Anda di halaman 1dari 135

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 7 TAHUN 2012


TENTANG
PENANGANAN KONFLIK SOSIAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:

a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia melindungi segenap bangsa


Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, dan menegakkan hak asasi setiap warga negara
melalui upaya penciptaan suasana yang aman, tenteram, tertib, damai,
dan sejahtera, baik lahir maupun batin sebagai wujud hak setiap orang
atas pelindungan agama, diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,
dan harta benda;
b. bahwa perseteruan dan/atau benturan antarkelompok masyarakat
dapat menimbulkan konflik sosial yang mengakibatkan terganggunya
stabilitas nasional dan terhambatnya pembangunan nasional;
c. bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan penanganan konflik sosial masih bersifat parsial dan belum
komprehensif sesuai dengan dinamika dan kebutuhan hukum
masyarakat;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf
a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang
Penanganan Konflik Sosial;

Mengingat:

Pasal 18B ayat (2), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28J
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan . . .

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menetapkan:

MEMUTUSKAN:
UNDANG-UNDANG TENTANG PENANGANAN KONFLIK
SOSIAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Konflik Sosial, yang selanjutnya disebut Konflik,
adalah perseteruan dan/atau benturan fisik dengan
kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau
lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan
berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan
dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas
nasional dan menghambat pembangunan nasional.
2. Penanganan Konflik adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan secara sistematis dan terencana dalam
situasi dan peristiwa baik sebelum, pada saat,
maupun sesudah terjadi Konflik yang mencakup
pencegahan konflik, penghentian konflik, dan
pemulihan pascakonflik.
3. Pencegahan Konflik adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk mencegah terjadinya Konflik dengan
peningkatan kapasitas kelembagaan dan sistem
peringatan dini.
4. Penghentian Konflik adalah serangkaian kegiatan
untuk mengakhiri kekerasan, menyelamatkan korban,
membatasi perluasan dan eskalasi Konflik, serta
mencegah bertambahnya jumlah korban dan kerugian
harta benda.
Dengan . . .

Pemulihan Pascakonflik adalah serangkaian kegiatan


5. untuk mengembalikan keadaan dan memperbaiki
hubungan yang tidak harmonis dalam masyarakat
akibat
Konflik
melalui
kegiatan
rekonsiliasi,
rehabilitasi, dan rekonstruksi.
Pengungsi adalah orang atau kelompok orang yang
6. terpaksa keluar dan/atau dipaksa keluar oleh pihak
tertentu, melarikan diri, atau meninggalkan tempat
tinggal dan harta benda mereka dalam jangka waktu
yang belum pasti sebagai akibat dari adanya intimidasi
terhadap keselamatan jiwa dan harta benda, keamanan
bekerja, dan kegiatan kehidupan lainnya.
Status Keadaan Konflik adalah suatu status yang
ditetapkan oleh pejabat yang berwenang tentang
7. Konflik yang terjadi di daerah kabupaten/kota,
provinsi, atau nasional yang tidak dapat diselesaikan
dengan cara biasa.
Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial adalah
lembaga bersifat ad hoc yang dibentuk untuk
8.
menyelesaikan Konflik di luar pengadilan melalui
musyawarah untuk mufakat.
Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Republik
9.
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dewan Perwakilan Rakyat, yang selanjutnya disingkat
DPR, adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana
10. dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali
kota,
dan
perangkat
daerah
sebagai
unsur
11. penyelenggara pemerintahan daerah.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya


disingkat DPRD, adalah lembaga perwakilan rakyat daerah
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

13. Tentara Nasional Indonesia, yang selanjutnya


disingkat TNI, terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan
Laut, dan Angkatan Udara, adalah alat negara yang
bertugas
mempertahankan,
melindungi,
dan
memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
14. Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia,
yang
selanjutnya disingkat Polri, adalah alat negara yang
berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan
pelindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan
dalam negeri.
15. Pranata Adat adalah lembaga yang lahir dari nilai
adat yang dihormati, diakui, dan ditaati oleh
masyarakat.
16. Pranata Sosial adalah lembaga yang lahir dari nilai
adat, agama, budaya, pendidikan, dan ekonomi yang
dihormati, diakui, dan ditaati oleh masyarakat.
17. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang
selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan
tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat.
18. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang
selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan
tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
BAB II

ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP

a.
b.
c.
d.
e.

Pasal 2
Penanganan Konflik mencerminkan asas:
kemanusiaan;
hak asasi manusia;
kebangsaan;
kekeluargaan;
kebhinneka-tunggal-ikaan;

f.

keadilan;

g. kesetaraan gender;
h. ketertiban dan kepastian hukum;
i. keberlanjutan;
j. kearifan lokal;
k. tanggung jawab negara;
l. partisipatif;
m. tidak memihak; dan
n. tidak membeda-bedakan.
Pasal 3
Penanganan Konflik bertujuan:
a. menciptakan
kehidupan
masyarakat
yang aman,
tenteram, damai, dan sejahtera;
b. memelihara kondisi damai dan harmonis dalam
hubungan sosial kemasyarakatan;
c. meningkatkan tenggang rasa dan toleransi dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara;
d.
memelihara keberlangsungan fungsi pemerintahan;
e.
melindungi jiwa, harta benda, serta sarana dan
f.
g.

prasarana umum;
memberikan pelindungan dan pemenuhan hak
korban; dan
memulihkan kondisi fisik dan mental masyarakat
serta sarana dan prasarana umum.
Pasal 4

Ruang lingkup Penanganan Konflik meliputi:


a.
Pencegahan Konflik;
b.
Penghentian Konflik; dan
c.

Pemulihan Pascakonflik.

Pasal 5
Konflik dapat bersumber dari:
a. permasalahan yang berkaitan dengan politik, ekonomi,
dan sosial budaya;

b. perseteruan antarumat beragama dan/atau interumat


beragama, antarsuku, dan antaretnis;
c. sengketa batas wilayah desa, kabupaten/kota,
dan/atau provinsi;
d. sengketa sumber daya alam antarmasyarakat
dan/atau antarmasyarakat dengan pelaku usaha;
atau
e. distribusi sumber daya alam yang tidak seimbang
dalam masyarakat.
BAB III
PENCEGAHAN KONFLIK
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 6
(1) Pencegahan Konflik dilakukan dengan upaya:
a. memelihara kondisi damai dalam masyarakat;
b. mengembangkan sistem penyelesaian perselisihan
secara damai;
c. meredam potensi Konflik; dan
d. membangun sistem peringatan dini.
(2) Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan
masyarakat.
Bagian Kedua
Memelihara Kondisi Damai Dalam Masyarakat
Pasal 7
Untuk memelihara kondisi damai dalam masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a,
setiap orang berkewajiban:

a. mengembangkan
sikap
toleransi
dan
saling
menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai
dengan agama dan kepercayaannya;
b. menghormati perbedaan suku, bahasa, dan adat
istiadat orang lain;
c. mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan
harkat dan martabatnya;
d. mengakui persamaan derajat serta persamaan hak dan
kewajiban asasi setiap manusia tanpa membedakan
suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin,
kedudukan sosial, dan warna kulit;
e. mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar
kebhinneka-tunggal-ikaan; dan/atau
f. menghargai pendapat dan kebebasan orang lain.
Bagian Ketiga
Mengembangkan Sistem Penyelesaian Perselisihan Secara Damai
Pasal 8
(1) Penyelesaian perselisihan dalam masyarakat dilakukan
secara damai.
(2) Penyelesaian secara damai sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengutamakan musyawarah untuk
mufakat.
(3) Hasil musyawarah mufakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) mengikat para pihak.
Bagian Keempat
Meredam Potensi Konflik
Pasal 9
Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban
meredam potensi Konflik dalam masyarakat dengan:
a. melakukan
perencanaan
dan
pelaksanaan
pembangunan
yang
memperhatikan
aspirasi
masyarakat;

d.
e.
f.
g.

b. menerapkan prinsip tata kelola pemerintahan yang


baik;
c. melakukan program perdamaian di daerah potensi
Konflik;
mengintensifkan dialog antarkelompok masyarakat;
menegakkan hukum tanpa diskriminasi;
membangun karakter bangsa;
melestarikan nilai Pancasila dan kearifan lokal; dan
h. menyelenggarakan musyawarah dengan kelompok
masyarakat untuk membangun kemitraan dengan
pelaku usaha di daerah setempat.
Bagian Kelima
Membangun Sistem Peringatan Dini
Pasal 10
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah membangun
sistem peringatan dini untuk mencegah:
a. Konflik di daerah yang diidentifikasi sebagai daerah
potensi Konflik; dan/atau
b. perluasan Konflik di daerah yang sedang terjadi
Konflik.
(2) Sistem peringatan dini sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berupa penyampaian informasi mengenai
potensi Konflik atau terjadinya Konflik di daerah
tertentu kepada masyarakat.
(3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah membangun
sistem peringatan dini sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) melalui media komunikasi.

Pasal 11
Membangun
sistem
peringatan
dini
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dilakukan Pemerintah
dan Pemerintah Daerah dengan cara:
a. penelitian dan pemetaan wilayah potensi Konflik;

b. penyampaian data dan informasi mengenai Konflik


secara cepat dan akurat;
c. penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan;
d. peningkatan dan pemanfaatan modal sosial; dan
e. penguatan dan pemanfaatan fungsi intelijen sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB IV
PENGHENTIAN KONFLIK
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 12
Penghentian Konflik dilakukan melalui:
a. penghentian kekerasan fisik;
b. penetapan Status Keadaan Konflik;
c. tindakan darurat penyelamatan dan pelindungan
korban; dan/atau
d. bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI.
Bagian Kedua
Penghentian Kekerasan Fisik
Pasal 13
(1) Penghentian kekerasan fisik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 huruf a dikoordinasikan dan
dikendalikan oleh Polri.
(2) Penghentian kekerasan fisik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) melibatkan tokoh masyarakat, tokoh
agama, dan/atau tokoh adat.
(3) Penghentian kekerasan fisik sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Penetapan Status Keadaan Konflik
Pasal 14
Status Keadaan Konflik ditetapkan apabila Konflik tidak
dapat dikendalikan oleh Polri dan terganggunya fungsi
pemerintahan.
Pasal 15
(1) Status Keadaan Konflik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 terdiri atas:
a. skala kabupaten/kota;
b. skala provinsi; atau
c. skala nasional.
(2) Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terjadi
apabila eskalasi Konflik dalam suatu daerah atau
wilayah kabupaten/kota dan memiliki dampak hanya
pada tingkat kabupaten/kota.
(3) Status Keadaan Konflik skala provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b terjadi apabila eskalasi
Konflik
dalam
suatu
daerah
atau
wilayah
kabupaten/kota dan/atau beberapa kabupaten/kota
dalam suatu provinsi dan memiliki dampak sampai
pada tingkat provinsi.
(4) Status Keadaan Konflik skala nasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c terjadi apabila eskalasi
Konflik mencakup suatu daerah atau wilayah
kabupaten/kota dan/atau beberapa provinsi dan
memiliki dampak secara nasional.
Pasal 16
Status
Keadaan
Konflik
skala
kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) ditetapkan
oleh bupati/wali kota setelah berkonsultasi dengan
pimpinan DPRD kabupaten/kota.
Pasal 17 . . .

Pasal 17
DPRD kabupaten/kota melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan Penanganan Konflik selama Status Keadaan
Konflik.
Pasal 18
Status Keadaan Konflik skala provinsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) ditetapkan oleh
gubernur setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPRD
provinsi.
Pasal 19
DPRD
provinsi
melakukan
pengawasan
terhadap
pelaksanaan Penanganan Konflik selama Status Keadaan
Konflik.
Pasal 20
Status Keadaan Konflik skala nasional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) ditetapkan oleh Presiden
setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPR.
Pasal 21
DPR melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
Penanganan Konflik selama Status Keadaan Konflik skala
nasional.
Pasal 22
Penetapan Status Keadaan Konflik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (1) berlaku paling lama 90 (sembilan
puluh) hari.
Pasal 23
(1) Dalam Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota,
bupati/wali kota bertanggung jawab atas Penanganan
Konflik kabupaten/kota.
(2) Dalam . . .

(2) Dalam Penanganan Konflik skala kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
bupati/wali kota wajib melaporkan perkembangan Penanganan Konflik kepada
gubernur dengan tembusan kepada menteri yang membidangi urusan dalam negeri
dan/atau menteri terkait serta DPRD kabupaten/kota.
Pasal 24
(1) Dalam Status Keadaan Konflik skala provinsi, gubernur bertanggung jawab atas
Penanganan Konflik provinsi.
(2) Dalam Penanganan Konflik skala provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
gubernur wajib melaporkan perkembangan Penanganan Konflik kepada Presiden
melalui menteri yang membidangi urusan dalam negeri dan/atau menteri terkait
dengan tembusan kepada DPRD provinsi.
Pasal 25
(1) Dalam hal Status Keadaan Konflik skala nasional, Presiden bertanggung jawab atas
Penanganan Konflik nasional.
(2) Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden
dapat menunjuk menteri yang membidangi koordinasi urusan politik, hukum, dan
keamanan sebagai koordinator dengan melibatkan menteri/pimpinan lembaga terkait.
(3) Dalam penanganan Status Keadaan Konflik skala nasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Presiden menyampaikan perkembangan penanganan Status Keadaan
Konflik kepada DPR.
Pasal 26
Dalam Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota,
bupati/wali kota dapat melakukan:
a. pembatasan dan penutupan kawasan Konflik untuk sementara waktu;
b. pembatasan orang di luar rumah untuk sementara waktu;

c. penempatan orang di luar kawasan Konflik untuk


sementara waktu; dan
d. pelarangan orang untuk memasuki kawasan Konflik
atau keluar dari kawasan Konflik untuk sementara
waktu.
Pasal 27
Dalam Status Keadaan Konflik skala provinsi gubernur
dapat melakukan:
a. pembatasan dan penutupan kawasan Konflik untuk
sementara waktu;
b. pembatasan orang di luar rumah untuk sementara
waktu;
c. penempatan orang di luar kawasan Konflik untuk
sementara waktu; dan
d. pelarangan orang untuk memasuki kawasan Konflik
atau keluar dari kawasan Konflik untuk sementara
waktu.
Pasal 28
Dalam Status Keadaan Konflik skala nasional Presiden
dapat menunjuk menteri yang membidangi koordinasi
urusan politik, hukum, dan keamanan untuk melakukan:
a. pembatasan dan penutupan kawasan Konflik untuk
sementara waktu;
b. pembatasan orang di luar rumah untuk sementara
waktu;
c. penempatan orang di luar kawasan Konflik untuk
sementara waktu; dan
d. pelarangan orang untuk memasuki kawasan Konflik
atau keluar dari kawasan Konflik untuk sementara
waktu.
Pasal 29
(1) Berdasarkan evaluasi terhadap laporan pengendalian
keadaan Konflik skala kabupaten/kota, bupati/wali
kota setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPRD
kabupaten/kota dapat memperpanjang jangka waktu
Status Keadaan Konflik paling lama 30 (tiga puluh)
hari.

(2) Berdasarkan . . .

(2) Berdasarkan evaluasi terhadap laporan pengendalian


keadaan Konflik skala provinsi, gubernur setelah
berkonsultasi dengan pimpinan DPRD provinsi dapat
memperpanjang jangka waktu Status Keadaan Konflik
paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(3) Berdasarkan
evaluasi
terhadap
perkembangan
pengendalian keadaan Konflik skala nasional, Presiden
setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPR dapat
memperpanjang jangka waktu Status Keadaan Konflik
paling lama 30 (tiga puluh) hari.
Pasal 30
(1) Perpanjangan jangka waktu Status Keadaan Konflik
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1)
dikonsultasikan
oleh
bupati/wali
kota
kepada
pimpinan DPRD kabupaten/kota dalam waktu 10
(sepuluh) hari sebelum
berakhirnya jangka waktu
Status Keadaan Konflik.
(2) Perpanjangan jangka waktu Status Keadaan Konflik
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2)
dikonsultasikan oleh gubernur kepada pimpinan DPRD
provinsi dalam waktu 10 (sepuluh) hari sebelum
berakhirnya jangka waktu Status Keadaan Konflik.
(3) Perpanjangan jangka waktu Status Keadaan Konflik
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3)
dikonsultasikan oleh Presiden kepada pimpinan DPR
dalam waktu 10 (sepuluh) hari sebelum berakhirnya
jangka waktu Status Keadaan Konflik.
(4) Dalam hal penetapan Status Keadaan Konflik dicabut,
semua kewenangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28 tidak berlaku.
Pasal 31
Dalam hal keadaan Konflik dapat ditanggulangi sebelum
batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22, bupati/wali kota, gubernur, atau Presiden
berwenang mencabut penetapan Status Keadaan Konflik.

(14) Berdasarkan . .
.

Bagian Keempat
Tindakan Darurat Penyelamatan dan Pelindungan Korban
Pasal 32
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan
tindakan darurat penyelamatan dan pelindungan
korban sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan
wewenangnya.
(2) Tindakan darurat penyelamatan dan pelindungan
korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penyelamatan, evakuasi, dan identifikasi korban
Konflik secara cepat dan tepat;
b. pemenuhan kebutuhan dasar korban Konflik;
c. pemenuhan kebutuhan dasar pengungsi, termasuk
kebutuhan spesifik perempuan, anak-anak, dan
kelompok orang yang berkebutuhan khusus;
d. pelindungan terhadap kelompok rentan;
e. upaya sterilisasi tempat yang rawan Konflik;
f. penyelamatan sarana dan prasarana vital;
g. penegakan hukum;
h. pengaturan mobilitas orang, barang, dan jasa dari
dan ke daerah Konflik; dan
i. penyelamatan harta benda korban Konflik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan darurat
penyelamatan dan pelindungan korban diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Bantuan Penggunaan dan Pengerahan Kekuatan TNI
Pasal 33
(1) Dalam Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota,
bupati/wali kota dapat meminta bantuan penggunaan
kekuatan TNI kepada Pemerintah.
(2) Dalam . . .

(15) Berdasarkan . . .

(2) Dalam Status Keadaan Konflik skala provinsi, gubernur


dapat meminta bantuan penggunaan kekuatan TNI
kepada Pemerintah.
(3) Dalam Status Keadaan Konflik skala nasional, Presiden
berwenang mengerahkan kekuatan TNI setelah
berkonsultasi dengan pimpinan DPR.
(4) Bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 34
(1) Pelaksanaan bantuan penggunaan kekuatan TNI
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal
33
dikoordinasikan oleh Polri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bantuan penggunaan
kekuatan TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 35
Bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 berakhir apabila:
a. telah dilakukan pencabutan penetapan Status Keadaan
Konflik; atau
b. berakhirnya jangka waktu Status Keadaan Konflik.
BAB V
PEMULIHAN PASCAKONFLIK
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 36
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban
melakukan upaya Pemulihan Pascakonflik secara
terencana, terpadu, berkelanjutan, dan terukur.

(16) Berdasarkan . .
.

