Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH TUTORIAL

KASUS KE 3
RHINITIS

DISUSUN OLEH :
TUTORIAL A-2
NUR KHAIRANI ACHMAD

1310211007

TIRA KURNIATI

1310211025

RYANTINO IRDAN

1310211058

JEANNE d'Arc DYANCHANA 1310211076


IRMA RIZKI HIDAYATI

1310211103

IBNU WADUDU PUJANGGA 1310211107


WIDYA NOVIT AMANDA

1310211110

SYIFA SILVIYAH

1310211125

PUTRI HARDYANTI

1310211142

ANNISA FIRIZQI NAHILA

1310211199

HESTI HERLINAWATI

1310211203

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN
JAKARTA
TAHUN 2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tutorial kasus mengenai rhinitis guna sebagai bahan
pembelajaran bagi kami dan untuk bahan penilaian terhadap kami.
Tak ada gading yang tak retak, begitupun hal yang kami tuangkan dalam
makalah kami mohon dimaafkan dengan memberikan kritik dan saran yang
membangun. Terima kasih.

Penulis

Rinosinusitis
1. Definisi
Rinosinusitis adalah istilah bagi suatu proses inflamasi yang melibatkan mukosa hidung dan
sinus paranasal.

2. Anatomi
Sinus paranasal adalah pneumonitisasi dari tulang-tulang kepala sehingga membentuk rongga
udara yang berada di sekitar hidung. Sinus paranasal terdiri dari empat rongga di setiap sisi
wajah. rongga ini mulai dari yang terbesar adalah sinus maksilaris, sinus frontal, sinus ethmoid
dan sinus sphenoid.
2.1. Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume 68 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu
15 ml saat dewasa.
Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila
yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila,
dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung dinding superiornya adalah dasar orbita
dan dinding inferior ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di
sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infindibulum
etmoid.
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah
- Dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu
premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi
molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi
gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.
-

Sinusitis maksila dapat menyebabkan komplikasi orbita.

Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase kurang baik,
lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian

dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat
menghalangi drenase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitus.

2.2. Sinus Frontal


Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus, berasal
dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal
mulai berkembang pada usia 8-10 thn dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 thn.
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan
dipisahkan oleh sekret yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya
mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang.
Ukurannya sinus frontal adalah 2.8 cm tingginya, lebarnya 2.4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus
frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berleku-lekuk. Tidak adanya gambaran septumnseptum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus.
Sinus frontal dipisakan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior,
sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini.

Sinus frontal berdraenase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal. Resesus frontal
adalah bagian dari sinus etmoid anteroir.

2.3. Sinus Etmoid


Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap
paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang
dewasa bentuk sinus etomid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari
anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cmn dan lebarnya 0.5 cm di bagian anterior dan 1.5 cm di
bagian posterior.
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang
terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan
dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi antara 4-17 sel (rata-rata 9 sel).
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di
meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus
etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di bawah perlekatan konka media,
sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan
terletak di postero-superior dari perlekatan konka media.
Di bagian terdepan sinus etmoid enterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal,
yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah
etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya
ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan
sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sisnusitis maksila.
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding
lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga
orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatsan dengan sinus sfenoid.
2.4. Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid
dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalag 2 cmn tingginya,
dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus

berkembang, pembuluh darah dan nerbus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat
berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus etmoid.
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa,
sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan
a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan
fosa serebri posterior di daerah pons.
2.5. Kompleks Ostio-Meatal
Di meatus medius, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid
anterior. Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri dari
infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid
dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila

3. Fisiologis
Sampai saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal. Beberapa
pendapat
3.1. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara
inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata tidak didapati pertukaran udara yang
definitive antara sinus dan rongga hidung. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi
dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.
3.2. Sebagai penahan suhu (termal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fossa serebri
dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.
3.3. Membantu keseimbangan kepala
Bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat
sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori dianggap tidak bermakna.
3.4. Membantu resonansi suara

Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus
berfungsi sebagai resonator yang efektif. Lagipula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan
besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.
3.5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.
3.6. Membantu produksi mucus
Jumlahnya kecil dibandingkan dengan mucus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mucus ini keluar dari
meatus medius, tempat yang paling strategis.

