Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1
2.1.1

HIV / AIDS
Definisi HIV / AIDS
HIV merupakan singkatan dari human immunodeficiency virus. HIV

merupakan retrovirus yang menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia


(terutama CD4 positif T-sel dan makrofag, komponen-komponen utama sistem
kekebalan sel), dan menghancurkan atau mengganggu fungsinya. Infeksi virus ini
mengakibatkan terjadinya penurunan sistem kekebalan yang terus-menerus, yang
akan mengakibatkan defisiensi kekebalan tubuh.5
Sistem kekebalan dianggap defisien ketika sistem tersebut tidak dapat lagi
menjalankan fungsinya memerangi infeksi dan penyakit. Orang yang kekebalan
tubuhnya defisien (immunodeficient) menjadi lebih rentan terhadap berbagai
macam infeksi, yang sebagian besar jarang menjangkiti orang yang tidak
mengalami defisiensi kekebalan. Penyakit-penyakit yang berkaitan dengan
defisiensi kekebalan yang parah dikenal sebagai infeksi oportunistik karena
infeksi-infeksi tersebut memanfaatkan sistem kekebalan tubuh yang melemah. 5
AIDS adalah singkatan dari acquired immunodeficiency syndrome yang
menggambarkan berbagai gejala dan infeksi yang terkait dengan menurunnya
sistem kekebalan tubuh. Infeksi HIV telah ditahbiskan sebagai penyebab AIDS.
Tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan
indikator bahwa infeksi HIV telah berkembang menjadi AIDS. 5
2.1.2

Epidemiologi HIV / AIDS


Laporan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral

Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan menyebutkan bahwa sampai


dengan tahun 2005 jumlah kasus HIV yang dilaporkan sebanyak 859 kasus, tahun
2006 sebanyak 7.195 kasus, tahun 2007 sebanyak 6.048 kasus, tahun 2008
sebanyak 10.362 kasus, tahun 2009 sebanyak 9.793 kasus, tahun 2010 sebanyak
21.591 kasus, tahun 2011 sebanyak 21.031 kasus, tahun 2012 sebanyak 21.511
kasus. Jumlah kasus HIV baru selama Januari-Maret 2013 sebanyak 5369 kasus.
Jumlah kumulatif kasus HIV yang dilaporkan sampai dengan Maret 2013

sebanyak 103.759 kasus. Jumlah kasus HIV tertinggi yaitu di DKI Jakarta
sebanyak 23.792 kasus diikuti Jawa Timur sebanyak 13.599 kasus, Papua
sebanyak 10.881 kasus, Jawa Barat sebanyak 7.621 kasus dan Bali sebanyak
6.819 kasus.6
Sampai dengan tahun 2004 jumlah kasus AIDS yang dilaporkan sebanyak
2.682 kasus, tahun 2005 sebanyak 2.639 kasus, tahun 2006 sebanyak 2.873 kasus,
tahun 2007 sebanyak 2.947 kasus, tahun 2008 sebanyak 4.969 kasus, tahun 2009
sebanyak 3.863 kasus, tahun 2010 sebanyak 5.744 kasus, tahun 2011 sebanyak
4.162 kasus dan tahun 2012 sebanyak 5686 kasus. Januari-Maret 2013 sebanyak
460 kasus. Jumlah kumulatif kasus AIDS dari tahun 1987 sampai dengan Maret
2013 sebanyak 43.347 kasus. 6
Berdasarkan jumlah kumulatif kasus AIDS, kasus tertinggi terdapat pada
kelompok umur 20-29 tahun (30,7%), kemudian diikuti kelompok umur 30-39
tahun (21,8%), 40-49 tahun (10%), 15-19 tahun (3,3%), dan 50-59 tahun (3%).
Sedangkan dari jenis kelamin, kasus AIDS pada laki-laki sebanyak 55,4% dan
perempuan 28,9%. Sementara 15,8% tidak melaporkan jenis kelamin.6
Jumlah kasus AIDS tertinggi adalah pada wiraswasta sebanyak 3.841
kasus, diikuti ibu rumah tangga sebanyak 2.982 kasus, tenaga non profesional
(karyawan) sebanyak 2.882 kasus, petani/peternak/nelayan sebanyak 1.051 kasus,
buruh kasar sebanyak 1.002 kasus, anak sekolah/mahasiswa sebanayak 885 kasus
dan penjaja seks sebanyak 702 kasus.6
Jumlah kasus AIDS terbanyak dilaporkan dari Papua sebanyak 7.795
kasus, Jawa Timur sebanyak 6.900 kasus, DKI Jakarta sebanyak 6.299 kasus,
Jawa Barat sebanyak 4.131 kasus, Bali sebanyak 3.344 kasus, Jawa Tengah
sebanyak 2.990 kasus, Kalimantan Barat sebanyak 1.699 kasus, Sulawesi Selatan
sebanyak 1.467 kasus, Banten sebanyak 885 kasus, dan Riau sebanyak 859 kasus.6
2.1.3

