Anda di halaman 1dari 42

Bab III

Teori Dasar

3.1. Analisa Sistem Nodal


3.1.1. Pengantar Analisa Sistem Nodal
Analisa sistem nodal atau biasa disebut sistem analisis optimasi produksi
adalah sebuah prosedur untuk menentukan flow rate pada sumur oil dan gas yang
berproduksi dan untuk mengevaluasi efek dari beberapa komponen seperti ukuran
tubing-string, ukuran flow-line, tekanan separator, posisi choke, safety valves, dan
kondisi well completion termasuk gravel pack dan perforasi pada sumur biasa.
Komponen-komponen tersebut dievaluasi terpisah-pisah dan dikombinasi untuk
mengoptimasi seluruh sistem sehingga mendapatkan aliran produksi yang paling
effisien. Adapun tujuan dari nodal analisis adalah sebagai berikut :
1. Untuk menentukan flow rate pada sumur oil dan gas yang berproduksi dengan
mempertimbangkan geometry wellbore dan batasan komplesi (awalnya secara
natural flow).
2. Untuk menentukan kondisi aliran ketika sumur masih mengalir atau mati.
3. Untuk menentukan waktu yang tepat untuk memasang installasi artificial lift
dan membantu dalam memilih metode pengangkatan yang optimum.
4. Untuk mengoptimasi sistem agar memproduksi flow rate yang diinginkan.
5. Untuk mengecek setiap komponen dalam sistem sumur untuk menentukan
bagian mana yang tidak diperlukan untuk menahan flow rate.
6. Untuk membantu management operator dan engineer staff dalam menambah
laju produksi.
Sebelum ada analisa sistem nodal, banyak sumur minyak dan gas diseluruh
dunia yang belum dioptimasi untuk mendapatkan rate yang effisien, faktanya
adalah beberapa sumur bahkan belum mencapai rate maximumnya, karena hal
tersebut menyebabkan penempatan artificial lift tidak mendapatkan effisiensi
yang seharusnya. Optimasi sistem produksi sumur minyak dan gas dengan analisa
sistem nodal telah berkontribusi untuk meningkatkan teknik komplesi, produksi,
dan effisiensi banyak sumur. Walaupun analisa dengan tipe ini sudah diajukan

11

oleh Gilbert pada tahun 1954 tapi analisa ini baru intensif digunakan pada tahun
1980an.
Hal dasar yang diperlukan untuk analisa optimasi sumur dengan analisa
sistem nodal adalah Inflow Performance Relationship (IPR) sumur pada kondisi
terkini. Data well test yang akurat harus didapatkan dan IPR dapat dibuat sehingga
analisa sukses dilakukan. Kemudian model dari komponen-komponen sumur
dapat digunakan untuk memprediksi performa sumur. Pada gambar 3.1.
diperlihatkan detail flowing well system yang berawal dari reservoir diteruskan
sampai ke separator.

Gambar 3.1. Kemungkinan Pressure Losses Dalam Sistem Sumur yang Lengkap
(Brown, Kermit E., 1977)

3.1.2. Productivity Index


Productivity Index adalah suatu indeks atau derajat pengukuran kemampuan
produksi suatu sumur yang didefinisikan sebagai perbandingan antara rate
produksi terhadap tekanan draw down, dinyatakan dalam stock tank barrel per
day.

12

Secara khusus, PI didasarkan pada gross liquid production, tapi ada juga
yang berdasarkan dengan rate produksi minyak (qo). Secara matematis bentuknya
dapat dituliskan sebagai berikut :

PI J

q
Ps Pwf
................................................................................. (3-1)

dimana :
q

= gross liquid rate, STB/day

Ps

= tekanan statik reservoir, psi

Pwf

= tekanan aliran di dasar sumur, psi

(Ps-Pwf) = draw-down, psi


Persamaan Darcy untuk aliran radial dinyatakan dalam STB/hari ialah:

qo

7.082 x10 -3 k o h Ps Pwf


r
o B o ln e
rw
.............................................................. (3-2)

Bila Ps Pwf pada persamaan 3-2 dipindah ruas maka akan diperoleh nilai PI,

qo
7.082 x10 -3 k o h

r
Ps Pwf
Bo o ln e
rw
............................................................. (3-3)

3.1.3. Inflow Performance Relationship


Productivity index yang diperoleh secara langsung maupun secara teoritis
hanya merupakan gambaran secara kualitatif mengenai kemampuan suatu sumur
untuk berproduksi. Dalam kaitannya dengan perencanaan suatu sumur, ataupun
untuk melihat kelakuan suatu sumur untuk berproduksi, maka harga PI dapat
dinyatakan secara grafis, yang disebut dengan grafik Inflow Performance
Relationship (IPR). Berdasarkan definisi produktivity index, maka variabelnya
adalah laju produksi (q) dan tekanan aliran dasar sumur (Pwf). Oleh karena itu
pesamaan tersebut dapat diubah menjadi :

13

Pwf Ps

q
PI

........................................................................................... (3-4)

Gambar 3.2. Kurva Inflow Performace Relationship


(Brown, Kermit E., 1977)

Arah lengkungan menunjukkan bahwa PI akan berkurang dengan naiknya


laju produksi. Hal ini terutama pada reservoir yang mempunyai mekanisme
pendorong solution gas drive, sedangkan pada water drive reservoir harga PI-nya
relatif konstan. Arah lengkungan yang terjadi seperti yang ditunjukkan pada
gambar 3.2., disebabkan karena harga Pwf berada di bawah bubble point pressure,
sewaktu minyak mendekati sumur, tekanan akan turun terus dan akan
mengakibatkan terlepasnya gas dari minyak. Jadi gas bebas yang terjadi akan
meningkat jumlahnya, sehingga menaikkan saturasinya, juga permeabilitas efektif
gas naik, maka akibatnya akan menurunkan permeabilitas efektif minyak. Harga
GOR (Gas Oil Ratio) pada rate produksi yang tinggi akan naik, karena dengan
naiknya drawdown, permeabilitas efektif akan naik pula. Alasan-alasan inilah
yang menyebabkan kurva IPR tidak lurus apabila P wf berada di bawah tekanan
bubble point atau pada kondisi ini diketahui bahwa ada 2 fasa fluida yang
mengalir. Untuk membuat kurva IPR pada kondisi 2 fasa ada sebuah persamaan
yang terkenal yang disebut dengan persamaan Vogel.