4. Pemeriksaan
4.1. Inspeksi
Yang diperhatikan adalah pembengkakan pada muka. Pembengkakan di pipi sampai kelopak
mata bawah yag berwarna kemerah-merahan mungkin menunjukan sinusitis maksila akut.
Pembengkakan di kelopak mata atas mungkin menunjukan sinusitis frontal akut. Sinusitis etmoid
akut jarang menyebabkan pembengkakan diluar, kecuali bila telah terbentuk abses
4.2. Palpasi
Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunjukkan adanya sinusitis maksila. Pada
sinusitis frontal terdapat nyeri tekan di dasar sinus frontal yaitu oada bagian medial atap orbita.
Sinusitis etmoid menyebabkan rasa nyeri tekan di daerah kantus medius.
4.3. Transiluminasi
Transiluminasi mempunyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai untuk memeriksa
sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologik tidak tersedia.
Bila terdapat kista yang besar di dalam sinus maksila, akan tampak terang pada pemeriksaan
transiluminasi, sedangkan pada foto rontgen tampak adanya perselubungan berbatas tegas di
dalam sinus maksila.

Transiluminasi pada sinus frontal hasilnya lebih meragukan. Besar dan bentuk kedua sinus ini
seringkali tidak sama. Gambaran yang terang berarti sinus berkembang dengan baik dan normal,
sedangkan gambaran yang gelap mungkin hanya menunjukkan sinus yang tidak berkembang.
4.4. Pemeriksaan Radiologik
Bila dicurigai adanya kelainan di sinus paranasal,maka dapat dilakukan pemeriksaan
radiologik. Posisi rutin yang dipakai ialah posisi Waters, P.A, dan lateral. Posisi Waters terutama
untuk melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid. Posisi posterior anterior
untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai sinus frontal, sphenoid dan etmoid.
Metode mutakhir yang lebih akurat untuk melihat kelainan sinus paranasal adalah pemeriksaan
CT-scan.
4.5. Sinuskopi
Pemeriksaan ke dalam sinus maksila menggunakan endoskop. Endoskop dimasukkan melalui
lubang yang dibuat di meatus inferior atau di fossa kanina.
Dengan sinuskopi dapat dilihat keadaan di dalam sinus, apakah ada sekret, polip, jaringan
granulasi, massa tumor atau kista, bagaimana keadaan mukosa dan apakah ostiumnya terbuka

5. Etiologi dan Klasifikasi


Terjadinya sinusitis dapat merupakan perluasan infeksi dari hidung (rinogen), gigi dan gusi
(dentogen), faring, tonsil serta penyebaran hematogen walaupun jarang. Sinusitis juga dapat
terjadi akibat trauma langsung, barotrauma, berenang atau menyelam.
Faktor predisposisi yang mempermudah terjadinya sinusitis adalah kelainan anatomi hidung,
hipertrofi konka, polip hidung, dan rinitis alergi.Rinosinusitis ini sering bermula dari infeksi
virus pada selesma, yang kemudian karena keadaan tertentu berkembang menjadi infeksi
bakterial dengan penyebab bakteri patogen yang terdapat di saluran napas bagian atas. Penyebab
lain adalah infeksi jamur, infeksi gigi, dan yang lebih jarang lagi fraktur dan tumor.
Menurut berbagai penelitian, bakteri utama yang ditemukan pada rhinosinusitis akut adalah
Streptococcus pneumonia (30-50%) Haemophylus Influenzae (20-40%) dan Moraxella
catarrhalis (4%). M.catarrhalis lebih banyak ditemukan pada anak.