Cara Penularan HIV dari Ibu ke Anak


Banyak kalangan, termasuk juga tenaga kesehatan berasumsi bahwa semua

bayi yang dilahirkan oleh ibu HIV positif pastilah akan juga terinfeksi HIV karena
darah bayi menyatu dengan darah ibu di dalam kandungan. Ternyata, sirkulasi
darah janin dan ibu dipisahkan di plasenta oleh beberapa lapisan sel. Oksigen,
makanan, antibodi dan obat-obatan memang dapat menembus plasenta, tetapi HIV
biasanya tidak dapat menembusnya. Plasenta justru melindungi janin dari infeksi

HIV. Namun, jika plasenta meradang, terinfeksi, ataupun rusak, maka bisa jadi
virus HIV akan lebih mudah menembus plasenta, sehingga terjadi resiko
penularan HIV ke bayi.2
Penularan HIV umumnya terjadi pada saat persalinan ketika kemungkinan
terjadi percampuran darah ibu dan lendir ibu dengan bayi. Tetapi sebagian besar
bayi dari ibu HIV positif tidak tertular HIV. 2
Jika tidak dilakukan intervensi terhadap ibu hamil HIV positif, resiko
penularan HIV dari ibu ke bayi berkisar antara 25-45%. Ada 2 faktor utama yang
menjelaskan faktor resiko penularan HIV dari ibu ke bayi. 2
1. Faktor ibu dan bayi
2. Faktor cara penularan

Faktor Ibu dan Bayi2


Faktor Ibu
Faktor ibu faktor yang paling utama mempengaruhi resiko penularan HIV
dari ibu ke bayi adalah kadar HIV (viral load) di darah ibu pada menjelang
ataupun sat persalinan dan kadar HIV di air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya.
Umumnya, satu atau dua minggu setelah seseorang terinfeksi HIV,kadar
HIV akan cepat sekali bertambah di tubuh seseorang. Kadar HIV tertinggi sebesar
10juta kopi/ml darah terjadi 3-6 minggu setelah terinfeksi (disebut infeksi primer).
Setelah beberapa minggu, biasanya kadar HIV mulai berkurang dan relatif terus
rendah selama bebearapa tahun pada periode tanpa gejala (asimptomatik). Ketika
memasuki masa stadium AIDS (dimana tanda-tanda gejala AIDS mulai muncul),
kadar HIV kembali meningkat.
Cukup banyak orang dengan HIV/AIDS yang kadar HIV-nya sangat
rendah sehingga menjadi sulit untuk dideteksi di dalam darah (kurang dari
100kopi/ml). Umumnya, kondisi terjadi pada ODHA yang telah minum obat
antiretroviral secara teratur denagn benar. Pada kebanyakan ODHA, kadar HIV
berkisar antara 10.000-100.000 kopi/ml. Risiko penularan HIV sangat kecil jika
kadar HIV rendah (kurang dari 1000 kopi/ml), sementara jika kadar HIV di atas
100.000 kopi/ml risiko penularan HIV dari ibu ke bayi menjadi tinggi.
Risiko penularan akan lebih besar jika ibu memiliki kadar HIV yang tinggi
pada menjelang ataupun saat persalinan. Status kesehatan dan gizi ibu juga
mempengaruhi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi. Ibu dengan sel CD4 yang
rendah (menurunnya sistem pertahan tubuh) mempunyai risiko penularan yang

