Anda di halaman 1dari 53

BAB III

DASAR TEORI
3.1. Produktivitas Formasi
Produktivitas formasi adalah kemampuan suatu formasi untuk
memproduksikan fluida yang dikandungnya pada kondisi tekanan tertentu. Sumur-
sumur yang baru umumnya mempunyai tenaga pendorong alamiah yang mampu
mengalirkan fluida hidrokarbon dari reservoir ke permukaan dengan tenaganya
sendiri. Penurunan kemampuan produksi terjadi dengan berjalannya waktu
produksi dimana kemampuan dari formasi untuk mengalirkan fluida tersebut akan
mengalami penurunan yang besarnya sangat tergantung pada penurunan tekanan
reservoir.

Di dalam lapangan, laju produksi minyak yang melewati batas maksimum


akan merugikan reservoir dikemudian hari, karena akan mengakibatkan terjadinya
water atau gas coning dan kerusakan formasi (formation demage).

Berdasarkan pengalamannya, Kermitz E Brown (1967) telah mencoba


memberikanbatasan terhadap besarnya produktivitas sumur, yaitu sebagai berikut:
 PI rendah jika besarnya kurang dari 0,5
 PI sedang jika besarnya berkisar antara 0,5 sampai 1,5
 PI tinggi jika lebih dari 1,5
Kemampuan sumur untuk berproduksi lebih umum dinyatakan dalam bentuk kurva
IPR (Inflow Performance Relationship) kurva IPR yang linier menunjukkan harga
PI yang konstan, sedangkan untuk kurva IPR yang tidak linear memberikan harga
PI yang berubah pada masing-masing titik pada kurva tersebut.

3.1.1 Aliran Fluida dalam Media Berpori.


Aliran fluida adalah suatu gejala perpindahan zat akibat gerakan-gerakan
massa materi zat, dimana fluida dapat berupa gas atau cair atau kedua-duanya.
Fluida yang mengalir dari formasi ke lubang sumur dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor sebagai berikut :
a. Jumlah fasa yang mengalir

26
27

b. Sifat fisik fluida reservoir


c. Sifat fisik batuan reservoir
d. Konfigurasi disekitar lubang bor, seperti : adanya lubang perforasi, Skin
(kerusakan formasi), gravel pack, rekahan hasil perekahan hidrolik
e. Kemiringan lubang sumur
f. Bentuk daerah pengurasan
Keenam faktor di atas, secara ideal harus mewakili dalam setiap persamaan
perhitungan kelakukan aliran fluida dari formasi ke lubang sumur. Aliran fluida
dalam media berpori telah dikemukakan oleh Darcy (1856), dimana persamaan
dibedakan berdasarkan sistem aliran dan jenis fluidanya.

a. Sistem Aliran Linier Horizontal


Laju alir dari sistem aliran linier horizontal dapat dituliskan dengan
persamaan sebagai berikut.
0.001127 kA( P1  P2 )
q
BL ......................................................................(3-1)
Dimana :
q = laju alir, STB
k = permeabilitas, mD
A = luas, ft2
L = panjang media berpori, ft
P = tekanan, psi
B = faktor volume formasi, bbl/STB
 = viskositas fluida yang mengalir, cp

b. Sistem Aliran Linier Miring


Laju alir dari sistem aliran linier miring dapat dituliskan dengan
persamaan sebagai berikut :
 0.001127 kA  ( P2  P1 ) 
q  L  gL sin  
B   ............................................(3-2)
28

c. Sistem Aliran Radial


Laju alir dari sistem aliran radial dapat dituliskan dengan persamaan
sebagai berikut :
0.00708kh( Pe  Pw )
q
B ln( re / rw ) .......................................................................(3-3)
d. Sistem Aliran Linier Gas
Laju alir dari sistem aliran linier untuk gas dapat dituliskan dengan
persamaan sebagai berikut.
0.1118 kA 2 2
qsc  ( P1  P2 )
LZT ..................................................................(3-4)
e. Sistem Aliran Radial Gas
Laju alir dari sistem aliran radial untuk gas dapat dituliskan dengan
persamaan sebagai berikut.
0.7032kh 2 2
qsc  ( Pe  Pw )
 ln( re / rw )TZ ..........................................................(3-5)
Dimana :
q = laju alir, STB
k = permeabilitas, mD
h = ketebalan lapisan, ft
P= tekanan, psi
A= luas, ft2
L= panjang media berpori, ft
α = sudut kemiringan lapiran, °
ρg = gradien tekanan fluida, 0.433 psi/ft (air tawar), 0.465 psi/ft (air asin)
B = faktor volume formasi, bbl/STB
 = viskositas fluida yang mengalir, cp
re = jari – jari pengurasan sumur, ft
rw = jari – jari sumur, ft
qsc = laju alir gas pada kondisi standar, SCF
Z = faktor devias gas
29

T = temperatur, °R
3.1.2. Produktivity Indeks (PI)
Indek Produktivitas (PI) merupakan indeks yang digunakan untuk
menyatakan kemampuan suatu sumur pada kondisi tertentu untuk berproduksi atau
merupakan perbandingan antara laju produksi yang dihasilkan oleh suatu sumur
pada suatu harga tekanan alir dasar sumur tertentu dengan perbedaan tekanan dasar
sumur dalam kondisi statis reservoir (Ps) dan tekanan dasar sumur pada saat terjadi
aliran (Pwf). Secara matematis dapat ditulis dalam bentuk persamaan :
q
PI=
P s−P wf , ........................................................................................(3-6)
dimana :
PI = Production Index, bbl/day/psi
q = laju produksi cairan total, bbl/day
Ps = tekanan statik reservoir, psi
Pwf = tekanan alir dasar sumur, psi
Secara teoritis harga PI dapat pula diperkirakan dari persamaan Darcy
yang disubsitusikan dengan Persamaan (3-2), menjadi :
kh
PI=7 , 08 x 10−3
μ o Bo ln(r e −r w ) ....................................................................(3-7)
dimana :
PI = Production Index, bbl/day/psi
kh = Permeabilitas horizontal, cp
o = viscositas minyak, cp
Bo= Faktor volume formasi minyak. bbl/STB
re = jari-jari pengurasan sumur, ft
rw = jari-jari sumur, ft

3.1.3. Inflow Performance Relationship (IPR)


Inflow Performance Relationship (IPR) merupakan pernyataan PI secara
grafis yang menggambarkan perubahan-perubahan dari harga tekanan alir dasar
sumur (Pwf) versus laju alir (q) yang dihasilkan karena terjadinya perubahan
30

tekanan alir dasar sumur tersebut. Jarang fluida tersebut satu fasa, bila tekanan
reservoir di bawah tekanan bubble point minyak, dimana gas semula larut akan
terbebaskan, membuat fluida menjadi dua fasa.
Bentuk IPR pada kondisi tersebut melengkung, sehingga PI menjadi suatu
perbandingan antara perubahan laju produksi dq dengan perubahan tekanan alir
dasar sumur, Pwf.
Indeks Produktifitas yang telah disebutkan diatas hanya merupakan
gambaran secara kualitatif mengenai kemampuan suatu sumur untuk berproduksi,
maka harga PI dinyatakan secara grafis yang menunjukkan hubungan antara
tekanan aliran dasar sumur dengan laju produksi, yang disebut kurva IPR.
Jadi grafik IPR merupakan grafik yang menyatakan perilaku aliran fluida
dari reservoir menuju sumur, sesuai nilai Produktivitas (PI) formasinya. Grafik ini
merupakan hubungan antara tekanan aliran (Pwf) terhadap laju produksi (Q).
Dibedakan sesuai jumlah fasa fluida yang mengalir terdapat 3 jenis yaitu:
1.IPR Satu Fasa
2.IPR Dua Fasa
- Ps < Pb
- PS> Pb dan Pwf > Pb
- PS> Pb dan PWf < Pb
3.IPR Tiga Fasa

1. IPR Aliran Satu Fasa


Perhitungan aliran fluida satu fasa dari formasi ke dasar sumur pertama kali
dikembangkan oleh Darcy untuk aliran non-turbulent dan dikembangkan oleh
Jones, Blount dan Glaze untuk aliran turbulent. Pada alian satu fasa, saat
menurunkan atau menaikkan tekanan dasar sumur laju produksi akan setara
berbanding terbalik dengan penurunan atau kenaikan Pwf tersebut, karena aliran
fluida tidak di pengaruhi oleh aliran flida lain. Index Produktivitas untuk aliran
steady state bila digunakan konsep tekanan reservoir rata-rata dapat ditentukan
dengan persamaan berikut :
31

q
PI =
Pe −Pwf ................................................................................................(3-8)

dimana :
J= index produktivitas
Q= laju produksi, bbl
Pe= tekanan rata-rata reservoir, psi
Pwf= tekanan alir dasar sumur, psi
Sedangkan untuk menentukan besarnya laju produksi dapat digunakan persamaan
Darcy untuk aliran radial, yaitu :
k o h ( Pav −Pwf )
q=0 , 007082
μo B o {Ln (r e /r w )−0,5+S} .......................................................(3-9)

Pada kondisi tekanan rata-rata ini PI dinyatakan sebagai :


ko h
q=0 , 007082
μo B o {Ln (r e /r w )−0,5+S} .....................................................(3-10)

Apabila sudut AOB adalah θ, maka :


OB P s x PI
tan θ= =
OA Ps ...................................................................................(3-11)
Dengan demikian harga PI menyatakan kemiringan kurva dimana pada
fluida satu fasa IPR berupa garis lurus dapat dilihat pada Gambar 3.1 pada
halaman selanjutnya.

