Kelompok Ganjil
Hasbi S. H
(2011 131)
Neli S. N
(2013 002)
M. Zaki D.
(2013 004)
Helma Nadya (2013 008)
Putri Harlina (2013 010)
Rina Ardina S. (2013 012)
Frestia N. A
(2013 015)
Anitya N. A
(2013 017)
Dian Marlina (2013 020)
Yashinta F.
(2013 022)
Andri A. R.
(2013 025)
Dina Pitaloka (2013 027)
Baiq Wafa A. (2013 029)
Deni Dwi W.
(2013 033)
Faizah
(2013 035)
Alergi???
Alergi atau hipersensitivitas tipe I (1 dari 4) adalah kegagalan kekebalan
tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara
imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya imunogenik (antigenik) atau
dikatakan orang yang bersangkutan bersifat atopik.
Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau
bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing dan berbahaya, padahal
sebenarnya tidak untuk orang-orang yang tidak bersifat atopik. Bahan-bahan
yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut alergen.
Sumber: Departemen Kesehatan RI,2011
Etiologi
Penyebab alergi ada bermacam-macam,tergantung alergen atau antigen apa
yang dapat menyebabkan alergi dapat terjadi,misalnya :
Alergi karena makanan dan minuman
Obat-obatan
Hirupan seperti, debu, serbuk sari, rokok dan sebagainya
Udara (dingin dan panas)
Binatang, misalnya bulu kucing, anjing dan sebagainya
Zat-zat kimia
Faktor keturunan (genetika)
Sumber: Departemen Kesehatan RI, 2011
Penggolongan
Secara umum penyakit alergi digolongkan dalam beberapa golongan, yaitu:
Alergi atopik : reaksi hipersensitivitas I pada individu yang secara genetik
menunjukkan kepekaan terhadap alergen dengan memproduksi IgE secara
berlebihan
Alergi obat : reaksi imunologi yang berlebihan atau tidak tepat terhadap
obat tertentu
Lanjutan...
Ada 4 tipe dari hipersensitivitas yang dapat dikaitkan dengan alergi yaitu:
Tipe I: IgE-mediated reaksi alergi akut terhadap sengatan, serbuk sari, dan obatobatan, termasuk anafilaksis,urtikaria, dan angioedema.
Tipe II: Obat atau bahan kimia sering memodifikasi protein, sehingga memunculkan
respon antibodi terhadap modifikasi protein, respon alergi melibatkan IgG atau IgM.
Tipe III: Obat dapat menyebabkan penyakit serum, yang melibatkan kompleks imun
yang mengandung IgG dan adalah tergantung pelengkap vaskulitis multisistem
yang dapat mengakibatkan urtikaria.
Tipe IV: Sel-dimediasi alergi adalah mekanisme yang terlibat dalam dermatitis
kontak alergi dari dioleskan obat-obatan atau indurasi kulit di lokasi antigen
disuntikkan intradermal.
Manifestasi Klinis
Alergi pada usus: muntah, nyeri perut, diare (terutama pada bayi dan anak)
Alergi pada kulit: ruam-ruam kemerahan pada kulit (urtikaria atau dermatitis);
dan pada area tubuh lainnya seperti: mata (konjungtivitas alergi)
Resep
DEXAMETHASON
Mekanisme Kerja
Bekerja dengan cara mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon
memasuki sel jaringan melalui membran plasma secara difusi pasif di jaringan
target,
kemudian
bereaksi
dengan
reseptor
protein
yang
spesifik
dalam
sitoplasma sel jaringan dan membentuk kompleks reseptor steroid. Kompleks ini
mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan
dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein
spesifik. Induksi sintesis protein ini merupakan perantara efek fisiologik steroid
(Suherman, 2007)
Informasi Obat
Pustaka
Komposisi
Deksametason 0.5 mg
Indikasi
Dosis
A to Z Drug Fact
Kontraindikasi
Efek Samping
A to Z Drug Fact
Perhatian
Kategori C (topikal), Lansia: harus digunakan dengan hati- DIH ed. 17 tahun
hati pada lansia pada dosis terkecil. Pediatrics: harus
2008-2009 p.
