Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Telinga Dalam dan Fisiologi Pendengaran
Auris

interna

(telinga

bagian

dalam)

atau

organum

vestibulocochleareberhubungan dengan penerimaan bunyi dan pemeliharaan


keseimbangan. Aurisinterna yang tertanam di dalam pars petrosa, salah satu
bagian tulang temporal,terdiri dari kantong-kantong dan pipa-pipa labyrinthus
membranaceus. Systemselaput ini berisi endolimfe dan organ-organ akhir untuk
pendengaran dankeseimbangan. Labyrinthus membranaceus berupa selaput yang
diliputi olehperilimfe terbenam di dalam labyrinthus osseus.

Gambar 2.1 Anatomi Telinga Dalam

Labyrinthus osseus (Tulang Labirin)


Labyrinthus osseus auris interna menempati hampir seluruh bagian
lateralpars petrosa pada os temporal. Labyrinthus osseus auris interna terdiri dari 3
bagian, yaitu:

Gambar 2.2 Anatomi Tulang Labirin


Cochlea
Bagian labyrinthus osseus unu yang berbentuk seperti keong, berisi
duktuscochlearis, bagian auris interna yang berhubungan dengan pendengaran.
Cochleamembuat 2,5 putaran, mengelilingi sumbu tulang yang disebut modiolus
danberisi terusan-terusan untuk pembuluh darah dan saraf. Putaran cochlea
basalyang lebar menyebabkan terbentuknya promontorium pada dinding medial
cavitastimpani.

Vestibulum
Ruang yang kecil dan jorong ini (panjangnya kira-kira 5 mm)
berisiutriculus

dan

sacculus,

bagian-bagian

peranti

keseimbangan.

Ke

anteriorvestibulum bersinambungan dengan cochlea tulang, ke posterior dengan


canalssemicirculares

ossei,

dan

dengan

fossa

crani

posterior

melalui

aqueductusvestibule. Aqueductus vestibule melintas ke permukaan posterior pars

petrosa dandi sini bermuara di sebelah postero-lateral meatus acusticus internus.


Di dalamnyaterdapat ductus endolymphaticus dan dua pembuluh darah kecil.

Canales semicirculares ossei


Canalis semicircularis anterior, canalis semicircularis posterior, dancanalis
semicircularis lateralis berhubungan dengan vestibulum labyrinthi ossei. Canals
semicircularis ossei terletak posterosuperior terhadap vestibulum yangmerupakan
tempat bermuaranya canals semicircularis ossei; ketiga terusanditempatkan tegak
lurus satu terhadap yang lain. Dengan demikian stereometrismereka menempati
tiga bidang. Masing-masing terusan berupa kira-kira duapertiga dari sebuah
lingkaran dengan diameter kira-kira 1,5 mm, kecuali pada satu ujung yang
melebar sebagai ampulla.

Labyrinthus Membranaceus
Labyrinthus membranaceus terdiri dari urut-urutan kantung dan pipa yang
saling berhubungan dan terbenam di dalam labyrinthus osseus. Di dalam
labyrinthus membranaceus terdapat endolimfe, cairan yang menyerupai air
komposisinya berbeda dari perilimfe dalam labyrinthus osseus yang meliputinya.
Labyrinthus membranaseus terdiri dari bagian utama.
Utriculus dan sacculus, dua kantung kecil di dalam vestibulum
labyrinthiossei yang saling berhubungan.
Tiga duktus semicircularis di dalam canals semicircularis ossei.
Duktus cochlearis di dalam cochlea.

Meatus acusticus interna


Meatus acusticus internus adalah sebuah terusan sempit yang melintas
kelateral sejauh kira-kira 1 cm di dalam pars petrosa. Lubangnya terdapat pada
bagian posteromedial tulang tersebut, sejajar dengan meatus acusticus eksternus.

Ke arah lateral meatus acusticus internus tertutup oleh selembar tulang yang
berlubang-lubang dan tipis, dan memisahkannya dari auris interna. Melalui
lembar tulang tersebut melintas nervus fasialis (nervus cranialis VII), cabangcabang nervus vestibulocochlearis (nervus cranialis VIII), dan pembuluhpembuluh darah. Di dekat ujung lateral meatus acusticus internus, nervus
vestibulocochlearis bercabang dua menjadi nervus cochlearis dan nervus
vestibularis.