14

15

3.1.4. Kurva IPR 2 fasa


Pembuatan grafik IPR untuk aliran dua fasa pada mulanya dikembangkan
oleh Weller, dimana Weller menurunkan persamaan Productivity Index atau J
untuk reservoir gas. melihat persamaan yang digunakan serta cara pemecahannya,
ternyata cara Weller tersebut cukup rumit dan tidak praktis serta memerlukan
komputer. Selanjutnya Vogel mengemukakan suatu cara yang lebih sederhana
dibandingkan dengan metode Weller. Dasar pengembangan metode Vogel adalah
persamaan Weller, yang menghasilkan suatu bentuk persamaan sebagai berikut :
q
q max

P
1 0.2 wf
Ps

P
0.8 wf

Ps

............................................................ (3-5)

Umumnya di sekitar lubang sumur terjadi kerusakan formasi, baik sebagai


akibat invasi lumpur pemboran, maupun sebagai akibat peningkatan saturasi gas
dan air di sekitar lubang bor. Apabila hal ini ditemui, maka kondisi pengembangan
persamaan Vogel tidak bisa lagi dipergunakan.
3.1.5. Future Inflow Performance Relationship
Muskat menunjukkan bahwa perbandingan indek produktivitas antara satu
waktu dengan waktu yang lain dapat dinyatakan sebagai hubungan :

J 1 k ro

J 2 o B o

k ro
o Bo

..................................................................... (3-6)
Dengan perhitungan material balance untuk reservoir bertenaga pendorong gas
terlarut, Fetkovich menunjukkan bahwa hubungan antara permeabilitas relatif
minyak dengan tekanan reservoir merupakan hubungan yang linier. Dengan
demikian perbandingan antara permeabilitas relatif minyak untuk waktu yang
berbeda dapat dinyatakan sebagai perbandingan tekanan reservoirnya. Hal ini
dapat dituliskan sebagai berikut :

16

k ro P r

Pr
P ri

.........................................................................................(3-7)

Dengan demikian perubahan kinerja aliran fluida dari formasi ke lubang sumur
dari suatu waktu tertentu ke waktu berikutnya, akan sebanding dengan
perbandingan tekanan reservoirnya. Hal ini dinyatakan dalam persamaan :
P r2

q o J 'o1

P r2 2 P wf 2

P r1

................................................................. (3-8)

Persamaan tersebut di atas dapat digunakan untuk meramalkan kurva IPR di


waktu yang akan datang.
Eckmeir mencatat bahwa jika kita menggunakan persamaan Fetkovich
untuk static pressure pada waktu 1 dan dibagi dengan inflow equation untuk static
pressure pada waktu 2 kita akan mendapatkan persamaan untuk menentukan qo max
pada waktu 2. Bisa dilihat pada persamaan 3-9 merupakan persamaan untuk
kondisi awal.

q o J 'o1 P r2 P wf

2 n

........................................................................... (3-9)

Jika pada persamaan 3-8 dan persamaan 3-9 di cari q max nya (asumsikan n = 1 dan
Pwf = 0) kemudian kita bagi. Maka akan didapatkan persamaan seperti berikut
q o max1

q o max2

P r1


P r2

................................................................................ (3-10)

Persamaan ini disebut persamaan kombinasi dari Fetkovich dan Vogel untuk
peramalan kurva IPR, karena dengan menggunakan persamaan diatas, kita hanya
butuh satu test pada kondisi saat ini dimana kita bisa mendapat q o max1. Dengan
mengetahui qo

max1

dan Pr1, kita akan mendapatkan qomax2 pada kondisi static

17

pressure yang kita inginkan, dan setelah itu kita menggunakan persamaan Vogel
untuk membuat kurva IPR.

18

3.1.6. Aliran Multifasa pada Pipa


Aliran multi fasa pada pipa didefinisakan sebagai pergerakan dari gas bebas
dan liquid dalam pipa secara bersamaan. Pada kondisi ini gas dan liquid
diibaratkan sebagai campuran yang homogeneous, atau liquid mungkin berbentuk
slug dengan gas yang mendorongnya dari belakang. Masalah pada aliran multifasa
dapat dibedakan menjadi 4 kategori, yaitu :
1. Vertical multiphase flow
2. Horizontal multiphase flow
3. Inclined multiphase flow
4. Directional multiphase flow
Gambar 3.3. memperlihatkan area dimana 4 masalah pada aliran multifasa terjadi.

Gambar 3.3. Area yang dilewati Aliran Mutifasa


(Brown, Kermit E., 1977)

Aplikasi korelasi aliran multifasa digunakan untuk memprediksi pressure loss


dalam pipa dan ini sangat penting pada industri minyak dan gas. Dengan
mengetahui komposisi fluida, maka dengan menggunakan korelasi kurva yang ada
nilai tekanan alir sumur atau tekanan kepala sumur dapat diketahui. Gambar 3.4
dan 3.5 memperlihatkan cara penggunaan Multiphase flow gradient curve.