secara rutin dipantau karena mempengaruhi kecepatan
2042
Farmakokinetik
Absorbsi : Oral Cepat dan hampir sepenuhnya diserap (80-90%)
Volume distribusi : Tidak Tersedia
Protein binding : 77 %
Metabolisme : Hati
Waktu Paruh eliminasi : 190 menit
Ekskresi : Hingga 65 % dari dosis diekskresikan dalam urin dalam waktu 24 jam
(Martindale 36 ed. P. 1526)
Farmakodinamik
Kerja utama deksametason yaitu dengan menekan proses peradangan akut.
Kebanyakan golongan glukokortikoid digolongkan obat golongan C untuk
kehamilan. Agen-agen yang digunakan untuk mengobati insufisiensi
adrenokortikal terdiri dari glukokortikoid dan mineralkortikoid, sedangkan obat
yang dipakai untuk antiinflamasi atau imunosupresif terutama mengandung
glukokortikoid.
(Farmakologi, Joyce L. Kee dan Evelyn R. hayes)
Interaksi Obat
Inhibitor asetilkolinesterase kortikosteroid (sistemik) dapat menambah efek
samping/toksisitas dari inhibitor asetilkolinesterase. Dapat terjadi peningkatan
kelelahan otot. Resiko C: pengawasan terapi
Aminoglutethimide dapat meningkatkan metabolisme kortikosteroid (sistemik).
Resiko C: pengawasan terapi
Amphotericin B kortikosteroid (sistemik) dapat menambah efek hipokalemi
amphotericin B. Resiko C: pengawasan terapi
Antasida dapat menurunkan bioavailabilitas kortikosteroid (oral). Resiko D:
pertimbangan modifikasi terapi
Antidiabetic agent kortikosteroid (sistemik) dapat mengurangi efek hipoglikemi
antidiabetic agent. Dalam beberapa kasus, penekanan axis HPA termediasi oleh
kortikosteroid telah menyebabkan kejadian krisis adrenal akut, yang dapat
bermanifestasi sebagai peningkatan hipoglikemi, terutama pada pengaturan
insulin atau penggunaan lain antidiabetic agent. Resiko C: pengawasan terapi
Lanjutan
Antifungal agent (turunan Azole, sistemik) dapat menurunkan metabolisme
kortikosteroid (sistemik). Resiko C: pengawasan terapi
Aprepitant dapat meningkatkan konsentrasi serum kortikosteroid (sistemik).
Resiko D: pertimbangan modifikasi terapi
Barbiturat dapat meningkatkan metabolisme kortikosteroid (sistemik). Resiko
C: pengawasan terapi
Sequestrants asam empedu dapat menurunkan absorpsi kortikosteroid (oral).
Resiko C: pengawasan terapi
Calcitriol kortikosteroid (sistemik) dapat mengurangi efek terapi calcitriol.
Resiko C: pengawasan terapi
Bloker kanal kalsium (nondihydropyridine) dapat menurunkan metabolisme
kortikosteroid (sistemik). Resiko C: pengawasan terapi
Lanjutan
Caspofungin inducer clearance obat dapat menurunkan konsentrasi serum
caspofungin. Managemen: pertimbangan menggunakan peningkatan dosis
caspofungin 70 mg sehari pada dewasa (atau 70 mg/m 2, sampai maksimal 70 mg
sehari pada pasien anak-anak) ketika diberikan bersama dengan inducer
clearance obat yang diketahui. Resiko D: pertimbangan modifikasi terapi
Corticorelin kortikosteroid dapat mengurangi efek terapi corticorelin.
Khususnya, respon plasma ACTH terhadap corticorelin dapat terkikis oleh terapi
kortikosteroid yang baru saja atau saat ini. Resiko C: pengawasan terapi
Cyclosporine kortikosteroid (sistemik) dapat meningkatkan konsentrasi serum
cyclosporine. Cyclosporine dapat meningkatkan konsentrasi serum kortikosteroid
(sistemik). Resiko C: pengawasan terapi
Inducer CYP3A4 (kuat) dapat meningkatkan metabolisme substrat CYP3A4.