Gambar 3.1. Kurva IPR Satu Fasa2)


32

2. IPR Untuk Aliran Fluida Dua Fasa


Untuk sumur yang telah berproduksi dimana tekanan dasar sumur telah
turun di bawah tekanan gelembung sehingga gas bebas ikut terproduksi, maka
kurva IPR tidak linier lagi tetapi berupa garis lengkung. Hal ini disebabkan karena
kemiringan kurva IPR akan berubah secara kontinyu untuk setiap harga Pwf.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan Vogel terhadap sumur-sumur yang
berproduksi dari reservoir dengan mekanisme pendorong solution gas drive, dibuat
kurva IPR yang disebut dimensinless IPR. Untuk tujuan praktis grafis IPR tak
berdimensi tersebut dinyatakan dalam persamaan berikut :

( ) ( )
qo P wf P wf
2
=1−0,2 −0,8
qo Pr Pr
max ........................................................(3-12)
dimana :
qo = laju produksi minyak, bbl
qomax = laju produksi minyak maksimum, bbl
Pwf = tekanan alir dasar sumur, psi
Pr = tekanan reservoir rata-rata, psi
Persamaan ini digunakan untuk membuat IPR berdasarkan data uji tekanan dari uji
produksi dapat dilihat pada Tabel IV.2 pada halaman selanjutnya

Gambar 3.2. Kurva IPR Dua Fasa2)


33

 IPR Metode Standing


Metode Standing merupakan modifikasi dari persamaan Vogel dimana Pb >
Pi, berdasarkan kenyataan bahwa untuk sumur yang mengalami kerusakan maka
terjadi tambahan kehilangan tekanan di sekitar lubang bor. Tekanan aliran dasar
sumur ideal, Pwf tidak dipengaruhi oleh adanya faktor skin, sedangkan Pwfˈ adalah
tekanan dasar sumur sebenarnya yang dipengaruhi oleh faktor skin. Hubungan
antara kedua tekanan alir dasar sumur tersebut adalah :
Pwf’= Pwf + ∆Ps ..........................................................................(3-13)
2
qo  Pwf '   Pwf ' 
qo max    Ps 
...............= 1 – 0.2  Ps  – 0.8   ................(3-14)
Dimana :
qo = Laju produksi minyak, STB/d
qmax = Laju produksi maksimum pada Pwf=0, STB/d
Pwf = Tekanan alir dasar sumur, psi
Pwf’ = Tekanan alir dasar sumur yang dipengaruhi faktor skin, psi
Ps = Tekanan statik, psi

FE (Efisiensi aliran) merupakan perbandingan antara Indeks produktivitas


nyata dengan Indeks produktivitas ideal. Dengan demikian FE berharga lebih kecil
dari satu apabila sumur mengalami kerusakan dan lebih besar satu apabila
mengalami perbaikan sebagai hasil operasi stimulasi.
Dengan menggunakan hubungan tersebut, maka harga tekanan alir dasar
sumur sebenarnya (yang dipengaruhi oleh faktor skin) diubah menjadi tekanan alir
dasar sumur ideal, sehingga dapat dimasukkan kedalam persamaan Vogel.
Prosedur perhitungan kurva IPR untuk kondisi sumur yang mempunyai
faktor skin sama dengan pemakaian persamaan Vogel yang telah diuraikan
sebelumnya, hanya saja perlu ditambah satu langkah yang mengubah tekanan alir
dasar sumur sebenarnya menjadi tekanan alir dasar sumur ideal.
Harga FE yang diperlukan dalam perhitungan ini dapat diperoleh dari hasil
analisa uji build-up atau drawdown. Harga laju produksi maksimum yang
34

dihasilkan adalah harga laju produksi maksimum pada harga skin sama dengan nol,
bukan laju produksi pada harga FE yang dimaksud.
Untuk menghitung harga laju produksi maksimum pada harga FE yang
dimaksud, maka harga tekanan alir dasar sumur sebenarnya, yang sama dengan nol
diubah menjadi tekanan alir dasar sumur pada kondisi ideal, kemudian dihitung laju
produksinya.
Kelemahan dari Metode Standing adalah dihasilkan kurva IPR, yang :
1. Hampir lurus, untuk harga FE < 1, meskipun kondisi aliran adalah dua fasa.
2. Berlawanan dengan definisi kinerja aliran fluida dari formasi ke lubang sumur.

Kedua hal tersebut di atas disebabkan penggabungan dua persamaan yang


tidak selaras, yaitu persamaan Vogel yang berlaku untuk kondisi aliran dua fasa
dengan definisi FE (efisiensi aliran ) yang berlaku untuk kondisi satu fasa.

Gambar 3.3. Kurva IPR Berdasarkan FE2)


35

3. IPR untuk Aliran Fluida Tiga Fasa


Kurva IPR Tiga Fasa Metode Pudjo Sukarno,asumsi yang digunakan
metode ini adalah :
1. Faktor skin sama dengan nol
2. Minyak, air dan gas berada pada satu lapisan dan mengalir bersama-sama secara
radial.
Umumnya kondisi sumur yang ada sudah merupakan sumur yang
memproduksikan fluida tiga fasa (air, minyak dan gas). Untuk membuat kurva IPR
pada kondisi yang demikian, maka Pudjo Sukarno mengembangkan suatu metode
perhitungan kinerja aliran fluida tiga fasa yaitu gas, minyak dan air dari formasi ke
lubang sumur. Metode ini dikembangkan dengan menggunakan simulator
reservoiryang sama, yang juga digunakan untuk mengembangkan kurva IPR gas
dan minyak. Anggapan yang dilakukan pada saat pengembangan metode ini adalah
skin faktor sama dengan noldan gas, minyak, dan air berada dalam satu lapisan
mengalir bersama-sama secara radial.
Untuk menyatakan kadar air dalam laju produksi total digunakan parameter
“Water Cut” (WC), yaitu perbandingan antara laju produksi air dengan laju
produksi total cairan. Selain itu hasil simulasi menunjukkan bahwa suatu saat
tertentu yaitu pada harga tertentu, harga WC berubah sesuai dengan perubahan Pwf.
Dengan demikian perubahan WC sebagai fungsi Pwf, perlu ditentukan.
Dalam pengembangan kinerja aliran tiga fasa dari formasi kelubang sumur,
telah digunakan 7 (Tujuh) kelompok hipotesis reservoir, yang mana masing-masing
kelompok dilakukan perhitungan kurva IPR untuk lima harga WC yang berbeda,
yaitu 20%, 40%, 60%, 80% dan 90%. Dari hasil perhitungan diperoleh 385 titik
data, dan titik data ini dikelompokkan sesuai dengan WC-nya. Untuk masing-
masing kelompok WC dibuat kurva IPR tak berdimensi, yaitu antara qo/qmax
terhadap Pwf/Pr dimana qmax adalah laju aliran total maksimum, kemudian
dilakukan analisa regresi.
Prosedur dalam perhitungan kinerja aliran tiga fasa dari formasi ke lubang
sumur adalah sebagai berikut:
1. Siapkan data-data penunjang yang meliputi:
36

- tekanan reservoir/tekanan statis sumur


- tekanan alir dasar sumur
- laju produksi minyak dan air
- water cut berdasarkan uji produksi
2. Hitung harga WC @Pwf= Ps dengan menggunakan persamaan :
Watercut
WC @Pwf=Ps = P exp( P2 Pwf /Pr )1 ................................................(3-15)
- Dimana harga P1 dan P2 dihitung dengan persamaan :
P1 = 1.606207 - 0,130447 ln (water cut) ................................(3-16)
P2 = -0.517792 + 0,11064 ln (water cut) ................................(3-17)
3. Berdasarkan harga WC @Pwf=Ps , hitung konstanta A0, A1 dan A2 dengan
menggunakan persamaan :
An = C0 + C1(WC) + C2(WC)2 ........................................................(3-18)

Tabel III.1 Untuk masing-masing harga An11)


An Co C1 C2
A0 0,980321 -0,115661x10-1 0,17905x10-4
A1 -0,414360 0,392799x10-2 0,237075x10-5
A2 -0,564870 0,762080x10-2 -0,202079x10-4

4. Berdasarkan data uji produksi, tentukan laju produksi cairan total maksimum
dengan menggunakan persamaan berikut:

( )
qo 2

Qt max ( )
Pwf
= A0 + A1. Pr
Pwf
+ A2. Pr .........................................(3-19)
5. Berdasarkan harga Qt max dari langkah (4), dapat dihitung laju produksi minyak
untuk berbagai harga tekanan aliran dasar sumur.
6. Laju produksi air untuk setiap Water Cut pada tekanan alir dasar sumur, dengan
persamaan :

= x ..............................................(3-20)
7. Menentukan harga PI dengan mempergunakan persamaan :
37

PI = ............................................................................... (3-21)

Gambar 3.4. Kurva IPR Tiga Fasa2)

3.1.4. Kelakuan Aliran Fluida dalam Pipa


Aliran fluida dalam pipa dipengaruhi oleh sifat fisik fluida, friction loss serta
gradien tekanan fluida. Sub bab ini akan membahas pengaruh tersebut terhadap aliran
fluida dalam pipa.
3.1.5. Sifat Fisik Fluida
Sifat fisik fluida (gas, minyak dan air) perlu diketahui karena merupakan
variabel utama aliran fluida dalam media berpori maupun dalam pipa. Sifat fisik fluida
yang akan dibahas adalah sifat fisika fluida yang mempengaruhi perencanaan Gas Lift
yaitu kelarutan gas dalam minyak (Rs), kandungan aromatik, viskositas, densitas dan
specific gravity fluida (SGmix).
A. Kelarutan Gas Dalam Minyak (Rs)
Sistem minyak pada tekanan yang tinggi, gas akan terlarut dalam minyak,
dengan demikian harga kelarutan gas meningkat dan sebaliknya apabila terjadi
penurunan tekanan, fasa gas akan terbebaskan dari larutan minyak. Jumlah gas yang
terlarut akan konstan, apabila tekanan mencapai tekanan saturasi (Bubble Point
Pressure-Pb).
38

B. Viskositas (µ)
Viskositas merupakan keengganan suatu fluida untuk mengalir. Harga viskositas
ini dipengaruhi oleh temperatur dan tekanan, pada temperatur yang tinggi harga
viskositas fluida akan mengecil dan sebaliknya pada temperatur rendah harga viskositas
akan semakin besar.