19

Gambar 3.4. Mencari nilai Pwf dengan Kurva Vertical Flowing Pressure Gradient
(Brown, Kermit E., 1984)

20

Gambar 3.5. Mencari nilai Pwh dengan Kurva Horizontal Flowing Pressure Gradient dengan
data Tekanan Separator
(Brown, Kermit E., 1984)

21

3.1.6.1.............................................................................................................Pressu
re Loss pada Pipa Vertikal
Ada banyak korelasi menghitung kehilangan tekanan pada pipa vertikal,
salah satu korelasi yang terkenal yakni korelasi Hagedorn-Brown. Berikut adalah
langkah-langkah untuk menghitung kehilangan tekanan pada pipa vertikal.
1. Mulai dengan mendata tekanan yang diketahui sebagai P1, dan asumsikan nilai
P2 dan kalkulasikan kedalaman yang dicari.
2. Hitung tekanan rata-rata (psia) dengan rumus :
p1 + p2
+ 14,7 .................................................................... (3-11)
P rata-rata =
2
3. Hitung spesific gravity dari minyak o
141,5
o = 131,5+ API .................................................................................. (3-12)
4. Hitung total masa yang ada pada stock tank liquid
1
WOR
m = o (350) 1+ WOR + g (350) 1+ WOR

+ (0,0764) (GLR) g

...................................................................................................................(3-13)
5. Hitung masa laju alir
w = qm ...................................................................................................... (3-14)
6. Dari gambar 3.6 dapatkan Rs pada P rata-rata dan T rata-rata.

22

Gambar 3.6. Mencari nilai Rs untuk Korelasi Hagedorn Brown


(Brown, Kermit E., 1977)

7. Kalkulasi densitas pada fasa liquid.


o ( 62,4 ) + Rs g (0,0764)/5,614
L
=
Bo

w (62,4)

( 1+WOR
WOR )]

1
( 1+ WOR
)

.......................................................................... (3-15)

8. Asumsikan T rata-rata sama dengan konstan, cari nilai Z dari gambar 3.7.

Gambar 3.7. Mencari nilai Z untuk Korelasi Hagedorn Brown


(Brown, Kermit E., 1977)

9. Hitung densitas rata-rata dari fasa gas.

23

g rata-rata = g (0,0764)

520
1
( P ratarata
)(
)(
14,7
T ratarata Z )

............. (3-16)

10. Hitung viskositas rata-rata dari korelasi yang ada, sebagai catatan Tekanan
rata-rata dan temperature rata-rata dibutuhkan.
11. Hitung viskositas rata-rata air dari gambar 3.8.

Gambar 3.7. Mencari nilai w untuk Korelasi Hagedorn Brown


(Brown, Kermit E., 1977)

12. Hitung viskositas campuran liquid.


1
WOR
L = O 1+ WOR + W 1+ WOR

........................................... (3-17)

13. Asumsikan tegangan permukaan konstant pada tiap tekanan, hitung tegangan
permukaan liquid campuran .

24

L = O

1
( 1+ WOR
)+

( 1+WOR
WOR )

............................................. (3-18)

14. Hitung Liquid Viscosity Number.


1/ 4
1
NL = 0,15726 L
........................................................... (3-19)
L+ L3

15. Dari gambar 3.8. tentukan CNL.

Gambar 3.8. Mencari nilai CNL untuk Korelasi Hagedorn Brown


(Brown, Kermit E., 1977)

16. Hitung luas tubing.


d2
AP =
4 ........................................................................................... (3-20)
17. Dari gambar 3.9. cari nilai O pada tekanan dan temperature rata-rata

25

Gambar 3.8. Mencari nilai o untuk Korelasi Hagedorn Brown


(Brown, Kermit E., 1977)

18. Asumsikan Bw = 1.0, hitung superficial liquid velocity VsL, ft/sec.


5,61 qL
1
WOR
Bo
+ Bw
vsL = 86400 Ap
............................... (3-21)
1+WOR
1+WOR

{ (

) (

)}

19. Hitung liquid velocity number.


1/ 4
L
NLV = 1,938 vsL L
...................................................................... (3-22)

( )

20. Hitung superficial gas velocity


vsg

qL GLRRs

1
( 1+WOR
)}

86400 Ap

14,7
Z ratarata
( P ratarata
)( T ratarata
)(
)
520
1

................................................................................................................(3-23)
21. Hitung Gas velocity Number
22. Check flow regime untuk menentukan apakah lanjut menggunakan korelasi
Hagedorn Brown atau korelasi Griffith untuk aliran gelembung.
nilai A hitung dengan

26

A = 1,071 -

[ 0,2218( vsL+ vsg)2 ]

/d..................................................... (3-24)

jika A 0,13, maka gunakan nilai dari perhitungan A, jika bukan, maka nilai
A adalah0,13. Kemudian cari nilai B dihitung dengan rumus
vsg
B = vSL+vsg ..................................................................................... (3-25)
jika B-A adalah positif, maka nilainya adalah 0 maka korelasi Hagedorn dan
Brown dapat digunakan, jika B-O adalah negative, maka Hagedorn Brown
tidak dapat digunakan dan diganti dengan korelasi Griffith.
23. Hitung pipe diameter Number
L
Nd = 120,872 d
L ......................................................................... (3-26)

24. Hitung fungsi korelasi Hold Up


NLV
Pratarata 0,19 CNL
= Ngv 0,575
14,7
Nd

)(

) ( )

25. Cari HL/ dari gambar 3.9.

27

........................................... (3-27)

Gambar 3.9. Mencari nilai HL/ untuk Korelasi Hagedorn Brown


(Brown, Kermit E., 1977)

26. Tentukan koreksi parameter faktor ke dua


Ngv NL 0,380
2,14
=
.............................................................. (3-28)
Nd
27. Hitung dari gambar 3.10.

Gambar 3.10. Mencari nilai untuk Korelasi Hagedorn Brown


(Brown, Kermit E., 1977)

28

28. Hitung nilai HL


HL
HL =
().................................................................. (3-29)

( )

29. Hitung Reynold Number untuk mencari friksi faktor


2,2 x 102 w
(NRe)TP = (d )(LHL )( g1 HL) ............................................................. (3-30)
30. Tentukan nilai /d.
31. Cari friksi faktor dari gambar 3.11.

