Anda di halaman 1dari 43

13

BAB III
TEORI DASAR
3.1.

Aliran Fluida dalam Media Berpori


Fluida yang mengalir dari formasi produktif ke dasar sumur dipengaruhi

oleh beberapa faktor, yaitu:


a.
b.
c.
d.

Sifat-sifat fisik batuan formasi


Geometri sumur dan daerah pengurasan
Sifat-sifat fisik fluida formasi
Perbedaan tekanan antara formasi produktif dengan dasar sumur pada

saat terjadi aliran.


Keempat faktor tersebut diatas, secara ideal harus diwakili di dalam setiap
metode perhitungan kinerja aliran fluida dari formasi masuk ke lubang sumur.
Tentang aliran fluida dalam media berpori telah dikemukakan oleh Darcy
dalam persamaan :
v

q
k dp
.
......................................................................................(3-)
A
dL

Persamaan tersebut berlaku untuk aliran horisontal, fluida satu fasa dan
incompressible. Persamaan ini selanjutnya dikembangkan untuk kondisi aliran
dari formasi ke lubang sumur, yang merupakan aliran radial, dimana dalam satuan
lapangan persamaan tersebut berbentuk:
q

0,007082 k h (Pe Pwf)


................................................................(3-)
o B o ln (re /rw )

Dimana:
q

= laju produksi, STB/hari

= permeabilitas efektif, mD

= tebal formasi produktif, ft

Pe

= tekanan formasi pada jarak re dari sumur, psi

Pwf

= tekanan aliran di dasar sumur, psi

= viskositas minyak, Cp

Bo

= faktor volume formasi, Bbl/STB

re

= jari-jari pengurasan sumur, ft

rw

= jari-jari sumur, ft.

14

Persyaratan yang harus dipenuhi untuk penggunaan persamaan (32)


adalah:
a. Fluida berfasa satu
b. Aliran mantap (steady state)
c. Formasi homogen
d. Fluida incompressible.
3.1.1. Productivity Index
Productivity Index (PI) adalah indeks yang digunakan untuk menyatakan
kemampuan produksi suatu sumur pada kondisi tertentu. Secara definisi PI adalah
perbandingan antara laju produksi yang dihasilkan oleh suatu sumur pada suatu
harga tekanan alir dasar sumur tertentu dengan perbedaan tekanan dasar sumur
pada keadaan statik (Ps) dan tekanan dasar sumur pada saat terjadi aliran (Pwf)
atau dapat dinyatakan dalam persamaan:
PI

q
, bbl/day/psi......................................................................(3-)
Ps Pwf

Dengan melakukan subtitusi persamaan (32) ke dalam persamaan (33),


maka PI juga dapat ditentukan berdasarkan sifat fisik batuan dan fluida reservoar,
serta geometri sumur, yaitu:
PI

0,007082 k h
...............................................................................(3-)
o B o ln (re /rw )

Dengan catatan bahwa persamaan (3-4) dapat digunakan asalkan


memenuhi persyaratan dari persamaan (3-3). Persyaratan pada persamaan (3-3)
tidak selalu dapat dipenuhi, misalnya yang sering dijumpai dalam praktek adalah
adanya gas dalam aliran. Hal ini terjadi jika tekanan reservoar berada di bawah
tekanan jenuh minyak (bubble point). Pada kondisi ini PI tidak dapat ditentukan
dengan persamaan (3-3) dan (3-4), dan harga PI untuk setiap harga Pwf tertentu
tidak sama dan selalu berubah.
Sehubungan dengan perubahan tersebut, maka untuk kondisi di atas maka
persamaan PI, dapat diperluas menjadi:

15

PI

dq
...............................................................................................(3-)
dPwf

Persyaratan fasa satu untuk persamaan (3-3), dapat juga tidak terpenuhi
jika aliran fluida tersebut terdapat air formasi. Tetapi dalam praktek, keadaan ini
masih dapat dianggap berfasa satu, sehingga persamaan (3-3) dapat lebih
diperjelas dengan memasukkan laju produksi air ke dalam persamaan tersebut:
PI

qo q w
...........................................................................................(3-)
Ps Pwf

Sesuai dengan persamaan Darcy (persamaan 3-2), maka persamaan (3-6)


dapat dinyatakan dalam bentuk:
PI

kw
0,007082 h k o

............................................................(3-)
ln (re /rw ) o B o w B w

Bentuk lain yang sering digunakan untuk mengukur produktivitas sumur


adalah Specific Productivity Index (SPI) yang didefinisikan sebagai perbandingan
antara PI dengan ketebalan, yaitu:
SPI

PI
..................................................................................................(3-)
h

SPI sering digunakan untuk membandingkan produktivitas sumur-sumur


yang berada dalam suatu lapangan.
3.1.2. Grafik Inflow Performance Relationship (IPR)
Productivity Index (PI) yang diperoleh dari hasil tes maupun dari perkiraan
hanya merupakan gambaran secara kualitatif tentang kemampuan suatu sumur
untuk berproduksi. Dalam kaitannya dengan perencanaan suatu sumur maupun
untuk melihat kelakuan suatu sumur untuk berproduksi, maka harga PI tersebut
dapat dinyatakan secara grafis, yang disebut grafik Inflow Performance
Relationship (IPR). Berdasarkan definifi PI pada persamaan (3-3), untuk suatu
saat tertentu dimana Ps konstan dan PI juga konstan, maka variabelnya adalah laju
produksi (q) dan tekanan aliran dasar sumur (Pwf). Persamaan (3-3) dapat diubah
menjadi:

16

Pwf Ps

q
..........................................................................................(3-)
PI

Bedasarkan asumsi di atas, maka bentuk persamaan (3-3) merupakan garis


lurus, seperti ditunjukkan pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1.
Grafik IPR Ideal (Linear)
(Beggs, Dale H., 1978)
Titik A adalah harga Pwf pada saat q = 0 dan sesuai dengan persamaan (33), Pwf = Ps. Titik B adalah harga q pada saat Pwf = 0,sesuai dengan persamaan
(3-3): q = PI x Ps, harga laju produksi ini merupakan harga laju produksi
maksimum, yang disebut sebagai potensial sumur, dan merupakan batas laju
produksi maksimum yang diperbolehkan dari suatu sumur.
Jika sudut OAB adalah , maka:
tan

OB Ps xPI

PI .........................................................................(3-)
OA
Ps

Dengan demikian harga PI menyatakan kemiringan dari garis IPR. Bentuk


garis IPR yang linier tersebut dapat juga diturunkan dari persamaan aliran radial
dari Darcy, yaitu persamaan (3-2) dan (3-4).

17

Persyaratan yang sulit untuk dipenuhi adalah persyaratan fluida yang


mengalir satu fasa. Muskat menyatakan jika fluida yang mengalir terdiri dari dua
fasa (minyak dan gas) maka bentuk grafik IPR akan merupakan lengkungan, dan
harga PI tidak lagi merupakan yang konstan, karena kemiringan garis IPR akan
berubah secara kontinyu, untuk setiap harga Pwf (Gambar 3.2.). Dalam hal ini
persamaan (3-3) tidak berlaku lagi, dan secara umum definisi yang tepat adalah
persamaan (3-5).

Gambar 3.2.
Grafik IPR Tidak Linier
(Beggs, Dale H., 1978)
Pembuatan grafik IPR untuk aliran dua fasa pada mulanya dikembangkan
oleh Weller, dimana Weller menurunkan persamaan PI untuk solution gas drive
reservoar, sebagai berikut:

kh re rw
PI

kB
Pe

ro

Pw

dp
o

r
1 2
2
141,294re ln e re rw Pe PW
rw 2
2

...........................................(3-)

Dalam menurunkan persamaan di atas diterapkan beberapa asumsi, yaitu:


a. Bentuk reservoar adalah lingkaran dan terbatas (bounded reservoir)
dan sumur berada tepat di tengah lingkaran.
b. Media berpori uniform dan isotropis, dan harga Sw konstan di setiap
titik.
c. Pengaruh gradien tekanan diabaikan.