lebih besar, terlebih jika jumlah sel CD4 kurang dari 200. Ada hubungan langsung
antara CD4 dan kadar HIV karena semakin tinggi kadar HIV semakin rendah CD4
di tubuh ODHA.
Jika ibu memiliki berat badan rendah selama kehamilan serta kekurangan
vitamin dan mineral maka risiko terkena berbagai penyakit infeksi juga
meningkat. Biasanya, jika ibu menderita Infeksi Menular Seksual (IMS) atau
infeksi reproduksi lainnya maka kadar HIV akan meningkat, sehingga
meningkatkan risiko penularan HIV ke bayi. Malaria juga bisa meningkatkan
risiko penularan, karena parasit malaria merusak plasenta sehingga memudahkan
HIV menembus plasenta untuk menginfeksi bayi. Malaria juga meningkatkan
risiko bayi lahir prematur yang dapat memperbesar risiko penularan HIV dari ibu
ke bayi.
Semakin rendah jumlah sel CD4 akan semakin besar risiko penularan HIV
dari ibu ke bayi melalui pemberian

Air Susu Ibu (ASI). Sebuah studi

menunjukkan bahwa ibu dengan CD4 kurang dari 200 memiliki risiko untuk
menularkan HIV ke bayinya jauh lebih besar dibandingkan ibu engan CD4 diatas
500. Risiko penularan HIV melalui pemberian ASI akan bertambah jika terdapat
adanya masalah pada payudara ibu, seperti mastitis, abses, luka di puting
payudara. Sebagian besar masalah payudara dapat dicegah dengan teknik
menyusui yang baik. Konseling kepada ibu tentang cara menyusui yang baik
dengan demikian dapat mengurangi risiko masalah-masalah dan risiko penularan
HIV.
Risiko penularan HIV pasca persalinan akan menjadi berlipat (sekitar
30%) jika ibu terinfeksi HIV ketika sedang masa menyusui bayinya karena kadar
HIV meningkat pesat pada saat tersebut (infeksi primer) yang bisa memperbesar
risiko penularan HIV ke bayi. Dengan demikian, berbagai upaya harus dilakukan
untuk mencegah terjadinya penularan HIV pada ibu yang sedang hamil dan
menyusui, serta menjaga kondisi kesehaatn dan nutrisinya selama menyusui.
Faktor Bayi
Bayi yang lahir prematur dan memiliki berat badan lahir rendah diduga
lebih rentan untuk tertular HIVdikarenakan sistem organtubuh bayi tersebut belum
berkembang baik, seperti sistem kulit dan mukosa, dan lain-lain.
Seorang bayi dari ibu HIV positif bisa jadi tetap HIV negatif selama masa

kehamilan dan proses persalinan, tetaopi mungkin akan terinfeksi HIV melalui
pemberian ASI. HIV terdapat di dalam ASI, meskipun konsentrasinya jauh lebih
kecil dibandingkan HIV di dalam darah. Antara 10-20% bayi yang dilahirkan oleh
ibu HIV positif akan terinfeksi HIV melalui pemberian asi (hingga 18 bulan atau
lebih).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi tingkat risiko penularan HIV melalui pemberian ASI, yaitu

Umur Bayi
Risiko penularan melalui ASI akan lebih besar pada bayi yang baru lahir.
Antara 50-70% dari semua penularan HIV melalui ASI terjadi pada usia
enam bulan pertama bayi. Setelah tahun kedua umur bayi, risiko penularan
menjadi lebih rendah.

Luka di mulut Bayi


Bayi yang memiliki luka di mulutnya memiliki risiko untuk tertular HIV
lebih besar ketika diberikan ASI.