Resiko C: pengawasan terapi
Inhibitor CYP3A4 (sedang) dapat menurunkan metabolisme substrat CYP3A4.
resiko C: pengawasan terapi
Lanjutan
Inhibitor CYP3A4 (kuat) dapat menurunkan metabolisme substrat CYP3A4.
Resiko D: pertimbangan modifikasi terapi
Substrat CYP3A4 Inducer CYP3A4 (kuat) dapat meningkatkan metabolisme
substrat CYP3A4. Resiko C: pengawasan terapi
Dabigatran Etexilate inducer p-Glycoprotein dapat menurunkan konsentrasi
serum dabigatran etexilate. Resiko C: pengawasan terapi
Dasatinib dapat meningkatkan konsentrasi serum substrat CYP3A4. Resiko C:
pengawasan terapi
Deferasirox dapat menurunkan konsentrasi serum substrat CYP3A4. Resiko C:
pengawasan terapi
Echinacea dapat mengurangi efek terapi immunosuppressant. Resiko D:
pertimbangan modifikasi terapi
Lanjutan
Turunan estrogen dapat meningkatkan konsentrasi serum kortikosteroid
(sistemik). Resiko C: pengawasan terapi
Fluconazole dapat menurunkan metabolisme kortikosteroid (sistemik). Resiko
C: pengawasana terapi
Fosaprepitant dapat meningkatkan konsentrasi serum kortikosteroid (sistemik).
Metabolit aktif aprepitant kemungkinan bertanggung jawab untuk efek ini. Resiko
D: pertimbangan modifikasi terapi
Herbal (inducer CYP3A4) dapat meningkatkan metabolisme substrat CYP3A4.
Resiko C: pengawasa terapi
Isoniazid kortikosteroid (sistemik) dapat menurunkan konsentrasi serum
isoniazid. Resiko C: pengawasan terapi
Lenalidomide dexamethasone dapat menambah efek trombogenik dari
lenalidomide. Resiko D: pertimbangan modifikasi terapi
Lanjutan
Loop diuretic kortikosteroid (sistemik) dapat menambah efek hipokalemi dari
loop diuretic. Resiko C: pengawasan terapi
Antibiotik makrolida dapat menurunkan metabolisme kortikosteroid (sistemik).
Pengecualian: azithromycin, dirithromycin [off market]; spiramycin. Resiko D:
pertimbangan modifikasi terapi
Maraviroc inducer CYP3A4 dapat menurunkan konsentrasi serum maraviroc.
Resiko D: pertimbangan modifikasi terapi
Natalizumab immunosuppressant dapat menambah efek samping/toksisitas
natalizumab. Khususnya, resiko infeksi bersamaan dapat meningkat. Resiko X:
hindari kombinasi
Agen penghambat neuromuskular (nondepolarizing) dapat menambah efek
samping neuromuskular dari kortikosteroid (sistemik). Meningkatkan kelelahan
otot, kemungkinan berkembang menjadi polineuropati dan myopati dapat terjadi.
Resiko D: pertimbangan modifikasi terapi
Lanjutan
Nilotinib inducer CYP3A4 (kuat) dapat menurunkan konsentrasi serum nilotinib.
