Anda di halaman 1dari 5

Dari anamnesis kita harus menanyakan beberapa soalan yang mengarahkan

kita ke ACS. Pertanyaan seperti berikut :


a. Sakit dada berterusan berapa lama?
b. Ada 15 menit? atau lebih lama?
c. Sakit dada di sebelah mana? Sila ditunjukkan!
d. Sakit itu rasa seperti apa? Terbakar? Tertekan? Ditindih?
e. Sakit waktu lakukan apa? Aktivitas? Apakah waktu istirahat?
f. Apakah sakit itu dengan rasa sesak? Lemas?
g. Apakah rasa sakit itu radiasi ke tangan kiri?
h. Apakah rasa sakit itu terasosiasi dengan keringatan dingin?
i. Sakit itu membaik dengan istirehat?
j. Apakah pasien perokok? Konsumsi alcohol?
k. Apakah pasien punya riwayat hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia?
l. Dalam keluarga ada yang mempunyai riwayat penyakit jantung? Stroke?
Mati mendadak?
Dari pemeriksaan fisik, kita harus mempunyai tanda-tanda yang harus kita
curiga ke arah ACS. Tanda tanda seperti berikut :
1. Tachycardia > 100x/min
2. Tachypnea >24/min.
3. Tampak Cemas
4. Tekanan Darah tinggi > 140/90 atau rendah <100/70.
5. Pulsasi arrhythmia.
6. Kedengaran murmur mungkin adalah komplikasi dari ACS.
Diteruskan dengan pemeriksaan penunjang seperti EKG istirahat dan
pemeriksaan darah; periksa darah rutin dan enzim jantung (CK, CK-MB, Troponin T
dan Troponin I). Pasien dengan STEMI dan NSTEMI akan kita lihat kelainan di EKG
seperti ST elevasi, ST depresi, Tall T wave, T inversi. UA tiada kelainan di EKG,
karana di thrombus itu menyumbat tidak total dan tidak lama di arteri koroner dan
tidak akan menyebabkan perubahan di EKG. Pemeriksaan darah rutin dibutuhkan
karana dari keputusannya akan mengarahkan apakah pasien ini anemis dan apakah
pasien ini ada infeksi. Pemeriksaan enzim jantung juga mengarahkan kita ke ACS, di
keadaan fisiologis enzim jantung Troponin I dan T tidak akan meningkat, tapi enzim
CK dan CK-MB akan meningkat jika melakukan aktivitas yang berat, kerusakan otot-

otot atau mengalami febris yang tinggi. Pemeriksaan Enzim dapat membedakan
antara NSTEMI dan Unstable Angina.1,2
2. Patofisiologi hemoptisis pada TB
1. Tuberkulosis
Ekspektorasi darah dapat terjadi akibat infeksi tuberkulosis yang masih aktif ataupun
akibat kelainan yang ditimbulkan akibat penyakit tuberkulosis yang telah sembuh.
Susunan parenkim paru dan pembuluh darahnya dirusak oleh penyakit ini sehingga
terjadi bronkiektasi dengan hipervaskularisasi, pelebaran pembuluh darah bronkial,
anastomosis pembuluh darah bronkial dan pulmoner.
Penyakit tuberkulosis juga dapat mengakibatkan timbulnya kaviti dan terjadi
pneumonitis tuberkulosis akut yang dapat menyebabkan ulserasi bronkus disertai
nekrosis pembuluh darah di sekitarnya dan alveoli bagian distal. Pecahnya pembuluh
darah tersebut mengakibatkan ekspektorasi darah dalam dahak, ataupun hemoptisis
masif.
Ruptur aneurisma Rassmussen telah diketahui sebagai penyebab hemoptisis masif
pada penderita tuberkulosis ataupun pada bekas penderita tuberkulosis. Kematian
akibat hemoptisis masif pada penderita tuberkulosis berkisar antara 5-7%. Pada
pemeriksaan postmortem, ternyata pada penderita tersebut ditemukan ruptur
aneurisma arteri pulmoner. Umumnya pada penderita yang meninggal tersebut, terjadi
ruptur pada bagian arteri pulmoner yang mengalami pelebaran akibat inflamasi pada
kaviti . Hal tersebut dapat terjadi karena keterlibatan infeksi tuberkulosis pada tunika
adventisia atau media pembuluh darah namun juga akibat proses destruksi dari
inflamasi lokal.
Hemoptisis masif juga dapat terjadi pada bekas penderita tuberkulosis. Hal tersebut
dapat terjadi akibat erosi lesi kalsifikasi pada arteri bronkial sehingga terjadi
hemoptisis masif. Selain itu ekspektorasi bronkolit juga dapat menyebabkan
hemoptisis.3,
3. anamnesis / riwayat pengobatan tb
Riwayat Penyakit/Pengobatan Sebelumnya