18

d. Kompresibilitas air dan batuan diabaikan.


e. Komposisi minyak dan gas konstan.
f. Tekanan pada fasa minyak dan gas sama.
g. Kondisi semi-steady state, dimana laju desaturasi minyak sama di
setiap titik pada saat tertentu.
Untuk perhitungan integral persamaan (3-11) harus ditentukan terlebih
dahulu kro sebagai fungsi dari tekanan. Untuk itu mula-mula ditentukan terlebih
dahulu saturasi terhadap tekanan yang dapat ditentukan dengan persamaan:
So
Bo

dP

So

Bo

dR S
1 dB o 1 S w S o


Bg
B o dP B o
Bo
5,615B o dP
kg o
1
ko g

Bg

B
g

dP

....(3-)

Dari persamaan (3-12) dapat ditentukan dSo/dP, dan berdasarkan hal ini
perubahan kro terhadap tekanan dapat ditentukan dengan persamaan:
dk ro dk ro dSo

.................................................................................(3-)
dP dSo dP

Dimana:
dkro/dSo = harga kemiringan (slope) dari grafik kro vs So.
Melihat persamaan di atas cara penyelesaiannya cukup rumit, sehingga
cara Weller ini dianggap tidak praktis.
Selanjutnya Vogel menemukan suatu cara yang lebih sederhana jika
dibanding dengan metode Weller. Dasar pengembangan metode Vogel, adalah
persamaan Weller, dimana berdasarkan persamaan tersebut, Vogel membuat grafik
IPR untuk:
a. Beberapa harga recovery kumulatif tertentu.
b. Beberapa harga viskositas minyak tertentu.
c. Beberapa harga permeabilitas relatif dan kondisi-kondisi lain.
Hal yang sama dilakukan oleh Vogel untuk berbagai viskositas minyak
yang berbeda, kemudian grafik-grafik tersebut diplot sebagai Dimensionless
IPR dan berdasarkan hasil IPR tak berdimensi tersbut, Vogel membuat kurva

19

dasar IPR yang mewakili semua kondisi yang diamati, dan merupakan peratarataan dari kurva-kurva IPR tak berdimensi yang diperoleh. Untuk tujuan praktis,
kurva IPR tak berdimensi dinyatakan dalam bentuk persamaan:
qo

q o max

Pwf
Pwf
1 0,2
0,8

Ps
Ps

.......................................................(3-)

Dimana:
qo

= laju produksi, STB/D

qmaz

= laju aliran minyak maksimum pada saat Pwf = 0, STB/D

Pwf

= tekanan alir dasar sumur, psi

Ps

= tekanan statik dasar sumur, psi

Seberapa jauh ketelitian dari kurva dasar IPR tersebut setelah diuji oleh
Vogel, dengan membandingkan IPR hasil perhitungan dengan komputer dan IPR
yang dibuat dengan menggunakan Gambar 3.3. atau persamaan (3-14). Ternyata
kesalahan maksimum untuk reservoar yang bersangkutan kurang dari 5% untuk
hampir seluruh masa produksi dan meningkat menjadi 20% selama masa terakhir
produksi. Meskipun kesalahan 20% kelihatannya cukup tinggi, tetapi harga
kesalahan sebenarnya kurang dari 0,5 bbl/hari. Pada Gambar 3.4. menunjukkan
perbedaan perhitungan IPR.

Gambar 3.3.
IPR untuk Solution Gas Drive Reservoar (Beggs, Dale H., 1978)

20

Gambar 3.4.
Perbandingan IPR untuk Aliran Cairan, Gas, dan Dua Fasa
(Beggs Dale H., 1978)
Sesuai dengan persamaan Weller yang digunakan untuk solution gas drive
reservoar, yang merupakan dasar pengembangan cara Vogel, maka penggunaan
cara dasar IPR tersebut, hanya berlaku untuk solution gas drive reservoar saja.
Selain itu, hanya berlaku untuk aliran dua fasa (minyak dan gas). Tetapi dalam hal
reservoar-partial water drive, dimana terdapat sumur-sumur yang terisolasi dari
perembesan air, kurva dasar IPR masih dapat digunakan.
3.1.3. Pembuatan Kurva IPR
Sesuai dengan definisi PI, untuk membuat kurva IPR diperlukan data:
a. Laju produksi
b. Tekanan alir dasar sumur
c. Tekanan statis
Ketiga data tersebut diperoleh dari tes produksi dan tes tekanan yang
dilakukan pada sumur yang bersangkutan. Berdasarkan ketiga data tersebut dapat
dibuat IPR sesuai dengan kondisi aliran fluidanya, baik satu fasa maupun dua
fasa.

3.1.3.1. Metode Vogel

21

Metode ini untuk mengembangkan kurva IPR dua fasa, yang merupakan
penyempurnaan dari metode Weller, dimana Vogel membuat persamaan empiris
dari bentuk dasar kurva IPR tak berdimensi untuk reservoir solution gas drive,
yaitu persamaan (3-14). Pembuatan kurva IPR dengan persamaan ini memerlukan
satu data uji produksi (qo dan Pwf) dan uji tekanan statik.
Sesuai dengan penurunannya, persamaan (3-14) hanya berlaku apabila
tidak terjadi kerusakan atau perbaikan formasi (faktor skin = 0). Persamaan ini
dikembangkan untuk menentukan kurva IPR, apabila tekanan statik lebih besar
daripada tekanan jenuh. Pada kondisi ini kurva IPR terdiri dari dua bagian seperti
terlihat pada gambar 3.5, yaitu :
1. Kurva IPR yang linier, apabila tekanan alir dasar sumur lebih besar dari
tekanan jenuh. Pada kondisi ini persamaan kurva IPR berupa :
PI

qo
Ps Pwf ....................................................................................(3-15)

2. Kurva IPR yang tidak linier, apabila tekanan alir dasar sumur lebih kecil
dari tekanan jenuh. Pada kondisi ini persamaan kurva IPR berupa :
q qb ( q max

Pwf
P
0,8 wf
qb ) 1 0,2

Pb
Pb ....................................(3-16)
2

Harga qb ditentukan menurut persamaan (3-15) sebagai berikut :


qb = PI(Ps Pb)..................................................................................(3-17)
Harga PI lebih dahulu dihitung berdasarkan data uji tekanan dan produksi
sebagai berikut :
a. Apabila dari uji produksi diperoleh Pwf > Pb, maka untuk menghitung PI
digunakan persamaan (3-15).
b. Apabila dari uji produksi diperoleh Pwf < Pb, maka :
PI

qo
Pb
Pwf
Pwf
Ps Pb
0,8

1 0,2
1,8
Pb
Pb .................................(3-18)
2

Pemakaian persamaan (3-16) memerlukan harga qmax dihitung menurut


persamaan :

22

q max q b

PI Pb
1,8 ..............................................................................(3-19)

Gambar 3.5.
Kurva IPR di Atas dan di Bawah Bubble Point Pressure.
(Beggs, Dale H., 1978)
3.2.

Aliran Fluida dalam Pipa

3.2.1. Persamaan Dasar Aliran Fluida dalam Pipa


Persamaan dasar aliran fluida dalam pipa dikembangkan dari Persamaan
Energi, yang menyatakan keseimbangan energi antara dua titik dalam sistem
aliran fluida. Persamaan ini mengikuti hukum konservasi energi, yang
menyatakan bahwa energi yang masuk ke titik pertama ditambah dengan kerjakerja yang dilakukan oleh dan terhadap fluida di antara titik pertama dan kedua,
dikurangi dengan energi yang hilang di antara kedua titik tersebut sama dengan
energi yang keluar dari titik kedua. Hukum konservasi energi tersebut dapat
dituliskan dalam persamaan berikut:
2

mv
mgh1
mv
mgh2
U 1 p1V1 1
Q W U 2 p 2V2 2
........................(3-20)
2gc
gc
2gc
gc
Dimana:
U

= energi dalam, N

pV

= energi dalam ekspansi atau kompresi

mv 2
2 gc

= energi kinetik

23

mgh
= energi potensial
gc

= energi panas yang ditambahkan

= kerja yang dilakukan terhadap fluida

Persamaan (3-20) merupakan hukum konservasi energi yang akan


dikembangkan menjadi persamaan aliran fluida dalam pipa, dengan menggunakan
konsep-konsep termodinamika, dimana dapat diperoleh persamaan untuk
menghitung kehilangan tekanan.
A. Reynolds Number
Reynolds Number adalah parameter tidak berdimensi yang menunjukkan
perbandingan antara gaya inersia dengan gaya viskositas atau dapat dirumuskan
sebagai berikut:
Re

1488 vd
....................................................................................(3-21)

Dimana:

= densitas fluida, lbm/ft3

= kecepatan aliran ft/sec

= pipa ID, ft

= viskositas fluida, cp

B. Regim Aliran
Regim aliran menggambarkan aliran fluida secara alami. Ada dua jenis
aliran yaitu aliran laminer dan aliran turbulen. Aliran laminer mempunyai
Reynolds number kurang dari 2100 dan aliran turbulen mempunyai Reynolds
number lebih besar dari 4000. Sedangkan untuk aliran fluida yang mempunyai NRe
antara 2100 - 4000 disebut dengan aliran transisi.
C. Teorema Bernoulli
Pada umumnya untuk menyatakan energi yang terkandung di dalam fluida
disebut energi potensial yang diistilahkan dalam tinggi ekivalen atau Head
dalam kolom fluida. Sesuai dengan pernyataan di atas, Bernoulli membagi energi
total pada satu titik menjadi beberapa, yaitu:
1. Head karena ketinggian

24

2. Head tekanan yang disebabkan oleh energi potensial yang terkandung


di dalam tekanan fluida pada suatu titik
3. Head kecepatan yang disebabkan oleh energi kinetik yang terdapat di
dalam fluida.
Dengan menganggap bahwa fluida tidak melakukan kerja dan tidak
dikenai kerja maka persamaan Bernoulli dapat ditulis sebagai berikut:
Z

144P1 v12
144P2 v 22

Z2

H L ................................................(3-22)
1
2g
2
2g

Dimana:
Z

= head ketinggian, ft

= tekanan, psi

= densitas, lb/ft3

= kecepatan, ft/sec

= konstanta gravitasi

HL

= friction head loss, ft.