Resiko X: hindari kombinasi
Nisoldipine inducer CYP3A4 (kuat) dapat menurunkan konsentrasi serum
nisodipine. Resiko X: hindari kombinasi
NSAID (COX-2 inhibitor) kortikosteroid (sistemik) dapat menambah efek
samping/ toksisitas NSAID (COX-2 inhibitor). Resiko C: pengawasan terapi
NSAID (nonselektif) kortikosteroid (sistemik) dapat menambah efek samping/
toksisitas NSAID (nonselektif). Resiko C: pengawasan terapi
Inducer p-glycoprotein dapat menurunkan konsentrasi serum substrat pglycoprotein. Inducer p-glycoprotein juga dapat lebih lanjut membatasi distribusi
substrat p-glycoprotein ke sel/jaringan/organ spesifik dimana p-glycoprotein ada
dalam jumlah besar (seperti otak, limfosit T, testis, dll). Resiko C: pegawasan
terapi
Inhibitor p-glycoprotein dapat meningkatkan konsentrasi serum substrat pglycoprotein. inhibitor p-glycoprotein juga dapat menambah distribusi substrat pglycoprotein ke sel/jaringan/organ spesifik dimana p-glycoprotein ada dalam
jumlah besar (seperti otak, limfosit T, testis, dll). Resiko C: pegawasan terapi
Lanjutan
Substrat p-glycoprotein inducer p-glycoprotein dapat menurunkan konsentrasi
serum substrat p-glycoprotein. Inducer p-glycoprotein juga dapat lebih lanjut
membatasi distribusi substrat p-glycoprotein ke sel/jaringan/organ spesifik
dimana p-glycoprotein ada dalam jumlah besar (seperti otak, limfosit T, testis,
dll). Resiko C: pengawasan terapi
Primidone dapat meningkatkan metabolisme kortikosteroid (sistemik). Resiko
C: pengawasan terapi
Antibiotik quinolone dapat menambah efek samping/toksisitas kortikosteroid
(sistemik). Resiko efek samping hubungan tendon, termasuk tendonitis dan
rupture, dapat bertambah. Resiko C: pengawasan terapi
Ranolazine inducer CYP3A4 (kuat) dapat menurunkan konsentrasi serum
ranolazine. Resiko X: hindari kombinas
Turunan rifamycin dapat meningkatkan metabolisme kortikosteroid (sistemik).
Resiko C: pengawasan terapi
Lanjutan
Salisilat dapat menambah efek samping/toksisitas kortikosteroid (sistemik).
Termasuk khususnya ulser gastrointestinal dan pendarahan. Kortikosteroid
(sistemik) dpat menurunkan konsentrasi serum salisilat. Penarikan kembali
kortikosteroid dapat mengakibatkan keracunan salisilat. Resiko C: pengawasan
terapi
Sorafenib inducer CYP3A4 (kuat) dapat menurunkan konsentrasi serum
sorafenib. Resiko D: pertimbangan modifikasi terapi
Thalidomide dexamethasone dapat menambah efek samping dermatologis dari
thalidomide. Dexamethasone dapat menambah efek trombogenik dari
thalidomide. Resiko D: pertimbangan modifikasi terapi
Diuretik thiazide kortikosteroid (sistemik) dapat menambah efek hipokalemi
dari diuretik thiazide. Resiko C: pengawasan terapi
Trastuzumab dapat menambah efek neutropenic dari immunosuppressant.
Resiko C: pengawasan terapi
Lanjutan
Vaksin (inaktif) immunosuppressant dapat mengurangi efek terapi dari vaksin
(inaktif). Resiko C: pengawasan terapi
Vaksin (hidup) immunosuppressant dapat menambah efek samping/toksisitas
vaksin (hidup). Infeksi vaksinasi dapat berkembang. Immunosuppressant juga
dapat menurunkan respon terapetik terhadap vaksin. Resiko X: hindari kombinasi
Warfarin kortikosteroid (sistemik) dapat menambah efek antikoagulan dari
warfarin. Resiko C: pengawasan terapi
Etanol hindari etanol (dapat menambah iritasi mukosa lambung)
Makanan dexamethasone mengganggu absorpsi kalsium. Batasi caffeine
Herbal/nutraceutical hindari cakaran kucing, echinacea (memiliki sifar
immunostimulant)
DIH ed. 17
KIE
Konsumsilah dexamethasone sesuai takaran dosis dan frekuensi yang ditetapkan
oleh dokter. Jika Anda tanpa sengaja lupa mengonsumsi satu dosis, segera
konsumsi dosis yang tertinggal tersebut. Tapi jika sudah lewat satu hari, jangan
mengonsumsi dua dosis sekaligus.