Gambar 3.5 Hubungan Viskositas Terhadap Tekanan2)

C. Densitas dan Specific Gravity Fluida (SG)


Densitas suatu fluida adalah bilangan yang menunjukkan berapa berat (gram
atau lb) fluida tersebut dalam volume 1 cm 3 atau cuft, atau dinyatakan dalam rumus
sebagai berikut :
m
ρ=
A . h gr/cm3 atau lb/cuft........................................................................... (3-22)
Specific Gravity fluida (SG) adalah perbandingan antara densitas fluida tersebut
dengan fluida yang lain pada kondisi standar (14.7 psi, 60 oF). Untuk menghitung
besarnya SG fluida tertentu, biasanya air diambil sebagai patokan densitas sebesar 62.40
lb/cuft. Sehingga specific gravity fluida secara sistematis ditulis dengan persamaan :
ρ
SGf = 62. 40 ................................................................................................. (3-23)
Dalam teknik Perminyakan specific gravity sering dinyatakan dengan oAPI,
dengan persamaan :
39

141. 5
o
SGoil = 131. 5+ API ................................................................................... (3-24)
Untuk fluida campuran, besarnya specific gravity dapat ditentukan dengan
persamaan berikut :
SGmix = ((1-WC) x SG oil) + (WC x SG water)..........................................(3-25)
Keterangan :
ρ = densitas fluida, gr/cm3 atau lb/cuft
m = berat fluida, gr atau lb
A = luasan, cm2 atau ft2
h = tinggi, cm atau ft
o
API = derajat API
SGf = specific Gravity fluida
WC = water cut, %

Gambar 3.6 Densitas dan Spesific Gravity Fluida2)

D. Faktor Volume Formasi (FVF), Bo


Faktor volume formasi minyak adalah perbandingan relatip antara volume
minyak awal (reservoir) tehadap volume minyak akhir (tangki pengumpul), bila dibawa
ke keadaan standart.
Standing melakukan perhitungan Bo secara empiris :
Bo = 0.972 + 0.000147.F1.175..........................................................................(3-26)
40

F = Rs.
( ) γg
γo
.................................................................................................. (3-27)

Dimana :
Rs = kelarutan gas dalam minyak, scf/stb
γo = specific gravity minyak, lb/cuft
γg = specific grafity gas, lb/cuft
T = temperatur, oF
Harga Bo dipengaruhi oleh tekanan, dimana :
 Tekanan dibawah Pb (P < Pb), Bo akan turun akibat sebagian gas terbebaskan.
 Tekanan diantara Pi dan Pb (Pb < P < Pi), Bo akan naik sebagai akibat terjadinya
pengembangan gas.

Gambar 3.7 Faktor Volume Formasi (Bo) Terhadap Tekanan Minyak2)

3.1.6. Aliran Laminar dan Turbulen dalam Pipa


Aliran fluida dapat dibedakan Menjadi aliran laminar dan aliran turbulen,
tergantung padajenis garis alir yang dihasilkan oleh partikel-partikel fluida. Jika aliran
dari seluruh partikel fluida bergerak sepanjang garis yang sejajar dengah arah aliran
(atau sejajar dengan garistengah pipa, jika fluida mengalir di dalam pipa), fluida yang
seperti ini dikatakan laminar.
Fluida laminar kadang-kadang disebut dengan fluida viskos atau fluida garis alir
(streamline). Kata laminar berasal dari bahasa latin lamina, yang berarti lapisan atau plat
41

tipis. Sehingga, aliran laminar berarti aliran yang berlapis-lapis. Lapisan-lapisan fluida
akan saling bertindihan satu sama lain tanpa bersilangan seperti pada Gambar 3.8
dibawah ini menunjukkan aliran turbulen dan aliran laminer.
Jika gerakan partikel fluida tidak lagi sejajar, mulai saling bersilangsatu sama
lain sehingga terbentuk pusarn di dalam fluida, aliran yang seperti ini disebut dengan
aliran turbulen, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.8 dibawah ini

Gambar 3.8 Aliran Turbulent (atas) Aliran Leminer (bawah)2)


Karakteristik struktur aliran internal (dalam pipa) sangat tergantung dari
kecepatan rata-rata aliran dalam pipa, densitas, viskositas dan diameter pipa. Aliran
fluida (cairan atau gas) dalam pipa mungkin merupakan aliran laminer atau turbulen.
Perbedaan antara aliran laminar dan turbulen secara eksperimen pertama sekali
dipaparkan oleh Osborne Reynolds pada tahun 1883. Eksperimen itu dijalankan dengan
menyuntikkan cairan berwarna ke dalam aliran air yang mengalir di dalam tabung kaca.
Jika fluida bergerak dengan kecepatan cukup rendah, cairan berwarna akan mengalir
didalam sistem membentuk garis lurus tidak bercampur dengan aliran air.
Pada kondisi seperti ini, fluida masih mengalir secara laminar. Jadi pada
prinsipnya, jika fluida mengalir cukup rendah seperti kondisi eksperimen ini, maka
terdapat garis alir. Bila kecepatan fluida ditingkatkan, maka akan dicapai suatu
kecepatan kritis. Fluida mencapai kecepatan kritis dapat ditandai dengan terbentuknya
gelombang cairan warna. Artinya garis alir tidak lagi lurus, tetapi mulai bergelombang
dan kemudian garis alir menghilang, karena cairan berwarna mulai menyebar secara
seragam ke seluruh arah fluida air.
42

Perilaku ketika fluida mulai bergerak secara acak (tak menentu) dalambentuk
arus-silang dan pusaran, menunjukkan bahwa aliran air tidak lagi laminar. Pada kondisi
seperti ini garis alir fluida tidak lagi lurus dan sejajar.
Menurut Reynold, untuk membedakan apakah aliran itu turbulen atau laminar
dapat menggunakan bilangan tak berdimensi yang disebut dengan Bilangan Reynold.
Bilangan ini dihitung dengan persamaan berikut :

..........................................................................................(3-27)
Dimana:
Re=Bilangan Reynold (tak berdimensi)
V = kecepatan rata-rata (ft/s atau m/s)
D= diameter pipa(ft atau m)
v= /viskositas kinematik(m2/s)
Pada Re < 2300, aliran bersifat laminer.
Pada Re > 4000, aliran bersifat turbulen.
Pada Re = 2300-4000 terdapat daerah transisi.

3.1.7. Persamaan Darcy Untuk Fluida Satu Fasa


Aliran fluida satu fasa yang steady state, horizontal, incompressible dan
isothermis, Henry Darcy telah membuat persamaan sebagai berikut :

V=
q
A
=−
k
μ( )( dPdL ) ..........................................................................(3-28)
dimana :
V = kecepatan aliran fluida, cm/detik
q = laju alir fluida, cm3/detik
A = luas penampang batuan, cm2
μ = viscositas fluida, cp
dP/dL = gradient tekanan dalam arah sama dengan v, atm/cm
k = permeabilitas batuan, darcy
43

Persamaan tersebut kemudian dikembangkan untuk kondisi aliran dari formasi ke


lubang sumur secara radial, menjadi :

q= ( kμ )( dPdL ) ....................................................................................(3-29)
Saat terjadi aliran, parameter yang berubah adalah tekanan dan jarak.
Dengan mengintegrasikan persamaan (4-22) diatas untuk kondisi aliran mantap :
r2 p2
q ∫r 1 ( dp/ r ) =2 π ∫p 1 h ( k / μ ) dp
.........................................(3-30)
Bila k dan  konstanta pada interval tekanan p1 dan p2, maka diperoleh :

q=2 πh
[ ] k ( p 2− p 1 )
μ ln ( r 2 /r 1 ) ...................................................(3-31)

Untuk p1 = Pwf ; p2 = Pe ; r1 = rw dan r2 = re, maka persamaan diatas akan menjadi :


kh ( P e−P wf )
q=0 , 007082
μ o ln ( r e / r w ) ...................................................(3-32)

maka laju produksi dipermukaan untuk kondisi standart, qsc adalah :

kh ( Pe −Pwf )
q=0 , 007082
μo B o ln(r e /r w ) .......................................................(3-33)
dimana :
q = laju aliran, bbl/day
qsc = laju aliran fluida di permukaan, STB/day
h = ketebalan lapisan, ft
o = viscositas minyak, cp
Bo = faktor volume formasi minyak, bbl/stb
re = jari-jari pengurasan sumur, ft
rw = jari-jari sumur, ft
Untuk aliran gas kondisi standar dapat dihitung dengan persamaan :

kh ( Pe −Pwf )
q sc =0 ,703
μg T r Z ln(r e /r w ) ..............................................................(3-34)

dimana :
qsc = laju produksi gas, SCF/day
44

g = viscositas gas, cp
T = temperatur reservoir, F
Z = faktor kompresibilitas

3.1.8. Persamaan Darcy Untuk Aliran Fluida Dua Fasa


Aliran dua fasa adalah aliran yang dapat berupa minyak atau air dan gas yang
mengalir secara bersama-sama atau campuran antara cairan dan fasa gas.
1. Gas Oil Ratio
Merupakan perbandingan antara gas bebas masih terlarut dalam minyak itu
sendiri. Untuk suatu formasi produktif yang horisontal, homogen dan hanya
mermproduksikan minyak dan gas, maka Gas Oil Ratio secara matematis dinyatakan:
qg μo k g
GOR= =
q o μ g k o ..............................................................................(3-35)
Persamaan diatas berlaku untuk kondisi formasi, sedangkan untuk kondisi permukaan

laju produksi gas =


[ ]
qg
Bg
dan laju produksi minyak =
[]qo
Bo
ditambah dengan gas bebas
yang semula terlarut dalam minyak sebesar Rs, sehingga Persamaan (4-28) menjadi :