D. Persamaan Darcy
Persamaan ini sering disebut juga persamaan Weisbach atau persamaan
Darcy-Weisbach yang menyatakan bahwa Head-loss akibat gesekan antara dua
titik pada suatu bagian pipa adalah berbanding lurus dengan kecepatan dan
panjang pipa dan berbanding terbalik dengan diameter pipa atau dapat ditulis :
HL

fLV 2
D2g

..........................................................................................(3-23)

Dimana:
HL

= head-loss karena gesekan, ft

= panjang pipa, ft

= diameter pipa, ft

= gesekan

Persamaan (3-22) dan (3-23) dapat dipakai untuk menghitung tekanan


pada setiap titik di dalam sistem pemipaan jika tekanan, kecepatan alir, diameter
pipa, dan elevasi diketahui. Sebaliknya, jika tekanan, diameter pipa, dan elevasi
diketahui pada dua titik, maka kecepatan alir dapat dihitung.

25

Pada sistem pemipaan, perbedaan head ketinggian dan perubahan


kecepatan antara dua titik dapat diabaikan sehingga persamaan (3-22) menjadi:
P1 P2 P

H L ........................................................................(3-24)
144

Dimana P = penurunan tekanan antara titik 1 dan 2, psi


Substitusi persamaan (3-23) ke persamaan (3-24):
P

f L V2
144 D 2g

....................................................................................(3-25)

Substitusi D = d/12
Dimana d = diameter pipa, in
P

f L V 2 (12)
........................................................................(3-26)
144 D 2(32,2) d

Sehingga persamaan menjadi:


P 0,0013

f L V2
..........................................................................(3-27)
d

E. Faktor Gesekan Moody


Variabel f yang terdapat pada persamaan-persamaan sebelumnya disebut
faktor gesekan Moody dan besarnya nilai f ditentukan dari diagram Moody
(Gambar 3.6.). Faktor gesekan ini sering juga disebut faktor gesekan Fanning,
dimana harganya satu per empat dari faktor gesekan Moody. Dalam beberapa
referensi faktor gesekan yang digunakan adalah Moody dilain pihak faktor
gesekan Fanning juga sering digunakan. Latihan penggunaan faktor gesekan ini
harus sering dilakukan untuk menghindari kesalahan penggunaan faktor gesekan.

26

Gambar 3.6.
Diagram Moody (Beggs, Dale H., 1978)
Pada umumnya, faktor gesekan merupakan fungsi dari Reynolds number,
Re, dan kekasaran relatif pipa, /D. Untuk aliran laminer , f hanya fungsi dari Re:
f

64
.................................................................................................(3-28)
Re

Untuk aliran turbulen, f merupakan funsi dari kekasaran pipa dan Re. Pada
nilai Re yang sangat tinggi, f hanya fungsi dari /D
3.2.2. Kehilangan Tekanan dalam Pipa Produksi
Persamaan kehilangan tekanan pipa yang digunakan adalah:
f v 2 vdv
dP g
sin M

...........................................................(3-29)
dL g c
2g c D g c dL

Dimana:
g
sin
gc

= kehilangan tekanan karena ketinggian

fM v2
2g c D

= kehilangan tekanan karena gesekan

vdv
g c dL

= kehilangan tekanan karena percepatan

= tekanan, lbf/ft2

= panjang pipa, ft

= percepatan gravitasi, ft/sec2

gc

= 32,17, ft-lbm/lbf-sec2

= densitas, lbm/ft3

= sudut yang dibentuk terhadap arah horisontal, derajat

fM

= faktor gesekan Darcy-Weisbach (Moody)

= kecepatan alir, ft/sec

= diameter dalam pipa, ft

Untuk aliran vertikal dimana = 900 maka sin 90 = 1 sehingga persamaan


(3-29) menjadi:

27

dP g f M u 2 udu

....................................................................(3-30)
dL g c 2g c D g c dL

Untuk aliran horisontal dimana = 00, maka sin 0 = 0 sehingga persamaan


(3-29) menjadi:
dP f M u 2 udu

............................................................................(3-31)
dL 2g c D g c dL

3.2.2.1.

Korelasi Aliran Fluida Multifasa dalam Pipa

A. Metoda Duns &Ros


Menurut Ros, metoda Poettman dan Carpenter tidak cocok untuk laju
aliran yang kecil, karena untuk laju aliran yang kecil ada energi yang hilang akibat
gas slippage atau gelembung gas naik mendahului cairan.
Ros mengemukakan teori yang berdasarkan keseimbangan tekanan pada
persamaan energi untuk aliran 1 fasa.
dP
1 / 2 2
g 4f
dh
d

..........(3-

32)
Untuk aliran dua fasa , Duns & Ros melakukan percobaan laboratorium
dengan menggunakan tekanan rendah dan komponen fluida yang digunakan
adalah udara, minyak, dan air. Pipa yang digunakan dengan panjang 10 meter dan
diameter 3,2 cm sampai dengan 8,02 m.
Sesuai dengan pengamatan, pola aliran ditentukan berdasarkan kecepatan
yang rendah dari fasa cairan dan gas. Pola aliran yang terjadi dibagi dalam tiga
pola, yaitu:
Daerah I

Fasa cair kontinyu dan fasa gas diskontinyu, berupa bubble atau
plug. Daerah ini disebut pola aliran bubble.

Daerah II :

Fasa cair dan gas diskontinyu, disebut pola aliran slug.

Daerah III :

Fasa gas kontinyu dan fasa cair terbubarkan kedalam gas disekitar
dalam pipa. Daerah ini disebut pola aliran mist.

Duns and Ros membuat korelasi liquid hold up untuk slip velocity tak
berdimensi yang dapat dihitung dengan:

28

Ns = S (L/g)0,25 ..........(3-33)
dimana:
Ns = slip velocity tak berdimensi
S = actual slip velocity
vsg

vs

1 HL

vSL
..........(3-34)
HL
volume cairan / satuan panjang
volumepipa / satuanpanjang
volume gas / satuan panjang

volume pipa / satuan panjang

H L liquid hold up
H g gas hold up

volume cairan + volume gas = volume pipa


HL + Hg = 1 .....(3-35)
Duns dan Ross mengembangkan empat kelompok tidak berdimensi
yag digunakan di dalam korelasinya, yaitu :
1/ 4

NLV = VSL

...........................................................................................................................................

(3-37)

NGV = VSg
1/ 2

(3-36)

1/ 4

...........................................................................................................................................

Nd = d

....................................................................................................................................................
1/ 4

NL = L L

.................................................................................................................................

(3-38)
(3-39)

Dimana : = tegangan permukaan


Dengan

menggunakan

kelompok

tak

berdimensi

tersebut

membuat korelasi untuk menentukan slip velocity S dan bentuk tak


berdimensi.
Setiap harga S tersebut tergantung pada pola aliran yang terjadi dan apabila
harga S = 0 berarti hold up sama dengan nol dan ini terjadi pada pola aliran
mist. Sedangkan korelasi untuk menentukan gesekan juga tergantung pada pola

29

alirannya. Dengan demikian untuk menentukan gradien tekanan aliran


Pertama-tama harus diperkirakan pola aliran yang terjadi, sesuai
dengan laju aliran dari masing-masing fasa serta keadaan dari pipa (diemeter,
kekerasan, dan sebagainya). Seperti diketahui bahwa menurut Ross gradien
tekanan total adalah penjumlahan dari gradien statik, gradien gesekan dan
gradien percepatan. Sedangkan besarnya gradien statik adalah sebagai berikut :
HL L g + (1-HL) g g ........(3-40)
Gradien percepatan umumnya diabaikan dengan demikian,
dP
H LL g (1 H L )g g friction term ..(3-41)
dh

apabila gradien tekanan dinyatakan dalam fraksi dari gardien hidrostatik cairan
Lg maka Persamaan (3-41) menjadi :

1 dP
H L (1 H L ) g friction term ......(3-42)
L g dh
L

g L , sehingga g / L 0 , maka:
G=

1 dP
H L friction term .........(3-43)
L g dh

Dimana G adalah gradien tekanan tak berdimensi.