Fisiologi Sistem Vestibularis


Sinyal-sinyal

sensorik

dari

telinga

dalam,

retina,

dan

system

musculoskeletal diintegrasikan dalam SSP agar dapat mengontrol arah


pandangan,posisi serta gerak tubuh dalam ruang. Bila disebutkan system
vestibularis maka yang dimaksud tidak hanya reseptor saja, namu juga jaras-jaras
SSP yang terlibat dalam pengolahan sinyal-sinyal aferen dan aktivasi motor
neuron. Reseptor system ini adalah sel rambut yang terletak dalam krista kanalis
semisirkularis dan maculadari organ otolit. Secara fungsional terdapat dua jenis
sel. Sel-sel pada kanalis semisirkularis peka terhadap rotasi khususnya terdapat
dua jenis sel. Sel-sel pada kanalis semisirkularis peka terhadap rotasi khususnya
terhadap percepatan sudut(yaitu perubahan dalam kecepatan sudut), sedangkan
sel-sel pada organ otolitpeka terhadap gerak linear, khususnya percepatan linear
dan terhadap perubahan posisi kepala relative terhadap gravitasi. Perbedaan
kepekaan terhadap percepatan sudut dan linear ini disebabkan oleh geometri dari
kanalis dan organ otolit serta cirri-ciri fisik dari struktur-struktur yang menutupi
sel rambut.

Fisiologi Pendengaran
Proses pendengaran diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang
kekoklea. Getaran tersebut mengetarkan membran timpani diteruskan ke telinga
tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplikasikan

getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas
membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplikasi
iniakan diteruskan ke stapes yang akan mengerakkan tingkap lonjong
sehinggaperilimfa pada skala vestibuli bergerak. Getaran ini diteruskan melalui
membran reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak
relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan
rangsang mekanik yang akan menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel
rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik
dari badansel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga
melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial
aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke
korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.

Gambar 2.3 Fisiologi Pendengaran

2.2 Gangguan Pendengaran Akibat Obat Ototoksik


2.2.1 Defenisi
Ototoksisitas

merupakan

keadaan

gangguan

pada

telinga

yang

disebabkanoleh obat atau zat kimia yang merusak telinga bagian dalam atau
saraf vestibulocochlear, yang mengirim info keseimbangan dan pendengaran
daritelinga bagian dalam ke otak. Otoksisitas dapat menyebab gangguan
pendengaran,keseimbangan, atau keduanya baik untuk sementara waktu atau
permanen.Banyak zat kimia yang berpotensi bersifat ototoksik, baik itu berupa obat
atau zatkimia yang ada di lingkungan kita. Obat apapun yang berpotensi
menyebabkanreaksi toksik terhadap struktur dalam telinga, yang mencakup
koklea, vestibulum,kanalis semisirkularis, dan otolit, dianggap sebagai obat
ototoksik.
Oleh American Speech-Language-Hearing Assosiation (ASHA) dan the
National Cancer Institute Common Terminology Criteria for Adverse Events
(CTCAE) ototoksisitas didefenisikan sebagai :

Penurunan 20dB atau lebih pada audiometri nada murni pada satu

frekuensi.
Penurunan sebesar 10dB atau lebih pada dua frekuensi yang berdekatan.
Tidak ada respon pada pemeriksaan dengan OAE atau BERA pada tiga
kali pemeriksaan berulang dimana sebelumnya ada respon.

Adapun derajat ototoksisitas menurut CTCAE dan Brock sebagai berikut :


CTCAE:

Derajat 1: ambang dengar turun 15-20dB dari pemeriksaan


sebelumnya (satu tahun), di rata-rata pada dua atau lebih

frekuensi yang berurutan.


Derajat 2: ambang dengar turun 25-90dB dari pemeriksaan
sebelumnya (satu tahun), dirata-rata pada dua atau lebih
frekuensi yang berurutan.

Derajat 3: penurunan pendengaran yang membutuhkan


intervensi alat bantu dengar (>20dB bilateral pada frekuensi

percakapan, >30dB unilateral pada frekuensi percakapan).


Derajat 4: penurunan pendengaran yang membutuhkan
intervensi alat bantu dengar dan implan kokhlea.

