DI SUSUN OLEH
NAMA : APRIANSAH
TINGKAT
: IVA S1 KEPERAWATAN
NIM
: 12010069
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan yang memberikan pelayananan
medis dan asuhan keperawatan untuk semua jenis penyakit termasuk penyakit infeksi.
Menghadapi era globalisasi kualitas sumber daya manusia dan mutu pelayanan di rumah
sakit perlu ditingkatkan agar maju, mandiri dan sejahtera sehingga dapat memacu
peningkatkan tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial yang lebih baik
(Darmadi, 2008).
Asuhan keperawatan professional, dibutuhkan adanya tenaga perawat yang memiliki
pengetahuan, kemampuan teknis dan non teknis yang memadai, klasifikasi serta jumlahnya.
Tenaga keperawatan merupakan pelaksana terdepan dalam peningkatan mutu serta kualitas
pelayanan kesehatan jasa di rumah sakit.
Setiap pasien di rumah sakit dalam menerima perawatan, dari beberapa individu
dimana salah satu diantaranya mungkin akan berperan sebagai pengangkut kuman antar
penderita atau mungkin antar perawat dengan pasien sehingga sangat sulit mencegah
terjadi infeksi silang (cross infection). Disamping itu, pasien yang dirawat dirumah sakit
mengalami kepekaan terhadap berbagai jenis infeksi karena keadaan penyakit yang
dideritanya, maupun karena pengobatan dan perawatan yang didapatkan, mengalami
keterpaparan terhadap sumber darah, jarum, kateter serta berbagai alat, sekalipun alat-alat
tersebut telah dibebas kumankan tetapi dalam penggunaannya dapat menyebabkan
timbulnya infeksi nosokomial.
Saat ini, angka kejadian infeksi nosokomial telah menjadi tolak ukur mutu pelayanan
rumah sakit. Izin operasinal rumah sakit bisa dicabut kerena tingginya angka kejadian infeksi
nosokomial (Darmadi, 2008).
2
Infeksi nosokomial saat ini merupakan salah satu penyebab meningkatnya angka
kesakitan (morbidity) dan angka kematian (mortality) di rumah sakit sehingga menjadi
masalah kesehatan baru, baik di negara berkembang maupun di negara maju.
Kejadian infeksi nosokomial berakibat mutu pelayanan asuhan keperawatan tidak
optimal. Untuk mencegah atau mengurangi angka kejadian infeksi nosokomial diperlukan
tindakan yang tepat. Beberapa tindakan pencegahan tersebut antara lain mencuci tangan
untuk mencegah infeksi silang, dan pemakaian alat pelindung untuk mencegah kontak
darah dan cairan lainnya.
Cara untuk menekan resiko infeksi nosokomial adalah kembali kepada tehnik sepsis
dan antisepsis serta perbaikan sikap termasuk pengetahuan personil rumah sakit,
diantaranya adalah perawat yang merupakan tenaga paling lama kontak dengan pasien.
Upaya pencegahan infeksi nosokomial di rumah sakit melibatkan berbagai unsur,
mulai dari peran pimpinan sampai petugas kesehatan sendiri khususnya tenaga
keperawatan sebagai pelaksana langsung dalam pencegahan infeksi. Salah satu strategi
yang sudah terbukti bermanfaat dalam pengendalian infeksi nosokomial adalah
peningkatan kemampuan petugas kesehatan dalam metode Kewaspadaan Universal
(Universal Precautions) yaitu suatu cara penanganan baru untuk meminimalkan pajanan
darah dan cairan tubuh dari semua pasien, tanpa memperdulikan status infeksi
(infeksi.com.RSPI-SS,2007).
Perawat harus memiliki tingkat pendidikan dan pengetahuan yang cukup, hal tersebut
penting dalam membentuk tindakan perawat dalam memberikan pelayanan pada
pasien,terutama dalam hal tindakan pencegahan infeksi nosokomial. Penelitian terbukti
bahwa perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak
didasari pengetahuan, hal tersebut
penularan infeksi silang cross infection baik dari pasien ke petugas atau sebaliknya, maka
perlu mencuci tangan, pemakaian sarung tangan, dan alat pelindung lain serta
menggunakan alat steril pada saat melakukan tindakan pada pasien.
RSUD Propinsi Sulawesi Tenggara merupakan salah satu rumah sakit yang
memberian pelayanan kesehatan. Berdasarkan
pasien yang mengalami phlebitis yaitu 31,08% dan infeksi luka operasi 3,22% untuk periode
Januari Desember 2008.
Berdasarkan informasi yang diperoleh peneliti pada saat pengumpulan data awal
tanggal 22 23 September 2009 bahwa selama periode Januari Desember 2008 jumlah
kunjungan pasien rawat inap bedah sebanyak 1.516 orang, jumlah tempat tidur 38 buah.
Sedangkan jumlah tenaga perawat yang bertugas diruang perawatan bedah sebanyak 32
orang. Pengamatan peneliti selama pengumpulan data di ruangan perawatan bedah dengan
melihat status penderita secara acak temukan ada 10 status insiden plebitis yang di
dokumentasikan, plebitis merupakan salah satu kejadian infeksi nosokomial. Kondisi
tersebut menjelaskan diperlukan upaya perawat dalam hal pencegahan infeksi insokomial.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai hubungan pengetahuan dengan perilaku perawat terhadap tindakan pencegahan
infeksi nosokomial diruang perawatan bedah RSUD. Propinsi Sulawesi Tenggara.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakag tersebut diatas memberikan dasar bagi
peneliti untuk merumuskan masalah penelitian sebagai berikut Apakah ada hubungan
pengetahuan dengan perilaku perawat terhadap tindakan pencegahan infeksi
nosokomial di ruang perawatan bedah RSUD. Propinsi Sulawesi Tenggara?