GOR permukaan =R s +
( μ o Bo k g
μgo Bg k o ) ……………………………………...(3-36)
dimana :
GOR = Gas Oil Ratio di reservoir, cuft/bbl
Rs = kelarutan gas dalam minyak, SCF/STB
o = viscostas minyak, cp
g = viscositas gas, cp
Bo = faktor volume formasi minyak, bbl/STB
Bg = faktor volume formasi gas, SCF/bbl
ko = permeabilitas efektif terhadap minyak, md
kg = permeabilitas efektif terhadap gas, md
45

2. Water Oil Ratio


Merupakan perbandingan laju produksi air dengan laju produksi minyak. Pada
kondisi reservoir, water oil ratio dapat ditulis dengan persamaan :
qw μo k w
WOR= =
qo μw k o ...............................................................................(3-37)

Untuk kondisi di permukaan, maka volume minyak yang mengalir akan


mngecil. Hal ini disebabkan oleh adanya gas yang membebaskan diri dari minyak,

sehingga untuk kondisi permukaan laju produksi minyak =


[]qo
Bo
, sedangkan kelarutan
gas dalam air sangat kecil dan kompressibilitas air juga kecil, maka qw dapat dianggap
sama dengan laju produksi air dipermukaan.
Dengan demikian perbandingan laju produksi air terhadap produksi minyak
dipermukaan adalah :
μo k w
WOR permukaan=
μ g k B Bo .................................................................................(3-38)

dimana :
WOR = water oil ratio, cuft/STB
o = viscositas minyak, cp
g = viscositas gas, cp
kw = permeabilitas air, mD
ko = permeabilitas minyak, mD
Bo = faktor volume formasi minyak, bbl/stb

3.1.9. Friction Loss


Bila fluida mengalir di dalam pipa maka akan mengalami tegangan geser (shear
stress) pada dinding pipa, sehingga terjadi kehilangan sebagian tenaganya yang sering
di sebut dengan friction loss. Hazen-William membuat suatu persamaan empiris untuk
friction loss, yaitu:
46

[ ]
( )
1,85
Q

[ ]
1,85
100 34.3
F=2.083
C ID 4 ,8655 ........................................................(3-39)
Keterangan :
F = Friction Loss / 1000 ft
C = konstanta dari bahan yang digunakan dalam pembuatan pipa
Q = laju produksi, BPD
ID = diameter dalam tubing, inchi
Berdasarkan persamaan tersebut, Hazen-William membuat Grafik frictionloss
seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 3.9 di bawah ini.

Gambar 3.9 Grafik Friction Loss Hazen-William2)

3.1.10. Tekanan Head dan Gradien Tekanan


Tekanan hidrostatik suatu fluida adalah tekanan yang disebabkan oleh suatu
kolom fluida pada suatu luasan. Bila dinyatakan secara matematis :
1
P= ×ρ ×h
144 f , lb/in2....................................................................(3-40)
47

Pada suatu kolom fluida, tekanan pada suatu titik adalah sama dengan tekanan
pada permukaan fluida ditambah dengan tekanan akibat kolom fluida setinggi titik
tersebut dari permukaan. Ketinggian tersebut disebut Head.
P
H=
0 , 433 x SG f , ft....................................................................... (3-41)
Gradien tekanan disebabkan oleh suatu kolom fluida pada satu unit ketinggian,
sehingga bila persamaan (4-8) dimasukkan P = 1 psi dan H = 1 ft, maka gradien tekanan
(Gf) adalah :
Gf =0 ,433 psi/ ft x SGmix ...............................................................(3-42)
3.1.11. Aliran Gas Di Dalam Pipa Vertikal
Persamaan-persamaan yang dikembangkan untuk menentukan hubungan antara
laju alir gas dan penurunan tekanan pada pada gas kering. Acapkali,dalam operasi
produksi gas , fluida juga ikut mengalir bersama-sama dengan gas. Sebagai contoh
adalah aliran dari sumur gas yang berproduksi bersama - sama dengan kondensat atau
air atau terjadinya kondensasi selama aliran. Adanya fluida tersebut menyebabkan
meningkatnya penurunan tekanan. Adanya fluida ini , menyebabkan diperlukannya
perhitungan penurunan tekanan untuk aliran dua fasa dalam merencanakan sistem
pemipaan.
Problema aliran dua fasa di dalam sumur dapat diselesaikan dengan
menggunakan korelasi - korelasi pada kondisi aliran dua fasa. Ada beberapa korelasi
yang umum digunakan , antara lain : korelasi Hagedorn dan Brown , Korelasi
Poettmann dan Carpenter , Korelasi Orkiszewski dan Korelasi Dun dan Ross. Disini
hanya akan dibahas metode Hagedorn dan Brown saja.
Salah satu metode yang sederhana didalam persoalan aliran dua fasa adalah
mengganti yg dengan ym. Metode ini disebut metode gravitasi campuran. Adapun
persamaan untuk ym adalah sebagai berikut :

Ym = .......................................(3-43)
Dimana :
ym = gravity campuran
48

yg = gravity gas kering


YL = spesifik gravity liquid
R = gas - oil ratio , SCF/STB
Metode gravitasi campuran ini dapat digunakan jika sumur berproduksi dengan
gas - oil ratio yang tinggi. Jika gas - oil ratio kurang dari 10000 SCF/STB maka korelasi
metode ini tidak dapat digunakan dan harus digunakan korelasi pada kondisi dua fasa.
Salahsatu korelasi yang dapat digunakan adalah korelasi Hagedorn dan Brown yang
akan diterangkan berikut ini.
Hagedorn dan Brown menggunakan persamaan berikut dengan mengabaikan
akselerasi

= ⍴m cos Ꝋ + ......................................(3-44)
Untuk menentukan densitas campuran , ⍴m , dan faktor gesekan , 𝑓 digunakan
persamaan - persamaan empirik. Parameter-parameter yang terlibat di dalam
Persamaan 3-36 didefinisikan sebagai berikut :
⍴m = ⍴L HL + ⍴g (1 - HL)
⍴L = densitas liquid
⍴g = densitas gas
HL = liquid holdup
□ = sudut kemiringan terhadap arah vertical
Vm = VsL + VsG
vsL = superficial liquid velocity = qL/ Ap
vsG = superficial gas velocity = qg/ Ap
Ap = luas dari pipa alir = π d2 /4
d = diameter pipa dalam
⍴f = ⍴n 2 / ⍴m
⍴n = ⍴L λ + ⍴g (1- λ)
λ = VsL/ Vm
Faktor gesekan dihitung menggunakan persamaan Jain atau menggunakan
diagram Moody dengan bilangan Reynold’s sebagai berikut:
49

NRem = ................................................................(3-45)
Dimana:
µm = µL HL µg ( 1-HL )
µL = viskositas liquid
µg = viskositas gas
Untuk menentukan HL dapat digunakan tiga korelasi empirik. Ketiga korelasi
tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.7 , 3.8 dan 3.9. Dalam menentukan HL dengan
menggunakan gambar- gambar tersebut , bilangan tak berdimensi berikut ini harus
ditentukan dari data - data yang diketahui :
NLv = VsL ( ⍴L / g σ )0.25
Ngv = Vsg ( ⍴L / g σ )0.25
Nd = d ( ⍴L / g σ )0.5
NL = µL ( g /⍴L σ3 )0.25
dimana σ adalah tegangan permukaan antara gas dan liquid. Persamaan diatas
juga dapat ditulis dalam satuan lapangan sebagai berikut:
NLv = 1.938 VsL ( ⍴L / g σ )0.25
Ngv = 1.938 Vsg ( ⍴L / g σ )0.25
Nd = 120.872 d ( ⍴L / g σ )0.5
NL = 0.15726 µL ( g /⍴L σ3 )0.25
dimana masing masing parameter satuannya adalah sebagai berikut :
VSL , Vsg = ft/sec
⍴L = lbm/cu ft
σ = dynes/cm
d = ft
µL = cp
Untuk menggunakan persamaan tersebut , HL , harus ditentukan berdasarkan
prosedur sebagai berikut :
1. Menghitung NL
2. Menentukan C N dari Gambar 4.7
3. Menghitung
50

xH =
4. Menentukan

dari Gambar 3.8


5 . Menghitung

xψ =
6. Menentukan ψ dari Gambar 3.9
7. Menghitung HL = ψ ( HL / ψ )
Dengan diketahuinya harga HL dan faktor gesekan , f, maka gradien tekanan
dapat ditentukan.

Gambar 3.10 CNL Sebagai Fungsi NL3)


51

Gambar 3.11 Korelasi Hold Up Faktor3)

Gambar 3.12 Metode PA Alir3)

3.2. Analisa Nodal


Analisa sistem nodal merupakan suatu cara pendekatan untuk optimisasi
produksi sumur minyak dan gas, dengan cara mengevaluasi secara menyeluruh sistem
produksi sumur. Secara lengkap tujuan analisa nodal untuk suatu sumur yang
mempunyai indeks produktivitas (IPR) dan sistem rangkaian tubing di dalam sumur
serta pipa salur di permukaan tertentu adalah menentukan laju produksi yang dapat
52

diperoleh secara sembur alam, menentukan kapan sumur mati, menentukan saat yang
baik untuk mengubah sumur sembur alam menjadi sumur sembur buatan, optimisasi
laju produksi, memeriksa setiap komponen dalam sistem sumur produksi ditunjukkan
Gambar 3.10 pada halaman berikutnya, untuk menentukan adanya hambatan aliran.