(2) Upaya Pemulihan Pascakonflik sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) meliputi:
a. rekonsiliasi;
b. rehabilitasi; dan
c. rekonstruksi.
Bagian Kedua
Rekonsiliasi
Pasal 37
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan
rekonsiliasi antara para pihak dengan cara:
a. perundingan secara damai;
b. pemberian restitusi; dan/atau
c. pemaafan.
(2) Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan dengan Pranata Adat dan/atau
Pranata Sosial atau Satuan Tugas Penyelesaian Konflik
Sosial.
Bagian Ketiga
Rehabilitasi
Pasal 38
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melaksanakan
rehabilitasi di daerah pascakonflik dan daerah terkena
dampak Konflik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
36 ayat (2) huruf b, sesuai dengan tugas, tanggung
jawab, dan wewenangnya.
(2) Pelaksanaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. pemulihan
psikologis korban
Konflik dan
pelindungan kelompok rentan;
b. pemulihan kondisi sosial, ekonomi, budaya,
keamanan, dan ketertiban;
c. perbaikan dan pengembangan lingkungan
dan/atau daerah perdamaian;
d. penguatan relasi sosial yang adil untuk
kesejahteraan masyarakat;
e. penguatan . . .

e. penguatan kebijakan publik yang mendorong


pembangunan
lingkungan
dan/atau
daerah
perdamaian berbasiskan hak masyarakat;
f. pemulihan ekonomi dan hak keperdataan, serta
peningkatan pelayanan pemerintahan;
g. pemenuhan kebutuhan dasar spesifik perempuan,
anak-anak, lanjut usia, dan kelompok orang yang
berkebutuhan khusus;
h. pemenuhan kebutuhan dan pelayanan kesehatan
reproduksi bagi kelompok perempuan;
i. peningkatan pelayanan kesehatan anak-anak; dan
j. pemfasilitasian serta mediasi pengembalian dan
pemulihan aset korban Konflik.
Bagian Keempat
Rekonstruksi
Pasal 39
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melaksanakan
rekonstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
ayat (2) huruf c sesuai dengan tugas, tanggung jawab,
dan wewenangnya.
(2) Pelaksanaan rekonstruksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. pemulihan dan peningkatan fungsi pelayanan
publik
di
lingkungan
dan/atau
daerah
pascakonflik;
b. pemulihan dan penyediaan akses pendidikan,
kesehatan, dan mata pencaharian;
c. perbaikan sarana dan prasarana umum daerah
Konflik;
d. perbaikan berbagai struktur dan kerangka kerja
yang
menyebabkan
ketidaksetaraan
dan
ketidakadilan, termasuk kesenjangan ekonomi;
e. perbaikan dan penyediaan fasilitas pelayanan
pemenuhan kebutuhan dasar spesifik perempuan,
anak-anak, lanjut usia, dan kelompok orang yang
berkebutuhan khusus;
f. perbaikan dan pemulihan tempat ibadah.
BAB VI . . .

BAB VI
KELEMBAGAAN DAN MEKANISME PENYELESAIAN KONFLIK
Bagian Kesatu
Kelembagaan
Pasal 40
Kelembagaan penyelesaian Konflik terdiri atas Pemerintah,
Pemerintah Daerah, Pranata Adat dan/atau Pranata
Sosial, serta Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial.
Bagian Kedua
Mekanisme Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial
Pasal 41
(1) Penyelesaian Konflik dilaksanakan oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah dengan mengedepankan Pranata
Adat dan/atau Pranata Sosial yang ada dan diakui
keberadaannya.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengakui hasil
penyelesaian Konflik melalui mekanisme Pranata Adat
dan/atau Pranata Sosial.
(3) Hasil kesepakatan penyelesaian Konflik melalui
mekanisme Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki
kekuatan yang mengikat bagi kelompok masyarakat
yang terlibat dalam Konflik.
(4) Dalam hal penyelesaian Konflik melalui mekanisme
Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diselesaikan, maka
penyelesaian Konflik dilakukan oleh Satuan Tugas
Penyelesaian Konflik Sosial.
(5) Penyelesaian Konflik melalui mekanisme Pranata Adat
dan/atau Pranata Sosial sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1)
difasilitasi
oleh
Pemerintah
Daerah
kabupaten/kota
dengan
melibatkan
aparatur
kecamatan dan kelurahan/desa setempat.
Bagian . . .

Bagian Ketiga
Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial
Paragraf Satu
Umum
Pasal 42
(1) Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial merupakan
lembaga penyelesaian Konflik yang bersifat ad hoc.
(2) Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dibentuk oleh Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah dalam hal:
a. tidak ada Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial di
daerah Konflik;
b. tidak berfungsinya Pranata Adat dan/atau Pranata
Sosial di daerah Konflik;
c. tidak berjalannya mekanisme musyawarah untuk
mufakat melalui Pranata Adat dan/atau Pranata
Sosial;
d. tidak tercapainya kesepakatan melalui mekanisme
musyawarah Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial;
dan
e. telah ditetapkannya Status Keadaan Konflik.
Paragraf Dua
Tugas dan Fungsi Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial
Pasal 43
(1) Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial bertugas
menyelesaikan Konflik sosial melalui musyawarah
untuk mufakat.
(2) Penyelesaian Konflik melalui musyawarah untuk
mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengikat
bagi kelompok masyarakat yang terlibat dalam Konflik.
(3) Dalam hal penyelesaian Konflik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaiannya dilakukan
melalui pengadilan.
Pasal 44 . . .

Pasal 44
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 43 ayat (1), Satuan Tugas Penyelesaian
Konflik Sosial menyelenggarakan fungsi:
a. pencarian fakta dan pemberian kesempatan kepada
pihak yang berkonflik untuk menyampaikan fakta dan
penyebab terjadinya Konflik;
b. pencarian data atau informasi di instansi pemerintah
dan/atau swasta terkait sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
c. koordinasi dengan instansi terkait untuk memberikan
pelindungan kepada korban, saksi, pelapor, pelaku,
dan barang bukti sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
d. perumusan opsi yang dapat disepakati dengan
mempertimbangkan
kepentingan
pihak
yang
berkonflik;
e. perumusan kesepakatan yang telah dicapai;
f. penghitungan
jumlah
kerugian
dan
besaran
kompensasi,
restitusi,
rehabilitasi,
dan/atau
rekonstruksi;
g. penyampaian
rekomendasi
kepada
Pemerintah
dan/atau
Pemerintah
Daerah
dalam
upaya
rehabilitasi dan Pemulihan Pascakonflik; dan
h. penyampaian laporan akhir pelaksanaan tugas dan
fungsi Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial
kepada Pemerintah/Pemerintah Daerah dengan
tembusan kepada DPR/DPRD.
Paragraf Tiga
Pembentukan, Penetapan, dan Pembubaran
Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial
Pasal 45
Pembentukan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dilakukan melalui
mekanisme:

a. pembentukan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik


Sosial
untuk
menyelesaikan
Konflik
skala
kabupaten/kota dilakukan oleh bupati/wali kota;
b. pembentukan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik
Sosial untuk menyelesaikan Konflik skala provinsi
dilakukan oleh gubernur; dan /atau
c. pembentukan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik
Sosial untuk menyelesaikan Konflik skala nasional
diusulkan oleh menteri yang membidangi koordinasi
urusan politik, hukum, dan keamanan kepada
Presiden.
Pasal 46
(1) Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial berakhir
apabila:
a. Konflik telah diselesaikan melalui musyawarah
untuk mufakat; atau
b. penyelesaian Konflik diajukan oleh pihak yang
berkonflik melalui pengadilan.
(2) Dalam hal keadaan Konflik skala kabupaten/kota
meningkat menjadi keadaan Konflik skala provinsi,
Satuan
Tugas
Penyelesaian
Konflik
Sosial
kabupaten/kota tidak dengan sendirinya dibubarkan.
(3) Dalam hal keadaan Konflik skala provinsi meningkat
menjadi keadaan Konflik skala nasional, Satuan Tugas
Penyelesaian Konflik Sosial kabupaten/kota dan
provinsi tidak dengan sendirinya dibubarkan.
(4) Penyelesaian Konflik selama proses di pengadilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
difasilitasi oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah.
(5) Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
mencakup
pemantauan,
pengendalian,
dan
pengamanan terhadap pihak yang berkonflik tanpa
intervensi terhadap proses peradilan.
Paragraf. . .

Paragraf Empat
Keanggotaan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial
Pasal 47
(1) Keanggotaan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal
45 huruf a terdiri atas unsur Pemerintah Daerah dan
masyarakat.
(2) Unsur Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas:
a. bupati/wali kota;
b. ketua DPRD kabupaten/kota;
c. instansi Pemerintah dan/atau satuan kerja
perangkat daerah sesuai dengan kebutuhan;
d. kepala kepolisian resor;
e. komandan distrik militer/komandan satuan unsur
TNI; dan
f. kepala kejaksaan negeri.
(3) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas:
a. tokoh agama;
b. tokoh adat;
c. tokoh masyarakat;
d. pegiat perdamaian; dan
e. wakil pihak yang berkonflik.
(4) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) harus memperhatikan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30 % (tiga puluh persen).
Pasal 48
(1) Keanggotaan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial
provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf
b terdiri atas unsur Pemerintah Daerah dan
masyarakat.
(2) Unsur Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas:
a. gubernur;
b. ketua DPRD provinsi;
c. instansi . . .

c. instansi Pemerintah dan/atau satuan kerja


pemerintah daerah provinsi sesuai dengan
kebutuhan;
d. kepala kepolisian daerah;
e. panglima daerah militer/komandan satuan unsur
TNI;
f. kepala kejaksaan tinggi; dan
g. unsur Pemerintah Daerah pada Satuan Tugas
Penyelesaian Konflik Sosial skala kabupaten/kota.
(3) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas:
a. tokoh agama;
b. tokoh adat;
c. tokoh masyarakat;
d. pegiat perdamaian; dan
e. wakil pihak yang berkonflik dari Satuan Tugas
Penyelesaian Konflik Sosial skala kabupaten/kota.
(4) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) harus memperhatikan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30 % (tiga puluh persen).
Pasal 49
(1) Keanggotaan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial
skala nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
huruf c terdiri atas unsur Pemerintah dan
masyarakat.
(2) Unsur Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas:
a. kementerian yang membidangi koordinasi urusan
politik, hukum, dan keamanan;
b. kementerian yang membidangi koordinasi urusan
kesejahteraan rakyat;
c. kementerian yang membidangi urusan dalam
negeri;
d. kementerian
yang
membidangi
urusan
pertahanan;
e. kementerian yang membidangi urusan keuangan
negara;
f. kementerian yang membidangi urusan kesehatan;
g. kementerian yang membidangi urusan sosial;

h. kementerian yang membidangi urusan agama;


i. Polri;
j. TNI;
k. Kejaksaan Agung;
l. Badan Nasional Penanggulangan Bencana;
m. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia;
n. unsur Pemerintah Daerah dari Satuan Tugas
Penyelesaian Konflik Sosial skala provinsi yang
berkonflik; dan
o. instansi pemerintah terkait lainnya sesuai dengan
kebutuhan.
(3) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas:
a. tokoh agama;
b. tokoh adat;
c. tokoh masyarakat;
d. pegiat perdamaian;
e. wakil pihak yang berkonflik dari Satuan Tugas
Penyelesaian Konflik Sosial skala provinsi; dan
f. lembaga masyarakat lain yang terkait sesuai
dengan kebutuhan.
(4) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) harus memperhatikan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30 % (tiga puluh persen).
Pasal 50
Penetapan anggota Satuan Tugas Penyelesaian Konflik
Sosial unsur masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 47 ayat (1), Pasal 48 ayat (1), dan Pasal 49 ayat (1)
dengan mempertimbangkan ketokohan, integritas, dan
moralitas.
Pasal 51
Anggota Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial
berhenti atau diberhentikan karena:
a. masa tugas Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial
telah berakhir;
b. penggantian personel oleh instansi yang
bersangkutan;
c. meninggal dunia;
d. mengundurkan diri secara tertulis; dan/atau

e. melakukan tindakan yang bertentangan dengan tugas


dan fungsi Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial
dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 52
(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam Penanganan
Konflik.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berupa:
a. pembiayaan;
b. bantuan teknis;
c. penyediaan kebutuhan dasar minimal bagi korban
Konflik; dan/atau
d. bantuan tenaga dan pikiran.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta
masyarakat dalam Penanganan Konflik diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
PENDANAAN
Pasal 53
(1) Pendanaan Penanganan Konflik digunakan untuk
Pencegahan Konflik, Penghentian Konflik, dan
Pemulihan Pascakonflik.
(2) Pendanaan
Penanganan
Konflik
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggungjawab
bersama Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang
dialokasikan pada APBN dan/atau APBD sesuai
dengan tugas, wewenang, dan tanggung jawab
masing-masing.
Pasal 54
(1)

Pemerintah mengalokasikan dana APBN untuk


Pencegahan
Konflik
melalui
anggaran
kementerian/lembaga yang bertanggung jawab sesuai
tugas dan fungsinya.
(2) Pemerintah . . .

(2) Pemerintah Daerah mengalokasikan dana APBD


untuk Pencegahan Konflik melalui anggaran satuan
kerja perangkat daerah yang bertanggung jawab
sesuai tugas dan fungsinya.
Pasal 55
(1) Pendanaan Penghentian Konflik dan rekonsiliasi
pascakonflik diambil dari dana siap pakai pada APBN
dan/atau dana belanja tidak terduga pada APBD oleh
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sebagai
unsur Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1), Pasal
48 ayat (1), dan Pasal 49 ayat (1) yang dapat dipakai
sewaktu-waktu secara langsung oleh Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah.
(2) Dana siap pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bersumber dari dana bagian anggaran bendahara
umum negara.
Pasal 56
(1) Pemerintah
mengalokasikan
dana
pascakonflik
melalui
anggaran
kementerian/lembaga
yang
bertanggung jawab sesuai tugas dan fungsinya.
(2) Pemerintah
Daerah
mengalokasikan
dana
pascakonflik melalui APBD.
(3) Dana pascakonflik digunakan untuk mendanai
kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pada tahap
pascakonflik yang terjadi di daerah.
Pasal 57
(1) Pemerintah Daerah yang daerahnya mengalami konflik
dan memiliki keterbatasan kemampuan pendanaan
dapat mengajukan permintaan dana pascakonflik
kepada Pemerintah melalui dana alokasi khusus
(DAK) dengan melampirkan kerangka acuan kegiatan
rehabilitasi dan rekonstruksi pascakonflik beserta
rencana anggaran biaya.

(2) Pengajuan dana pascakonflik yang diajukan oleh


Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
dikoordinasikan
oleh
kementerian
yang
membidangi urusan dalam negeri.
Pasal 58
Ketentuan
mengenai
perencanaan,
penganggaran,
penyaluran,
penatausahaan,
pelaporan,
dan
pertanggungjawaban
pengelolaan
pendanaan
Penanganan Konflik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
53 ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 59
Semua program dan kegiatan yang berkaitan dengan
Penanganan Konflik yang telah berlangsung sebelum
ditetapkannya
Undang-Undang
ini
dapat
terus
dilaksanakan sampai dengan berakhirnya program dan
kegiatan tersebut.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 60
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
penanganan konflik dinyatakan tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan atau belum dibentuk berdasarkan
Undang-Undang ini.
Pasal 61
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus sudah
ditetapkan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun 6
(enam) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
Pasal 62
Undang-Undang
diundangkan.

ini

mulai

berlaku

pada

tanggal

Agar . . .

Agar
setiap
orang
mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 10 Mei
2012
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 10 Mei 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 116
Salinan sesuai dengan aslinya
KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI
Asisten Deputi Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
ttd.

Wisnu Setiawan

PENJELASAN
ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 7 TAHUN 2012
TENTANG
PENANGANAN KONFLIK SOSIAL

I. UMUM
Keanekaragaman suku, agama, ras, dan budaya Indonesia dengan
jumlah penduduk lebih dari 230 juta jiwa, pada satu sisi merupakan
suatu kekayaan bangsa yang secara langsung ataupun tidak langsung
dapat memberikan kontribusi positif bagi upaya menciptakan
kesejahteraan masyarakat. Namun pada sisi lain, kondisi tersebut dapat
membawa dampak buruk bagi kehidupan nasional apabila terdapat
ketimpangan pembangunan, ketidakadilan dan kesenjangan sosial dan
ekonomi, serta ketidakterkendalian dinamika kehidupan politik.
Di samping itu, transisi demokrasi dalam tatanan dunia yang makin
terbuka mengakibatkan makin cepatnya dinamika sosial, termasuk
faktor intervensi asing. Kondisi tersebut menempatkan Indonesia sebagai
salah satu negara yang rawan Konflik, terutama Konflik yang bersifat
horisontal. Konflik tersebut, terbukti telah mengakibatkan hilangnya rasa
aman, timbulnya rasa takut masyarakat, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, korban jiwa dan trauma psikologis seperti
dendam, benci, dan antipati, sehingga menghambat terwujudnya
kesejahteraan umum.
Sistem penanganan Konflik yang dikembangkan selama ini lebih
mengarah pada penanganan yang bersifat militeristik dan represif. Selain
itu, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Penanganan
Konflik masih bersifat parsial dan dalam bentuk peraturan perundangundangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah seperti dalam bentuk
Instruksi Presiden, Keputusan Presiden dan Peraturan Presiden.

Berbagai . . .

Berbagai upaya Penanganan Konflik terus dilakukan berdasarkan


peraturan perundang-undangan yang ada, termasuk membentuk
kerangka regulasi baru. Dengan mengacu pada strategi Penanganan
Konflik yang dikembangkan oleh Pemerintah, kerangka regulasi yang ada
mencakup tiga strategi. Pertama, kerangka regulasi dalam upaya

Pencegahan Konflik seperti regulasi mengenai kebijakan dan strategi


pembangunan yang sensitif terhadap Konflik dan upaya Pencegahan
Konflik. Kedua, kerangka regulasi bagi kegiatan Penanganan Konflik pada
saat terjadi Konflik yang meliputi upaya penghentian kekerasan dan
pencegahan jatuhnya korban manusia ataupun harta benda. Ketiga,
kerangka regulasi bagi penanganan pascakonflik, yaitu ketentuan yang
berkaitan dengan tugas penyelesaian sengketa/proses hukum serta
kegiatan pemulihan, reintegrasi, dan rehabilitasi. Kerangka regulasi yang
dimaksud adalah segala peraturan perundang-undangan, baik yang
tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 maupun dalam peraturan perundang-undangan yang lain,
termasuk di dalamnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP
MPR).
Berdasarkan pemikiran tersebut, pada dasarnya terdapat tiga
argumentasi pentingnya Undang-Undang tentang Penanganan Konflik
Sosial, yaitu argumentasi filosofis, argumentasi sosiologis, dan
argumentasi yuridis.
Argumentasi filosofis berkaitan dengan pertama, jaminan tetap
eksisnya cita-cita pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, tanpa diganggu akibat
perbedaan pendapat atau Konflik yang terjadi di antara kelompok
masyarakat. Kedua, tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
melindungi segenap bangsa Indonesia yang terdiri atas beragam suku
bangsa, agama, dan budaya serta melindungi seluruh tumpah darah
Indonesia, termasuk memberikan jaminan rasa aman dan bebas dari
rasa takut dalam rangka terwujudnya kesejahteraan umum sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Ketiga, tanggung jawab negara memberikan pelindungan, pemajuan,
penegakan, dan pemenuhan hak asasi melalui upaya penciptaan
suasana yang aman, tenteram, damai, dan sejahtera baik lahir maupun
batin sebagai wujud hak setiap orang atas pelindungan diri pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda serta hak atas rasa
aman dan pelindungan dari ancaman ketakutan. Bebas dari rasa takut
merupakan jaminan terhadap hak hidup secara aman, damai, adil, dan
sejahtera.
Selanjutnya . . .

Selanjutnya, argumentasi sosiologis pembentukan Undang-Undang


tentang Penanganan Konflik Sosial adalah sebagai berikut; Pertama,
Negara Republik Indonesia dengan keanekaragaman suku bangsa,
agama, dan budaya yang masih diwarnai ketimpangan pembangunan,

ketidakadilan, dan kesenjangan sosial, ekonomi dan politik, berpotensi


melahirkan Konflik di tengah masyarakat.
Kedua, Indonesia pada satu sisi sedang mengalami transisi
demokrasi dan pemerintahan, membuka peluang bagi munculnya
gerakan radikalisme di dalam negeri, dan pada sisi lain hidup dalam
tatanan dunia yang terbuka dengan pengaruh asing sangat rawan dan
berpotensi menimbulkan Konflik.
Ketiga, kekayaan sumber daya alam dan daya dukung lingkungan
yang makin terbatas dapat menimbulkan Konflik, baik karena masalah
kepemilikan maupun karena kelemahan dalam sistem pengelolaannya
yang tidak memperhatikan kepentingan masyarakat setempat.
Keempat, Konflik menyebabkan hilangnya rasa aman, timbulnya
rasa takut, rusaknya lingkungan dan pranata sosial, kerugian harta
benda, jatuhnya korban jiwa, timbulnya trauma psikologis (dendam,
benci, antipati), serta melebarnya jarak segresi antara para pihak yang
berkonflik sehingga dapat menghambat terwujudnya kesejahteraan
umum.
Kelima, Penanganan Konflik dapat dilakukan secara komprehensif,
integratif, efektif, efisien, akuntabel, dan transparan serta tepat sasaran
melalui pendekatan dialogis dan cara damai berdasarkan landasan
hukum yang memadai.
Keenam, dalam mengatasi dan menangani berbagai Konflik
tersebut, Pemerintah Indonesia belum memiliki suatu format kebijakan
Penanganan Konflik komprehensif, integratif, efektif, efisien, akuntabel
dan transparan, serta tepat sasaran berdasarkan pendekatan dialogis
dan cara damai.
Argumentasi yuridis pembentukan Undang-Undang tentang
Penanganan Konflik Sosial adalah mengenai permasalahan peraturan
perundang-undangan terkait Penanganan Konflik yang masih bersifat
sektoral dan reaktif, dan tidak sesuai dengan perkembangan sistem
ketatanegaraan.
Beberapa undang-undang yang erat kaitannya, bahkan menjadi
dasar dan acuan bagi Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial adalah
sebagai berikut:
1. Undang . . .