Apakah pernah menderita sakit yang sama sebelumnya, jika ada, berapa lama berselang dari sekarang
ini (tentukan waktunya dalam hari, minggu, bulan atau tahun, jangan memakai jawaban yang
spekulatif misalnya baru-baru ini, sudah lama dan sebagainya).
Jika sebelumnya tidak pernah menderita penyakit seperti ini, anamnese dilanjutkan dengan penyakit
lain yang pernah diderita, jika ada, berapa lama berselang dari sakit sekarang ini.
Riwayat pengobatan/pemakaian obat-obatan, baik untuk penyakit yang sama dengan sekarang ini atau
penyakit lain, berapa lama memakai obat tersebut, kurang dari 2 minggu atau lebih dari 2 minggu.
Cari tahu mengenai jenis obat yang dipakai, misalnya dengan menanyakan perubahan yang dapat
dirasakan/dikenal oleh pasien sewaktu mengkonsumsi obat tersebut.
4. Hal yang menyebakan pasien tb putus obat
kurang dukungan keluarga
Menjalani pengobatan selama berbulan-bulan (6 bulan untuk TB biasa dan sekitar 18
bulan untuk MDR-TB) memang tidak mudah. Sering muncul rasa jenuh, bosan dan
putus asa dalam proses pengobatan sehingga rentan DO atau putus pengobatan yang
berisiko memicu resistensi atau kekebalan kuman terhadap obat yang ada saat ini.
Dalam hal ini, peran keluarga sangat dibutuhkan untuk menjaga motivasi pasien untuk
berjang sampai dinyatakan benar-benar sembuh. Meski merasa sudah sembuh karena
sudah tidak-batuk-batuk, pengobatan tetap harus dilanjutkan sampai waktu yang
ditentukan dokter karena kuman belum benar-benar mati. Kuman yang hanya tertidur
itu bisa menjadi kebal saat bangun jika pengobatan tidak dituntaskan.
Efek samping
"Efek samping pengobatan TB, khususnya MDR-TB itu antara hidup dan mati. Ada
yang sampai sampai tuli, mual muntah pusing, asam urat, ada juga yang bikin
halusinasi. Ada yg sampai ingin bunuh diri karena tidak kuat berobat selama 19 bulan.
Obat yang digunakan untuk MDR-TB memang berbeda dari TB biasa, karena kumankumannya sudah resisten atau kebal dengan obat biasa. Harus dipilihkan obat dengan
kekuatan yang lebih besar, jenisnya lebih banyak dan tentu saja efek sampingnya
makin beragam.
Ekonomi
Faktor berikutnya adalah ekonomi. Meski obat-obatan TB maupun MDR-TB bisa
diperoleh secara gratis, kenyataannya pasien masih harus menanggung biaya lain

seperti transportasi menuju rumah sakit untuk kontrol maupun sekedar menebus obatobatan.

Cara Penularan Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif. Pada waktu
batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan
dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan
dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak
berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat
bertahan selama beberapa jam dalam keadaan gelap dan lembab. Daya
penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan
dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin
menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan
kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya
menghirup udara tersebut (Depkes RI, 2008). Risiko tertular tergantung dari
tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif
memberi kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru
dengan BTA negatif. Risiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan
Annual Risk Of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang
berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10
(sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI di
Indonesia bervariasi antara 13%. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan
reaksi tuberkulin negatif menjadi positif (Depkes RI, 2008). Risiko menjadi
sakit TB hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.
Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi
1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB
setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif (Depkes RI,
2008). Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB
adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS (Human
Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome) dan
malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi
terinfeksi TB menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas
sistem daya tahan tubuh seluler Universitas Sumatera Utara (cellular
immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti

tuberkulosis, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian


penularan TB di masyarakat akan meningkat.4
5. Antibiotik pada tbc paru dengan infeksi sekunder atau pada lesi lanjut
Terapi antibiotik dini untuk kasus yang diduga merupakan suatu eksaserbasi mungkin
akan membatasi lingkaran setang yang terjadi. Antibiotik yang menjadi pilihan utama
adalah fluorokuinolon seperti levofloxacin atau ciprofloxacin. Durasi terapi minimal 7
10 hari. Kultur sputum dan uji sensitivitas diindikasikan untuk pasien yang tidak
berespon pada antibiotik inisial atau diketahui berasal dari mikroorganisme yang telah
resisten .
Pilihan antibiotik harus berdaraskan kultur sputum terbaru. Jika hasilnya negatif atau
tidak dapat dilakukan, terapi menggunakan amoxicillin clavulanat atau doxycycline
direkomendasikan. Lama terapi harus diperpanjang menjadi minimal 10 hari. Follow
up dini (dalam 4 hari) diperlukan untuk memantau respon pengobatan. Sebagian besar
pasien akan membaik dalam waktu 7 hari, meskipun dapat mencapai waktu 4 minggu
untuk kembali pada keadaan basal.5

Anda mungkin juga menyukai