Anda di halaman 1dari 36

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian


Infeksi virus dengue merupakan masalah kesehatan utama di negara tropis dan
subtropis. Penyakit demam berdarah dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue
serotipe 1 hingga 4 dari genus Flavivirus yang biasanya ditularkan melalui nyamuk
Aedes aegypti. DBD dapat menyebabkan sakit dari sindrom vital non-spesifik hingga
penyakit hemorrhagic yang fatal. DBD merupakan manifestasi klinis yang bisa
menyebabkan hipovolemi dan hipotensi (dengue shock syndrome) dan sering
menyebabkan komplikasi berupa pendarahan internal yang berat. Kebanyakan infeksi
ini bersifat tanpa gejala, tetapi spektrum penyakit klinis mulai dari demam umum,
dengue fever (DF), dengue hemmorhagic fever (DHF), dan dengue shock syndrome
(DSS) (Poo dkk., 2011).
Penyakit dengue saat ini telah muncul kembali dan banyak wilayah yang berstatus
epidemik berubah menjadi hiperepidemi dengan prevalensi 4 serotipe sekaligus.
Dengue telah endemik atau sporadik di lebih dari 100 negara diseluruh dunia. Aedes
aegypti mendiami wilayah tropis dan subtropis dan beberapa wilayah bertemperatur
tinggi dan nyamuk ini terus menyebar. Dengue telah memimpin sebagai penyakit
akibat vektor-borne virus yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada lebih
dari 50 juta manusia yang menginfeksi tiap tahun. Faktor yang mendukung dengue

sebagai penyakit infeksi yang merajalela adalah pertumbuhan populasi manusia,


urbanisasi yang buruk, peningkatan wisata dan perluasan distribusi geografis dari
vektor utama nyamuk, Aedes aegypti (Sun dkk., 2009).
Syok pada pasien DBD dikenal dengan istilah sindrom syok dengue (SSD) yaitu
terjadinya kegagalan peredaran darah karena kehilangan plasma dalam darah akibat
peningkatan permeabilitas kapiler darah. SSD terjadi pada tingkatan DBD derajat III
dan DBD derajat IV. Pada DBD derajat III telah terdapat tanda-tanda syok, nadi
teraba cepat dan lemah, tekanan darah menurun, pasien mengalami gelisah, terjadi
sianosis disekitar mulut, kulit teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung,
jari tangan dan kaki. Pada DBD derajat III terjadi hemokonsentrasi dan
trombositopenia (Nguyen dkk., 2013).
Setiap tahun, lebih dari 250.000 kasus dengue sindrom syok dengue (SSD) dari 50
juta infeksi virus dengue (Nguyen dkk., 2013). Sejak pertamakali ditemukan pada
tahun 1968 hingga kini infeksi virus dengue menunjukkan peningkatan insiden.
Angka kesakitan penyakit demam berdarah dengue (DBD) cenderung meningkat dari
tahun ke tahun, walaupun demikian angka kematian secara nasional cenderung
menurun dari 41,4% pada tahun 1968 menjadi 4% pada tahun 1980, 1,4% pada tahun
2000 dan hanya 0,9% pada tahun 2001. Namun angka kematian akibat dengue syok
sindrom yang disertai dengan perdarahan gastrointestinal hebat dan ensefalopati
masih tetap tinggi. Pada tahun 1986 dilaporkan kejadian syok di Manado berkisar
60% dari seuruh pasien DBD dengan angka kematian 6,6%. Sedangkan pada tahun

1996 prevalensi syok didapatkan 16%-40% pada hampir di seluruh rumah sakit di
Indonesia dengan angka kematian 5,7%-50% (Raihan dan Alan, 2010). Pada tahun
2005, di wilayah Asia Tenggara terjadi peningkatan kasus infeksi dengue sebanyak
19% dan peningkatan kasus kematian sebanyak 43%. Di indonesia peningkatan kasus
tersebut sebanyak 53%. Setiap tahun terjadi 500.000 kasus infeksi dengue syok
sindrom yang memerlukan perawatan rumah sakit (Rahayu dkk., 2011).
Berdasarkan data epidemiologi nasional, sejak tahun 2007 kasus DBD di
Indonesia sudah terjadi di 33 provinsi. Angka kejadian DBD di Indonesia mengalami
fluktuasi setiap tahun, namun pada akhirnya akan cenderung meningkat. Pada tahun
2006 kasus DBD diperkirakan sebanyak 114.656 kasus, lalu meningkat menjadi
158.115 kasus pada tahun 2007. Sedangkan pada tahun 2008 terjadi penurunan kasus
DBD, yaitu menjadi 137.469 kasus. Namun pada tahun 2009 kasus DBD kembali
meningkat melebihi kasus pada tahun 2007, yaitu menjadi 158.912 kasus.
Di Indonesia, DBD masih menjadi masalah yang selalu menyita perhatian
pemerintah dan masyarakat setiap tahunnya. Hingga tahun 2006, World Health
Organization (WHO) menempatkan Indonesia di peringkat pertama pada angka
kejadian dan kematian akibat DBD di Asia Tenggara. Kejadian Luar Biasa (KLB)
terakhir tercatat pada tahun 2006, yakni terdapat 80.837 kasus DBD di Indonesia
dengan jumlah korban meninggal sebanyak 1.099 orang dan merupakan angka
tertinggi di kawasan Asia Tenggara (Bakti dkk., 2011).
Pada tahun 2006, kabupaten/kota di Indonesia yang memiliki IR antara 100-

