Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pengembangan Coalbed Methane Sebagai Sumber Energi Baru Di
Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pengembangan Coalbed Methane Sebagai Sumber Energi Baru Di
1. A. Pendahuluan
Dalam kehidupan masyarakat modern dewasa ini, kebutuhan terhadap energi meningkat
seiring dengan meningkatnya tingkat kemakmuran. Sebagian besar kebutuhan tersebut
menggunakan listrik sebagai tenaga penggeraknya, karena sifatnya yang memiliki
keunggulan dibandingkan dengan sistem energi lainnya diantaranya mudah dikonversikan ke
energi lain, mudah disalurkan dan disimpan. Oleh sebab itu, tenaga listrik adalah salah satu
bagian dari sistem energi yang memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi
suatu negara. Mengingat pentingnya peranan tenaga listrik dalam pembangunan, angka
konsumsi listrik per kapita mulai sering digunakan sebagai salah satu indikator kemakmuran
suatu negara, di samping indikator lainnya seperti Gross Domestic Product (GDP), konsumsi
energi per kapita dan lain-lain.
Dalam rangka mendorong percepatan dan perluasan pembangunan khususnya di bidang
ekonomi, pemerintah telah menerbitkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI)[1], dimana pembangunan ekonomi Indonesia
dilaksanakan melalui koridor ekonomi. Pengembangan kegiatan ekonomi utama Koridor
Ekonomi membutuhkan dukungan dari sisi energi. Dengan adanya MP3EI ini, penambahan
kebutuhan energi listrik di Indonesia hingga tahun 2025 diproyeksikan mencapai sekitar
90.000 MW (dalam kondisi beban puncak). Dari jumlah tersebut, sebagian besar kebutuhan
energi akan digunakan untuk mendukung pembangunan dan pengembangan kegiatankegiatan ekonomi utama di dalam koridor.
Dari total nilai investasi kegiatan ekonomi utama 6 koridor untuk tahun 2011-2025 sebesar
Rp 4.012 triliun, kebutuhan infrastruktur untuk ketenagalistrikan mencapai Rp 377,5 triliun
dengan rincian sebagaimana disajikan dalam lampiran dan dirangkum dalam tabel 1 berikut.
Koridor
Sumatera
Jawa
Kalimantan
Sulawesi
Bali Nusa Tenggara
Papua Maluku
Persentase
19,97%
61,87%
10,58%
4,11%
0,20%
3,28%
Gambar 1. Konsumsi Minyak Bumi dan Gas Dunia (dalam barrels of equivalent oil per day
(BOE/D))
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan energi nasional sebagai blue print bagi
penggunaan berbagai macam sumber energi pada tahun 2025 untuk mengamankan pasokan
energi bagi kebutuhan domestik. Kebijakan tersebut ditujukan untuk mengurangi konsumsi
minyak mentah Indonesia hingga 20%, dan mendorong penggunaan gas alam hingga 30%
dan batubara hingga 33% pada tahun 2025.
Kebijakan tersebut mendorong penggunaan sumber-sumber energi alternatif bagi kebutuhan
domestik sebanyak 17%, yaitu masing-masing 5% untuk biofuel dan geothermal, 5% untuk
sumber energi baru dan terbarukan.
Salah satu sumber energi baru adalah Coalbed Methane (CBM). CBM adalah gas alam yang
terjebak dalam cadangan batubara. Gas metana ini kerap dinilai sebagai masalah bagi operasi
penambangan batubara yaitu dapat menimbulkan ledakan pada pertambangan. Perkembangan
teknologi menunjukkan bahwa CBM justru dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi
alternatif yang terbaru serta bahan bakar ramah lingkungan, dimana mengandung lebih dari
90% metana.
CBM diharapkan dapat memasok 1-2% dari total kebutuhan energi pada tahun 2025. CBM
akan memasok konsumsi domestik dengan rincian:
1. Jangka pendek, skala kecil (pilot project) meliputi kebutuhan rumah tangga,
pembangkit listrik, dan non perkotaan.
