TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Telinga Dalam dan Fisiologi Pendengaran
Auris
interna
(telinga
bagian
dalam)
atau
organum
Vestibulum
Ruang yang kecil dan jorong ini (panjangnya kira-kira 5 mm)
berisiutriculus
dan
sacculus,
bagian-bagian
peranti
keseimbangan.
Ke
ossei,
dan
dengan
fossa
crani
posterior
melalui
Labyrinthus Membranaceus
Labyrinthus membranaceus terdiri dari urut-urutan kantung dan pipa yang
saling berhubungan dan terbenam di dalam labyrinthus osseus. Di dalam
labyrinthus membranaceus terdapat endolimfe, cairan yang menyerupai air
komposisinya berbeda dari perilimfe dalam labyrinthus osseus yang meliputinya.
Labyrinthus membranaseus terdiri dari bagian utama.
Utriculus dan sacculus, dua kantung kecil di dalam vestibulum
labyrinthiossei yang saling berhubungan.
Tiga duktus semicircularis di dalam canals semicircularis ossei.
Duktus cochlearis di dalam cochlea.
Ke arah lateral meatus acusticus internus tertutup oleh selembar tulang yang
berlubang-lubang dan tipis, dan memisahkannya dari auris interna. Melalui
lembar tulang tersebut melintas nervus fasialis (nervus cranialis VII), cabangcabang nervus vestibulocochlearis (nervus cranialis VIII), dan pembuluhpembuluh darah. Di dekat ujung lateral meatus acusticus internus, nervus
vestibulocochlearis bercabang dua menjadi nervus cochlearis dan nervus
vestibularis.
sensorik
dari
telinga
dalam,
retina,
dan
system
Fisiologi Pendengaran
Proses pendengaran diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang
kekoklea. Getaran tersebut mengetarkan membran timpani diteruskan ke telinga
tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplikasikan
getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas
membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplikasi
iniakan diteruskan ke stapes yang akan mengerakkan tingkap lonjong
sehinggaperilimfa pada skala vestibuli bergerak. Getaran ini diteruskan melalui
membran reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak
relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan
rangsang mekanik yang akan menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel
rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik
dari badansel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga
melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial
aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke
korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.
merupakan
keadaan
gangguan
pada
telinga
yang
disebabkanoleh obat atau zat kimia yang merusak telinga bagian dalam atau
saraf vestibulocochlear, yang mengirim info keseimbangan dan pendengaran
daritelinga bagian dalam ke otak. Otoksisitas dapat menyebab gangguan
pendengaran,keseimbangan, atau keduanya baik untuk sementara waktu atau
permanen.Banyak zat kimia yang berpotensi bersifat ototoksik, baik itu berupa obat
atau zatkimia yang ada di lingkungan kita. Obat apapun yang berpotensi
menyebabkanreaksi toksik terhadap struktur dalam telinga, yang mencakup
koklea, vestibulum,kanalis semisirkularis, dan otolit, dianggap sebagai obat
ototoksik.
Oleh American Speech-Language-Hearing Assosiation (ASHA) dan the
National Cancer Institute Common Terminology Criteria for Adverse Events
(CTCAE) ototoksisitas didefenisikan sebagai :
Penurunan 20dB atau lebih pada audiometri nada murni pada satu
frekuensi.
Penurunan sebesar 10dB atau lebih pada dua frekuensi yang berdekatan.
Tidak ada respon pada pemeriksaan dengan OAE atau BERA pada tiga
kali pemeriksaan berulang dimana sebelumnya ada respon.
Brocks:
8.000Hz
Derajat 3: ambang dengar >40dB pada frekuensi 2.000-
8.000Hz
Derajat 4: ambang dengar >40dB pada frekuensi 1.0008.000Hz
2.2.2 Patogenesis
Mekanisme gangguan pendengaran akibat obat ototoksik masih belum
begitu jelas. Patologinya meliputi hilangnya sel rambut luar yang lebih apikal,
yang diikuti oleh sel rambut dalam. Hal ini permulaannya menyebabkan gangguan
pendengaraan frekuensi tinggi yang dapat berlanjut ke frekuensi rendah. Pasienpasien tertentu tidak mengetahui adanya gangguan pendengaran hingga defisit
mencapai derajat ringan sedang (>30 dB hearing level) pada frekuensi
percakapan.
Kebanyakan poin yang terbukti saat ini adalah terdapat pengikatan obat
dengan glikosaminoglikan stria vaskularis, yang menyebabkan perubahan strial
dan perubahan sekunder sel-sel rambut. Antibiotik ototoksik menyebabkan
hilangnya pendengaran dengan mengubah proses-proses biokimia yang penting
yang menyebabkan penyimpangan metabolik dari sel rambut dan bisa
menyebabkan kematian sel secara tiba-tiba.