200/100.000 penduduk sebanyak 38 daerah. Daerah yang memiliki IR lebih besar


200/100 000 penduduk adalah DKI Jakarta dan Denpasar. Jumlah penderita DBD di
DKI Jakarta pada tahun 2007 adalah 31.836 dengan IR 392,64 dan yang meninggal
sebanyak 86 orang. Sedangkan jumlah penderita DBD di Provinsi Bali pada tahun
2007 sebesar 6.375 dengan IR 193,18 dan yang meninggal sebanyak 14 orang. Untuk
Kota Denpasar sendiri, penderita berjumlah 3.264 dengan IR 558,45 dan yang
meninggal 9 orang.
Profil syok tidak selalu sama ditemukan di tiap daerah atau rumah sakit. Banyak
faktor yang mempengaruhi gejala-gejala yang timbul oleh karena manifestasi klinis
yang luas, patogenesis yang kompleks dan standar terapi yang berbeda-beda.
Profil sindrom syok dengue sangat berbeda pada setiap penelitian, hal ini sangat
berpengaruh dengan intervensi penanganannya. Beberapa penelitian menunjukkan
profil anak dengan dengue syok sindrom menurut umur berkisar antara 7,5 tahun,
pada jenis kelamin tidak ada perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan
perempuan. Outcome pasien dari 51 penderita, 49 orang mengalami kesembuhan
(Elmy dkk, 2009). Penelitian lainnya mendapatkan umur rata-rata 9 tahun, perempuan
lebih banyak dibandingkan laki-laki, hepatomegali terjadi sebanyak 61,1% kasus,
rata-rata tekanan darah 91,3/58,6 mmHg, hematokrit 42,4%, hemoglobin 14,1 g/dL,
leukosit 4.773,4/L, outcome dari 90 pasien 88 orang hidup (Pongpan dkk, 2013).
Penelitian lain mendapatkan penderita lebih banyak pada umur >8 tahun, jenis
kelamin perempuan,

jumlah leukosit e.500/L pada 62,8% kasus, peningkatan hematokrit >20% terjadi
pada 72,1% kasus (Risniati dkk, 2011). Penelitian lain (Rahayu dkk, 2011),
mendapatkan profil menurut usia rata-rata pada umur 7,2 tahun, jenis kelamin tidak
ada perbedaan signi
ifikan, hepatomegali terjadi pada 84% kasus, rata-rata hemoglobin 14,2 g/d dan
hematokrit 41,7%. Profil sindrom syok dengue yang berbeda tersebut menimbulkan
kesenjangan.
Sebagian besar penelitian mengenai demam berdarah, terutama pada kasus sindrom
syok dengue cenderung hanya menekankan pada gambaran umum yang tidak
spesifik. Seperti pada demografi, masih jarang peneliti melihat bagaimana distribusi
penderita menurut tempat tinggal dan suku bangsa. Selama ini penelitian hanya lebih
mengkhususkan pada usia dan jenis kelamin. Secara umum belum banyak penelitian
yang mempelajari secara holistik dari berbagai faktor bagaimana penyakit itu terjadi.
Penelitian yang mengkhususkan meneliti profil sindrom syok dengue masih belum
banyak karena penelitian sebelumnya lebih dilihat dari demam berdarah dengue.
Profil atau karakteristik dari sindrom syok dengue perlu diberi perhatian lebih karena
gejala dan hasil laboratorium sangat berbeda dari yang dilihat pada demam berdarah
dengue.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang
Profil Anak dengan Sindrom Syok Dengue di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
Denpasar.

1.2 Rumusan Masalah


Profil apa saja yang dialami anak dengan sindrom syok dengue di Rumah
Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum


Mengetahui profil pasien anak yang mengalami sindrom syok dengue
pada pasien Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar.

1.3.2 Tujuan Khusus


Teridentifikasinya gambaran demografi (usia, jenis kelamin, tempat tinggal,
suku bangsa), gambaran klinis (status gizi, nadi, lama demam, lama rawat,
hepatomegali, tekanan darah, outcome), gambaran laboratorium (hemoglobin,
trombosit hematokrit, leukosit, Ig G dan Ig M anti dengue) anak yang
mengalami sindrom syok dengue.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Pelayanan di Rumah Sakit

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan pihak RSUP Sanglah


sebagai bahan masukan tentang profil anak dengan sindrom syok
dengue khususnya di RSUP Sanglah.

1.4.2 Bagi perkembangan ilmu kedokteran


Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman tentang
karakteristik anak dengan sindrom syok dengue.

1.4.3 Bagi perkembangan riset


Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi penelitian
selanjutnya yang bersifat studi kasus tentang profil anak dengan sindrom
syok dengue.

BAB 2
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Dengue disebabkan oleh infeksi salah satu dari empat serotipe virus,
contohnya dengue 1-4. Infeksi satu serotipe virus menyebabkan imunitas seumur
hidup terhadap infeksi berulang oleh serotipe yang sama, namun tidak dengan
serotipe yang lain. Kebanyakan infeksi dengue adalah tanpa gejala namun dapat
bermanifestasi berupa demam tidak spesifik atau perjalanan menuju penyakit
yang berat.
Aedes aegypti merupakan vektor virus dengue yang utama. Nyamuk dewasa
tinggal di dalam ruangan dan menggigit saat siang hari. Mereka beradaptasi
untuk berkembangbiak di lingkungan manusia, seperti pada tempat penampungan
air, vas bunga, kaleng, ban lama, dan barang-barang bekas lainnya. Vektor kedua
dari virus dengue adalah Ar albopictus, yang berpengaruh secara signifikan pada
penularan di Asia dan Amerika Latin. Wabah dengue juga disebabkan oleh Ae
polynesiensis dan Ae scutellaris, namun dalam wilayah yang lebih sempit.

2.2 Epidemiologi
Infeksi virus dengue memiliki karakteristik terjadi kejadian luar biasa (KLB)
atau epidemi secara periodik. Dalam kurun waktu 30 tahun terdapat lima KLB

demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia yang cukup bermakna yaitu pada
tahun 1973, 1983, 1988, 1998 dan 2004. Kejadian luar biasa pada tahun 2004
terjadi di 12 propinsi di Indonesia dengan jumlah kasus 59.321 kasus dan
kematian 669 orang dengan CFR 1,1% (Depkes RI., 2004).
Pada tahun 2006 total kasus DBD di Indonesia menurun, total jumlah
penderita DBD mencapai 18.929 orang. Sedangkan, korban yang meninggal
sebanyak 192 orang dengan CFR 1,0 %. Pada tahun 2007 tingkat kematian oleh
karena DBD 1,8% lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, total penderita
DBD mencapai 8.019 orang dan korban meninggal sebanyak mencapai 144
orang (Depkes RI., 2008).
Vektor dari virus dengue adalah Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus. Kedua
vektor ini memiliki sifat yang berbeda. Aedes Aegypti bersifat antropofilik yaitu
senang sekali pada manusia, dan mempunyai kebiasaan mengigit berulang.
Sedangkan Aedes Albopictus merupakan nyamuk luar rumah (Sutaryo, 2004).
Timbulnya suatu

penyakit dapat diterangkan melalui segitiga epidemiologis

yaitu dipengaruhi oleh agen (agent), host dan lingkungan (environment)

2.2.1 Agen (virus dengue)


Virulensi virus dengue tergantung pada virion apakah mengandung
antigenic determinant yang kuat yang dapat menghancurkan sel target.
Semakin kuat sifat antigenic determinant suatu epitop virus , semakin

10

mudah terjadi perlekatan sehingga semakin banyak virus yang melekat


pada reseptor membran sel.