Gambar 3.13 Production System Nodal3)

System sumur produksi, yang menghubungkan antara formasi produktif dengan


separator, dapat dibagi menjadi enam komponen yaitu:
1. Komponen formasi produktif/ reservoir 
Dalam komponen ini fluida reservoir mengalir dari batas reservoir
menujuke lubang sumur, melalui media berpori.Kelakuan aliran fluida dalam
media berpori ini telah dibahas di modul II, yang dinyatakan dalam bentuk
hubungan antara tekanan alir di dasar sumur dengan laju produksi.

2. Komponen komplesi
Adanya lubang perforasi ataupun gravel pack di dasar lubang sumur akan
mempengruhi aliran fluida dari formasi ke dasar lubang sumur. Berdasarkan
53

analisa di komponen ini, dapat diketahui pengaruh jumlah lubang perforasi


ataupun adanya gravel pack terhadap laju produksi sumur.
3. Komponen tubing
Fluida multifasa yang mengalir dalam pipa tegak maupun miring, akan
mengalami kehilangan tekanan yang besarnya antara lain tergantung dari ukuran
tubing. Dengan demikian analisa tentang pengaruh ukuran tubing terhadap laju
produksi dapat dilakukan dalam komponen ini
4. Komponen Pipa salur
Pengaruh ukuran pipa salur terhadap laju produksi yang dihasilkan suatu
sumur. Dapat dianalisa dalam komponen ini seperti halnya pengaruh ukuran
tubing, dalam komponen tubing.
5. komponen restriksi/ jepitan
Jepitan yang dipasang di kepala sumur atau di dalam tubing sebagai
safety valve, akan mempengruhi besar laju produksi yang dihasilkan dari suatu
sumur. Pemilihan ataupun analisa tentang pengaruh ukuran jepitan terhadap laju
produksi dapat dianalisa di komponen ini.
6. Komponen separator
Laju produksi suatu sumur dapat berubah dengan berubahnya tekanan
kerja separator.Pengaruh perubahan tekanan kerja separator terhadap laju
produksi untuk sistem sumur dapat dilakukan di komponen ini.
Keenam komponen tersebut berpengaruh terhadap laju produksi sumur yang
akan dihasilkan. Laju produksi yang optimum dapat diperoleh dengan cara
memvariasikan ukuran tubing, pipa salur, jepitan, dan tekanan kerja separator. Pengaruh
kelakuan aliran fluida di masing-masing komponen terhadap system sumur secara
keseluruhan akan dianalisa, dengan menggunakan analisa system nodal. Nodal
merupakan titik pertemuan antara dua komponen, dimana di titik pertemuan tersebut
secara fisik akan terjadi keseimbangan masa ataupun keseimbangan tekanan. Hal ini
berarti bahwa masa fluida yang keluar dari suatu komponen akan sama dengan masa
fluida yang masuk ke dalam komponen berikutnya yang saling berhubungan atau
tekanan di ujung suatu komponen akan sama dengan tekanan di ujung komponen yang
lain yang berhubungan.
54

Dalam system sumur produksi dapat ditemui 4 titik nodal, yaitu :


1. Titik nodal di dasar sumur
Titik nodal ini merupakan pertemuan antara komponen formasi
produktif/reservoir dengan komponen tubing apabila komplesi sumur adalah
open hole atau pertemuan antara komponen tubing dengan komponen komplesi
yang diperforasi atau bergravel pack.
2. Titik nodal di kepala sumur 
Titik nodal ini merupakan titik pertemuan antara komponen tubing dan
pipa salur dalam hal sumur tidak dilengkapi dengan jepitan atau merupakan
pertemuan komponen tubing dengan komponen jepitan bila sumur dilengkapi
jepitan.
3. Titik nodal di separator
Pertemuan antara komponen pipa salur dengan komponen
separator merupakan suatu titik nodal.
4. Titik nodal di “upstream/ downstream”
Sesuai dengan letak jepitan, titik nodal ini dapat merupakan pertemuan antara
komponen jepitan dengan komponen tubing, apabila jepitandipasang di tubing sebagai
safety valve atau merupakan pertemuanantara komponen tubing di permukaan dengan
komponen jepitan apabila jepitan dipasang di kepala sumur.
3.3. Metode Produksi
Pada umumnya perolehan minyak (Oil Recovery) dari reservoir dapat dibagi
menjadi 3 tahap :
1. Metode Primer (Primary Recovery)
Metode Primer dibagi menjadi dua yaitu metode sembur alam (Natural
Flow) dan metode pengangkatan buatan (Artificial Lift).
a. Metode sembur alam (Natural Flow)
Natural Flow yaitu produksi sumur minyak dan gas bumi secara alami tanpa
bantuan peralatan-peralatan buatan. Sumur produksi ini memiliki fluida
yang dapat mengalir dengan sendirinya ke permukaan melalui tubing karena
memiliki tekanan reservoir yang lebih tinggi daripada tekanan hidrostatik
kolom fluida yang berada dalam lubang sumur tersebut.
55

b. Metode pengangkatan buatan (Artificial Lift)


Artificial lift adalah metode pengangkatan buatan fluida dengan
menggunakan peralatan pengangkatan buatan. Pertimbangan untuk
memasang alat bantu tersebut karena kecilnya tekanan sumur yang ada.
Selain itu peralatan ini juga untuk mengejar target produksi, sehingga
sumur-sumur yang masih mengalir secara alami juga dipasang peralatan
artificial baru.
Kemampuan berproduksi suatu sumur minyak dan gas akan
mengalami penurunan sebagai akibat terjadinya perubahan kondisi
pengurasan. Perubahan ini disebabkan oleh penurunan dari kemampuan
reservoir untuk mengalirkan fluida ke lubang sumur.
Keadaan ini dapat menyebabkan sumur tidak berproduksi secara
natural flow atau mungkin masih mampu berproduksi secara natural flow
tetapi pada laju reaksi yang rendah. Jika minyak yang terdapat dalam
reservoir masih mempunyai nilai ekonomis, maka perlu diusahakan untuk
memproduksi sisa minyak tersebut dengan teknik pengangkatan buatan
(artificial lift).
Artificial lift sendiri dapat menggunakan pompa dan Gas Lift. Untuk
Primary recovery, minyak dapat diproduksikan hanya dengan
mengandalkan mekanisme pendorong alam yang ada dalam reservoir, RF
(Recovery Factor) untuk primary recovery umumnya berkisar antara 5 – 20
% (tergantung karakteristik reservoir dan fluidanya).

2. Metode Sekunder (Secondary Recovery)


Pada tahap ini, minyak dapat diproduksikan dengan menginjeksikan
water/ gas (Immiscible gas) ke dalam reservoir. RF untuk secondary recovery
umumnya berkisar antara 20 – 40 % (tergantung karakteristik reservoir dan
fluidanya).

3. Metode Tersier (Tertiary Recovery/ EOR)


56

Pada tahap ini, minyak dapat diproduksikan dengan menginjeksikan


Chemical (Polymer/ Alkaline Surfactant Polymer), Thermal (Steam), Miscible
Gas (CO2 Injection). Pada tahap Secondary dan EOR, umumnya ada fluida dari
yg diinjeksikan ke dalam reservoir melalui sumur sumur injeksi. RF untuk
tertiaty recovery umumnya berkisar antar 40-70% (tergantung karakteristik
reservoir dan fluidanya).

3.4. Electric Submersible Pump (ESP)


Pompa benam listrik dibuat atas dasar pompa sentrifugal bertingkat banyak
dimana keseluruhan pompa dan motornya ditenggelamkan ke dalam cairan. Pompa
ini digerakkan dengan motor listrik dibawah permukaan melalui suatu poros motor
(shaft) yang memutar pompa, dan akan memutar sudu-sudu (impeller) pompa.
Perputaran sudu-sudu tersebut menimbulkan gaya sentrifugal yang digunakan untuk
mendoronh fluida ke permukaan.

Gambar 3.14 Instalasi Electric Submersible Pump7)


57

Gambar 3.15 Skema Impeller dan Diffuser7)


3.4.2. Peralatan Electric Submersible Pump (ESP)
Peralatan pompa benam listrik dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu:
1. Peralatan diatas permukaan
2. Peralatan dibawah permukaan

3.4.2.1. Peralatan Atas Permukaan


Peralatan diatas permukaan terdiri atas : Wellhead, Junction Box, Switchboard
dan Transformer.
1. Wellhead
Wellhead atau kepala sumur dilengkapi dengan tubing hanger khusus yang
mempunyai lubang untuk cable pack off atau penetrator. Cable pack off biasanya
tahan sampai tekanan 3000 pso. Tubing hanger dilengkapi lubang hidraulic control
line, saluran cairan hidraulik untuk menekan subsurface ball valve agar terbuka.
Wellhead juga harus dilengkapi dengan “seal” agar tidak bocor pada lubang
kabel dan tulang. Wellhead didesain untuk tahan terhadap tekanan 500 psi sampai
3000 psi.
58

Gambar 3.16 Cable Pack-Off pada Tubing Hanger7)

2. Junction Box
Junction Box merupakan suatu tempat yang terletak antara switcboard dan
wellhead yang berfungsi untuk tempat sambungan kabel atau penghubugn kabel
yang berasal dari dalam sumur dengan kabel yang berasal dari switchboard.
Junction Box juga digunakan untuk melepaskan gas yang ikut dalam kabel agar
tidak menimblkan kebakaran di swictboard.