Brocks:

Derajat 0: ambang dengar <40dB pada semua frekuensi


Derajat 1: ambang dengar >40dB pada frekuensi 8.000Hz
Derajat 2: ambang dengar >40dB pada frekuensi 4.000-

8.000Hz
Derajat 3: ambang dengar >40dB pada frekuensi 2.000-

8.000Hz
Derajat 4: ambang dengar >40dB pada frekuensi 1.0008.000Hz

2.2.2 Patogenesis
Mekanisme gangguan pendengaran akibat obat ototoksik masih belum
begitu jelas. Patologinya meliputi hilangnya sel rambut luar yang lebih apikal,
yang diikuti oleh sel rambut dalam. Hal ini permulaannya menyebabkan gangguan
pendengaraan frekuensi tinggi yang dapat berlanjut ke frekuensi rendah. Pasienpasien tertentu tidak mengetahui adanya gangguan pendengaran hingga defisit
mencapai derajat ringan sedang (>30 dB hearing level) pada frekuensi
percakapan.
Kebanyakan poin yang terbukti saat ini adalah terdapat pengikatan obat
dengan glikosaminoglikan stria vaskularis, yang menyebabkan perubahan strial
dan perubahan sekunder sel-sel rambut. Antibiotik ototoksik menyebabkan
hilangnya pendengaran dengan mengubah proses-proses biokimia yang penting
yang menyebabkan penyimpangan metabolik dari sel rambut dan bisa
menyebabkan kematian sel secara tiba-tiba.
Efek utama dari obat-obat ototoksik terhadap telinga adalah hilangnya selsel rambut yang dimulai dari basal koklea, kerusakan seluler pada stria vaskularis,
limbus

spiralis

dan

sel-sel

rambut

koklea

dan

vestibuler. Kerusakan

vestibuler juga merupakan efek yang merugikan dari antibiotik aminoglikosida

dan awalnya menunjukkan nistagmus posisional. Pada keadaan berat, kerusakan


vestibuler dapat menyebabkan ketidakseimbangan dan osilopsia. Osilopsia, yang
disebabkan oleh kerusakan sistem vestibuler bilateral, adalah ketidakmampuan
sistem okuleruntuk menjaga horizon yang stabil.
Degenerasi sel epitel sensori. Kelainan patologi ini terjadi pada organ corti
dan labirin vestibular, akibat panggunaan antibiotik aminoglikosida sel rambut
luar lebih terpengaruh daripada sel rambut dalam. Dan perubahan patologi ini
dimulai dari basal kokhlea dan berlanjut terus hingga akhirnya sampai kebagian
apeks.
Degenerasi sel ganglion. Kelainan ini terjadi sekunder akibat adanya
dengenerasi dari sel epitel sensori.

2.2.3 Gejala Klinis


Tinitus dan vertigo merupakan gejala utama ototoksisitas. Tinitus biasanya
menyertai segala jenis tuli sensorineural oleh sebab apapun dan seringkali keluhan
pertama yang muncul serta mengganggu jika dibandingkan dengan tulinya sendiri
dimana pada ototoksik tinitus cirinya kuat dan bernada tinggi, berkisar antara 4
KHz sampai 6 KHz serta biasa bilateral. Pada kerusakan yang menetap, tinnitus
lama kelamaan tidak begitu kuat tetapi juga tidak pernah hilang, gejala lainnya
juga terdapat gangguan keseimbangan badan, sulit memfiksasi pandangan,
terutama setelah perubahan posisi, ataksia (kehilangan koordinasi otot) dan
oscillopsia (pandangan kabur denganpergerakan kepala) tanpa adanya riwayat
vertigo sebelumnya, menyebabkan kesulitan melihat tanda lalu lintas ketika
mengendarai kendaraan atau mengenali wajah orang ketika berjalan.
Diuretik kuat dapat menimbulkan tinnitus yang kuat dalam beberapa menit
setelah menyuntikkan intravena, tetapi pada kasus-kasus yang tidak begitu berat
dapat terjadi tuli sensorineural secara perlahan-lahan dan progresif dengan hanya
disertai tinnitus yang ringan dan biasanya menghasilkan audiogram yang
mendatar atau sedikit menurun. Tinnitus dan kurang pendengaran yang reversibel

dapat terjadi pada penggunaan salisilat dan kina serta tuli akut yang disebabkan
diuretik kuat dapat pulih dengan menghentikan pengobatan dengan segera.
Gejala dini gangguan pendengaran pada ototoksisitas aminoglikosida sulit
dikenali oleh pasien karena hanya bermanifestasi pada frekwensi tinggi. Pada
keadaan lanjut akan mempengaruhi frekwensi percakapan dan ketuliannya akan
semakin berat jika penggunaan obat ini diteruskan. Pada audiogram ditemukan
ciri penurunan yang tajam untuk frekuensi tinggi.