Hal itu yang menyebabkan virus dengue

menjadi lebih virulen.

2.2.2 Host
Host adalah manusia yang peka terhadap infeksi virus dengue, ada
beberapa faktor yang mempengaruhi kepekaan :

2.2.2.1 Umur
Merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepekaan
terhadap infeksi virus dengue, umur terbanyak untuk terjadi DBD
adalah usia 10 14 tahun (37%), usia 4 9 tahun (36%) dan usia 15
24 tahun 15%

(Nguyen dkk., 2006). Sedangkan jika terjadi

infeksi sekunder pada anak-anak memiliki risiko 87% untuk


menjadi DBD jika dibandingkan dengan dewasa (Wichman dkk.,
2004)

2.2.2.2 Jenis Kelamin


Pada umumnya anak laki-laki dan perempuan memiliki
perbandingan yang sama untuk terjadinya DBD, dimana risiko
terjadinya DBD pada anak laki-laki dibanding perempuan adalah

11

0,96 berbanding 1,0 (Wichman dkk., 2004). Nguyen dkk (2006)


melaporkan pada bayi laki-laki dibanding perempuan mempunyai
resiko DBD 1,29 : 1, sedangkan risiko SSD 1,73 : 1. Untuk syok
berat,

perdarahan

gastrointestinal,

kegagalan

respirasi,

dan

ensefalopati tidak ada perbedaan bermakna menurut jenis kelamin.

2.2.2.3 Ras
Di Indonesia sangat sulit membedakan ras karena kebanyakan
kasus adalah penduduk asli Indonesia (Sutaryo, 2004). Di Kuba
kejadian DBD atau SSD lebih banyak terdapat pada orang dengan
kulit putih dibanding pada orang kulit hitam (Gusman dkk.,2010)

2.2.2.4 Status gizi


Pengaruh status gizi terhadap beratnya infeksi dengue masih
kontroversial. Pengaruh status gizi terhadap beratnya penyakit
berhubungan dengan teori imunologi, yaitu pada gizi baik akan
meningkatkan respon antibodi dan karena ada reaksi antigen
antibodi yang berlebihan menyebabkan infeksi dengue lebih berat
(Sutrayo, 2004). Penelitian di Yogyakarta oleh Soegiyanto dkk.
(1983) melaporkan, malnutrisi mengakibatkan infeksi yang berat.
Natchaporn dkk. (2006) melaporkan, pada status gizi lebih memiliki

12

2,77 kali kemungkinan untuk menjadi infeksi dengue berat


dibandingkan gizi normal. Halsted (1997) melaporkan, jarang pada
anak gizi kurang terjadi syok dan anak obesitas memiliki respon
imun yang lebih kuat dibanding gizi kurang sehingga mempunyai
resiko tinggi untuk menjadi infeksi berat.

Kalayanarooj dkk.

(2005); Nimmannitya (2005) melaporkan, anak gizi kurang


memiliki risiko tinggi (37,8% ) untuk menjadi syok dibanding gizi
normal (29,9%) dan obesitas (30,2%).

2.2.2.5 Genetik
Hubungan antara DBD atau SSD dan sistem histokompatibilitas
atau HLA, HLA-A1, HLA-B blank, HLA-CW1 dan HLA-A29
lebih bermakna terkena DBD. Suatu korelasi yang positif terjadi
antara SSD dengan HLA-A2 dan HLA-blank (WHO.,2008).

2.2.2.6 Populasi dan Mobilitas Penduduk


Dengan meningkatnya jumlah penduduk dan peningkatan public
service turut berpengaruh terhadap penyebaran virus dengue
(WHO.,2008).

Meningkatnya

kepadatan

penduduk

akan

meningkatkan interaksi manusia dengan vektor sehingga tanpa


kontrol vektor yang baik sangat mudah terjadi outbreak DBD

13

(Benjamin, 2005)

2.2.2.7 Penyakit-penyakit kronis yang diderita sebelumnya


Pada pasien dengan gagal ginjal yang terinfeksi dengue
mempunyai risiko lebih tinggi untuk menjadi DBD atau SSD,
sedangkan angka mortalitasnya 28,9 % dibandingkan dengan tanpa
gagal ginjal yang angka mortalitasnya hanya 1,2 %. Peningkatan
AST, kejadian hipoalbumin tidak sesuai dengan infeksi dengue pada
umumnya (Kuo dkk., 2008).

2.2.3 Lingkungan
Curah hujan yang tinggi akan menguntungkan nyamuk untuk
berkembang biak ditambah lagi di daerah pedesaan masih banyak tempat
untuk berkembang biak nyamuk misalnya rumpun bambu, lubang di
pohon. Di perkotaan dengan tersedianya bahan sekali pakai tanpa
diimbangi dengan perilaku membuang bahan bekas pada tempat
semestinya sehingga kalau terisi air akan menjadi tempat perindukan
nyamuk (Sutaryo, 2004; WHO., 2008)

2.3 Patofisiologi
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes

14

aegypti atau

Aedes albopictus.

Organ sasaran virus adalah makrofag, sel

endotel, hepar, sumsum tulang. Virus akan berkembang di dalam peredaran


darah dan akan ditangkap oleh makrofag. Segera terjadi viremia selama dua hari
sebelum timbul gejala dan berakhir setelah lima hari gejala demam mulai
(Soegijanto, 2006). Patogenesis infeksi dengue masih kontroversial, hal tersebut
menunjukkan bahwa mekanisme sesungguhnya dari patofisiologi, hemodinamik,
dan biokimiawi

infeksi dengue belum sepenuhnya diketahui jelas (Sutaryo,

2004).