C. Tujuan Penelitian.
1. Tujuan Umum.
Diketahuinya hubungan pengetahuan dengan perilaku perawat terhadap pencegaan
infeksi nosokomial diruang perawatan bedah.
2. Tujuan Khusus.
a. Diketahuinya tingkat pengetahuan perawat terhadap tindakan pencegahan infeksi
nosokomial.
b. Diketahuinya hubungan tingkat pendidikan dengan perilaku perawat terhadap
tindakan pencegahan infeksi nosokomial.
D. Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian ini merupakan salah satu sumber masukan dan informasi bagi rumah
sakit untuk tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial.
2. Dapat menambah ilmu pengetahuan dan diharapkan menjadi salah satu bahan bacaan
bagi peneliti berikutnya.
3. Bagi Peneliti sendiri merupakan pengalaman yang sangat berharga untuk menambah
wawasan dan ilmu pengetahuan tentang hal-hal yang dapat dilakukan dalam tindakan
pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.
Pengertian.
Nosokomial berasal dari bahasa Yunani dari kata nosos yang artinya
penyakit, dan komeo yang artinya merawat. Nosokomion berarti tempat untuk
merawat atau rumah sakit. Jadi infeksi nosokomial dapat diartikan sebagai infeksi
yang diperoleh atau yang terjadi di rumah sakit (Darmadi, 2008).
Infeksi di rumah sakit atau di kenal dengan infeksi Nosokomial adalah infeksi
yang didapat oleh penderita ketika penderita dalam proses asuhan keperawatan di
rumah sakit, pada waktu penderita mulai dirawat tidak didapatkan tanda-tanda klinik
dari infeksi tersebut, tidak dalam masa inkubasi suatu penyakit infeksi dan infeksi timbul
sekurang-kurangnya setelah 3 x 24 jam sejak pasien mulai perawatan di rumah sakit.
Infeksi nosokomial tidak saja mengenai penderita yang di rawat, tetapi juga dapat
mengenai setiap petugas rumah sakit (Darmadi, 2008). Definisi
menurut
WHO,
infeksi nosokomial adalah semua kasus kelainan klinik yang disebabkan oleh
mikroorganisme yang menyerang pasien rawat inap maupun rawat jalan, petugas
rumah sakit, dan mungkin juga pengunjung pasien.
Infeksi nosokomial adalah suatu infeksi yang didapat di rumah sakit apabila: pada
saat masuk rumah sakit tidak ada tanda / gejala atau
tidak dalam masa inkubasi infeksi tersebut, terjadi 3 kali 24 jam setelah pasien dirawat
di rumah sakit atau dapat terjadi infeksi pada lokasi yang sama tetapi disebabkan oleh
mikroorganisme yang berbeda dari mikroorganisme pada saat masuk rumah sakit atau
mikroorganisme penyebabnya sama tetapi lokasi infeksi yang berbeda. (Depkes RI,
2001).
Menurut Sjamsuhidajat infeksi nosokomial merupakan infeksi yang terjadi pada
masa keperawatan pasien di rumah sakit.Infeksi dapat di tegakkan apabila infeksi terjadi
ketika pasien lebih dari 3 hari di rumah sakit.
penanggulangan
infeksi
nosokomial
di
2.
Etiologi
Penyebab mikroba patogen yang beraneka ragam, baik dalam bentuk bakteri,
virus, jamur, atau protozoa. Mikroba patogen sebagai penyebab terbanyak adalah jenis
bakteri (62 %) dimana gram negatif 41 %, gram positif 15 % dan gram negatif bersama
positif 6 %. Sedangkan karena jamur 9 %, virus 8 % dan mikrobakterium 4 % (Struelens
1999).
3.
Rantai Penularan
Rantai penularan infeksi nosokomial dipengaruhi oleh 3 faktor
a.
penting, yaitu :
Mikroba
Mikroba penyebab yang terbanyak adalah bakteri dan virus, sedang fungi dan parasit
jarang menyebabkan infeksi nosokomial. Faktor dari pihak mikroba penyebab yang
7
Penularan
Penularan infeksi nosokomial terjadi melalui satu atau lebih rute penularan, yaitu
lewat kontak, common vehicle, udara (airborne), atau melalui vector. Dalam garis
besarnya, mekanisme transmisi mikroba pathogen ke penjamu yang rentan melalui
dua cara:
media
terkontaminasi
perantara
penularan
adalah
benda/bahan
yang
media
perantara
penularan
adalah
vector
(serangga)
yang
Penjamu/calon penderita
Terjadinya infeksi pada penjamu (korban) setelah tertular, juga
ditentukan oleh
tempat masuknya mikroba patogen ke dalam tubuh penjamu (portd entry) dan
pertahanan tubuh (kekebalan) penjamu. Portd entry antara lain kulit dan selaput
mukosa, misalnya mukosa mata, saluran nafas, saluran gastrointestinal, saluran
kelamin, dan saluran kemih.
d.
Lingkungan
Berupa lingkungan internal seperti ruangan/bangsal perawatan, kamar badah
dan kamar bersalin. Sedangkan lingkungan eksternal adalah halaman rumah sakit,
dan tempat pembuangan sampah/pengolahan limbah rumah sakit.
Lingkungan tempat pelayanan kesehatan juga merupakan faktor yang dapat
mempengaruhi mata rantai infeksi. Untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial
maka lingkungan harus dibuat sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan
mikroba untuk dapat hidup dan berkembang biak di tempat tersebut.
4.
Faktor Resiko.
