BAB 1
PENDAHULUAN
1996 prevalensi syok didapatkan 16%-40% pada hampir di seluruh rumah sakit di
Indonesia dengan angka kematian 5,7%-50% (Raihan dan Alan, 2010). Pada tahun
2005, di wilayah Asia Tenggara terjadi peningkatan kasus infeksi dengue sebanyak
19% dan peningkatan kasus kematian sebanyak 43%. Di indonesia peningkatan kasus
tersebut sebanyak 53%. Setiap tahun terjadi 500.000 kasus infeksi dengue syok
sindrom yang memerlukan perawatan rumah sakit (Rahayu dkk., 2011).
Berdasarkan data epidemiologi nasional, sejak tahun 2007 kasus DBD di
Indonesia sudah terjadi di 33 provinsi. Angka kejadian DBD di Indonesia mengalami
fluktuasi setiap tahun, namun pada akhirnya akan cenderung meningkat. Pada tahun
2006 kasus DBD diperkirakan sebanyak 114.656 kasus, lalu meningkat menjadi
158.115 kasus pada tahun 2007. Sedangkan pada tahun 2008 terjadi penurunan kasus
DBD, yaitu menjadi 137.469 kasus. Namun pada tahun 2009 kasus DBD kembali
meningkat melebihi kasus pada tahun 2007, yaitu menjadi 158.912 kasus.
Di Indonesia, DBD masih menjadi masalah yang selalu menyita perhatian
pemerintah dan masyarakat setiap tahunnya. Hingga tahun 2006, World Health
Organization (WHO) menempatkan Indonesia di peringkat pertama pada angka
kejadian dan kematian akibat DBD di Asia Tenggara. Kejadian Luar Biasa (KLB)
terakhir tercatat pada tahun 2006, yakni terdapat 80.837 kasus DBD di Indonesia
dengan jumlah korban meninggal sebanyak 1.099 orang dan merupakan angka
tertinggi di kawasan Asia Tenggara (Bakti dkk., 2011).
Pada tahun 2006, kabupaten/kota di Indonesia yang memiliki IR antara 100-
jumlah leukosit e.500/L pada 62,8% kasus, peningkatan hematokrit >20% terjadi
pada 72,1% kasus (Risniati dkk, 2011). Penelitian lain (Rahayu dkk, 2011),
mendapatkan profil menurut usia rata-rata pada umur 7,2 tahun, jenis kelamin tidak
ada perbedaan signi
ifikan, hepatomegali terjadi pada 84% kasus, rata-rata hemoglobin 14,2 g/d dan
hematokrit 41,7%. Profil sindrom syok dengue yang berbeda tersebut menimbulkan
kesenjangan.
Sebagian besar penelitian mengenai demam berdarah, terutama pada kasus sindrom
syok dengue cenderung hanya menekankan pada gambaran umum yang tidak
spesifik. Seperti pada demografi, masih jarang peneliti melihat bagaimana distribusi
penderita menurut tempat tinggal dan suku bangsa. Selama ini penelitian hanya lebih
mengkhususkan pada usia dan jenis kelamin. Secara umum belum banyak penelitian
yang mempelajari secara holistik dari berbagai faktor bagaimana penyakit itu terjadi.
Penelitian yang mengkhususkan meneliti profil sindrom syok dengue masih belum
banyak karena penelitian sebelumnya lebih dilihat dari demam berdarah dengue.
Profil atau karakteristik dari sindrom syok dengue perlu diberi perhatian lebih karena
gejala dan hasil laboratorium sangat berbeda dari yang dilihat pada demam berdarah
dengue.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang
Profil Anak dengan Sindrom Syok Dengue di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
Denpasar.
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Dengue disebabkan oleh infeksi salah satu dari empat serotipe virus,
contohnya dengue 1-4. Infeksi satu serotipe virus menyebabkan imunitas seumur
hidup terhadap infeksi berulang oleh serotipe yang sama, namun tidak dengan
serotipe yang lain. Kebanyakan infeksi dengue adalah tanpa gejala namun dapat
bermanifestasi berupa demam tidak spesifik atau perjalanan menuju penyakit
yang berat.