2.3.1 Makrofag
Makrofag yang terinfeksi akan menjadi aktif dan akan melepaskan
sitokin secara besar-besaran. Sitokin yang diproduksi diantaranya IL-1, IL6, TNF alfa dan platelet activating factor (PAF) yang memiliki sifat
vasoaktif atau prokoagulasi, mediator-mediator tersebut di hipothalamus
akan menyebabkan demam, di hepatosit akan merangsang sekresi protein
fase aktif, pada sel-sel endotel dinding pembuluh darah dan sistem
hemostatik yang akan mengakibatkan kebocoran plasma dan perdarahan
(Soegijanto, 2006; Martina dkk., 2009)

2.3.2 Sel Endotel


Endotel adalah lapisan sel yang terdapat di permukaan dalam pembuluh

15

darah. Pada infeksi virus dengue menyebabkan timbul celah pada endotel
dan juga nekrosis sehingga terjadi kerusakan pada endotel pembuluh darah.
Perubahan fungsi endotel disebabkan oleh pelepasan sitokin atau mediator
kimia sebagai respon imun penderita dan juga replikasi virus dengue yang
memacu sinyal apoptosis sehingga menyebabkan kematian sel (Martina
dkk., 2009). Endotel secara langsung dapat terinfeksi oleh virus dengue.
Secara in vitro respon endotel terhadap infeksi dengue adalah dengan
mensekresi IL-6, IL-8 dan RANTES (Regulated on Activated T Cell
Expressed and Secreted). Disamping itu infeksi virus dengue pada endotel
akan mengaktivasi komplemen dan menginduksi ekspresi molekul adhesi
seperti ICAM-1 (Intercellular Adhesion Molecul-1). Ekspresi ICAM-1
bersama

dengan IL-8 dan

RANTES

mengakibatkan peningkatan

permeabilitas vaskuler dan pelepasan trombomodulin yang merupakan


petanda kerusakan sel endotel (Soegijanto, 2006; Lei dkk., 2008).
Endotel mempunyai peranan penting dalam mempertahankan
hemostasis, pada infeksi dengue kerusakan endotel akan merubah
keseimbangan prokoagulan-antikoagulan dari sel endotel sehingga
meningkatkan tendensi perdarahan. Sel endotel akan mengeluarkan tissue
factor (TF), TF tersebut akan membentuk kompleks dengan faktor VII dan
seterusnya sampai membentuk trombin. Trombin diperlukan untuk
perubahan fibrinogen menjadi fibrin. Pada pembekuan intravaskuler

16

menyeluruh (PIM) terutama oleh karena syok, pembentukan fibrin


meningkat sehingga menimbulkan mikrotrombi (Sutaryo, 2004).

2.3.3 Sumsum Tulang


Demam Berdarah Dengue umumnya disertai trombositopenia dan netropenia
yang bersifat sementara, kondisi ini diduga karena sumsum tulang merupakan
target organ dari infeksi virus dengue. Pemeriksaan pada stadium akut, kritis,
dan stadium penyembuhan mendapatkan sumsum tulang terdepresi pada semua
unsur pembentuk darah

atau

hiposeluler. Leukopeni dan retikulositopeni

muncul pada hari-hari pertama demam sebelum terjadinya trombositopenia,


maka diduga depresi sumsum

tulang terjadi sebelum demam. Seri

granulopoesis yang kelak menghasilkan granulosit di darah tepi menurun,


diduga karena destruksi dan atau inhibisi sel progenitor mieloid (Sutaryo,
2004).
Patofisiologi DBD tidak sepenuhnya dipahami, namun terdapat dua
perubahan patofisiologis yang menyolok, yaitu meningkatnya permeabilitas
kapiler yang mengakibatkan kebocoran plasma disertai hipovolemia dan
terjadinya syok. Pada DBD terdapat kejadian unik yaitu terjadinya kebocoran
plasma ke dalam rongga pleura dan rongga peritoneal yang

berlangsung

singkat(24-48jam).
Hemostasis abnormal yang disebabkan oleh vaskulopati, trombositopeni dan

17

koagulopati, mendahului terjadinya manifestasi perdarahan. Aktivasi sistem


komplemen selalu dijumpai pada pasien DBD. Kadar C3 dan C5 rendah,
sedangkan C3a serta C5a meningkat. Mekanisme aktivasi komplemen tersebut
belum diketahui dengan jelas. Adanya kompleks imun telah dilaporkan pada
DBD, namun demikian peran kompleks antigen-antibodi sebagai penyebab
aktivasi komplemen pada DBD belum terbukti (Soegijanto, 2006).
Selama ini diduga bahwa derajat keparahan penyakit DBD dibandingkan
dengan demam dengue (DD) dijelaskan dengan adanya pacuan dari multiplikasi
virus di dalam makrofag oleh antibodi heterotipik sebagai akibat infeksi dengue
sebelumnya. Namun demikian, terdapat bukti bahwa faktor virus serta respons
imun cell-mediated terlibat juga dalam patogenesis DBD (WHO., 2000).
Berdasarkan teori antibody dependent ehancement (ADE) bahwa, bila
terinfeksi satu virus didalam tubuh akan ditemukan komplek imun spesifik
yang dapat mencegah penyakit tersebut (antibodi netralisasi) dan komplek imun
dengan kadar antibodi yang rendah (antibodi non netralisasi). Apabila terjadi
infeksi sekunder maka antibodi non netralisasi akan melekat pada reseptor Fc
makrofag, menyebabkan virus dengue mudah masuk dan bereplikasi di dalam
sel makrofag. Makrofag yang terinfeksi akan menjadi aktif dan akan
melepaskan sitokin diantaranya IL-1, IL-6, TNF alfa dan PAF. Sitokin ini akan
mempengaruhi sel-sel endotel pembuluh darah dan akan mengaktifasi sistem
koagulasi (Halsted, 2008., Lei, dkk., 2008)

18

Patofisiologi primer DBD dan SSD adalah peningkatan permeabilitas


vaskuler akut yang menyebabkan kebocoran plasma kedalam ruang
ekstravaskuler, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan
darah.

Volume plasma menurun lebih dari 20% pada kasus-kasus berat

(Soegijanto, 2006).