2.2.4 Penatalaksanaan
Tuli yang diakibatkan oleh obat-obat ototoksik tidak dapat diobati. Bila
pada waktu pemberian obat-obat ototoksik terjadi gangguan pada telinga dalam
dapat diketahui secara audiometrik, maka pengobatan dengan obat-obatan tersebut
harus segera dihentikan. Berat ringan ketulian yang terjadi tergantung
kepada jenis obat, jumlah dan lamanya pengobatan. Kerentanan pasien termasuk
yang menderita insufisiensi ginjal dan sifat obat tersendiri. Apabila ketulian
sudahterjadi dapat dicoba melakukan rehabilitasi antara lain dengan Alat Bantu
Dengar (ABD), psikoterapi, auditory training, termasuk cara menggunakan
sisa pendengaran dengan alat bantu dengar, belajar komunikasi total dengan
belajar membaca bahasa isyarat. Pada tuli total bilateral dapat dipertimbangkan
pemasangan implan koklea.

2.2.5 Pencegahan
Berhubung tidak ada pengobatan untuk tuli akibat obat ototoksik, maka
pencegahan

menjadi

lebih

termasuk mempertimbangkan

penting.

Dalam

penggunaan

melakukan

obat-obat

pencegahan

ototoksik,

ini

menilai

kerentanan pasien, monitoring ketat level obat dalam serum dan fungsi ginjal
harus baik sebelum, selama dan setelah terapi. Cara lain adalah dengan mengukur
fungsi audiometri sebelum terapi, memonitor efek samping secara dini, yaitu

dengan memperhatikan gejala-gejala keracunan telinga dalam yang timbul seperti


tinnitus, kurang pendengaran dan vertigo.
Pada pasien-pasien yang telah mulai menunjukkan gejala tersebut di atas
harus dilakukan evaluasi audiologik dan segera menghentikan pengobatan dan
baiknya antibiotik yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran baiknya
tidak diberikan pada wanita hamil, berusia lanjut dan orang-orang yang
sebelumnya pernah menderita ketulian dan sebaiknya dilakukan pemantauan
terhadap kadarobat dalam darah jika memungkinkan baik sebelum dan selama
pengobatan berlangsung.

2.2.6 Prognosis
Prognosis sangat tergantung kepada jenis obat, jumlah dan lamanya
pengobatan, kerentanan pasien, adanya faktor resiko seperti gagal ginjal akut
ataupun kronis dan penggunaan obat ototoksik yang lain secara bersamaan akan
tetapi pada umumnya prognosis tidak begitu baik dan malah makin memburuk.
2.3 Jenis-Jenis Obat Ototoksik
2.3.1 Aminoglikosida
A. Definisi
Aminoglikosida adalah kelompok antibiotic bakterisidal yang berasal dari
berbagai macam streptomyces. Yang termasuk kelompok obat ini adalah
streptomisin, neomisin, kanamisin, amikasin, gentamisin, tobramisin, sisomisin,
netilmisin. Antibiotic aminoglikosida telah menjadi bagian penting dari obat
antibacterial sejak mereka ditemukan pada tahun 1940-an. Mereka memiliki
aktivitas in vitro yang kuat terhadap Pseudomonas Aeroginosa dan sebagian besar
basil gram-negatif aerob lainnya, dan juga memperlihatkan aktivitas terhadap
Staphylococcus aureus.

Aminoglikosida paling sering digunakan untuk melawan bakteri enteric


gram negative, terutama pada bakteremia dan sepsis, dikombinasikan dengan
vankomisin atau penisilin untuk endokarditis, dan untuk penanganan tuberculosis.
Streptomisin adalah aminoglikosida yang tertua. Gentamisin, tobramisin, dan
amikasin adalah aminoglikosida yang paling sering digunakan saat ini. Neomisin
dan kanamisin penggunaannya terbatas pada penggunaan secara topical atau oral.
Toksisitas utama dari obat ini adalah nefrotoksisitas, yang terjadi pada 15% pasien
yang mendapatkan regimen ini, dan ototoksisitas, yang menimbulkan gangguan
pendengaran dan gangguan pada system vestibuler.