Ternyata hasil percobaan Ros dilaboratorium mendekati hasil test
dilapangan oleh Baxendall dan Thomas.

30

Gambar 3.7.
Daerah Pola Aliran dari Korelasi Duns and Ros
(Beggs, Dale H., 1978)
B. Metode Beggs & Brill
Pola aliran merupakan suatu parameter korelasi dan tidak menyatakan
tentang pola aliran sebenarnya, kecuali apabila pipa pada kedudukan horisontal.
Pola-pola aliran yang dipertimbangkan dalam perhitungan ini, yaitu: segregated,
transisi, intermitent, dan distributed. Parameter-parameter yang diperlukan untuk
menentukan pola aliran adalah sebagai berikut :

NFR
L

v2m ..........................................................................................(3-44)
gD

vsl
...............................................................................................(3-45)
vm

L1 = 3160,302 .......................................................................................(3-46)
L2 = 0,0009252-2,4684 ..........................................................................(3-47)
L3 = 0,1-1,4516 ......................................................................................(3-48)
L4 = 0,5-6,738 .......................................................................................(3-49)
Batasan untuk tiap pola aliran adalah sebagai berikut :
1. Pola aliran segregated :

31

L<0,01 dan NFR<L1 atau L>0,01 dan NFR<L2


2. Pola aliran transisi :
L>0,01 dan L2<NFR<L3
3. Pola aliran intermitent :
0,01<L<0,4 dan L3<NFR<L1
4. Pola aliran distributed :
L<0,4 dan NFR>L1
Secara umum persamaan Hold-up cairan pada pipa horisontal, sebagai
berikut :

a b
H L (0)
c ....................................................................................(3-50)
N FR
Dimana konstanta a, b dan c berbeda untuk setiap kondisi aliran, seperti
terlihat pada Tabel III-1.
Untuk mencari liquid Hold-up pada pola aliran transisi digunakan
interpolasi dari liquid Hold-up aliran segregated dengan aliran intermittent,
dengan persamaan :
HL(transisi) = A HL(segregated) + B HL(intermittent).........................(3-51)
Dimana:
A

L3 N FR
......................................................................................(3-52)
L3 L 2

B 1 A .............................................................................................(3-53)
Tabel III-.
Konstanta untuk Penentuan Liquid Hold-up (Beggs, Dale H., 1978)
Flow Pattern
a
b
C
Segregated
0,98
0,4846
0,0868
Intermittent
0,845
0,5351
0,0173
Distributed
1,065
0,5824
0,0609
Harga liquid Hold-up pada sudut kemiringan tertentu merupakan koreksi
dari harga pada pipa horisontal, yaitu :
H L H L (0) ...............................................................................(3-54)

Dimana :

32

HL() = liquid-hold up pada sudut kemiringan pipa sebesar


HL(0) = liquid Hold-up pipa horisontal.

= faktor koreksi terhadap pengaruh kemiringan pipa


= 1 - C(Sin(1,8 ) 0,333 sin3 (1,8 )

= sudut kemiringan pipa sebenarnya terhadap bidang horisontal

= (1-L)ln(d(L)e(NFR)f(NFR)g

Dimana d, e, f, g merupakan konstanta yang besarnya tergantung dari pola


aliran seperti tercantum pada Tabel III-2 berikut :
Tabel III-.
Konstanta untuk Menghitung Harga C (Beggs, Dale H., 1978)
Pola Aliran
d
e
f

Segregated flow up-hill

0,011

-3,7680

3,5390

-1,6140

Intermittent flow

2,965

0,3050

-0,4473

0,0978

Semua pola aliran

4,700

-0,3692

0,1244

-0,5056

Beggs & Brill juga mendefinisikan faktor gesekan dua fasa (f tp) dengan
menggunakan diagram Moody untuk pipa halus, atau dengan menggunakan
persamaan berikut :

N Ren
2 .......................................(3-55)
f n 2 log
4,223
log(N
)

3,8215
Ren

Dimana :
N Ren 1488

m vmd
............................................................................(3-56)
n

n L L g g .................................................................................(3-57)

Harga ftp/fn dihitung dengan persamaan :


f tp
fn

eS ................................................................................................(3-58)

Dimana :
S

59)

ln(Y)
.........(3 0,0523 3,182ln(Y) 0,8725(ln(Y)) 2 0,01853(ln(Y)) 4

33

L
H L 2 .......................................................................................(3-60)

Harga 1<Y<1,2 parameter S dihitung dengan persamaan :


S = ln(2,2Y-1,2)....................................................................................(3-61)
Sehingga persamaan untuk faktor gesekan dua fasa adalah :
f tp

f tp
fn

f n ...........................................................................................(3-62)

Gradien tekanan sebagai akibat gesekan dihitung dengan menggunakan


persamaan berikut :

dP/dZ f

f tp n (v m ) 2
2g c d

.........................................................................(3-63)

n L L g g ..................................................................................(3-64)

Korelasi Beggs & Brill Original dilakukan pengembangan yang dikenal


dengan Beggs & Brill Revised dengan perubahan:
1. Gelembung pada regim aliran diasumsikan adalah no slip hold up
2. Friksi yang terjadi pada pipa standar diubah dengan friksi yang terjadi
pada fasa berdasarkan kecepatan aliran rata-rata.
3.3. Analisa Nodal
Sistem sumur produksi yang menghubungkan antara formasi produktif
dengan separator dapat dibagi menjadi 6 komponen, seperti ditunjukkan pada
Gambar 3.8, yaitu :
a. Komponen formasi produktif/reservoar
b. Komponen komplesi
c. Komponen tubing
d. Komponen pipa salur
e. Komponen restriksi/jepitan
f. Komponen separator
Komponen tersebut berpengaruh terhadap laju produksi sumur yang akan
dihasilkan. Laju produksi yang optimum dapat diperoleh dengan cara
memvariasikan ukuran tubing, pipa salur, jepitan dan tekanan kerja separator.

34

Pengaruh kelakuan aliran fluida masing-masing komponen terhadap sistem sumur


secara keseluruhan akan dianalisa dengan menggunakan Analisa Sistem Nodal.
Nodal merupakan titik pertemuan antara dua komponen, dimana di titik
pertemuan tersebut secara fisik akan terjadi keseimbangan dalam bentuk
keseimbangan masa ataupun keseimbangan tekanan. Hal ini berarti bahwa masa
fluida yang keluar dari suatu komponen akan sama dengan masa fluida yang
masuk ke dalam komponen berikutnya yang saling berhubungan atau tekanan
diujung suatu komponen akan sama dengan komponen yang lain yang
berhubungan.
Sesuai dengan Gambar 3.8. dalam sistem sumur produksi dapat diperoleh
4 titik nodal, yaitu :
1. Titik nodal di dasar sumur. Titik nodal ini merupakan pertemuan antara
komponen formasi produktif/reservoar dengan komponen tubing jika
komplesi sumur adalah open hole atau titik pertemuan antara
komponen tubing dengan komponen komplesi jika sumur diperforasi
atau dipasang gravel pack.
2. Titik nodal di kepala sumur. Titik nodal ini merupakan titik pertemuan
antara komponen tubing dan komponen pipa salur dalam hal sumur
tidak dilengkapi dengan jepitan atau merupakan titik pertemuan antara
komponen tubing dengan komponen jepitan jika sumur dilengkapi
dengan jepitan.
3. Titik nodal di separator. Pertemuan antara komponen pipa salur dengan
komponen separator merupakan suatu titik nodal.
4. Titik nodal di upstream/downstream jepitan. Sesuai dengan letak
jepitan, titik nodal ini dapat merupakan pertemuan antara komponen
jepitan dengan komponen tubing. Jika jepitan dipasang pada tubing
sebagai safety valve atau merupakan pertemuan antara komponen
tubing di permukaan dengan komponen jepitan, jika jepitan dipasang
di kepala sumur. Sistem nodal dilakukan dengan membuat diagram
tekanan

vs

laju

produksi,

yang

merupakan

grafik

yang

35

menghubungkan antara perubahan tekanan dan laju produksi untuk


setiap komponen.
5.

