Anda di halaman 1dari 27

9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Keselamatan Pasien (Patient Safety)


1.

Definisi Keselamatan Pasien (Patient Safety)


Institusi pelayanan kesehatan merupakan sistem yang kompleks yang
ditandai dengan penggunaan teknologi tinggi dan "kebebasan" profesi.
Kompleksitas itu menimbulkan kerawanan kesalahan medik (medical
error). Keselamatan adalah hak pasien, dan para profesional pelayanan
kesehatan berkewajiban memberikan pelayanan kesehatan yang aman.
Karena itu, upaya meningkatkan keselamatan pasien harus menjadi
prioritas utama para pemimpin pelayanan kesehatan. Safety is a
fundamental principle of patient care and a critical component of
hospital quality management (World Alliance for Patient Safety,
Forward Programme WHO, 2005).
Keselamatan pasien (patient safety) dirumah sakit adalah suatu
sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem
tersebut meliputi : mengukur risiko, identifikasi dan pengelolaan risiko
terhadap pasien, analisa insiden, kemampuan untuk belajar dan menindak
lanjuti insiden serta menerapkan solusi untuk mengurangi risiko. Sistem
ini mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oleh kesalaha akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil.

10

2.

Tujuan Keselamatan Pasien (Patient Safety)


a.

Terciptanya budaya keselamatan pasien dirumah sakit.

b.

Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan


masyarakat.

c.

Menurunnya Kejadian Tak Diharapkan (KTD).

d.

Terlaksananya

program

pencegahan

sehingga

tidak

terjadi

pengulangan KTD.
3.

Sasaran Keselamatan Pasien (Patient Safety)


Sasaran Keselamatan Pasien merupakan syarat untuk diterapkan di
semua rumah sakit yang diakreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah
Sakit. Penyusunan sasaran keselamatan mengacu kepada Nine LifeSaving Patient Safety Solutions dari WHO Patient Safety (2007) yang
digunakan juga oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit PERSI
(KKPRS PERSI), dan dari Joint Commission International (JCI).
Enam sasaran keselamatan pasien adalah tercapainya hal-hal sebagai
berikut :
a.

Sasaran I : Ketepatan Identifikasi Pasien


1) Standar SKP I adalah rumah sakit mengembangkan pendekatan
untuk meperbaiki/meningkatkan ketelitian identifikasi pasien.
2) Maksud dan Tujuan Sasaran I adalah untuk melakukan dua kali
pengecekan yaitu : pertama, untuk identifikasi pasien sebagai
individu yang akan menerima pelayanan atau pengobatan; dan
kedua, untuk kesesuaian pelayanan atau pengobatan terhadap

11

individu tersebut. Kebijakan dan/atau prosedur memerlukan


sedikitnya dua cara untuk mengidentifikasi seorang pasien, seperti
nama pasien, nomor rekam media, tanggal lahir, gelang identitas
pasien dengan bar-code, dan lain-lain.
3) Elemen Penilaian Sasaran I
a) Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien, tidak
boleh menggunakan nomor kamar atau lokasi pasien.
b) Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau
produk darah.
c) Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen
lain untuk pemeriksaan klinis.
d) Pasien diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan
tindakan/prosedur.
e) Kebijakan

dan

prosedur

mengarahkan

pelaksanaan

identifikasi yang konsisten pada semua situasi dan lokasi.


b.

Sasaran II : Peningkatan Komunikasi Yang Efektif


1) Standar SKP II adalah rumah sakit mengembangkan pendekatan
untuk meningkatkan efektivitas komunikasi antar para pemberi
layanan.
2) Maksud dan Tujuan Sasaran II adalah untuk mengurangi
kesalahan dan menghasilkan peningkatan keselamatan pasien.
Komunikasi dapat berbentuk elektronik, lisan, atau tertulis.
Kebijakan dan/atau prosedur untuk perintah lisan dan telepon

12

termasuk : mencatat (atau memasukkan ke komputer) perintah


yang lengkap atau hasil pemeriksaan oleh penerima perintah;
kemudian penerima perintah membcakan kembali (read back)
perintah atau hasil pemeriksaan; dan mengkonfirmasi bahwa apa
yang sudah dituliskan dan dibaca ulang adalah akurat.
3) Elemen Penilaian Sasaran II
a) Perintah lengkap secara lisan dan yang melalui telepon atau
hasil pemeriksaan dituliskan secara lengkap oleh penerima
perintah.
b) Perintah lengkap lisan dan telepon atau hasil pemeriksaan
dibacakan kembali secara lengkap oleh penerima perintah.
c) Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh pemberi
perintah atau yang menyampaikan hasil pemeriksaan.
d) Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan verifikasi
keakuratan komunikasi lisan atau melalui telepon secara
konsisten.
c.