Semua jenis tindakan medis yang bertujuan untuk menegakkan diagnosis dan
terapi serta prosedur dan tindakan keperawatan tidak akan terlepas dari resiko terjadi
infeksi dari yang ringan sampai yang berat. Beberapa prosedur tindakan yang beresiko
antara lain; pemberian suntikkan IM/IV, infus atau transfusi darah, kateterisasi urine,
pemasangan nasogstric tube, kuretase, pertolongan persalinan normal, dan tindakan
operatif.
5.
Pencegahan.
Pencegahan infeksi nosokomial di rumah sakit merupakan tanggung jawab
seluruh petugas kesehatan di rumah sakit. Inti dari tindakan pencegahan infeksi
nosokomial adalah pada masalah perkembangbiakan mikroba patogen pada reservoir
serta penyebarannya dari reservoir ke penjamu (pasien yang sedang dalam proses
asuhan keperawatan). Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan perawat/petugas
ruangan perawatan antara lain:
a.
Menjaga
agar
ruangan/bangsal
perawatan
terjaga
kebersihannya,
serta
Peralatan medis dan non medis harus siap pakai dalam keadaan bersih dan steriil.
Mencegah perilaku atau cara kerja petugas/perawat yang tidak meperhatikan
kebesihan atau tindakan tidak aseptik.
d. Mengenal diagnosis penyakit pasien terutama pasien yang rawan terjangkit infeksi
nosokomial.
e. Mengenal tindak-tindakan invasif
nosokomial.
f.
Mencegah terjadinya infeksi silang (cross infection) diantara pasien dengan pasien,
serta antara pertugas/perawat dengan pasien.
6.
a.
Mencuci tangan
Mencuci tangan adalah salah satu prosedur yang paling penting dalam
mencegah infeksi nosokomial. Tangan adalah instrumen yang digunakan untuk
menyentuh pasien, memegang alat perabot rumah sakit dan juga untuk keperluan
pribadi seperti untuk makan (Perry, 2005).
Larutan antiseptik atau juga disebut antimikroba topikal adalah produk yang
dipakai pada kulit atau jaringan hidup lainya untuk menghambat aktivitas
mikroorganisme atau membunuhnya sehingga menurunkan jumlah total bakteri
pada kulit. Sementara desinfektan adalah bahan kimia yang ditujukan untuk
membunuh mikroorganisme pada benda-benda mati seperti peralatan, instrumen
meja atau lantai (Perry, 2005).
Jenis bahan pencuci tangan ada dua yaitu :
1)
2)
Larutan antispetik
Jenis ini di gunakan untuk mencuci tangan dan membersihkan kulit pada saat :
a)
b)
Sebelum
tindakan/kontak
dengan
pasien
yang
d)
e)
f)
g)
Sebelum
dan
selama
perawatan
pasien
immunocompromised.
11
2)
3)
Cuci
tangan
bedah
proses
menghilangkan
atau
mematikan
2)
3)
4)
Menggunakan
larutan
antiseptik
atau
subtitusinya
untuk
2)
3)
4)
5)
Keringkan dengan lap bersih dan kering karena tangan yang basah
dapat menumbuhkan dan memindahkan kuman.
b.
barier
palindung
yang
efektif
terhadap
mikroflora
kulit
yang
2)
2)
Sarung tangan juga harus dipakai bila seseorang tenaga medis memiliki
luka terbuka pada tangannya.
3)
Sarung tangan dipakai bila merawat pasien yang berbeda dan setelah
bersentuhan dengan eksresi dan sekresi pasien.
4)
Tangan harus segera dicuci setelah sarung tangan dilepas karena sarung
tangan bukan pengganti cuci tangan.
2)
Dipakai
3)
Dipakai
dalam
melakukan
perawatan
terhadap
pasien
yang
Penggunaan masker
Masker dipakai untuk melindungi pemakai dari transmisi mikroorganisme yang
dapat di tularkan melalui udara, droplet atau pada saat kemungkinan terkena
cipratan cairaan tubuh. Masker sangat penting terutama bagi tenaga medis yang
bekerja merawat luka terbuka yang besar, seperti luka operasi atau luka bakar atau
merawat pasien yang terinfeksi dengan penyakit-penyakit yang ditularkan melalui
udara atau droplet. Sebaliknya masker juga melindungi pasien dari infeksi yang
penularannya melalui udara terutama bagi pasien di kamar operasi, kamar bersalin
dan bayi.
Masker yang baik menutupi hidung dan mulut dengan baik. Masker sekali pakai
jauh lebih efektif dibandingkan masker dari kasa katun dalam menjaga transmisi
mikroorganisme patogen melalui udara dan droplet. Seharunya masker diganti bila
akan merawat pasien lain atau bila lembab dan tidak boleh digantung dileher lalu
dipakai kembali (Depkes RI, 2001).
d.
Pemakaian gaun.
Pada prinsipnya ada dua macam gaun yaitu yang steril dan non steril. Gaun
steril biasaanya dipakai oleh ahli bedah dan para asistennya di kamar bedah saat
melakukan pembedahan, sedangan gaun non steril dipakai di berbagai unit beresiko
tinggi misalnya oleh pengunjung kamar bersalin, ICU, kamar operasi, rawat darurat
dan kamar bayi (Depkes RI, 2001).
e.
Dekontaminansi
14
Tahapan ini sangat penting dilakukan untuk tujuan mencegah penyebaran infeksi
dari instrumen yang terkontaminasi (darah/mukosa) dan juga bertujuan
melindungi tenaga medis yang akan melakukan pembersihan instrumen. Pada
tahapan ini diperlukan sistem pembunuhan kuman yang
kebutuhan. Bahan kimia yang mengandung Chlorine bebas (seperti NaDCC atau
NaOCL) cepat membunuh kuman yang berbahaya seperti virus Hepatitis B atau HIV
dengan perendaman sekitar 15 menit.