Faktor Cara Penularan


Sebagian besar penularan HIV dari ibu ke bayi terjadi pada saat persalinan.
Ketika proses persalinan, tekanan pada plasenta meningkat yang bisa
menyebabkan terjadinya sedikit percampuran antara darah ibu dan darah bayi. Hal
ini lebih sering terjadi jika plasenta meradang atau terinfeksi.
Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Kulit
dari bayi yang baru lahir masih sangat lemah dan lebih mudah terinfeksi jika
kontak dengan HIV. Bayi mungkin juga terinfeksi karena menelean darah ataupun
lendir ibu.
Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari
ibu ke bayi juga semakin meningkat karena akan semakin lama terjadinya kontak
antara bayi dengan darah dan lendir ibu. Ketuban pecah lebih dari empat jam
sebelum persalinan akan meningkatkan risiko penularan hingga dua kali lipat
dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari empat jam sebelum persalinan.
Faktor lain yang kemungkinan meningkatkan risiko penularan selama
proses persalinan adalah penggunaan elektrode pada kepala janin, penggunaan
vakum atau forseps dan tindakan episiotomi.
Bayi yang diberikan asin ekslusif kemungkinan memiliki risiko terinfeksi

HIV lebih rendah dibandingkan bayi yang mengkonsumsi makanan campuran


yaitu tak hanya ASI tetapi juga susu formula dan makaanan padat lainnya. Hal ini
diperkirakan karena air dan makanan yang kurang bersih (terkontaminasi) akaan
merusak usus bayi yang mendapatkan makaanan campuran, sehingga HIV dan
ASI bisa masuk ke tubuh bayi.
Semakin lama pemberian ASI, akan semakin besar kumulatif risiko
penularan HIV dari ibu ke bayi. Pada usia 5 bulan pertama pemberian ASI
diperkirakan risiko penularan sebesar 0,7% per bulan. Antara 6-12 bulan, risiko
sebesar 0,5% per bulan dan antara 13-24 bulan, risiko bertambah lagi sebesar
0,3% per bulan. Dengan demikian, memperpendek masa pemberian ASI dapat
mengurangi risiko bayi terinfeksi HIV.
2.1.4

Gejala dan Tanda HIV


Sebagian besar orang yang terinfeksi HIV tidak menyadarinya karena tidak

ada gejala yang tampak segera setelah terjadi infeksi awal. Beberapa orang
mengalami gangguan kelenjar yang menimbulkan efek seperti demam (disertai
panas tinggi, gatal-gatal, nyeri sendi, dan pembengkakan pada limpa), yang dapat
terjadi pada saat seroconversion. Seroconversion adalah pembentukan antibodi
akibat HIV yang biasanya terjadi antara 6 minggu dan 3 bulan setelah terjadinya
infeksi.5 Kendatipun infeksi HIV tidak disertai gejala awal, seseorang yang
terinfeksi HIV sangat mudah menularkan virus tersebut kepada orang lain. Satusatunya cara untuk menentukan apakah HIV ada di dalam tubuh seseorang adalah
melalui tes HIV. 5
Infeksi HIV menyebabkan penurunan dan melemahnya sistem kekebalan
tubuh. Hal ini menyebabkan tubuh rentan terhadap infeksi penyakit dan dapat
menyebabkan berkembangnya AIDS.
Sebagian besar orang yang terkena HIV, bila tidak mendapat pengobatan,
akan menunjukkan tanda-tanda AIDS dalam waktu 8-10 tahun. AIDS
diidentifikasi berdasarkan beberapa infeksi tertentu, yang dikelompokkan oleh
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) sebagai berikut:5
1. Tahap I penyakit HIV tidak menunjukkan gejala apapun dan tidak

dikategorikan sebagai AIDS.


2. Tahap II (meliputi manifestasi mucocutaneous minor dan infeksi-infeksi

saluran pernafasan bagian atas yang tak sembuh- sembuh)

10

3. Tahap III (meliputi diare kronis yang tidak jelas penyebabnya yang

berlangsung lebih dari satu bulan, infeksi bakteri yang parah, dan TBC
paru-paru), atau
4. Tahap IV (meliputi toksoplasmosis pada otak, kandidiasis pada saluran

tenggorokan (oesophagus), saluran pernafasan (trachea), batang saluran


paru-paru (bronchi) atau paru-paru dan sarkoma saposi).
2.2

Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PMTCT)