Sasaran III : Peningkatan Keamanan Obat Yang Perlu Diwaspadai


(High Alert)
1) Standar SKP III adalah rumah sakit mengembangkan suatu
pendekatan untuk memperbaiki keamanan obat-obat yang perlu
diwaspadai (high-alert).
2) Maksud dan Tujuan Sasaran III adalah untuk mengurangi atau
mengeliminasi kejadian kesalahan obat maka harus meningkatkan

13

proses pengelolaan obat-obat yang perlu diwaspadai termasuk


memindahkan elektrolit konsentrat dari unit pelayanan pasien ke
farmasi. Kebijakan dan/atau prosedur untuk membuat daftar obatobat yang perlu diwaspadai berdasarkan data yang ada di rumah
sakit. Kebijakan prosedur juga mengidentifikasi area mana saja
yang membutuhkan elektrolit konsentrat, seperti di IGD atau
kamar operasi, serta pemberian label secara benar pada eketrolit
dan bagaimana penyimpanannya di area tersebut, sehingga
membatasi akses, untuk mencegah pemberian yang tidak
sengaja/kurang hati-hati.
3) Elemen Penilaian Sasaran III
a) Kebijakan dan / atau prosedur dikembangkan agar memuat
proses identifiksi, menetapkan lokasi, pemberian label, dan
penyimpanan elektrolit konsentrat.
b) Implentasi kebijakan dan prosedur.
c) Elektrolit konsentrat tidak berada di unit pelayanan pasien
kecuali jika dibutuhkan secara klinis dan tindakan diambil
untuk mencegah pemberian yang kurang hati-hati di area
tersebut sesuai kebijakan.
d) Elektrolit konsentrat yang disimpan pada unit pelayanan
pasien harus diberi label yang jelas, dan disimpan pada area
yang dibatasi ketat (restricted).

14

d. Sasaran IV : Kepastian Tepat Lokasi, Tepat Prosedur, Tepat Pasien


Operasi
1) Standar SKP IV adalah rumah sakit mengembangkan suatu
pendekatan untuk memastikan tepat lokasi, tepat prosedur, dan
tepat pasien operasi.
2) Maksud dan Tujuan Sasaran IV adalah untuk mengurangi
kejadian salah lokasi, salah prosedur, dan pasien salah pada
operasi. Rumah sakit perlu untuk mengembangkan suatu
kebijakan dan/atau prosedur yang efektif di dalam mengeliminasi
masalah yang mengkhawatirkan ini. Penandaan lokasi operasi
perlu melibatkan pasien dan dilakukan atas satu pada tanda yang
dapat dikenali. Tanda itu harus digunakan secra konsisten di
rumah sakit dan harus dibuat oleh operator/oarang yang akan
melakukan tindakan, dilaksanakan saat pasien terjaga dan sadar
jika memungkinkan, dn harus terlihat sampai saat akan disayat.
Penandaan lokasi operasi dilakukan pada semua kasus termasuk
sisi (laterality), multipel struktur (jari tangan, jari kaki, lesi) atau
multipel level (tulang belakang).
Maksud proses verifikasi praoperatif adalah untuk :
a) Memverifikasi lokasi, prosedur, dan pasien yang benar.
b) Memastikan bahwa semua dokumen, foto (imaging), hasil
pemeriksaan yang relavan tersedia, diberi label yang baik, dan
dipampang.

15

c) Melakukan verifikasi ketersedian peralatan khusus dan/atau


implant yang dibutukan.
Tahap Sebelum Insisi (Time Out) memungkinkan semua
pertanyaan atau kekeliruan diselesaikan. Time out dilakukan
ditempat, dimana tindakan akan dilakukan, tepat sebelum tindakan
dimulai, dan melibatkan seluruh tim operasi. Rumah sakit
menetapkan bagaimana proses itu didokumentasikan secara ringkas,
misalnya menggunakan checklist.
3) Elemen Penilaian Sasaran IV
a) Rumah sakit menggunakan suatu tanda yang jelas dan
dimengerti untuk identifiksdi lokasi operasi dan melibatkan
pasien di dalam proses penandaan.
b) Rumah sakit menggunakan suatu checklist atau proses lain
untuk memverifikasi saat preoperasi tepat lokasi, tepat
prosedur, dan tepat pasien dan semua dokumen serta peralatan
yang diperlukan tersedia, tepat, dan fungsional.
c) Tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat prosedur
sebelum insisi/time-out tepat sebelum dimulainya suatu
prosedur/tindakan pembedahan.
d) Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk mendukung
proses yang seragam untuk memastikan tepat lokasi, tepat
prosedur, dan tepat pasien, termasuk medis dan dental yang
dilaksanakan di luar kamar operasi.