2)
atau kimiawi. Secara mekanis dapat digunakan sikat, air dan mungkin sedikit
sabun yang tidak banyak mengandung busa. Sedangkan secara kimiawi dengan
bahan enzimatis seperti enzym protease untuk merontokkan darah atau mukosa
juga menjadi pilihan.
3)
Desinfeksi
Desinfeksi adalah menghilangkan jumlah mikroorganisme sampai jumlah
tertentu. Berdasar kekuatan desinfektan membunuh kuman, desinfeksi dapat
dibagi tiga yaitu desinfeksi tingkat tinggi (Glutaraldehyde 2 %), tingkat menengah
(chlorine bebas) dan tingkat rendah (air panas).
4)
Sterilisasi
Sterilisasi adalah menghilangkan seluruh mikroorganisme termasuk spora.
Secara umum sterilisasi ada dua cara yaitu :
a)
b)
1. Pendidikan
Pendidikan menurut ensklopedia (1982) secara umum dapat diartikan sebagai
perbuatan. Teori Gibson (1994) yang menyatakan bahwa, tingkat pendidikan yang lebih
tinggi pada umumnya menyebabkan seseorang lebih mampu menganalisa. Menurut Piaget (J.
W. Luhulima, 2001) bahwa perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik,
artinya proses yang didasarkan atas mekanisme biologi yaitu perkembangan sistem
saraf. Dengan makin bertambahnya usia seseorang maka makin komplekslah susunan
sel sarafnya dan makin meningkat pula pengetahuannya.
Pendidikan
adalah
suatu
usaha
untuk
mengembangkan
kepribadian
dan
kemampuan di dalam dan diluar sekolah dan berlangsung seumur hidup (Notoatmodjo,
2007).
Pendidikan mempengaruhi proses belajar menurut I.B Mantra (1994) makin tinggi
pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi dengan
pendidikan tinggi maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi baik
dari orang lain maupun media massa, makin banyak informasi yang masuk semakin
banyak pula pengetahuan yang didapat tentang ilmu kesehatan atau ilmu keperawatan.
2. Pengetahuan
Pengertian pengetahuan adalah sebagai ingatan atas berbagai bahan yang telah
dipelajari dan ini mungkin menyangkut mengingat kembali sekumpulan bahan yang luas
dari hal-hal yang terpenuhi dari teori.
ingatan akan keterangan yang sesuai, akibatnya dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan pengetahuan adalah apa yang telah diketahui dan mampu diingat
oleh setiap orang setelah mengalami, menyaksikan, mengamati atau belajar sejak ia
lahir hingga dewasa ( Ngatimin, 2000).
Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan
domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior).
16
Karena
pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan (Notoadmodjo 2007).
Menurut Rogers, (1974) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2007)
mengungkapkan
bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru terjadi proses yang berurutan yakni :
a. Awareness (kesadaran) yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui
lebih dahulu terhadap stimulus (objek).
b. Interst (merasa tertarik) terhadap stimulus (objek).
c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi
dirinya.
d. Trial yakni objek sudah mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang
dikehendaki oleh stimulus.
e. Adoption yakni subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
Apabila penerimaan prilaku baru/adopsi prilaku melalui proses seperti ini yaitu
didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap positif maka prilaku tersebut akan
bersifat langgeng. Sebaliknya apabila prilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan
kesadaran maka tidak akan berlangsung lama.
Menurut Bloom pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai
enam tingkatan yaitu:
a. Tahu (know) diartikan sebagai mengingat kembali dan ini merupakan tingkatan
pengetahuan yang paling rendah dengan cara menyebutkan, mendefinisikan dan
menyatukan.
b. Memahami (comprehention) yaitu suatu kemampuan untum menjelaskan secara
benar tentang obyek yang diketahui secara benar tentang obyek yang diketahui dan
menginterpretasikan.
17
belajar. Belajar adalah mencari dan membentuk pengetahuan yang didasarkan atas
sense (indera), kekuatan rasio,intuitif dan otoritatif ( Ediyono,2005).
Pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang perawat dalam tindakan
pencegahan infeksi nosokomial di rumah sakit meliputi; definisi, penyebab, cara
penyebaran, sterilisasi dan teknik antiseptik dan desinfektan, serta aspek pencegahan
infeksi nosokomial.
3. Lama Bekerja
Semakin lama seorang berkarya dalam suatu organisasi maka semakin tinggi
pula produktivitasnya. Juga dijelaskan bahwa ada dua perbedaan antara tenaga kerja
yang masih baru dengan tenaga kerja yang masa kerjanya lama atau berpengalaman
dalam menghasilkan produk, makin lama masa kerja seseorang maka makin
berpengalaman dan makin tinggi produktifitasnya ( Siagian ,1999).
Infeksi pada petugas juga berpengaruh pada mutu pelayanan rumah sakit
karena petugas menjadi sakit dan mempengaruhi produktivitas kerjanya sehingga
tidak dapat melayani pasien. Mengingat hal-hal tersebut diatas maka sudah
waktunya untuk melakukan tindakan-tindakan penanggulangan infeksi nosokomial
18
4. Perilaku
Perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh organisme, baik yang dapat diamati secara
langsung maupun tidak langsung. Perilaku manusia pada hakikatnya adalah suatu aktifitas
dari pada manusia itu sendiri, oleh karena itu perilaku manusia mempunyai bentangan yang
sangat luas. Perilaku manusia dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Herediter
merupakan konsep dasar atau untuk perkembangan perilaku mahluk hidup itu. Sedangkan
lingkungan merupakan kondisi atau lahan untuk perkembangan perilaku tersebut
(Notoatmodjo, 2007).
Selain itu ada beberapa teori lain yang telah dicoba untuk mengungkapkan faktor
penentu yang dapat mempengaruhi perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan
kesehatan, antara lain :
1.
