BAB III
TEORI DASAR
3.1.
q
k dp
.
......................................................................................(3-)
A
dL
Persamaan tersebut berlaku untuk aliran horisontal, fluida satu fasa dan
incompressible. Persamaan ini selanjutnya dikembangkan untuk kondisi aliran
dari formasi ke lubang sumur, yang merupakan aliran radial, dimana dalam satuan
lapangan persamaan tersebut berbentuk:
q
Dimana:
q
= permeabilitas efektif, mD
Pe
Pwf
= viskositas minyak, Cp
Bo
re
rw
14
q
, bbl/day/psi......................................................................(3-)
Ps Pwf
0,007082 k h
...............................................................................(3-)
o B o ln (re /rw )
15
PI
dq
...............................................................................................(3-)
dPwf
Persyaratan fasa satu untuk persamaan (3-3), dapat juga tidak terpenuhi
jika aliran fluida tersebut terdapat air formasi. Tetapi dalam praktek, keadaan ini
masih dapat dianggap berfasa satu, sehingga persamaan (3-3) dapat lebih
diperjelas dengan memasukkan laju produksi air ke dalam persamaan tersebut:
PI
qo q w
...........................................................................................(3-)
Ps Pwf
kw
0,007082 h k o
............................................................(3-)
ln (re /rw ) o B o w B w
PI
..................................................................................................(3-)
h
16
Pwf Ps
q
..........................................................................................(3-)
PI
Gambar 3.1.
Grafik IPR Ideal (Linear)
(Beggs, Dale H., 1978)
Titik A adalah harga Pwf pada saat q = 0 dan sesuai dengan persamaan (33), Pwf = Ps. Titik B adalah harga q pada saat Pwf = 0,sesuai dengan persamaan
(3-3): q = PI x Ps, harga laju produksi ini merupakan harga laju produksi
maksimum, yang disebut sebagai potensial sumur, dan merupakan batas laju
produksi maksimum yang diperbolehkan dari suatu sumur.
Jika sudut OAB adalah , maka:
tan
OB Ps xPI
PI .........................................................................(3-)
OA
Ps
17
Gambar 3.2.
Grafik IPR Tidak Linier
(Beggs, Dale H., 1978)
Pembuatan grafik IPR untuk aliran dua fasa pada mulanya dikembangkan
oleh Weller, dimana Weller menurunkan persamaan PI untuk solution gas drive
reservoar, sebagai berikut:
kh re rw
PI
kB
Pe
ro
Pw
dp
o
r
1 2
2
141,294re ln e re rw Pe PW
rw 2
2
...........................................(3-)
18
dP
So
Bo
dR S
1 dB o 1 S w S o
Bg
B o dP B o
Bo
5,615B o dP
kg o
1
ko g
Bg
B
g
dP
....(3-)
Dari persamaan (3-12) dapat ditentukan dSo/dP, dan berdasarkan hal ini
perubahan kro terhadap tekanan dapat ditentukan dengan persamaan:
dk ro dk ro dSo
.................................................................................(3-)
dP dSo dP
Dimana:
dkro/dSo = harga kemiringan (slope) dari grafik kro vs So.
Melihat persamaan di atas cara penyelesaiannya cukup rumit, sehingga
cara Weller ini dianggap tidak praktis.
Selanjutnya Vogel menemukan suatu cara yang lebih sederhana jika
dibanding dengan metode Weller. Dasar pengembangan metode Vogel, adalah
persamaan Weller, dimana berdasarkan persamaan tersebut, Vogel membuat grafik
IPR untuk:
a. Beberapa harga recovery kumulatif tertentu.
b. Beberapa harga viskositas minyak tertentu.
c. Beberapa harga permeabilitas relatif dan kondisi-kondisi lain.