Efek utama dari obat-obat ototoksik terhadap telinga adalah hilangnya selsel rambut yang dimulai dari basal koklea, kerusakan seluler pada stria vaskularis,
limbus
spiralis
dan
sel-sel
rambut
koklea
dan
vestibuler. Kerusakan
dapat terjadi pada penggunaan salisilat dan kina serta tuli akut yang disebabkan
diuretik kuat dapat pulih dengan menghentikan pengobatan dengan segera.
Gejala dini gangguan pendengaran pada ototoksisitas aminoglikosida sulit
dikenali oleh pasien karena hanya bermanifestasi pada frekwensi tinggi. Pada
keadaan lanjut akan mempengaruhi frekwensi percakapan dan ketuliannya akan
semakin berat jika penggunaan obat ini diteruskan. Pada audiogram ditemukan
ciri penurunan yang tajam untuk frekuensi tinggi.
2.2.4 Penatalaksanaan
Tuli yang diakibatkan oleh obat-obat ototoksik tidak dapat diobati. Bila
pada waktu pemberian obat-obat ototoksik terjadi gangguan pada telinga dalam
dapat diketahui secara audiometrik, maka pengobatan dengan obat-obatan tersebut
harus segera dihentikan. Berat ringan ketulian yang terjadi tergantung
kepada jenis obat, jumlah dan lamanya pengobatan. Kerentanan pasien termasuk
yang menderita insufisiensi ginjal dan sifat obat tersendiri. Apabila ketulian
sudahterjadi dapat dicoba melakukan rehabilitasi antara lain dengan Alat Bantu
Dengar (ABD), psikoterapi, auditory training, termasuk cara menggunakan
sisa pendengaran dengan alat bantu dengar, belajar komunikasi total dengan
belajar membaca bahasa isyarat. Pada tuli total bilateral dapat dipertimbangkan
pemasangan implan koklea.
2.2.5 Pencegahan
Berhubung tidak ada pengobatan untuk tuli akibat obat ototoksik, maka
pencegahan
menjadi
lebih
termasuk mempertimbangkan
penting.
Dalam
penggunaan
melakukan
obat-obat
pencegahan
ototoksik,
ini
menilai
kerentanan pasien, monitoring ketat level obat dalam serum dan fungsi ginjal
harus baik sebelum, selama dan setelah terapi. Cara lain adalah dengan mengukur
fungsi audiometri sebelum terapi, memonitor efek samping secara dini, yaitu
2.2.6 Prognosis
Prognosis sangat tergantung kepada jenis obat, jumlah dan lamanya
pengobatan, kerentanan pasien, adanya faktor resiko seperti gagal ginjal akut
ataupun kronis dan penggunaan obat ototoksik yang lain secara bersamaan akan
tetapi pada umumnya prognosis tidak begitu baik dan malah makin memburuk.
2.3 Jenis-Jenis Obat Ototoksik
2.3.1 Aminoglikosida
A. Definisi
Aminoglikosida adalah kelompok antibiotic bakterisidal yang berasal dari
berbagai macam streptomyces. Yang termasuk kelompok obat ini adalah
streptomisin, neomisin, kanamisin, amikasin, gentamisin, tobramisin, sisomisin,
netilmisin. Antibiotic aminoglikosida telah menjadi bagian penting dari obat
antibacterial sejak mereka ditemukan pada tahun 1940-an. Mereka memiliki
aktivitas in vitro yang kuat terhadap Pseudomonas Aeroginosa dan sebagian besar
basil gram-negatif aerob lainnya, dan juga memperlihatkan aktivitas terhadap
Staphylococcus aureus.
B. Epidemiologi
Walaupun ototoksisitas merupakan efek samping dari aminoglikosida yang
tersering kedua, yang paling sering adalah nefrotoksisitas, angka kejadian pastinya
masih kontroversial. Beberapa peneliti melaporkan toksisitas auditori mencapai
41%, sedangkan peneliti yang lain melaporkan angka yang jauh lebih rendah yaitu
7%. Data yang terkumpul dari penelitan meta-analisa memperlihatkan sekitar 5%
insiden toksisitas auditori karena konsumsi aminoglikosida dengan dosis ganda
perhari. Toksisitas vestibuler telah dilaporkan berada pada kisaran 0-7% pada
pasien yang mendapatkan aminoglikosida.
