain Methanococcus,
Methanobacterium, dan Methanosarcina.

DAFTAR PUSTAKA

Harahap F M, Apandi dan Ginting S. 1978. Teknologi Gasbio. Pusat Teknologi


Pembangunan Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Hardjoutomo S. 1999. Tuberkulosis sapi dan peranannya bagi peternakan sapi di
Indonesia dalam Journal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 18 (2)
http://pustaka.bogor.net/publ/jp3/html/jp182994.htm - (dikunjungi 6 Maret
2003).
http://www.bangnak.ditjennak.go.id/bang-swt.htm. Pengembangan Usaha Kompos /
Pupuk Organik. (dikunjungi 6 Maret 2003).
Jha, L.K. 2002. Cowdung polluting Yamuna in The Hindu, 21 February 2002 dalam
http://www.hinduonnet.com/2002/02/21/stories/2002022105000300.htm
(dikunjungi 6 Maret 2003)
Lingaiah V. and Rajasekaran P. 1986. Biodigestion of cowdung and organic wastes
mixed with oil cake in relation to energy in Agricultural Wastes 17(1986): 161173.
Maramba F D. 1978. Biogas and Waste Recycling. Maya Farm. Manila, Philippines.
Meegan M E, Conroy R M, Lengeny S O, Renhault K, Nyangole J. 2001. Effect on
neonatal tetanus mortality after a culturally-based health promotion programme
in Lancet (2001) 358:640-641 (http://www.elsevier.com/locate/lancet
dikunjungi 6 Maret 2003)
Prior R L, Hashimoto A G, Crouse J D, and Dikeman M E. 1986. Nutritional value of
anerobically fermented beef cattle wastes as a feed ingredient for livestock:
growth and carcass traits of beef cattle and sheep fed fermentor biomass in
Agricultural Wastes 17(1986): 23-27.
Sihombing D T H. 2000. Teknik Pengelolaan Limbah Kegiatan/Usaha Peternakan.
Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian, Institut Pertanian
Bogor.
Simamora S. 1989. Pengelolaan Limbah Peternakan (Animal Waste Management).
Teknologi Energi Gasbio. Fakultas Politeknik Pertanian IPB. Bekerjasama
dengan Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan. Dirjen Pendidikan Dasar
dan Menengah, Departemen P dan K.
Soeharsono, 2002. Anthrax sporadik, tak perlu panik. Dalam kompas, 12 September
2002, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0209/12/iptek/anth29.htm
(dikunjungi 6 Maret 2003).

Anda mungkin juga menyukai