16

e. Sasaran V : Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan


1) Standar SKP V adalah rumah sakit mengembangkan suatu
pendekatan untuk mengurangi risiko infeksi yang terkait
pelayanan kesehatan.
2) Maksud dan Tujuan V untuk pencegahan dan pengendalian
infeksi, yang termasuk infeksi di pelayanan kesehatan : infeksi
saluran kemih, infeksi pada aliran darah (blood stream infections)
dan pneumonia (sering kali dihubungkan dengan ventilasi
mekanis). Pusat dari eliminasi infeksi ini maupun infeksi-infeksi
lain adalah cuci tangan (hand hygiene) yang tepat. Rumah sakit
mempunyai proses kolaboratif untuk mengembangkan kebijakan
dan/atau prosedur yang menyesuaikan atu mengadopsi petunjuk
hand hygiene yang diterima secara umum dan untuk implementasi
petunjuk itu di rumah sakit.
3) Elemen Penilaian Sasaran V
a) Rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman hand
hygiene terbaru yang diterbitkan dan sudah diterima secara
umum (al.dari WHO Patient Safety).
b) Rumah sakit menerapkan program hand hygiene yang efektif.
c) Kebijakan

dan/atau

prosedur

dikembangkan

untuk

mengarahkan pengurangan secara berkelanjutan risiko dari


infeksi yang terkait pelayanan kesehatan.

17

f. Sasaran VI : Pengurangan Risiko Pasien Jatuh


1) Standar SKP VI adalah rumah sakit mengembangkan suatu
pendekatan untuk mengurangi risiko pasien dari cedera karena
jatuh.
2) Maksud dan Tujuan Sasaran VI adalah jumlah kasus jatuh cukup
bermakna sebagai penyebab cedera bagi pasien rawat inap. Dalam
konteks populasi/masyarakat yang dilayani, pelayanan yang
disediakan, dan fasilitasnya, rumah sakit perlu mengevaluasi
risiko pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk mengurangi
risiko ceder bila sampai jatuh. Evaluasi bisa termasuk riwayat
jatuh, obat dan telaah terhadap konsumsi alkohol, gaya jalan dan
keseimbangan, serta alat bantu berjalan yang digunakan oleh
pasien. Program tesebut harus diterapkan rumah sakit.
3) Elemen Penilaian Sasaran VI
a) Rumah sakit menerapkan pasien asesmen awl atas pasien
terhadap risiko jatuh dan melakukan asesmen ulang pasien
bila diindikasikan terjadi perubahan kondisi atau pengobatan,
dan lain-lain.
b) Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh
bagi mereka yang pada hasil asesmen dianggap berisiko jatuh.
c) Langkah-langkah

dimonitor

hasilnya,

baik

keberhsilan

pengurangan cedera akibat jatuh dan dampak dari kejadian


tidak diharapkan.

18

d) Kebijakan atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan


pengurangan berkelanjutan risiko pasien cedera akibat jatuh di
rumah sakit.

B. Konsep Teori Kepatuhan


1.

Definisi Kepatuhan
Kepatuhan berasal dari kata patuh. Menurut KBBI (Kamus Besar
Bahasa Indonesia), patuh berarti suka menurut perintah, taat kepada
perintah atau aturan dan berdisiplin. Patuh adalah sikap positif individu
yang ditunjukkan dengan adanya perubahan secara berarti sesuai dengan
tujuan yang telah diterapkan. Ketidakpatuhan merupakan suatu kondisi
pada individu atau kelompok yang sebenarnya mau melakukannya, tetapi
dapat dicegah untuk melakukannya oleh faktor-faktor yang menghalangi
ketaatan terhadap anjuran.
Seseorang yang dikatakan patuh apabila orang tersebut mau
mengikuti dan mentaati peraturan atau kebijakan yang telah ditentukan
tanpa harus ada paksaan dan tuntutan dari orang lain (Azwar, 2005).
Menurut Diadjeng (2009) mengemukakan kepatuhan dapat dipengaruhi
oleh faktor internal dan eksternal individu. Yang termasuk kedalam faktor
internal antara lain : pengetahuan, pendidikan, masa kerja, motivasi,
kemampuan, ketrampilan, dan beban kerja dan yang termasuk kedalam
faktor eksternal adalah kepemimpinan, fasilitas, prosedur, dan supervisi.
Sementara

Notoatmodjo

(2005)

mengemumakan

faktor

yang

19

mempengaruhi kepatuhan adalah pendidikan, usia, dan motivasi. Kurang


patuhnya perawat akan berakibat rendahnya mutu asuhan itu sendiri.
Kepatuhan petugas profesional (perawat) adalah sejauh mana
perilaku seorang perawat sesuai dengan ketentuan yang telah diberikan
pimpinan perawat ataupun pihak rumah sakit. (Niven, 2008).
2.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan


a.