Aedes aegypti merupakan vektor virus dengue yang utama. Nyamuk dewasa
tinggal di dalam ruangan dan menggigit saat siang hari. Mereka beradaptasi
untuk berkembangbiak di lingkungan manusia, seperti pada tempat penampungan
air, vas bunga, kaleng, ban lama, dan barang-barang bekas lainnya. Vektor kedua
dari virus dengue adalah Ar albopictus, yang berpengaruh secara signifikan pada
penularan di Asia dan Amerika Latin. Wabah dengue juga disebabkan oleh Ae
polynesiensis dan Ae scutellaris, namun dalam wilayah yang lebih sempit.
2.2 Epidemiologi
Infeksi virus dengue memiliki karakteristik terjadi kejadian luar biasa (KLB)
atau epidemi secara periodik. Dalam kurun waktu 30 tahun terdapat lima KLB
demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia yang cukup bermakna yaitu pada
tahun 1973, 1983, 1988, 1998 dan 2004. Kejadian luar biasa pada tahun 2004
terjadi di 12 propinsi di Indonesia dengan jumlah kasus 59.321 kasus dan
kematian 669 orang dengan CFR 1,1% (Depkes RI., 2004).
Pada tahun 2006 total kasus DBD di Indonesia menurun, total jumlah
penderita DBD mencapai 18.929 orang. Sedangkan, korban yang meninggal
sebanyak 192 orang dengan CFR 1,0 %. Pada tahun 2007 tingkat kematian oleh
karena DBD 1,8% lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, total penderita
DBD mencapai 8.019 orang dan korban meninggal sebanyak mencapai 144
orang (Depkes RI., 2008).
Vektor dari virus dengue adalah Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus. Kedua
vektor ini memiliki sifat yang berbeda. Aedes Aegypti bersifat antropofilik yaitu
senang sekali pada manusia, dan mempunyai kebiasaan mengigit berulang.
Sedangkan Aedes Albopictus merupakan nyamuk luar rumah (Sutaryo, 2004).
Timbulnya suatu
10
2.2.2 Host
Host adalah manusia yang peka terhadap infeksi virus dengue, ada
beberapa faktor yang mempengaruhi kepekaan :
2.2.2.1 Umur
Merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepekaan
terhadap infeksi virus dengue, umur terbanyak untuk terjadi DBD
adalah usia 10 14 tahun (37%), usia 4 9 tahun (36%) dan usia 15
24 tahun 15%
11
perdarahan
gastrointestinal,
kegagalan
respirasi,
dan
2.2.2.3 Ras
Di Indonesia sangat sulit membedakan ras karena kebanyakan
kasus adalah penduduk asli Indonesia (Sutaryo, 2004). Di Kuba
kejadian DBD atau SSD lebih banyak terdapat pada orang dengan
kulit putih dibanding pada orang kulit hitam (Gusman dkk.,2010)
12
Kalayanarooj dkk.
2.2.2.5 Genetik
Hubungan antara DBD atau SSD dan sistem histokompatibilitas
atau HLA, HLA-A1, HLA-B blank, HLA-CW1 dan HLA-A29
lebih bermakna terkena DBD. Suatu korelasi yang positif terjadi
antara SSD dengan HLA-A2 dan HLA-blank (WHO.,2008).
Meningkatnya
kepadatan
penduduk
akan
13
(Benjamin, 2005)
2.2.3 Lingkungan
Curah hujan yang tinggi akan menguntungkan nyamuk untuk
berkembang biak ditambah lagi di daerah pedesaan masih banyak tempat
untuk berkembang biak nyamuk misalnya rumpun bambu, lubang di
pohon. Di perkotaan dengan tersedianya bahan sekali pakai tanpa
diimbangi dengan perilaku membuang bahan bekas pada tempat
semestinya sehingga kalau terisi air akan menjadi tempat perindukan
nyamuk (Sutaryo, 2004; WHO., 2008)
2.3 Patofisiologi
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes
14
aegypti atau
Aedes albopictus.