Hal yang sama dilakukan oleh Vogel untuk berbagai viskositas minyak
yang berbeda, kemudian grafik-grafik tersebut diplot sebagai Dimensionless
IPR dan berdasarkan hasil IPR tak berdimensi tersbut, Vogel membuat kurva
19
dasar IPR yang mewakili semua kondisi yang diamati, dan merupakan peratarataan dari kurva-kurva IPR tak berdimensi yang diperoleh. Untuk tujuan praktis,
kurva IPR tak berdimensi dinyatakan dalam bentuk persamaan:
qo
q o max
Pwf
Pwf
1 0,2
0,8
Ps
Ps
.......................................................(3-)
Dimana:
qo
qmaz
Pwf
Ps
Seberapa jauh ketelitian dari kurva dasar IPR tersebut setelah diuji oleh
Vogel, dengan membandingkan IPR hasil perhitungan dengan komputer dan IPR
yang dibuat dengan menggunakan Gambar 3.3. atau persamaan (3-14). Ternyata
kesalahan maksimum untuk reservoar yang bersangkutan kurang dari 5% untuk
hampir seluruh masa produksi dan meningkat menjadi 20% selama masa terakhir
produksi. Meskipun kesalahan 20% kelihatannya cukup tinggi, tetapi harga
kesalahan sebenarnya kurang dari 0,5 bbl/hari. Pada Gambar 3.4. menunjukkan
perbedaan perhitungan IPR.
Gambar 3.3.
IPR untuk Solution Gas Drive Reservoar (Beggs, Dale H., 1978)
20
Gambar 3.4.
Perbandingan IPR untuk Aliran Cairan, Gas, dan Dua Fasa
(Beggs Dale H., 1978)
Sesuai dengan persamaan Weller yang digunakan untuk solution gas drive
reservoar, yang merupakan dasar pengembangan cara Vogel, maka penggunaan
cara dasar IPR tersebut, hanya berlaku untuk solution gas drive reservoar saja.
Selain itu, hanya berlaku untuk aliran dua fasa (minyak dan gas). Tetapi dalam hal
reservoar-partial water drive, dimana terdapat sumur-sumur yang terisolasi dari
perembesan air, kurva dasar IPR masih dapat digunakan.
3.1.3. Pembuatan Kurva IPR
Sesuai dengan definisi PI, untuk membuat kurva IPR diperlukan data:
a. Laju produksi
b. Tekanan alir dasar sumur
c. Tekanan statis
Ketiga data tersebut diperoleh dari tes produksi dan tes tekanan yang
dilakukan pada sumur yang bersangkutan. Berdasarkan ketiga data tersebut dapat
dibuat IPR sesuai dengan kondisi aliran fluidanya, baik satu fasa maupun dua
fasa.
21
Metode ini untuk mengembangkan kurva IPR dua fasa, yang merupakan
penyempurnaan dari metode Weller, dimana Vogel membuat persamaan empiris
dari bentuk dasar kurva IPR tak berdimensi untuk reservoir solution gas drive,
yaitu persamaan (3-14). Pembuatan kurva IPR dengan persamaan ini memerlukan
satu data uji produksi (qo dan Pwf) dan uji tekanan statik.
Sesuai dengan penurunannya, persamaan (3-14) hanya berlaku apabila
tidak terjadi kerusakan atau perbaikan formasi (faktor skin = 0). Persamaan ini
dikembangkan untuk menentukan kurva IPR, apabila tekanan statik lebih besar
daripada tekanan jenuh. Pada kondisi ini kurva IPR terdiri dari dua bagian seperti
terlihat pada gambar 3.5, yaitu :
1. Kurva IPR yang linier, apabila tekanan alir dasar sumur lebih besar dari
tekanan jenuh. Pada kondisi ini persamaan kurva IPR berupa :
PI
qo
Ps Pwf ....................................................................................(3-15)
2. Kurva IPR yang tidak linier, apabila tekanan alir dasar sumur lebih kecil
dari tekanan jenuh. Pada kondisi ini persamaan kurva IPR berupa :
q qb ( q max
Pwf
P
0,8 wf
qb ) 1 0,2
Pb
Pb ....................................(3-16)
2
qo
Pb
Pwf
Pwf
Ps Pb
0,8
1 0,2
1,8
Pb
Pb .................................(3-18)
2
22
q max q b
PI Pb
1,8 ..............................................................................(3-19)
Gambar 3.5.