C. Patofisiologi
Toksisitas aminoglikosida paling sering terjadi pada ginjal dan system
kokleovestibular; akan tetapi, tidak ada keterkaitan antara tingkat keparahan
nefrotoksisitas dengan ototoksisitas. Toksisitas pada koklear yang menyebabkan
kehilangan pendengaran mulai pada frekuensi tinggi dan disebabkan oleh
kerusakan yang menetap pada sel rambut bagian luar pada organ corti.
Mekanisme ototoksisitas aminoglikosida dimediasi oleh gangguan pada sintesis
protein mitokondira, dan pembentukan radikal oksigen bebas. Dasar seluler pada
kehilangan
pendengaran
akibat
aminoglikosida
adalah
kerusakan
sel
lebih
bersifat
kokleotoksik
daripada
vestibulotoksik.
lama
adalah
streptomisin
yang
diberikan
secara
sistemis,
bergerak. Pergerakan yang cepat pada kepala berkaitan dengan penglihatan yang
menjadi kabur. Secara klinis, nistagmus dapat muncul sebagai tanda awal.
E. Pencegahan
Pencegahan
ototoksisitas
aminoglikosida
melibatkan
pengawasan
kadarobat dalam darah dan fungsi renal serta pemeriksaan pendengaran sebelum,
selama, dan setelah terapi. Ukur fungsi audiometrik dasar sebelum terapi.
Identifikasi secara teliti pasien yang beresiko tinggi dan pilih antibiotic alternatif
untuk mereka. Yang terakhir, karena aminoglikosida masih tetap berada dalam
koklea dalam waktu yang lama setelah terapi dihentikan, minta pada pasien
untuk menghindari lingkungan yang bising selama 6 bulan setelah terapi
dihentikan karena mereka lebih rentan terhadap suara bising.
yang
mengandung
neomisin-polimiksin.
Oleh
karena
itu
2.3.3 Cisplatin
A. Definisi
B. Epidemiologi
Cisplatin memiliki potensi ototoksik yang tertinggi dibandingkan dengan
senyawa platinum yang lain. Sekitar 50% pasien kanker kepala dan leher yang
diobati dengan cisplatin mengalami ototoksisitas. Ototoksisitas cisplatin berkaitan
dengan dosis. Dalam sebuah penelitian retrospektif yang besar yang mencakup
periode tahun 1990 hingga 2001, Derough dan rekan menemukan bahwa 42% dari
400 pasien yang mendapatkan cisplatin dosis tinggi (70-85 mg/M2; rata-rata dosis
akumulatis sebesar 420 mg) mengalami ototoksisitas simptomatik. Sebaliknya,
ototoksisitas cisplatin hanya terjadi pada 20% pasien yang mendapatkan cisplastin
dosis rendah.
C. Patofisiologi
Mekanisme ototoksisitas cisplatin dimediasi oleh produksi radikal bebas
dan kematian sel. Senyawa platinum merusak stria vaskularis dalam skala media
dan menyebabkan kematian sel rambut pada bagian luar radikal bebas dihasilkan
oleh NADPH oksidase pada sel rambut bagian dalam setelah terpapar cisplatin.
NADPH oksidase merupakan enzim yang mengkatalisa pembentukan radikal
superoksida. Bentuk NADPH oksidase tertentu, NOX3, diproduksi didalam
telinga bagian dalam dan merupakan sumber pembentukan radikal bebas yang
penting dalam koklea, yang dapat berperan dalam terjadinya kehilangan
pendengaran. Radikal bebas yang dihasilkan melalui mekanisme ini kemudian
E. Pencegahan
Lakukan pemeriksaan audiogram dan pemeriksaan audiogram lanjutan
secara berkala selama terapi untuk semua pasien yang mendapatkan obat ini.
Lakukan pemeriksaan ini sesegera mungkin sebelum siklus obat yang selanjutnya
sehingga efek dari siklus yang sebelumnya dapat diketahui. Yang terakhir, pasieh
harus melanjutkan pemeriksaan audiometrik karena retensi obat yang cukup lama
setelah menghentikan terapi. Juga beri tahu pasien untuk menghindari lingkungan
yang bising selama 6 bulan.
B. Patofisiologi
Efek ototoksisitas dari loop diuretic tampaknya berkaitan dengan stria
vascularis, yang dipengaruhi oleh perubahan dalam gradient ionik diantara
perilimfe dan endolimfe. Perubahan ini menyebabkan edema epithelium dari stria
vascularis. Bukti juga memperlihatkan bahwa endolimfatik berpotensi berkurang,
akan tetapi hal ini biasanya bergantung pada dosis dan reversible. Ototoksisitas
yang disebabkan oleh asam ethacrynic tampaknya terjadi secara lebih bertahap
dan lebih lama disembuhkan daripada yang disebabkan oleh furosemide atau
bumetanide. Secara keseluruhan, ototoksisitas yang disebabkan oleh obat loop
diuretic biasanya dapat sembuh sendiri pada pasien dewasa.
gangguan
pendengaran.