2004).
2.3.1 Makrofag
Makrofag yang terinfeksi akan menjadi aktif dan akan melepaskan
sitokin secara besar-besaran. Sitokin yang diproduksi diantaranya IL-1, IL6, TNF alfa dan platelet activating factor (PAF) yang memiliki sifat
vasoaktif atau prokoagulasi, mediator-mediator tersebut di hipothalamus
akan menyebabkan demam, di hepatosit akan merangsang sekresi protein
fase aktif, pada sel-sel endotel dinding pembuluh darah dan sistem
hemostatik yang akan mengakibatkan kebocoran plasma dan perdarahan
(Soegijanto, 2006; Martina dkk., 2009)
15
darah. Pada infeksi virus dengue menyebabkan timbul celah pada endotel
dan juga nekrosis sehingga terjadi kerusakan pada endotel pembuluh darah.
Perubahan fungsi endotel disebabkan oleh pelepasan sitokin atau mediator
kimia sebagai respon imun penderita dan juga replikasi virus dengue yang
memacu sinyal apoptosis sehingga menyebabkan kematian sel (Martina
dkk., 2009). Endotel secara langsung dapat terinfeksi oleh virus dengue.
Secara in vitro respon endotel terhadap infeksi dengue adalah dengan
mensekresi IL-6, IL-8 dan RANTES (Regulated on Activated T Cell
Expressed and Secreted). Disamping itu infeksi virus dengue pada endotel
akan mengaktivasi komplemen dan menginduksi ekspresi molekul adhesi
seperti ICAM-1 (Intercellular Adhesion Molecul-1). Ekspresi ICAM-1
bersama
RANTES
mengakibatkan peningkatan
16
atau
berlangsung
singkat(24-48jam).
Hemostasis abnormal yang disebabkan oleh vaskulopati, trombositopeni dan
17
18
(Soegijanto, 2006).
19
dkk.,2003).
Kelainan darah tepi demam dengue ialah leukopenia selama periode pra
demam dan demam, netrofilia relatif dan limfopenia, disusul oleh
netropenia relatif dan limfositosis pada periode puncak penyakit dan pada
masa penyembuhan. Eosinofil menurun atau menghilang pada permulaan
dan pada puncak penyakit, sel plasma meningkat pada periode
memuncaknya penyakit dengan terdapatnya trombositopenia. Darah tepi
menjadi normal kembali dalam satu minggu (Sumarmo dkk., 2008).
Komplikasi demam dengue walaupun jarang ialah orkhitis atau ovaritis,
keratitis dan retinitis. Kelainan neurologis yang dilaporkan diantaranya
penurunan kesadaran, paralisis sensorium yang bersifat sementara,
meningismus dan ensefalopati (Sumarmo dkk., 2008).
20
21
22
Definisi
Demam dan gejala nonspesifik, dengan hanya tes torniquet
positif menjadi manifestasi adanya pendarahan
Derajat II
Derajat III*
23
hipotensi
Derajat IV*
BAB IV
METODE PENELITIAN
24
25
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah pasien SSD usia 0-12 tahun
yang dirawat di RSUP sanglah dalam kurun waktu Januari 2012Desember 2013 dan memiliki rekam medik lengkap. Kasus pada
penelitian ini adalah anak yang menderita SSD, dengan kriteria:
26
Jempiring dan Pudak RSUP Sanglah Denpasar pada bulan Januari 2012Desember 2013 dan memenuhi kriteria inklusi.
4.4 Variabel
27
1) Usia
Ditentukan berdasarkan usia kronologis (tanggal lahir),
dinyatakan dalam toddler (1-3 tahun), prasekolah (3-6
tahun) dan sekolah (6-12 tahun).
2) Jenis Kelamin
Jenis kelamin anak yang dirawat dengan sindrom
syok dengue yang dibedakan menjadi laki-laki dan
perempuan.