Kurva IPR di Atas dan di Bawah Bubble Point Pressure.
(Beggs, Dale H., 1978)
3.2.
mv
mgh1
mv
mgh2
U 1 p1V1 1
Q W U 2 p 2V2 2
........................(3-20)
2gc
gc
2gc
gc
Dimana:
U
= energi dalam, N
pV
mv 2
2 gc
= energi kinetik
23
mgh
= energi potensial
gc
1488 vd
....................................................................................(3-21)
Dimana:
= pipa ID, ft
= viskositas fluida, cp
B. Regim Aliran
Regim aliran menggambarkan aliran fluida secara alami. Ada dua jenis
aliran yaitu aliran laminer dan aliran turbulen. Aliran laminer mempunyai
Reynolds number kurang dari 2100 dan aliran turbulen mempunyai Reynolds
number lebih besar dari 4000. Sedangkan untuk aliran fluida yang mempunyai NRe
antara 2100 - 4000 disebut dengan aliran transisi.
C. Teorema Bernoulli
Pada umumnya untuk menyatakan energi yang terkandung di dalam fluida
disebut energi potensial yang diistilahkan dalam tinggi ekivalen atau Head
dalam kolom fluida. Sesuai dengan pernyataan di atas, Bernoulli membagi energi
total pada satu titik menjadi beberapa, yaitu:
1. Head karena ketinggian
24
144P1 v12
144P2 v 22
Z2
H L ................................................(3-22)
1
2g
2
2g
Dimana:
Z
= head ketinggian, ft
= tekanan, psi
= densitas, lb/ft3
= kecepatan, ft/sec
= konstanta gravitasi
HL
D. Persamaan Darcy
Persamaan ini sering disebut juga persamaan Weisbach atau persamaan
Darcy-Weisbach yang menyatakan bahwa Head-loss akibat gesekan antara dua
titik pada suatu bagian pipa adalah berbanding lurus dengan kecepatan dan
panjang pipa dan berbanding terbalik dengan diameter pipa atau dapat ditulis :
HL
fLV 2
D2g
..........................................................................................(3-23)
Dimana:
HL
= panjang pipa, ft
= diameter pipa, ft
= gesekan
25
H L ........................................................................(3-24)
144
f L V2
144 D 2g
....................................................................................(3-25)
Substitusi D = d/12
Dimana d = diameter pipa, in
P
f L V 2 (12)
........................................................................(3-26)
144 D 2(32,2) d
f L V2
..........................................................................(3-27)
d
26
Gambar 3.6.
Diagram Moody (Beggs, Dale H., 1978)
Pada umumnya, faktor gesekan merupakan fungsi dari Reynolds number,
Re, dan kekasaran relatif pipa, /D. Untuk aliran laminer , f hanya fungsi dari Re:
f
64
.................................................................................................(3-28)
Re
Untuk aliran turbulen, f merupakan funsi dari kekasaran pipa dan Re. Pada
nilai Re yang sangat tinggi, f hanya fungsi dari /D
3.2.2. Kehilangan Tekanan dalam Pipa Produksi
Persamaan kehilangan tekanan pipa yang digunakan adalah:
f v 2 vdv
dP g
sin M
...........................................................(3-29)
dL g c
2g c D g c dL
Dimana:
g
sin
gc
fM v2
2g c D
vdv
g c dL
= tekanan, lbf/ft2
= panjang pipa, ft
gc
= 32,17, ft-lbm/lbf-sec2
= densitas, lbm/ft3
fM
27
dP g f M u 2 udu
....................................................................(3-30)
dL g c 2g c D g c dL
............................................................................(3-31)
dL 2g c D g c dL
3.2.2.1.