6. Diagnosa
6.1. Anamnesa
Terdapat 2 gejala mayor yang salah satunya adalah purulent atau obstruksi
Atau 1 gejala mayor yang salah satunya adalah purulent atau obstruksi diikuti 2 gejala minor

6.2. Pemeriksaan
Nyeri tekan pada sinus yang terkena (maksila, frontal)
Rhinoskop ditemukan pus
-

Meatus medius : maksila, etmoid anterior, frontal


Meatus superior : etmoid posterior, sphenoid

7. Patogenesis
Rhinitis udem mukosa ostium menyempit gangguan drainase
Posisi osteum sinus maksilaris lebih tinggi dari dasar sinus maksilaris gangguan drainase
Infeksi gigi menyebar infeksi sinus maksilaris udem gangguan drainase
Gangguan drainase infeksi kuman

8. Terapi
Antibiotik + dekongestan
Antibiotik : Penicilin (amoksisilin) bila curiga resisten tambahakan asam klavulanad atau
sefalosporin generasi 2/3 (cefixime). Berikan selama 10-14 hari

Adjuvant : analgetik, mukolitik, steroid oral/topical, antihistamin generasi-2, irigasi sinus


Operasi : Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF)

9. Komplikasi

1. Definisi rinitis alergi

Rinitis alergi adalah inflamasi pada membran mukosa nasal yang disebabkan oleh paparan
material alergenik yang terhirup yang kemudian memicu serangkaian respon imunologik spesifik
diperantarai IgE (Bousquet et al, 2008).

2. Etiologi rinitis alergi

Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam
perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis
alergi (Adams, Boies and Higler., 1997). Penyebab rinitis alergi tersering adalah allergen inhalan
pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa allergen
sekaligus. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Allergen yang
menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Berbagai pemicu
yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik di antaranya asap
rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca (Becker et al.,
1994).

3. Patofisiologi rinitis alergi

a. Sensitisasi

Respon imun dalam alergi diawali dengan proses sensitisasi di mana ketika suatu allergen
terhirup, maka Antigen Presenting Cells (APC) seperti sel langerhans pada epitelium yang

melapisi saluran paru-paru dan hidung, akan memproses dan mengekpresikan alergen tersebut
pada permukaan sel. Allergen tersebut kemudian akan dipresentasikan kepada sel lain yang
terlibat dalam respon imun, khususnya sel t-limfosit. Melalui beberapa interaksi sel spesifik
kemudian sel b-limfosit akan bertransformasi menjadi antibody secretory cell, yaitu sel plasma
(Schwinghammer in DiPiro et al., 2009). Pada respon alergi, sel plasma tersebut memproduksi
antibodi IgE yang seperti isotip imunoglobulin lainnya, mampu berikatan dengan allergen
spesifik melalui sisi Fab-nya. Ketika IgE sudah terbentuk dan memasuki sirkulasi, ia akan
berikatan melalui sisi Fc-nya dengan reseptor afinitas tinggi di sel mast, sementara sisi
reseptornya yang bersifat spesifik terhadap allergen akan siap untuk berinteraksi dengan allergen
pada paparan berikutnya. Sel lain yang telah diketahui mampu mengekspresikan reseptor afinitas
tinggi kepada IgE antara lain adalah basofil, sel langerhans, dan monosit yang teraktivasi.
Produksi antibodi IgE yang bersifat allergen-spesific inilah yang menimbulkan respon imun yang
disebut sensitisasi (World Allergy Organization, 2003).

b. Reaksi alergi fase cepat

Merupakan reaksi cepat yang terjadi dalam beberapa menit, dapat berlangsung sejak kontak
dengan allergen sampai 1 jam setelahnya. Mediator yang berperan pada fase ini yaitu histamin,
triptase, dan mediator lain seperti leukotrien, prostaglandin (PGD2), dan bradikinin. Mediatormediator tersebut menyebabkan keluarnya plasma dari pembuluh darah dan dilatasi dari
anastomosis arteri yang menyebabkan terjadi edema, berkumpulnya darah pada karvenous
sinusoid dengan gejala klinis berupa hidung tersumbat dan oklusi dari saluran hidung.
Rangsangan terhadap kelenjar mukosa dan sel goblet menyebabkan hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Rangsangan pada ujung saraf sensoris