Gambar 3.8.
Sistem Sumur Produksi (Beggs, Dale H., 1978)
Hubungan antara tekanan dan laju produksi di ujung setiap komponen
untuk sumur secara keseluruhan pada dasarnya merupakan kelakuan aliran dalam:
a. Media berpori menuju dasar sumur
b. Pipa tegak/tubing dan pipa datar/horisontal
c. Jepitan (Choke)
Analisa sistem nodal terhadap suatu sumur, diperlukan dengan tujuan
untuk :
a. Meneliti kelakuan aliran fluida reservoar di setiap komponen sistem
sumur untuk menentukan pengaruh masing-masing komponen tersebut
terhadap sistem sumur secara keseluruhan.
b. Menggabungkan kelakuan aliran fluida reservoar di seluruh komponen
sehingga dapat diperkirakan laju produksi sumur.
Untuk menganalisa pengaruh suatu komponen terhadap sistem sumur
secara keseluruhan, dipilih titik nodal yang terdekat dengan komponen tersebut.
Sebagai contoh, jika ingin mengetahui pengaruh ukuran jepitan terhadap laju
produksi sumur, maka dipilih titik nodal di kepala sumur atau jika ingin diketahui
pengaruh jumlah lubang perforasi terhadap laju produksi, maka dipilih titik nodal
di dasar sumur.

36

3.4. Gas Lift


Gas Lift adalah suatu metode artificial lift yang mirip dengan proses
natural flow atau dapat dikatakan sebagai pengembangan dari proses tersebut,
fluida dapat bergerak ke permukaan sebagai akibat dari berkurangnya berat kolom
fluida dan gas yang keluar dari larutan. Gas bebas yang lebih ringan dari minyak
bergerak, mengurangi densitas dari cairan yang mengalir dan selanjutnya
mengurangi berat kolom cairan yang berada di atasnya. Turunnya berat kolom
cairan menyebabkan adanya beda tekanan antara reservoir dan lubang bor
sehingga sumur dapat mengalir berproduksi. Gas Lift lebih disukai karena
perhitungan ekonominya paling murah di antara jenis Artificial lift yang lainnya.
Ada dua metode penginjeksian yaitu Injeksi Gas Lift kontinyu (continuous flow
Gas Lift) dimana volume yang kontinyu dari gas yang bertekanan tinggi
diinjeksikan ke dalam fluida dalam tubing secara terus menerus, digunakan pada
sumur yang mempunyai tingkat produksi masih tinggi (PI > 0.5), yang kedua
adalah Intermittent flow Gas Lift dimana gas di injeksikan secara terputus-putus
pada selang waktu tertentu, digunakan pada sumur dengan produksi rendah
(PI<0,5).
Syarat-syarat dilakukan Gas Lift pada sumur, diantaranya:

Tersedianya gas dalam jumlah yang memadai untuk injeksi, baik dari
reservoirnya sendiri maupun dari tempat lain,

Fluid level masih tinggi. (lebih dari 70% untuk continuous Gas Lift).

Prinsip dasar pengangkatan pada Gas Lift adalah :

Penurunan gradien tekanan fluida di dalam tubing,

Pengembangan gas yang diinjeksikan,

Pendorongan oleh gas bertekanan tinggi yang diinjeksikan.

Keuntungan dan Kerugian Gas Lift

Karena merupakan sikle, intermittent Gas Lift hanya cocok untuk sumur yang
mempunyai laju produksi yang rendah, sedang continuous lebih effisien
digunakan pada sumur-sumur yang mempunyai laju produksi yang tinggi dimana
injeksi gas tidak menjadi hambatan.

37

Keuntungan Gas Lift adalah :

Biaya awal untuk peralatan down hole sangat murah,

Laju produksi dapat dikontrol dari permukaan,

Pemasangan peralatan dapat direncanakan untuk pengangkatan dari dekat


dengan permukaan hingga mendekati total kedalaman. Juga dapat
direncanakan untuk pengangkatan dari satu hingga beberapa ribu barrel
per hari,

Pasir yang ikut terproduksi tidak berpengaruh terhadap peralatan Gas Lift,

Tidak dipengaruhi oleh kemiringan lubang,

Peralatan yang bergerak tidak banyak sehingga tidak memerlukan


pemeliharaan khusus,

Biaya operasi murah,

Sangat ideal jika injeksi gas hanya sebagai suplemen dan gas formasi
jumlahnya cukup,

Peralatan penting (Gas Compressor) dalam Gas Lift sistem di install di


permukaan sehingga mudah untuk perawatan dan perbaikan, peralatan ini
juga dapat dipilih dengan bahan bakar gas/elektrik.

Beberapa kerugian Gas Lift adalah :

Harus terdapat gas yang mencukupi, udara, nitrogen atau gas lain
umumnya cukup mahal dan jarang yang terdapat di sekitar lokasi,

Bila gas yang digunakan bersifat korosif akan menambah biaya operasi,

Tidak efisien untuk lapangan yang kecil jika peralatan compression


diperlukan,

Problem gas freezing dan hydrate,

Problem safety untuk tekanan gas yang tinggi,

Susah untuk mengangkat emulsi dan fluida viscous.

Spasi sumur yang luas, akan mempengaruhi alokasi distribusi gas dan

38

kehilangan tekanan besar.

3.4.1. Tipe Gas Lift


Ditinjau dari cara penginjeksian gas ke dalam sumur, injeksi gas dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu:

Continous Flow, disini gas diinjeksikan secara kontinu dengan laju


tertentu selama pengangkatan fluida berlangsung,

Intermittent Flow, disini gas diinjeksikan secara terputus-putus dengan


laju besar secara berkala. Siklus injeksi diatur sesuai dengan laju aliran
fluida dari formasi ke sumur.

3.4.1.1. Continuous Flow Gas Lift


Continuous Gas Lift merupakan proses pengangkatan fluida dari suatu
sumur dengan cara menginjeksikan gas yang bertekanan relatif lebih tinggi secara
terus menerus ke dalam tubing dengan maksud untuk meringankan kolom cairan
yang ada di dalam tubing. Karena penginjeksian dilakukan secara kontinyu, maka
memerlukan kesetimbangan aliran minyak dari formasi kedalam lubang sumur
dengan rate yang cukup tinggi. Apabila dapat diperkirakan besarnya gradient
tekanan aliran rata-rata di bawah dan di atas titik injeksi, maka Pwf dapat dihitung
dengan persamaan :
Pwf = Pwh + Gfa L + Gfb (D L)...........................................................(3-65)
Keterangan:
Pwf

= Tekanan alir dasar sumur, psia

Pwh

= Tekanan pada well head, psia

Gfa

= Gradien tekanan rata-rata di atas titik injeksi, psi/ft

Gfb

= Gradien tekanan rata-rata di bawah titik injeksi, psi/ft

= Kedalaman titik injeksi, ft

= Kedalaman sumur total, ft

Dengan demikian dasar dari perencanaan Gas Lift adalah menentukan Pwf
yang diperlukan supaya sumur dapat berproduksi dengan rate yang diinginkan,
yaitu dengan cara menginjeksikan gas pada kedalaman tertentu di dalam tubing.

39

Sesuai dengan fungsinya, katup katup Gas Lift terdiri dari :


1. Katup unloading, yaitu sebagai jalan masuk dari annulus ke tubing, untuk
mendorong cairan yang semula digunakan untuk mematikan sumur.
2. Katup operasi, yaitu sebagai jalan masuk gas dari annulus ke tubing untuk
mendorong fluida reservoir ke permukaan.
3. Katup tambahan, yaitu sebagai katup operasi jika Ps turun.