1. Undang-Undang Nomor 23 Prp Tahun 1959 tentang Keadaan


Bahaya, sebagaimana telah diubah dua kali, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 52 Prp Tahun 1960;
2. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1997 tentang Mobilisasi dan
Demobilisasi;
3. Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1999 tentang Rakyat Terlatih;

4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara


Republik Indonesia;
5. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara;
6. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi
Undang-Undang;
7. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional;
8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
9. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;
10.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional
Indonesia;
11.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana;
12.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan
Sosial.
Pembentukan Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial
dilakukan melalui analisis sinkronisasi dan harmonisasi dengan peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan Penanganan Konflik Sosial.
Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial menentukan
tujuan penanganan Konflik yaitu menciptakan kehidupan masyarakat yang
aman, tenteram, damai, dan sejahtera; memelihara kondisi damai dan
harmonis dalam hubungan sosial kemasyarakatan; meningkatkan tenggang
rasa dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara;
memelihara keberlangsungan fungsi pemerintahan; melindungi jiwa, harta
benda, serta sarana dan prasarana umum; memberikan pelindungan dan
pemenuhan hak korban; serta memulihkan kondisi fisik dan mental
masyarakat.
Un d a n g . . .

Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial mengatur mengenai


Penanganan Konflik Sosial yang dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu
Pencegahan Konflik, Penghentian Konflik, dan Pemulihan Pascakonflik.
Pencegahan Konflik dilakukan antara lain melalui upaya memelihara kondisi
damai dalam masyarakat; mengembangkan penyelesaian perselisihan secara
damai; meredam potensi Konflik; dan membangun sistem peringatan dini.
Penanganan Konflik pada saat terjadi Konflik dilakukan melalui upaya

penghentian kekerasan fisik; penetapan Status Keadaan Konflik; tindakan


darurat penyelamatan dan pelindungan korban; dan/atau pengerahan dan
penggunaan kekuatan TNI. Status Keadaan Konflik berada pada keadaan
tertib sipil sampai dengan darurat sipil sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 23 Prp Tahun 1959. Selanjutnya, Penanganan
Konflik pada pascakonflik, Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban
melakukan upaya Pemulihan Pascakonflik secara terencana, terpadu,
berkelanjutan, dan terukur melalui upaya rekonsiliasi; rehabilitasi; dan
rekonstruksi. Undang-Undang ini juga mengatur mengenai peran serta
masyarakat dan pendanaan Penanganan Konflik.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan asas kemanusiaan adalah bahwa
penanganan Konflik harus mencerminkan pelindungan dan
penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat
setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara
proporsional.
Huruf b
Yang dimaksud dengan asas hak asasi manusia adalah
Penanganan Konflik harus menghormati dan menjunjung
tinggi hak-hak yang secara kodrati melekat pada manusia dan
tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi,
dihormati, dan ditegakkan oleh setiap orang, negara, hukum,
dan Pemerintah, demi peningkatan martabat kemanusiaan,
kesejahteraan, kebahagiaan, serta keadilan.

Huruf c
Yang dimaksud dengan asas kebangsaan adalah bahwa
Penanganan Konflik harus mencerminkan sifat dan watak
bangsa Indonesia yang pluralistik dengan tetap memelihara
prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
Huruf d
Yang dimaksud dengan asas kekeluargaan adalah bahwa
Penanganan Konflik harus mencerminkan musyawarah untuk
mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
Huruf e

Yang dimaksud dengan asas kebhinneka-tunggal-ikaan


adalah bahwa Penanganan Konflik harus memperhatikan
keragaman penduduk, agama, suku, dan golongan serta
kondisi khusus daerah dan budayanya, khususnya yang
menyangkut masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Huruf f
Yang dimaksud dengan asas keadilan adalah bahwa
Penanganan Konflik harus mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga negara, tanpa terkecuali.
Huruf g
Yang dimaksud dengan asas kesetaraan gender adalah bahwa
kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk
memperoleh kesempatan dan haknya sebagai manusia agar
mampu berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum,
ekonomi, sosial budaya, dan pendidikan sehingga memperoleh
manfaat dan mampu berpartisipasi secara setara dan adil
dalam pembangunan.
Huruf h
Yang dimaksud dengan asas ketertiban dan kepastian hukum
adalah bahwa Penanganan Konflik harus dapat menimbulkan
ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya
kepastian hukum.

Huruf i
Yang dimaksud dengan asas keberlanjutan adalah bahwa
Penanganan Konflik harus dilakukan secara terus-menerus
dan berkesinambungan untuk menciptakan suasana tenteram
dan damai.
Huruf j
Yang dimaksud dengan asas kearifan lokal adalah bahwa
Penanganan Konflik harus memperhatikan nilai-nilai yang
hidup dan dihormati di dalam masyarakat.
Huruf k
Yang dimaksud dengan asas tanggung jawab negara adalah
bahwa Penanganan Konflik merupakan tanggung jawab
seluruh komponen negara, baik Pemerintah maupun
masyarakat.

Huruf l
Yang dimaksud dengan asas partisipatif adalah bahwa
Penanganan
Konflik
melibatkan
masyarakat
dalam
keseluruhan prosesnya, dari perencanaan, pembiayaan, hingga
pengawasan.
Huruf m
Yang dimaksud dengan asas tidak memihak adalah bahwa
Penanganan Konflik berpegang teguh pada norma dengan tidak
berpihak pada pihak manapun.
Huruf n
Yang dimaksud dengan asas tidak membeda-bedakan adalah
bahwa dalam Penanganan Konflik harus memberikan
perlakuan
yang
sama
dengan
tidak
membedakan
antarkelompok masyarakat.
Pasal 3
Cukup jelas.

Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini difasilitasi oleh
Pemerintah dan Pemerintah Daerah melalui penguatan capacity
building, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan budi pekerti,
pendidikan agama, dan menanamkan nilai-nilai integrasi bangsa.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Bahwa hasil penyelesaian perselisihan secara damai harus
dihormati, ditaati, dan dilaksanakan oleh seluruh pihak yang
berkonflik.
Pasal 9
Huruf a

Yang dimaksud dengan perencanaan dan pelaksanaan


pembangunan memperhatikan aspirasi masyarakat adalah
bahwa suatu proses perancangan pembangunan beserta
pelaksanaannya
menampung
harapan
dan
keinginan
masyarakat.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Kegiatan ini dilaksanakan melalui pendidikan membangun
perdamaian (peace building), memelihara dan melestarikan
perdamaian (peace keeping), menciptakan perdamaian (peace
making), toleransi, multikulturalisme, inklusivisme, dan
pendidikan kewarganegaraan.

Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan menegakkan hukum tanpa diskriminasi adalah upaya untuk
menegakkan atau memfungsikan norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku
dalam hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara tanpa
membedakan perlakuan terhadap sesama warga negara berdasarkan warna kulit,
golongan, suku, ekonomi, agama, dan sebagainya.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Pelaku usaha yang dimaksud adalah pelaku usaha dalam bidang perkebunan, perikanan,
pertanian, pertambangan, dan kehutanan.
Pasal 10 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan media komunikasi mencakup media komunikasi tradisional
serta media massa cetak dan elektronik.
Pasal 11

Pasal 12
Huruf a
Yang dimaksud dengan kekerasan adalah tindakan yang dapat melukai fisik seseorang
baik yang dilakukan dengan menggunakan senjata maupun yang dilakukan dengan tidak
menggunakan
senjata
yang
mengakibatkan
jatuhnya
korban
jiwa
atau
kerugian/hilangnya harta benda.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Yang dimaksud dengan tidak dapat dikendalikan oleh Polri adalah kondisi dimana eskalasi
Konflik makin meningkat dan resiko makin meluas karena terbatasnya jumlah personil dan
peralatan kepolisian setempat.
Yang dimaksud dengan terganggunya fungsi pemerintahan adalah terganggunya kegiatan
administrasi pemerintahan dan fungsi pelayanan Pemerintahan kepada masyarakat.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.

Pasal 29
Cukup
jelas.
Pasal 30 . . .

Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat
(1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Materi muatan Peraturan Pemerintah termasuk pengaturan
teknis mengenai kendali operasional di lapangan.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan restitusi adalah pembayaran
ganti rugi atas kerusakan harta benda dan/atau
penderitaan yang dialami oleh korban dan/atau
keluarganya.
Huruf c
Cukup jelas.

Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 30 . . .

Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b

Pemulihan kondisi
sosial,
ekonomi,
budaya, keamanan,
dan
ketertiban
merupakan
serangkaian
kegiatan
untuk
mengembalikan
kondisi masyarakat yang terkena dampak Konflik agar
kembali pada kondisi aman, tenteram, damai, dan sejahtera.
Penguatan relasi sosial
masyarakat merupakan
masyarakat untuk
antarkelompok dalam
kembali hubungan
Pascakonflik untuk
kesejahteraan.

Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
yang adil untuk kesejahteraan serangkaian upaya pembauran meniadakan
sifat eksklusif
masyarakat guna mempererat antarkelompok masyarakat mencapai
kesatuan dan
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan pemenuhan kebutuhan dasar adalah
bantuan makanan, minuman, pakaian, kesehatan, termasuk
sarana pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan tempat tinggal.
Yang dimaksud dengan kebutuhan spesifik perempuan
adalah kebutuhan yang diperlukan oleh kaum perempuan
yang terkait dengan kodratnya sebagai perempuan dalam
kehidupan sehari-hari.

Pasal 43
Cukup
jelas.
Pasal 30 . . .

Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas.

Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 30 . . .

Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan pegiat perdamaian adalah setiap
orang yang aktivitasnya memberikan perhatian pada
urusan yang mendorong terwujudnya perdamaian.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52

Pasal 53 . . .

Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5315

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2007
TENTANG

Cukup
jelas.

PENAN GGULANGAN BENCANA


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :

Mengingat :

a.

bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia bertanggung jawab melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan tujuan untuk memberikan perlindungan
terhadap kehidupan dan penghidupan termasuk perlindungan atas bencana, dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan umum yang berlandaskan Pancasila, sebagaimana diamanatkan
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b.

bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis,
hidrologis, dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh
faktor alam, faktor nonalam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis yang dalam
keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional;

c.

bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penanggulangan bencana yang ada


belum dapat dijadikan landasan hukum yang kuat dan menyeluruh serta tidak sesuai dengan
perkembangan keadaan masyarakat dan kebutuhan bangsa Indonesia sehingga menghambat
upaya penanggulangan bencana secara terencana, terkoordinasi, dan terpadu;

d.

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c
perlu membentuk Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana;

Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-2Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1.

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan


mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik
oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

2.

Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau


serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa
bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah
longsor.

3.

Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau


rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal
modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.

4.

Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau


serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik
sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.

5.

Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang


meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana,
kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
6. Kegiatan...................

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-36.

Kegiatan pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan


sebagai upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana.

7.

Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk


mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang
tepat guna dan berdaya guna.

8.

Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera


mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada
suatu tempat oleh lembaga yang berwenang.

9.

Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik


melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana.

10. Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan
segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang
ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta
benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi,
penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.
11. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik
atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana
dengan sasaran utama untuk normalisasi atau beijalannya secara wajar semua
aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana.
12. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana,
kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan
maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya
kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban,
dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat pada wilayah pascabencana.
13. Ancaman bencana adalah
menimbulkan bencana.

suatu

kejadian

atau

peristiwa

yang

bisa

14.Rawan

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-414. Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis,
klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada
suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan
mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk
menanggapi dampak buruk bahaya tertentu.
15. Pemulihan adalah serangkaian kegiatan untuk mengembalikan kondisi
masyarakat dan lingkungan hidup yang terkena bencana dengan

16.

17.

18.
19.

20.

21.
22.
23.

memfungsikan kembali kelembagaan, prasarana, dan sarana dengan


melakukan upaya rehabilitasi.
Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengurangi atau menghilangkan risiko bencana, baik melalui pengurangan
ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana.
Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada
suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka,
sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau
kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat.
Bantuan darurat bencana adalah upaya memberikan bantuan untuk
memenuhi kebutuhan dasar pada saat keadaan darurat.
Status keadaan darurat bencana adalah suatu keadaan yang ditetapkan oleh
Pemerintah untuk jangka waktu tertentu atas dasar rekomendasi Badan yang
diberi tugas untuk menanggulangi bencana.
Pengungsi adalah orang atau kelompok orang yang terpaksa atau dipaksa
keluar dari tempat tinggalnya untuk jangka waktu yang belum pasti sebagai
akibat dampak buruk bencana.
Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, dan/atau badan
hukum.
Korban bencana adalah orang atau sekelompok orang yang menderita atau
meninggal dunia akibat bencana.
Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
24. Pemerintah.....................

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-524. Pemerintah daerah adalah gubemur, bupati/walikota, atau perangkat daerah
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
25. Lembaga usaha adalah setiap badan hukum yang dapat berbentuk badan
usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, atau swasta yang
didirikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
menjalankan jenis usaha tetap dan terus menerus yang bekerja dan
berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
26. Lembaga internasional adalah organisasi yang berada dalam
lingkup struktur organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa atau
yang menjalankan
tugas mewakili Perserikatan
Bangsa-Bangsa atau organisasi internasional lainnya dan
lembaga asing nonpemerintah dari negara lain di luar
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
BAB II
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN

Pasal 2
Penanggulangan bencana berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 3
(1)

Penanggulangan bencana
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 berasaskan:
a. kemanusiaan;
b. keadilan;
c. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
d. keseimbangan, keselarasan, dan keserasian;
e. ketertiban dan kepastian hukum;
f. kebersamaan;
g. kelestarian lingkungan hidup; dan
h. ilmu pengetahuan dan teknologi.

(2) Prinsip-prinsip
dalam penanggulangan bencana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, yaitu:
a. cepat dan tepat;
b. prioritas;
c. koordinasi...............

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-6c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

koordinasi dan keterpaduan;


berdaya guna dan berhasil guna;
transparansi dan akuntabilitas;
kemitraan;
pemberdayaan;
nondiskriminatif; dan
nonproletisi.
Pasal 4

Penanggulangan bencana bertujuan untuk:


a. memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana;
b. menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada;
c. menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana,
terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh;
d. menghargai budaya lokal;
e. membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta;
f. mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan
kedermawanan; dan
g. menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.

BAB III
TANGGUNG JAWAB DAN WEWENANG
Pasal 5
Pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana.

Pasal 6
Tanggung jawab Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan
bencana meliputi:
a. pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko
bencana dengan program pembangunan;
b.

perlindungan...............

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-7c.

e.
f.
g.

b. perlindungan masyarakat dari dampak bencana;


penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana
secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum;
d. pemulihan kondisi dari dampak bencana;
pengalokasian
anggaran
penanggulangan
bencana
dalam
Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara yang memadai;
pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana siap
pakai; dan
pemeliharaan arsip/dokumen otentik dan kredibel dari ancaman dan dampak
bencana.
Pasal 7

(1) Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana


meliputi:
a. penetapan kebijakan penanggulangan bencana selaras dengan kebijakan
pembangunan nasional;
b. pembuatan
perencanaan pembangunan yang
memasukkan unsur-unsur kebijakan penanggulangan bencana;
c. penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah;
d. penentuan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana dengan
negara lain, badan-badan, atau pihak- pihak internasional lain;
e. perumusan kebijakan tentang penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai
sumber ancaman atau bahaya bencana;
f. perumusan kebijakan mencegah penguasaan dan pengurasan sumber daya
alam yang melebihi kemampuan alam untuk melakukan pemulihan; dan
g. pengendalian pengumpulan dan penyaluran uang atau barang yang berskala
nasional.

(2) Penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c memuat indikator yang meliputi:
a. jumlah korban;
b. kerugian harta benda;
c. kerusakan prasarana dan sarana;
d. cakupan luas wilayah yang terkena bencana; dan
e. dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.
(3) Ketentuan.................

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-8(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan status dan tingkatan bencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 8

c.

Tanggung jawab pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan


bencana meliputi:
a. penjaminan pemenuhan
hak masyarakat dan pengungsi
yang terkena bencana
sesuai dengan standar pelayanan
minimum;
b. perlindungan masyarakat dari dampak bencana;
pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana
dengan program pembangunan; dan
d. pengalokasian dana
penanggulangan
bencana dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang memadai.
Pasal 9

b.
c.
d.
e.
f.

Wewenang pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan


bencana meliputi:
a. penetapan kebijakan penanggulangan
bencana pada
wilayahnya selaras dengan kebijakan pembangunan daerah;
pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-unsur
kebijakan penanggulangan bencana;
pelaksanaan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana dengan
provinsi dan/atau kabupaten/kota lain;
pengaturan penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber ancaman
atau bahaya bencana pada wilayahnya;
perumusan kebijakan pencegahan penguasaan dan pengurasan sumber daya
alam yang melebihi kemampuan alam pada wilayahnya; dan
pengendalian pengumpulan dan penyaluran uang atau barang yang berskala
provinsi, kabupaten/kota.

BAB IV

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-9BAB IV
KELEMBAGAAN
Bagian Kesatu
Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Pasal 10
(1)

Pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 membentuk
Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

(2) Badan Nasional Penanggulangan Bencana sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) merupakan Lembaga Pemerintah Nondepartemen setingkat menteri.
Pasal 11
Badan Nasional Penanggulangan Bencana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) terdiri atas unsur:
a. pengarah penanggulangan bencana; dan
b. pelaksana penanggulangan bencana.
Pasal 12
a.

b.

d.

f.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana mempunyai tugas:


memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan
bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan tanggap darurat,
rehabilitasi, dan rekonstruksi secara adil dan setara;
menetapkan standardisasi dan kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan
bencana berdasarkan Peraturan Perundang-undangan;
c. menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;
melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada Presiden setiap
sebulan sekali dalam kondisi normal dan pada setiap saat dalam kondisi
darurat bencana;
e. menggunakan
dan
mempertanggungjawabkan
sumbangan/bantuan nasional dan internasional;
mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara;

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 10 -

g.
h.

melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan;


dan
menyusun pedoman pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
Pasal 13

a.

b.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana mempunyai fungsi meliputi:


perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan
penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat serta efektif dan
efisien; dan
pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara
terencana, terpadu, dan menyeluruh.
Pasal 14

(1) Unsur pengarah penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal


11 huruf a mempunyai fungsi:
a. merumuskan konsep kebijakan penanggulangan bencana nasional;
b. memantau; dan
c. mengevaluasi dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
(2) Keanggotaan unsur
pengarah
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas:
a. pejabat pemerintah terkait; dan
b. anggota masyarakat profesional.
(3) Keanggotaan unsur
pengarah
sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b
dipilih
melalui uji kepatutan yang
dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Pasal 15
(1) Pembentukan unsur pelaksana penanggulangan bencana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 huruf b merupakan kewenangan Pemerintah.
(2) Unsur pelaksana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
mempunyai fungsi koordinasi, komando, dan pelaksana dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana.
(3) Keanggotaan

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 11 (3) Keanggotaan unsur pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas tenaga profesional dan ahli.
Pasal 16
Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
huruf b, unsur pelaksana penanggulangan bencana mempunyai tugas
secara terintegrasi yang meliputi:
a. prabencana;

b.
c.

saat tanggap darurat; dan


pascabencana.
Pasal 17
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, fungsi, tugas, struktur
organisasi, dan tata kerja Badan Nasional Penanggulangan Bencana
diatur dengan Peraturan Presiden.