Gambar 3.17 Junction Box7)


59

3. Switchboard
Switchboard adalah panel kontrol kerja dipermukaan saat pompa bekerja
yang dilengkapi motor controller, overload dan underload protection serta alat
pencatat (recording instrument) yang bisa bekerja secara manual ataupun otomatis
bila terjadi penyimpangan. Switchboard dapat digunakan untuk tegangan 4400-
4800 volt.
Fungsi utama dari switchboard adalah :
 Mengontrol kemungkinan terjadinya downhole problem seperti overload
atau underload current.
 Auto restart underload pada kondisi intermittent well.
 Mendeteksi unbalance voltage.
4. Transformer
Transformer merupakan alat untuk mengubah tegangan listrik, bisa untuk
menaikkan atau menurunkan tegangan. Alat ni terdiri dari core yang dikelilingi oleh
coil dari lilitan kawat tembaga. Keduanya, baik core maupun coil direndam dengan
minyak trafo sebagai pendingin dan isolasi. Perubahan tegangan akan sebanding
dengan jumlah lilitan kawatnya.

3.4.2.2. Peralatan Bawah Permukaan


Peralatan dibawah permukaan dari pompa benam listrik terdiri atas pressure
testing sensing instrument, electric motor, protector, intake, pump unit dan electric
cable serta alat penunjang lainnya.

1. PSI Unit (Pressure Sensing Instruments)


PSI (Pressure Sensing Instrument) adalah suatu alat yang mencatat tekanan dan
temperatur sumur. Secara umum PSI unut mempunyai 2 komponen pokok, yaitu :
a. PSI Down Hole Unit
Dipasang dibawah Motor Type Upper atau Center Tandem, karena alat ini
dihubungkan pada Wye dari Electric Motor yang seolah-olah merupakan
bagian dari motor tersebut.
b. PSI Surface Readout
60

Merupakan bagian dari system yang mengontrol kerja Down Hole Unit serta
menampakkan (Display) informasi yang diambil dari Down Hole Unit.

Gambar 3.18 pressure Sensing Instrument7)

2. Motor (Electric Motor)


Jenis motor ESP adalah motor listrik induksi 2 kutub 3 fasa yang diisi dengan
minyak pelumas khusus yang mempunyai tahan listrik tinggi. Tenaga listrik untuk
motor diberikan dari permukaan mulai kabel listrik sebagai penghantar ke motor.
Putaran Motor adalah 3400 RPM - 3600 RPM tergantung besarnya frekuensi yang
diberikan serta beban yang diberiukan oleh pompa saat mengangkat fuida.
Secara garis besar motor ESP seperti juga motor listrik yang lain mempunyai
dua bagian pokok, yaitu :
- Rotor (bagian yang berputar)
- Stator (bagian yang diam)
Stator mengindukasi aliran listrik dan mengubah menjadi tenaga putaran pada
rotor, dengan berputarnya rotor maka poros (shaft) yang berada ditengahnya akan
ikut berputar, sehingga poros yang saling berhubungan akan ikut berputar pula
(poros pompa, intake dan protector).
61

Gambar 3.19 Motor Pompa Benam Listrik7)

3. Protector
Protector seing juga disebut Sel Section. Alat ini berfungsi untuk menahan
masuknya fluida sumur kedalam motor, menahan thrust load yang ditimbulkan oleh
pompa pada saat pompa mengangkat cairan, juga untuk menyeimbangkan tekanan
yang ada didalam motor dengan tekanan didalam annulus. Secara prinsip protector
mempunyai 4 fungsi utama yaitu :
- Untuk mengimbangi tekanan dalam motor dengan tekanan diannulus.
- Tempat duduknya thrust bearing untuk meredam gaya axial yang ditimbulkan
oleh pompa.
- Menyekat masuknya fluida sumur kedalam motor.
- Memberikan ruang untuk pengembangan dan penyusutan minyak motor akibat
perubahan temperatur dalam motor pada saat bekerja dan pada saat dimatikan.
Secara umum protector mempunyai dua macam type, yaitu :
62

1. Positive Seal atau Modular Type Protector


2. Labyrinth Type Protector

4. Intake (Gas Separator)


Intake atau Gas separator dipasangkan dibawah pompa dengan cara
menyambungkan sumbunya (shaft) memakai coupling. Intake ada yang dirancang
untuk mengurangi volume gas yang masuk ke dalam pompa, disebut dengan gas
separator, tetapi ada juga yang tidak. Untuk yang terakhir ini disebut dengan intake
saja atau standart intake.

Gambar 3.20 Jenis Labyrinth Type Protector7)


5. Unit Pompa
Unit pompa merupakan Multistage Centrifugal Pump, yang terdiri dari:
impeller, diffuser, shaft (tangkai) dan housing. Didalam housing pompa terdapat
sejumlah stage, dimana tiap stage terdiri dari satu impeller dan satu diffuser. Jumlah
stage yang dipasang pada setiap pompa akan dikorelasi langsung dengan Head
63

Capavity dari pompa tersebut. Dalam pemasangannya bisa menggunakan lebih dari
satu (tandem) tergantung dari Head Capacity yang dibutuhkan untuk menaikkan
fluida dari lubang sumur ke permukaan. Impeller merupakan bagian yang bergerak,
sedangkan diffuser adalah bagian yang diam.Seluruh stage disusun secara vertikal,
dimana masing-masing stage dipasangtegak lurus pada poros pompa yang berputar
pada housing.

Gambar 3.21 Jenis Rotary Gas Separator7)


6. Electric Cable
Tenaga Listrik untuk menggerakan motor yang berada didasar sumur
disuplai oleh kabel yang khsusu digunakan untuk pompa ESP. Kabel yang dipakai
adalah 3 jenis konduktor. Dilihat dari bentuknya ada dua jenis, yaitu flat cable
typr dan round cable type. Fungsi kabel tersebut adalah sebagai media penghantar
arus listrik dari switchboard sampai ke motor di dalam sumur. Secara umum ada 2
64

jenis kabel yang lazim digunakan di lapangan , yaitu Low temperature cable
danHigh temperature cable.
Kerusakan pada round cable merupakan hal yang sering kali terjadi pada
saat menurunkan dan mencabut rangkaian ESP. Untuk menghindari atau
memperkecil kemungkinan tersebut, maka kecepatan string pada saat menurunkan
rangkaian tidak boleh melebihi dari 1500 ft/jam dan harus lebih pelan lagi ketika
melewati deviated zone atau dog leg. Kabel harus tahan terhadap tegangan tinggi,
temperatur, tekanan migrasi gas dan tahan terhadap resapan cairan dari sumur
maka kabel harus mempunyai isolasi dan sarung yang baik. Bagian dari kabel
biasanya terdiri dari :
-Konduktor
-Isolasi
-Sarung (sheath) jaket

Gam
bar 3.22. Kabel7)

7. Check Valve
Check valve dipasang pada tubing (2-3 joint) diatas pompa. Bertujuan untuk
menjaga fluida tetap berada diatas pompa. Jika Check valve tidak dipasang untuk
maka kebocoran fluida dari tubing (kehilangan fluida) akan melalui pompa yang
dapat menyebabkan aliran balik dari fluida yang naik ke atas, sebab aliran balik
(back flow) tersebut membuat putara impeller berbalk arah, dan dapat
65

menyebabkan motor terbakar dan rusak. Check valve umumnya digunakan agar
tubing tetap terisi penuh dengan fluida sewaktu pompa mati dan mencegah supaya
fluida tidak turun kebawah.

8. Bleeder Valve
Bleeder Valve dipasang satu joint diatas check valve, mempunyai fungsi
mencegah minyak keluar pada saat tubing di cabut. Fluida akan keluar melalui
bleeder valve.

9. Centralizer
Berfungsi untuk menjaga kedudukan pompa agar tidak bergeser atau selalu
ditengah-tengah pada saat pompa beroperasi, sehingga kerusakan kabel karena
gesekan dapat dicegah.

3.4.3. Karakteristik Kinerja Electric Submersible Pump (ESP)


Motor Listrik berputar pada kecepatan relatif konstan, memutar pompa

(impeller) melewati poros (shaft) yang disambungkan dengan bagian protector.

Power disalurkan ke peralatan bawah permukaan melalui kabel listrik


konduktoryang di lem pada tubing, cairan memasuki pompa yang sedang
beroperasi.
Kelakuan pompa berada pada harga efisiensi tertinggi apabila hanya
cairanyang terproduksi. Tingginya volume gas bebas menyebabkan operasi pompa
tida efisien.

3.4.3.1. Kurva kelakuan Electric Submersible Pump (Pump Performance Curve)


Beberapa kinerja dari berbagai pompa dihadirkan dalam bentuk katalog yang
diterbitkan oleh produsen. Kurva kinerja dari suatu pompa benam listrik
menampilkan hubungan antara : Head capacity, Rate Capity, Horse Power
66

danefisiensi pompa yang disebut dengan “Pump Performance Curve”. Kapasitas


berkaitan dengan volume, laju alir cairan yang diproduksikan, termasuk juga gas
bebas atau gas yang terlarut dalam minyak..
Head pompa benam listrik berkaitan dengan specific gravity fluida,dimana
jika head diubah menjadi tekanan maka harus dikalikan dengan specific gravity
fluida, maka dapat dinyatakan sebagai berikut :
Tek. Operasi Pompa = (head / stage) x (gradien tekanan fluida) x (jumlah stage).
Bila gas dan cairan sedang dipompa, kapasitas dan head per stage juga
gradien tekanan fluida berubah sebagaimana tekanan fluida naik dari tekanan intake
ke tekanan discharge. Dengan demikian persamaan diatas dapat ditulis sebagai
berikut

d(P) = h (V) + Gf(V)+ d(St)........................................................................(3-


46)

Dimana :

d(P) = perubahan tekanan yang dihasilkan pompa

h = head per stage, ft/stage

Gf(V) = gradien tekanan fluida, psi/ft

D(St) = perubahan jumlah stage

Tanda kurung dalam persamaan (3- ) merupakan fungsi dari kapasitas (V) dan
dinyatakan dalam persamaan : V = qsc x VF (aliran satu fasa). VF merupakan
Volume Factor untuk berbagai tekanan dan temperatur, dan dinyatakan dengan
persamaan :

VF = WC + (1-WC) Bo + [GLR – (1-WC) Rs] Bg..................................(3-47)

Tekanan alir dasar sumur (Pwf) diatas harga tekanan gelembung, bentuk
kurva IPR digambarkan dengan persamaan linier :

qsc = PI (Pr-Pwf)
67

Gradien tekanan fluida dalam berbagai tekanan dan temperatur dinyatakan


dalam persamaan :

Gf(V) = 0,433 x ρ(V) .................................................................................(3-48)

ρ(V) = W / 350 ...........................................................................................(3-49)

W adalah berat material pada berbagai tekanan dan temperatur, yang


mana sama berat dengan berat pada kondisi standart. Dituliskan dengan
persamaan :

qsc x ρf sc
ρ(V) ¿ .........................................................................................(3-
350 x V
50)
Mensubstitusikan persamaan (3-48 ) kedalam persamaan (3-50) didapatkan
persamaan sebagai berikut :

0,433 qsc x ρf sc
Gf =(
350
) V
.................................................................(3-

51)

Pfsc adalah berat 1 bbl cairan ditambah gas yang terpompakan (per bbl
cairan) pada kondisi standart.