Beberapa
pasien
mengalami
gangguan
pendengaran permanen, terutama pasien yang menderita gagal ginjal, pasien yang
mendapatkan dosis yang lebih tinggi, atau mereka yang juga mengonsumsi
aminoglikosida.
D. Pencegahan
Pencegahan ototoksisitas yang disebabkan oleh loop diuretic terdiri dari
penggunaan dosis yang paling rendah untuk mencapai efek yang diinginkan dan
menghindari pemberian secara cepat. Selain itu, faktor resiko yang berkaitan
dengan pemberian obat ini harus diperiksa seteliti mungkin, termasuk pemberian
bersama dengan obat ototoksik lainnya dan riwayat gagal ginjal. Karena
potensiasi dan sinergisme efek ototoksik dari aminoglikosida dan loop diuresis
telah diketahui, pemberian bersama obat-obat ini tidak direkomendasikan.
2.3.5 Salisilat
Aspirin dan salisilat yang lain sangat berkaitan dengan tinnitus dan
gangguan pendengaran sensorineural. Gangguan pendengaran bergantung pada
dosis dan dapat berkisar dari moderat hingga parah. Jika konsumsi obat
dihentikan, pendengaran kembali normal dalam waktu 72 jam. Tinnitus terjadi
saat mengkonsumsi aspirin dengan dosis sebesar 6 hingga 8 g/hari dan pada dosis
yang
lebih
rendah
pada
beberapa
pasien.
Tempat
terjadinya
efek
ototoksik tampaknya pada tingkat mekanik koklear dasar, seperti yang dibuktikan
dengan gangguan pendengaran sensorineural, hilangnya emisi otoakustik,
penurunan aksipotensial koklear, dan perubahan ujung saraf auditori. Efek-efek
ini mungkin disebabkan oleh perubahan pada turgiditas dan motilitas sel rambut di
bagian luar.
hilang. Studi terbaru menyatakan bahwa kuinin mengganggu motilitas selselrambut. Pada pemakaian klorokuin pada dosis tinggi (lebih dari 250 mg sehari)
atau penggunaan lama (diatas 1 tahun), efek sampingnya lebih hebat, yaitu rambut
rontok, tuli menetap, dan kerusakan menetap.
Kuinin telah lama diketahui berkaitan dengan terjadinya tinnitus,
gangguan pendengaran sensorineural, dan gangguan penglihatan. Sindrom
tinnitus, nyeri kepala, mual, dan gangguan penglihatan disebut cinchonism. Dosis
yang lebih besar dapat menyebabkan sindrom ini menjadi lebih parah. Obat ini
digunakan sebagai tambahan dalam pengobatan malaria. Efek ototoksik dari
kuinin tampaknya terjadi terutama pada fungsi pendengaran dan biasanya bersifat
sementara. Gangguan pendengaran yang permanen dapat terjadi dengan dosis
yang lebih besar atau pada pasien yang sensitif.
Perlu dicatat bahwa kina dan klorokuin dapat melalui plasenta. Pernah ada
laporan kasus tentang tuli kongenital dan hipoplasi koklea karena pengobatan
malaria waktu ibu sedang hamil.
luas dari pada eritromisin. Namun beberapa laporan menyebutkan tentang efek
ottotoksisitasnya mulai muncul. Namun laporannya masih bersifat sporadis dan
masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut.
C. Vankomisin
Vankomisin adalah antibiotik golongan glikopeptida yang pertama kali
diperkenalkan tahun 1950. Sering digunakan pada kasus infeksi stafilokokus yang
resistensi dangan methisilin. Beberapa kasus ototoksisitas yang biasanya muncul
sebagai tinitus dilaporkan pada pasien dengan peningkatan kadar dalam serum
akibat gagal ginjal atau pada pasien yang menerima obat antibiotik golongan
aminoglikosid secara bersamaan. Data yang ada tidak lengkap namun pada
beberapa kasus efek ototoksisitasnya bersifat sementara. Belum ada laporan yang
memberikan bukti yang kuat bahwa pemberian vankomisin saja dalam dosis
terapeutik dapat menyebabkan efek ototoksik. Tidak ada rekomendasi yang
diberikan untuk penggunaan vankomisin, namun perhatian harus diberikan pada
pemberian vankomisin bersama obat ototoksik lainnya.