Kemampuan
Kemampuan

adalah

kapasitas

seseorang

individu

untuk

melakukan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Kemampuan


dibagi menjadi dua katagori, yaitu kemampuan intelektual yang
berkaitan dengan kognitif/pengetahuan, dan kemampuan fisik yang
menuntut stamina/kekuatan (Robbin, 2007). Dalam arti kemampuan
intelektual memiliki peran yang besar dalam pekerjaan yang rumit
sedangkan kemampuan fisik memiliki makna yang penting untuk
melakukan tugas-tugas yang menuntut stamina, kesehatan, kekuatan,
dan ketrampilan.
b.

Motivasi
Motivasi

merupakan

hasrat

di

dalam

seseorang

yang

menyebabkan orang tersebut melakukan tindakan. Mangkunegara


(2013), menyatakan motivasi merupakan kondisi atau energi untuk
menggerakkan karyawan yang terarah atau tertuju untuk mencapai
tujuan organisasi perusahaan. Manajer memegang peran yang
penting dalam memotivasi staf untuk mencapai tujuan organisasi.

20

Untuk hal tersebut, peranan kepemimpinan (leadership), motivasi


staf, kerja sama dan komunikasi antar staf merupakan hal pokok
yang perlu mendapat perhatian para manajer organisasi. Perawat
yang termotivasi maka akan terdorong untuk berbuat semaksimal
mungkin dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini disebabkan karena
yang

bersangkutan

mempunyai

keyakinan

bahwa

dengan

keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan dan berbagai


sasarannya, maka kepentingan-kepentingan pribadi para perawat
tersebut akan tercapai.
c.

Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2005), pengetahuan merupakan hasil
penginderaan manusia terhadap suatu objek diluarnya, melalui
indera-indera yang dimiliki. Pengetahuan tersebut dapat diukur atau
diobservasi melalui apa yang diketahui tentang objek. Pengetahuan
merupakan dominan yang sangat penting untuk terbentuknya
perilaku seseorang untuk bertindak patuh. Tingkat pengetahuan
menuru Priyoto (2014) terbagi menjadi 6 tingkatan pengetahuan
yang tercakup dalam domain kognitif yaitu :
1) Tahu (know) diartikan sebagai pengingat suatu materi yang
dipelajari sebelumnya, mengingat kembali (recall) terhadap
suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atas
rangsangan yang telah diterima, "tahu" ini merupakan tingkatan
yang paling rendah.

21

2) Memahami

(comprehension)

diartikan

sebagai

suatu

kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang


diketahui dan dapat menginterprestasi materi tersebut secara
benar.
3) Aplikasi (aplication) diartikan sebagai kemampuan untuk
menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau
kondisi riil (sebenarnya).
4) Analisis (analysis) adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan
materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen tetapi
masih didalam struktur organisasi tersebut dan masih ada
kaitannya satu sama lain.
5) Sintesis (synthesis) yaitu menunjuk kepada suatu kemampuan
untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam
suatu bentuk keseluruhan yang baru dengan kata lain sintesis
adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dan
formulasi-formulasi yang ada.
6) Evaluasi (evaluation) ini berkaitan dengan kemampuan untuk
melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau
objek, penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang
ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah
ada.

22

d.

Pendidikan
Pendidikan

adalah

suatu

proses

usaha

manusia

untuk

meningkatkan kepribadian atau proses perubahan perilaku menuju


kedewasaan melalui upaya pengajaran dan pelatihan (Priyoto, 2014).
Menurut UU RI No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional mengatakan bahwa pendidikan juga bisa diartikan suatu
usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemapuan didalam
dan diluar sekolah dan berlangsung seumur hidup, Priyoto (2014)
membagi tingkat pendidikan sesuai dengan jalur pendiikan menjadi :
1)

Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi


jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk
Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyyah (MI) atau
sederajat, dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Madrasah
Tsanawiyyah (MTS) atau syang ederajat.