(vidianus) menyebabkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin (Schwinghammer in DiPiro et
al., 2009).

c. Reaksi alergi fase lambat

Reaksi alergi fase lambat terjadi 4-8 jam setelah fase cepat. Reaksi ini disebabkan oleh mediator
yang dihasilkan oleh fase cepat beraksi terhadap sel endotel post-kapiler yang menghasilkan
suatu Vascular Cell Adhesion Mollecule (VCAM) di mana molekul ini menyebabkan sel leukosit
seperti eosinofil menempel pada dinding endotel. Faktor kemotaktik seperti interleukin-5 (IL-5)
menyebabkan infiltrasi sel-sel eosinofil, sel mast, limfosit, neutrofil, dan makrofag ke dalam
mukosa hidung. Sel-sel ini kemudian menjadi teraktivasi dan menghasilkan mediator lain seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein
(MBP),

dan

Eosinophilic

Peroxidase (EPO) yang menyebabkan gejala hiperreaktivitas dan hiperresponsivitas hidung.


Gejala klinis yang ditimbulkan pada fase ini lebih didominasi oleh sumbatan hidung
(Schwinghammer in DiPiro et al., 2009).

4. Klasifikasi rinitis alergi

Rinitis berdasarkan penyebabnya terbagi menjadi dua golongan, yaitu:

a. Rinitis alergi :
disebabkan oleh adanya allergen yang terhirup oleh hidung.

b. Rinitis non-alergi :
disebabkan oleh faktor-faktor pemicu tertentu. Rinitis non-alergi dibagi lagi menjadi tiga, yaitu
rinitis vasomotor, rinitis medicamentosa, dan rinitis struktural.

1) Rinitis vasomotor

Merupakan tipe rinitis di mana terjadi reaksi hiperresponsivitas pada saluran pernapasan bagian
atas terhadap faktor pemicu eksternal non-spesifik, seperti perubahan suhu dan kelembaban, asap
rokok, atau aroma tajam. Simptom yang sering muncul pada tipe ini adalah inflamasi nasal
(sebagian kecil pasien), hiperreaktivitas parasimpatik dan/atau glandular.

2) Rinitis medicamentosa

Rinitis medicamentosa adalah obstruksi nasal yang terjadi pada pasien yang menggunakan
vasokonstriktor intranasal secara kronis. Belum diketahui dengan jelas penyebabnya, namun
vasodilatasi dan edema intravaskular telah menjadi implikasi utamanya. Penanganan rinitis
medicamentosa membutuhkan penghentian penggunaan nasal dekongestan untuk memulihkan
kondisi nasal, lalu diikuti dengan terapi sesuai dengan simptom yang timbul. 3) Rinitis stuktural
Rinitis tipe ini disebabkan oleh adanya kelainan anatomi hidung yang diakibatkan oleh injury
(kecelakaan), congenital (kelainan bawaan), maupun kelainan tumbuh-kembang. Pasien rinitis
tipe ini dapat mengalami simptom rinitis kapan saja dalam setahun dan biasanya keparahannya
lebih tinggi pada salah satu sisi hidung dibanding sisi lainnya (Northern Nevada Allergy Clinic,
2006). c. Rinitis alergi berdasarkan waktunya digolongkan menjadi tiga, yaitu:

1) Seasonal (hay fever) Terjadi sebagai respon terhadap allergen spesifik seperti pollen,
rerumputan, dan alang-alang) pada waktu yang dapat terprediksi tiap tahunnya (musim semi
dan/atau gugur) dan umumnya memicu simptomsimptom akut lebih banyak.