Bagian Kedua
Badan Penanggulangan Bencana Daerah
Pasal 18

a.
b.

(1) Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 membentuk


Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
(2) Badan Penanggulangan Bencana Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas:
badan pada tingkat provinsi dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah
gubernur atau setingkat eselon Ib;dan
badan pada tingkat kabupaten/kota dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di
bawah bupati/walikota atau setingkat eselon IIa.
Pasal 19
(1) Badan Penanggulangan Bencana Daerah terdiri atas unsur:
a. pengarah penanggulangan bencana; dan
b. pelaksana penanggulangan bencana.

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 12 (2) Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah sebagaimana dimaksud
pada ay at (1) dilaksanakan melalui koordinasi dengan Badan Nasional
Penanggulangan Bencana.
Pasal 20
a.

b.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah mempunyai fungsi:


perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan
penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat, efektif dan efisien;
serta
pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara
terencana, terpadu, dan menyeluruh.
Pasal 21

a.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah mempunyai tugas:


menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan kebijakan pemerintah
daerah dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana terhadap usaha

c.
d.
e.
f.

g.
h.

penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan


darurat, rehabilitasi, serta rekonstruksi secara adil dan setara;
b. menetapkan
standardisasi
serta
kebutuhan
penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan;
menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana;
menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan bencana;
melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada wilayahnya;
melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada kepala daerah
setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi
darurat bencana;
mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang;
mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah; dan

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 13 i.

melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan Peraturan Perundangundangan.


Pasal 22

(1) Unsur pengarah penanggulangan bencana daerah sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 19 ay at (1) huruf a mempunyai fungsi:
a. menyusun
konsep
pelaksanaan
kebijakan
penanggulangan bencana daerah;
b. memantau; dan
c. mengevaluasi dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana
daerah.
(2) Keanggotaan unsur pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas:
a. pejabat pemerintah daerah terkait; dan
b. anggota masyarakat profesional dan ahli.
(3) Keanggotaan unsur pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
dipilih melalui uji kepatutan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
Pasal

23

(1) Pembentukan
unsur
pelaksana
penanggulangan bencana
daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b
merupakan kewenangan pemerintah daerah.
(2) Unsur pelaksana
penanggulangan bencana
daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai fungsi:
a. koordinasi;
b. komando; dan

c.

pelaksana dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana pada


wilayahnya.
(3) Keanggotaan
unsur pelaksana
penanggulangan bencana
daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas tenaga
profesional dan ahli.
Pasal 24
Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat
(2), unsur pelaksana penanggulangan bencana daerah mempunyai tugas
secara terintegrasi yang meliputi:
a. prabencana;

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 14 b.
c.

saat tanggap darurat;dan


pascabencana.
Pasal 25
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, fungsi, tugas, struktur
organisasi, dan tata keija Badan Penanggulangan Bencana Daerah diatur
dengan Peraturan Daerah.

BAB V
HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT
Bagian Kesatu
Hak Masyarakat

Pasal 26
a.
b.
c.
d.
e.

f.

(1) Setiap orang berhak:


mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, khususnya bagi kelompok
masyarakat rentan bencana;
mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana.
mendapatkan informasi secara tertulis dan/atau lisan tentang kebijakan
penanggulangan bencana.
berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan program
penyediaan bantuan pelayanan kesehatan termasuk dukungan psikososial;
berpartisipasi
dalam
pengambilan
keputusan
terhadap
kegiatan
penanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri dan
komunitasnya; dan
melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang diatur atas
pelaksanaan penanggulangan bencana.

(2) Setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan bantuan pemenuhan
kebutuhan dasar.
(3) Setiap orang berhak untuk memperoleh ganti kerugian karena terkena bencana
yang disebabkan oleh kegagalan konstruksi.
Bagian Kedua.

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 15 Bagian Kedua
Kewajiban Masyarakat
Pasal 27
a.

c.

Setiap orang berkewajiban:


menjaga kehidupan sosial masyarakat yang harmonis, memelihara
keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan kelestarian fungsi lingkungan
hidup;
b. melakukan kegiatan penanggulangan bencana; dan
memberikan informasi yang benar kepada publik tentang penanggulangan
bencana.

BAB VI
PERAN LEMBAGA USAHA
DAN LEMBAGA INTERNASIONAL
Bagian Kesatu
Peran Lembaga Usaha
Pasal 28
Lembaga usaha mendapatkan kesempatan dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana, baik secara
tersendiri maupun secara bersama dengan pihak lain.
Pasal 29
(1) Lembaga usaha menyesuaikan
kegiatannya
dengan
kebijakan penyelenggaraan penanggulangan bencana.
(2) Lembaga
usaha berkewajiban
menyampaikan
laporan
kepada pemerintah dan/atau badan yang diberi tugas melakukan
penanggulangan
bencana
serta
menginformasikannya kepada publik secara transparan.
(3) Lembaga
usaha berkewajiban
mengindahkan
prinsip
kemanusiaan
dalam melaksanakan fungsi ekonominya
dalam penanggulangan bencana.

Bagian Kedua.

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 16 Bagian Kedua
Peran Lembaga Internasional
Pasal 30
(1) Lembaga internasional dan lembaga
asing nonpemerintah
dapat ikut serta dalam kegiatan penanggulangan bencana dan
mendapat jaminan perlindungan dari Pemerintah terhadap para
pekerjanya.
(2) Lembaga internasional dan lembaga
asing nonpemerintah
dalam
melaksanakan
kegiatan
penanggulangan
bencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan secara
sendiri-sendiri, bersama-sama, dan/atau bersama dengan mitra
keija dari Indonesia dengan memperhatikan latar belakang sosial,
budaya, dan agama masyarakat setempat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kegiatan penanggulangan
bencana oleh lembaga internasional dan lembaga asing nonpemerintah diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VII
PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN
BENCANA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 31
Penyelenggaraan penanggulangan bencana dilaksanakan berdasarkan 4
(empat) aspek meliputi:
a. sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat;
b. kelestarian lingkungan hidup;
c. kemanfaatan dan efektivitas; dan
d. lingkup luas wilayah.

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 17 Pasal 32
(1) Dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, Pemerintah dapat:
a. menetapkan daerah rawan bencana menjadi daerah terlarang untuk
pemukiman;dan/atau
b. mencabut atau mengurangi sebagian atau seluruh hak kepemilikan setiap
orang atas suatu benda sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Setiap orang yang hak kepemilikannya dicabut atau dikurangi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b berhak mendapat ganti rugi sesuai dengan
Peraturan Perundang-undangan.

Bagian Kedua
Tahapan
Pasal 33
Penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas 3 (tiga) tahap
meliputi:
a. prabencana;
b. saat tanggap darurat; dan
c. pascabencana.

Paragraf Kesatu
Prabencana
Pasal 34
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahapan prabencana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf a meliputi:
a. dalam situasi tidak terjadi bencana; dan
b. dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana.

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 18 Pasal 35

Pasal 35...
salina
n-

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak


terjadi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a
meliputi:
perencanaan penanggulangan bencana;
pengurangan risiko bencana;
pencegahan;
pemaduan dalam perencanaan pembangunan;
persyaratan analisis risiko bencana;
pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang;
pendidikan dan pelatihan; dan
persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.
Pasal 36

(1) Perencanaan
penanggulangan
dimaksud dalam Pasal 35
Pemerintah dan
pemerintah
kewenangannya.

bencana
sebagaimana
huruf a ditetapkan oleh
daerah sesuai dengan

(2) Penyusunan
perencanaan penanggulangan
bencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh Badan.
(3) Perencanaan
penanggulangan
bencana
sebagaimana
dimaksud pada ay at (1) dilakukan melalui penyusunan data tentang
risiko bencana pada suatu wilayah dalam waktu tertentu
berdasarkan dokumen resmi yang berisi program kegiatan
penanggulangan bencana.
(4) Perencanaan
penanggulangan
bencana
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pengenalan dan pengkajian ancaman bencana;
b. pemahaman tentang kerentanan masyarakat;
c. analisis kemungkinan dampak bencana;
d. pilihan tindakan pengurangan risiko bencana;
e. penentuan mekanisme kesiapan dan penanggulangan dampak
bencana; dan
f. alokasi tugas, kewenangan, dan sumber daya yang tersedia.

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 19 (5) Pemerintah dan pemerintah daerah dalam waktu tertentu meninjau dokumen
perencanaan penanggulangan bencana secara berkala.
(6) Dalam usaha menyelaraskan kegiatan perencanaan penanggulangan bencana,
Pemerintah dan pemerintah daerah dapat mewajibkan pelaku penanggulangan
bencana untuk melaksanakan perencanaan penanggulangan bencana.
Pasal 37

Pasal 64...
salina
n-

(1) Pengurangan risiko bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b


dilakukan untuk mengurangi dampak buruk yang mungkin timbul, terutama
dilakukan dalam situasi sedang tidak terjadi bencana.
(2)
a.
b.
c.

Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:


pengenalan dan pemantauan risiko bencana;
perencanaan partisipatif penanggulangan bencana;
pengembangan budaya sadar bencana;
d. peningkatan komitmen terhadap pelaku penanggulangan bencana;
dan
e. penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan
bencana.
Pasal 38

a.
b.
c.

Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf c meliputi:


identifikasi dan pengenalan secara pasti terhadap sumber bahaya atau
ancaman bencana;
kontrol terhadap penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang secara
tiba-tiba dan/atau berangsur berpotensi menjadi sumber bahaya bencana;
pemantauan penggunaan teknologi yang secara tiba-tiba dan/atau berangsur
berpotensi menjadi sumber ancaman atau bahaya bencana;
d. penataan ruang dan pengelolaan lingkungan hidup; dan
e. penguatan ketahanan sosial masyarakat.

Pasal 65...
salina
n-

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 20 Pasal 39
Pemaduan penanggulangan bencana dalam perencanaan pembangunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf d dilakukan dengan cara
mencantumkan unsur-unsur rencana penanggulangan bencana ke dalam
rencana pembangunan pusat dan daerah.
Pasal 40
(1) Rencana penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat
(3) ditinjau secara berkala.
(2) Penyusunan rencana penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikoordinasikan oleh Badan.
(3) Setiap kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi yang
menimbulkan bencana dilengkapi dengan analisis risiko bencana sebagai
bagian dari usaha penanggulangan bencana sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 41
(1) Persyaratan analisis risiko bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
huruf e disusun dan ditetapkan oleh Badan Nasional Penanggulangan
Bencana.
(2) Pemenuhan syarat analisis risiko bencana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditunjukkan dalam dokumen yang disahkan oleh pejabat pemerintah sesuai
dengan Peraturan Perundang-undangan.
(3) Badan Nasional Penanggulangan Bencana melakukan pemantauan dan
evaluasi atas pelaksanaan analisis risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 42
(1) Pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 huruf f dilakukan untuk mengurangi
risiko bencana yang mencakup pemberlakuan peraturan tentang
penataan ruang, standar keselamatan, dan penerapan sanksi
terhadap pelanggar.

(2) Pemerintah ...


salina
n-

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 21 (2) Pemerintah secara berkala melaksanakan pemantauan dan evaluasi
terhadap pelaksanaan tata ruang dan pemenuhan standar
keselamatan.
Pasal 43
Pendidikan, pelatihan, dan persyaratan
standar
teknis
penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf g
dan h dilaksanakan dan ditetapkan oleh Pemerintah sesuai dengan
Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 44
Penyelenggaraan penanggulangan bencana
dalam
situasi
terdapat potensi terjadi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
huruf b meliputi:
a. kesiapsiagaan;
b. peringatan dini; dan
c. mitigasi bencana.
Pasal 45
(1) Kesiapsiagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf a dilakukan
untuk memastikan upaya yang cepat dan tepat dalam menghadapi kejadian
bencana.
(2) Kesiapsiagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan
bencana;
b. pengorganisasian, pemasangan, dan pengujian sistem peringatan
dini;
c. penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan
dasar;
d. pengorganisasian, penyuluhan,
pelatihan, dan gladi tentang
mekanisme tanggap darurat;
e. penyiapan lokasi evakuasi;
f. penyusunan data akurat, informasi, dan pemutakhiran prosedur
tetap tanggap darurat bencana; dan
g. penyediaan dan penyiapan bahan, barang, dan peralatan untuk
pemenuhan pemulihan prasarana dan sarana.

PRESIDEN

Pasal 46...
salina
n-

REPUBLIK INDONESIA
- 22 Pasal 46
(1) Peringatan
dini sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 44
huruf b dilakukan untuk pengambilan tindakan cepat dan tepat
dalam
rangka
mengurangi
risiko
terkena
bencana
serta
mempersiapkan tindakan tanggap darurat.
(2) Peringatan
dini
sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1)
dilakukan melalui:
a. pengamatan gejala bencana;
b. analisis hasil pengamatan gejala bencana;
c. pengambilan keputusan oleh pihak yang berwenang;
d. penyebarluasan informasi tentang peringatan bencana; dan
e. pengambilan tindakan oleh masyarakat.
Pasal 47
(1) Mitigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf c
dilakukan untuk mengurangi risiko
bencana
masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana.

bagi

(2) Kegiatan
mitigasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui:
a. pelaksanaan penataan ruang;
b. pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata
bangunan; dan
c. penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik
secara konvensional maupun modern.

Paragraf Kedua
Tanggap Darurat
Pasal 48
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b meliputi:
a. pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan
sumber daya;
b. penentuan status keadaan darurat bencana;
c. penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 23 d.
e.
f.

pemenuhan kebutuhan dasar;


perlindungan terhadap kelompok rentan; dan
pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.

Pasal 46...
salina
n-

Pasal 49

a.
b.
c.
e.

Pengkajian secara cepat dan tepat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48


huruf a dilakukan untuk mengidentifikasi:
cakupan lokasi bencana;
jumlah korban;
kerusakan prasarana dan sarana;
d. gangguan terhadap fungsi pelayanan umum serta pemerintahan; dan
kemampuan sumber daya alam maupun buatan.
Pasal 50
(1) Dalam hal status keadaan darurat bencana ditetapkan, Badan
Nasional Penanggulangan Bencana dan Badan Penanggulangan
Bencana Daerah mempunyai kemudahan akses yang meliputi:
a. pengerahan sumber daya manusia;
b. pengerahan peralatan;
c. pengerahan logistik;
d. imigrasi, cukai, dan karantina;
e. perizinan;
f. pengadaan barang/jasa;
g. pengelolaan dan pertanggungjawaban uang dan/atau barang; i.
penyelamatan; dan
h. komando untuk memerintahkan sektor/lembaga.
(2)

Ketentuan lebih
lanjut mengenai
kemudahan
akses
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 51

(1) Penetapan
status
darurat bencana
pemerintah sesuai dengan skala bencana.

dilaksanakan oleh

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 24 (2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk skala nasional
dilakukan oleh Presiden, skala provinsi dilakukan oleh gubernur, dan
skala kabupaten/kota dilakukan oleh bupati/walikota.
Pasal 52
Penyelamatan dan evakuasi korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48
huruf c dilakukan dengan memberikan pelayanan kemanusiaan yang
timbul akibat bencana yang terjadi pada suatu daerah melalui upaya:
a. pencarian dan penyelamatan korban;
b. pertolongan darurat; dan/atau
c. evakuasi korban.
Pasal 53

Pasal 46...
salina
n-

a.
b.
c.
d.
e.
f.

Pemenuhan kebutuhan dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf


d meliputi bantuan penyediaan:
kebutuhan air bersih dan sanitasi;
pangan;
sandang;
pelayanan kesehatan;
pelayanan psikososial; dan
penampungan dan tempat hunian.
Pasal 54
Penanganan masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana dilakukan
dengan kegiatan meliputi pendataan, penempatan pada lokasi yang aman,
dan pemenuhan kebutuhan dasar.
Pasal 55
(1) Perlindungan terhadap kelompok rentan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48 huruf e dilakukan dengan memberikan prioritas kepada
kelompok rentan berupa penyelamatan, evakuasi, pengamanan,
pelayanan kesehatan, dan psikososial.

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 25 (2)
a.
b.
c.
d.

Kelompok rentan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:


bayi, balita, dan anak-anak;
ibu yang sedang mengandung atau menyusui;
penyandang cacat; dan
orang lanjut usia.
Pasal 56

Pemulihan fungsi prasarana dan sarana vital sebagaimana dimaksud


dalam
Pasal 48 huruf f dilakukan dengan
memperbaiki dan/atau mengganti kerusakan akibat bencana.

Paragraf Ketiga
Pascabencana
Pasal 57
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf c meliputi:
a. rehabilitasi; dan
b. rekonstruksi.

pascabencana

Pasal 58
(1) Rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf a dilakukan
melalui kegiatan:

Pasal 46...
salina
n-

b.
c.
d.
e.
f.
g.
i.
j.
k.

a perbaikan lingkungan daerah bencana;


perbaikan prasarana dan sarana umum;
pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat;
pemulihan sosial psikologis;
pelayanan kesehatan;
rekonsiliasi dan resolusi konflik;
pemulihan sosial ekonomi budaya;
pemulihan keamanan dan ketertiban;
pemulihan fungsi pemerintahan; dan
pemulihan fungsi pelayanan publik.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai rehabilitasi sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 26 Pasal 59
(1) Rekonstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf b,
dilakukan melalui kegiatan pembangunan yang lebih baik, meliputi:
a. pembangunan kembali prasarana dan sarana;
b. pembangunan kembali sarana sosial masyarakat;
c.
pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat;
d. penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan
yang lebih baik dan tahan bencana;
e.
partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi
kemasyarakatan, dunia usaha, dan masyarakat;
f. peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya;
g. peningkatan fungsi pelayanan publik; dan
h. peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai rekonstruksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII
PENDANAAN DAN PENGELOLAAN
BANTUAN BENCANA
Bagian Kesatu
Pendanaan
Pasal 60
(1) Dana penanggulangan bencana menjadi tanggung jawab bersama
antara Pemerintah dan pemerintah daerah.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah mendorong partisipasi masyarakat
dalam penyediaan dana yang bersumber dari masyarakat.
Pasal 61

Pasal 46...
salina
n-

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah mengalokasikan anggaran


penanggulangan bencana secara memadai sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 huruf e, huruf f dan Pasal 8 huruf d.

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 27 (2) Penggunaan anggaran penanggulangan bencana yang memadai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan
Badan Penanggulangan Bencana Daerah sesuai dengan tugas pokok
dan fungsinya.
Pasal 62
(1) Pada saat tanggap darurat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana
menggunakan dana siap pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf f.
(2) Dana siap pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan oleh
Pemerintah dalam anggaran Badan Nasional Penanggulangan
Bencana.
Pasal 63
Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pengelolaan dana
penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 sampai
dengan Pasal 62 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 64
Dana untuk kepentingan penanggulangan bencana yang disebabkan oleh
kegiatan keantariksaan yang menimbulkan bencana menjadi tanggung
jawab negara peluncur dan/atau pemilik sesuai dengan hukum dan
peijanjian internasional.

Bagian Kedua
Pengelolaan Bantuan Bencana
Pasal 65
Pengelolaan
sumber daya bantuan
bencana meliputi
perencanaan,
penggunaan, pemeliharaan,
pemantauan, dan
pengevaluasian terhadap barang, jasa, dan/atau uang bantuan nasional
maupun internasional.

Pasal 46...
salina
n-

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 28 Pasal 66
Pemerintah, pemerintah daerah, Badan Nasional Penanggulangan Bencana
dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah melakukan pengelolaan
sumber daya bantuan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65
pada semua tahap bencana sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 67
Pada saat tanggap
darurat bencana,
Badan Nasional
Penanggulangan Bencana mengarahkan penggunaan sumber daya bantuan
bencana yang ada pada semua sektor terkait.
Pasal 68
Tata cara pemanfaatan serta pertanggungjawaban penggunaan sumber daya
bantuan bencana pada saat tanggap darurat dilakukan secara khusus
sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi kedaruratan.
Pasal 69
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan bantuan santunan
duka cita dan kecacatan bagi korban bencana.
(2) Korban bencana yang kehilangan mata pencaharian dapat diberi
pinjaman lunak untuk usaha produktif.
(3) Besarnya bantuan santunan duka cita dan kecacatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan pinjaman lunak untuk usaha produktif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi tanggung jawab
Pemerintah dan pemerintah daerah.
(4) Tata cara pemberian dan besarnya bantuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
(5) Unsur masyarakat dapat berpartisipasi dalam penyediaan bantuan.