2)

Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar.


Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas
(SMA) atau Madrasah Aliyah (MA) atau yang sederajat.

3)

Pendidikan tinggi merupakan jenjang setelah menengah, yang


mencakup pendidikan dlipoma, sarjana, sagister, spesialis, dan
doctor yang diselenggarakan pada perguruan tinggi.

e.

Kejelasan prosedur
Standar Operasional Prosedur (SOP) adalah pedoman atau acuan
untuk melaksanakan tugas pekerjaan sesuai dengan fungsi dan alat

23

penilaian kinerja instansi pemerintah berdasarkan indikator-indikator


teknis, administratif dan prosedural sesuai dengan tata kerja,
prosedur kerja dan sistem kerja pada unit kerjayang bersangkutan.
Tujuan SOP adalah menciptakan komitmen mengenai apa yang
dikerjakan oleh satuan unit kerja instansi pemerintah untuk
mewujudkan good goverment (Atmoko, 2008).
SOP dibuat berdasarkan pengembangan teori, ditetapkan oleh
instansi dan dipatuhi untuk dilaksanakan. Pelaksanaan SOP
dilakukan sesuai aturan yang sudah ditetapkan, jika tidak dilakukan
sesuai dengan aturan maka akan dapat berakibat tidak terlaksananya
kegiatan dan memungkinkan suatu tindakan cacat hukum (Perry &
Potter, 2005).
3.

Klasifikasi kepatuhan
Klasifikasi menurut Smeltzer dan Bare (2013) dapat diklasifikasikan
menjadi dua, yaitu :
a.

Kepatuhan penuh (total complience), yaitu kepatuhan dalam semua


aspek. Misalnya dalam pelaksanaan SOP pemberian injeksi dan
pemasangan infus, perawat mematuhi dan melaksanakan semua
tindakan yang berlau di rumah sakit.

b.

Kepatuhan tidak penuh (non complience), yaitu kepatuhan sebagian


dari aspek yang diharapkan. Misalnya dalam pelaksanaan pemberian
injeksi dan pemasanan infus, perawat mematuhi dan melakasanakan
sebagian yang berlaku di rumah sakit.

24

C. Konsep Teori Motivasi


1.

Definisi Motivasi
Perilaku kerja seseorang itu pada hakekatnya ditentukan oleh
keinginannya untuk mencapai beberapa tujuan. Keinginan itu istilah
lainnya ialah motivasi kerja perawat. Motivasi berasal dari bahasa latin
yaitu movere yaitu dorongan atau daya penggerak. Dengan demikian
motivasi kerja perawat merupakan dorongan terhadap serangkaian proses
perilaku manusia pada pencapaian tujuan (Wibowo, 2014).
Menurut Mangkunegara (2013), menyatakan motivasi merupakan
kondisi atau energi untuk menggerakkan karyawan yang terarah atau
tertuju untuk mencapai tujuan organisasi perusahaan. Motivasi kerja
merupakan suatu modal dalam menggerakkan dan mengarahkan para
karyawan atau pekerja agar dapat melaksanakan tugasnya masing-masing
dalam mencapai sasaran dengan penuh kesadaran, kegairahan dan
bertanggung jawab (Hasibuan, 2008).
Berdasarkan pada beberapa pengertian di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa motivasi merupakan suatu daya penggerak atau
dorongan yang terdapat dalam diri manusia yang dapat menimbulkan
kegairahan kerja, dengan membangkitkan, mengarahkan, dan menjaga
perilaku untuk mencapai tujuan tertentu.

2.

Motivasi Intrinsik dan Ekstrinsik


Menurut Marquis (2013) motivasi dilihat atas dasar pembentukannya
terbagi atas dua jenis, yaitu : (a) Motivasi Intrinsik dan (b) Motivasi

25

Ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah motivasi yang berasal dari dalam


diri orang tersebut, yang mendorong dirinya menjadi produktif. Motivasi
ekstrinsik adalah motivasi yang berasal dari dorongan lingkungan kerja
atau penghargaan.
Jika dilihat dari sumbernya Siagian (2011), faktor motivasi terbagi
menjadi dua yaitu : (a) motivasi intrinsik (faktor motivator) dan (b)
motivasi ekstinsik (faktor higiene). Motivasi intrinsik (faktor motivator)
adalah pendorong berprestasi yang sifatnya ada dalam diri seseorang.
Motivasi ektrinsik (faktor higiene) adanya faktor pendorong yang
didapatkan dari luar diri seseorang.
a.