Gambar 3.11. Mencari nilai friksi faktor untuk Korelasi Hagedorn Brown
(Brown, Kermit E., 1977)

32. Hitung rata-rata densitas dua fasa.


m rata-rata = L rata-rata HL + g rata-rata (1- HL).............................. (3-31)
33. Ulangi langkah 6, 8, 17, 18, dan 20 untuk P1 dan P2.
34. Hitung kecepatan campuran dua fasa pada P1 dan P2.
vm1 = vSL1 + vsg1........................................................................................ (3-32)
vm2 = vSL2 + vsg2........................................................................................ (3-33)

29

35. Hitung nilai (vm2)


2
2
(vm2) = [ v m1 v m 2 ] ......................................................................... (3-34)
36. Hitung h sebagai pengganti p = P1 P2.
2
vm
144 Spm D
2 gc
2
h=
.......................... (3-35)
fw
P ratarata+
2,9652 x 1011 d 5 m ratarata

( )

37. Mulai dengan P2 dan kedalaman pada P2, asumsikan tekanan yang lain dan
ulangi prosedur hingga mendapatkan kedalaman yang diinginkan.
Untuk mempercepat perhitungan, korelasi Hagedorn dan Brown telah dijadikan
spreadsheet dengan nama macro Hagedornbrown.xls.

Gambar 3.12. Tampilan macro Hagedornbrown.xls untuk Mencari nilai Tekanan Well Head

30

3.1.6.2.............................................................................................................Pressu
re Loss pada Pipa Horizontal
Ada banyak korelasi menghitung kehilangan tekanan pada pipa horizontal,
salah satu korelasi yang terkenal yakni korelasi Beggs dan Brill. Berikut adalah
langkah-langkah untuk menghitung kehilangan tekanan pada pipa Horizontal.
1. Estimasikan kehilangan tekanan yang terjadi
2. Hitung tekanan rata-rata.
Jika P1 downstream pressure
P rata-rata = P1 +

DP
2 .......................................................................... (3-36)

Jika P1 upstream pressure


P rata-rata = P1 -

DP
2 ........................................................................... (3-37)

3. Hitung densitas liquid dan gas pada kondisi rata-rata dari tekanan dan
temperature.
o =

(350 o +0,0764 Rs g)
................................................................. (3-38)
5,615 Bo

g =

0,0764 g P rata 2 520


14,7 ( T rata 2+ 460 ) Zg ................................................................. (3-39)

4. Hitung laju alir insitu dari liquid dan gas.


qg =

3,27 107 Zg qo ( GLRRs ) (T rata 2+ 460)


................................... (3-40)
P rata 2

qL = (6,49) 10-5 (qo x Bo)........................................................................... (3-41)


5. Hitung kecepatan campuran dari liquid dan gas
Ap = 0,785 x D2......................................................................................... (3-42)
VsL = qL/Ap................................................................................................. (3-43)
Vsg = qg/Ap................................................................................................. (3-44)
Vm = VsL + Vsg............................................................................................ (3-45)
6. Hitung laju alir flux
GL = L x VsL............................................................................................. (3-46)
Gg = g x Vsg............................................................................................. (3-47)

31

Gm = GL + Gg............................................................................................. (3-48)
7. Hitung no-slip holdup
=

qL
q L +q g ............................................................................................ (3-49)

8. Hitung nilai NFR dan viskositas campuran


2

Vm
g d ............................................................................................ (3-50)

NFR =
m

[(

+ g ( 1 ) ) ]

x ((6,72) 10-4)............................................. (3-51)

9. Hitung no-slip Reynolds Number dan Liquid velocity number


NRens =

Gm d
m ......................................................................................... (3-52)

NLv = 1,938 VsL

L
L

0,25

( )

..................................................................... (3-53)

10. Tentukan pola pola aliran dengan parameter korelasi


L1 = 316 0,302.......................................................................................... (3-54)
L2 = 0,10 x -1,4516.................................................................................... (3-55)
L3 = 0,0009252 x -2,4684.......................................................................... (3-56)
L4 = 0,5 x -6,738........................................................................................ (3-57)
Dari parameter yang dihitung, maka didapatkan pola aliran yang terjadi
Segregated yakni < 0,01 dan NFR < L1 atau 0,01 dan NFR L2
transition yakni 0,01 dan L2 < NFR L3
Intermittent yakni 0,01 < 0,4 dan L3 < NFR L1 atau 0,4 dan L3 < NFR
L4
Distributed yakni < 0,4 dan NFR L1 atau 0,4 dan NFR > L4
11. Hitung Horizontal hold up HL (O), jika pola aliran adalah transition maka
interpolasi antara pola aliran segregated dan intermittent.
HL (O) =

a x b
N FR x c

............................................................................. (3-58)

Tabel 3.1. Nilai a, b, c pada pola Aliran Korelasi Beggs Brill

32

(Brown, Kermit E., 1977)

Flow pattern
Segregated
Intermittent
Distributed

a
0,98
0,845
1,065

b
0,4846
0,5351
0,5824

c
0,0868
0,0173
0,0609

12. Hitung densitas dua fasa


tp = L x HL + g x (1 HL).................................................................... (3-59)
13. Hitung nilai y, ln(y) dan S untuk mencari rasio friksi
y
S

2
[ H L O ] .................................................................................. (3-60)

=
ln
(
y
)]
[

................................................................................................................(3-61)

{0,0523+3,182 x ln ( y ) 0,8725 x [ ln ( y ) ] + 0,01853 x [ ln( y )] }


2

14. Hitung faktor friksi no-slip


0,5

fns = 0,0056 +

0,32

( N Rens )

..................................................................... (3-62)

15. Hitung faktor friksi 2 fasa


ftp = fns x exp(S)........................................................................................ (3-63)
16. Hitung P yang terjadi
f xG xV m
DZ x tp m
2 x gc x d
P =
x V m x V sg
1 tp
gc X Prata 2

17. Dari hasil perhitungan nilai P harus sama dengan nilai P estimasi, jika tidak,
ulangi perhitungan dari awal hingga nilai P

sama dengan P estimasi.