Gambar 3.9.
Mekanisme Operasi Continuous Gas Lift
(Brown, K.E., 1980)
Pada tahap pertama, injeksi gas akan mengaktifkan katup-katup unloading
sehingga cairan untuk mematikan sumur akan terangkat ke permukaan dan level
cairan dalam annulus turun. Kemudian katup unloading secara bergantian bekerja
dan level cairan dalam annulus akan mencapai katup operasi. Gas injeksi akan
masuk ke dalam tubing secara kontinyu jika tekanan injeksi gas dalam annulus
lebih besar dari tekanan aliran dalam tubing. Oleh karena itu letak katup operasi
ditempatkan pada kedalaman sehingga tekanan alir dalam tubing lebih kecil dari
tekanan injeksi gas di annulus. Penempatan katup operasi ditentukan dari titik

40

keseimbangan, yaitu titik yang mana tekanan aliran di dalam tubing sama dengan
tekanan injeksi gas di annulus, setelah dikurangi dengan tekanan 100 psi.
Dengan masuknya gas injeksi melalui katup operasi maka perbandingan
gas cairan di atas titik injeksi akan lebih besar daripada perbandingan gas cairan di
bawah titik injeksi. Dengan demikian dasar perencanaan Gas Lift adalah
penentuan Pwf yang diperlukan agar sumur dapat berproduksi dengan rate yang
diinginkan, yaitu dengan cara menginjeksikan gas pada kedalaman tertentu di
dalam tubing.
Apabila perbandingan gas cairan dari formasi diketahui, maka kurva
gradien tekanan aliran mulai dari dasar sumur dapat digambarkan. Berdasarkan
tekanan injeksi gas yang tersedia, garis gradien dalam annulus dapat digambarkan
dan titik keseimbangan antara tekanan gas dalam annulus dengan tekanan alir
dalam tubing dapat ditentukan. Kemudian letak katup operasi dapat pula
ditentukan pada kedalaman yang mempunyai tekanan alir dalam tubing 100 psi
lebih kecil dari tekanan injeksi gas. Apabila tekanan alir di kepala sumur tertentu,
maka

perlu

diinjeksikan

sejumlah

gas

tertentu,

sehingga

memberikan

perbandingan gas cairan titik injeksi yang tepat dan menghasilkan gradien aliran
di atas titik injeksi yang diinginkan. Gradien aliran harus menghasilkan penurunan
tekanan sedemikian rupa sehingga tekanan aliran di permukaan sama dengan
tekanan di kepala sumur. Berdasarkan perbandingan gas cairan yang diperoleh
tersebut serta GLRf, maka jumlah gas yang diinjeksikan dapat dihitung.
Pada keadaan sebenarnya, pressure traverse yang digunakan tidak selalu
tepat dengan hasil pengukuran gradien aliran di dalam sumur. Kesalahan dapat
berkisar antara 10-20%. Dengan demikian akan terjadi pula kesalahan dalam
menempatkan katup operasi. Untuk mengatasi kesalahan ini perlu ditambah
katup-katup pada selang di atas dan di bawah katup operasi. Selang ini disebut
dengan Bracketing Envelope. Perencanaan continuous Gas Lift meliputi :

Penentuan titik injeksi,

Penentuan jumlah gas injeksi,

Penentuan kedalaman katup-katup sembur buatan.

41

3.4.1.2. Intermittent Flow Gas Lift


Intermittent flow Gas Lift digunakan pada sumur-sumur dengan volume
fluida rendah atau sumur-sumur yang mempunyai Produktivity Index (PI) rendah
dan Ps rendah, dimana PI rendah mampunyai besar < 0.5 B/D/psi dan Ps rendah
artinya kolom cairan yang terangkat kurang dari 70%.
Dalam intermittent flow Gas Lift, gas diinjeksikan secara terputus-putus
pada selang waktu tertentu sehingga dengan demikian injeksi gas merupakan
suatu siklus injeksi dan diatur sesuai dengan rate fluida yang mengalir dari
formasi ke lubang sumur.
Intermittent flow Gas Lift juga dapat disesuaikan dengan gas multi-point
melalui lebih dari satu katub Gas Lift. Instalasi ini harus direncanakan sehingga
katub Gas Lift paling bawah terbuka sementara slug paling bawah melewati
masing-masing katub. Secara normal, jenis pengangkatan seperti ini dilaksanakan
dengan menggunakan katub-katub fluid-operated (tekanan fluida dalam tubing
yang dominan).
3.4.2.

Instalasi Gas Lift


Secara umum macam instalasi secara prinsip dipengaruhi oleh apakah

sumur itu akan ditempatkan sebagai aliran intermittent atau aliran continyu, juga
pemilihan jenis valve tergantung pada sumur yang akan ditempatkan sebagai
sumur intermittent gas lift atau sebagai sumur continuous gas lift.
Kondisi sumur akan menentukan jenis instalasi yang akan dipilih. Tipe
komplesi juga penting, misalnya open hole completion perforated completion atau
gravel packed completion. Selain itu untuk perencanaan instalasi gas lift juga
diperhatikan masalah produksi pasir, water conning atau gas coning. Dalam
menentukan tipe instalasi awal harus bertitik tolak dari kemampuan sumurnya
termasuk tekanan dasar sumur dan Productivity Index (PI).
3.4.2.1.

Instalasi Terbuka (Open Installations)


Pada installasi ini tubing dipasang dalam sumur tanpa packer dan

standing valve, gas diinjeksikan melalui casing-tubing annular dan fluida


diproduksikan melalui tubing. Pada Instalasi terbuka gas harus diinjeksikan dari
bagian paling bawah tubing sehingga membutuhkan kick off point pressure yang

42

tinggi. Kerugian lainnya karena tidak dipasang packer maka fluid level bisa naik
dan turun di casing annulus, selain itu pada saat sumur di shut down maka sumur
harus di unloaded dan restabilized terlebih dahulu karena fliuda akan naik selama
masa shut down dan fluida kemungkinan bisa terproduksi melalui annulus karena
tidak ada packer. Dapat dilhat pada Gambar 3.10.
3.4.2.2.

Instalasi Setengah Tertutup (Semi Closed Installations)


Installasi setengah terbuka mirip dengan intallasi terbuka, bedanya pada

installasi ini dipasang packer dan tidak menggunakan standing valve (Gambar
3.10.). Installasi ini cocok untuk continuous flow Gas Lift dan intermittent flow
Gas Lift. Instalasi ini lebih mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan
dengan open installations. yang pertama pada saat sumur mulai diproduksikan
fluida takkan masuk kembali kedalam casing-tubing annulus. kedua tidak ada
fluida yang meninggalkan tubing dan masuk ke kedalam ruang casing.

Gambar 3.10.
Tipe Instalasi Gas Lift
( Brown, K.E., 1980 )

43

3.4.2.3. Instalasi Tertutup (Closed Installations)


Pada installasi tertutup mirip dengan instalasi setengah tertutup hanya
pada installasi tertutup dipasang packer dan standing valve (Gambar 3.11.).
Standing valve diletakan dibawah valve yang paling bawah atau pada ujung
tubing string, dimaksudkan untuk mencegah masuknya gas yang diinjeksikan ke
dalam sumur.
3.4.3. Peralatan Gas Lift
Peralatan Gas Lift dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu peralatan di atas
permukaan dan peralatan di bawah permukaan. Peralatan-peralatan tersebut saling
berhubungan dalam kelancaran proses Gas Lift.
3.4.3.1. Peralatan di Atas Permukaan Gas Lift
Peralatan di atas permukaan adalah semua peralatan yang diperlukan
untuk proses injeksi gas ke dalam sumur yang terletak di permukaan. Peralatanperalatan tersebut meliputi :
1. Well Head dan Gas Lift Christmas Tree
Well head bukan merupakan alat khusus pada operasi Gas Lift, tetapi
digunakan pada metode sembur alam. Alat ini berfungsi sebagai tempat
menggantungkan casing dan tubing serta merupakan tempat dudukan christmas
tree. Sedangkan christmas tree sendiri berfungsi untuk mengatur laju produksi dan
menjaga tekanan reservoir. Gas Lift X-mastree dipakai untuk sumur-sumur Gas
Lift yang dalam dan produksi hariannya cukup besar.
2. Stasiun Kompressor
Alat ini berfungsi untuk menaikkan tekanan gas injeksi sesuai dengan
keperluan. Di dalam stasiun kompressor terdapat beberapa buah kompressor yang
dihubungkan dengan manifold. Dari stasiun kompressor ini gas bertekanan tinggi
dikirimkan ke sumur-sumur melalui stasiun distribusi.

44

3. Stasiun Distribusi
Dalam menyalurkan gas injeksi dari kompressor ke sumur terdapat
beberapa macam cara, yaitu :

Stasiun Distribusi Langsung


Pada sistem ini gas dari kompressor disalurkan langsung ke sumur

produksi. Sistem ini mempunyai kelemahan yaitu bila kebutuhan gas untuk
masing-masing sumur tidak sama sehingga injeksi tidak efisien.

Stasiun Distribusi dengan Pipa Induk


Sistem ini lebih ekonomis karena panjang pipa dapat diperpendek. Tetapi

karena sumur yang satu berhubungan dengan sumur yang lain maka apabila salah
satu sumur sedang dilakukan injeksi gas, sumur yang lain bisa terpengaruh.