Jika dexamethasone yang diresepkan berbentuk tablet, konsumsilah dengan
disertai air dan jangan mengunyahnya. Obat ini harus dikonsumsi setelah makan
Dexamethason disimpan di tempat sejuk dan kering dalam wadah tertutup rapat
Jangan menghentikan pengobatan secara langsung. Penghentian obat dilakukan
dengan tapering off (penghentian perlahan dengan menurunkan dosisnya sedikit
demi sedikit)
Perbanyak mengonsumsi buah-buahan dan sayur-sayuran yang mengandung
vitamin dan mineral serta biji-bijan yang mengandung lemak esensial seperti
kedelai, kecambah dan kacang tanah.
Jika terjadi alergi atau overdose segera hubungi dokter
CETRIZINE
Mekanisme Kerja
Cetirizine merupakan metabolit dari hidroxyzine, generasi pertama antihistamin
piperizine.
Cetirizine menghambat secara selektif reseptor histamin H1 pada permukaan sel
efektor
Cetirizine memiliki aktivitas antikolinergik atau anti serotonergik yang minimal
dan terpenetrasi terbatas ke otak. Sehingga efek sedasinya kecil.
Pada dosis 5 sampai 10mg cetirizine sudah sapat menghambat edema, flare dan
priritus.
Sumber : http://www.medscape.com/viewarticle/7248512 ;
http://www.drugbank.ca/drugs/DB00341
Informasi Obat
CETIRIZINE
PUSTAKA
Komposisi
Cetirizine HCL 10 mg
Indikasi
Dosis
A to Z Drug Facts
BNF 61 march 2011
p.192
Kontraindikasi
Efek samping
http://www.drugs.com/s
fx/cetirizine-sideeffects.html
Perhatian
A to Z drug facts
Farmakokinetik
Cetirizine
cepat
diserap
dari
saluran
gastrointestinal
setelah
dosis
oral.
Konsentrasi puncak plasma yang dicapai dalam waktu sekitar satu jam. Makanan
dapat menunda waktu puncak konsentrasi plasma tetapi tidak mengurangi
jumlah obat yang diabsorpsi. Cetirizine sangat terikat protein plasma dan
memiliki waktu paruh eliminasi sekitar 10 jam. Cetirizine diekskresikan terutama
di urin.
(Martindale The Complete Drug Reference, 36th Edition Hal. 571)
Farmakodinamik
Cetirizine adalah antihistamin dengan efek sedative yang rendah dan mempunyai
sipat tambahan sebagai anti alergi. Cetirizine merupakan antagonis selektif
reseptor H1. Menghambat pelepasan histamin pada fase awal reaksi alergi,
mengurangi
migrasi
dari
sel
inflamasi
dan
melepaskan
mediator
yang
INTERAKSI
Aclidinium
Amfetamin
Azelastine
Baclofen
Benzlpeniciloyl
Betahistamine
Brimonidine
Buprenorfin
KIE
Cetirizine diberikan bersama atau tanpa makanan
Cetirizine dapat disimpan pada suhu kamar dan terlindung dari cahaya.
Anjurkan pada pasien untuk sering minum air, menghisap es tanpa gula, atau
mengunyah permen karet bila terjadi mulut kering.
Apabila pasien melakukan pengujian alergi kulit, disarankan untuk menghindari minum
obat selama minimal 4 hari sebelum tes.
Penggunaan Cetirizine bersamaan dengan alkohol atau depresan sistem saraf pusat
lainnya sebaiknya dihindari karena dapat terjadi peningkatan penurunan kewaspadaan
dan kerusakan sistem saraf pusat.
Cetirizine memiliki efek sedasi ringan, sehingga dianjurkan kepada pasien agar berhatihati dalam mengendarai kendaraan atau mengoperasikan mesin.
Memberitahu pasien bahwa alergi matahari mungkin terjadi dan untuk mengambil
tindakan perlindungan gunakan misalnya , tabir surya , pakaian yang dapat melindungi
terhadap paparan sinar ultraviolet atau sinar matahari.