Perhitungan akan selesai jika nilai tekanan yang diestimasi sama atau
mendekati dengan nilai P yang dihitung.
3.1.7. Analisa Nodal di Berbagai Titik

33

Analisa sistem nodal merupakan suatu sistem pendekatan untuk optimasi


sumur minyak dan gas dengan cara mengevaluasi secara menyeluruh. Nodal
merupakan titik pertemuan antara dua komponen dan pada titik pertemuan
tersebut secara fisik akan terjadi kesetimbangan dalam bentuk kesetimbangan
masa fluida yang mengalir ataupun kesetimbangan tekanan. Analisa sistem nodal
ini dilakukan dengan membuat diagram tekanan laju produksi yang merupakan
grafik yang menghubungkan antara perubahan tekanan dan laju produksi untuk
setiap komponen, menghasilkan perpotongan kurva Inflow Performance
Relationship (IPR) dan Outflow Performance, perpotongan kedua kurva tersebut
akan menghasilkan laju produksi optimum seperti yang terihat pada Gambar 3.13.

Gambar 3.13. Kurva Performa Nodal Analysis


(Brown, Kermit E., 1984)

Dengan adanya pilihan titik nodal dan berdasarkan fasilitas serta ketersediaan
peralatan penunjang di lapangan dapat memberikan referensi dan informasi apa
yang harus dilakukan di sumur tersebut agar mendapatkan rate produksi optimum.
Berikut empat lokasi titik nodal yang umum sering digunakan:
1. Titik nodal di dasar sumur.
Merupakan pertemuan antara komponen formasi produktif/reservoir dengan
komponen tubing apabila komplesi sumur adalah open hole atau pertemuan

34

antara komponen tubing dengan komponen komplesi yang diperforasi atau bergravel pack.
2. Titik nodal di kepala sumur.
Merupakan pertemuan antara komponen tubing dan pipa salur dalam hal sumur
tidak dilengkapi dengan jepitan atau merupakan pertemuan komponen tubing
dengan komponen jepitan bila sumur dilengkapi jepitan.

35

3. Titik nodal di separator.


Merupakan pertemuan antara komponen pipa salur dengan komponen
separator.
4. Titik nodal di upstream dan downstream jepitan.
Sesuai dengan letak jepitan, titik nodal merupakan pertemuan antara komponen
jepitan dengan komponen tubing, apabila jepitan dipasang di tubing sebagai
safety valve atau pertemuan antara komponen tubing di permukaan dengan
komponen jepitan apabila jepitan dipasang di kepala sumur.
Ketika sebuah jepitan diinstall pada sistem sumur (contohnya safety valve atau
choke) maka akan memberikan pressure drop yang berpengaruh terhadap fungsi
laju alir. Formula umum yang digunakan untuk menghitung tekanan yang
berhubungan dengan aliran multifasa yang melewati choke telah dibuat oleh
Gilbert. Berikut adalah persamaannya :

Pwh

435 R 0,546 ( q)
S 1,89

............................................................................ (3-64)

Dimana :
Pwh = Wellhead Pressure, psig
R

= gas-liquid ratio, Mcf/bbl

= flow rate, b/d

= choke bean diameter

Gilbert mengembangkan persamaan ini dari data di California dan menyimpulkan


bahwa persamaan ini valid selama downstream pressure kurang dari 70% dari
upstream pressure atau rasio dari Pd/Pwh 0,7. Persamaan ini cukup akurat untuk
menentukan mengatur ukuran choke yang dibutuhkan di awal.

36

3.2. Decline Curve Analisis


3.2.1. Pengantar Decline Curve Analisis
Peramalan produksi yang akan datang merupakan bagian terpenting dalam
analisa ekonomi eksplorasi dan pengeluaran biaya produksi. Analisa kurva
penurunan (decline curve) produksi merupakan suatu cara untuk peramalan
produksi yang akan datang berdasarkan kapasitas produksi dari suatu sumur
tersebut. Decline Curve adalah salah satu metode untuk melakukan peramalan
produksi yang akan datang dimana konsep dasarnya adalah trend atau pola
produksi dimasa lampau diperkirakan akan terjadi juga dimasa yang akan datang.
Dari analisa tersebut dapat diketahui karakteristik produksi dari suatu sumur
tersebut, antara lain adalah :
1. Batas waktu akhir produksi yang bernilai ekonomis (economic limit).
2. Jumlah produksi pada titik batas economic limit.
3. Cadangan tersisa (remaining reserves) dengan mengevaluasi sejarah produksi.
Faktor-faktor tersebut merupakan suatu fungsi yang kompleks dari beberapa
parameter yang terdapat pada reservoir (parameter formasi), lubang sumur, dan
pada penanganan fasilitas permukaan. Beberapa kondisi harus berlaku sebelum
menganalisa decline curve suatu produksi dengan suatu derajat keabsahan (degree
of reability) tertentu. Produksi harus dalam keadaan stabil selama periode analisa.
Oleh sebab itu aliran sumur dalam memproduksi hidrokarbon harus dalam
keadaan

konstan

(indeks

produksi

dianggap

konstan).