..........(3-
32)
Untuk aliran dua fasa , Duns & Ros melakukan percobaan laboratorium
dengan menggunakan tekanan rendah dan komponen fluida yang digunakan
adalah udara, minyak, dan air. Pipa yang digunakan dengan panjang 10 meter dan
diameter 3,2 cm sampai dengan 8,02 m.
Sesuai dengan pengamatan, pola aliran ditentukan berdasarkan kecepatan
yang rendah dari fasa cairan dan gas. Pola aliran yang terjadi dibagi dalam tiga
pola, yaitu:
Daerah I
Fasa cair kontinyu dan fasa gas diskontinyu, berupa bubble atau
plug. Daerah ini disebut pola aliran bubble.
Daerah II :
Daerah III :
Fasa gas kontinyu dan fasa cair terbubarkan kedalam gas disekitar
dalam pipa. Daerah ini disebut pola aliran mist.
Duns and Ros membuat korelasi liquid hold up untuk slip velocity tak
berdimensi yang dapat dihitung dengan:
28
Ns = S (L/g)0,25 ..........(3-33)
dimana:
Ns = slip velocity tak berdimensi
S = actual slip velocity
vsg
vs
1 HL
vSL
..........(3-34)
HL
volume cairan / satuan panjang
volumepipa / satuanpanjang
volume gas / satuan panjang
H L liquid hold up
H g gas hold up
NLV = VSL
...........................................................................................................................................
(3-37)
NGV = VSg
1/ 2
(3-36)
1/ 4
...........................................................................................................................................
Nd = d
....................................................................................................................................................
1/ 4
NL = L L
.................................................................................................................................
(3-38)
(3-39)
menggunakan
kelompok
tak
berdimensi
tersebut
29
apabila gradien tekanan dinyatakan dalam fraksi dari gardien hidrostatik cairan
Lg maka Persamaan (3-41) menjadi :
1 dP
H L (1 H L ) g friction term ......(3-42)
L g dh
L
g L , sehingga g / L 0 , maka:
G=
1 dP
H L friction term .........(3-43)
L g dh
30
Gambar 3.7.
Daerah Pola Aliran dari Korelasi Duns and Ros
(Beggs, Dale H., 1978)
B. Metode Beggs & Brill
Pola aliran merupakan suatu parameter korelasi dan tidak menyatakan
tentang pola aliran sebenarnya, kecuali apabila pipa pada kedudukan horisontal.
Pola-pola aliran yang dipertimbangkan dalam perhitungan ini, yaitu: segregated,
transisi, intermitent, dan distributed. Parameter-parameter yang diperlukan untuk
menentukan pola aliran adalah sebagai berikut :
NFR
L
v2m ..........................................................................................(3-44)
gD
vsl
...............................................................................................(3-45)
vm
L1 = 3160,302 .......................................................................................(3-46)
L2 = 0,0009252-2,4684 ..........................................................................(3-47)
L3 = 0,1-1,4516 ......................................................................................(3-48)
L4 = 0,5-6,738 .......................................................................................(3-49)
Batasan untuk tiap pola aliran adalah sebagai berikut :
1. Pola aliran segregated :
31
a b
H L (0)
c ....................................................................................(3-50)
N FR
Dimana konstanta a, b dan c berbeda untuk setiap kondisi aliran, seperti
terlihat pada Tabel III-1.
Untuk mencari liquid Hold-up pada pola aliran transisi digunakan
interpolasi dari liquid Hold-up aliran segregated dengan aliran intermittent,
dengan persamaan :
HL(transisi) = A HL(segregated) + B HL(intermittent).........................(3-51)
Dimana:
A
L3 N FR
......................................................................................(3-52)
L3 L 2
B 1 A .............................................................................................(3-53)
Tabel III-.