2.2.1

Definisi PMTCT
PMTCT (Prevention of Mother to Child HIV Transmission) adalah suatu

upaya untuk mencegah infeksi HIV pada perempuan, serta mencegah penularan
HIV dari ibu hamil ke bayinya. PMTCT terdiri dari:4
1.
2.
3.
4.
2.2.2

Prong I mencegah Wanita Usia Subur tertular HIV


Prong II merencanakan kehamilan bagi ODHA perempuan
Prong III menemukan kasus HIV pada bumil
Prong IV adalah CST
Tujuan Program PMTCT4

Program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi bertujuan untuk :


1. Mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi
Sebagian besar infeksi HIV ditemukan pada perempuan dalam usia
reproduksi aktif dan sebagian besar kasus infeksi HIV pada bayi disebabkan
penularan dari Ibu. Infeksi yang ditularkan dari ibu ini kelak dapat
mengganggu kesehatan anak terutama dalam hal tumbuh kembang anak.
Anak yang terinfeksi HIV memiliki keterbatasan pada daya tahan tubuhnya
yang menjadikan anak mudah lelah juga mengalami kesulitan berekspresi
dalam hal fisik. Di sisi lain, setiap anak juga berhak hidup sehat, memiliki
panjang umur, dan mengembangkan potensi terbaik yang dimilikinya.
Untuk itu tentu memerlukan upaya intervensi dini yang baik, mudah dan
mampu laksana guna menekan proses penularan tersebut.
2. Mengurangi dampak epidemi HIV terhadap ibu dan bayi
Dampak akhir dari epidemi HIV berupa berkurangnya kemampuan
produksi dan peningkatan beban biaya hidup yang harus ditanggung oleh
ODHA dan masyarakat Indonesia di masa mendatang karena morbiditas dan

11

mortalitas terhadap Ibu dan Bayi. Epidemi HIV terutama terhadap Ibu dan
Bayi tesebut sangatlah penting dan perlu diperhatikan, dipikirkan dan
diantisipasi sejak dini untuk menghindari terjadinya dampak akhir tersebut.
2.2.3

Sasaran Program PMTCT4


1. Peningkatan Kemampuan Manajemen Pengelola Program PMTCT.
2. Peningkatan akses informasi mengenai PMTCT.
3. Peningkatan akses intervensi PMTCT pada ibu hamil, bersalin dan
nifas.
4. Peningkatan akses pelayanan Dukungan Perawatan dan Pengobatan
(Care, Support dan Treatment) bagi ibu dan bayi.

2.2.4

Bentuk Bentuk Intervensi PMTCT4

1. Mengurangi jumlah ibu hamil dengan HIV positif


Penularan infeksi virus ke neonatus dan bayi terjadi secara trans
-plasenta dan intra-partum. Berdasarkan sifat infeksi terhadap ibu, ada
perbedaan variasi risiko penularan dari ibu ke bayi selama kehamilan:
a. Infeksi primer ( HSV/ Herpes Simpleks Virus, HIV1).
b. Infeksi Sekunder/ Reaktivasi (HSV, CMV/ Cyto Megalo Virus),
atau Infeksi Kronis (Hepatitis B, HIV1).
Mengingat adanya kemungkinan transmisi vertikal dan adanya
kerentanan tubuh selama proses kehamilan, maka pada dasarnya
perempuan dengan HIV positif tidak dianjurkan untuk hamil. Akan tetapi,
dengan alasan hak asasi manusia, perempuan ODHA dapat memberikan
keputusan untuk hamil setelah melalui proses konseling, pengobatan dan
pemantauan. Pertimbangan untuk mengijinkan ODHA hamil antara lain:
apabila daya tahan tubuh cukup baik (CD4 di atas 500), kadar virus (viral
load) minimal/ tidak terdeteksi (kurang dari 1.000).
2. Menurunkan viral load/ kadar virus serendah rendahnya
Obat antiretroviral (ARV) yang tersedia hingga kini baru berfungsi
untuk menghambat multiplikasi virus, namun belum dapat menghilangkan
secara menyeluruh keberadaan virus dalam tubuh ODHA. Sekalipun
demikian, ARV merupakan pilihan utama dalam upaya pengendalian

12

penyakit guna menurunkan kadar virus dalam tubuh.