Stasiun Distribusi dengan Stasiun Distribusi


Stasiun ini sangat efektif sehingga sering digunakan. Gas dikirim dari

stasiun pusat kompressor ke stasiun distribusi kemudian dibagi ke sumur-sumur


dengan menggunakan pipa.
4. Alat-alat Kontrol
Beberapa jenis alat control yang digunakan pada operasi Gas Lift adalah :

Choke Control dan Regulator


Choke control adalah alat yang digunakan untuk mengatur jumlah gas

injeksi sehingga dalam waktu tertentu (saat valve terbuka) gas tersebut dapat
mencapai suatu harga tekanan yang dibutuhkan. Choke control ini dirangkai
dengan regulator yang berfungsi untuk membatasi jumlah gas injeksi yang
dibutuhkan. Bila gas injeksi telah cukup maka regulator akan menutup.

Time Cycle Control


Time Cycle Control adalah alat yang berfungsi untuk mengotrol laju aliran

gas injeksi dalam intermittent Gas Lift untuk interval waktu tertentu. Time cycle
control dapat diatur sesuai dengan yang diinginkan.
3.4.3.2. Peralatan Di Bawah Permukaan Gas Lift
Peralatan di bawah permukaan untuk operasi Gas Lift adalah valve (katup)
Gas Lift. Valve-valve ini dipasang pada tubing dan berfungsi untuk :

45

Mengosongkan sumur dari fluida workover atau kill fluid supaya fluida
dapat mencapai titik optimum di dalam tubing.

Mengatur aliran injeksi gas ke dalam tubing, baik pada proses unloading
(pengosongan sumur) maupun pada proses pengangkatan fluida.

1. Jenis-jenis Valve Gas Lift


Berdasarkan macam tekanan (tekanan casing atau tekanan tubing) yang
berpengaruh terhadap operasi valve, maka valve Gas Lift dapat dibagi dalam tiga
kelompok, yaitu :
a. Casing Pressure Operating Valve
Valve ini bekerja karena tekanan casing dan biasanya disebut pressure
valve. Valve ini dalam posisi tertutup sensitif (50100 %) terhadap tekanan casing
dan 100 % terhadap tekanan casing dalam keadaan terbuka. Ini berarti untuk
membuka valve diperlukan kenaikan tekanan dalam casing dan untuk menutup
valve diperlukan adanya penurunan tekanan dalam casing.
b. Fluid Operated Valve
Valve ini bekerja karena tekanan fluida dalam tubing. Dalam posisi
tertutup valve ini (50 100 %) sensitif terhadap tekanan dalam tubing dan dalam
posisi terbuka 100 % sensitif terhadap tekanan dalam tubing. Ini berarti valve akan
membuka apabila tekanan dalam tubing naik dan valve akan menutup bila tekanan
dalam tubing menurun. Operasi valve ini dapat dilihat dalam Gambar 3.11.

46

Gambar 3.11.
Fluid Operating Valve
( Brown, K.E., 1980 )
c. Thortling Pressure Valve (Valve Kontinyu)
Valve ini disebut dengan valve yang proposional atau valve aliran
kontinyu. Dalam posisi tertutup valve ini sama dengan pressure valve, tetapi
apabila dalam posisi terbuka, valve ini sensitif terhadap tekanan dalam tubing.
Berarti untuk membuka valve diperlukan tekanan dalam casing dan untuk
menutup valve diperlukan penurunan tekanan dalam tubing atau casing. Gambar
3.12. menunjukkan skema valve Gas Lift aliran kontinyu.

Gambar 3.12.
Skema Thortling Pressure Valve
( Brown, K.E., 1980 )
3.4.4. Penentuan Jumlah Gas Injeksi

47

Syarat utama yang harus dipenuhi gas injeksi adalah jumlahnya tersedia
cukup selama proses penginjeksian berlangsung, kemudian tekanannya harus
mampu sampai ke operating valve sesuai dengan yang direncanakan. Sedangkan
sumber gas yang baik untuk Gas Lift adalah bila gasnya cukup kering. Gas kering
yang tidak mengandung cairan hidrokarbon serta air akan mengurangi masalahmasalah operasional seperti korosi.
Jika sumber gas dari sumur gas atau separator yang digunakan, maka
diperlukan serangkaian proses seperti compression maupun dehydration. Gas
yang mengandung Carbon Dioxside (CO2) atau Hydrogen Sulfide (H2S) dapat
menimbulkan masalah seperti korosi, karena itu kedua impurities tersebut sedapat
mungkin dihilangkan agar tidak menggangu operasi Gas Lift, seperti berkaratnya
valve yang menyebabkan valve gas tidak bisa masuk dan bercampur dengan fluida
di dalam tubing. Jumlah gas injeksi yang diperlukan tergantung dari tersedianya
gas dalam jumlah terbatas atau tidak terbatas.
Besarnya jumlah gas injeksi untuk masing-masing sumur dapat ditentukan
dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :

q gi GLRoptimum qt max atau q gi GLRt GLR f qt max .......(3-66)


Dimana :
qgi

laju injeksi gas, scf/day.

qt max

laju produksi total maksimum, stb/day.

GLRoptimum

gas liquid ratio, scf/stb.

GLRt

gas liquid ratio total, scf/stb.

GLRf

gas liquid ratio formasi, scf/stb.

Koreksi qgi pada temperature titik injeksi :


q gi q gi correction ......(3-67)

48

Correction 0.0544 Sgi (Tpoi )

.........(3-

68)
Tb - Ts

Tpoi Ts
POI 460 ..........(3-69)
D

Dimana :
Sgi = specific gravity gas injeksi.
Tpoi = temperature pada titik injeksi, oR.
3.4.5. Penentuan Gas Liquid Ratio (GLR) Optimum
Laju injeksi gas tergantung pada GLR optimum, tekanan alir dasar sumur
yang terjadi dan laju produksi yang diinginkan. Dua hal tersebut berhubungan
dengan indeks produktivitas formasi dan tubing performance sumur.
Dengan menaikkan GLR (menambah injeksi), maka kehilangan tekanan
dalam tubing dapat dikurangi. Untuk itu diperlukan perhitungan GLR optimum,
yaitu GLR yang dapt memberikan tekanan alir dasar sumur yang minimal pada
suatu harga tertentu.Salah satu cara, yaitu dengan menghitung Pwf pada beberapa
harga GLR dengan memakai THP tertentu pada setiap laju produksinya.
Perpotongan dengan PI akan memberikan harga q dan Pwf tertentu. Dari plot
antara GLR dengan q akan didapatkan laju produksi yang maksimum dan GLR
yang optimum. Prosedur penentuan perbandingan gas-cairan yang optimum
adalah sebagai berikut :
1.
2.

Buat kurva IPR


Buat kurva tubing (Pwf vs q), pada suatu harga GLR

tertentu. Plot kurva tersebut pada kertas grafik yang sama dengan kurva IPR.
3.
Ulangi langkah 2, yaitu buat kurva tubing pada berbagai
harga GLR.

49

Gambar 3.13.
Perpotongan Kurva Tubing Intake Dengan IPR (Beggs, Dale H., 1978)
4.

Tentukan perpotongan antara setiap kurva tubing dengan

kurva IPR. Perpotongan ini menunjukkan laju produksi yang diperoleh.


5.
Plot harga GLR vs q yang diperoleh dari langkah 4.
Gunakan sumbu tegak sebagai sumbu laju produksi dan sumbu datar sebagai
6.

sumbu GLR, seperti ditunjukkan pada Gambar 3.13.


Tentukan qmax pada puncak kurva pada langkah 5.
Selanjutnya baca harga GLR pada harga q yang maksimum tersebut, GLR ini
adalah harga GLR optimum.

Gambar 3.14.
Plot GLR vs q untuk Menentukan GLR Optimum
(Beggs, Dale H., 1978)
3.4.6. Optimasi Alokasi Injeksi Gas
Pada waktu perencanaan instalasi gas lift, beberapa hal yang harus
dipertimbangkan antara lain kemampuan lapisan produktif, gas yang tersedia
untuk diinjeksikan, kemampuan sarana injeksi di penampungan dan di bawah
permukaan, kemampuan penampungan produksi di lapangan, dan tekanan
separator. Pada umumnya, yang menjadi masalah adalah keterbatasan gas yang
diinjeksikan, khususnya jika sumber gas tidak tersedia pada lapangan tersebut.
Oleh karena itu perlu dilakukan optimasasi injeksi gas untuk mendapatkan laju
produksi lapangan yang maksimum.