Konstanta untuk Penentuan Liquid Hold-up (Beggs, Dale H., 1978)
Flow Pattern
a
b
C
Segregated
0,98
0,4846
0,0868
Intermittent
0,845
0,5351
0,0173
Distributed
1,065
0,5824
0,0609
Harga liquid Hold-up pada sudut kemiringan tertentu merupakan koreksi
dari harga pada pipa horisontal, yaitu :
H L H L (0) ...............................................................................(3-54)
Dimana :
32
= (1-L)ln(d(L)e(NFR)f(NFR)g
0,011
-3,7680
3,5390
-1,6140
Intermittent flow
2,965
0,3050
-0,4473
0,0978
4,700
-0,3692
0,1244
-0,5056
Beggs & Brill juga mendefinisikan faktor gesekan dua fasa (f tp) dengan
menggunakan diagram Moody untuk pipa halus, atau dengan menggunakan
persamaan berikut :
N Ren
2 .......................................(3-55)
f n 2 log
4,223
log(N
)
3,8215
Ren
Dimana :
N Ren 1488
m vmd
............................................................................(3-56)
n
n L L g g .................................................................................(3-57)
eS ................................................................................................(3-58)
Dimana :
S
59)
ln(Y)
.........(3 0,0523 3,182ln(Y) 0,8725(ln(Y)) 2 0,01853(ln(Y)) 4
33
L
H L 2 .......................................................................................(3-60)
f tp
fn
f n ...........................................................................................(3-62)
dP/dZ f
f tp n (v m ) 2
2g c d
.........................................................................(3-63)
n L L g g ..................................................................................(3-64)
34
vs
laju
produksi,
yang
merupakan
grafik
yang
35
Gambar 3.8.
Sistem Sumur Produksi (Beggs, Dale H., 1978)
Hubungan antara tekanan dan laju produksi di ujung setiap komponen
untuk sumur secara keseluruhan pada dasarnya merupakan kelakuan aliran dalam:
a. Media berpori menuju dasar sumur
b. Pipa tegak/tubing dan pipa datar/horisontal
c. Jepitan (Choke)
Analisa sistem nodal terhadap suatu sumur, diperlukan dengan tujuan
untuk :
a. Meneliti kelakuan aliran fluida reservoar di setiap komponen sistem
sumur untuk menentukan pengaruh masing-masing komponen tersebut
terhadap sistem sumur secara keseluruhan.
b. Menggabungkan kelakuan aliran fluida reservoar di seluruh komponen
sehingga dapat diperkirakan laju produksi sumur.
Untuk menganalisa pengaruh suatu komponen terhadap sistem sumur
secara keseluruhan, dipilih titik nodal yang terdekat dengan komponen tersebut.
Sebagai contoh, jika ingin mengetahui pengaruh ukuran jepitan terhadap laju
produksi sumur, maka dipilih titik nodal di kepala sumur atau jika ingin diketahui
pengaruh jumlah lubang perforasi terhadap laju produksi, maka dipilih titik nodal
di dasar sumur.
36
Tersedianya gas dalam jumlah yang memadai untuk injeksi, baik dari
reservoirnya sendiri maupun dari tempat lain,
Fluid level masih tinggi. (lebih dari 70% untuk continuous Gas Lift).
Karena merupakan sikle, intermittent Gas Lift hanya cocok untuk sumur yang
mempunyai laju produksi yang rendah, sedang continuous lebih effisien
digunakan pada sumur-sumur yang mempunyai laju produksi yang tinggi dimana
injeksi gas tidak menjadi hambatan.
37
Pasir yang ikut terproduksi tidak berpengaruh terhadap peralatan Gas Lift,
Sangat ideal jika injeksi gas hanya sebagai suplemen dan gas formasi
jumlahnya cukup,
Harus terdapat gas yang mencukupi, udara, nitrogen atau gas lain
umumnya cukup mahal dan jarang yang terdapat di sekitar lokasi,
Bila gas yang digunakan bersifat korosif akan menambah biaya operasi,
Spasi sumur yang luas, akan mempengaruhi alokasi distribusi gas dan
38
Pwh
Gfa
Gfb
Dengan demikian dasar dari perencanaan Gas Lift adalah menentukan Pwf
yang diperlukan supaya sumur dapat berproduksi dengan rate yang diinginkan,
yaitu dengan cara menginjeksikan gas pada kedalaman tertentu di dalam tubing.