B. Epidemiologi
Walaupun ototoksisitas merupakan efek samping dari aminoglikosida yang
tersering kedua, yang paling sering adalah nefrotoksisitas, angka kejadian pastinya
masih kontroversial. Beberapa peneliti melaporkan toksisitas auditori mencapai
41%, sedangkan peneliti yang lain melaporkan angka yang jauh lebih rendah yaitu
7%. Data yang terkumpul dari penelitan meta-analisa memperlihatkan sekitar 5%
insiden toksisitas auditori karena konsumsi aminoglikosida dengan dosis ganda
perhari. Toksisitas vestibuler telah dilaporkan berada pada kisaran 0-7% pada
pasien yang mendapatkan aminoglikosida.

C. Patofisiologi
Toksisitas aminoglikosida paling sering terjadi pada ginjal dan system
kokleovestibular; akan tetapi, tidak ada keterkaitan antara tingkat keparahan
nefrotoksisitas dengan ototoksisitas. Toksisitas pada koklear yang menyebabkan
kehilangan pendengaran mulai pada frekuensi tinggi dan disebabkan oleh
kerusakan yang menetap pada sel rambut bagian luar pada organ corti.
Mekanisme ototoksisitas aminoglikosida dimediasi oleh gangguan pada sintesis
protein mitokondira, dan pembentukan radikal oksigen bebas. Dasar seluler pada
kehilangan

pendengaran

akibat

aminoglikosida

adalah

kerusakan

sel

rambutkoklear, terutama sel rambut di bagian luar. Aminoglikosida tampaknya

membentuk radikal bebas didalam telinga bagian dalam dengan mengaktivasi


sintetase nitrit oksida sehingga meningkatkan konsentrasi nitrat oksida.
Oksigenradikal kemudian bereaksi dengan nitrit oksida untuk membentuk
peroksinitrat radikal yang bersifat destruktif, yang dapat secara langsung
merangsang kematiansel. Apoptosis adalah mekanisme utama dari kematian sel
dan terutama dimediasi oleh aliran yang dimediasi oleh mitokondrial intrinsic.
Tampaknya interaksi aminoglikosida dengan logam transisi seperti besi dan
tembaga mempercepatpembentukan radikal bebas ini.
Aminoglikosida yang berbeda memiliki afinitas yang berbeda, yang
menyebabkan pola ototoksisitas yang berbeda dengan aminoglikosida yang
berbeda. Sebagai contohnya Kanamisin, tobramisin, amikasin, neomisin, dan
dihydrostreptomisin

lebih

bersifat

kokleotoksik

daripada

vestibulotoksik.

Aminoglikosida yang lain, seperti streptomisin dan gentamisin, lebih bersifat


vestibulotoksik dari pada kokleotoksik. Rangkaian waktu toksisitas juga berbedabeda. Toksisitas neomisin biasanya cepat dan dalam, sedangkan efek yang timbul
agak

lama

adalah

streptomisin

yang

diberikan

secara

sistemis,

dihydrostreptomisin, tobramisin, amikasin, netilmisin, dan dengan gentamisin


yang diberikan melalui telinga tengah.

D. Tanda dan gejala


Secara klinis, kerusakan koklea akut dapat menampakkan gejala tinnitus.
Kehilangan pendengaran pada awalnya mungkin tidak disadari pasien dan
awalnya bermanifestasi sebagai peningkatan ambang batas pada frekuensi tinggi
(> 4.000 Hz). Semakin berkembang, frekuensi pembicaraan yang lebih rendah
terpengaruh dan pasien dapat menjadi tuli jika dilanjutkan pemberian obat
aminoglikosida. Jika Jika konsumsi obat cepat dihentikan, kehilangan
pendengaran dapat dicegah.
Gejala toksisitas vestibular biasanya mencakup ketidakseimbangan tubuh
dan gejala visual. Ketidakseimbangan tumbuh memburuk pada keadaan gelap.
Jarang terjadi vertigo. Gejala visual, disebut oscillopsia, hanya terjadi jika kepala

bergerak. Pergerakan yang cepat pada kepala berkaitan dengan penglihatan yang
menjadi kabur. Secara klinis, nistagmus dapat muncul sebagai tanda awal.