3) Tempat Tinggal
Alamat pasien pada saat dirawat atau tempat tinggal
dimana pasien terkena demam berdarah.
4) Suku bangsa
4.4.2.2 Gambaran klinis
1) Status gizi
28
2) Nadi
Nadi yang diukur pada hari pertama terdiagnosis
SSD. Diklasifikasikan menjadi
3) Lama Demam
Lama
pasien
4) Lama Rawat
29
5) Hepatomegali
Pembesaran hati dua cm di bawah arcus
costarum atau di bawah processus xipoideus (WHO.,
2009). Data hepatomegali diambil pada saat hari
pertama penderita dirawat di rumah sakit.
6) Tekanan Darah
Tekanan darah pasien pada saat hari pertama
terdiagnosis SSD
7) Outcome
Keadaan pasien pada saat keluar dari rumah sakit
dibedakan menjadi hidup atau meninggal.
sakit.
Kadar
hematokrit
dikategorikan
30
menjadi:
(1) Kadar hematokrit 46%
(2) Kadar hematokrit < 46% (Kan dkk., 2004)
hematokrit
tertinggi.
Kadar
hemoglobin
dikategorikan menjadi:
(1) Kadar hemoglobin 14 g/dL
(2) Kadar hemoglobin < 14 g/dL (Mayetti, 2010)
hematokrit
tertinggi.
Jumlah
trombosit
dikategorikan menjadi:
(1) Jumlah trombosit d50.000/L
(2) Jumlah trombosit > 50.000/L (Kan dkk., 2004)
pada
hari
pertama
perawatan
31
32
Penelitian diawali dengan persiapan alat dan bahan. Tahap pertama penelitian
dimulai dengan pengambilan data rekam medis dari RSUP Sanglah. Tahap
selanjutnya adalah mengkaji data yang telah masuk ke dalam kriteria inklusi.
1. Pengambilan data register rawat inap pasien anak di bangsal Pudak dan
Jempiring periode Januari 2012 - Desember 2013 dan mencatat nomor rekam
medis.
2. Mencari rekam medis di bank rekam medis sesuai nomor yang dicari.
33
34
Daftar Pustaka
1 Poo, Jorge MD. Galan, Francisco MD. Forrat, Remi MD. Zambrano,
Betzana MD. Lang, Jean MD. and Dayan, Gustavo H. MD. 2011. Liveattenuated Tetravalen Dengue Vaccine in Dengue-naive Children,
Adolescents, and Adults in Mexico City. The Pediatric Infectious Disease
Journal. Vol. 30; 9-17
2 Sun, Wellington. Cunningham, Dennis. Wasserman, Steven S. Perry,
Judith. Putnak, J. Robert. Eckels, Kenneth H. Vaughn, David W. Thomas,
Stephen J. Kanesa-Thasan, Niranjan. Innis, Bruce L. and Edelman,
Robert. 2009. Phase 2 Clinical Trial of Three Formulation of Tetravalen
Live-Attenuated Dengue Vaccine in Flavivirus-Naive Adults. Human
Vaccines 5:1, 33-40;
3 Nguyen TH, Tran VG, Dinh HDT, Mihoko K, Trab TH, Javier Z, Kenji H.
2013. Factors Associated with Dengue Shock Syndrome: A Systematic
Review and Meta-Analysis.
4 Raihan, Sri Rezeki SH, Alan RT. 2010. Faktor Prognosis Terjadinya Syok
pada Demam Berdarah Dengue. Sari Pediatri. Vol 12 47-51
5 Rahayu, Dany H, Djatnika S. 2011. AB Blood Group as a Risk Factor for
Dengue Shock Syndrome in Children. Majalah Kedokteran Indonesia. Col
58.; 383-387
6 World Health Organization. 2005. Synndirme in the Context of the
Integrated Management of Childhood Illness.
7 Bakti, Ajeng, P. 2011. Karakteristik Tempat Perindukan Aedes dan
Potensi Penukaran Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kelurahan
Purbayan Kecammatan Kota Gede, Yogyakarta. 2010 Septiria Irawati.