2. Jangka menengah (2014), pabrik baja, pembangkit listrik, dan bahan bakar
transportasi.
3. Jangka panjang (>2020), sebagai cadangan distribusi gas dari Kalimantan Timur ke
Jawa.
1. B. Potensi Pengembangan CBM di Indonesia
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Ditjen Migas, Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral, Indonesia memiliki potensi sumber daya CBM hingga 450 Trillion Cubic Feet
(TCF). Cadangan CBM sebesar itu tersebar pada sebelas areal cekungan (basin) batubara di
berbagai lokasi di Indonesia, baik di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Kesebelas
basin lokasi CBM itu adalah Sumatera Selatan (183 TCF), Barito (101,6 TCF), Kutei (89,4
TCF) dan Sumatera Tengah (52,5 TCF) untuk kategori high prospective. Basin Tarakan Utara
(17,5 TCF), Berau (8,4 TCF), Ombilin (0,5 TCF), Pasir/Asam-Asam (3,0 TCF) dan
Jatibarang (0,8 TCF) memiliki kategori moderate prospective. Sedangkan basin Sulawesi (2,0
TCF) dan Bengkulu (3,6 TCF) berkategori low prospective.
Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral, sebagai pembina kegiatan usaha di bidang minyak dan gas bumi, menetapkan peta
jalan (road map) pengembangan gas metana batubara (CBM) di Indonesia hingga tahun
2025. Dalam road map tersebut direncanakan bahwa pada tahun 2011 produksi CBM sudah
dapat dipergunakan untuk kelistrikan. Perkiraan produksi yang diharapkan terus mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun dengan produksi rata-rata per sumur sebesar 250 MSCFD.
Road Map Pengembangan CBM di Indonesia digambarkan dalam Gambar 2 di bawah ini.
Sumber: Ditjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Gambar 2. Road Map Pengembangan CBM di Indonesia
Sebagaimana terlihat pada bagan di atas, dalam road map pengembangan CBM di Indonesia,
diharapkan bahwa pada tahun 2011 produksi CBM sudah dapat dipergunakan sebagai sumber
energi listrik khususnya di daerah-daerah terpencil di sekitar wilayah pengusahaan CBM.
Perkembangan proyek-proyek pengusahaan CBM untuk tujuan kelistrikan sampai dengan 25
April 2011 adalah sebagai berikut (Tabel 2).
GMB Barito
Banjar I
GMB Barito
Banjar II
GMB Tanjung
4
Enim
GMB Sangatta
5
I
3
GMB Pulang
Pisau
EQIVALEN
PRODUKSI
LISTRIK
SETARA 4,0 MW
SETARA 1,0 MW
1 (satu) corehole
0,25 MMSCFD
SETARA 1,0 MW
1 (satu) coreholes
1 MMSCFD
SETARA 4,0 MW
GMB Sangasanga
Pilot Project
8
LEMIGAS
TOTAL PRODUKSI
7
PERKIRAAN
PRODUKSI
SETARA 4,0 MW
SETARA 4,0 MW
SETARA 4,0 MW
0,006 MMSCFD
SETARA 0,024 MW
5,5 MMSCFD
22,02 MW
Sumber energi baru[3] adalah sumber energi yang dapat dihasilkan oleh teknologi baru baik
yang berasal dari sumber energi terbarukan maupun sumber energi tak terbarukan, dimana
salah satu diantaranya adalah gas metana batubara (coal bed methane). Pengusahaan CBM
mulai dikembangkan di Amerika Serikat pada dekade 1980-an. Di Indonesia, pengembangan
CBM masih dalam tahap uji coba dan belum dapat berproduksi secara komersial.
Sesuai dengan amanat undang-undang[4], penyediaan energi dari sumber energi baru dan
sumber energi terbarukan dapat memperoleh kemudahan dan/atau insentif dari Pemerintah
dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya untuk jangka waktu tertentu
hingga tercapai nilai keekonomiannya. Yang dimaksud dengan nilai keekonomian[5] adalah
nilai yang terbentuk dari keseimbangan antara pengelolaan permintaan dan penawaran.