39
Gambar 3.9.
Mekanisme Operasi Continuous Gas Lift
(Brown, K.E., 1980)
Pada tahap pertama, injeksi gas akan mengaktifkan katup-katup unloading
sehingga cairan untuk mematikan sumur akan terangkat ke permukaan dan level
cairan dalam annulus turun. Kemudian katup unloading secara bergantian bekerja
dan level cairan dalam annulus akan mencapai katup operasi. Gas injeksi akan
masuk ke dalam tubing secara kontinyu jika tekanan injeksi gas dalam annulus
lebih besar dari tekanan aliran dalam tubing. Oleh karena itu letak katup operasi
ditempatkan pada kedalaman sehingga tekanan alir dalam tubing lebih kecil dari
tekanan injeksi gas di annulus. Penempatan katup operasi ditentukan dari titik
40
keseimbangan, yaitu titik yang mana tekanan aliran di dalam tubing sama dengan
tekanan injeksi gas di annulus, setelah dikurangi dengan tekanan 100 psi.
Dengan masuknya gas injeksi melalui katup operasi maka perbandingan
gas cairan di atas titik injeksi akan lebih besar daripada perbandingan gas cairan di
bawah titik injeksi. Dengan demikian dasar perencanaan Gas Lift adalah
penentuan Pwf yang diperlukan agar sumur dapat berproduksi dengan rate yang
diinginkan, yaitu dengan cara menginjeksikan gas pada kedalaman tertentu di
dalam tubing.
Apabila perbandingan gas cairan dari formasi diketahui, maka kurva
gradien tekanan aliran mulai dari dasar sumur dapat digambarkan. Berdasarkan
tekanan injeksi gas yang tersedia, garis gradien dalam annulus dapat digambarkan
dan titik keseimbangan antara tekanan gas dalam annulus dengan tekanan alir
dalam tubing dapat ditentukan. Kemudian letak katup operasi dapat pula
ditentukan pada kedalaman yang mempunyai tekanan alir dalam tubing 100 psi
lebih kecil dari tekanan injeksi gas. Apabila tekanan alir di kepala sumur tertentu,
maka
perlu
diinjeksikan
sejumlah
gas
tertentu,
sehingga
memberikan
perbandingan gas cairan titik injeksi yang tepat dan menghasilkan gradien aliran
di atas titik injeksi yang diinginkan. Gradien aliran harus menghasilkan penurunan
tekanan sedemikian rupa sehingga tekanan aliran di permukaan sama dengan
tekanan di kepala sumur. Berdasarkan perbandingan gas cairan yang diperoleh
tersebut serta GLRf, maka jumlah gas yang diinjeksikan dapat dihitung.
Pada keadaan sebenarnya, pressure traverse yang digunakan tidak selalu
tepat dengan hasil pengukuran gradien aliran di dalam sumur. Kesalahan dapat
berkisar antara 10-20%. Dengan demikian akan terjadi pula kesalahan dalam
menempatkan katup operasi. Untuk mengatasi kesalahan ini perlu ditambah
katup-katup pada selang di atas dan di bawah katup operasi. Selang ini disebut
dengan Bracketing Envelope. Perencanaan continuous Gas Lift meliputi :
41
sumur itu akan ditempatkan sebagai aliran intermittent atau aliran continyu, juga
pemilihan jenis valve tergantung pada sumur yang akan ditempatkan sebagai
sumur intermittent gas lift atau sebagai sumur continuous gas lift.
Kondisi sumur akan menentukan jenis instalasi yang akan dipilih. Tipe
komplesi juga penting, misalnya open hole completion perforated completion atau
gravel packed completion. Selain itu untuk perencanaan instalasi gas lift juga
diperhatikan masalah produksi pasir, water conning atau gas coning. Dalam
menentukan tipe instalasi awal harus bertitik tolak dari kemampuan sumurnya
termasuk tekanan dasar sumur dan Productivity Index (PI).
3.4.2.1.