E. Pencegahan
Pencegahan

ototoksisitas

aminoglikosida

melibatkan

pengawasan

kadarobat dalam darah dan fungsi renal serta pemeriksaan pendengaran sebelum,
selama, dan setelah terapi. Ukur fungsi audiometrik dasar sebelum terapi.
Identifikasi secara teliti pasien yang beresiko tinggi dan pilih antibiotic alternatif
untuk mereka. Yang terakhir, karena aminoglikosida masih tetap berada dalam
koklea dalam waktu yang lama setelah terapi dihentikan, minta pada pasien
untuk menghindari lingkungan yang bising selama 6 bulan setelah terapi
dihentikan karena mereka lebih rentan terhadap suara bising.

2.3.2 Aminoglikosida secara Ototopikal


Data yang berasal dari penelitian yang menggunakan hewan percobaan
telah memperlihatkan hasil yang sama bahwa hampir semua antibiotik
aminoglikosida yang digunakan sebagai antibiotic topical pada telinga tengah
bersifat ototoksik. Tinjauan literatur terbaru mengungkapkan terdapat 54 kasus
toksisitas vestibular gentamisin karena penggunaan antibiotik ini secara
ototopikal. Selain itu, 24 pasien tersebut juga mengalami toksisitas auditori. Juga
terdapat 11 pasien yang mengalami toksisitas auditori karena penggunaan tetes
telinga

yang

mengandung

neomisin-polimiksin.

Oleh

karena

itu

direkomendasikan bahwa jika memungkinkan, preparat antibiotik topical yang


tidak menimbulkan efek samping ototoksik harus digunakan jika terbukti terdapat
lubang pada membran timpani.

2.3.3 Cisplatin
A. Definisi

Cisplatin merupakan obat anti kanker yang digunakan untuk mengobati


sejumlah keganasan seperti kanker testis, kanker ovarium dan beberapa keganasan
pediatric. Dosis pemeliharaan membatasi efek samping cisplatin yaitu
ototoksisitas dan neurotoksisitas. Jika dikombinasikan dengan vinblastin dan
bleomisin atau etoposide dan bleomisin, terapi cisplatin dapat menyembuhkan
kanker testis nonseminomatous. Cisplatin adalah senyawa platinum yang paling
ototoksik bahkan dengan menambahkan salin hipertonik, prehidrasi, atau diuresis
manitol pada regimen kemoterapi.

B. Epidemiologi
Cisplatin memiliki potensi ototoksik yang tertinggi dibandingkan dengan
senyawa platinum yang lain. Sekitar 50% pasien kanker kepala dan leher yang
diobati dengan cisplatin mengalami ototoksisitas. Ototoksisitas cisplatin berkaitan
dengan dosis. Dalam sebuah penelitian retrospektif yang besar yang mencakup
periode tahun 1990 hingga 2001, Derough dan rekan menemukan bahwa 42% dari
400 pasien yang mendapatkan cisplatin dosis tinggi (70-85 mg/M2; rata-rata dosis
akumulatis sebesar 420 mg) mengalami ototoksisitas simptomatik. Sebaliknya,
ototoksisitas cisplatin hanya terjadi pada 20% pasien yang mendapatkan cisplastin
dosis rendah.

C. Patofisiologi
Mekanisme ototoksisitas cisplatin dimediasi oleh produksi radikal bebas
dan kematian sel. Senyawa platinum merusak stria vaskularis dalam skala media
dan menyebabkan kematian sel rambut pada bagian luar radikal bebas dihasilkan
oleh NADPH oksidase pada sel rambut bagian dalam setelah terpapar cisplatin.
NADPH oksidase merupakan enzim yang mengkatalisa pembentukan radikal
superoksida. Bentuk NADPH oksidase tertentu, NOX3, diproduksi didalam
telinga bagian dalam dan merupakan sumber pembentukan radikal bebas yang
penting dalam koklea, yang dapat berperan dalam terjadinya kehilangan
pendengaran. Radikal bebas yang dihasilkan melalui mekanisme ini kemudian

menyebabkan kematian sel apoptotik yang dimediasi mitokondria dan dimediasi


kaspase, yang pada akhirnya menyebabkan kehilangan pendengaran yang
permanen.

D. Tanda dan gejala


Ototoksisitas cisplatin ditandai oleh kehilangan pendengaran sensorineural
yang awalnya terdeteksi pada frekuensi yang sangat tinggi. Kehilangan
pendengaran biasanya bilateral dan biasanya simetris. Cirri khas dari kehilangan
pendengaran frekuensi tinggi adalah kesulitan dalam membedakan kata yang
terdengar, terutama pada lingkungan yang bising. Semakin banyak dosis yang
terakumulasi dalam tubuh semakin parah gangguan pendengaran yang diderita.
Selain itu pasien ototoksisitas cisplatin juga mengalami tinnitus.