Motivasi Intrinsik
Motivasi intrinsik secara langsung berhubungan dengan tingkat
ambisi seseorang untuk mencapai tujuan tertentu. Semakin tinggi
ambisi seseorang terhadap suatu kegiatan, dapat dikatakan semakin
termotivasi kerja perawat orang tersebut (Juliani, 2007). Sebagai
contoh : seorang perawat yang mengingkan menjadi cpns akan
memperhatikan bagaimana ia akan memenuhi persyaratan pada
tingkatan tersebut. Setelah yang bersangkutan mengetahuinya,
tingkah laku perawat tersebut akan menggambarkan apa yang ia
rasakan dan dengan perasaan tersebut tingkah laku perawat dapat
diperbaiki.
Beberapa faktor yang berkaitan dengan motivasi intrinsik
menurut Hasibuan (2008), yaitu :

26

1) Prestasi (Achievement).
2) Pengakuan (Recognition).
3) Pekerjaan itu sendiri (The work it self).
4) Tanggung jawab (Responsibility).
5) Pengembangan potensi individu (Advancement).
b.

Motivasi Ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik meliputi kekuatan yang ada di luar diri
individua seperti halnya gaji/upah, kondisi kerja, kebijaksanaan atau
administrasi perusahaan, hubungan antara pribadi, kualitas supervisi
(Hasibuan, 2008).
Saat motivasi intrinsik seseorang dirasa rendah, maka cara
menaikkan motivasi dapat melalui motivasi ektrinsik. Upah gaji
pegawai, hadiah, merupakan salah satu dari rangsangan ekstrinsik
yang mampu mendorong seseorang bila pengalami penurunan respon
yang berasal dari dalam dirinya. Maka para pemimpin mengganggap
penting untuk memanfaatkan motivasi ektrinsik yang dapat
menurunkan respon dari pegawai (Purwanata, 2014).

3.

Teori Motivasi
a.

Teori Hierarki Kebutuhan


Teori motivasi berdasarkan hierarki kebutuhan dikemukakan
Abraham Maslow yang menyatakan bahwa kebutuhan manusia
berjenjang dari physiological, safety, sosial, esteem, dan selfactualization (Wibowo, 2014). Dasar teori ini adalah bahwa manusia

27

merupakan makhluk yang keinginannya tak terbatas atau tanpa henti,


alat motivasi kerja perawatnya adalah kepuasan yang belum
terpenuhi serta kebutuhannya berjenjang.
Menurut teori kebutuhan McClelland menunjukkan adanya tiga
macam kebutuhan manusia, yaitu : Need for achievement (kebutuhan
untuk berprestasi), Need for affiliation (kebutuhan akan afiliasi), dan
Need for power (kebutuhan akan kekuasaan) (Mangkunegara, 2013).
Berdasarkan teori McClelland tersebut yang dapat diperhatikan
adalah membeikan pelatihan yang dapat meningkatkan motivasi
berprestasi. Motivasi berprestasi dapat diartikan sebagai suatu
dorongan dalam diri seseorang untuk melakukan atau mengerjakan
suatu kegiatan atau tugas yang sebaik-baiknya agar mencapai
prestasi dengan predikat terpuji.
b.

Teori Dua Faktor (Two-Factor Theory)


Menurut Herzberg dalam melaksanakan pekerjaan dipengaruhi
oleh dua faktor utama, yaitu : motivators dan hygiene factors.
Motivator atau pemuas kerja ada dalam pekerjaan itu sendiri, hal
tersebut memberikan orang keinginan untuk bekerja dan melakukan
pekerjaan dengan baik. Hasil motivator didapatkan meliputi :
dorongan prestasi, pengakuan, kerja, tanggung jawab, kemajuan dan
kemungkinan

bertumbuh,

sedangkan

faktor

hygiene

atau

pemeliharaan tujuannya untuk menjaga perawat yang merasa tidak


puas atau kurang termotivasi, tetapi tidak berfungsi sebagai

28

motivator yang sesungguhnya meliputi : gaji, pengawasan, keamanan


kerja, kondisi kerja yang positif, kehidupan pribadi, hubungan
interpersonal atau kelompok sebaya, kebijakan perusahaan, status
(Marquis, 2013).
Hal tersebut sejalan dengan Wibowo (2014), motivator
sebenarnya mendorong orang untuk mendapatkan kebutuhannya.
Sebagai motivator adalah prestasi, pengakuan, minat pada pekerjaan,
tanggung jawab, dan kemajuan. Seseorang yang merasa senang
dengan pekerjaan mereka cenderung mengaitkan faktor-faktor ini ke
diri mereka sendiri. Di pihak lain, bila mereka tidak puas maka
mereka akan cenderung mengaitkan faktor hygiene seperti gaji,
kondisi kerja, kebijakan organisasi, kedudukan, keamanan kerja,
pengawasan dan otonomi, kehidupan di tempat kerja, dan kehidupan
pribadi.
c.