Insentif dapat berupa bantuan permodalan, perpajakan, dan fiskal. Kemudahan dapat berupa
penyederhanaan prosedur perizinan dan persyaratan pengusahaan.
-
Dibandingkan dengan gas alam konvensional, biaya untuk pengembangan CBM, terutama
pada tahap awal, sangat tinggi. Oleh karena itu, proyek-proyek pengembangan CBM tersebut
Dibandingkan gas alam, CBM memiliki periode produksi lebih lambat. Pada umumnya,
pengembangan CBM memerlukan waktu sekitar 3 tahun untuk eksplorasi, dilanjutkan dengan
tahapan piloting and multi-piloting selama kurang lebih 3 tahun. CBM baru dapat diproduksi
pada tahun ke-7. Umumnya produksi terbesar atau puncak produksi terjadi pada periode
tahun produksi ke-2 hingga ke-7. Sedangkan lama periode produksi berkisar antara 10 hingga
20 tahun.
-
Proyek CBM memberikan manfaat guna perluasan penerapan teknik tambang dalam untuk
batubara di Indonesia[6]. Apabila CBM yang ada pada cekungan-cekungan batubara diambil,
maka pelaksanaan teknik tambang dalam atau tambang bawah tanah (underground mining)
akan lebih aman.
Selama ini keberadaan gas methane dalam cekungan-cekungan batubara, merupakan salah
satu problem dalam pelaksanaan teknik underground mining. Konsentrasi gas methane yang
berada diatas 4% sangat berpotensi menimbulkan ledakan, seperti yang terjadi di Sawah
Lunto pada 16 Juni 2010. Biasanya CBM akan ditemukan pada kedalaman cekungan 500
600 meter. Pada kedalaman ini, tentu batubara tidak bisa ditambang dengan teknik open pit,
melainkan harus dengan teknik underground. Kalau CBM-nya sudah dimanfaatkan maka
pelaksanaan underground mining untuk batubara akan lebih aman.
1. E. Insentif Perpajakan untuk Kegiatan Usaha Hulu Migas
Dasar hukum mengenai CBM di Indonesia untuk pertama kali diatur dalam Keputusan
Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1669 Tahun 1998 Pasal 2 yang menyatakan bahwa
pengaturan hukum Coal Bed Methane tunduk dan berlaku peraturan perundang-undangan
di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Ketentuan tersebut dipertegas kembali
dengan terbitnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 36 Tahun
2008, dimana pada Pasal 3 ayat 1 diatur bahwa Pengusahaan Gas Metana Batubara tunduk
dan berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Kegiatan Usaha Minyak dan
Gas Bumi.
Fasilitas perpajakan untuk perusahaan-perusahaan migas diberlakukan dengan menganut
prinsip lex specialis, yaitu ketentuan yang diatur dalam kontrak bagi hasil (production
sharing contract) bersifat mengikat.
Kontrak bagi hasil migas terbagi ke dalam 2 kelompok, yaitu kontrak nailed down dan
kontrak yang tidak nailed down. Untuk kontrak yang nailed down, ketentuan perpajakan yang
diatur dalam kontrak tetap berlaku sepanjang masa kontrak dan tidak berubah meskipun
terjadi perubahan peraturan di bidang perpajakan. Kontrak yang tidak nailed down berlaku
sebaliknya.
Beberapa ketentuan tentang insentif perpajakan yang diberikan terhadap kegiatan usaha hulu
minyak dan gas bumi adalah sebagai berikut.
1. 1.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 177 / PMK.011 / 2007 tentang
Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang untuk Kegiatan Usaha Hulu
Minyak dan Gas Bumi serta Panas Bumi
Pembebasan bea masuk diberikan terhadap barang yang nyata-nyata dipergunakan untuk
kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi serta panas bumi dengan ketentuan bahwa barang
tersebut belum dapat diproduksi di dalam negeri; sudah diproduksi di dalam negeri namun
belum memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan; atau sudah diproduksi di dalam negeri namun
jumlahnya belum mencukupi kebutuhan industri.