3. Meminimalkan paparan janin dan bayi terhadap cairan tubuh ibu
Persalinan dengan seksio sesarea berencana sebelum persalinan
tiba merupakan pilihan utama pada ODHA. Pada saat persalinan
pervaginam, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Bayi
mungkin juga terinfeksi karena menelan darah atau lender pada jalan lahir
tersebut (secara tidak sengaja pada saat resusitasi). Beberapa hasil
penelitian menyimpulkan bahwa seksio sesarea akan mengurangi risiko
penularan HIV dari ibu ke bayi sebesar 50-66%. Apabila seksio sesarea
tidak bisa dilaksanakan, maka dianjurkan untuk tidak melakukan tindakan
invasif yang memungkinkan perlukaan pada bayi (pemakaian elektrode
pada kepala janin, ekstraksi forseps, ekstraksi vakum) dan perlukaan pada
ibu (episiotomi).
Penularan

melalui ASI pada

infeksi

HIV1 dan

HTLV-I

teridentifikasi ada dalam kolustrum dan ASI, menyebabkan infeksi kronis


yang serius pada bayi dan anak. Oleh karenanya ibu hamil HIV positif
perlu mendapat konseling sehubungan dengan keputusannya untuk
menggunakan susu formula ataupun ASI eksklusif. Untuk mengurangi
risiko penularan, Ibu HIV positif bisa memberikan susu formula kepada
bayinya. Pemberian susu formula harus memenuhi 5 persyaratan AFASS
dari WHO (Acceptable = mudah diterima, Feasible = mudah dilakukan,
Affordable = harga terjangkau, Sustainable = berkelanjutan, Safe = aman
penggunaannya). Pada daerah tertentu dimana pemberian susu formula
tidak memenuhi persyaratan AFASS maka ibu HIV positif dianjurkan
untuk memberikan ASI eksklusif hingga maksimal 3 bulan, atau lebih
pendek jika susu formula memenuhi persyaratan AFASS sebelum 3 bulan
tersebut. Setelah usai pemberian ASI eksklusif, bayi hanya diberikan susu
formula dan menghentikan pemberian ASI. Sangat tidak dianjurkan
pemberian makanan campuran (mixed feeding), yaitu ASI bersamaan
dengan susu formula/ PASI lainnya.
Risiko penularan HIV melalui pemberian ASI akan bertambah jika
terdapat permasalahan pada payudara (mastitis, abses, lecet/luka putting

13

susu). Oleh karenanya diperlukan konseling kepada ibu tentang cara


menyusui yang baik sehingga risiko penularan pada anak dapat menurun.
2.2.5 Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi melalui 4 Prong4
1.

Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia


reproduksi. Untuk menghindari penularan HIV digunakan konsep
ABCDE yang terdiri dari:
a. A(Abstinence): Absen seks atau tidak melakukan hubungan
seksual bagi orang yang belum menikah.
b. B(Be faithful): Bersikap saling setia kepada satu pasangan
seks (tidak berganti-ganti).
c. C(Condom): Cegah dengan kondom. Kondom harus dipakai
oleh pasangan apabila salah satu atau keduanya diketahui
terinfeksi HIV.
d. D(Drug No): Dilarang menggunakan napza, terutama napza
suntik dengan jarum bekas secara bergantian.
e. E(Education): Edukasi, beberapa kegiatan yang dapat
dilakukan dalam upaya pencegahan primer antara lain :
Menyebar luaskan informasi mengenai HIV/AIDS.
- Meningkatkan kesadaran perempuan tentang
bagaimana cara menghindari

penularan HIV dan

IMS.
Menjelaskan manfaat dari konseling dan tes HIV

secara sukarela.
Mengadakan
penyuluhan

HIV/AIDS

secara

berkelompok.
- Mempelajari tentang pengurangan risiko penularan

HIV dan IMS (termasuk penggunaan kondom).


Bagaimana bernegosiasi seks aman (penggunaan

kondom) dengan pasangan.