Teori ERG (Existence, Relatedness, Growth)


Alderfer mengemukakan bahwa teori ini ada tiga kelompok
kebutuhan yang utama, yaitu: kebutuhan akan keberadaan (existence)
berhubungan dengan kebutuhan untuk mempertahankan keberadaan
seseorang dalam hidupnya, kebutuhan akan afiliasi (relatedness)
berhubungan dengan kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang
lain, kebutuhan akan kemajuan (growth), berhubungan dengan
kebutuhan pengembangan diri (Mangkunegara, 2014).

29

d.

Teori harapan (Expectation)


Victor Vroom menyatakan bahwa motivasi kerja perawat
seseorang dipengaruhi oleh tiga faktor atau, yaitu : pertama,
hubungan

tingkat

usaha

dengan

tingkat

tampilan

kerja

(performance), dalam arti keyakinan seseorang untuk dapat


memenuhi tingkat performance yang diharuskan dalam suatu
pekerjaan yang disebut expectancy. Kedua, hubungan antara
tampilan kerja dan suatu outcome/reward, yang artinya keyakinan
seseorang akan mendapatkan ganjaran bilamana memenuhi tingkat
performance tertentu, yang dalam hal ini disebut instrumentally.
Ketiga, nilai yang diberikan seseorang terhadap reward yang akan
didapat oleh seseorang dari pekerjaannya disebut valence (Wibowo,
2013).
Menurut teori ini ketiga aspek ini akan membentuk motivasi
kerja perawat seseorang yang dapat dinyatakan dalam persamaan
sebagai berikut :
M=IxExV
Keterangan :
M = Tingkat motivasi kerja perawat
I

= Instrumentally

= Expectancy

= Valence

Persamaan ini menunjukkan bahwa bila satu faktor tidak ada

30

berarti motivasi kerja perawat rendah.


e.

Teori Penepatan Tujuan (Goal Setting)


Menurut Mangkunegara (2014) menjelaskan bahwa penetapan
suatu tujuan tidak hanya berpengaruh pada pekerjaan saja, tetapi juga
merangsang karyawan untuk mencari atau menggunakan metode
kerja yang paling efektif. Melibatkan karyawan dalam menetapkan
tujuan dapat menumbuhkan motivasi kerja dan pencapaian prestasi
kerja maksimal. Penetapan tujuan merupakan upaya meningkatkan
kinerja yang produktif sekaligus memotivasi untuk mencapai tujuan
organisasi perusahaan.
Menurut (Robert Kreitner and Angelo Kinicki, 2001 dalam
Wibowo, 2013) goal setting mempunyai empat mekanisme
motivasional, yaitu :
1) Goals direct attention, yaitu tujuan yang secara pribadi
bermakna cenderung terfokus pada satu perhatian pada apa yang
relavan dan penting.
2) Goals regulate effort, yaitu tujuan tidak hanya membuat kita
mengerti secara selektif, mereka juga memotivasi kita untuk
bertindak.
3) Goals increase persistence, yaitu ketekunan yang merupakan
usaha yang dikeluarkan pada tugas selama perpanjangan periode
waktu.
4) Goals foster strategis dan action plans, yaitu suatu tujuan dapat

31

membantu karena tujuan tersebut dapat mendorong seorang


mengembangkan strategi dan rencana aksi yang memungkinkan
mencapai tujuan mereka.
Berdasarkan uraian tentang teori motivasi kerja perawat
diatas, yang akan dijadikan indikator motivasi kerja perawat
dalam penyusunan instrumen pada penelitian ini diukur
berdasarkan teori dua faktor dari Herzberg, yaitu : prestasi,
pengakuan orang lain, kepuasan kerja, tanggung jawab, peluang
untuk maju dan motivasi ekstrinsik, meliputi : gaji, pengawasan,
keamanan kerja, kondisi kerja, kehidupan pribadi, hubungan
interpersonal, kebijakan perusahaan, status.
4.