Hal

tersebut

mengindikasikan bahwa sumur telah diproduksikan pada kapasitas dan kondisi


tertentu. Pengamatan penurunan produksi seharusnya merefleksikan produktivitas
reservoir dan bukan karena penyebab faktor eksternal, seperti perubahan kondisi
produksi, kerusakan sumur, rusaknya peralatan dan lain-lain. Kondisi reservoir
yang stabil juga harus berlaku dengan baik untuk mengekstrapolasikan decline
curve dengan derajat keabsahan tertentu. Kondisi tersebut akan secara normal
dicapai selama mekanisme produksi tidak berubah.
Grafik yang umum yang digunakan adalah tipe (q vs t) dimana memberikan
pendekatan grafis yang dinamakan decline curve. Dan hubungan antara laju alir
setiap waktu dengan kumulatif produksinya (q t vs Np) seperti yang terlihat pada

37

gambar. (I.Constant Percentage Decline, II.Hyperbolic Decline, III.Harmonic


Decline).

Gambar 3.14. Grafik Laju Produksi Vs Waktu pada Analisa Decline Curve
(JJ Arps, 1970)

Gambar 3.15. Grafik Laju Produksi vs Produksi Kumulatif


(Arps, JJ., 1970)

Kurva penurunan (decline curve) terbentuk akibat adanya penurunan produksi


yang disebabkan adanya penurunan tekanan statis reservoir seiring dengan
diproduksinya hidrokarbon, yaitu minyak atau gas. Para ahli reservoir mencoba
menarik hubungan antara laju produksi terhadap waktu dan terhadap produksi
kumulatif dengan tujuan memperkirakan produksi yang akan datang (future
production) dan umur reservoir (future life).

38

3.2.2. Penentuan Economic Limit Rate (qLimit)


q
Economic Limit Rate ( Limit ) adalah laju produksi minimal dimana jumlah
penghasilan yang diterima dari hasil penjualan produksi akan sama dengan jumlah
biaya yang diperlukan untuk menghasilkan produksi tersebut.
Secara matematis menurut Thompson R. S. 1985, Economic Limit Rate

( q Limit ) dapat dirumuskan:


q Limit ( STB/day ) =

OPC
30,4 SP

............................................................... (3-65)

Dimana :
OPC = Monthly Operating Cost, $/month.
SP

= Sales Price, $/bbl.

30,4 = Konversi satuan waktu dari bulan ke hari.


Biaya Operasi (Operating Cost) merupakan biaya yang dikeluarkan baik
sehubungan dengan adanya operasi produksi (variable cost) maupun biaya yang
pasti dikeluarkan oleh perusahaan berupa administrasi umum yang tidak
berpengaruh terhadap besar kecilnya produksi (fixed cost). Contoh biaya operasi
yang termasuk dalam variable cost adalah lifting cost, HSE, production tool, dan
equipment maintenance, gaji pegawai non staf dan sebagainya.
3.2.3. Klasifikasi Decline Curve Analysis
Salah satu observasi yang sangat terkenal telah dipublikasikan oleh Arps
pada tahun 1945 yang menyajikan hasil sebuah studi mengenai data produksi.
Secara umum dicline curve dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan harga
eksponensial decline-nya (b).
1

Exponential decline / Constant percentage decline, yang dicirikan dengan


terjadinya penurunan laju produksi per unit waktu secara proporsional dengan
laju produksi dimana decline exponent nya sama dengan nol (b=0).

39

Harmonik Decline, dimana decline exponennya sama dengan satu (b=1).

Hiperbolic Decline, dimana decline exponennya antara nol sampai satu


(0<b<1).

Untuk menentukan besarnya eksponen decline dapat ditentukan menggunakan


persamaan dibawah ini :
d
b=

( dqq/dt )
dt

............................................................................... (3-66)

dimana:
b = exponent decline.
q = production rate, BOPD atau MCFPD.
t = time, day.
Eksponen atau constant decline merupakan metode yang sederhana, dinilai
lebih konservatif, dan lebih luas pada penggunaan persamaan decline curve. Tipe
analisa ini lebih sering digunakan karena alasan-alasan sebagai berikut :
1. Beberapa sumur dan lapangan secara actual sebagian besar lebih mengikuti
trend constant percentage decline dari umur produksinya dan hanya terjadi
penyimpangan pada akhir dari periode tersebut.
2. Secara sistematis, constant percentage decline sederhana dan mudah untuk
digunakan dari pada dua tipe yang lain.
3. Perbedaan antara constant precentage decline dengan kedua tipe yang lain,
lebih sering terjadi pada beberapa tahun saja di masa yang akan datang. Ketika
perbedaan tersebut diabaikan pada saat perhitungan, dan biasanya hal tersebut
tidak begitu berarti.
3.2.3.1.

Exponential Decline Curve

Exponential decline curve disebut juga geometri decline atau semilog


decline atau constant precentage decline mempunyai ciri khas yaitu penurunan

40

produksi pada suatu interval waktu tertentu sebanding dengan laju produksinya.
Lebih jelasnya dapat dilihat pada persamaan dibawah ini :
D=

dq/dt
q

.................................................................................... (3-67)

Dimana :
D

= nominal decline rate.

= laju produksi pada waktu t.


dq /dt

penurunan produksi terhadap waktu.

Nilai D pada exponential decline curve adalah konstan. Tanda negatif


ditambahkan pada sisi kanan agar D bernilai positif. Atas dasar hubungan diatas,
apabila variabel-variabelnya dipisahkan maka dapat ditarik beberapa macam
hubungan yaitu hubungan antara laju produksi terhadap waktu dan hubungan laju
produksi terhadap produksi komulatif.
3.2.3.1.1. Hubungan Laju Produksi terhadap Waktu Exponential Decline
Curve
Variabel-variabel q dan t pada persamaan exponential decline curve
diintegrasikan menggunakan batas q = qi untuk t = 0 dan q = qt untuk t = t,
sehingga diperoleh suatu hubungan laju produksi terhadap waktu sebagai berikut :
D=

dq/dt
q

qt

ln

qt
=D t
qi

=D dt
dq
qo dt
0

q t=q i expD t .................................................................................. (3-68)

41

Persamaan 3-68 akan membentuk suatu kurva linear apabila laju produksi diplot
terhadap waktu pada kertas semi-log dengan kemiringan sebesar D, seperti terlihat
pada Gambar 3.16.