Faktor
predisposisi
(predisposing
fakctor),
yang
terwujud
dalam
c)
Faktor pendorong (Reinforcing factor) yang terwujud dalam sikap dan perilaku
petugas kesehatan atau petugas yang lain yang merupakan kelompok referensi dari
perilaku masyarakat.
19
2.
b)
c)
kesehatan
(accessebility of information).
d)
Otonomi pribadi orang yang bersangkutan dalam hal mengambil tindakan atau
keputusan (personal autonomy).
e)
untuk
situation).
3.
b)
Kepercayaan sering atau diperoleh dari orang tua, kakek, nenek. Seorang
menarik kepercayaan berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya pembuktian
terlebih dahulu.
c)
terwujud dalam suatu tindakan tergantung pada situasi saat itu, sikap akan diikuti
atau tidak diikuti oleh tindakan mengacu pada pengalaman orang lain. Sikap diikuti
atau tidak diikuti suatu tindakan berdasarkan pada banyaknya atau sedikitnya
pengalaman seseorang.
d)
Kemudian Katz (1960) yang dikutip oleh Notoatmodjo S, (2007). Juga mengatakan
bahwa perilaku di latar belakangi oleh kebutuhan individu yang bersangkutan, maka ia
berasumsi bahwa:
1. Perilaku mempunyai instrumental, artinya dapat berfungsi dan memberi pelayanan
terhadap kebutuhan. Seseorang dapat bertindak (berperilaku) positif terhadap obyek
demi pemenuhan kebutuhan., sebaliknya bila obyek tidak memenuhi kebutuhan maka ia
akan berperilaku negatif
2. Perilaku berfungsi sebagai defence mecanism atau sebagai pertahanan diri dalam
menghadapi lingkungan, artinya dengan perilakunya, manusia dapat melindungi
ancaman-ancaman yang dapat datang dari luar.
3. Perilaku berfungsi sebagai penerima obyek dan pemberi arti. Dalam perannya dengan
tindakan itu seorang senantiasa menyesuaikan diri dengan lingkungan menurut
kebutuhan.
4. Perilaku berfungsi sebagai nilai ekspresif dari diri seorang dalam menjawab suatu
situasi. Oleh sebab itu didalam kehidupan manusia perilaku itu tampak terus-menerus
dan berubah secara relatif.
Sedangkan menurut WHO perubahan perilaku itu dikelompokkan menjadi tiga yaitu:
1. Perubahan alamiah (natural change) bahwa perilaku manusia selalu berubah dimana
sebagian perubahan itu disebabkan karena kejadian alamiah. Apabila dalam
masyarakat sekitar terjadi suatu perubahan lingkungan fisik atau sosial budaya dan
ekonomi, maka anggota manyarakat didalamnya juga akan mengalami perubahan.
21
2.
3.
Dengan diskusi dan partisipasi. Cara ini sebagai peningkatan cara yang kedua diatas
dimana didalam memberikan informasi-informasi tentang kesehatan tidak bersifat
searah saja, tetapi dua arah. Hal ini berarti masyarakat tidak hanya pasif menerima
informasi tetapi juga harus aktif berpartisipasi melalui diskusi-diskusi tentang informasi
yang diterimanya.
5. Ketersediaan Sarana.
22
keperawatan
serta
prioritas
yang
menjadi
pertimbangan
dalam
pengambilan keputusan.
2.
4.
5.
Adanya
sumber
daya
manusia
yang
mempeunyai
Pemilihan
jenis
peralatan
keperawatan
yang
a.Alat-alat kesehatan
Ratio
Nama Barang
Pasien : Alat
23
- Tensi meter
2 / ruangan
- Stetoskop
2 / ruangan
- Sterilisator
1 / ruangan
- Gunting verband
2 / ruangan
- Korentang
2 / runagan
- Masker O2
2 / ruangan
- Termometer
2 / rungan
- Sarung tangan
1 : 1-2
- Bahan-bahan desinfektan
Sesuai kebutuhan
b.
Alat-alat tenun :
Nama Barang
Ratiao
Pasien : Alat
- Gaun pelindung
Sesuai kebutuhan.
- Masker O 2
1 : 1/2
- Handuk
1:3
- Waslap
1:5
- Mitella
1:3
- Seprei
1:5
- Selimut besar
1:5
24
- Selimut anak
1:6
Rasio
Pasien : Alat
1 / ruangan
air
- Kursi roda
2-3 ruangan
- Meja pasien
1:1
1:1
- Troly
1:1
- Waskom mandi
8 12 / ruangan
- Tempat sampah
1: 1
25
BAB III
KERANGKA KONSEP
A. Variabel Penelitian
1.
Identifikasi variabel
a. Variabel independen
Variabel independen pada penelitian ini adalah tingkat pengetahuan perawat tentang
infeksi nosokomial.
b. Variabel dependen
Variabel dependen pada penelitian ini adalah perilaku perawat terhadap tindakan
pencegahan infeksi nosokomial.
c. Variabel moderator pada penelitian ini adalah tingkat pendidikan dan lama kerja
perawat.
2.
Definisi Operasional :
a. Pengetahuan
Pengetahuan yang di maksud peneliti dalam penelitian ini adalah segala sesuatu
yang diketahui perawat tentang infeksi nosokomial di ukur dengan kuesioner yang
terdiri dari 20 pertanyaan yang menggunakan skala Guttman, apabila benar nilai 1
dan salah nilai 0 mencakup : pengertian infeksi nosokomial, cara penularan infeksi
nosokomial, faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi nosokomial,
penyebab infeksi nosokomial, prosedur tetap pencegahan infeksi nosokomial dan
manfaat pencegahan infeksi nosokomial.