2.4 Gejala Klinis


Gejala klinis DBD pada awalnya muncul menyerupai gejala flu dan tifus
(thypoid), oleh karenanya seringkali dokter dan tenaga kesehatan lainnya keliru
dalam penegakkan diagnosa. Virus ini dipindahkan oleh nyamuk yang terinfeksi
saat mengisap darah orang tersebut. Setelah masuk ke dalam tubuh, lewat kapiler
darah virus melakukan perjalanan ke berbagai organ tubuh dan berkembang biak.
Masa inkubasi virus ini berkisar 8-10 hari sejak seseorang terkena virus dengue,
sampai timbul gejala-gejala demam berdarah (Candra, 2010).

2.4.1. Demam Dengue (Dengue Fever)


Gejala demam muncul mendadak setelah 3- 15 hari digigit oleh nyamuk
yang terinfeksi, disertai gejala prodormal berupa nyeri kepala, nyeri
berbagai anggota tubuh (myalgia), anoreksia dan malaise. Adanya nyeri
retroorbital, atralgia dan myalgia dapat membantu diagnosis banding,
walupun gejala tersebut tidak spesifik untuk infeksi virus dengue (Kanesa

19

dkk.,2003).
Kelainan darah tepi demam dengue ialah leukopenia selama periode pra
demam dan demam, netrofilia relatif dan limfopenia, disusul oleh
netropenia relatif dan limfositosis pada periode puncak penyakit dan pada
masa penyembuhan. Eosinofil menurun atau menghilang pada permulaan
dan pada puncak penyakit, sel plasma meningkat pada periode
memuncaknya penyakit dengan terdapatnya trombositopenia. Darah tepi
menjadi normal kembali dalam satu minggu (Sumarmo dkk., 2008).
Komplikasi demam dengue walaupun jarang ialah orkhitis atau ovaritis,
keratitis dan retinitis. Kelainan neurologis yang dilaporkan diantaranya
penurunan kesadaran, paralisis sensorium yang bersifat sementara,
meningismus dan ensefalopati (Sumarmo dkk., 2008).

2.4.2 Demam Berdarah Dengue (DBD)


Demam berdarah dengue ditandai oleh empat manifestasi utama yaitu
demam tinggi, perdarahan terutama perdarahan kulit, hepatomegali, dan
kegagalan peredaran darah. Patofisiologi utama yang menentukan derajat
penyakit dan membedakan dengan demam dengue adalah peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah berupa menurunnya volume plasma,
trombositopenia, dan diatesis hemorragi (Sumarmo dkk., 2008).
Manifestasi perdarahan yang paling sering muncul adalah tourniquet tes

20

positif, hematom, perdarahan dari tempat pengambilan sampel darah.


Ptekie pada ekstremitas, aksila, wajah terjadi pada fase awal demam.
Epistaksis dan perdarahan gusi jarang terjadi sedangkan perdarahan
gastrointestinal berat terjadi pada fase syok yang tidak teratasi (WHO.,
2000).

2.4.3 Sindrom Syok Dengue


Kondisi pasien yang berkembang kearah syok terjadi pada waktu atau
segera setelah penurunan suhu antara hari ketiga sampai ketujuh sakit.
Dengue syok sindrom disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskuler
sehingga terjadi plasma leakage, efusi cairan serosa ke rongga pleura dan
peritoneum, hipoproteinemia, hemokonsentrasi dan hipovolemia. Terdapat
tanda khas dari gagal sirkulasi berupa : kulit menjadi dingin, nadi cepat dan
lemah, dengan penyempitan tekanan nadi < 20 mm Hg. Dengue syok
sindrom yang tidak teratasi akan berlanjut menjadi kegagalan mekanisme
homeostasis, gangguan sistem kardiovaskuler sehingga sirkulasi tergangu
mengakibatkan terjadinya kerusakan fungsi sel yang progresif dan
ireversibel, pasien akan meninggal dalam 12 24 jam. Dengue syok
sindrom yang teratasi, penyembuahan akan terjadi dalam 2-3 hari (WHO.,
2000).
Disfungsi sirkulasi pada DBD, dengue syok sindrom, biasanya terjadi

21

sesudah hari 2-7, disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskuler


sehingga terjadi kebocoran plasma, efusi cairan ke rongga intersisial
sehingga terjadi disfungsi sirkulasi dan penurunan perfusi organ. Gangguan
perfusi ginjal ditandai oleh oliguria atau anuria dan gangguan perfusi
susunan syaraf pusat ditandai oleh penurunan kesadaran. Pada fase awal
DSS fungsi organ vital dipertahankan dari hipovolemia oleh sistem
hemostatis dalam bentuk takikardi, vasokonstriksi perifer mengurangi
perfusi non-essensial di kulit dan menyebabkan sianosis, penurunan suhu
tubuh dan pemanjangan waktu pengisian kapiler (>5 detik). Perbedaan
suhu kulit dan suhu tubuh yang >200C menunjukkan mekanisme
hemostasis masih utuh. Pada tahap SSD kompensasi curah jantung dan
tekanan darah normal kembali. Penurunan tekanan darah merupakan
manifestasi lambat SSD, berarti sistem hemostatis sudah terganggu dan
kelainan hemodinamik sudah berat, sudah terjadi dekompensasi. Diagnosis
dini dan penggantian cairan adekuat, syok biasanya teratasi dengan segera,
namun bila terlambat diketahui atau pengobatan tidak adekuat, syok dapat
menjadi syok berat dengan berbagai penyulitnya seperti asidosis metabolik,
perdarahan saluran cerna yang hebat, sehingga memperburuk prognosis.
Pada masa penyembuhan yang biasanya terjadi dalam 2-3 hari, kadangkadang ditemukan sinus bradikardi atau aritmia, dan timbul ruam pada
kulit. Tanda prognostik baik apabila pengeluaran urin cukup dan

22

kembalinya nafsu makan. Penyulit SSD yaang lain adalah infeksi


(pneumonia, sepsis, flebitis) dan terlalu banyak cairan (overhidrasi),
manifestasi klinik infeksi virus yang tidak lazim seperti ensefalopati dan
gagal hati (Essy, 2009)
Pemeriksaan darah rutin yang dilakukan untuk menskrining penderita
demam dengue adalah melalui uji bendung, pemeriksaan hemoglobin,
kadar hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat
adanya gambaran limfosit plasma biru. Diagnosis pasti ditegakkan dari
hasil isolasi virus dengue (metode kultur sel) ataupun deteksi antigen RNA
virus dengue namun teknik ini sulit. Saat ini berkembang pemeriksaan
serologis untuk mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap dengue
berupa antibodi total, IgM maupun IgG (Soegijanto, 2006). Rangkuman
definisi gejala klinis dengue berdasarkan WHO dan CDC dapat dilihat pada
lampiran 1.