UNGUENTUM
ZINCI OXIDI
Mekanisme Aksi
Seng oksida bekerja dengan membentuk penghalang di atas kulit yang
melindungi daerah dari kelembaban dan iritasi (
http://www.medicinenet.com/zinc_oxide-topical/article.htm )
Mendukung penyembuhan kulit; memberikan penghalang untuk kulit dari gesekan
& basah; memiliki sifat antiseptik lemah (Medscape ;
http://reference.medscape.com/drug/desitin-diaparene-diaper-rash-zinc-oxide-top
ical-999354#10
)
Mekanisme Aksi sebagai sifat antiseptik lemah. (drug information handbook ed
17th)
(Zinksalep)
R/ Zinci Oxyd
10
telah ditimbang
S.u.e
Nama Obat
Zinci Oksida
PUSTAKA
Komposisi
Indikasi
Dosis
Kontraindikasi
Efek Samping
Perhatian
Farmakokinetik
Tidak diserap secara sistemik. Bekerja lokal dimana dioleskan. Setelah 72 jam
diaplikasikan, penyerapan zinc secara perkutan meningkatkan konsentrasi zinc di
seluruh kulit dan epidermis.Ion zinc meresap ke dalam kulit, dan dapat ditemukan
dalam dermis dan darah.
Farmakodinamik
Zinc topikal dapat mengurangi acne dengan fungsinya sebagai antiseptik,
berpotensi untuk membersihkan infeksi pada kulit dan membantu membunuh
bakteri. Zinc topical memiliki drying effect pada kulit, yang dapat mengurangi
produksi minyak berlebih serta mencegah penyumbatan di pori-pori. Zinc topikal
akan membentuk suatu lapisan putih saat diaplikasikan pada wajah yang juga
efektif sebagai sun screen sehingga mengurangi faktor yang bisa menimbulkan
jerawat. Zinc topical (zinc oxide) juga meningkatkan reepitelisasi pada luka
sehingga membantu mempercepat proses penyembuhan luka.
(http://eprints.undip.ac.id/43710/3/BAB_2.pdf)
KIE
Zinc oxide topikal (untuk kulit) digunakan untuk mengobati ruam popok, luka bakar
ringan, berat kulit pecah-pecah, atau iritasi kulit ringan lainnya.
Menghindari obat ini di mulut atau mata. Jika hal ini terjadi, bilas dengan air segera.
Jangan menggunakan salep zink oksida pada luka kulit dalam atau luka bakar yang
parah.
Aplikasikan cukup obat ini untuk menutupi seluruh area yang akan diobati. Seng oksida
sering meninggalkan residu (bekas) putih tipis yang tidak dapat sepenuhnya digosok.
Untuk mengobati kulit pecah-pecah, luka bakar ringan, atau iritasi kulit lainnya,
menggunakan obat sesering yang diperlukan. Oleskan tipis-tipis ke daerah yang terkena
dan gosok dengan lembut.
Untuk mengobati ruam popok, gunakan obat ini setiap kali popok diganti. Hal ini
terutama penting untuk mengaplikasikan obat pada waktu tidur atau setiap kali akan
ada jangka waktu yang panjang untuk penggantian popok.
Menjaga daerah ruam popok dengan bersih dan kering untuk mencegah memburuknya
ruam kulit. Mengganti popok basah sesegera mungkin. Memungkinkan kulit untuk
benar-benar kering sebelum memakai popok baru.
Jika ruam popok memburuk atau tidak membaik dalam waktu 7 hari, maka segera
hubungi dokter kembali
Pasient Assesmant
Alamat pasien ?
Keluhan ?
Apa yang sudah dilakukan sebelum ke dokter?
Infromasi yang diberikan dokter?
Riwayat penyakit?
Riwayat pengobatan?
Riwayat alergi?
Dosis Literatur
Kesesuaian
Masalah Farmasetis
Penyelesaian
Analisis DRP
No. Jenis DRP
1.
Interaksi obat
2.
3.
Pemberian obat
tanpa indikasi
4.
5.
Overdose
6.
Underdose
7.
8.
Gagal mendapatkan
obat
Penyelesaian
Cara Peracikan
Lanjutan
Untuk Unguentum Zinci Oxid
Etiket biru, No. Resep : , tanggal :
Nama pasien :
Aturan pakai :
Label :
Turunan Resep
Perlu / Tidak :
Alasan :