Pfsc = (350(WC)τwsc) + [350(1-WC) τosc] + (GIP)(GLR) pgsc

Dengan memasukkan persamaan (3-52) ke persamaan (3-53) menghasilkan


persamaan :

350 V
d (St) = (
0,433 x qsc x pfsc
) h (V )
dp.........................................................(3-

52)

jumlah stage total dari pompa didapat dengan mengintegrasikan persamaan


diatas abtara tekanan intake (P3) dan tekanan discharge (P2) :

P2 P2 ❑
1
∫ d (HP )= 0,433
P3
( ) hp ( V )
∫ h (V ) dp .....................................................................................(3-53)
P3
68

Atau

P2 ❑

HP = ( 1
0,433 ) P3
hp ( V )
∫ h ( V ) dp .............................................................................. (3-

54)

3.4.3.2. Kurva Intake Pompa


Peramalan kurva intake pompa Electric Submersible Pump dipertimbangkan
untuk dua hal yaitu :
 Memompa cairan
 Memompa cairan dan gas

Keduanya diasumsikan bahwa pompa diletakkan didasar sumur dan yang tetap
adalah tekanan wellhead dan ukuran tubing. Kasus kedua dianggap semua gas
dipompakan bersama-sama cairan. Variable yang terpengaruh adalah jumlah stages
pompa. Peramalan kurva intake untuk pompa benam listrik adalah untuk kasus
yang kedua.

A. Pompa benam Listrik Memompa Cairan


Karena cairan memiliki sedikit sifat kompresibilitas, volume cairan produksi
dapat dikatakan konstan dan sama hingga permukaan (qsc). Dengan demikian head
perstage akan konstan juga dari Persamaan (3-55) dapat diintegrasikan menjadi :
St = (808,3141/hxpfsc) (p2-p3).......................................................................(3-55)

Atau haega tekanan intake (P3) dapat ditulis :

P3 = P2 – (pfsc x h/ 808,3141) St. ........................................................(3-


56)

Sedangkan untuk persamaan (3- 57) bila diintegrasikan menjadi :

HP = (1/0433) hp/h (P2-P3)................................................................(3-


57)

Dengan mensubtitusikan Persamaan (3-57 ) ke Persamaan (3-58 ) menjadi :


69

HP = hp x pfsc x St.....................................................................................(3-58)

B. Pompa Benam Listrik Memompa Cairan dan Gas


Gas yang memiliki sifat kompresibilitas yang tinggi, sehingga volume
cairan V yang dihasilkan berubah akibat perubahan tekanan dari tekanan intake
(P2) sampai tekanan discharge (P3). Faktor volume (VF) atara tekanan intake
(P2) sampai tekanan discharge (P3) didapat dari Persamaan (3-56) dan laju alir
ditentukan dengan Persamaan (3-57) atau Persamaan (3-58 ).

3.4.4. Dasar Perhitungan Electric Submersible Pump


Pada prinsipnya perencanaan atau desain suatu unit pompa benam listrik untuk
sumur-sumur dengan WC tinggi adalah sama seperti perencanaan unit pompa
benam listrik biasa, dimana dengan maksimalnya laju produksi yang diinginkan
maka maksimal juga produksi air yang terproduksi. Kontrolnya dengan
menghitung laju kritis dimana besarnya laju produksi minyak yang diinginkan
lebih besar dari laju kritis sehingga terjadi water coning. Produksi tersebut terus
dilakukan karena masih bernilai ekonomis dan terjadinya water coning bersifat
wajar untuk sumur-sumur tua yang mempunyai water cut yang lebih besar dari
90%.
70

Gambar 3.22 Kurva Kelakuan Pompa Benam8)

3.5.3.1. Perkiraan Laju Produksi Maksimum


Laju produksi suatu sumur yang diinginkan harus sesuai dengan produktivitas
sumur. Pada umumnya fluida yang mengalir dari formasi ke lubang sumur lebih
dari satu fasa. Seperti yang telah dijelaskan dalam sub-bab sebelumnya, untuk
aliran fluida dua fasa, Vogel membuat grafik kinerja aliran fluida dari formasi ke
lubang sumur berdasarkan data uji produksi.
Sedangkan untuk aliran tiga fasa, yaitu gas, minyak dan air, maka dalam
pengembangan kelakuan aliran tiga fasa dari formasi ke lubang sumur dapat
menggunakan analisis regresi dari metode Pudjo Sukarno sperti yang telah
dijelaskan sebelumnya.

3.5.3.2. Pemilihan Ukuran dan Tipe Pompa

Pada umumnya pemilihan tipe pompa didasarkan pada besarnya rate produksi
yang diharapkan pada rate pengangkatan yang sesuai dan ukuran casing (Check
clearances). Terproduksinya gas bersama-sama dengan cairan memberikan
pengaruh dalam pemilihan pompa, karena sifat kompresibilitas gas yang tinggi,
menyebabkan perbedaan volume fluida yang cukup besar antara intake pompa dan
discharge pompa. Hal ini akan mempengaruhi efisiensi pompa ESP itu sendiri.
71

3.5.3.3. Perkiraan Pump Setting Depth

Perkiraan pump setting depth merupakan suatu batasan umum untuk


menentukan letak kedalaman pompa dalam suatu sumur adalah bahwa pompa harus
ditenggelamkan didalam fluida sumur. Sebelum perhitungan perkiraan setting depth
dilakukan, terlebih dahulu diketahui parameter yang menentukannya, yaitu Static
Fluid Level (SFL) dan Working Fluid Level (WFL) dimana untuk menentukannya
digunakan alat sonolog atau degan operasi wirelnine, bila sumur tersebut tidak
menggunakan packer.
A. Static Fluid Level
Static fluid level pada sumur dalam keadaan mati (tidak diproduksikan),
sehingga tidak ada aliran, maka tekanan didepan perforasi sama dengan tekanan
statik sumur. Sehingga kedalaman permukaan fluida di annulus (SFL, ft) adalah :
SFL = Dmidperf – (Ps/ Gf + Pc/Gf), feet

B. Working Fluid Level/ Operating Fluid Level (WFL, ft)


Bila sumur diproduksikan dengan rate produksi sebesar q (bbl/D) dan tekanan
alir dasar sumur adalah pwf (psi), maka ketinggian (kedalaman bila diukur dari
permukaan) fluid di annulus adalah :
WFL = Dmidperf – (Pwf/ Gf + Pc/Gf), feet
Dimana :
SFL = Statik Fluid Level, ft
WFL = Working Fluid Level, ft
Ps = Tekanan Statik sumur, psi
Pwf = Tekann Alir dasar sumur, psi
q = Rate produksi, B/D
D = Kedalaman sumur, ft
Pc = Tekanan di casing, psi
Gf = Gradient Fluida sumur, psi/ft

C. Suction Head (Tinggi Hisap)


72

Suction head adalah silinder atau torak yang semula berada dipermukaan
cairan (dalam bak) air akan naik mengikuti torak sampai pada mencapai
ketinggian Hs, dimana :
Hs = 144 x P / ρ
Dimana :
Hs = suction head, ft
P = tekanan permukaan cairan, psi
ρ = densitas fluida, lb/cuft

D. Kavitasi dan Net Positive Suction Head (NPHS)


Tekanan absolut pada cairan pada suatu titik didalam pompa berada dibawah
tekanan saturasi pada temperatur cairan, maka gas semula terlarut dalam cairan
terbebaskan. Gelembung-gelembung gas ini akan mengalir bersama-sama dengan
cairan sampai pada daerah yang memiliki tekanan tinggi akan dicapai dimana
gelembung tadi akan mengecil. Fenomena ini disebut sebagai kavitasi yang dapat
menurunkan efisiensi dan merusak pompa.
Kejadian ini berhubungan dengan kondisi penghisapan dan apabila kondisi
penghisapan berada diatas Pb, maka kavitasi tidak terjadi. Kondisi minimum
dikehendaki untuk mencegah kavitasi pada suatu pompa disebut Net Positive
Suction Head (NPHS). NPHS adalah tekanan absolut diatas tekanan saturasi yang
diperlukan untuk menggerakan fluida masuk kedalam fluida.