Memanfaatkan Kekayaan Flora di Daerah Tropis Sebagai Alternatif
Solusi untuk Menurunkan Angka Kasus DBD di Indonesia.
8 Aryu Candra. 2010. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi,
Patogenesis, dan Faktor Risiko Penularan. Aspirator Vol.2;110-119
9 Ashlesha K, Carol P, dan Helen K. 2010. Diagnosis and Management of
Dengue Fever in Children. Pediatr. Rev;31;e28-e35
10 Santun S. 2011. Analisis Faktor-Faktor Risiko Terjadinya Dengue Syok
Sindrom (DSS) pada Anak dengan Demam Berdarah Dengue (DBD) di
RSUP Persahabatan dan RSUD Budhi Asih Jakarta.
11 Aryati. 2004. Diagnosis Laboratoris DBD Terkini.
12 Elmy S, BNP Arhana, IKG Suandi, IGL Sidiartha. 2009. Obesitas Sebagai
Faktor Risiko Sindrom Syok Dengue. Sari Pediatri;11(4);238-43)
35
36
27 Nguyen, T.H., Nguten, T.L. 2006. Improvement of case management Akey factor to reduce case fatality rate of dengue hemorragic fever in
southtern Vietnam. Dengue Bull, 27:144-49.
28 Natchaporn P, Mongkalangoon N, Kalayanarooj S, Chaveepojnkamjorn
W. 2006. Relationship Between Body Size and Severity of Dengue
Hemorrhagic Fever Among Children Aged 0-14. The Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public health. 37(2):283-8.
29 Halstead, S.B. 2008. Pathophysiology, dalam Halstead, S.B., penyunting,
Dengue, Tropical Medicine Science and Practice, USA: Imperial College
Press, h..285-310.
30 Kalayanarooj, S., Vaughu, D.W., Nimmannitya, S., Green, S.,
Suntayakara, S., Kunentrasai, N., dkk. 1997. Early clinical and laboratory
indicators of acute dengue illness. The Journal of Infectious Disease,
176:313-21.
31 Nimmannitya S, Kalayanarooj S. 2005. Is Dengue Severity Related to
Nutritional Status?. The Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and
Public health. 36(2):378-84
32 Benjamin, K.W., Ching, L., Tang, C.S., Ang, L.W. 2005. The 2005 dengue
epidemic in Singapore: epidemiology, prevention and control. Annals
Academy of Medicine, 37:538-45.
33 Kuo, M.C., Lu, P.L., Chang, J.M., Lin, M.Y., Tsai, J.J., Chen, Y.H., dkk.
2008. Impact of reanal failure on the outcome of dengue viral infection.
Clin J Am Soc Nephrol, 3:1350-6.
34 Soegijanto, S. 2006. Demam berdarah dengue. Airlangga University
Press.
35 Martina, E.B., Koraka, P., Osterlan, D.M.E. 2009. Dengue virus
pathogenesis: an integrated view. Clinical Microbiology Reviews,
10:564-81.
36 Lei, H.Y., Yeh, T.M., Liu, H.S., Lin, Y.S., Chen, S.H., Liu, C.C. 2001.
Imunopathogenesis of dengue virus infection. J Biomed Sci, 8:377-88.
37 Kanesa TN, Edelman R, Tacket CO, Wasserman SS, Vaughn DW, Coster
TS, Kim-Ahn GJ, Dubois DR, Putnak JR, King A, Summers PL, Innis BL,
Eckels KH, Hoke CH. 2003. Phase 1 Studies of Walter Reed Army
Institute of Research Candidate Attenuated Dengue Vaccines: Selection of
Safe and Immunogenic Monovalent Vaccines.
38 Lei, H.Y., Yeh, T.M., Liu, H.S., Lin, Y.S., Chen, S.H., Liu, C.C. 2001.
Imunopathogenesis of dengue virus infection. J Biomed Sci, 8:377-88.