2) Perrenial (intermittent or persistent) Dapat terjadi kapanpun sepanjang tahun, sebagai respon
terhadap allergen non-musiman seperti dust mites, bulu hewan, jamur, dan biasanya
menimbulkan simptom yang lebih kronis.

a) Intermittent Seseorang dapat dikatakan menderita rinitis alergi tipe ini bila gejala rinitis yang
ia alami terjadi kurang dari 4 hari tiap minggunya, atau terjadi selama tidak lebih dari empat
minggu

berturut-turut.

b) Persistent Sedangkan seseorang dapat dikatakan menderita rinitis alergi tipe ini bila gejala
rinitis yang ia alami terjadi lebih dari 4 hari tiap minggunya, dan terjadi selama lebih dari empat
minggu

berturutturut.

3) Occupational Rinitis alergi yang terjadi sebagai akibat dari paparan allergen di tempat kerja,
misalnya paparan terhadap agen dengan bobot molekul tinggi, agen berbobot molekul rendah,
atau zat-zat iritan, melalui mekanisme imunologi atau patogenik non-imunologi yang tidak
begitu diketahui (Ikawati, 2011).

5. Diagnosis rinitis alergi

a. Gejala dan tanda

Seseorang dapat diduga menderita rinitis alergi bila mengalami dua atau lebih dari gejala-gejala
rinore anterior dengan produksi air berlebih, bersin-bersin, obstruksi nasal, rasa gatal atau
pruritis pada hidung, atau konjungtivitis (jarang) selama lebih dari satu hari (Bousquet et al.,
2008).

b. Pemeriksaan fisik

Pada anak, hasil pemeriksaan fisik biasanya menunjukkan adanya lingkaran hitam di bawah mata
(allergic shiners), adanya luka pada daerah hidung yang disebabkan karena seringnya anak
menggosok hidung, pernapasan adenoidal, edema nasal yang dilapisi dengan lendir jernih, serta
pembengkakan periorbital. Simptom fisik lebih susah diamati pada orang dewasa
(Schwinghammer in DiPiro et al., 2009).

c. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan mikroskopik dari jaringan nasal biasanya menunjukkan jumlah eosinofil yang
sangat banyak. Penghitungan eosinofil darah periferal dapat dilakukan, tapi sifatnya kurang
spesifik dan kegunaannya terbatas. Uji radioallergosorbent (RAST) dapat digunakan untuk
mendeteksi IgE dalam darah yang beraksi spesifik terhadap antigen tertentu, tapi uji ini tidak
lebih efektif ketimbang test perkutan (Bousquet et al., 2008).

d. Rinoskopi anterior atau Endoskopi nasal

Rinoskopi anterior menggunakan spekulum dan cermin dapat memberikan informasi penting
mengenai

kondisi

fisiologis

pasien.

Sementara

endoskopi

nasal

dibutuhkan

untuk

mengidentifikasi gejalagejala lain dari rinitis seperti polip hidung dan abnormalitas anatomik
lainnya. Kedua metode diagnosa di atas sering digunakan untuk penegakan diagnosis pasien
yang diduga menderita rinitis alergi persisten.

e. Skin test

Skin test atau skin prick test mampu mengidentifikasi allergenspesific IgE dalam serum. Test ini
diperlukan bila simptom yang dialami bersifat persisten dan/atau sedang sampai berat, atau bila
kualitas hidup pasien mulai terpengaruh.

f. Nasal challenge test Test ini dilakukan ketika pasien diduga menderita rinitis alergi tipe
occupational. Test ini juga akan mengidentifikasi sensitivitas pasien terhadap faktor pemicu
tertentu secara spesifik.