Klasifikasi Motivasi
a. Motivasi Kuat
Motivasi dikatakan kuat apabila dalam diri seseorang dalam
kegiatan-kegiatan

sehari-hari

memiliki

harapan

yang

positif,

mempunyai harapan yang tinggi, dan memiliki keyakinan yang


tinggi.
b. Motivasi Sedang
Motivasi dilakukan sedang apabila dalam diri manusia memiliki
keinginan yang positif, mempunyai harapan yang tinggi, namun
memiliki keyakinan yang rendah bahwa dirinya dapat bersosialisasi
dan mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapi.
c. Motivasi Lemah

32

Motivasi dikatakan lemah apabila di dalam diri manusia


memiliki harapan dan keyakinan yang rendah, bahwa dirinya dapat
berprestasi. Misalnya bagi seseorang dorongan dan keinginan
mempelajari pengetahuan dan keterampilan baru merupakan mutu
kehidupannya maupun mengisi waktu luangnya agar lebih produktif
dan berguna (Irwanto, 2008, dalam Suparyanto, 2014).

D. Hubungan motivasi intrinsik dengan kepatuhan perawat dalam


melaksanakan program patient safety
Motivasi merupakan suatu kemampuan yang mengarahkan perawat untuk
bekerja secara baik, sehingga tujuan perawat dan rumah sakit tercapai. Hal ini
didukung dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sulastri (2015) tentang
Hubungan Motivasi Tim Bedah Terhadap Kepatuhan Penerapan Surgical
Patient Safety Pada Pasien Operasi Bedah Mayor Di Instalasi Bedah Sentral
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soediman, didapatkan bahwa ada hubungan
motivasi tim bedah terhadap kepatuhan penerapan surgical patient safety pada
pasien operasi bedah mayor.
Motivasi akan timbul karena dorongan dari dalam sendiri (internal
motive) maupun dari luar diri (external motive). Motivasi intrinsik
merupakan faktor penentu dalam kepatuhan perawat melaksanakan program
patient safety. Hal ini didukung dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
Kasih (2012) tentang hubungan motivasi intrinsik perawat terhadap
kepatuhan pelaksanaan tindakan memandikan pasien sesuai prosedur tetap di

33

ruang rawat inap RSUD Kebumen, didapatkan bahwa ada hubungan motivasi
intrinsik perawat terhadap kepatuhan pelaksanaan tindakan memandikan
pasien sesuai prosedur tetap.

34

E. Kerangka Teori
Konsep Teori Motivasi
McClelland :
1. Kebutuhan untuk berprestasi
2. Kebutuhan akan afiliasi
3. Kebutuhan akan kekuasaan
Konsep Teori Motivasi Herzberg
Two-Theory :
1. Motivasi Intrinsik
a. Prestasi
b. Pengakuan
c. Pekerjaan itu sendiri
d. Tanggung jawab
e. Peluang untuk maju
2. Motivasi Ektrinsik
a. Gaji
b. Pengawasan kerja
c. Kehidupan pribadi
d. Hubungan interpersonal
e. Kebijakan perusahaan
Konsep Teori Motivasi ERG :
1. Kebutuhan akan keberadaan
2. Kebutuhan akan afiliasi
3. Kebutuhan akan kemajuan
Konsep Teori Motivasi Harapan :
1. Expectancy
2. Instrumentally
3. Valence
Konsep Teori Motivasi Penetapan
Tujuan :
1. Fokus pada :satu
perhatian
Diteli
2. Bertindak
3. Ketekunan
4. Mengembangkan strategi dan
rencana : Tidak diteliti

Faktor yang mempengaruhi


kepatuhan :
1.
2.
3.
4.
5.

Kemampuan
Motivasi
Pengetahuan
Pendidikan
Kejelasan prosedur

Kepatuhan melaksanakan
Program Patient Safety

Sasaran Keselamatan Pasien :


1.
2.
3.
4.
5.
6.

Ketepatan identifikasi
pasien
Peningkatan komunikasi
efektif
Keamanan obat
Pengurangan resiko
infeksi
Pengurangan resiko jatuh
Tepat lokasi, prosedur,
pasien saat akan
dioperasi

Keterangan :

Gambar 2.1 Kerangka Teori

: Diteliti
: Tidak Diteliti

35

Sumber : Mangkunegara (2013), Notoatmodjo (2005), Wibowo (2014)


F. Kerangka Konsep
Variabel Independen
Motivasi intrinsik perawat
dalam melaksanakan program
patient safety

Variabel Dependen
Kepatuhan perawat dalam
melaksanakan program patient
safety

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

G. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
Ada hubungan antara motivasi intrinsik dengan kepatuhan perawat dalam
melaksanakan program patient safety di Instalasi Rawat Inap RSUD Ungaran.

Anda mungkin juga menyukai