Tabel 2.3.1 Derajat Demam Berdarah Dengue


Derajat
Derajat 1

Definisi
Demam dan gejala nonspesifik, dengan hanya tes torniquet
positif menjadi manifestasi adanya pendarahan

Derajat II

Manifestasi derajat 1 ditambah pendarahan spontan

Derajat III*

Kegagalan sirkulasi ditandai dengan nadi cepat/lemah, dengan


kulit dingin, nampak gelisah dan tekanan darah rendah atau

23

hipotensi
Derajat IV*

Syok hebat dengan tidak terabanya tekanan darah dan denyut


nadi

*Derajat III dan IV merupakan dengue syok sindrom

(Ashlesha dkk., 2010)


Virus dengue bereplikasi pada hepatosit dan sel kupfer (Huerre dkk.,
2001). Selama infeksi dengue terjadi apoptosis pada sel hati. Apoptosis ini
mungkin bertujuan untuk menghilangkan sel hati yang terinfeksi oleh
virus dengue, sel hati di fagositosis oleh sel fagosit disekitarnya yang
bertujuan untuk mencegah perluasan infeksi (Seneviratne dkk., 2005). Lesi
pada parenkim hati menurut Itha (2005 ) diakibatkan oleh tiga mekanisme
yaitu : 1) efek cytopatic dari infeksi dengue, 2) Killing cell oleh sistem
imun pada sel yang terinfeksi, 3) efek tidak spesifik dari syok dan
hipotensi.
Pembesaran hati pada infeksi dengue mulai terjadi pada hari kedua
demam , terus membesar sampai paling besar pada masa kritis hari ke
enam demam, lalu menjadi ukuran normal sesudah hari ke sembilan sampai
dua minggu setelah penyembuhan (Sutaryo, 2004).

BAB IV
METODE PENELITIAN

24

4.1 Rancangan Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif menggunakan rancangan cross
sectional, non eksperimental, dengan data yang diambil secara retrospektif
melalui rekam medis dari Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar.

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Sanglah Denpasar dalam kurun
waktu mulai dari Januari 2012-Desember 2013.

4.3 Subjek dan Sampel

4.3.1 Variabilitas Sampel


Populasi target penelitian ini adalah penderita sindrom syok dengue
yang datang ke Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar periode
Januari 2012-Desember 2013
Populasi terjangkau penelitian ini adalah penderita dengue syok
sindrom yang datang ke Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar
periode Januari 2012-Desember 2013 yang dirawat di bangsal Jempiring
dan Pudak yang memenuhi kriteria penelitian dan memiliki rekam medis
lengkap.

25

4.3.2 Kriteria Subjek

Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah pasien SSD usia 0-12 tahun
yang dirawat di RSUP sanglah dalam kurun waktu Januari 2012Desember 2013 dan memiliki rekam medik lengkap. Kasus pada
penelitian ini adalah anak yang menderita SSD, dengan kriteria:

4.3.2.1 Kriteria Inklusi:


1) Anak yang dirawat di bagian anak RSUP Sanglah dengan
diagnosis SSD berdasarkan kriteria WHO., 1997
2) Berusia 0-12 tahun
3) Dirawat di RSUP Sanglah dan dalam rentang waktu Januari
2012-Desember 2013

4.3.2.1 Kriteria Eksklusi


1) Rekam medis pasien tidak lengkap
2) Rekam medis tidak ditemukan

4.2.3 Besaran Sampel


Jumlah sampel yang digunakan pada penelitian deskriptif ini adalah
seluruh pasien anak dengan diagnosis SSD yang rawat inap di bangsal

26

Jempiring dan Pudak RSUP Sanglah Denpasar pada bulan Januari 2012Desember 2013 dan memenuhi kriteria inklusi.

4.2.4 Teknik Penentuan Sampel


Teknik penentuan sampel pada penelitian ini adalah dengan metode
total sampling, yaitu semua pasien rawat inap di bangsal Jempiring dan
Pudak RSUP Sanglah Denpasar pada bulan Januari 2012 Desember
2013 dan memenuhi kriteria inklusi dalam penelitian.

4.4 Variabel

4.4.1 Identifikasi Variabel


Variabel tergantung penelitian ini adalah profil pasien sindrom syok
dengue.
Variabel bebas penelitian ini adalah gambaran demografi
(usia, jenis kelamin, tempat tinggal, suku bangsa), gambaran klinis
(status gizi, nadi, lama demam, lama rawat, hepatomegali, tekanan
darah, outcome), gambaran laboratorium (hemoglobin, trombosit
hematokrit, leukosit, Ig G dan Ig M anti dengue).

4.4.2 Definisi Operasional Variabel

27

4.4.2.1 Gambaran Demografi

1) Usia
Ditentukan berdasarkan usia kronologis (tanggal lahir),
dinyatakan dalam toddler (1-3 tahun), prasekolah (3-6
tahun) dan sekolah (6-12 tahun).

2) Jenis Kelamin
Jenis kelamin anak yang dirawat dengan sindrom
syok dengue yang dibedakan menjadi laki-laki dan
perempuan.

3) Tempat Tinggal
Alamat pasien pada saat dirawat atau tempat tinggal
dimana pasien terkena demam berdarah.

4) Suku bangsa
4.4.2.2 Gambaran klinis

1) Status gizi

28

Dihitung berdasarkan perbandingan berat badan


(kg) dengan berat badan ideal berdasarkan panjang
atau tinggi badan aktual setelah diplot ke kurve
normogram CDC tahun 2000. Data yang diambil
adalah pada saat penderita datang di rumah sakit.
Status gizi ditentukan berdasarkan kriteria Waterlow,
dibedakan menjadi gizi kurang (< 90%), gizi baik
(90-110%) dan gizi lebih (> 110%).