Tingkat pengetahuan dinyatakan dalam presentase skor pada skor total
Kriteria objektif :
Pengetahuan baik
: skor 11
26
tindakan keperawatan
Guttman yang apabila melakukan nilai 1 dan tidak melakukan nilai 0 yang mencakup:
mencuci tangan sesuai dengan prosedur, menggunakan sarung tangan sesuai
dengan
prosedur,
tindakan
invasif
keperawatan,
penempatan
sampah
dan
: skor 15
sarana/peralatan
dan
lingkungan.
Keseluruhan
variabel
tersebut
dapat
Variabel Independen :
Variabel Dependen :
Variabel Moderator
Keterangan:
Variabel yang diteliti
28
BAB IV
METODE PENELITIAN
B. Rancangan Penelitian
Berdasarkan ruang lingkup permasalahan dan tujuan penelitian maka penelitian ini
menggunakan desain penelitian 0bsevasional dengan pendekatan cross sectional study
yaitu jenis penelitian yang menekankan pengukuran/observasi variabel independen dan
dependen dilakukan dalam waktu yang bersamaan. Rancangan ini melihat atau
mengungkapkan hubungan (korelatif) antara pengetahuan dengan perilaku perawat
terhadap tindakan
RSUD. Propinsi
Sulawesi Tenggara.
2. Waktu : Penelitian ini dilakukan tanggal 11 november - 24 november 2009.
D. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi yang dipakai dalam penelitian ini adalah seluruh perawat pelaksana
yang bertugas di ruang perawatan/bangsal bedah RSUD. Propinsi Sulawesi Tenggara
sebanyak 32 orang.
2. Sampel
29
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah total sampling yaitu semua
perawat yang bertugas di ruang perawatan bedah RSUD. Propinsi Sulawesi Tenggara
yang bersedia menjadi respondan.
Kriteria Inklusi:
a. Semua perawat di ruang perawatan bedah RSUD Propinsi Sulawesi Tenggara.
b. Perawat yang bersedia menjadi responden.
Kriteria Eksklusi:
a. Perawat yang sedang cuti.
b. Perawat yang tidak melakukan tindakan keperawatan.
c. Perawat yang tidak bersediah menjadi respoden.
Data yang diperoleh diolah melalui program SPSS 17,0. Sebelum dilakukan analisis
statistika, dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :
1.
Editing
Dilakukan setelah semua data terkumpul kemudian dilakukan pemeriksaan kelengkapan
data menurut karakteristiknya masing-masing, kesinambungan data dan keragaman
data.
2. Koding
Untuk memudahkan pengolahan data maka semua jawaban atau diberi kode menurut
jawaban responden. Pengkodean ini dilakukan dengan pemberian halaman, daftar
pertanyaan, nomor pertanyaan, nomor variabel dan nama variabel.
Setelah data terkumpul dilakukan uji analisis statistik sebagai berikut :
a. Analisis Univariat
30
presentase dari
F. Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti memandang perlu adanya rekomendasi dari pihak
institusi atas pihak lain dengan mengajukan permohonan izin kepada instansi tempat
penelitian. Setelah mendapat persetujuan barulah dilakukan penelitian dengan menekankan
masalah etika penelitian yang meliputi :
Informed consent
Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden yang akan diteliti yang memenuhi
kriteria inklusi dan disertai judul penelitian dan manfaat penelitian. Bila subjek menolak
maka peneliti tidak akan memaksakan kehendak dan tetap menghormati hak-hak subjek.
Anonimity (tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasiaan peneliti tidak akan mencantumkan nama responden, tetapi
lembar tersebut diberikan kode.
3.
Confidentiality
Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti dan hanya kelompok data
tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian.
31
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah Propinsi Sulawesi Tenggara
mulai tanggal 11 November sampai 24 November 2009. Jenis penelitian yang digunakan
adalah observasional dengan pendekatan cross sectional study untuk melihat hubungan
tingkat pengetahuan dengan perilaku pencegahan infeksi nosokomial di ruang perawatan
bedah.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan alat bantu kuesioner yang diisi oleh
responden untuk variabel tingkat pengetahuan sedangkan variabel perilaku perawat
didapatkan dari hasil observasi setiap responden.
Adapun hasil penelitian yang telah dilakukan dapat dilihat pada uraian berikut:
1. Deskripsi karakteristik responden
Karakteristik responden merupakan ciri khas yang dimiliki responden meliputi umur,
jenis kelamin, pendidikan dan lama kerja. Perawat yang bertugas diruang perawatan
bedah yang memenuhi kriteria inklusi dalam penelitian ini terdiri dari 30 responden,
sebagian besar berumur 26-30 tahun yaitu sebanyak 13 orang atau 43,3 %, berdasarkan
jenis kelamin sebagian besar responden adalah perempuan yaitu 23 orang atau 76,7 %,
berdasarkan pendidikan sebagian besar responden berpendidikan D III Keperawatan
yaitu sebanyak 19 orang atau 63,3 % dan berdasarkan lama kerja sebagian besar
responden dengan masa kerja 1 - 5 tahun yaitu 13 orang atau 43,3 %. Distribusi
frekuensi karakteristik demografi responden dapat dilihat pada tabel 5.1 sebagai berikut:
32
Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Karakteristik Demografi Responden
di Ruang Perawatan Bedah RSUD Propinsi SULTRA Tahun 2009
PERSEN
KARAKTERISTIK
(%)
Umur
21 - 25 tahun
16,7
26 - 30 tahun
13
43,3
31 - 35 tahun
23,3
36 - 40 tahun
10,0
41 - 45 tahun
6,7
Laki-laki
23,3
Perempuan
23
76,7
SPK
20,0
D III Keperawatan
19
63,3
S1 Keperawatan /Ners
6,7
S1 Kesmas
10,0
Jenis Kelamin
Pendidikan
33
Lama Kerja
1 - 5 tahun
13
43,3
6 - 10 tahun
23,3
11-15 tahun
26,7
16-20 tahun
3,3
21-25 tahun
3,3
30
100,0
Jumlah
Sumber : Data Primer, 2009
2. Analisa Univariat.
Analisis objek dalam penelitian yaitu tingkat pendidikan dan perilaku perawat terhadap
pencegahan infeksi nosokomial.