4.5.3.3.1. Pump Setting Depth Minimum

Pump setting depth minimum merupakan keadaan yang diperlihatkan dalam


Gambar 3.15.A. Posisi minimum dalam waktu yang singkat akan terjadi pump-off, oleh
karena ketinggian fluida level diatas pompa relative sangat kecil atau pendek sehingga
hanya gas yang akan dipompakan. Pada kondisi ini Pump Intake Pressure (PIP) akan
menjadi kecil. PIP mencapai dibawah harga Pb, maka akan terjadi penurunan efisiensi
volumetris dari pompa (disebabkan terbebasnya gas dari larutan). PSD minimum dapat
ditulis dengan persamaan :

PSDmin = WFL + Pb/Gf + P/Gf , feet


73

4.5.3.3.2. Pump Setting Depth Maksimum

Merupakan keadaan yang ditunjukkan oleh Gambar 3.15.B. (Posisi maksimum)


juga kedudukan yang kurang menguntungkan. Keadaan ini memungkinkan terjadinya
overload, yaitu pengangkatan beban kolom fluida yang terlalu berat. PSD maksimum
dapat didefinisikan :

PSDmax = D – (Pb/Gf – Pc/Gf), feet

Gambar 3.23 Berbagai Posisi Pompa Pada Kedalaman Sumur8)

4.5.3.3.3. Pump Setting Depth Optimum


Merupakan kedudukan yang diharapkan dalam perencanaan pompa benam
listrik seperti dalam gambar 3.15.C (Pompa dalam keadaan optimum) menentukan
kedalaman yang optimum tadi (agar tidak terjadi pump-off Dn overload serta sesuai
dengan kondisi rate yang dikehendaki), maka kapasitas pompa yang digunakan harus
disesuaikan dengan produktivitas sumur. Penentuan PSD optimum ini dipengaruhi oleh
terbuka dan tertutupnya casing head yang mana akan memmpengaruhi tekanan casing
atau tekanan yang bekerja pada permukaan dari fluida di annulus. Kejadian ini
mempengaruhi besarnya suction head pompa.
74

Untuk casing head tertutup, maka :

Kedalaman pompa optimum = WFL + PIP-Pc / Gf

Untuk casing head terbuka, maka :

Kedalaman pompa optimum = WFL + PIP-Patm /Gf

3.5.3.4 Perhitungan Total Dynamic Head (TDH)

Untuk menghitung Total Dynamic Head fluida yang akan diangkat oleh
pompa, maka kita menggunakan langkah seperti dibawah ini:

1. Penentuan Gradien Fluida


𝐺𝑟𝑎𝑑𝑖e𝑛 𝐹𝑙𝑢𝑖𝑑𝑎 (𝐺ƒ) = 𝑆𝐺𝐹𝑙𝑢𝑖𝑑 × 0.433.................................................(3-
59)

2. Penentuan Pump Intake Pressure

𝑃e𝑟𝑏. 𝐾e𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚𝑎𝑛 = 𝑀𝑖𝑑. 𝑃e𝑟ƒo𝑟𝑎𝑠𝑖 – 𝑃𝑆𝐷............................................(3-60)


𝑃e𝑟𝑏. 𝑇e𝑘𝑎𝑛𝑎𝑛 = 𝑃e𝑟𝑏. 𝐾e𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚𝑎𝑛 × 𝐺ƒ..............................................(3-61)
𝑃𝑢𝑚𝑝 𝐼𝑛𝑡𝑎𝑘e 𝑃𝑟e𝑠𝑠𝑢𝑟e (𝑃𝐼𝑃) = 𝑃wƒ – 𝑃e𝑟𝑏e𝑑𝑎𝑎𝑛 𝑇e𝑘𝑎𝑛𝑎𝑛.................(3-62)
3. Penentuan Vertical Lift (HD)
PIP
Fluid over pump = .......................................................................(3-
GF
63)
Vertical lift (HD) = Pump setting depth (PSD)- FOP.....................(3-64)
4. Penentuan Tubing Friction Lost (Hf)
100 1,85 Qt 1,85 4,8655
Friction loss = 2,083( ) ( ¿ :ID ............................(3-65)
C 34,3
Tubing Friction loss (Hf) = friction loss x PSD......................(3-66)
5. Penentuan Tubing Head (HT)
Pwh
Tubing head (Ht) = ...........................................................(3-67)
GF
75

6. Penentuan Total Dynamic Head (TDH)


TDH = HD + HF + HT..................................................................(3-68)

3.5.3.5. Perkiraan Jumlah Stage Pompa

Untuk menghitung jumlah tingkat pompa (stage), digunakan Total Dynamic


Head (TDH, ft) dibagi dengan harga head/stage yang didapatkan dari memplotkan Q
pada Kurva IPR.

TDH
Jumlah stage = ....................................................................(3-69)
STAGE

Setelah mendapatkan hasil jumlah stage dengan rumus di atas kemudian kita
memilih sate tandem pompa pada katalog pompa yang tersedia. Jika jumlah stage
hasil perhitungan tidak tersedia pada satu tandem pada katalog pompa maka pilihlah
jumlah stage yang terdekat lebih banyak dari jumlah stage hasil perhitungan. Dan
jika jumlah stage terlalu banyak dan tidak tersedia pada jumlah segitu dalam satu
tandem maka kita bisa memakai dua tandem pompa dengan konsekuensi harga lebih
mahal.

3.6 SOFTWARE PIPESIM

Software Pipesim merupakan simulator produksi yang digunakan untuk


mempermudah dalam proses analisa pemipaan produksi dari dalam reservoir sampai ke
permukaan, baik dalam mendesain maupun optimasi dari sumur Natural Flowing atau
Artificial Lift (Gas Lift, ESP,dan Rod Pump).
76

Perintah-perintah pada Pipesim terbagi menjadi beberapa macam tergantung


kegunaannya, berikut pembagian perintah-perintah pada Pipesim:
a) Well Performance
Tubing, digunakan untuk:
 Konfigurasi tubing
 Peralatan bawah permukaan
 Pemasangan artificial lift (Gas Lift & ESP)
 Detail tubing, MD/TVD dari tubing
Vertical Completion, memodelkan aliran fluida dari reservoir ke dasar sumur
menggunakan IPR pada sumur vertical.
Data yang dimasukkan:
Temperatur reservoir
Tekanan reservoir
Asumsi yang digunakan dalam IPR
Sifat-sifat fluida
Horizontal Completion, memodelkan aliran fluida dari reservoir ke dasar sumur
menggunakan IPR pada sumur horisontal.
Nodal Analysis Point, membagi sistem menjadi dua untuk dilakukan analisa
nodal. NA point diletakkan di antara dua obyek.
b) Pipeline and Facilities
- Select Arrow, untuk memilih dan meletakkan obyek pada area kerja.
- Text, memberi keterangan pada model.
- Junction, tempat dimana dua atau lebih cabang bertemu. Fluida yang berasal
dari cabang-cabang yang ada akan bercampur di junction. Di junction tidak
terjadi penurunan tekanan atau perubahan temperatur.
- Branch, menghubungkan antara junction dengan junction atau source/sink
denga junction.
- Source, titik dimana fluida mulai memasuki jaringan (network).
- Stream re-injection, satu titik di dalam jaringan dimana aliran fluida dialihkan
dari separator dan dapat dinjeksikan ke cabang yang lain.
- Sink, satu titik dimana fluida keluar dari sistem jaringan.
77

- Production Well, titik dimana fluida mulai memasuki jaringan (network).


Hampir sama dengan Source.
- Injection Well, sumur injeksi.
- Fold, membagi jaringan menjadi sub-model jaringan dari model jaringan utama.
Digunakan untuk membagi model jaringan yang besar menjadi sub-sub model.
c) Network Analysis
- Select Arrow, untuk memilih dan meletakkan obyek pada area kerja.
- Text, memberi keterangan pada model.
- Connector, digunakan untuk menghubungkan dua objek dimana tidak terjadi
perubahan tekanan atau temperatur yang signifikan.
- Node, digunakan untuk menghubungkan obyek dimana tidak ada peralatan
(equipment) diantara obyek tersebut.
- Flowline , untuk memodelkan pipa yang akan digunakan.
- Riser , digunakan untuk memodelkan Riser yang digunakan.
- Boundary Node, hampir sama dengan Node tapi hanya satu obyek saja yang
bisa dihubungkan.
- Source, titik dimana fluida mulai memasuki jaringan (network).
- Separator, memodelkan separator yang digunakan.
- Compressor, memodelkan compressor yang digunakan.
- Expander, memodelkan expander yang digunakan dalam model.
- Heat Exchanger , memodelkan Heat Exchanger yang digunakan. Data yang
dimasukkan yaitu perubahan tekanan atau temperatur.
- Choke , memodelkan Choke yang digunakan. Data yang dimasukkan diameter
choke, critical pressure ratio, batas toleransi laju alir kritis
- Multiplier/Adder , untuk memvariasikan laju alir fluida.
- Report, untuk menampilkan hasil perhitungan di titik yang telah ditentukan.
- Engine keyword tool , digunakan untuk memasukkan dan menyimpan dalam
“expert mode”.
- Injection point, digunakan untuk menambahkan komposisi pada sistem utama.
- Multiphase Booster , untuk memodelkan booster yang digunakan.
78

- Pump, untuk memodelkan pipa yang digunakan. Data yang dimasukkan,


perbedaan tekanan, tenaga yang diperlukan, dll.
-
3.7. Prosedur menggunakan PIPESIM untuk mencari nodal variasi stages
1. Membuat sumur di tubulars lalu untuk mode nya pilih detailed, dimension
option nya wall thickness
2. Lalu membuat casing/liners
3. Lalu membuat tubing nya
4. Pilih completions buat Top MD dan Middle MD nya di jadikan meter
5. Lalu isi data reservoir dan fluid model
6. Lalu buka artificial lift
7. Pilih ESP ubah data measured depth menjadi meter
8. Buat performance data sumur nya yang telah di tentukan oleh perusahaan
9. Lalu pergi ke nodal analysis untuk mencari range berapa saja untuk
menentukan optimal nya nodal variasi stages.

Anda mungkin juga menyukai