6. Penatalaksanaan terapi rinitis alergi

Gambar 1. Tatalaksana Terapi Rinitis Alergi (Bousquet et al., 2008)

a. Tujuan terapi
1) Meningkatkan kualitas tidur
2) Meningkatkan performa pasien di tempat kerja atau sekolah 3) Menghilangkan gejala-gejala
yang mengganggu aktivitas 4) Menghilangkan atau meminimalkan efek samping terapi

b. Strategi terapi (farmakologi dan non-farmakologi)

1) Terapi non-farmakologi

Salah

satu

allergen.

terapi

Namun,

alergi
pencegahan

adalah
alergi

pencegahan
tidak

terhadap

mudah,

apalagi

paparan
jika

allergen penyebabnya belum bisa dipastikan. Rumah harus kerap dibersihkan, tidak boleh
memelihara binatang, sebaiknya tidak menggunakan bantal atau kasur kapuk (diganti dengan
busa

atau

springbed) dan sebaiknya tidak menggunakan karpet. Jika memungkinkan, perlu digunakan
penyaring udara berupa Air Conditioner (AC) atau High Efficiency Particulate Air (HEPA) filter.
Hindarkan berada dekat bunga-bunga pada musim penyerbukan, dan gunakan masker pada saat
berkebun (Ikawati, 2011).

2) Terapi farmakologi

Tujuan terapi farmakologi untuk rinitis alergi adalah mencegah dan mengurangi atau
meminimalkan gejala. Obat-obat yang digunakan antara lain adalah: antihistamin, dekongestan
nasal,

kortikosteroid

nasal,

antikolinergik

dan

golongan

kromolin

(Ikawati,

2011).

7. Obat-obat yang digunakan

a. Oral antihistamin (H1-blocker)

H1-blocker atau H1-antihistamin adalah senyawa yang memblokir histamin pada reseptor H1.
H1-antihistamin oral efektif mengatasi gejalagejala rinitis yang diperantarai oleh histamin,
seperti rinore, bersin, hidung gatal dan gejala-gejala pada mata, tapi kurang efektif untuk

mengatasi hidung tersumbat. Obat golongan ini terbukti aman untuk anak-anak. Oral
antihistamin generasi pertama menimbulkan efek samping yang signifikan akibat sifat sedatif
dan antikolinergiknya (ARIA, 2008). Contoh obat golongan ini antara lain adalah cetirizin,
loratadin, dan fexofenadin.

b. Lokal H1 antihistamin (intranasal, intraokular)


Intranasal H1-antihistamin beraksi efektif di tempatnya diadministrasikan dalam mengatasi
gejala hidung gatal, kemerahan, tersumbat dan bersin-bersin. Intraokular H1-antihistamin efektif
dalam mengurangi gejala alergi di mata. Onset aksi obat golongan ini adalah sekitar 20 menit,
dengan aturan pakai dua kali sehari (ARIA, 2008). Contoh obat golongan ini adalah azelastin,
levocabastin dan olopatadin.

c. Lokal glukokortikosteroid
Intranasal glukokortikosteroid adalah obat dengan efikasi paling baik dalam penanganan rinitis
alergi maupun non-alergi. Contoh obat golongan ini adalah metilprednisolon, flutikason,
mometason, dan lain sebagainya. Keuntungan menggunakan intranasal glukokortikosteroid
untuk penanganan rinitis alergi adalah konsentrasi obat yang tinggi pada nasal mukosa dapat
tercapai tanpa adanya efek sistemik yang tidak diinginkan. Obat golongan ini efektif
memperbaiki semua gejala rinitis alergi maupun gejala-gejala pada mata. Bila gejala hidung
tersumbat dan gejala-gejala lain sering diderita pasien, maka obat golongan ini adalah first line
therapy yang direkomendasikan di atas obat golongan lain. Melihat dari mekanisme aksinya,
efek obat ini baru muncul 7-8 jam setelah pemakaian, namun efikasi maksimum kemungkinan
baru tercapai dalam 2 minggu (Bousquet et al., 2008).