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 29 Pasal 70

Pasal 10...
salina
n-

Pengelolaan sumber daya bantuan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 sampai
dengan Pasal 69 dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
BAB IX
PENGAWASAN
Pasal 71
(1) Pemerintah
pengawasan
bencana.

dan pemerintah
terhadap seluruh

daerah
melaksanakan
tahap penanggulangan

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:


a. sumber ancaman atau bahaya bencana;
b. kebijakan pembangunan yang berpotensi bencana; menimbulkan
c.
d.

menimbulkan
kegiatan eksploitasi yang berpotensi bencana;

pemanfaatan barang, jasa, teknologi, serta


rekayasa dan rancang bangun dalam negeri;
e. kegiatan konservasi lingkungan;

kemampuan

f. perencanaan penataan ruang;


g. pengelolaan lingkungan hidup;
h. kegiatan reklamasi; dan
i. pengelolaan keuangan.
Pasal 72
(1) Dalam melaksanakan pengawasan terhadap laporan upaya pengumpulan sumbangan,
Pemerintah dan pemerintah daerah dapat meminta laporan tentang hasil
pengumpulan sumbangan agar dilakukan audit.
(2)

Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah dan


masyarakat dapat meminta agar dilakukan audit.

(3)

Apabila hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditemukan adanya
penyimpangan penggunaan terhadap hasil sumbangan, penyelenggara pengumpulan
sumbangan dikenai sanksi sesuai dengan Peraturan Perundang- undangan.

Pasal 75...
salina
n-

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 30 Pasal 73
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72
dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.

BAB X
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 74
(1) Penyelesaian sengketa penanggulangan bencana pada tahap pertama
diupayakan berdasarkan asas musyawarah mufakat.
(2) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak diperoleh kesepakatan, para pihak dapat menempuh upaya
penyelesaian di luar pengadilan atau melalui pengadilan.

BAB XI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 75
(1) Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan
pembangunan berisiko tinggi, yang tidak dilengkapi dengan analisis
risiko bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) yang
mengakibatkan terjadinya bencana, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun atau paling lama 6 (enam) tahun dan
denda paling sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) atau
denda
paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan timbulnya kerugian harta benda atau barang, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun atau
paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling sedikit
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) atau denda paling
banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA
- 31 (3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan matinya orang, pelaku dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 8 (delapan) tahun atau paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah) atau denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam
miliar rupiah).
Pasal 76
(1) Dalam
hal tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal
75 ayat (1) dilakukan karena kesengajaan,
pelaku
dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5
(lima)
tahun atau paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling sedikit
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) atau denda paling banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
(2) Dalam
hal tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal
75 ayat (2) dilakukan karena kesengajaan,
pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) tahun
atau paling lama
12 (dua
belas) tahun dan denda
paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) atau denda
paling banyak Rp6.000.000.000,00
(enam miliar
rupiah).
(3) Dalam
hal tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal
75 ayat (3) dilakukan karena kesengajaan,
pelaku
dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 12
(dua
belas) tahun atau paling
lama 15
(lima belas) tahun dan
denda
paling sedikit
Rp6.000.000.000,00
(enam miliar
rupiah) atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas
miliar rupiah).
Pasal 77
Setiap orang yang dengan sengaja menghambat kemudahan akses
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun atau paling lama
6
(enam)
tahun dan
denda paling sedikit
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) atau denda paling banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA
- 32 Pasal 78
Setiap
orang
yang
dengan sengaja menyalahgunakan
pengelolaan sumber daya bantuan bencana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 65, dipidana dengan pidana penjara dengan penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun atau paling lama 20
(dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp6.000.000.000,00 (enam
miliar rupiah) atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas
miliar rupiah).
Pasal 79
(1)

Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75


sampai dengan Pasal 78 dilakukan oleh korporasi, selain pidana
penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat
dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan
pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 75 sampai dengan Pasal 78.

(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi
dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; atau
b. pencabutan status badan hukum.

BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 80
Pada saat berlakunya undang-undang ini semua peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan penanggulangan bencana dinyatakan
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dikeluarkan
peraturan pelaksanaan baru berdasarkan undang-undang ini.

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 33 Pasal 81
Semua program kegiatan berkaitan dengan penanggulangan bencana yang
telah ditetapkan sebelum ditetapkannya undang- undang ini dinyatakan
tetap berlaku sampai dengan masa berlakunya berakhir, kecuali
ditentukan lain dalam Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 82
(1) Sebelum Badan Nasional Penanggulangan Bencana dibentuk, Badan
Koordinasi Nasional Penanganan Bencana tetap dapat melaksanakan
tugasnya.
(2) Setelah Badan Nasional Penanggulangan Bencana dibentuk, Badan
Koordinasi Nasional Penanganan Bencana dinyatakan dibubarkan.

BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 83
Pada saat berlakunya undang-undang ini, paling lambat 6 (enam) bulan,
Badan Nasional Penanggulangan Bencana sudah terbentuk dan Badan
Penanggulangan Bencana Daerah paling lambat 1 (satu) tahun sudah
terbentuk.
Pasal 84
Peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan undang-undang ini harus
sudah diterbitkan paling lambat 6 (enam) bulan sejak diundangkannya
undang-undang ini.
Pasal 85
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 34 Agar setiap orang mengetahuinya,
pengundangan Undang-Undang ini
Lembaran Negara Republik Indonesia.

dengan

memerintahkan
penempatannya dalam

Disahkan di Jakarta Pada tanggal 26 April 2007


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 26 April 2007

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,
ttd
HAMID AWALUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 66

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2007
TENTANG
PENANGGULANGAN BENCANA

I.

UMUM
Alenia ke IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 mengamanatkan bahwa Pemerintah Negara Kesatuan Republik
Indonesia melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial,
Sebagai implementasi dari amanat tersebut dilaksanakan pembangunan
nasional yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan sejahtera yang
senantiasa memperhatikan hak atas penghidupan dan perlindungan bagi setiap
warga negaranya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki wilayah yang luas dan terletak
digaris katulistiwa pada posisi silang antara dua benua dan dua samudra
dengan kondisi alam yang memiliki berbagai keunggulan, namun dipihak lain
posisinya berada dalam wilayah yang memiliki kondisi geografis, geologis,
hidrologis, dan demografis yang rawan terhadap terjadinya bencana dengan
frekwensi yang cukup tinggi, sehingga memerlukan penanganan yang sistematis,
terpadu, dan terkoordinasi.
Potensi penyebab bencana diwilayah negara kesatuan Indonesia dapat
dikelompokan dalam 3 (tiga) jenis bencana, yaitu bencana alam, bencana non
alam, dan bencana sosial.

Bencana alam antara lain berupa gempa bumi karena alam, letusan gunung
berapi, angin topan, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan/ lahan karena
faktor alam, hama penyakit tanaman, epidemi, wabah, kejadian luar biasa, dan
kejadian antariksa/benda-benda angkasa.
Bencana nonalam antara lain kebakaran hutan/lahan yang disebabkan oleh
manusia, kecelakan transportasi, kegagalan konstruksi/teknologi, dampak
industri, ledakan nuklir, pencemaran lingkungan dan kegiatan keantariksaan.
Bencana...

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-2Bencana sosial antara lain berupa kerusuhan sosial dan konflik sosial dalam
masyarakat yang sering terjadi.
Penanggulangan Bencana merupakan salah satu bagian dari pembangunan
nasional yaitu serangkaian kegiatan penanggulangan bencana sebelum, pada
saat maupun sesudah terjadinya bencana. Selama ini masih dirasakan adanya
kelemahan baik dalam pelaksanaan penanggulangan bencana maupun yang
terkait dengan landasan hukumnya, karena belum ada undang-undang yang
secara khusus menangani bencana.
Mencermati hal-hal tersebut diatas dan dalam rangka memberikan landasan
hukum yang kuat bagi penyelenggaraan penanggulangan bencana, disusunlah
Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana yang pada prinsipnya
mengatur tahapan bencana meliputi pra bencana, saat tanggap darurat dan
pasca bencana.
Materi muatan Undang-undang ini berisikan ketentuan-ketentuan pokok sebagai
berikut:
1. Penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab dan
wewenang Pemerintah dan pemerintah daerah, yang dilaksanakan secara
terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh.
2. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam tahap tanggap
darurat dilaksanakan sepenuhnya oleh Badan
Nasional
Penanggulangan Bencana dan Badan Penanggulangan
Bencana
Daerah. Badan penanggulangan bencana tersebut terdiri dari unsur
pengarah dan unsur pelaksana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana
dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah mempunyai tugas dan fungsi
antara lain pengkoordinasian penyelenggaraan penanggulangan bencana
secara terencana dan terpadu sesuai dengan kewenangannya.
3.

Penyelenggaraan
penanggulangan
bencana
dilaksanakan
dengan
memperhatikan hak masyarakat yang antara lain mendapatkan bantuan
pemenuhan
kebutuhan
dasar,
mendapatkan
perlindungan
sosial,

mendapatkan
pendidikan
dan
keterampilan
dalam
penyelenggaraan
penanggulangan bencana, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.
4.

Kegiatan penanggulangan bencana dilaksanakan dengan memberikan


kesempatan secara luas kepada lembaga usaha dan lembaga internasional.

5.

Penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan pada tahap pra bencana,


saat tanggap darurat, dan pasca bencana, karena masing- masing tahapan
mempunyai karakteristik penanganan yang berbeda.
6. Pada...

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-36.

Pada saat tanggap darurat, kegiatan penanggulangan bencana selain didukung


dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah, juga disediakan dana siap pakai dengan pertanggungjawaban
melalui mekanisme khusus.

7.

Pengawasan terhadap seluruh kegiatan penanggulangan bencana dilakukan


oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat pada setiap tahapan
bencana, agar tidak terjadi penyimpangan dalam penggunaan dana
penanggulangan bencana.

8.

Untuk menjamin ditaatinya undang-undang ini dan sekaligus memberikan efek


jera terhadap para pihak, baik karena kelalaian maupun karena kesengajaan
sehingga menyebabkan terjadinya bencana yang menimbulkan kerugian, baik
terhadap harta benda maupun matinya orang, menghambat kemudahan akses
dalam kegiatan penanggulangan bencana, dan penyalahgunaan pengelolaan
sumber daya bantuan bencana dikenakan sanksi pidana, baik pidana penjara
maupun pidana denda, dengan menerapkan pidana minimum dan maksimum.
Dengan materi muatan sebagaimana disebutkan diatas, Undang-Undang ini
diharapkan dapat dijadikan landasan hukum yang kuat dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana sehingga penyelenggaraan penanggulangan bencana
dapat dilaksanakan secara terencana, terkoordinasi, dan terpadu.

II. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3 Ayat
(1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan asas kemanusiaan termanifestasi dalam
penanggulangan
bencana
sehingga
undang-undang
ini
memberikan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi

manusia, harkat dan martabat setiap


penduduk Indonesia secara proporsional.

warga

negara

dan

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-4Huruf b
Yang dimaksud denganasas keadilan adalah bahwa setiap
materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga
negara tanpa kecuali.
Huruf c
Yang dimaksud dengan asas kesamaan kedudukan dalam
hukum dan pemerintahan adalah bahwa materi muatan
ketentuan dalam penanggulangan bencana tidak boleh berisi halhal yang membedakan latar belakang, antara lain, agama, suku,
ras, golongan, gender, atau status sosial.
Huruf d
Yang dimaksud dengan asas keseimbangan adalah bahwa
materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana
mencerminkan keseimbangan kehidupan sosial dan lingkungan.
Yang dimaksud dengan asas keselarasan adalah bahwa materi
muatan
ketentuan
dalam
penanggulangan
bencana
mencerminkan keselarasan tata kehidupan dan lingkungan.
Yang dimaksud dengan asas keserasian adalah bahwa materi
muatan
ketentuan
dalam
penanggulangan
bencana
mencerminkan keserasian lingkungan dan kehidupan sosial
masyarakat.
Huruf e
Yang dimaksud dengan asas ketertiban dan kepastian hukum
adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan
bencana harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat
melalui jaminan adanya kepastian hukum.
Huruf f
Yang dimaksud
penanggulangan
tanggung jawab
dilakukan secara

dengan asas kebersamaan adalah bahwa


bencana pada dasarnya menjadi tugas dan
bersama Pemerintah dan masyarakat yang
gotong royong.

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-5Huruf g
Yang dimaksud dengan asas kelestarian lingkungan hidup
adalah bahwa
materi
muatan ketentuan dalam
penanggulangan
bencana
mencerminkan kelestarian
lingkungan untuk generasi sekarang dan untuk generasi yang
akan datang demi kepentingan bangsa dan negara.
Huruf h
Yang dimaksud dengan asas ilmu pengetahuan dan teknologi
adalah
bahwa
dalam
penanggulangan
bencana
harus
memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara optimal
sehingga
mempermudah
dan
mempercepat
proses
penanggulangan bencana, baik pada tahap pencegahan, pada
saat terjadi bencana, maupun pada tahap pascabencana.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan prinsip cepat dan tepat adalah bahwa
dalam penanggulangan bencana harus dilaksanakan secara cepat
dan tepat sesuai dengan tuntutan keadaan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan prinsip prioritas adalah bahwa apabila
terjadi bencana, kegiatan penanggulangan harus mendapat
prioritas dan diutamakan pada kegiatan penyelamatan jiwa
manusia.
Huruf c
Yang dimaksud dengan prinsip koordinasi adalah bahwa
penanggulangan bencana didasarkan pada koordinasi yang baik
dan saling mendukung.
Yang dimaksud dengan prinsip keterpaduan adalah bahwa
penanggulangan bencana dilakukan oleh berbagai sektor secara
terpadu yang didasarkan pada kerja sama yang baik dan saling
mendukung.
Huruf d
Yang dimaksud dengan prinsip berdaya guna adalah bahwa
dalam mengatasi kesulitan masyarakat dilakukan dengan tidak
membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan.

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-6Yang dimaksud dengan prinsip berhasil guna adalah bahwa
kegiatan penanggulangan bencana harus berhasil guna,
khususnya dalam mengatasi kesulitan masyarakat dengan tidak
membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan prinsip transparansi adalah bahwa
penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Yang dimaksud dengan prinsip akuntabilitas adalah bahwa
penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum.
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Yang dimaksud dengan prinsip nondiskriminasi adalah bahwa
negara dalam penanggulangan bencana tidak memberikan
perlakuan yang berbeda terhadap jenis kelamin, suku, agama,
ras, dan aliran politik apa pun.
Huruf i
Yang dimaksud dengan nonproletisi adalah bahwa dilarang
menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat
bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan
darurat bencana.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Yang dimaksud dengan tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah
dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi bencana alam,
bencana nonalam, dan bencana sosial.
Pasal 6
Huruf a
Cukup jelas.

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-7Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Yang dimaksud dengan dana siap pakai yaitu dana yang dicadangkan
oleh pemerintah untuk dapat dipergunakan sewaktu-waktu apabila
terjadi bencana.
Huruf g
Cukup jelas
Pasal 7 Ayat
(1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Pengendalian
dalam
pasal
ini
dimaksudkan
sebagai
pengawasan terhadap penyelenggaraan pengumpulan uang atau
barang berskala nasional yang diselenggarakan oleh masyarakat,
termasuk pemberian ijin yang menjadi kewenangan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.
Ayat (2)
Cukup jelas

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Ayat (3)
Cukup jelas

-8-

Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Pengendalian dalam Pasal ini dimaksudkan sebagai pengawasan
terhadap penyelenggaraan pengumpulan uang atau barang berskala
provinsi, kabupaten/kota yang diselenggarakan oleh masyarakat,
termasuk
pemberian
ijin
yang
menjadi
kewenangan
gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-9Ayat (2)
Unsur Pengarah terdiri dari unsur pemerintah dan unsur masyarakat
profesional dalam jumlah yang seimbang dan proporsional.
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan fungsi koordinasi adalah melakukan
koordinasi pada tahap prabencana dan pascabencana, sedangkan
yang dimaksud dengan fungsi komando dan pelaksana adalah fungsi
yang dilaksanakan pada saat tanggap darurat.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Keanggotaan unsur pengarah mengacu pada keanggotaan unsur
pengarah pada Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Huruf b
Cukup jelas

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Ayat (2)
Cukup jelas

- 10 -

Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g,
Pengendalian dalam ketentuan ini termasuk pemberian izin
pengumpulan uang dan barang yang dilakukan oleh gubernur dan
bupati/walikota sesuai dengan lingkup kewenangannya.
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 11 -

Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26...
salina
n-

Pasal 26
Ayat (1)
Huruf a,
Yang dimaksud dengan masyarakat rentan bencana adalah
anggota masyarakat yang membutuhkan bantuan karena
keadaan yang di sandangnya di antaranya masyarakat lanjut
usia, penyandang cacat, anak-anak, serta ibu hamil dan
menyusui.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup Jelas
Pasal 32
Cukup Jelas

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 33
Cukup Jelas

- 12 -

Pasal 34
Cukup Jelas
Pasal 35
Huruf a

Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 91...
salina
n-

Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Yang dimaksud dengan analisis risiko bencana adalah kegiatan
penelitian dan studi tentang kegiatan yang memungkinkan terjadinya
bencana.
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Ayat (2)
Cukup jelas

- 13 -

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan kegiatan pembangunan yang mempunyai
risiko tinggi menimbulkan bencana adalah kegiatan pembangunan
yang memungkinkan terjadinya bencana, antara lain pengeboran
minyak bumi, pembuatan senjata nuklir, pembuangan limbah,
eksplorasi tambang, dan pembabatan hutan.
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas

Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 92...
salina
n-

Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas

Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 93...
salina
n-

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 52
Cukup jelas

- 14 -

Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Yang dimaksud dengan kegiatan keantariksaan adalah kegiatan yang
berkaitan dengan ruang angkasa yang menimbulkan bencana, antara lain,
peluncuran satelit dan eksplorasi ruang angkasa.

Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66...
salina
n-

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 66
Cukup jelas

- 15 -

Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Cukup jelas
Pasal 74
Cukup jelas
Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Cukup jelas
Pasal 77
Cukup jelas
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
Cukup jelas

Pasal 80
Cukup jelas
Pasal 81...
salina
n-

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 81
Cukup jelas

- 16 -

Pasal 82
Cukup jelas
Pasal 83
Cukup jelas
Pasal 84
Cukup jelas
Pasal 85
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4723

salina
n-

www.hukumonli
ne.com

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 29 TAHUN 2014
TENTANG
PENCARIAN DAN PERTOLONGAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia bertanggung jawab melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan tujuan untuk memberikan
perlindungan terhadap hidup dan kehidupannya termasuk perlindungan dari kecelakaan,
bencana, dan kondisi membahayakan manusia berlandaskan pada Pancasila, sebagaimana
diamanatkan dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa tanggung jawab negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dari kecelakaan, bencana, dan kondisi membahayakan manusia
dilakukan melalui pencarian dan pertolongan secara cepat, tepat, aman, terpadu, dan
terkoordinasi oleh semua komponen bangsa;
c. bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pencarian dan pertolongan yang
telah ada belum dapat dijadikan landasan hukum yang kuat dan menyeluruh serta belum
sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf
c perlu membentuk Undang-Undang tentang Pencarian dan Pertolongan.
Mengingat
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28A, dan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Dengan Persetujuan Bersama:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN

1/
43

www.hukumonli
ne.com

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pencarian dan Pertolongan adalah segala usaha dan kegiatan mencari, menolong,
menyelamatkan, dan mengevakuasi manusia yang menghadapi keadaan darurat dan/atau
bahaya dalam kecelakaan, bencana, atau kondisi membahayakan manusia.
2. Penyelenggaraan Operasi Pencarian dan Pertolongan adalah serangkaian kegiatan Pencarian
dan Pertolongan meliputi Siaga Pencarian dan Pertolongan, dan Operasi Pencarian dan
Pertolongan.
3. Siaga Pencarian dan Pertolongan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
memonitor, mengawasi, mengantisipasi, dan mengoordinasikan kegiatan Pencarian dan
Pertolongan.
4. Operasi Pencarian dan Pertolongan adalah serangkaian kegiatan meliputi Pelaksanaan
Operasi Pencarian dan Pertolongan dan penghentian Pelaksanaan Operasi Pencarian dan
Pertolongan.
5. Pelaksanaan Operasi Pencarian dan Pertolongan adalah upaya untuk mencari, menolong,
menyelamatkan, dan mengevakuasi Korban sampai dengan penanganan berikutnya.
6. Potensi Pencarian dan Pertolongan adalah sumber daya manusia, sarana dan prasarana,
informasi dan teknologi, serta hewan, selain Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan yang
dapat dimanfaatkan untuk menunjang kegiatan penyelenggaraan Operasi Pencarian dan
Pertolongan.
7. Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan adalah lembaga pemerintah nonkementerian
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pencarian dan Pertolongan.
8. Kecelakaan adalah peristiwa yang menimpa pesawat udara, kapal, kereta api, kendaraan
bermotor, dan alat transportasi lainnya yang dapat membahayakan dan/atau mengancam
keselamatan manusia.
9. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau
faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
10.Kondisi Membahayakan Manusia adalah peristiwa yang menimpa, membahayakan, dan/atau
mengancam keselamatan manusia, selain Kecelakaan dan Bencana.
11.Penerbangan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara,
pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan
keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya.
12.Pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan,
kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta pelindungan lingkungan maritim.
13.Pesawat Udara adalah setiap mesin atau alat yang dapat terbang di atmosfer karena gaya
angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi yang
digunakan untuk Penerbangan.
14.Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis tertentu, yang digerakkan dengan
tenaga angin, tenaga mekanik, energi lainnya, ditarik atau ditunda, termasuk kendaraan

2/
43

www.hukumonli
ne.com

yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung dan
bangunan terapung yang tidak berpindah- pindah.
15. Korban adalah orang yang mengalami penderitaan, meninggal dunia, atau hilang akibat
Kecelakaan, Bencana, dan/atau Kondisi Membahayakan Manusia.
16. Evakuasi adalah kegiatan memindahkan Korban dari lokasi kejadian ke tempat yang
aman sampai mendapat penanganan medis lanjutan yang memadai.
17.Petugas Pencarian dan Pertolongan adalah orang perseorangan yang mempunyai keahlian
dan/atau kompetensi Pencarian dan Pertolongan.
18.Setiap Orang adalah orang perseorangan dan/atau badan, baik yang berbentuk badan hukum
maupun yang tidak berbentuk badan hukum.
Pasal 2
(1) Pencarian dan Pertolongan diselenggarakan dengan tidak berdasarkan batas wilayah
administratif pemerintahan.
(2) Operasi Pencarian dan Pertolongan diselenggarakan berdasarkan prinsip tanpa batas
wilayah negara.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 3
Penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan berdasarkan asas:
a. kemanusiaan;
b. kebersamaan;
c. kepentingan umum;
d. keterpaduan;
e. efektivitas;
f. efisiensi berkeadilan;
g. kedaulatan; dan
h. nondiskriminatif.
Pasal 4
Penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan bertujuan:
a. melakukan pencarian serta memberikan pertolongan, penyelamatan, dan Evakuasi Korban
secara cepat, tepat, aman, terpadu, dan terkoordinasi;
b. mencegah dan mengurangi kefatalan dalam Kecelakaan;
c. menjamin penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan yang terencana, terpadu,
terkoordinasi, dan menyeluruh;
d. mewujudkan sumber daya manusia Pencarian dan Pertolongan yang memiliki kompetensi
dan profesional;
e. memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan; dan

3/
43

www.hukumonli
ne.com

f. meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya Pencarian dan Pertolongan.


BAB III
PENYELENGGARAAN PENCARIAN DAN PERTOLONGAN
Pasal 5
(1) Negara bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan.
(2) Penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Pemerintah.
Pasal 6
Penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan meliputi:
a. rencana induk Pencarian dan Pertolongan;
b. Potensi Pencarian dan Pertolongan;
c. Penyelenggaraan Operasi Pencarian dan Pertolongan;
d. sumber daya manusia;
e. kelembagaan;
f. sarana dan prasarana;
g. sistem informasi dan komunikasi;
h. pendanaan;
i. kerja sama internasional;
j. peran serta masyarakat; dan
k. ketentuan pidana.
Pasal 7
(1) Penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan dilakukan terhadap:
a. Kecelakaan;
b. Bencana; dan/atau
c. Kondisi Membahayakan Manusia.
(2) Penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan
BAB IV
POTENSI PENCARIAN DAN PERTOLONGAN
(1) Pemerintah bertanggung jawab melakukan pembinaan Potensi Pencarian dan Pertolongan.
(2) Pembinaan Potensi Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan.

4/
43

www.hukumonli
ne.com

Pasal 9
(1) Pembinaan Potensi Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(2) meliputi:
a. pengaturan;
b. pengendalian; dan
c. pengawasan.
(2) Pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan:
a. membuat

norma,

standar,

prosedur,

dan

kriteria

penyelenggaraan

Pencarian

dan

Pertolongan; dan
b. membuat kebijakandalam penyelenggaraan Pencarian danPertolongan.
(3) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan:
a. memberi arahan dan petunjuk dalam pelaksanaan norma, standar, prosedur, kriteria,
dan kebijakan yang telah ditetapkan; dan
b. memberi bimbingan dan penyuluhan mengenai hak dan kewajiban kepada masyarakat
dalam penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan.
(4) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dengan:
a. pemantauan dan penilaian terhadap pelaksanaan kebijakan dan penyelenggaraan
Pencarian dan Pertolongan; dan
b. penyempurnaan terhadap pelaksanaan kebijakanyang telah ditetapkan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan Potensi Pencarian dan Pertolongan diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
BAB V
RENCANA INDUK PENCARIAN DAN PERTOLONGAN
Pasal 10
(1) Penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan dilaksanakan berdasarkan perencanaan
Pencarian dan Pertolongan dalam satu kesatuan sistem yang efektif, efisien, dan andal.
(2) Perencanaan Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dalam
rencana pembangunan Pencarian dan Pertolongan.
(3) Rencana pembangunan Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus memperhatikan:
a. rencana pembangunan nasional;
b. rencana pembangunan daerah;
c. kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis; dan
d. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

5/
43

www.hukumonli
ne.com

Pasal 11
(1) Rencana pembangunan Pencarian dan Pertolongan merupakan bagian integral dari
perencanaan pembangunan nasional.
(2) Rencana pembangunan Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disusun oleh Pemerintah dengan melibatkan masyarakat.
(3) Rencana pembangunan Pencarian dan Pertolongan ditetapkan dalam rencana pembangunan
jangka panjang, rencana pembangunan jangka menengah, dan rencana pembangunan
tahunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 12
(1) Rencana pembangunan Pencarian dan Pertolongan disusun dalam bentuk rencana induk
Pencarian dan Pertolongan nasional.
(2) Rencana induk Pencarian dan Pertolongan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
Pasal 13
(1) Rencana induk Pencarian dan Pertolongan nasional disusun untuk jangka waktu 20 (dua
puluh) tahun.
(2) Rencana induk Pencarian dan Pertolongan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
BAB VI
PENYELENGGARAAN OPERASI PENCARIAN DAN PERTOLONGAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 14
Penyelenggaraan Operasi Pencarian dan Pertolongan dilakukan terhadap:
a. kapal dan pesawat udara;
b. Kecelakaan dengan penanganan khusus;
c. Bencana pada tahap tanggap darurat; dan/atau
d. Kondisi Membahayakan Manusia.
Penyelenggaraan Operasi Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
dilakukan melalui:
a.Siaga Pencarian dan Pertolongan;
b.Operasi Pencarian dan Pertolongan; dan
c. pelibatan Potensi Pencarian dan Pertolongan.

6/
43

www.hukumonli
ne.com

Pasal 16
Penyelenggaraan Operasi Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
menjadi tugas dan tanggung jawab Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan.
Pasal 17
Penyelenggaraan Operasi Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf
a dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 18
(1) Dalam hal Kecelakaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b yang tidak
membutuhkan penanganan khusus, penyelenggaraan Operasi Pencarian dan Pertolongan
dilakukan oleh aparat yang berwajib dan/atau masyarakat.
(2) Kecelakaan yang membutuhkan penanganan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
huruf b merupakan kecelakaan yang memerlukan:
a. teknologi dan sarana kerja tertentu;
b. sumber daya manusia yang memiliki kompetensi tertentu; dan
c. prosedur kerja tertentu.
(3) Dalam melaksanakan penanganan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Badan
Nasional Pencarian dan Pertolongan berkoordinasi dengan instansi lain atau aparat yang
berwajib.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanganan khusus diatur dengan Peraturan
Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan.
Pasal 19
Dalam melaksanakan penyelenggaraan Operasi Pencarian dan Pertolongan terhadap Bencana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf c, Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan
berkoordinasi dengan badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
penanggulangan bencana.
Pasal 20
(1) Penyelenggaraan Operasi Pencarian dan Pertolongan terhadap Kondisi Membahayakan
Manusia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf d yang terjadi di kawasan perkotaan dapat
dilakukan oleh satuan kerja perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang
pemadaman kebakaran atau yang disamakan dengan itu.

7/
43

(2) Satuan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempunyai standar kompetensi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Siaga Pencarian dan Pertolongan
Pasal 21
(1) Siaga Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a
dilaksanakan selama 24 (dua puluh empat) jam secara terus-menerus sesuai dengan
pembagian waktu.
(2) Pelaksanaan Siaga Pencarian dan Pertolongan terdiri atas siaga rutin dan siaga khusus.
(3) Siaga Pencarian dan Pertolongan dilaksanakan oleh petugas Siaga Pencarian dan Pertolongan
yang tergabung dalam regu siaga.
(4) Siaga Pencarian dan Pertolongan harus diawasi dan dimonitor oleh pengawas Siaga
Pencarian dan Pertolongan agar berjalan dengan baik, benar, dan efektif.
(5) Pengawas Siaga Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus
memiliki sertifikat kompetensi koordinator misi Pencarian dan Pertolongan.
Pasal 22
(1) Siaga Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a dilakukan
melalui tahap penyadaran dan penindakan awal.
(2) Tahap penyadaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mengetahui
terjadinya atau mengetahui keadaan yang berpotensi menimbulkan Kecelakaan, Bencana,
dan/atau Kondisi Membahayakan Manusia.
(3) Tahap penindakan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk
mengumpulkan informasi yang lengkap dan menyiapkan sarana dan/atau petugas.
(4) Penghentian tahap penindakan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila
diperoleh bukti bahwa data tidak meyakinkan, pelaporan sudah kedaluwarsa, atau pelaporan
tidak benar.
Pasal 23
Siaga Pencarian dan Pertolongan harus didukung dengan peralatan deteksi dini, telekomunikasi,
dan sistem informasi beserta sarana dan prasarana.
Pasal 24
Setiap Orang yang mengetahui terjadinya peristiwa Kecelakaan, Bencana, dan/atau Kondisi
Membahayakan Manusia segera menyampaikan informasi yang benar kepada petugas Siaga
Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) atau instansi terkait.
Bagian Ketiga

www.hukumonli
ne.com

Operasi Pencarian dan Pertolongan


Paragraf 1
Umum
Pasal 25
(1) Operasi Pencarian dan Pertolongan dilaksanakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
(2) Operasi Pencarian dan Pertolongan, selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
dilaksanakan di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan
hukum internasional.
(3) Operasi Pencarian dan Pertolongan harus dilakukan oleh sumber daya manusia yang
mempunyai keahlian dan/atau standar kompetensi di bidang Pencarian dan Pertolongan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai keahlian dan/atau standar kompetensi sebagaimana
dimaksud pada ayat
(3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
(1) Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan membantu Operasi Pencarian dan Pertolongan
atas permintaan:
a. Panglima Tentara Nasional Indonesia atau pejabat yang ditunjuk pada Kecelakaan
Pesawat Udara militer dan Kapal militer;
b. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat yang ditunjuk pada
Kecelakaan Pesawat Udara kepolisian dan Kapal kepolisian;
c. instansi pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
keantariksaan pada bandar antariksa; dan/atau
d. pejabat yang berwenang pada kawasan terlarang lainnya.
(2) Dalam hal terjadi Kecelakaan di wilayah otoritas bandar udara atau otoritas pelabuhan,
Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan dapat segera memberikan bantuan dengan
berkoordinasi dengan otoritas bandar udara atau otoritas pelabuhan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur bantuan Operasi Pencarian dan
Pertolongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Pasal 27
Operasi Pencarian dan Pertolongan terdiri atas tahapan:
a.Pelaksanaan Operasi Pencarian dan Pertolongan; dan
b.penghentian Pelaksanaan Operasi Pencarian dan Pertolongan.
Paragraf 2
Pelaksanaan Operasi Pencarian dan Pertolongan

9/
43

(1) Pelaksanaan Operasi Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
huruf a dilakukan pada saat terjadi Kecelakaan, Bencana, dan/atau Kondisi Membahayakan
Manusia.
(2) Pelaksanaan Operasi Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam bentuk:
a. pelaksanaan pencarian dengan pertolongan;
b. pelaksanaan pencarian tanpa pertolongan; atau
c. pelaksanaan pertolongan tanpa pencarian.
(3) Pelaksanaan Operasi Pencarian dan Pertolongan didasarkan pada penyusunan rencana yang
efektif dan efisien.
(4) Penyusunan rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
a. identifikasi situasi lokasi;
b. perhitungan perkiraan lokasi Kecelakaan, Bencana, dan/atau Kondisi Membahayakan
Manusia, pergerakan Korban setelah kejadian, titik koordinat posisi, lokasi pencarian,
petugas dan peralatan Pencarian dan Pertolongan yang akan dikerahkan, dan bentuk
Operasi Pencarian dan Pertolongan; dan
c. kegiatan pertolongan dan Evakuasi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pelaksanaan Operasi Pencarian dan Pertolongan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 29
(1) Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan mengoordinasikan dan bertanggung jawab atas
Pelaksanaan Operasi Pencarian dan Pertolongan.
(2) Pelaksanaan Operasi Pencarian dan Pertolongan dilakukan oleh organisasi yang bersifat ad
hoc, terdiri atas:
a. koordinator Pencarian dan Pertolongan;
b. koordinator misi Pencarian dan Pertolongan;
c. koordinator lapangan; dan/atau
d. unit Pencarian dan Pertolongan.
(3) Pada saat tahap tanggap darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf c, Koordinator
Misi Pencarian dan Pertolongan bertanggung jawab secara operasional kepada Badan
Nasional Pencarian dan Pertolongan dan secara administratif kepada Koordinator Pencarian
dan Pertolongan serta berkoordinasi dengan badan yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang penanggulangan bencana.
(4) Dalam hal terjadi Bencana, pembentukan organisasi dalam Pelaksanaan Operasi Pencarian
dan Pertolongan dilakukan berdasarkan penentuan tingkat bencana sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

(1) Koordinator Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf a dijabat oleh Kepala
Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan.
(2) Koordinator Pencarian dan Pertolongan bertanggung jawab atas keseluruhan penyelenggaraan Operasi Pencarian
dan Pertolongan.
Pasal 31
(1) Koordinator misi Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf b dijabat oleh
kepala kantor Pencarian dan Pertolongan.
(2) Dalam keadaan tertentu, Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan dapat menunjuk koordinator misi
Pencarian dan Pertolongan selain kepala kantor Pencarian dan Pertolongan berdasarkan pertimbangan:
a. kondisi keamanan;
b. eskalasi musibah dan Bencana;
c. kepala kantor Pencarian dan Pertolongan berhalangan sementara atau tetap; dan/atau
d. berkemampuan sebagai koordinator misi Pencariandan Pertolongan.
Pasal 32
Koordinator lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf c merupakan pejabat atau staf yang
ditugaskan oleh koordinator misi Pencarian dan Pertolongan untuk mengoordinasikan dan mengendalikan Pelaksanaan
Operasi Pencarian dan Pertolongan dalam suatu area pencarian tertentu.
Pasal 33
Unit Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf d terdiri atas Petugas Pencarian
dan Pertolongan yang dilengkapi dengan sarana yang sesuai untuk melaksanakan Pencarian dan Pertolongan.
Pasal 34
(1) Pelaksanaan Operasi Pencarian dan Pertolongan dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan sesuai dengan karakteristik Kecelakaan,
Bencana, dan/atau Kondisi Membahayakan Manusia.
(3) Jangka waktu Pelaksanaan Operasi Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diperpanjang dan/atau dibuka kembali apabila:
a. terdapat informasi baru dan/atau tanda-tanda mengenai indikasi ditemukan lokasi atau Korban Kecelakaan,
Bencana, dan/atau Kondisi Membahayakan Manusia;
b. terdapat permintaan dari perusahaan atau pemilik Pesawat Udara atau Kapal; dan/atau
c. terdapat perkembangan baru berdasarkan evaluasi koordinator misi Pencarian dan Pertolongan terhadap
Pelaksanaan Operasi Pencarian dan Pertolongan.
(4) Biaya pembukaan kembali Pelaksanaan Operasi Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf a dan huruf c ditanggung oleh Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan.
(5) Biaya perpanjangan jangka waktu atau pembukaan kembali Pelaksanaan Operasi Pencarian dan Pertolongan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b ditanggung oleh pihak yang meminta.
Pasal 35
(1) Dalam Pelaksanaan Operasi Pencarian dan Pertolongan, Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan dapat:

a. menetapkan daerah terjadinya Kecelakaan, Bencana, dan/atau Kondisi Membahayakan Manusia menjadi
daerah terlarang untuk dimasuki; dan/atau
b. melakukan pengurangan atau perusakan sebagian atau seluruh atas suatu benda sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Pengurangan atau perusakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan dengan tujuan
menolong, menyelamatkan, dan/atau mengevakuasi Korban.
(3) Pihak ketiga yang mengalami kerugian akibat pengurangan atau perusakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berhak mendapatkan ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 36
Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan berwenang untuk mengerahkan dan mengendalikan Potensi Pencarian dan
Pertolongan dalam Pelaksanaan Operasi Pencarian dan Pertolongan.
Pasal 37
Potensi Pencarian dan Pertolongan yang dikerahkan dalam Pelaksanaan Operasi Pencarian dan Pertolongan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 harus diberi kemudahan dan prioritas pelayanan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 38
(1) Setiap Orang yang memiliki Potensi Pencarian dan Pertolongan wajib memenuhi dan membantu dalam Pelaksanaan
Operasi Pencarian dan Pertolongan atas permintaan Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan.
(2) Setiap Orang yang memenuhi dan membantu atas permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi
penggantian biaya oleh Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan.
Pasal 39
Dalam Pelaksanaan Operasi Pencarian dan Pertolongan, Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan mempunyai
kemudahan akses yang meliputi:
a. pengerahan sumber daya manusia;
b. pengerahan sarana dan prasarana;
c. keimigrasian;
d. kepabeanan;
e. kekarantinaan;
f. perizinan;
g. pengadaan barang/jasa; dan
h. pengerahan dan pengendalian terhadapinstansi/organisasi Potensi Pencarian dan Pertolongan.
Paragraf 3
Penghentian Pelaksanaan Operasi Pencarian dan Pertolongan
Pasal 40
(1) Penghentian Pelaksanaan Operasi Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf b
dilakukan apabila:

a. seluruh Korban telah ditemukan, ditolong, dan dievakuasi;


b. setelah jangka waktu 7 (tujuh) hari pelaksanaan operasi pencarian tidak ada tanda-tanda Korban akan
ditemukan; dan/atau
c. setelah dinilai tidak efektif berdasarkan pertimbangan teknis dari hasil evaluasi koordinator misi Pencarian
dan Pertolongan.
(2) Penghentian Pelaksanaan Operasi Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
koordinator Pencarian dan Pertolongan atas usul koordinator misi Pencarian dan Pertolongan.
Pasal 41
(1) Setelah Pelaksanaan Operasi Pencarian dan Pertolongan dihentikan dan dinyatakan selesai, segera dilaksanakan:
a. evaluasi kegiatan Pelaksanaan Operasi Pencarian dan Pertolongan;
b. pengembalian Petugas Pencarian dan Pertolongan kepada instansi atau organisasi masing- masing;
c. pembuatan laporan hasil Pelaksanaan Operasi Pencarian dan Pertolongan oleh koordinator misi Pencarian dan
Pertolongan; dan
d. penyelesaian administrasi dan pertanggungjawaban keuangan Pelaksanaan Operasi Pencarian dan
Pertolongan.
(2) Pertanggungjawaban biaya Pelaksanaan Operasi Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d diperlakukan secara khusus sesuai dengan kondisi Pelaksanaan Operasi Pencarian dan Pertolongan dan
dilaksanakan berdasarkan prinsip akuntabilitas dan transparansi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghentian Pelaksanaan Operasi Pencarian dan Pertolongan diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
BAB VII
SUMBER DAYA MANUSIA
(1) Pemerintah bertanggung jawab terhadap penyediaan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang
Pencarian dan Pertolongan.
(2) Penyediaan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang Pencarian dan Pertolongan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bertujuan mewujudkan sumber daya manusia yang profesional, kompeten, disiplin,
bertanggung jawab, dan memiliki integritas.
(3) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan:
a. perencanaan sumber daya manusia;
b. pendidikan dan pelatihan;
c. pemeliharaan kompetensi; dan
d. pengawasan, pemantauan, dan evaluasi.
Pasal 43
(1) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) huruf b dilaksanakan dalam rangka
peningkatan kompetensi sumber daya manusia di bidang Pencarian dan Pertolongan.
(2) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Badan Nasional Pencarian dan
Pertolongan meliputi:
a. pembentukan dan peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia berkemampuan Pencarian dan
Pertolongan;
b. kurikulum dan silabus serta metode pendidikan dan pelatihan sesuai dengan standar yang ditetapkan; dan

c. pemutakhiran dan peningkatan teknologi sarana dan prasarana belajar mengajar pada lembaga pendidikan
dan pelatihan di bidang Pencarian dan Pertolongan.
(3) Selain Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan, Setiap Orang dan organisasi/instansi pemerintah dapat
melaksanakan pendidikan dan pelatihan di bidang Pencarian dan Pertolongan dengan berkoordinasi dengan Badan
Nasional Pencarian dan Pertolongan.
(4) Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan mengarahkan, membimbing, dan mengawasi penyelenggaraan
pendidikan dan pelatihan di bidang Pencarian dan Pertolongan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendidikan dan pelatihan diatur dengan Peraturan Kepala Badan Nasional
Pencarian dan Pertolongan.
Pasal 44
Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan memberikan sertifikat kompetensi kepada peserta didik yang telah
dinyatakan lulus pendidikan dan pelatihan.
Pasal 45
Penyedia jasa pariwisata yang dalam menyelenggarakan kegiatan dapat menimbulkan risiko bagi keselamatan manusia
wajib menyediakan sumber daya manusia yang memiliki sertifikat kompetensi di bidang Pencarian dan Pertolongan.

www.hukumonli
ne.com

(1) Penyedia jasa pariwisata yang tidak menyediakan sumber daya manusia yang memiliki
sertifikat kompetensi di bidang Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 dikenai sanksi administratif.
(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
KELEMBAGAAN
Pasal 47
(1) Pemerintah membentuk Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pencarian dan Pertolongan.
(2) Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
lembaga pemerintah nonkementerian.
(3) Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di
bawah serta bertanggung jawab kepada Presiden.
Pasal 48
(1) Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47
bertugas:
a. menyusun dan menetapkan norma, standar, prosedur, kriteria, serta persyaratan dan
prosedur perizinan dalam penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan;
b. memberikan pedoman dan pengarahan dalam penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan;
c. menetapkan standardisasi dan kebutuhan penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. melakukan koordinasi dengan instansi terkait;
e. menyelenggarakan sistem informasi dan komunikasi;
f.

i.

menyampaikan informasi penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan kepada masyarakat;


g. menyampaikan informasi penyelenggaraan Operasi Pencarian dan Pertolongan secara
berkala dan setiap saat pada masa penyelenggaraan Operasi Pencarian dan
Pertolongan kepada masyarakat;
h. melakukan pembinaan, pemantauan, dan evaluasi terhadap penyelenggaraan
Pencarian dan Pertolongan; dan
melakukan pemasyarakatan Pencarian dan Pertolongan.

(2) Selain melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Nasional Pencarian
dan Pertolongan dapat melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Nasional Pencarian
dan Pertolongan memiliki kewenangan untuk mengerahkan personel dan peralatan yang
dibutuhkan dari Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk
melaksanakan Operasi Pencarian dan Pertolongan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

15 /
43

www.hukumonli
ne.com

Pasal 49

Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan mendirikan kantor/pos Pencarian dan Pertolongan
sesuai dengan kebutuhan dan wilayah tanggung jawab penyelenggaraan Pencarian dan
Pertolongan.
Pasal 50
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, fungsi, tugas, wewenang, struktur organisasi, dan
tata kerja Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB IX
SARANA DAN PRASARANA
Pasal 51
(1) Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan harus memenuhi standar teknis dan operasional
terhadap sarana dan prasarana untuk penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan.
(2) Sarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. sarana darat;
b. sarana laut; dan
c. sarana udara.
Pasal 52
(1) Setiap sarana Pencarian dan Pertolongan yang dioperasikan di darat, laut, dan udara harus
laik operasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Untuk menjamin laik operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sarana Pencarian dan
Pertolongan harus diuji secara berkala.
(3) Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh instansi yang berwenang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 53
(1) Penggunaan dan penyediaan prasarana Pencarian dan Pertolongan dapat dilakukan melalui
kerja sama dengan instansi Pemerintah, badan hukum, atau lembaga lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penggunaan dan penyediaan prasarana Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus diprioritaskan untuk mendukung penyelenggaraan Operasi Pencarian
dan Pertolongan.
Pasal 54
(1) Pemerintah memberikan kemudahan akses terhadap sarana yang masuk ke wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diperlukan untuk penyelenggaraan Pencarian dan
Pertolongan.
(2) Kemudahan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pembebasan dari:
a. pengenaan bea masuk dan pajak dalam rangka impor sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan perpajakan; dan

16 /
43

www.hukumonli
ne.com

b. tindakan karantina yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.


(3) Kemudahan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh menteri terkait
berdasarkan permohonan dari Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan.
Pasal 55

Petugas Pencarian dan Pertolongan wajib mengoperasikan sarana Pencarian dan Pertolongan yang
laik operasi.
Pasal 56
Setiap orang dilarang merusak dan/atau memindahkan sarana Pencarian dan Pertolongan yang
mengakibatkan terganggunya fungsi sarana Pencarian dan Pertolongan.
BAB X
SISTEM INFORMASI DAN KOMUNIKASI
Bagian Kesatu
Sistem Informasi
Pasal 57
(1) Untuk menunjang penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan harus tersedia pelayanan
sistem informasi Pencarian dan Pertolongan yang mencakup pengumpulan, penganalisisan,
penyampaian, penyajian, serta penyebaran data dan informasi.
(2) Sistem informasi Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
digunakan untuk:
a. mendukung perumusan kebijakan penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan;
b. mendukung Pelaksanaan Operasi Pencarian dan Pertolongan;
c. memberikan informasi mengenai penyelenggaraan dan perkembangan Pencarian dan
Pertolongan; dan
d. melakukan evaluasi penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan.
(3) Sistem informasi Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informatika dan komunikasi dengan
melibatkan:
a. instansi pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
komunikasi dan informatika; dan/atau
b. pihak lain yang melakukan kegiatan di bidang komunikasi dan informatika.
(4) Sistem informasi Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
terkoneksi paling sedikit dengan:
a. otoritas bandar udara;
b. unit penyelenggara bandar udara;
c. syahbandar;

17 /
43

www.hukumonli
ne.com

d. penyelenggara

perkeretaapian;

e. pusat informasi lalu lintas dan angkutan jalan;


f.

penyelenggara penanggulangan bencana;

g. penyelenggara meteorologi, klimatologi, dangeofisika;


h. penyelenggara

vulkanologi dan mitigasi bencana geologi;

i.

penyelenggara

rumah sakit;

j.

penyelenggara

informasi geospasial;

k. penyelenggara

kenavigasian; dan

l. penyelenggara
informasi keantariksaan.
(5) Pelayanan sistem informasi Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan oleh Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan dengan membangun dan
mengembangkan jaringan informasi secara efektif, efisien, dan terpadu.
Pasal 58
Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika
menetapkan penggunaan kanal frekuensi radio untuk penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan
berdasarkan usul Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan.
Pasal 59
Informasi mengenai Operasi Pencarian dan Pertolongan harus disampaikan kepada masyarakat
secara cepat, tepat, dan akurat berdasarkan data yang terperinci.
Pasal 60
(1) Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan memiliki kewenangan untuk meminta informasi
kepada Setiap Orang yang memiliki Potensi Pencarian dan Pertolongan.
(2) Setiap Orang yang memiliki Potensi Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib menyampaikan data dan informasi kepada Badan Nasional Pencarian dan
Pertolongan.
(3) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. jumlah personel;
b. kualifikasi dan kompetensi personel;
c. sarana dan prasarana yang dimiliki;
d. lokasi; dan
e. kesiapan Pelaksanaan Operasi Pencarian dan Pertolongan.

18 /
43

www.hukumonli
ne.com

Bagian Kedua
Sistem Komunikasi
Pasal 61

(1) Selain menyelenggarakan sistem informasi Pencarian dan Pertolongan, Badan Nasional
Pencarian dan Pertolongan mengoperasikan sistem komunikasi yang berfungsi sebagai
deteksi dini, koordinasi, pengendalian, dan administrasi dalam penyelenggaraan Pencarian
dan Pertolongan.
(2) Sistem komunikasi merupakan pelayanan Pencarian dan Pertolongan yang harus terpusat
dan terintregasi dengan sistem informasi Pencarian dan Pertolongan.
(3) Sistem komunikasi dioperasikan selama 24 (dua puluh empat) jam secara terus menerus.
Pasal 62
(1) Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan menyediakan layanan melalui nomor telepon
darurat yang mudah diakses oleh masyarakat.
(2) Penyediaan layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didukung oleh
penyelenggara telekomunikasi dan tidak berbayar.
(3) Ketentuan tidak berbayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 63
(1) Dalam menyelenggarakan sistem komunikasi:
a. pilot wajib memberitahukan adanya berita atau sinyal darurat Kecelakaan kepada
personel pelayanan lalu lintas Penerbangan atau Badan Nasional Pencarian dan
Pertolongan; atau
b. nakhoda wajib memberitahukan adanya berita atau sinyal darurat Kecelakaan kepada
syahbandar, petugas stasiun radio pantai, atau Badan Nasional Pencarian dan
Pertolongan.
(2) Personel pelayanan lalu lintas penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
atau petugas stasiun radio pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib
memberitahukan kepada Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan apabila menerima
berita dan/atau sinyal darurat Kecelakaan dari Pesawat Udara atau Kapal.
Pasal 64
Pilot, nakhoda, personel pelayanan lalu lintas Penerbangan, dan petugas stasiun radio pantai yang
tidak memberitahukan berita dan/atau sinyal darurat Kecelakaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 63 dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 65
Personel pelayanan navigasi Penerbangan dan Pelayaran wajib memberikan informasi yang benar
dan akurat kepada Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan untuk membantu Operasi Pencarian
dan Pertolongan terhadap Kecelakaan Pesawat Udara atau Kapal.
Personel pelayanan navigasi Penerbangan dan Pelayaran yang tidak memberikan informasi yang
benar dan akurat kepada Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 65 dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

19 /
43

www.hukumonli
ne.com

Pasal 67

Petugas bandar udara dan pelabuhan sesuai dengan kewenangannya wajib memastikan
kelengkapan alat pemancar sinyal mara bahaya pada setiap Pesawat Udara atau Kapal yang akan
beroperasi sebagai syarat untuk laik operasi.
Pasal 68
Petugas bandar udara dan pelabuhan yang tidak memastikan kelengkapan alat pemancar sinyal
mara bahaya pada setiap Pesawat Udara atau Kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67
dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 69
Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan wajib mengoperasikan peralatan deteksi dini yang
dapat menangkap sinyal mara bahaya yang dipancarkan oleh alat pemancar sinyal mara bahaya
dari Pesawat Udara, Kapal, dan/atau orang perseorangan.
Pasal 70
(1) Alat pemancar sinyal mara bahaya pada Pesawat Udara dan Kapal secara otomatis teregister
pada Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan sebagai bagian dari laik operasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67.
(2) Alat pemancar sinyal mara bahaya yang dimiliki orang perseorangan wajib didaftarkan
kepada Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan.
(3) Registrasi dan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan
tanpa dipungut biaya.
(4) Alat pemancar sinyal mara bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi
persyaratan teknis alat dan/atau perangkat telekomunikasi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 71
Pemberitahuan kejadian Kecelakaan, Bencana, dan/atau Kondisi Membahayakan Manusia kepada
Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan dapat dilakukan secara langsung atau melalui sistem
informasi Pencarian dan Pertolongan.
Pasal 72
Setiap orang dilarang menyalahgunakan alat komunikasi dan alat pemancar sinyal mara bahaya
yang memberikan informasi Kecelakaan, Bencana, dan/atau Kondisi Membahayakan Manusia.
BAB XI
PENDANAAN
Pasal 73
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab mengalokasikan dana
penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan.

20 /
43

www.hukumonli
ne.com

(2) Dana untuk penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan dapat bersumber dari:
a. anggaran pendapatan dan belanja negara;
b. anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan/atau
c. sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat.
(3) Sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
dikelola sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XII
KERJA SAMA INTERNASIONAL
Pasal 74
(1) Untuk menyelenggarakan Pencarian dan Pertolongan, Badan Nasional Pencarian dan
Pertolongan dapat melakukan kerja sama internasional dengan:
a. pemerintah negara lain;
b. lembaga atau organisasi internasional di bidang Pencarian dan Pertolongan; dan/atau
c. warga negara atau organisasi nonpemerintah dari negara lain.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. tukar menukar informasi di bidang Pencarian dan Pertolongan;
b. komunikasi Pencarian dan Pertolongan;
c. bantuan sarana dan petugas dalam Pelaksanaan Operasi Pencarian dan Pertolongan;
d. latihan bersama;
e. pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia;
f.

penyediaan dan pengembangan sarana dan prasarana Pencarian dan Pertolongan; dan/atau

g. bidang-bidang lain yang disepakati bersama.


(3) Kerja sama internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang hubungan luar negeri dan perjanjian
internasional.
Pasal 75
Dalam hal terjadi Kecelakaan, Bencana, dan/atau Kondisi Membahayakan Manusia yang terjadi di
wilayah negara lain, Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan dapat melakukan Pelaksanaan
Operasi Pencarian dan Pertolongan atas persetujuan negara yang bersangkutan.
Petugas Pencarian dan Pertolongan yang akan melaksanakan Operasi Pencarian dan Pertolongan
ke wilayah negara lain harus mendapat izin dari negara yang bersangkutan.
Pasal 77
(1) Pemerintah memberikan kemudahan akses dan proses pelayanan kepada Petugas Pencarian
dan Pertolongan dari negara lain dalam Operasi Pencarian dan Pertolongan.
(2) Kemudahan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

21 /
43

www.hukumonli
ne.com

a. keimigrasian;
b. kepabeanan;
c. kekarantinaan;
d. persetujuan keamanan;
e. persetujuan diplomatik;
f.

persetujuan terbang; dan/atau

g. persetujuan berlayar.
(3) Kemudahan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk dalam menggunakan
peralatan yang dibawa oleh petugas dari luar negeri di lokasi Kecelakaan, Bencana, dan/atau
Kondisi Membahayakan Manusia.
(4) Pemberian kemudahan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 78
(1) Petugas Pencarian dan Pertolongan dari luar negeri harus berdasarkan penugasan dan
rekomendasi dari pemerintah negara asal, lembaga internasional, atau lembaga asing
nonpemerintah yang menugaskannya.
(2) Petugas Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah masuk
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, harus melapor kepada instansi/lembaga yang
ruang lingkup tugasnya meliputi bidang keimigrasian untuk proses dan pelayanan visa, izin
masuk, izin tinggal terbatas, dan izin keluar yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Visa, izin masuk, izin tinggal terbatas, dan izin keluar sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diberikan setelah mendapat rekomendasi dari Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan.
Pasal 79
Bagi Petugas Pencarian dan Pertolongan dari luar negeri pemegang paspor pengganti dan paspor
diplomatik atau paspor dinas yang dikeluarkan oleh lembaga internasional dari Perserikatan
Bangsa-Bangsa, setelah masuk ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus
melapor kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang luar negeri.
BAB XIII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 80
(1) Dalam rangka meningkatkan penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan secara optimal,
masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan.
(2) Peran serta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. pelaporan apabila mengetahui terjadinya suatu Kecelakaan, Bencana, dan/atau Kondisi
Membahayakan Manusia;
b. pemberian masukan kepada Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan dalam
penyempurnaan peraturan, pedoman, dan standar teknis di bidang Pencarian dan
Pertolongan;

22 /
43

www.hukumonli
ne.com

c. pemberian masukan kepada Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan dalam rangka
pembinaan, penyelenggaraan, dan pengawasan kegiatan Pencarian dan Pertolongan;
d. pemberian bantuan dalam Penyelenggaraan Operasi Pencarian dan Pertolongan; dan/atau
e. pemberian akses kepada petugas dalam melaksanakan Operasi Pencarian dan Pertolongan.
(3) Dalam hal pemberian bantuan Pelaksanaan Operasi Pencarian dan Pertolongan, masyarakat
harus mengikuti sistem dan prosedur Pelaksanaan Operasi Pencarian dan Pertolongan yang
telah ditetapkan oleh Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan.
(4) Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan menindaklanjuti laporan dan masukan yang
disampaikan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan
huruf c.
Pasal 81

Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 dapat dilakukan secara
perseorangan, kelompok, organisasi profesi, badan usaha, dan/atau organisasi kemasyarakatan.
BAB XIV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 82
Setiap Orang yang dengan sengaja merusak atau memindahkan sarana Pencarian dan Pertolongan
yang mengakibatkan terganggunya fungsi sarana Pencarian dan Pertolongan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56, dikenai pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 83
Setiap Orang yang menyalahgunakan alat komunikasi dan alat pemancar sinyal mara bahaya yang
memberikan informasi Kecelakaan, Bencana, atau Kondisi Membahayakan Manusia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 72 dikenai pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

23 /
43

BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 84
Badan SAR Nasional yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 99
Tahun 2007 tentang Badan SAR Nasional tetap melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya
sampai terbentuknya Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 85
Setiap perjanjian yang telah diadakan oleh Badan SAR Nasional dengan pihak lain masih tetap
berlaku sampai berakhirnya perjanjian.
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 86
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang
mengatur Pencarian dan Pertolongan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau
belum dikeluarkan peraturan pelaksanaan baru berdasarkan Undang- Undang ini.
Pasal 87
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun
terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 88
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 16 Oktober 2014
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 16 Oktober 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 267

PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 29 TAHUN 2014
TENTANG
PENCARIAN DAN PERTOLONGAN
I. UMUM
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki sekitar 17.500
(tujuh belas ribu lima ratus) pulau dengan total luas wilayah kurang lebih 8 (delapan) juta
kilometer persegi. Seluas 1,8 (satu koma delapan) juta kilometer persegi dari wilayah
Indonesia tersebut dikelilingi wilayah laut teritorial dan 6,1 (enam koma satu) juta kilometer
persegi merupakan zona ekonomi eksklusif. Posisi wilayah yang strategis menjadikan
Indonesia sebagai jalur perlintasan transportasi dunia dengan berbagai moda transportasi
melalui wilayah Indonesia untuk mencapai pulau, negara, atau bahkan benua lain. Posisi
yang strategis itu berakibat pada mobilitas yang semakin tinggi sehingga kemungkinan
terjadinya Kecelakaan semakin meningkat.
Dalam menangani Kecelakaan, setiap negara pada dasarnya memiliki kewajiban yang
ditentukan dalam hukum nasional dan internasional. Pelaksanaan kewajiban tersebut mutlak
dilakukan demi terpenuhinya hak warga negara, melindungi dari berbagai ancaman bahaya,
memublikasikan hak-hak warga negaranya secara transparan, dan senantiasa
mengusahakan kesejahteraan hidup warga negaranya. Hal itu berarti, Negara Kesatuan
Republik Indonesia bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dengan tujuan untuk memberikan pelindungan terhadap hidup dan
kehidupannya sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Salah satu bentuk tanggung jawab negara terhadap warganya adalah
menyelamatkan jiwa manusia. Kewajiban menyelamatkan jiwa manusia merupakan suatu
kewajiban dasar antara manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat
secara keseluruhan.
Salah satu pelaksanaan pelindungan warga negara tersebut adalah melakukan kegiatan
Pencarian dan Pertolongan atau yang selama ini dikenal oleh masyarakat dengan Search and
Rescue (SAR). Pencarian dan Pertolongan pada hakikatnya merupakan kegiatan
kemanusiaan dan merupakan kewajiban bagi setiap warga negara. Kegiatan tersebut
meliputi segala upaya dan usaha pencarian, pemberian pertolongan, penyelamatan, dan
pengevakuasian jiwa manusia dan harta benda dari segala musibah, baik dalam Kecelakaan,
Bencana, maupun dalam Kondisi Membahayakan Manusia.
Dari batasan pengertian dan hakikat Pencarian dan Pertolongan di atas, jelas bahwa
kegiatan Pencarian dan Pertolongan yang utama adalah pelaksanaan Operasi Pencarian dan
Pertolongan. Namun, pelaksanaan operasi tersebut hanya dapat berjalan dengan efektif dan
efisien apabila dilakukan secara cepat, tepat, aman, terpadu, dan terkoordinasi oleh semua
komponen bangsa.
Praktiknya, kegiatan Pencarian dan Pertolongan ini dilaksanakan oleh setiap negara di
seluruh dunia.
Oleh sebab itu, pengaturan mengenai Pencarian dan Pertolongan telah disepakati juga dalam
konvensi internasional yang akan mengikat bagi negara-negara yang telah meratifikasinya.
Berdasarkan ketentuan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil
Aviation Organization/ICAO) dalam Konvensi Chicago Tahun 1944 pada Pasal VI tentang
International Standard and Recommended Practices Annex 12 Search and Rescue dan
ketentuan Organisasi Pelayaran Internasional (International Maritime Organization/IMO)

sesuai dengan Konvensi Safety of Live at Sea (SOLAS) Tahun 1974, negara anggota
organisasi tersebut wajib membentuk dan memiliki organisasi Pencarian dan Pertolongan
yang mampu untuk menangani Kecelakaan Penerbangan dan Kecelakaan Pelayaran. Apabila
tidak dapat memberikan pelayanan di bidang Pencarian dan Pertolongan, negara tersebut
dikenai status black area yang akan berpengaruh negatif terhadap aspek perekonomian,
sosial politik, pertahanan, keamanan, dan aspek lain, bahkan dapat dikenai sanksi berupa
pelarangan terbang dan berlayar melintasi wilayah tersebut.
Pengaturan tentang Pencarian dan Pertolongan masih tersebar pada berbagai peraturan
perundang- undangan dan masih bersifat parsial sehingga belum dapat dijadikan landasan
hukum yang kuat dan menyeluruh dalam penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan
sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat. Ketentuan yang ada belum mampu
merespons prinsip utama penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan, yaitu prinsip efektif
dan efisien. Semakin cepat datangnya pertolongan, peluang menyelamatkan jiwa Korban
juga semakin besar. Demikian juga sebaliknya, setiap keterlambatan dalam penanganan
Pencarian dan Pertolongan akan semakin sedikit peluang menyelamatkan jiwa Korban.
Dengan demikian penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan bermanfaat untuk mencegah
dan mengurangi kefatalan Korban.
Pencarian dan Pertolongan memerlukan landasan legalitas yang kuat sebagai payung
hukum, karena kegiatan Pencarian dan Pertolongan bersinggungan erat dengan hak asasi
manusia, yaitu hak dasar manusia untuk hidup dan mempertahankan hidup dan
kehidupannya.
Undang-Undang ini mengatur kegiatan Pencarian dan Pertolongan yang disesuaikan dengan
perkembangan globalisasi, otonomi daerah, tuntutan masyarakat terhadap pelayanan
Pencarian dan Pertolongan, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta harmonisasi dengan
ketentuan-ketentuan yang berlaku secara nasional dan internasional.
Undang-Undang ini bertujuan: (i) mengatur penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan
secara cepat, tepat, terkoordinasi, serta menguatkan fungsi kelembagaan pemerintahan
yang bertugas melaksanakan Pencarian dan Pertolongan untuk menciptakan profesionalitas
di bidang tugasnya; (ii) mengadopsi beberapa ketentuan yang berlaku secara internasional,
seperti standar penanganan Pencarian dan Pertolongan, sarana yang sesuai dengan
kebutuhan dan karakteristik Indonesia. Undang-Undang ini juga memberikan kesempatan
kepada masyarakat yang mempunyai keahlian dan/atau kompetensi di bidang Pencarian dan
Pertolongan untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan.
Masyarakat sebagai Potensi Pencarian dan Pertolongan diharapkan dapat meningkatkan
kesadaran akan pentingnya budaya Pencarian dan Pertolongan dalam kehidupan sehari-hari.
Ruang lingkup pengaturan penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan dalam UndangUndang ini meliputi, Rencana Induk Pencarian dan Pertolongan, Potensi Pencarian dan
Pertolongan, Penyelenggaraan Operasi Pencarian dan Pertolongan, Sumber Daya Manusia,
Kelembagaan, Sarana dan Prasarana, Sistem Informasi dan Komunikasi, Pendanaan, Kerja
Sama Internasional, Peran Serta Masyarakat, dan Ketentuan Pidana.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal1
Cukup jelas.
Pasal2
Ayat (1)

Cukup
jelas Ayat (2)
Yang dimaksud dengan prinsip tanpa batas wilayah negara adalah Operasi Pencarian dan
Pertolongan yang wajib didahulukan dengan tidak mengabaikan penyelesaian ketentuan
administratif saat memasuki
wilayah negara lain (borderless principle) dalam rangka merespons terhadap kejadian
Kecelakaan, Bencana, dan/atau Kondisi Membahayakan Manusia.
Pasal 3
Huruf a
Yang dimaksud dengan asas kemanusiaan adalah bahwa penyelenggaraan Pencarian dan
Pertolongan dilakukan untuk memberikan pelindungan dan penghormatan hak asasi
manusia, harkat, dan martabat setiap warga negara dan penduduk secara proporsional.
Huruf b
Yang dimaksud dengan asas kebersamaan adalah bahwa penyelenggaraan Pencarian dan
Pertolongan pada dasarnya menjadi tugas dan tanggung jawab bersama Pemerintah dan
masyarakat yang dilakukan secara gotong royong.
Huruf c
Yang dimaksud dengan asas kepentingan umum adalah bahwa penyelenggaraan Pencarian
dan Pertolongan harus mengutamakan penyelamatan manusia untuk\ kepentingan
masyarakat luas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan asas keterpaduan adalah bahwa penyelenggaraan Pencarian dan
Pertolongan merupakan kesatuan yang utuh, saling menunjang, dan selaras antarberbagai
kepentingan, baik pada tataran nasional, regional, maupun internasional serta terkoordinasi
dalam satu kendali yang didasarkan pada kerja sama yang baik dan saling mendukung.
Huruf e
Yang dimaksud dengan asas efektivitas adalah bahwa penyelenggaraan Pencarian dan
Pertolongan berorientasi pada tujuan yang tepat guna dan berdaya guna.
Huruf f
Yang dimaksud dengan asas efisiensi berkeadilan adalah bahwa setiap penyelenggaraan
Pencarian dan Pertolongan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap
warga negara dan penduduk tanpa kecuali.
Huruf g
Yang dimaksud dengan asas kedaulatan adalah bahwa penyelenggaraan Pencarian dan
Pertolongan tetap mematuhi dan menghormati kedaulatan suatu negara tanpa mengurangi
kewajiban untuk melakukan upaya penyelamatan manusia.
Huruf h
Yang dimaksud dengan asas nondiskriminatif adalah bahwa penyelenggaraan Pencarian
dan Pertolongan tidak memberikan perlakuan yang berbeda terhadap jenis kelamin, suku,
agama, ras, politik, dan/atau status sosial.
Pasal 4

Cukup jelas.
Cukup jelas
Pasal6
Cukup jelas.
Pasal7
Cukup jelas.
Pasal8
Cukup jelas.
Pasal9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14
Huruf a
Yang dimaksud dengan Kecelakaan Kapal adalah kejadian yang dialami oleh kapal yang
dapat membahayakan dan/atau mengancam keselamatan manusia, antara lain:
a. Kapal tenggelam;
b. Kapal terbakar;
c. Kapal tubrukan;
d. Kapal kandas; dan

e. Kapal mati mesin.


Yang dimaksud dengan Kecelakaan Pesawat Udara adalah kejadian yang dialami oleh
pesawat udara yang dapat membahayakan dan/atau mengancam keselamatan manusia,
antara lain:
a. Pesawat

Udara jatuh;

b. Pesawat

Udara terbakar;

c. Pesawat

Udara tubrukan;

d. Pesawat

Udara tergelincir; dan

e. Pesawat

Udara hilang kontak.

Huruf b
Yang dimaksud dengan penanganan khusus adalah penanganan Kecelakaan yang
membutuhkan teknologi tertentu, sumber daya manusia yang memiliki kompetensi
tertentu, prosedur kerja tertentu dan/atau terjadi di lokasi kejadian yang sulit dijangkau.
Huruf c
Yang dimaksud dengan Bencana pada tahap tanggap darurat adalah kondisi yang
memerlukan serangkaian kegiatan untuk melakukan pencarian, penyelamatan dan Evakuasi
Korban dengan segera.
Huruf d
Yang dimaksud dengan Kondisi Membahayakan Manusia, antara lain peristiwa kebakaran,
orang tercebur, percobaan bunuh diri dengan menaiki menara atau gedung, terjebak di lift
atau reruntuhan bangunan, atau tersesat di gunung atau hutan.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan aparat yang berwajib antara lain Kepolisian Negara Republik
Indonesia atau satuan kerja perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang pemadam
kebakaran atau yang disamakan dengan itu.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "teknologi dan sarana kerja tertentu adalah teknologi dan
sarana yang tidak dimiliki oleh instansi lain, misalnya Kepolisian Negara Republik
Indonesia, satuan kerja perangkat daerah, atau penyelenggara perkeretaapian.
Huruf b

Yang dimaksud sumber daya manusia yang memiliki kompetensi tertentu adalah
sumber daya manusia yang memiliki keahlian untuk melakukan penanganan
kecelakaan yang tidak dimiliki oleh masyarakat atau instansi lain misalnya Kepolisian
Negara Republik Indonesia, satuan kerja perangkat daerah, atau penyelenggara
perkeretaapian.
Huruf c
Yang dimaksud prosedur kerja tertentu adalah prosedur kerja yang tidak dimiliki dan
dikuasai oleh instansi lain misalnya Kepolisian Negara Republik Indonesia, satuan kerja
perangkat daerah, atau penyelenggara perkeretaapian.
Ayat (3)
Cukup
jelas. Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan
utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan
kegiatan ekonomi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan siaga rutin adalah pelaksanaan siaga yang dilaksanakan secara
terus-menerus di lingkungan Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan dalam rangka
kesiapsiagaan Operasi Pencarian dan Pertolongan.
Yang dimaksud dengan siaga khusus adalah pelaksanaan siaga yang dilakukan selain dari
siaga rutin untuk kesiapsiagaan dalam menghadapi terjadinya atau dalam menghadapi
keadaan yang berpotensi menimbulkan Kecelakaan, Bencana, dan/atau Kondisi
Membahayakan Manusia.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Koordinator misi Pencarian dan Pertolongan dikenal dengan SAR Mission Coordinator (SMC).
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tahap penyadaran antara lain kegiatan untuk mengumpulkan dan
mencatat informasi yang meliputi identitas pemberi laporan, jenis kecelakaan, lokasi
kecelakaan, jenis Kapal atau Pesawat Udara yang mengalami kecelakaan, dan jumlah
korban.
Yang dimaksud dengan tahap penindakan awal meliputi:
a. pelaporan terjadinya Kecelakaan, Bencana, dan/atau Kondisi Membahayakan Manusia
kepada Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan;
b. pemberitahuan kepada pemilik, operator, dan pengguna Pesawat Udara atau Kapal
yang mengalami kecelakaan;
c. pencarian dengan komunikasi awal atau preliminary communication (precom);
d. pemberitahuan kepada instansi atau Setiap Orang yang memiliki Potensi Pencarian dan
Pertolongan untuk menyiapkan unsur Pencarian dan Pertolongan yang dimiliki;
e. pembentukan atau penunjukan koordinator misi Pencarian dan Pertolongan; dan
f.

pencarian dengan komunikasi saat kejadian atau extended communication (excom).

Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 23
Yang dimaksud dengan peralatan deteksi dini adalah peralatan yang berfungsi menerima atau
mendeteksi informasi awal mengenai terjadinya Kecelakaan, dan/atau Kondisi Membahayakan
Manusia agar dapat direspons dengan cepat.
Pasal 24
Ketentuan ini dimaksudkan agar Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan atau instansi terkait
dapat merespons sesuai dengan tanggung jawabnya.
Yang dimaksud dengan instansi terkait misalnya Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Penanggulangan Bencana
Daerah, atau satuan
kerja perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang pemadam kebakaran atau yang
disamakan dengan itu.

Yang dimaksud dengan informasi yang benar adalah pemberitahuan tentang suatu peristiwa
Kecelakaan, Bencana, dan/atau Kondisi Membahayakan Manusia sesuai fakta yang terjadi.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan hukum internasional seperti ketentuan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional
(International Civil Aviation Organization/ICAO) dalam Konvensi Chicago Tahun 1944 pada
Pasal VI tentang International Standard and Recommended Practices Annex 12 Search and
Rescue dan ketentuan Organisasi Pelayaran Internasional (International Maritime
Organization/IMO) sesuai dengan Konvensi Safety of Live at Sea (SOLAS) Tahun 1974.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "kawasan terlarang lainnya" adalah kawasan yang berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai kawasan yang hanya
dapat dimasuki oleh petugas khusus.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Cukup jelas.

Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan pelaksanaan pencarian dengan pertolongan adalah
pelaksanaan kegiatan pencarian yang dilanjutkan dengan kegiatan pertolongan
terhadap Korban dalam suatu Kecelakaan, Bencana, dan/atau Kondisi Membahayakan
Manusia.
Huruf b
Yang dimaksud dengan pelaksanaan pencarian tanpa pertolongan adalah
pelaksanaan kegiatan pencarian tanpa kegiatan pertolongan terhadap Korban karena
Korban tidak lagi berada dalam kondisi bahaya atau Korban tidak diketemukan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan pelaksanaan pertolongan tanpa pencarian adalah
pelaksanaan kegiatan pertolongan secara langsung karena lokasi Korban telah
diketahui.
Ayat (3)
Cukup
jelas. Ayat (4)
Cukup
jelas. Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Tanggung jawab atas pelaksanaan Operasi Pencarian dan Pertolongan dilakukan untuk
mempersiapkan, menggerakkan petugas dan peralatan Pencarian dan Pertolongan menuju
lokasi kejadian, serta melaksanakan pencarian, pertolongan, Evakuasi, dan tindak lanjut
pertolongan terhadap Korban.
Ayat (2)
Huruf a
Koordinator Pencarian dan Pertolongan dikenal dengan SAR Coordinator (SC).
Huruf b
Koordinator misi Pencarian dan Pertolongan dikenal dengan SAR Mission Coordinator
(SMC). Huruf c

Koordinator lapangan Pencarian dan Pertolongan dikenal dengan On Scene Coordinator


(OSC). Huruf d
Unit Pencarian dan Pertolongan dikenal dengan Search and Rescue Unit (SRU).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Penentuan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari berdasarkan pertimbangan bahwa manusia
hanya dapat bertahan hidup tanpa minum dan makan dalam jangka waktu tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Cukup jelas.

Yang dimaksud dengan kemudahan dan prioritas antara lain untuk pengisian bahan bakar,
pengisian air, kepabeanan, keimigrasian, dan pendaratan atau hal berlabuh.
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan penggantian biaya antara lain penggantian biaya bahan bakar dan
makanan.
Pasal 39
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Kemudahan akses keimigrasian dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang keimigrasian.
Huruf d
Kemudahan akses kepabeanan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang kepabeanan.
Huruf e
Kemudahan akses kekarantinaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang kekarantinaan.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Kemudahan akses pengadaan barang/jasa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan di bidang pengadaan barang/jasa.
Huruf h
Yang dimaksud dengan instansi/organisasi Potensi Pencarian dan Pertolongan antara lain
kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian
Negara Republik Indonesia, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota,
badan usaha, dan organisasi nonpemerintah.
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan diperlakukan secara khusus adalah meskipun bukti
pertanggungjawaban yang diberikan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku namun
bukti pertanggungjawaban tersebut diperlakukan sebagai dokumen pertanggungjawaban
keuangan yang sah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan standar yang ditetapkan adalah standar nasional dan standar
internasional.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Koordinasi yang dilaksanakan menyangkut kurikulum, silabus, dan metode pendidikan dan
pelatihan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Badan Nasional Pencarian dan
Pertolongan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Cukup jelas.

Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan sarana adalah peralatan yang diperlukan untuk penyelenggaraan
Pencarian dan Pertolongan.
Yang dimaksud dengan prasarana adalah penunjang sarana Pencarian dan Pertolongan,
antara lain berupa hanggar, dermaga, kantor/pos, dan gudang.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan sarana darat misalnya truk/mobil penyelamat dan mobil
ambulans.
Huruf b
Yang dimaksud dengan sarana laut misalnya kapal penyelamatan (rescue boat) dan
perahu karet (rubber boat).
Huruf c
Yang dimaksud dengan sarana udara misalnya Pesawat Udara dan helikopter.
Cukup jelas.

Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g

Cukup jelas.
Huruf h
Penyelenggara vulkanologi dan mitigasi bencana geologi merupakan unit kerja di
lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
energi dan sumber daya mineral.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Yang
dimaksud
penerbangan.

dengan

kenavigasian adalah kenavigasian di bidang pelayaran dan di


bidang

Huruf l
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan

personel pelayanan lalu lintas Penerbangan adalah pemandu


lalu lintas

Penerbangan (air traffic service), pelayanan informasi Penerbangan (flight information


service), pelayanan Pencarian dan Pertolongan lalu lintas Penerbangan (air traffic advisory
service), dan pelayanan kesiagaan (allerting service).
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 64
Yang dimaksud dengan ketentuan peraturan perundang-undangan antara lain peraturan
perundang-undangan di bidang penerbangan dan di bidang pelayaran.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Alat pemancar sinyal mara bahaya dikenal dengan radio beacon yang dioperasikan dalam sistem
cospas sarsat. Cospas merupakan akronim Cosmicheskaya Sistema Poiska Avariynyh Sudov.
Sarsat adalah akronim Search And Rescue Satellite-Aided Tracking.
Alat tersebut terdiri atas:
a. emergency locator transmitter (ELT);
b.emergency position indicating radio beacon (EPIRB); dan
c. personal locator beacon (PLB).
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.

Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72

Cukup jelas.

Cukup jelas.

Pasal 73

Pasal 74

Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.

Pasal 76
Yang dimaksud dengan izin dari negara yang bersangkutan adalah izin yang diajukan oleh Badan
Nasional Pencarian dan Pertolongan kepada Pusat Koordinasi Penyelamatan (Rescue Coordination
Centre/RCC) negara bersangkutan atau perwakilan negara tersebut di Indonesia.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78

Cukup jelas.

Cukup jelas.

Pasal 79

Pasal 80

Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.

www.hukumonli
ne.com
Pasal
82

Cukup
jelas.
Pasal 83
Cukup
jelas.
Pasal 84
Cukup
jelas.
Pasal 85
Cukup
jelas.
Pasal 86
Cukup
jelas.
Pasal 87
Cukup
jelas.
Pasal 88
Cukup
jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR


5600

43 /
43

Anda mungkin juga menyukai