2) Nadi
Nadi yang diukur pada hari pertama terdiagnosis
SSD. Diklasifikasikan menjadi

3) Lama Demam
Lama

pasien

menderita gejala demam

dinyatakan dalam satuan hari (24 jam).


Demam ditentukan berdasarkan perabaan telapak
tangan orang tua atau suhu tubuh 37,50C dengan
tempat pengukuran di aksila.

4) Lama Rawat

29

Lama rawat dari pasien masuk rumah sakit hingga


keluar dalam keadaan hidup atau meninggal.

5) Hepatomegali
Pembesaran hati dua cm di bawah arcus
costarum atau di bawah processus xipoideus (WHO.,
2009). Data hepatomegali diambil pada saat hari
pertama penderita dirawat di rumah sakit.

6) Tekanan Darah
Tekanan darah pasien pada saat hari pertama
terdiagnosis SSD

7) Outcome
Keadaan pasien pada saat keluar dari rumah sakit
dibedakan menjadi hidup atau meninggal.

4.4.2.3 Gambaran Laboratorium


1) Kadar hematokrit adalah kadar hematokrit tertinggi
yang didapatkan pada saat hari pertama perawatan di
rumah

sakit.

Kadar

hematokrit

dikategorikan

30

menjadi:
(1) Kadar hematokrit 46%
(2) Kadar hematokrit < 46% (Kan dkk., 2004)

2) Kadar hemoglobin adalah kadar hemoglobin yang


didapatkan pada hari pertama perawatan berdasarkan
nilai

hematokrit

tertinggi.

Kadar

hemoglobin

dikategorikan menjadi:
(1) Kadar hemoglobin 14 g/dL
(2) Kadar hemoglobin < 14 g/dL (Mayetti, 2010)

3) Jumlah trombosit adalah jumlah trombosit yang


didapatkan pada hari pertama perawatan berdasarkan
nilai

hematokrit

tertinggi.

Jumlah

trombosit

dikategorikan menjadi:
(1) Jumlah trombosit d50.000/L
(2) Jumlah trombosit > 50.000/L (Kan dkk., 2004)

4) Jumlah leukosit adalah jumlah leukosit yang


didapatkan

pada

hari

pertama

perawatan

berdasarkan nilai hematokrit tertinggi. Jumlah

31

leukosit dikategorikan menjadi:


(1) Jumlah leukosit 4000/mm3
(2) Jumlah leukosit > 4000/mm3 (Gupta dkk.,
2011)

5) IgM dan IgG anti Dengue : Pemeriksaan


kualitatif untuk mencari adanya antibodi
terhadap virus dengue dengan nilai positif
atau negatif. Pemeriksaan IgG dan IgM anti
dengue menggunakan metode uji dengue
stick

Nova tes USA, dengan sensitivitas

91,2% dan spesifitas 90% . Pemeriksaan


dikerjakan pada hari ke-6 demam.

4.5 Bahan dan Instrumen Penelitian


Dalam penelitian ini digunakan data rekam medis pasien rawat inap yang
menderita sindrom syok dengue di RSUP Sanglah pada periode Januari 2012Desember 2013. Selain itu tabel pencatatan juga termasuk salah satu instrument
penelitian.

4.6 Protokol Penelitian

32

Penelitian diawali dengan persiapan alat dan bahan. Tahap pertama penelitian
dimulai dengan pengambilan data rekam medis dari RSUP Sanglah. Tahap
selanjutnya adalah mengkaji data yang telah masuk ke dalam kriteria inklusi.
1. Pengambilan data register rawat inap pasien anak di bangsal Pudak dan
Jempiring periode Januari 2012 - Desember 2013 dan mencatat nomor rekam
medis.
2. Mencari rekam medis di bank rekam medis sesuai nomor yang dicari.

3. Melakukan seleksi rekam medis berdasarkan kriteria inklusi dan


kelengkapan data pasien.

4. Melakukan observasi dan pencatatan data untuk mengetahui profil anak


dengan SSD.

5. Analisis Data deskriptif


4.7 Analisis Data
4.8 Kelemahan Penelitian
Penelitian ini dirancang dalam bentuk deskriptif jadi hanya bersifat

33

mengambarkan dan belum mampu menentukan hubungan sebab akibat.

34

Daftar Pustaka
1 Poo, Jorge MD. Galan, Francisco MD. Forrat, Remi MD. Zambrano,
Betzana MD. Lang, Jean MD. and Dayan, Gustavo H. MD. 2011. Liveattenuated Tetravalen Dengue Vaccine in Dengue-naive Children,
Adolescents, and Adults in Mexico City. The Pediatric Infectious Disease
Journal. Vol. 30; 9-17
2 Sun, Wellington. Cunningham, Dennis. Wasserman, Steven S. Perry,
Judith. Putnak, J. Robert. Eckels, Kenneth H. Vaughn, David W. Thomas,
Stephen J. Kanesa-Thasan, Niranjan. Innis, Bruce L. and Edelman,
Robert. 2009. Phase 2 Clinical Trial of Three Formulation of Tetravalen
Live-Attenuated Dengue Vaccine in Flavivirus-Naive Adults. Human
Vaccines 5:1, 33-40;
3 Nguyen TH, Tran VG, Dinh HDT, Mihoko K, Trab TH, Javier Z, Kenji H.
2013. Factors Associated with Dengue Shock Syndrome: A Systematic
Review and Meta-Analysis.
4 Raihan, Sri Rezeki SH, Alan RT. 2010. Faktor Prognosis Terjadinya Syok
pada Demam Berdarah Dengue. Sari Pediatri. Vol 12 47-51
5 Rahayu, Dany H, Djatnika S. 2011. AB Blood Group as a Risk Factor for
Dengue Shock Syndrome in Children. Majalah Kedokteran Indonesia. Col
58.; 383-387
6 World Health Organization. 2005. Synndirme in the Context of the
Integrated Management of Childhood Illness.
7 Bakti, Ajeng, P. 2011. Karakteristik Tempat Perindukan Aedes dan
Potensi Penukaran Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kelurahan
Purbayan Kecammatan Kota Gede, Yogyakarta. 2010 Septiria Irawati.
Memanfaatkan Kekayaan Flora di Daerah Tropis Sebagai Alternatif
Solusi untuk Menurunkan Angka Kasus DBD di Indonesia.
8 Aryu Candra. 2010. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi,
Patogenesis, dan Faktor Risiko Penularan. Aspirator Vol.2;110-119
9 Ashlesha K, Carol P, dan Helen K. 2010. Diagnosis and Management of
Dengue Fever in Children. Pediatr. Rev;31;e28-e35
10 Santun S. 2011. Analisis Faktor-Faktor Risiko Terjadinya Dengue Syok
Sindrom (DSS) pada Anak dengan Demam Berdarah Dengue (DBD) di
RSUP Persahabatan dan RSUD Budhi Asih Jakarta.
11 Aryati. 2004. Diagnosis Laboratoris DBD Terkini.
12 Elmy S, BNP Arhana, IKG Suandi, IGL Sidiartha. 2009. Obesitas Sebagai
Faktor Risiko Sindrom Syok Dengue. Sari Pediatri;11(4);238-43)