Mobilisasi masyarakat untuk membantu masyarakat
mendapatkan

akses

terhadap

informasi

tentang

HIV/AIDS.
- Melibatkan petugas lapangan (kader PKK, bidan,
dan

lainnya)

untuk

memberikan

informasi

pencegahan HIV dan IMS kepada masyarakat untuk

14

membantu

klien

mendapatkan

akses

layanan

kesehatan.

Konseling untuk perempuan HIV negatif. Ibu hamil yang


hasilnya tesnya HIV negatif perlu didukung agar status
dirinya tetap HIV negatif.
-

Menganjurkan agar pasangannya menjalani tes HIV.

2. Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif.


Pemberian alat kontrasepsi yang aman dan efektif serta
konseling yang berkualitas akan membantu ODHA dalam melakukan
seks

yang

aman,

mempertimbangkan

jumlah

anak

yang

dilahirkannya, serta menghindari lahirnya anak yang terinfeksi HIV.


Untuk mencegah kehamilan alat kontrasepsi yang dianjurkan adalah
kondom, karena bersifat proteksi ganda. Kontrasepsi oral dan
kontrasepsi hormon jangka panjang (suntik dan implan) bukan
kontraindikasi pada ODHA.
Pemakaian AKDR tidak dianjurkan karena bisa menyebabkan
infeksi asenderen. Jika ibu HIV positif tetap ingin memiliki anak,
WHO menganjurkan jarak antar kelahiran minimal 2 tahun.
3. Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu HIV positif kepada bayi
yang dikandungnya. Bentuk intervensi berupa:
a.
b.
c.
d.

Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang komprehensif.


Layanan konseling dan tes HIV secara sukarela (VCT).
Pemberian obat antiretrovirus (ARV).
Konseling tentang HIV dan makanan bayi, serta pemberian

makanan bayi.
e. Persalinan yang aman
4. Memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu
HIV positif, beserta bayi dan keluarganya.
Upaya PMTCT tidak terhenti setelah ibu melahirkan. Karena
ibu tersebut terus menjalani hidup dengan HIV di tubuhnya, maka
membutuhkan dukungan psikologis, sosial dan perawatan sepanjang
waktu. Jika bayi dari ibu tersebut tidak terinfeksi HIV, tetap perlu
dipikirkan tentang masa depannya, karena kemungkinan tidak lama

15

lagi akan menjadi yatim dan piatu. Sedangkan bila bayi terinfeksi
HIV, perlu mendapatkan pengobatan ARV seperti ODHA lainnya.
Dengan dukungan psikososial yang baik, ibu HIV positif akan
bersikap

optimis

dan

bersemangat

mengisi

kehidupannya.

Diharapkan ia mampu bertindak bijaksana dan positif untuk


senantiasa menjaga kesehatan diri dan anaknya, dan berperilaku
sehat agar tidak terjadi penularan HIV dari dirinya ke orang lain.

16

3.2.9Alur Mobile PMTCT


Pasien datang

Registrasi

Penyuluhan

Konseling

Tidak berisiko

Berisiko

Tes

Positif

Negatif

Bagan 1. Alur Mobile PMTC


Konseling pasca tes

Konseling lanjutan CST

Konseling pasca tes

Pendampingan

17
Partisipasi Pria

IBU HAMIL

Mobilisasi Masyarakat

Pelayanan KIA untuk Ibu Hamil di Klinik KIA, Puskesmas


Penyuluhan Kesehatan dan PMTCT

Informasi Konseling dan Tes HIV Sukarela/VCT

Tak Bersedia dikonseling


Pra Tes

Tidak bersedia dites HIV

Bersedia dikonseling
Pra Tes

Bersedia dites HIV

Pemeriksaan Laboratorium
Konseling untuk tetap HIV negatif dan evaluasi berkala

Konseling Pasca Tes

Hasil Tes HIV Negatif

Hasil Tes HIV positif


Konseling dan Pemberian antiretroviral

Bagan 2. Alur Proses Ibu Hamil Menjalani Kegiatan Prong 3 dalam Pencegahan
Penularan HIV dari Ibu ke Bayi 2,5
Konseling dan Pemberian Makanan Bayi

Persalinan yang Aman

Dukungan Psikososial dan Perawatan bagi Ibu HIV positif dan bayinya

Anda mungkin juga menyukai