1. 2.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
178/PMK.011/2007 tentang Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah
atas Impor Barang untuk Kegiatan Usaha Eksplorasi Hulu Minyak dan Gas
Bumi serta Panas Bumi
Pajak Pertambahan Nilai ditanggung Pemerintah diberikan terhadap barang yang nyata-nyata
dipergunakan untuk kegiatan usaha eksplorasi di bidang hulu migas dan pans bumi dengan
ketentuan bahwa barang tersebut belum dapat diproduksi di dalam negeri; sudah diproduksi
di dalam negeri namun belum memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan; atau sudah diproduksi
di dalam negeri namun jumlahnya belum mencukupi kebutuhan industri.
Eksplorasi di bidang hulu migas dimaksud adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh
infomasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan
minyak dan gas bumi di wilayah yang ditentukan.
1. 3.
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang
dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu
Minyak dan Gas Bumi
Kontraktor mendapatkan kembali biaya operasi sesuai dengan rencana kerja dan anggaran
yang telah disetujui oleh Kepala Badan Pelaksana, setelah wilayah kerja menghasilkan
produksi komersial.
Biaya operasi yang dapat dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil dan pajak penghasilan
harus memenuhi persyaratan:
1. dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan terkait langsung dengan kegiatan
operasi perminyakan di wilayah kerja kontraktor yang bersangkutan di Indonesia;
2. menggunakan harga wajar yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan;
3. pelaksanaan operasi perminyakan sesuai dengan kaidah praktek bisnis dan keteknikan
yang baik;
4. kegiatan operasi perminyakan sesuai dengan rencana kerja dan anggaran yang telah
mendapatkan persetujuan Kepala Badan Pelaksana.
1. F. Hal-Hal yang Perlu Dipertimbangkan dalam Pemberian Insentif Fiskal bagi
Pengusahaan CBM
Terdapat beberapa alternatif bentuk insentif fiskal bagi pengusahaan CBM di Indonesia.
Mengingat bahwa pengusahaan CBM menganut prinsip yang sama dengan kegiatan usaha
hulu minyak dan gas bumi sebagaimana telah dijelaskan di atas, bentuk insentif fiskal yang
mungkin untuk diberikan terutama terkait dengan aspek-aspek dalam kontrak bagi hasil
(production sharing contract) antara kontraktor dengan pemerintah. Beberapa alternatif
insentif fiskal tersebut antara lain:
1. Shareable FTP[7]
2. Investment Credit[8]
3. c.
Tax Holiday
Pemberian insentif fiskal bagi pengembangan CBM harus dilakukan dengan sangat hati-hati
agar tujuan diberikannya insentif dapat tercapai. Pada prinsipnya, dengan memberikan
insentif, pemerintah melepaskan kesempatan untuk mengumpulkan pendapatan dalam
bentuk pajak dengan harapan agar industri dapat berkembang pesat dan memberikan
multiplier effect yang jauh lebih besar dari pengorbanan yang diberikan. Karena itu, dalam
pemberian insentif fiskal tersebut di atas, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan
sebagai berikut.
1. a.
Pemberian shareable FTP melalui amandemen kontrak yang sebenarnya
telah disepakati sebelumnya
Kontrak pengusahaan CBM di Indonesia dilaksanakan berdasarkan kontrak yang disepakati
dan ditandatangani bersama oleh pemerintah Indonesia (dalam hal ini BPMIGAS) dan
kontraktor. Kontrak tersebut memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang
operasionalisasi proyek dan bersifat mengikat terhadap pihak-pihak yang berkontrak. Di
dalam kontrak PSC tersebut diatur tentang FTP yaitu pengurangan produksi untuk menjamin
bagian minimum dari produksi CBM bagi pemerintah.
Dalam kontrak-kontrak yang sudah ditandatangani hingga saat ini, FTP seluruhnya menjadi
bagian pemerintah. Perubahan ketentuan mengenai FTP dari non-shareable menjadi
shareable (FTP dibagi antara pemerintah dan kontraktor) hanya dapat dilakukan melalui
mekanisme amandemen kontrak atas persetujuan pihak-pihak yang berkontrak. Konsekuensi
dari amandemen kontrak adalah dibatalkannya kesepakatan terdahulu dan membuat
kesepakatan baru.
Hal yang perlu dipertimbangkan dalam amandemen kontrak tersebut adalah potensi
munculnya post bidding issue (permasalahan yang timbul setelah dilakukannya lelang untuk
menentukan pemenang tender kontrak). Pada saat suatu kontrak pengusahaan CBM
ditawarkan untuk dilelang kepada kontraktor-kontraktor yang berminat, pemenang tender
bersedia menyetujui ketentuan-ketentuan dalam kontrak yang ditawarkan. Apabila ternyata
setelah kontrak berjalan terjadi perubahan terhadap kontrak tersebut, maka pihak-pihak yang
dinyatakan kalah dalam tender akan berkeberatan atas perubahan kontrak tersebut karena jika
seandainya ketentuan yang berubah tersebut diberitahukan pada saat lelang, penawaran
mereka mungkin akan berbeda dan mungkin saja mereka yang akan menjadi pemenang
tender. Dengan kata lain, amandemen kontrak setelah kontrak berjalan menimbulkan
ketidakadilan bagi peserta tender yang kalah dan berpotensi menimbulkan legal dispute.
1. b.
Pemberian Investment Credit harus tunduk pada ketentuan dalam PP 79
tahun 2010
Peraturan Pemerintah (PP) No. 79 Tahun 2010 mengatur tentang Biaya Operasi yang Dapat
Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas
Bumi. Mengingat ketentuan dalam Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor
1669 Tahun 1998 Pasal 2 yang mengatur bahwa Pengaturan hukum Coal Bed Methane
tunduk dan berlaku peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan minyak dan gas
bumi, maka ketentuan dalam PP di atas juga berlaku terhadap pengusahaan CBM.
Dalam PP tersebut di atas diatur tentang investment credit (insentif investasi) sebagai
tambahan pengembalian biaya modal dalam jumlah tertentu, yang berkaitan langsung dengan
fasilitas produksi, yang diberikan sebagai insentif untuk pengembangan lapangan minyak
dan/atau gas bumi tertentu. Dalam skema PSC, insentif investasi, bersama dengan FTP dan
cost recovery, merupakan pengurang terhadap hasil produksi yang tersedia untuk dibagi
(lifting) sehingga diperoleh equity to be split.
Untuk mendorong pengembangan wilayah kerja, Menteri ESDM dapat menetapkan bentuk
dan besar insentif investasi (sebagaimana diatur dalam pasal 10 PP No. 79 Tahun 2010).
Lebih lanjut, dalam pasal 24 ayat 5 PP tersebut diatur bahwa insentif investasi sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan, dikonversi menjadi gas bumi, dengan harga yang disepakati
dalam kontrak penjualan gas bumi (dalam konteks CBM).
Pemberian insentif dalam bentuk investment credit dimungkinkan untuk diberikan dengan
menerbitkan Peraturan Menteri ESDM berdasarkan ketentuan dalam PP No. 79 tahun 2010
tersebut di atas. Namun demikian, mengingat hingga saat ini belum ada pemberian insentif
dalam bentuk investment credit, maka Kementerian ESDM perlu untuk melakukan kajian
terhadap usulan tersebut sebelum menerbitkan Peraturan Menteri dimaksud.
1. c.
Pemberian insentif tax holiday memerlukan PMK perubahan PMK 130
tahun 2011
Ketentuan mengenai tax holiday diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No.
130/PMK.011/2011 tanggal 15 Agustus 2011 tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan atau
Pengurangan Pajak Penghasilan Badan. Dalam PMK tersebut diatur bahwa kepada Wajib
Pajak badan dapat diberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak
Penghasilan badan (pasal 2 ayat 1). Pembebasan Pajak Penghasilan badan tersebut dapat
diberikan untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) Tahun Pajak dan paling singkat 5
(lima) Tahun Pajak, terhitung sejak Tahun Pajak dimulainya produksi komersial. Setelah
berakhirnya pemberian fasilitas pembebasan tersebut, Wajib Pajak diberikan pengurangan
Pajak Penghasilan badan sebesar 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan terutang
selama 2 (dua) Tahun Pajak. Namun demikian, dengan mempertimbangkan kepentingan
mempertahankan daya saing industri nasional dan nilai strategis dari kegiatan usaha tertentu,
Pengusahaan CBM tidak termasuk dalam industri pionir yang tercantum dalam daftar industri
pionir pada PMK No. 130/PMK.011/2011 ini. Namun demikian, ketentuan dalam pasal 3 ayat
3 PMK tersebut memungkinkan Menteri Keuangan untuk menetapkan Industri Pionir
yang diberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan, selain
cakupan Industri Pionir sebagaimana tersebut di atas.
Dengan demikian, apabila insentif dalam bentuk tax holiday hendak diberikan terhadap
pengusahaan CBM, maka PMK No. 130/PMK.011/2011 harus diubah. Selain itu, kontrakkontrak pengusahaan CBM harus tunduk pada ketentuan-ketentuan dalam PMK tersebut agar
dapat memenuhi syarat untuk mendapatkan fasilitas pembebasan atau pengurangan pajak
penghasilan badan.
1. d.
Pemberian insentif fiskal tidak menjamin mempercepat perkembangan
pengusahaan CBM tanpa dibarengi pemberian solusi atas permasalahan lainnya
terutama permasalahan operasional
Pengusahaan CBM di Indonesia, seperti halnya industri pengusahaan sumber energi pada
umumnya, melibatkan banyak pihak dan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Demikian pula
aspek-aspek dalam pengusahaan CBM juga saling terkait satu sama lain. Keekonomian
pengusahaan CBM tidak terlepas dari pengaruh aspek-aspek lain dalam industri tersebut,
seperti aspek operasional, aspek lingkungan, aspek pembebasan lahan, aspek hukum, aspek
politik, dan lain sebagainya.
Komitmen pemerintah untuk mempercepat perkembangan pengusahaan CBM di Indonesia
harus didukung oleh seluruh pihak yang terlibat dalam industri pengusahaan CBM tersebut.
Insentif fiskal hanya salah satu instrumen yang berpotensi untuk meningkatkan keekonomian
pengusahaan CBM di Indonesia. Namun demikian, pemberian insentif fiskal semata tidak
akan mampu untuk mendorong percepatan pengembangan CBM apabila hambatan-hambatan
tidak diatasi dengan tuntas dan komprehensif.
Pengembangan CBM mengalami berbagai permasalahan operasional di lapangan yang tentu
saja menghambat pengembangan CBM. Permasalahan tersebut antara lain tumpang tindih
lahan, proses perijinan dan perangkat hukum terkait lingkungan hidup[9]. Permasalahan terkait
tumpang tindih lahan terjadi karena penggunaan lahan yang sama untuk eksploitasi batu bara
dan CBM (lokasi pemboran dan fasilitas produksi), dalam hal PKP2B/KP Batu Bara terlebih
dahulu melakukan eksploitasi di lahan tersebut[10].
Pemberian insentif fiskal yang tidak didukung dengan solusi yang komprehensif terhadap
kendala-kendala operasional di lapangan tidak akan memberikan win-win solution melainkan
win-lose solution karena insentif yang diberikan akan dinikmati oleh kontraktor namun hasil
yang diharapkan dalam bentuk percepatan pengembangan CBM tidak terwujud.
1. G. Kesimpulan
Permintaan terhadap sumber-sumber energi yang terus meningkat di satu sisi serta produksi
bahan bakar fosil konvensional yang terus mengalami penurunan di sisi yang lain telah
mendorong meningkatnya kebutuhan terhadap sumber-sumber gas non-konvensional (seperti
tight gas, coal bed methane (CBM), dan gas hidrat). Konsumsi gas diperkirakan akan
melampaui konsumsi minyak bumi sebelum tahun 2025. Kebijakan energi nasional Indonesia
untuk mengamankan pasokan energi bagi kebutuhan domestik mentargetkan pengurangan
konsumsi minyak mentah Indonesia hingga 20%, dan mendorong penggunaan gas alam
(termasuk CBM) hingga 30% dan batubara hingga 33% pada tahun 2025.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Kementerian ESDM, Indonesia memiliki potensi
sumber daya CBM hingga 450 Trillion Cubic Feet (TCF) yang tersebar di sebelas areal
cekungan (basin) batubara di berbagai lokasi di Indonesia, terutama di Sumatera dan
Kalimantan. CBM diharapkan dapat memasok 1-2% dari total kebutuhan energi pada tahun
2025.
Dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)
2011-2025, ketahanan energi didasarkan kepada manajemen resiko melalui pengaturan
komposisi energi (energy mix). Terkait dengan sektor energi, koridor ekonomi Sumatera dan
Kalimantan ditetapkan sebagai lumbung energi nasional, dimana peluang yang sangat
potensial untuk dikembangkan adalah peningkatan kapasitas Coal-Bed Methane (CBM)
sebagai salah satu pendongkrak tingkat produksi gas nasional yang belum optimal.
Dalam rangka percepatan proyek CBM dimaksud, perlu dukungan kebijakan berupa insentif
pajak dan fiskal yang menarik bagi investasi CBM untuk membuat investor tertarik
menanamkan modalnya. Selain meningkatkan cadangan gas, pengusahaan CBM juga dapat
mengembangkan pemanfaatan sumber energi ramah lingkungan serta memperluas lapangan
kerja.
Pengaturan hukum Coal Bed Methane tunduk dan berlaku peraturan perundang-undangan
di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Insentif perpajakan yang diberikan terhadap
kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi antara lain pembebasan bea masuk, Pajak
Pertambahan Nilai ditanggung Pemerintah, serta biaya operasi yang dapat dikembalikan
dalam penghitungan bagi hasil dan pajak penghasilan.
Terdapat beberapa alternatif bentuk insentif fiskal bagi pengusahaan CBM di Indonesia.
Bentuk insentif fiskal yang mungkin untuk diberikan terutama terkait dengan aspek-aspek
dalam kontrak bagi hasil (production sharing contract) antara kontraktor dengan pemerintah,
antara lain Shareable FTP, Investment Credit dan Tax Holiday. Namun demikian, insentif
fiskal bukan satu-satunya solusi untuk mendorong pengembangan CBM di Indonesia.
Permasalahan terkait teknis dan operasional harus diselesaikan agar tidak menghambat
pengembangan CBM.
DAFTAR PUSTAKA
Indonesia, Undang-Undang Nomor: 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, LNRI Tahun
2001 Nomor: 136 TLNRI Nomor: 4152.
________, Undang-Undang Nomor: 30 Tahun 2007 tentang Energi, LNRI Tahun 2007
Nomor: 96 TLNRI Nomor: 4746.
________, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 002/PUU-I/2003 tentang Permohonan
Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945).
________, Peraturan Pemerintah Nomor 62 tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman
Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu.
________, Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak
dan Gas Bumi.
________, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan
Energi Nasional.
________, Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat
Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas
Bumi.
________, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 36 tahun 2008
tentang Pengusahaan Gas Metana Batubara.
________, Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 177/PMK.011/2007 tentang Pembebasan
Bea Masuk atas Impor Barang Untuk Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi serta Panas
Bumi.
________, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 178/PMK.011/2007 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah atas Impor Barang untuk Kegiatan Usaha
Eksplorasi Hulu Minyak dan Gas Bumi serta Panas Bumi.
________, Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1669 Tahun 1998.
Amijaya, Hendra. 2011. Tinjauan Singkat Gas Metana Batu bara (Coal Bed Methane).
Makalah presentasi rapat BKF Mei 2011 Jakarta.
Susilowati, S.S. Rita. 2008. CBM-Gas Methan Dalam Batubara Calon Bahan Bakar Masa
Depan. Warta Geologi Vol. 3 (4), h. 12-19.
Suharsono. 2011. Pengembangan Coalbed Methane(CBM) di Indonesia. (http://www.apbiicma.com/news.php?pid=6621&act=detail, diakses 25 Mei 2011).
Sosrowidjojo, Imam B. 2008. Regulasi Teknis dan Implikasinya terhadap Keekonomian
CBM, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi LEMIGAS,
M&E Vol. 6, No. 3.
Aspek Perpajakan PSC, Dewa Made Budiarta, File Presentasi.
Ditjen Migas Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral. 2011. Pengusahaan Minyak
Dan Gas Bumi Non Konvensional (CBM), disampaikan sebagai presentasi pada FGD tanggal
5 Juli 2011 di Jakarta.
Indonesian Petroleum Association (IPA) Unconventional Gas Committee. 2011. CBM in
Indonesia Incentive to CBM Development, disampaikan sebagai presentasi pada FGD
tanggal 5 Juli 2011 di Jakarta.
Koridor
Sumatera
Nilai
investasi
(IDR Miliar)
Pembangunan PLTA Simpang Aur (2 x 6 MW) dan (2 x 9 MW)
450
PLTU Mulut Tambang Riau 2300 MW
9.000
Pembangunan PLTU Mulut Tambang 4150 MW Sumsel
8.400
Pembangunan PLTU Mulut Tambang Sumsel 2300 MW
7.800
PLTP Sarulla-1 Kap. 110 MW
6.000
PLTP Lumut Balai Unit 1 & 2 (255 MW)
3.484
PLTP Lumut Balai Unit 3 & 4 (255 MW)
3.388
Pembangunan transmisi listrik di Provinsi Riau (15 titik)
3.119
PLTA Asahan, Kap. 287 MW (174MW)
2.880
Pembangunan PLTU Banjarsari 2100 MW
2.800
Pembangunan PLTU Riau (Tenayan) 2 x 100 MW
2.800
Pembangunan PLTP 2x55MW Ulubelu Unit 3 & 4
2.640
Pembangunan transmisi listrik di Provinsi SumateraUtara (17 titik) 2.612
Percepatan pengembangan hidro skala besar (287 MW), Porsea
2.610
Sumatera Utara (Asahan 3) 30 Ha
Pembangkit listrik dan steam
2.400
Proyek MP3EI bidang Kelistrikan
Jawa
Kalimantan
Sulawesi
Papua
Maluku
3.469
2.540
1.020
880
640
552
330
322
273
192
125
320
241
188
100
320
238
3.500
3.097
2.073
1.637
1.242
160
[8] Investment Credit adalah insentif yang diberikan oleh pemerintah kepada kontraktor untuk
merangsang kontraktor menambah investasinya. Insentif diberikan berupa pengembalian
(recovery) sejumlah nilai tertentu (biasanya sebesar persentase tertentu yang ditetapkan
dalam kontrak) dari investasi yang langsung berhubungan dengan pembangunan fasilitas
produksi migas (direct production oil/ gas facilities).
[9] Pemerintah Segera Perbaiki Iklim Investasi CBM (http://www.esdm.go.id/berita/40migas/3335-pemerintah-segera-perbaiki-iklim-investasi-cbm.html?
tmpl=component&print=1&page= , diakses 7 November 2011)
[10] Penyelesaian Masalah Tumpang Tindih Pemakaian Lahan WK CBM dan PKP2B/KP
Batu Bara (http://pertambangan.kaltimprov.go.id/in/umum/49-penyelesaian-masalahtumpang-tindih-pemakaian-lahan-wk-cbm-dan-pkp2bkp-batu-bara-.html, diakses 7
November 2011)