42
tinggi. Kerugian lainnya karena tidak dipasang packer maka fluid level bisa naik
dan turun di casing annulus, selain itu pada saat sumur di shut down maka sumur
harus di unloaded dan restabilized terlebih dahulu karena fliuda akan naik selama
masa shut down dan fluida kemungkinan bisa terproduksi melalui annulus karena
tidak ada packer. Dapat dilhat pada Gambar 3.10.
3.4.2.2.
installasi ini dipasang packer dan tidak menggunakan standing valve (Gambar
3.10.). Installasi ini cocok untuk continuous flow Gas Lift dan intermittent flow
Gas Lift. Instalasi ini lebih mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan
dengan open installations. yang pertama pada saat sumur mulai diproduksikan
fluida takkan masuk kembali kedalam casing-tubing annulus. kedua tidak ada
fluida yang meninggalkan tubing dan masuk ke kedalam ruang casing.
Gambar 3.10.
Tipe Instalasi Gas Lift
( Brown, K.E., 1980 )
43
44
3. Stasiun Distribusi
Dalam menyalurkan gas injeksi dari kompressor ke sumur terdapat
beberapa macam cara, yaitu :
produksi. Sistem ini mempunyai kelemahan yaitu bila kebutuhan gas untuk
masing-masing sumur tidak sama sehingga injeksi tidak efisien.
karena sumur yang satu berhubungan dengan sumur yang lain maka apabila salah
satu sumur sedang dilakukan injeksi gas, sumur yang lain bisa terpengaruh.
injeksi sehingga dalam waktu tertentu (saat valve terbuka) gas tersebut dapat
mencapai suatu harga tekanan yang dibutuhkan. Choke control ini dirangkai
dengan regulator yang berfungsi untuk membatasi jumlah gas injeksi yang
dibutuhkan. Bila gas injeksi telah cukup maka regulator akan menutup.
gas injeksi dalam intermittent Gas Lift untuk interval waktu tertentu. Time cycle
control dapat diatur sesuai dengan yang diinginkan.
3.4.3.2. Peralatan Di Bawah Permukaan Gas Lift
Peralatan di bawah permukaan untuk operasi Gas Lift adalah valve (katup)
Gas Lift. Valve-valve ini dipasang pada tubing dan berfungsi untuk :
45
Mengosongkan sumur dari fluida workover atau kill fluid supaya fluida
dapat mencapai titik optimum di dalam tubing.
Mengatur aliran injeksi gas ke dalam tubing, baik pada proses unloading
(pengosongan sumur) maupun pada proses pengangkatan fluida.
46
Gambar 3.11.
Fluid Operating Valve
( Brown, K.E., 1980 )
c. Thortling Pressure Valve (Valve Kontinyu)
Valve ini disebut dengan valve yang proposional atau valve aliran
kontinyu. Dalam posisi tertutup valve ini sama dengan pressure valve, tetapi
apabila dalam posisi terbuka, valve ini sensitif terhadap tekanan dalam tubing.
Berarti untuk membuka valve diperlukan tekanan dalam casing dan untuk
menutup valve diperlukan penurunan tekanan dalam tubing atau casing. Gambar
3.12. menunjukkan skema valve Gas Lift aliran kontinyu.
Gambar 3.12.
Skema Thortling Pressure Valve
( Brown, K.E., 1980 )
3.4.4. Penentuan Jumlah Gas Injeksi
47
Syarat utama yang harus dipenuhi gas injeksi adalah jumlahnya tersedia
cukup selama proses penginjeksian berlangsung, kemudian tekanannya harus
mampu sampai ke operating valve sesuai dengan yang direncanakan. Sedangkan
sumber gas yang baik untuk Gas Lift adalah bila gasnya cukup kering. Gas kering
yang tidak mengandung cairan hidrokarbon serta air akan mengurangi masalahmasalah operasional seperti korosi.