Gambar 3.16. Grafik Hubungan Laju Produksi terhadap Waktu pada Tipe Exponential
Decline
(Arps, JJ., 1970)

3.2.3.1.2. Hubungan

Laju

Produksi

terhadap

Produksi

Kumulatif

Exponential Decline Curve


Produksi kumulatif merupakan jumlah produksi yang diperoleh dalam
waktu tertentu. Hubungan laju produksi terhadap produksi kumulatif diperoleh
dengan mengintegrasikan variabel q dan t dengan batas t = 0 untuk Np = 0 dan t =
t untuk Np = Np, sehingga diperoleh suatu hubungan laju produksi terhadap
waktu sebagai berikut :
t

N p= q dt
0

N p=qi eD t dt
0

q i ( 1eD t )
N p=
D
N p=

( q iq )
D

..................................................................................... (3-69)

42

Persamaan 3-69 akan memberikan grafik garis lurus bila laju produksi

(q )

diplot terhadap produksi kumulatif

( N p)

pada kertas skala cartesian

seperti terlihat pada Gambar 3.17. berikut :

Gambar 3.17. Grafik Hubungan Laju Produksi terhadap Produksi Kumulatif pada Tipe
Exponential Decline
(Arps, JJ., 1970)

3.2.3.2.

Hyperbolic Decline Curve

Hyperbolic decline curve adalah suatu tipe kurva dimana harga loss ratio (a)
mengikuti deret hitung, sehingga turunan pertama loss ratio terhadap waktu (b)
mempunyai harga konstan atau relatif konstan. Harga b berkisar antara 0-1 dan
secara matematis dapat ditulis sebagai berikut :
d
b=

q
( dq/dt
) = da
dt

dt

........................................................................... (3-70)

Terlihat dari persamaan diatas bahwa penurunan produksi persatuan waktu


merupakan fraksi produksi yang besarnya sebanding dengan qb :
1 dq
D= =K q b ,dimana 0< b<1 ................................................... (3-71)
q dt

43

Grafik hubungan antara laju produksi terhadap waktu dan laju produksi terhadap
produksi kumulatif dapat dibuat berdasarkan persamaan 3-71 diatas.
3.2.3.2.1. Hubungan Laju Produksi terhadap Waktu Hyperbolic Decline
Curve
Grafik

hubungan

laju

produksi

terhadap

waktu

didapat

dengan

mengintegrasikan Persamaan 3-24 dengan batas q = qi untuk t = 0 dan q = qt


untuk t = t, sehingga diperoleh persamaan :
Untuk kondisi mula-mula.
Di

K=
t

q ib

Di

qt

qi

dq

q b = qb +1
0

b Di t
qi

=q tbqib

q t=q i ( 1+ b Di t )

1
b

.......................................................................... (3-72)

Plot laju produksi terhadap waktu pada kertas kartesian akan membentuk suatu
kurva hiperbola seperti terlihat pada Gambar 3.18.

44

Gambar 3.18. Grafik Hubungan Laju Produksi terhadap Waktu Pada Tipe Hyperbolic
Decline
(Arps, JJ., 1970)

3.2.3.2.2. Hubungan Laju Produksi terhadap Produksi Kumulatif Hyperbolic


Decline Curve
Hubungan laju produksi terhadap produksi kumulatif dapat diperoleh
dengan mengintegrasikan laju produksi yang ada terhadap waktu sebagai berikut :
t

N p= q t dt ..................................................................................... (3-73)
0

Apabila

qt

dari persamaan 3-27 disubstitusikan pada persamaan diatas, maka

akan diperoleh :
t

N p=qi
0

N p=

( 1+ b Di t )

1
b

dt

( b1 )
q ib
1( 1+b D i t ) b
( 1b ) Di

[ ()]

q ib
q
N p=
1 t
qi
( 1b ) Di
N p=

3.2.3.3.

1b

q ib
q i(1b )qt (1b) ] .......................................................... (3-74)
[
( 1b ) Di

Harmonic Decline Curve

Harmonic decline curve merupakan bentuk khusus dari hyperbolic decline


curve dimana turunan pertama loss ratio terhadap waktu (b) sama dengan 1. Sama
seperti dua tipe sebelumya, hubungan laju produksi terhadap waktu dan hubungan
laju produksi terhadap produksi kumulatif dapat diperoleh dari tipe decline ini.

45

3.2.3.3.1. Hubungan Laju Produksi terhadap Waktu Harmonic Decline


Curve
Hubungan

laju

produksi

terhadap

waktu

dapat

diperleh

dengan

mengintegrasikan persamaan berikut :


b=

d q
dt dq
dt

( )

...................................................................................... (3-75)

Setelah dilakukan integrasi dengan memasukan batas-batasnya dan dengan


memasukan harga b = 1, maka didapat :
q t=q i ( 1+ D i t )

.............................................................................. (3-76)

Apabila dibuat hubungan antara laju produksi terhadap waktu dari Persamaan 376 pada kertas log-log, maka akan diperoleh suatu kurva garis lurus seperti
Gambar 3.19. berikut :

Gambar 3.19. Grafik Hubungan Laju Produksi terhadap Waktu pada Tipe Harmonic
Decline
(Arps, JJ., 1970)

46

3.2.3.3.2. Hubungan Laju Produksi terhadap Produksi Kumulatif Harmonic


Decline Curve
Hubungan laju produksi terhadap produksi kumulatif dapat dibuat dengan
mengintegrasikan laju produksi untuk waktu t sebagai berikut :
t