a. Tingkat pengetahuan perawat tentang infeksi nosokomial
Tingkat pengetahuan perawat yang bertugas di ruang perawatan bedah Rumah Sakit
Umum Daerah Propinsi Sulawesi Tenggara yang menjadi sampel dalam penelitian ini
sebanyak 30 orang , yang terdiri 27 orang mempunyai tingkat pengetahuan baik dan 3
orang pengetahuan kurang. Distribusi frekuensi berdasarkan tingkat pengetahuan
perawat tentang infeksi nosokomial dapat dilihat pada tabel 5.1 sebagai berikut:
Tabel 5.2
34
TINGKAT PENGETAHUAN
JUMLAH (n)
PERSEN (%)
Baik
27
90,0
Kurang
10,0
Jumlah
30
100,0
Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Perilaku Terhadap Tindakan
Pencegahan Infeksi Nosokpmial di Ruangan Perawatan Bedah RSUD. Prop.
SULTRA Tahun 2009
PERILAKU
JUMLAH (n)
PERSEN (%)
Baik
18
60,0
Kurang
12
40,0
35
Jumlah
30
100,0
3. Analisa Bivariat.
Analisis hubungan dilakukan untuk mengetahui hubungan variabel independen dengan
variabel dependen. Uji
kemaknaan = 0,05, tetapi tidak memenuhi syarat maka digunakan uji alternatif fishers
exact test.
Berdasarkan hasil uji fishers exact test bahwa tidak ada hubungan antara tingkat
pengetahuan dengan perilaku perawat terhadap tindakan pencegahan infeksi
nosokomial hal ini ditunjukkan dengan nilai p = 0,054 lebih besar dari nilai = 0,05 yaitu
dari 27 (90%) responden yang berpengetahuan baik terdapat 9 (75,0 %) responden
yang berperilaku kurang sedangkan 3 (10%) responden yang memiliki pengetahuan
kurang juga memiliki 3 (25%) berperilaku kurang. Distribusi hubungan tingkat
pengetahuan dengan perilaku perawat terhadap tindakan pencegahan infeksi
nosokomial dapat dilihat pada tabel 5.4 sebagai berikut:
Tabel 5.4
Distribusi Hubungan Pengetahuan dengan Perilaku Perawat Terhadap
Tindakan Pencegahan Infeksi Nosokomial di Ruang Perawatan Bedah
RSUD. Prop. SULTRATahun 2009
TINGKAT PENGETAHUAN
PERILAKU PENCEGAHAN
TOTAL
INFEKSI NOSOKOMIAL
36
BAIK
n
KURANG
n
75,0%
27
90,0%
100,0
Baik
18
%
Kurang
0,0%
25,0%
10,0%
Jumlah
18
100%
12
100%
30
100%
p = 0,054
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian dengan membandingkan teori yang ada, maka dapat
dikemukakan bahwa :
1.
masalah yang dihadapai termasuk masalah kesehatan. Sebab pengetahuan atau kognitif
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt
behavior). Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari
oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan (Notoadmodjo 2007).
2.
benda/alat infeksius lain sering tidak menggunakan alat proteksi diri seperti sarung
tangan dan masker.
Perilaku kurang baik yang dilihat saat observasi yaitu sebagian besar perawat
tidak mencuci tangan sebelum melakukan tindakan atau kontak dengan pasien, masih
ada perawat tidak menggunakan sarung tangan saat kontak dengan pasien,
penggunaan alat instrument yang berulang sebelum disterilkan pada pasien yang
berbeda dan masih ada perawat yang membuang sampah tidak sesuai tempatnya
antara lain spoit dan botol ampul bekas ditampung di dos bekas hal ini dapat
membahayakan petugas pelayan perawatan yang ada di ruangan.
3.
Infeksi Nosokomial.
Berdasarkan hasil analisa bivariat dengan menggunakan uji Fishers test tidak
ada hubungan antara tingkat pengetahuan perawat dengan perilaku pencegahan infeksi
nosokomial yaitu dari 27 (90%) responden yang berpengetahuan baik terdapat 18 (60 %)
responden menunjukkan perilaku yang baik terhadap pencegahan infeksi nosokomial.
Sesuai dengan observasi peneliti bahwa pada umumnya perawat yang berpengetahuan
baik selalu menunjukkan perilaku yang baik pula. Pengetahuan atau kognitif
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang
(overt behavior). Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang
didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari
oleh pengetahuan (Notoadmodjo 2007). Penelitiannya mengemukakan bahwa betapa
pentingnya pengetahuan seseorang untuk mengubah perilaku, makin tahu sesuatu maka
seseorang akan lebih termotivasi untuk melakukan hal-hal yang positif untuk dirinya.
Tingkat pengetahuan yang baik dimiliki oleh perawat maka makin besar kesadaran dan
39
motivasinya untuk melakukan hal-hal yang positif terutama dalam bekerja baik untuk
dirinya, pasien, petugas kesehatan lain maupun semua orang yang berada di rumah
sakit termasuk dalam usaha untuk melakukan pencegahan infeksi nosokomial.