Jika sumber gas dari sumur gas atau separator yang digunakan, maka
diperlukan serangkaian proses seperti compression maupun dehydration. Gas
yang mengandung Carbon Dioxside (CO2) atau Hydrogen Sulfide (H2S) dapat
menimbulkan masalah seperti korosi, karena itu kedua impurities tersebut sedapat
mungkin dihilangkan agar tidak menggangu operasi Gas Lift, seperti berkaratnya
valve yang menyebabkan valve gas tidak bisa masuk dan bercampur dengan fluida
di dalam tubing. Jumlah gas injeksi yang diperlukan tergantung dari tersedianya
gas dalam jumlah terbatas atau tidak terbatas.
Besarnya jumlah gas injeksi untuk masing-masing sumur dapat ditentukan
dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
qt max
GLRoptimum
GLRt
GLRf
48
.........(3-
68)
Tb - Ts
Tpoi Ts
POI 460 ..........(3-69)
D
Dimana :
Sgi = specific gravity gas injeksi.
Tpoi = temperature pada titik injeksi, oR.
3.4.5. Penentuan Gas Liquid Ratio (GLR) Optimum
Laju injeksi gas tergantung pada GLR optimum, tekanan alir dasar sumur
yang terjadi dan laju produksi yang diinginkan. Dua hal tersebut berhubungan
dengan indeks produktivitas formasi dan tubing performance sumur.
Dengan menaikkan GLR (menambah injeksi), maka kehilangan tekanan
dalam tubing dapat dikurangi. Untuk itu diperlukan perhitungan GLR optimum,
yaitu GLR yang dapt memberikan tekanan alir dasar sumur yang minimal pada
suatu harga tertentu.Salah satu cara, yaitu dengan menghitung Pwf pada beberapa
harga GLR dengan memakai THP tertentu pada setiap laju produksinya.
Perpotongan dengan PI akan memberikan harga q dan Pwf tertentu. Dari plot
antara GLR dengan q akan didapatkan laju produksi yang maksimum dan GLR
yang optimum. Prosedur penentuan perbandingan gas-cairan yang optimum
adalah sebagai berikut :
1.
2.
tertentu. Plot kurva tersebut pada kertas grafik yang sama dengan kurva IPR.
3.
Ulangi langkah 2, yaitu buat kurva tubing pada berbagai
harga GLR.
49
Gambar 3.13.
Perpotongan Kurva Tubing Intake Dengan IPR (Beggs, Dale H., 1978)
4.
Gambar 3.14.
Plot GLR vs q untuk Menentukan GLR Optimum
(Beggs, Dale H., 1978)
3.4.6. Optimasi Alokasi Injeksi Gas
Pada waktu perencanaan instalasi gas lift, beberapa hal yang harus
dipertimbangkan antara lain kemampuan lapisan produktif, gas yang tersedia
untuk diinjeksikan, kemampuan sarana injeksi di penampungan dan di bawah
permukaan, kemampuan penampungan produksi di lapangan, dan tekanan
separator. Pada umumnya, yang menjadi masalah adalah keterbatasan gas yang
diinjeksikan, khususnya jika sumber gas tidak tersedia pada lapangan tersebut.
Oleh karena itu perlu dilakukan optimasasi injeksi gas untuk mendapatkan laju
produksi lapangan yang maksimum.
50
slope i
y q L ,i 1 / 2 q L ,i 1 / 2
.........................................................(3-70)
x q g ,i 1 / 2 q g ,i 1 / 2
Gambar 3.15.
Grafik Master Plot (Slope Vs Qg inj)
51
52
53
atau
54
Gambar 3.16.
Single Branch Model (Pipesim 2009)
55
nodal
digunakan
untuk
menghitung
kehilangan
tekanan
disepanjang aliran fluida reservoir. Analisa nodal dilakukan dengan titik nodal di
dasar perforasi, di kepala sumur, dan diseparator.
Hasil eksekusi atau running program dapat dilihat pada menu report
dengan memilih System Plot, Profil Plot, Output File dan Summary File. Laporan
hasil yang diinginkan juga dapat diatur dengan memasukkan pilihan pada bagian
Define output pada struktur Setup data.