N p= q t dt ..................................................................................... (3-77)
0

Berdasarkan Persamaan 3-77, apabila q disubstitusikan akan diperoleh


persamaan:
t

N p= q i ( 1+ Di t )1 dt
0

N p=

N p=

N p=

qi
( ln Diln Dt )
Di
qi
q
q
ln i ln t
Di
dq
dq
dt
dt

qi
q
ln i
Di
qt

( )

................................................................................. (3-78)

Plot antara laju produksi terhadap kumulatif produksi dari persamaan 3-78 pada
kertas semi-log akan membentuk suatu kurva garis lurus seperti Gambar 3.20.
berikut :

47

Gambar 3.20. Grafik Hubungan Laju Produksi terhadap Produksi Kumulatif pada Tipe
Harmonic Decline
(Arps, JJ., 1970)

3.2.4. Penentuan Tipe Decline Curve


Tipe decline curve ditentukan sebelum melakukan peramalan cadangan dan
umur reservoir. Penentuannya dapat dilakukan dengan menggunakan trial and
error method dan fitting curve method.
Meode Ekstrapolasi Kurva Fit adalah satu dari beberapa metode untuk
menentukan jenis dari decline curve, dimana prinsip dari metode ini adalah
dengan mengasumsikan harga b dari 0 sampai dengan 1. Langkah-langkah untuk
menentukan jenis decline curve dengan metode ekstrapolasi kurva fit ini adalah
sebagai berikut:
1. Buat tabulasi bentuk spreadsheet harga laju produksi ( q ) dan waktu ( t ) .
2. Ambil dua titik pada kurva dekat daerah ekstrim (misalnya:
3. Tentukan harga

Di

t 1 ; q 1 dan t 2 ;q 2

, dimana:

Tabel 3.2. Di untuk Fitting Curve Method


(Arps, JJ., 1970)

Exponential
qi
ln
qt
D=
t

( )

Hyperbolic
b
qi
1
qt
D=
b t

()
48

Harmonic
qi
1
qt
D=
t

( )

).

Di

4. Berdasarkan harga

, tentukan harga q pada waktu t, dimana:

Tabel 3.4. qt untuk Fitting Curve Method


(Arps, JJ., 1970)

Exponential

Hyperbolic

q t=q i eD t

q t=q i ( 1+ b Di t )

Harmonic
1
b

q t=q i ( 1+ D i t )1

5. Tentukan jenis kurva dengan menggunakan chi-square test, suatu tes untuk
mengetahui perbedaan data perkiraan (model) terhadap data aktual
(sebenarnya), dimana persamaan chi-square test tersebut sebagai berikut:
X 2=

( value of observedvalue of expected )2


valueof expected

X =

( f iF i )

Fi

....................................................................... (3-79)

Dimana :
fi

observed value.

Fi

expected value.

6. Harga

X 2 yang paling kecil menunjukan derajat kesalahan yang paling kecil

dari aktualnya.
7. Pilih harga (6) tersebut sebagai tipe decline curve-nya.
3.3. Sifat Fisik Fluida
3.3.1.
Kelarutan Gas
Kerarutan gas dalam minyak merupakan besarnya kuantitas gas dalam
minyak satuannya adalah scf/stb, dan diberi symbol Rs. Rs bisa dicari dengan
metode Vasquez dan Beegs.

49

Rs = C1 x g x

C2

x exp

C3 x

( 36,9
84,2+460 )]

....................... (3-80)

Tabel 3.5. Nilai C1, C2, C3 untuk Mencari Nilai Rs pada Metode Vasquez Beggs
(Tarek, Ahmed, 2006)

API 30
0,0362
1,0937
25,7240

Coefficient
C1
C2
C3

API > 30
0,0178
1,1870
23,931

3.3.2.
Viskositas
Viskositas cairan adalah suatu ukuran tentang besaran keengganan cairan
untuk mengalir dan dinotasikan dengan . Viskositas sangat dipengaruhi oleh
temperatur, tekanan dan jumlah gas yang terlarut dalam minyak. nilai viskositas
pada kondisi saturated bisa dicari dengan persamaan Beal dan Beggs-Robinson.
a'od= 10(0,43 + 8,33/API)
od =

.......................................................................... (3-81)
7

0,32+

)(

1,8 x (10 )
360
x
1,53
T +200
API

a'

........................................... (3-82)

aod = 10,715 x (Rs + 100)-0,515.............................................................. (3-83)


bod = 10,715 x (Rs + 150)-0,338.............................................................. (3-84)
ob = a x (od)b..................................................................................... (3-85)
3.3.3.
Faktor Volume Formasi
Untuk menyatakan hubungan volumetris fluida yang terdapat di reservoir
terhadap kondisi permukaan digunakan suatu faktor, yaitu faktor volume formasi.
Volume stock tank di permukaan adalah lebih kecil dari volume cairan yang
meninggalkan reservoir. Perubahan ini adalah akibat perubahan temperatur dan
tekanan reservoir terhadap temperatur dan tekanan permukaan. salah satu metode
untuk mencari nilai faktor Volume Formasi adalah Metode Standing.

Bo = 0,9759 + 0,000120 x

[ ( )
g
Rs x
o

50

1,2

0,5

+1,25 x T

....................... (3-86)

51

3.3.4.

Gas Liquid Ratio

Merupakan perbandingan dari gas dan fluida yang diproduksikan, dapat


dicari dengan membagi laju alir gas dengan laju air fluida atau dengan korelasi
sebagai berikut.

GLR =

B
( o 0 )(62,4 0 )
.............................................................. (3-87)
0,0136 g

Dimana :
GLR = Gas Liquid Ratio; scf/stb
o

= densitas oil; lb/ft3

= SG oil

= SG gas

52

Anda mungkin juga menyukai