E. Pencegahan
Lakukan pemeriksaan audiogram dan pemeriksaan audiogram lanjutan
secara berkala selama terapi untuk semua pasien yang mendapatkan obat ini.
Lakukan pemeriksaan ini sesegera mungkin sebelum siklus obat yang selanjutnya
sehingga efek dari siklus yang sebelumnya dapat diketahui. Yang terakhir, pasieh
harus melanjutkan pemeriksaan audiometrik karena retensi obat yang cukup lama
setelah menghentikan terapi. Juga beri tahu pasien untuk menghindari lingkungan
yang bising selama 6 bulan.

2.3.4. Loop Diuretik


A. Definisi
Loop diuretik seperti asam ethacrynic, bumetanide, dan furosemide
mengeluarkan efek diuretiknya dengan menghambat sodium dan penyerapan air
pada bagian proksimal Loop of henle. Obat-obat ini digunakan untuk mengobati
gagal jantung kongestif, gagal ginjal, sirosis, dan hipertensi.

B. Patofisiologi
Efek ototoksisitas dari loop diuretic tampaknya berkaitan dengan stria
vascularis, yang dipengaruhi oleh perubahan dalam gradient ionik diantara
perilimfe dan endolimfe. Perubahan ini menyebabkan edema epithelium dari stria
vascularis. Bukti juga memperlihatkan bahwa endolimfatik berpotensi berkurang,
akan tetapi hal ini biasanya bergantung pada dosis dan reversible. Ototoksisitas
yang disebabkan oleh asam ethacrynic tampaknya terjadi secara lebih bertahap
dan lebih lama disembuhkan daripada yang disebabkan oleh furosemide atau
bumetanide. Secara keseluruhan, ototoksisitas yang disebabkan oleh obat loop
diuretic biasanya dapat sembuh sendiri pada pasien dewasa.

C. Tanda dan gejala


Bergantung pada loop diuretic tertentu, pasien biasanya mengalami
gangguan pendengaran setelah mengonsumsi obat ini. gangguan pendengaran
biasanya bilateral dan simetris. Pasien juga mengeluhkan tinnitus dan
disequilibrium, akan tetapi gejala ini jarang terlihat dan jarang terjadi tanpa
adanya

gangguan

pendengaran.

Beberapa

pasien

mengalami

gangguan

pendengaran permanen, terutama pasien yang menderita gagal ginjal, pasien yang
mendapatkan dosis yang lebih tinggi, atau mereka yang juga mengonsumsi
aminoglikosida.

D. Pencegahan
Pencegahan ototoksisitas yang disebabkan oleh loop diuretic terdiri dari
penggunaan dosis yang paling rendah untuk mencapai efek yang diinginkan dan
menghindari pemberian secara cepat. Selain itu, faktor resiko yang berkaitan
dengan pemberian obat ini harus diperiksa seteliti mungkin, termasuk pemberian

bersama dengan obat ototoksik lainnya dan riwayat gagal ginjal. Karena
potensiasi dan sinergisme efek ototoksik dari aminoglikosida dan loop diuresis
telah diketahui, pemberian bersama obat-obat ini tidak direkomendasikan.

2.3.5 Salisilat
Aspirin dan salisilat yang lain sangat berkaitan dengan tinnitus dan
gangguan pendengaran sensorineural. Gangguan pendengaran bergantung pada
dosis dan dapat berkisar dari moderat hingga parah. Jika konsumsi obat
dihentikan, pendengaran kembali normal dalam waktu 72 jam. Tinnitus terjadi
saat mengkonsumsi aspirin dengan dosis sebesar 6 hingga 8 g/hari dan pada dosis
yang

lebih

rendah

pada

beberapa

pasien.

Tempat

terjadinya

efek

ototoksik tampaknya pada tingkat mekanik koklear dasar, seperti yang dibuktikan
dengan gangguan pendengaran sensorineural, hilangnya emisi otoakustik,
penurunan aksipotensial koklear, dan perubahan ujung saraf auditori. Efek-efek
ini mungkin disebabkan oleh perubahan pada turgiditas dan motilitas sel rambut di
bagian luar.