Sedangkan dari 27 orang yang mempunyai pengetahuan baik terdapat 12 (40%)
responden yang berperilaku kurang. Hal ini menandakan bahwa tidak selamanya
pengetahuan baik bisa membuat seseorang berperilaku baik. Sesuai dengan hasil
observasi peneliti di lokasi penelitian bahwa hal ini disebabkan kurangnya sarana
memadai yang mendukung pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien sehingga
memerlukan kesiapan serta kesadaran dalam diri perawat untuk berperilaku baik. Dari
hasil wawancara meraka mengatakan bahwa sebenarnya kami tahu hal itu dapat
menyebabkan infeksi baik pada pasien maupun pada diri sendiri, tetapi karena
keadaannya sudah begini terpaksa kadang kami tidak mencuci tangan, menggunakan
sarung tangan dan masker. Di samping itu pihak rumah sakit belum melakukan
pelatihan-pelatihan tentang pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial bagi
perawat yang ada di ruang perawatan serta kurangnya kesadaran dalam diri perawat
untuk melakukan tindakan proteksi diri serta tindakan pencegahan dan pengendalian
infeksi nosokomial. Hasil observasi didapatkan masih ada yang membuang sampah
infeksius ke tempat sampah non infeksi walaupun sudah disediakan temapt sampah
berlabel Hal ini sesuai dengan teori yang di kemukkan oleh Green bahwa salah satu
yang mempengaruhi perilaku seseorang adalah sikap dan keyakinan serta ketersediaan
sarana .
Menurut WHO perubahan perilaku itu dikelompokkan menjadi tiga yaitu:
4. Perubahan alamiah (natural change) bahwa perilaku manusia selalu berubah dimana
sebagian perubahan itu disebabkan karena kejadian alamiah. Apabila dalam
masyarakat sekitar terjadi suatu perubahan lingkungan fisik atau sosial budaya dan
ekonomi, maka anggota manyarakat didalamnya juga akan mengalami perubahan.
40
kurang 3(25%) respoden. Hal ini menandakan bahwa seseorang yang mempunyai
pengetahuan kurang akan cenderung menunjukan perilaku yang kurang. Sesuai dengan
hasil observasi peneliti di lokasi penelitian bahwa dari 3 responden tersebut mempunyai
lingkungan kerja yang kurang baik antara lain keterbatasan sarana atau fasilisitas yang
menunjang dalam memberikan pelayanan keperawatan
serta kebiasaan-kebiasaan
kurang baik yang dilakukan perawat lain dalam melakukan tindakan sehingga ada
kecenderungan mengadobsi perilaku tersebut, hal ini menunjukan bahwa pentingnya
lingkungan kerja dan sumber daya manusia yang ada di sekitar kita untuk merubah
perilaku seseorang. Merubah perilaku tidaklah mudah, membutuhkan proses yang lama,
harus ada niat, dukungan sosial dari lingkungan sekitarnya. Sesuai teori yang di
kemukakan oleh Green bahwa salah satu faktor pendukung dalam perubahan perilaku
adalah lingkungan. Menurut teori Snehandu B. Kar mengatakan bahwa perilaku
merupakan fungsi dari (1) Niat seseorang untuk bertindak, (2) Dukungan sosial dari
masyarakat sekitarnya, (3) Ada tidaknya informasi kesehatan atau fasilitas kesehatan, (4)
Otonomi seseorang yang bersangkutan dalam mengambil tindakan atau keputusan, (5)
Situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak bertindak.
C.
Keterbatasan Penelitian
41
1. Sarana dan prasana masih kurang sehingga perawat dalam melaksanakan tindakan
keperawatan tidak mencerminkan perilaku yang sebenarnya, hal ini berdampak pada
peneliti sehingga tidak mendapatkan hasil yang diharapkan.
2. Ketebatasan waktu penelitian sehingga observasi perialku tidak maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Alimul, Azis.H.2007. Riset Keperawatan dan Tehnik Penulisan
Ilmiah.
Salemba
Medika.Jakarta.
Awangga, Suryaputra N. 2007. Desain Proposal Penelitian. Pyramid Publisher. Yogyakarta
Aru. W, dkk. 2007. Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Pusat Penerbit Ilmu penyakit Dalam FKUI.
Jakarta.
Budiarto, E. 2003. Biostatistika Untuk Kedokteran Dan Kesehatan Masyarakat. EGC. Jakarta.
Darmadi. 2008. Infeksi Nosokomial Problematika dan Pengendaliannya. Salemba Medika.
Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2007. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah
Sakait dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan lainnya. JHPIEGO dan PERDALIN. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2001. Penanggulangan Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit. Jakarta
Departemen Kesehatan RI. 2001. Standar Peralatan Keperawatan Dan Kebidanan di Sarana
Kesehatan. Jakarta.
42
Ediyono, Suryo. 2005. Filsafat Ilmu. Lintang Pustaka. Yogyakarta Martono,N. 2007.
MRSA Infeksi Nosokomial. Jurnal Keperawatan, (Online). (http://inna-ppni.or.id/html, diakses 25
September 2009).
Nursalam.2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Salemba
Medika. Jakarta.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku. Rineka Cipta. Jakarta
Perry, dkk. 2005. Buku Saku Ketrampilan dan Prosedur Dasar. Ed.5. EGC. Jakarta.
RSPI SS. 2007. Menkes Tetapkan 100 RS Rujukan Flu Burung. Pusat Informasi Penyakit
Infeksi. ( Online). ( http://www.infeksi.com/data/new sin. xml, diakses 24/9/2009).
Schaffer. 2000. Pencegahan Infeksi Dan Praktik Yang Aman. Penerbit Buku
Kedokteran .
EGC. Jakarta.
Setiadi. 2007. Konsep & Penulisan Riset Keperawatan. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Smeltzer Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Volume 3. EGC. Jakarta.
WHO. Nike Budhi Subekti, S.Kp. (Editor). 2005. Pedoman Perawatan Pasien (Nursing Care of
the Sick: A Guide for Nurses Working in Small Rural Hospitals). EGC Jakarta.
43
44