35

13 Pongpa S, Wisitwong A, Tawichasri C, Patumanond J. Prognostic


Indicators for Dengue Infection Severity. 2013. Int J Clin Pediatr;2(1):1218
14 Risniati Y, Tarigan LH, Tjitra E. 2011. Leukopenia sebagai Prediktor
Terjadinya Sindrom Syok Dengue pada Anak dengan Demam Berdarah
Dengue di RSPI. Prof. dr. Sulianti Saroso.
15 Mandriani S. 2009. Karakteristik Penderita Demam Berdarah Dengue
(DBD) yang Mengalami Dengue Shock Syndrom (DSS) Rawat Inap di
RSU DR. Pirngadi Medan Tahun 2008.
16 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2004
17 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Data DBD tahun
2007

18 Sutaryo. 2004. Dengue. MEDIKA Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta


19 Gupta, V., Yadav, T.P., Pandey, R.M., Singh, A., Gupta, M., Kanaujiya, P.,
dkk. 2011. Risk factors of dengue shock syndrome in children. Journal of
Tropical Pediatrics, 50(6):451-6.
20 Gusman, M.G., Halstead, S.B., Artseb, H., Buchy, P., Farran, J., Gubler,
D.J., dkk. 2010. Dengue: a continuing global threat. Nature Reviews
Microbiology, 12:57-67.
21 Huerre, M.R., Lan, N.T., Marraneu, P., Hue, N.B., dkk. 2001. Liver
histopathologi and biological correletes in five cases of fatal dengue
fever in vietnamese children. Virchow Arch, 438(2):107-15.
22 WHO. 2011. Comprehensive guidelines for prevention and control of
dengue and dengue haemorrhagic fever, New Delhi: WHO Press
23 WHO. 2009. Dengue guidelines for diagnosis, treatment, prevention and
control, Geneva: WHO Press.
24 WHO. 2008. Situation of dengue/dengue hemorrhagic fever in SouthEasth Asia Region. Availabel: http://www.WHO/SEARO.com (Acessed :
2014, Februari 18)
25 WHO. 1999. Guidelines for treatment of dengue fever / dengue
hemorrhagic
fever
in
small
hospitals.
Availabel
:
http://www.WHO/SEARO.com (Acessed : 2014, Februari 18)
26 Wichman, O., Hongsiriwons, S., Bowonwitanuwong, Chotivaniah,
Sukthara, Pukrittayakame. 2004. Risk factor and clinical feature
associated with severe dengue infection in adults and children during
2001 epidemic in Chonburi, Thailand. Tropical Medicine And Public
Health, 9(9):1022-9.

36

27 Nguyen, T.H., Nguten, T.L. 2006. Improvement of case management Akey factor to reduce case fatality rate of dengue hemorragic fever in
southtern Vietnam. Dengue Bull, 27:144-49.
28 Natchaporn P, Mongkalangoon N, Kalayanarooj S, Chaveepojnkamjorn
W. 2006. Relationship Between Body Size and Severity of Dengue
Hemorrhagic Fever Among Children Aged 0-14. The Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public health. 37(2):283-8.
29 Halstead, S.B. 2008. Pathophysiology, dalam Halstead, S.B., penyunting,
Dengue, Tropical Medicine Science and Practice, USA: Imperial College
Press, h..285-310.
30 Kalayanarooj, S., Vaughu, D.W., Nimmannitya, S., Green, S.,
Suntayakara, S., Kunentrasai, N., dkk. 1997. Early clinical and laboratory
indicators of acute dengue illness. The Journal of Infectious Disease,
176:313-21.
31 Nimmannitya S, Kalayanarooj S. 2005. Is Dengue Severity Related to
Nutritional Status?. The Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and
Public health. 36(2):378-84
32 Benjamin, K.W., Ching, L., Tang, C.S., Ang, L.W. 2005. The 2005 dengue
epidemic in Singapore: epidemiology, prevention and control. Annals
Academy of Medicine, 37:538-45.
33 Kuo, M.C., Lu, P.L., Chang, J.M., Lin, M.Y., Tsai, J.J., Chen, Y.H., dkk.
2008. Impact of reanal failure on the outcome of dengue viral infection.
Clin J Am Soc Nephrol, 3:1350-6.
34 Soegijanto, S. 2006. Demam berdarah dengue. Airlangga University
Press.
35 Martina, E.B., Koraka, P., Osterlan, D.M.E. 2009. Dengue virus
pathogenesis: an integrated view. Clinical Microbiology Reviews,
10:564-81.
36 Lei, H.Y., Yeh, T.M., Liu, H.S., Lin, Y.S., Chen, S.H., Liu, C.C. 2001.
Imunopathogenesis of dengue virus infection. J Biomed Sci, 8:377-88.
37 Kanesa TN, Edelman R, Tacket CO, Wasserman SS, Vaughn DW, Coster
TS, Kim-Ahn GJ, Dubois DR, Putnak JR, King A, Summers PL, Innis BL,
Eckels KH, Hoke CH. 2003. Phase 1 Studies of Walter Reed Army
Institute of Research Candidate Attenuated Dengue Vaccines: Selection of
Safe and Immunogenic Monovalent Vaccines.
38 Lei, H.Y., Yeh, T.M., Liu, H.S., Lin, Y.S., Chen, S.H., Liu, C.C. 2001.
Imunopathogenesis of dengue virus infection. J Biomed Sci, 8:377-88.

Anda mungkin juga menyukai