2.3.6. Anti Malaria


Kina dan klorokuin adalah obat anti malaria yang biasa digunakan.
Absorbsi klorokuin setelah pemberian oral terjadi lengkap dan cepat dan makanan
mempercepat absorbsi ini. metabolisme dalam tubuh berlangsung lambat sekali
dan metabolitnya dieksresi melalui urin. Dosis harian 300 mg menyebabkan kadar
mantap kira-kira 125 ug/l sedangkan dengan dosis oral 0,5 gram tiap minggu
dicapai kadar plasma antara 150-250 ug/l.
Kina adalah alkaloid penting yang diperoleh dari kulit pohon sinkona.
Kina digunakan dalam terapi malaria. Efek ototoksisitasnya berupa gangguan
pendengaran sensorineural dan tinitus. Kuinin dapat menyebabkan sindroma
berupa gangguan pendengaran sensorineural, tinnitus dan vertigo. Tetapi bila
pengobatan dihentikan biasanya pendengaran akan pulih dan tinitusnya akan

hilang. Studi terbaru menyatakan bahwa kuinin mengganggu motilitas selselrambut. Pada pemakaian klorokuin pada dosis tinggi (lebih dari 250 mg sehari)
atau penggunaan lama (diatas 1 tahun), efek sampingnya lebih hebat, yaitu rambut
rontok, tuli menetap, dan kerusakan menetap.
Kuinin telah lama diketahui berkaitan dengan terjadinya tinnitus,
gangguan pendengaran sensorineural, dan gangguan penglihatan. Sindrom
tinnitus, nyeri kepala, mual, dan gangguan penglihatan disebut cinchonism. Dosis
yang lebih besar dapat menyebabkan sindrom ini menjadi lebih parah. Obat ini
digunakan sebagai tambahan dalam pengobatan malaria. Efek ototoksik dari
kuinin tampaknya terjadi terutama pada fungsi pendengaran dan biasanya bersifat
sementara. Gangguan pendengaran yang permanen dapat terjadi dengan dosis
yang lebih besar atau pada pasien yang sensitif.
Perlu dicatat bahwa kina dan klorokuin dapat melalui plasenta. Pernah ada
laporan kasus tentang tuli kongenital dan hipoplasi koklea karena pengobatan
malaria waktu ibu sedang hamil.

2.3.7 Antibiotik Lain


A. Eritromisin
Eritromisin pertamakali dikenal dan digunakan secara luas sejak tahun
1952. Secara umum eritromisin dianggap sebagai obat yang aman. Eritromisin
sudah digunakan sebagai obat pilihan pertama pada kasus infeksi terhadap kasus
infeksi streptokokus grup A dan pneumokokus pada individu yang masih sensitif
dengan penisilin. Efek ototoksik pada eritromisin pertama kali ditemukan pada
tahun 1973. Sejak itu hanya beberapa kasus ototoksisitas eritromisin yang
dilaporkan secara sporadis dan umumnya bersifat reversibel.
B. Azitromisin dan Clindamisin
Azitromisin dan clindamisin adalah antibiotik golongan makrolid generasi
yang lebih baru. Antibiotikini lebih luas dipakai secara klinis karena efek samping
pada traktus gastrointestinal yang lebih sedikit, dan spektrum antibiotik yang lebih

luas dari pada eritromisin. Namun beberapa laporan menyebutkan tentang efek
ottotoksisitasnya mulai muncul. Namun laporannya masih bersifat sporadis dan
masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut.
C. Vankomisin
Vankomisin adalah antibiotik golongan glikopeptida yang pertama kali
diperkenalkan tahun 1950. Sering digunakan pada kasus infeksi stafilokokus yang
resistensi dangan methisilin. Beberapa kasus ototoksisitas yang biasanya muncul
sebagai tinitus dilaporkan pada pasien dengan peningkatan kadar dalam serum
akibat gagal ginjal atau pada pasien yang menerima obat antibiotik golongan
aminoglikosid secara bersamaan. Data yang ada tidak lengkap namun pada
beberapa kasus efek ototoksisitasnya bersifat sementara. Belum ada laporan yang
memberikan bukti yang kuat bahwa pemberian vankomisin saja dalam dosis
terapeutik dapat menyebabkan efek ototoksik. Tidak ada rekomendasi yang
diberikan untuk penggunaan vankomisin, namun perhatian harus diberikan pada
pemberian vankomisin bersama obat ototoksik lainnya.

Anda mungkin juga menyukai