50

Pada dasarnya, perhitungan optimasi injeksi menggunakan metode equal


slope melalui penerapan Nodal System Analysis, dimana dapat dibuat Gas Lift
Perfomance Curve (GLPC) yang merupakan plot antara laju produksi liquid
terhadap laju injeksi gas seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.14. Dengan
demikian untuk berbagai harga laju produksi liquid dapat diketahui jumlah gas
injeksi yang dibutuhkan.

slope i

y q L ,i 1 / 2 q L ,i 1 / 2

.........................................................(3-70)
x q g ,i 1 / 2 q g ,i 1 / 2

Pada GLPC adanya kemiringan itu menandakan derajat perubahan laju


produksi liquid setiap penambahan laju injeksi gas. Untuk dua sumur atau lebih,
harga kemiringan yang sama pada GLPC masing-masing sumur menandakan
perbandingan laju produksi dan injeksi gas yang sama. Hubungan antara
kemiringan terhadap gas injeksi dan kemiringan terhadap laju produksi liquid
dapat ditentukan dari GLPC masing-masing sumur. Dengan demikian, pada suatu
harga kemiringan yang sama tersebut dapat ditentukan laju injeksi gas dan laju
produksi cairan dimana semua sumur pada harga kemiringan yang sama, dan
didapatkan laju injeksi berbeda tiap sumur berdasarkan kemiringan masingmasing, laju injeksi gas dapat dijumlahkan. Plot antara kemiringan terhadap
jumlah laju injeksi gas total disebut master plot (Gambar 3.15.).

Gambar 3.15.
Grafik Master Plot (Slope Vs Qg inj)

51

(Gaol, Ardhi H. Lumban., 2009)


Untuk suatu jumlah gas injeksi dengan menggunakan masterplot, dapat
diketahui harga kemiringan, dimana berdassarkan harga kemiringan tersebut dapat
ditentukan laju injeksi gas untuk masing-masing sumur.
3.5. Simulator Pipesim
Simulator Pipesim adalah simulator produksi yang dikeluarkan oleh Baker
Jardine, yang sejak april 2001 menjadi bagian Schlumberger.
Simulator Pipesim terdiri dari empat (4) sub-program yaitu:
a. PIPESIM, simulator yang pembuatan modelnya digunakan untuk
menghitung well performance, analisa pemipaan dan fasilitas produksi,
serta analisa jaringan.
b. GOAL, simulator yang pembuatan modelnya digunakan untuk optimasi
produksi menggunakan Gas Lift atau ESP.
c. FPT, simulator yang merupakan production network modelling dengan
time steps dan analisa produksi lapangan.
d. Hosim, simulator untuk model sumur horizontal dan multilateral.
Pipesim 2009, terdiri dari single branch model dan network model. Single
branch digunakan untuk analisa per-sumur yaitu profil tekanan dan temperatur,
sistem analisis, flow correlation matching, dan analisa nodal. Sedangkan Network
model digunakan untuk analisa jaringan dan sebagai model dasar untuk
penggunaan FPT. Berikut ini adalah beberapa bagian dari Pipesim 2009,
diantaranya:
a. Analisa Pipeline & Facilities.
b. Analisa Well Performance.
c. Analisa Jaringan (Networking).
d. Production Optimization.
3.5.1. Analisa Pipeline & Facilities
Analisa Pipeline & Facilities merupakan suatu system analisa model multi
fasa (multiphase flow model). Aplikasi dari analisa tersebut meliputi :

52

o Aliran multi fasa di dalam pipa (Multiphase flow in flowlines and


pipelines).
o Tekanan dan temperature di tiap titik (pressure and temperature
profiles).
o Perhitungan heat transfer coefficients.
o Analisa Flowline & equipment performance modeling.
o Modeling the sensitivity of a pipeline design.
o Membandingkan data terukur di lapangan dengan data hasil simulasi.
3.5.2. Analisa Well Performance
Analisa Well Performance dilakukan dengan analisa sistem nodal (Nodal
System Analysis). Tipe aplikasi dari analisa ini adalah meliputi :
o Disain sumur.
o Optimasi sumur.
o Pemodelan ulah kerja alir sumur (Well inflow performance).
o Horizontal well modeling (termasuk penentuan panjang optimum
komplesi).
o Aliran di dalam anulus dan tubing.
o Reservoir VFP table generation
o Pemodelan sensitivitas desain sumur.
o Membandingkan data terukur di lsapangan dengan data hasil simulasi.
3.5.3. Production Optimization.
Optimasi produksi dapat dilakukan pada lapangan minyak dengan
artificial lifted system (gas lift or ESP) dengan memberikan batasan-batasan
praktis pada sistem. Optimasi produksi di sini meliputi :
o Menghubungkan dengan analisa-analisa sebelumnya.
o Memecahkan sekenario multi-well commingled .
o Memberikan model produksi sumur.

53

o Mengusulkan ide kepada operator sebagai pendukung.


o Hanya untuk Black Oil.

3.5.4. Persiapan Data Lapangan


Langkah awal dalam melaksanakan simulasi produksi adalah persiapan data
lapangan yang akan disimulasikan. Proses pengumpulan dan pemilihan data
sangat penting guna keakuratan model yang dibuat, pemilihan metode-metode
dalam model dan akan semakin mendekati keadaan kenyataan di lapangan. Datadata yang akan dimasukkan dalam simulasi yaitu data reservoir dan data sumur,
data pipa dan jaringan.
Data-data reservoir yang diperlukan adalah data fluida reservoir, data
batuan reservoir dan data kondisi reservoir. Ketersedian data akan menentukan
metode-metode yang akan kita pakai dalam pembuatan model. Hasil analisa tes
sumur kita dapatkan komposisi fluida reservoir, PVT, kondisi reservoir (P dan T),
dan laju alir.
Data sumur yang diperlukan adalah data casing dan tubing, data kondisi
reservoir (tekanan dan temperatur), data kedalaman sumur dan perforasi.
3.5.5. Pembuatan Model pada PIPESIM
3.5.5.1. Pemilihan Fluida
Pemilihan fluida dalam pembuatan model digunakan black oil

atau

compositional. Pemilihan fluida dilakukan melalui setup data. Komposisi fluida


didapat dari analisa PVT pada kondisi separator, setelah data komposisi di-inputkan dengan menggunakan fasilitas single point flash dan memasukkan data
tekanan dan temperatur maka kita dapatkan viskositas, faktor kompresibilitas,
molucelar weight, dan lain-lain . Diagram fasa didapatkan dengan fasilitas phase
envelope kemudian di save dalam bentuk file *.pvt.
3.5.5.2. Pemilihan Korelasi Aliran

54

Korelasi aliran digunakan untuk menghitung kehilangan tekanan


disepanjang pipa, baik pada pipa vertikal maupun pada pipa horizontal. Penentuan
korelasi aliran disesuaikan dengan data dan asumsi yang digunakan. Korelasi yang
dipakai untuk menentukan friksi adalah korelasi Moody.
3.5.5.3. Pembuatan Model Single Branch
Data yang telah dipersiapkan akan di-input-kan melalui struktur data yang
terdapat pada tiap-tiap komponen yaitu reservoir, tubing, choke, dan komponen
fasilitas produksi lain yang akan dimasukkan dalam model.
Data input flowline adalah semua data fisik pipa dan letaknya pada
permukaan termasuk konduktivitas bahan pipa dan temperatur lingkungan dimana
pipa berada.
Pelaksanaan model dilakukan melalui eksekusi program setelah proses
validasi model, dapat dipilih operasi yang diinginkan pada menu Operations,
antara lain profil tekanan dan temperatur dan analisa nodal Model Single Branch
dan Branch.

Gambar 3.16.
Single Branch Model (Pipesim 2009)

55

Operasi profil tekanan dan temperatur digunakan untuk menghitung


besarnya tekanan dan temperatur pada sepanjang pipa, baik pada pipa vertikal
maupun pada pipa horizontal.
Analisa

nodal

digunakan

untuk

menghitung

kehilangan

tekanan

disepanjang aliran fluida reservoir. Analisa nodal dilakukan dengan titik nodal di
dasar perforasi, di kepala sumur, dan diseparator.
Hasil eksekusi atau running program dapat dilihat pada menu report
dengan memilih System Plot, Profil Plot, Output File dan Summary File. Laporan
hasil yang diinginkan juga dapat diatur dengan memasukkan pilihan pada bagian
Define output pada struktur Setup data.

Anda mungkin juga menyukai