d. Oral/intramuskular glukokortikosteroid
Pada beberapa kasus, pasien dengan gejala yang parah dan tidak merespon terhadap obat-obatan
lain atau intoleran terhadap sediaan intranasal, perlu ditangani dengan glukokortikosteroid
sistemik (misal: prednisolon) jangka pendek. Glukokortikosteroid dapat diberikan dalam sediaan
oral ataupun depot-injection (misal: metilprednisolon). Pemberian jangka panjang yaitu selama
beberapa minggu, dapat menimbulkan efek samping sistemik yang bermakna. Penggunaan
intramuskular glukokortikosteroid tidak disarankan (Bousquet et al., 2008).

e. Lokal kromon (intranasal, intraokular)


Obat golongan ini dikenal sebagai penstabil sel mast, karena bekerja dengan mencegah
degranulasi sel mast dan pelepasan mediator, termasuk histamin. Contoh obat golongan ini
adalah kromoglikat dan nedokromil. Efek sampingnya yang paling sering adalah iritasi lokal
yaitu bersin dan rasa perih pada membran mukosa hidung (Ikawati, 2011).

f. Dekongestan
Obat golongan ini merupakan golongan simpatomimetik yang beraksi pada reseptor adrenergik pada hidung yang menyebabkan vasokonstriksi, menciutkan mukosa yang
membengkak, dan memperbaiki pernapasan. Contoh obat golongan ini antara lain adalah
pseudoefedrin dan oxymetazolin (intranasal). Penggunaan agen topikal yang lama dapat
menyebabkan rinitis medicamentosa, oleh karena itu durasi terapi dengan dekongestan topikal
sebaiknya dibatasi 3-5 hari. Sedangkan dekongestan oral secara umum tidak direkomendasikan,
karena efek klinisnya masih meragukan dan banyak memiliki efek samping (Ikawati, 2011).

g. Intranasal antikolinergik

Obat golongan ini beraksi dengan memblokir saraf kolinergik, efektif untuk pasien rinitis alergi
maupun non-alergi, yang menderita gejala rinore. Efek samping topikal jarang ditemui, dan
intensitasnya bersifat dose-dependent (Bousquet et al., 2008). Contoh obat golongan ini adalah
ipratropium.

h. Antileukotrien
Obat ini bekerja dengan memblokir reseptor leukotrien. Contoh obat golongan ini adalah
montelukast, pranlukast dan zafirlukast. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa obat ini lebih
efektif ketimbang placebo dan setara dengan oral H1-antihistamin, tetapi kurang unggul
dibanding intranasal glukokortikosteroid dalam menangani rinitis alergi seasonal (Bousquet et
al., 2008)

i. Imunoterapi Imunoterapi
Terapi desensitisasi juga bermanfaat dalam terapi rinitis alergi. Tetapi obat ini hanya efektif jika
allergen spesifiknya diketahui. Obat injeksi ini mengandung zat-zat allergen yang dianggap
dapat memicu timbulnya gejala alergi. Imunoterapi diindikasikan bagi pasien yang tidak
mempan terhadap farmakoterapi yang diberikan, sulit melakukan penghindaran allergen, dan
telah tersedia ekstrak allergen yang sesuai. Imunoterapi dikontraindikasikan bagi pasien yang
menderita asma yang tidak stabil, penyakit paru atau kardiovaskuler yang berat, penyakit
autoimunitas dan kanker serta ibu hamil, karena beresiko menyebabkan reaksi anafilaksis
sistemik

pada

janinnya

(Ikawati,

2011).

DAFTAR PUSTAKA
Adam,Boies, Higler,2012, Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6, EGC, Jakarta
Aring, A, 2011, Acute Rhinosinusitis in Adults diakses tanggal 20-01-2016
http://www.aafp.org/afp
Bacher, C , 2014, Crhonic Rhinosinusitis, diakses tanggal 20-01-2016
http://www.waojournal.org/content/7/1/25
Soepardi, E, Iskandar, N, Bashirudin, J, Restuti, R, 2007, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, edisi 6, FKUI, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai