Pemanfaatan Pati Ubi Kayu Dalam Berbagai Industri
Pemanfaatan Pati Ubi Kayu Dalam Berbagai Industri
1. PENDAHULUAN
Ubi-ubian, serealia, dan biji polong-polongan merupakan sumber pati yang paling
penting. Ubi-ubian yang sering dijadikan sumber pati antara lain ubi jalar, kentang, dan singkong
(Liu, 2005 dalam Cui, 2005). Pati singkong sering digunakan sebagai bahan tambahan dalam
industri makanan dan industri yang berbasis pati karena kandungan patinya yang
cukup tinggi (Niba, 2006 dalam Hui, 2006).
Kandungan pati pada beberapa bahan pangan disajikan pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1. Kandungan Pati pada Beberapa Bahan Pangan
Bahan Pangan Pati (% dalam basis kering)
Singkong (manihot utilissima) disebut juga ubi kayu atau ketela pohon. Singkong
merupakan bahan baku berbagai produk industri seperti industri makanan, farmasi, tekstil dan
lain-lain.
Gambar 1.2. Singkong
Sumber : http://www.iptek.net.id/ind/terapan/images
Ubi kayu atau singkong merupakan salah satu bahan makanan sumber karbohidrat (sumber
energi).
Tabel 1.1. Komposisi Ubi Kayu (per 100 gram bahan)
Ubi kayu dalam keadaan segar tidak tahan lama. Untuk pemasaran yang memerlukan waktu
lama, ubi kayu harus diolah dulu menjadi bentuk lain yang lebih awet, seperti gaplek, tapioka
(tepung singkong), tapai, peuyeum, keripik singkong dan lain-lain.
POTENSI UBI KAYU DI SULAWESI SELATAN
73
196
INFO
t_map_propinsi
t_map_kabupaten
Nama lain untuk tanaman ubi kayu sangat beragam diseluruh Indonesia. Diantaranya,
ketila, keutila ubi kayee (Aceh), ubi parancih (minangkabau), ubi singkung (Jakarta), batata kayu
(Manado), bistungkel (Ambon), huwi dangdeur, huwi jendral, Kasapen, sampeu, ubi kayu (Sunda),
bolet, kasawe, kaspa, kaspe, katela budin, katela jendral, katela kaspe, kaspa, kaspe, katela
budin, katela jendral, katela kaspe, katela mantri, katela marikan, katela menyog, katela poung,
katela prasman, katela sabekong, katela sarmunah, katela tapah, katela cengkol, ubi kayu, tela
pohung (Jawa), Blandong, manggala menyok, puhung, pohung, sabhrang balandha, sawe, sawi,
tela balandha, tengsag (Madura), kesawi, ketela kayu, sabrang sawi (Bali), kasubi (Gorontalo,
Baree, Padu), Lame kayu (Makasar), lame aju (Bugis Majene), kasibi (Ternate, Tidore).
2.1.
TEPUNG TAPIOKA
Industri makanan dari singkong cukup beragam mulai dari makanan tradisional seperti
getuk, timus, keripik, gemblong, dan berbagai jenis makanan lain yang memerlukan proses lebih
lanjut. Dalam industri makanan, pengolahan singkong, dapat digolongkan menjadi tiga yaitu
hasil fermentasi singkong (tape/peuyem), singkong yang dikeringkan (gaplek) dan tepung
singkong atau tepung tapioka.
Pada industri tepung tapioka, teknologi yang digunakan dapat dikelompokkan menjadi
tiga yaitu:
a) Metoda tradisional
Industri pengolahan tapioka yang masih mengandalkan sinar matahari dan produksinya
sangat tergantung pada musim.
b) Metoda semi modern
Industri pengolahan tapioka yang menggunakan mesin pengering (oven) dalam
c)
Proses
Tradisional
Semi Modern
Full Otomate
Pengupasan
Manual
Manual
Mesin
Pencucian
Manual
Manual
Mesin
Pemarutan
Mesin
Mesin
Mesin
Pemerasan
Mesin
Mesin
Mesin
Pengendapan
Manual
Manual
Mesin
Pengeringan
Sinar Matahari
Oven
Mesin
Pengupasan
Pengupasan dilakukan dengan cara manual yang bertujuan untuk memisahkan daging
singkong dari kulitnya. Selama pengupasan, sortasi juga dilakukan untuk memilih
singkong berkualitas tinggi dari singkong lainnya. Singkong yang kualitasnya rendah
tidak diproses menjadi tapioka dan dijadikan pakan ternak.
Gambar 2.1.1 Pengupasan Singkong
2.
Pencucian
Pencucian dilakukan dengan cara manual yaitu dengan meremas-remas singkong di
dalam bak yang berisi air, yang bertujuan memisahkan kotoran pada singkong.
3.
Pemarutan
Parut yang digunakan ada 2 macam yaitu :
a. Parut manual, dilakukan secara tradisional dengan memanfaatkan tenaga manusia
sepenuhnya.
Gambar 2.1.3. Pemarutan secara manual
b.
4.
Pemerasan/Ekstraksi
Pemerasan dilakukan dengan 2 cara yaitu:
a.
Pemerasan bubur singkong yang dilakukan dengan cara manual menggunakan kain
saring, kemudian diremas dengan menambahkan air di mana cairan yang diperoleh
adalah pati yang ditampung di dalam ember.
b.
5.
Pengendapan
Pati hasil ekstraksi diendapkan dalam bak pengendapan selama 4 jam. Air di bagian atas
endapan dialirkan dan dibuang, sedangkan endapan diambil dan dikeringkan.
10
6.
Pengeringan
Sistem pengeringan menggunakan sinar matahari dilakukan dengan cara menjemur
tapioka dalam nampan atau widig atau tambir yang diletakkan di atas rak-rak bambu
selama 1-2 hari (tergantung dari cuaca). Tepung tapioka yang dihasilkan sebaiknya
mengandung kadar air 15-19%.
11
Untuk menghasilkan tepung tapioka yang berkualitas, dibutuhkan singkong yang memiliki
kadar tepung tinggi yaitu singkong yang dipanen setelah berusia lebih dari 7 bulan.
Gambar 2.1.7. Tepung Tapioka
Proses pembuatan dalam bentuk diagram alir dapat dilihat pada gambar 2.1.8.
12
Gambar 2.1.8.
Tuang hasil remasan ke atas saringan kain putih, dan tampung air perasan dalam wadah atau bak
Buang air endapan, kemudian ganti dengan air bersih sambil diaduk-aduk sampai merata. Lakukan pen
13
2.2.
semua kalangan mulai dari anak-anak hingga dewasa. Secara umum, bahan baku utama mie
adalah terigu yang merupakan komoditas impor. Menurut Antarlina (1992), tepung terigu
merupakan bahan baku yang sangat dominan digunakan pada pengolahan pangan dengan
penggunaan mencapai 79,3%. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap terigu, salah satu
bahan alternatif yang dapat dikembangkan sebagai bahan baku mie adalah pati ubi kayu.
Mie ubi kayu adalah produk makanan berbentuk untaian mie yang terbuat dari pati ubi
kayu Berbeda dengan produk mie pada umumnya yang dibuat dengan bahan baku terigu, bahan
baku yang digunakan untuk membuat mie pati ubi kayu adalah pati singkong (tapioka). Agar
terbentuk adonan yang dapat dicetak menjadi untaian mie, pati ubi kayu terlebih dahulu
dicampur dengan air panas (90-100C). Fennema (1985) mengemukakan bahwa pati tidak larut
dalam air dingin, tetapi secara reversible dapat mengembang dalam air hangat.
Pati ubi kayu diperoleh melalui proses ekstraksi ubi kayu yang merupakan komoditas
tanaman pangan terpenting ketiga di Indonesia setelah padi dan jagung. Selain menunjang
program pemberdayaan sumber daya lokal, harga yang lebih murah dan tidak dipeerlukannya
tambahan bahan pengembang dan pengenyal merupakan keuntungan penggunaan pati ubi kayu
sebagai bahan baku produk mie.
Meskipun memiliki berbagai keunggulan, penggunaan pati ubi kayu sebagai bahan baku
mie memiliki kelemahan terutama berkaitan dengan tekstur produk mie yang relatif lebih kenyal
dibandingkan mie terigu. Menurut Kearsley and Dziedzic (1995), dibandingkan pati lainnya, pati
ubi kayu mengandung amilopektin yang tinggi (87%). Dibandingkan amilosa, amilopektin
memiliki kekentalan yang lebih tinggi (Kearsley and Dziedzic, 1995), sehingga adonan pati ubi
kayu secara umum bersifat lengket dan memiliki tingkat kekentalan yang tinggi.
Alat utama yang digunakan adalah alat pencetak mie sistem rol, alat pencetak mie
sistem press (Gambar 2.2.1) dan alat-alat perebus. Spesifikasi alat pencetak mie sistem press
yang digunakan, disajikan pada Tabel 2.2.1.
Tabel 2.2.1. Spesifikasi alat pencetak mie sistem press
Parameter
Spesifikasi
35 cm x 35 cm x 80 cm
3 inch
mm
dan
dapat
diganti
14
ukuranya
sesuai
Kapasitas Produksi
Keterangan :
A =
Pengepres hidrolik
B =
Piston press
C =
dan tepung
tapioka
Formulasi pembuatan mie, dari tepung terigu disajikan pada Tabel 2.2.2. Pembuatan produk
mie dilakukan melalui tahapan pencampuran terigu dengan air, CMC, soda kue, dan pewarna;
pengulenan hingga terbentuk adonan yang kalis; pencetakan untaian mie menggunakan alat
pencetak mie sistem rol; perebusan untaian mie dalam air panas yang telah ditambahkan
minyak makan dan garam; dan penirisan untuk memperoleh produk mie.
Tabel 2.2.2. Formulasi pembuatan mie menggunakan bahan baku tepung terigu
No
1
2
3
4
5
Nama Bahan
Tepung terigu
Air
CMC
Soda Kue
Pewarna makanan
Prosentase (%)
100
45
1
1
0,1
Pengembangan formulasi produk mie pati ubi kayu dilakukan melalui modifikasi formulasi
standar (Tabel 2.2.3.). Modifikasi yang dilakukan berupa penggunaan tepung terigu (konsentrasi
15
10-50%). Pembuatan produk mie dilakukan melalui tahapan pencampuran pati ubi kayu dengan
terigu (sesuai perlakuan), penambahan air panas dan pewarna makanan, pengulenan hingga
terbentuk adonan yang kompak, pencetakan untaian mie menggunakan alat pencetak mie
sistem press, perebusan untaian mie dalam air panas yang telah ditambahkan minyak makan
dan garam, dan penirisan sehingga diperoleh produk mie.
Tabel 2.2.3. Formulasi standar pembuatan mie menggunakan bahan baku pati ubi
kayu
No
1
2
3
4
5
Nama Bahan
Pati Ubi Kayu
Air panas
CMC
Soda Kue
Pewarna makanan
Prosentase (%)
100
15
0
0
0,1
Hasil pengujian karakteristik organoleptik, menunjukkan bahwa produk mie yang diformulasi
dengan bahan baku pati ubi kayu memiliki warna, bau, rasa, dan kekenyalan yang tidak berbeda
nyata dibandingkan mie yang diformulasi dengan bahan baku terigu.
Tabel 2.2.4. Rekapitulasi hasil pengujian organoleptik perbedaan antara produk mie
pati formulasi pengembangan dengan produk mie terigu
Parameter
Warna
Bau
Rasa
Kekenyalan
menyatakan sama
18
17
16
18
menyatakan berbeda
2
3
4
2
Tidak berbedanya karakteristik organoleptik produk mie pati ubi kayu dibandingkan
produk mie yang diformulasi dengan bahan baku terigu, menunjukkan bahwa perbaikan
karakteristik organoleptik produk mie pati ubi kayu dapat melalui pengurangan kandungan
amilopektin pati ubi kayu.
Kandungan amilopektin ubi kayu akan memberikan sumbangan yang sangat nyata
terhadap karakteristik kekenyalan produk mie pati ubi kayu. Hasil pengujian juga menunjukkan
bahwa penggunaan pati ubi kayu sebagai bahan baku produk mie pati ubi kayu memerlukan
penambahan bahan lain agar dihasilkan produk dengan karakteristik kekenyalan yang lebih
disukai konsumen.
Pengembangan Formulasi Produk Mie Pati Ubi Kayu
Pengembangan formulasi produk mie pati ubi kayu dilakukan dalam bentuk penggunaan
tepung terigu hingga konsentrasi 50%. Adapun pengujian karakteristik dilakukan dalam bentuk
16
pengujian karakteristik organoleptik (warna, bau, rasa, dan kekenyalan) dan karakteristik fisik
(tekstur dan rasio pengembangan). Pengujian tekstur dengan alat penetrometer menunjukkan
besarnya gaya (kg) yang dibutuhkan untuk mematahkan bahan. Semakin kenyal bahan, maka
akan semakin besar gaya yang dibutuhkan dan sebaliknya. Pengujian rasio pengembangan
menunjukkan besarnya rasio peningkatan diameter produk sebelum dan setelah mengalami
proses perebusan.
Hasil pengujian karakteristik produk mie pati ubi kayu pada berbagai konsentrasi penambahan
terigu (10%, 20%, 30%, 40% dan 50%), disajikan pada Tabel 2.2.5. Hasil pengujian karakteristik
organoleptik pada Tabel 2.2.5., menunjukkan bahwa penambahan terigu hingga konsentrasi 40%
akan meningkatkan nilai kesukaan panelis terhadap parameter kekenyalan produk mie pati ubi
kayu, tetapi tidak berpengaruh terhadap parameter warna, bau, dan rasa produk.
Tabel 2.2.5. Pengaruh konsentrasi penambahan terigu terhadap karakteristik produk
mie berbahan baku pati ubi kayu
Konsentra
si terigu
(%)
10
20
30
40
50
Karakteristik organoleptik
warna
a
3,10
a
3,20
a
3,20
a
3,30
a
3,10
Penurunan
nilai
bau
a
4,20
a
4,10
a
4,15
a
4,20
a
4,20
tekstur
rasa
3,35
3,40
3,45
3,35
3,45
diduga
Karakteristik fisik
kekenyala
n
a
3,25
b
3,60
c
3,85
d
4,15
d
4,20
a
a
a
a
erat
berkaitan
tekstur
(kg)
a
4,93
b
4,70
c
3,77
d
2,73
d
2,70
dengan
rasio
pengembangan
a
3,12
b
2,72
c
2,40
cd
2,20
cd
2,20
penurunan
konsentrasi
amilopektin. Menurut Kearsley and Dzieddzic (1995), pati ubi kayu memiliki kandungan
amilopektin tinggi (86%). Dibandingkan amilosa, amilopektin memiliki kekentalan yang lebih
tinggi (Kearsley and Dziedzic, 1995), sehingga adonan pati ubi kayu secara umum bersifat
lengket dan memiliki tingkat kekentalan yang tinggi.
Adapun penurunan skor rasio pengembangan diduga erat berkaitan dengan penurunan
konsentrasi pati secara keseluruhan. Dibandingkan protein, pati memiliki kemampuan mengikat
air yang lebih besar. Menurut (Winarno, 1992), pati tergelatinisasi mampu menyerap air kembali
dalam jumlah besar dan dalam waktu yang singkat.
Berdasarkan hasil penelitian Hidayat B., 2008 (Tabel 2.2.6), menunjukkan bahwa produk
mie pati ubi kayu yang dihasilkan memiliki kandungan protein yang rendah (2,26%). Untuk
mengimbangi kandungan protein yang rendah tersebut, dianjurkan penggunaan produk mie pati
ubi kayu saat dikonsumsi dikombinasikan dengan penambahan lauk pauk yang memiliki
kandungan protein tinggi seperti telur dan udang.
Tabel 2.2.6. Komposisi kimia produk mie pati ubi kayu hasil pengembangan
17
Komponen
2.3.
Air
53,81
Abu
0,23
Serat
0,91
Lemak
1,62
Protein
2,26
Karbohidrat
41,17
GAPLEK
Gaplek adalah bentuk yang paling umum dari pengawetan ubi kayu di Indonesia. Ubi
dikupas, dicuci dan dikeringkan dalam bentuk potongan-potongan, dibelah atau utuh tergantung
pada umbi dan kebiasaannya. Ubi dikeringkan langsung di atas tanah, tikar bambu, pinggirpinggir jalan, digantung dip agar-pagar atau tali-tali atau di beranda. Pengeringan biasanya 5-7
hari tergantung pada cuaca, sesudahnya disimpan untuk dikonsumsi atau dijual.
Pembuatan
gaplek
merupakan
proses
yang
sederhana,
meliputi
pencucian,
Pisahkan ubi kayu dari batangnya, kupas kemudian cuci hingga bersih;
2.
3.
Jemur ubi jalar yang telah bersih di bawah sinar matahari selama 1~2 hari. Setelah itu tutup
dengan tikar bersih selama 1 hari.
keracunannya;
4.
Jemur lagi sampai kering, setelah kering disebut gaplek, lalu masukkan ke dalam karung;
5.
Simpan di tempat yang kering, jangan di tempat yang basah atau lembab.
18
Gaplek dapat dimasak (dikukus) dengan diberi gula merah dan kelapa parut.
Catatan:
1.
Dapat dibentuk gelondongan atau belahan memanjang (3 cm), tepung, atau pellet
(panjang 2 cm dan diameter max. 1 cm);
b.
Dalam keadaan kering, berwarna putih, tidak berjamur, dan tidak ada kulit yang
tertinggal;
2.
Pengemasan harus menggunakan karung goni yang baik, bersih dan jahitannya kuat.
2.4.
kualitas. Salah satu cara untuk mencegah atau memperlambat fenomena tersebut adalah
dengan pengemasan yang tepat. Bahan pengemas dari plastik banyak digunakan dengan
pertimbangan
ekonomis
dan
memberikan
perlindungan
yang
baik
dalam
pengawetan.
19
didefinisikan sebagai lapisan yang dapat dimakan yang ditempatkan di atas atau di antara
komponen makanan, dapat memberikan alternatif bahan pengemas yang tidak berdampak pada
pencemaran lingkungan karena menggunakan bahan yang dapat diperbaharui dan harganya
murah. Polisakarida seperti pati dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan edible film
menggantikan
polimer
plastik
karena
ekonomis,
dapat
diperbaharui,
dan
memberikan
karakteristik fisik yang baik. Pembuatan edible film sering menggunakan metode casting dan
pada pembuatannya menggunakan prinsip gelatinisasi. Penambahan hidrokoloid dan plasticizer
agar didapatkan karakteristik film yang baik. Penelitian yang mengenai pembuatan edible film
memberikan kesimpulan tidak ada metode standar dalam pembuatannya sehingga dapat
menghasilkan film dengan fungsi dan karakteristik fisikokimia yang diinginkan akan berbeda.
Edible film berbasis pati singkong dapat diaplikasikan untuk mengemas apel potong sehingga
dapat mempertahan kecerahan warna apel dan dapat mempertahankan umur simpan
dodol
Biofuel
Ubi kayu dapat sebagai komoditas utama sebagai komoditas utama penghasil BBN atau
lebih tepat sebagai penghasil FGE. Pengembangan BBN di Indonesia berprinsip pro-poor, pro
job, pro growth, dan pro planet. Dengan triple track plus tersebut, sejumlah pertimbangan
positif pemilihan ubi kayu sebagai penghasil FGE diuraikan sebgai berikut. Ubi kayu merupakan
tanaman sumber karbohidrat ketiga setelah padi dan jagung. Dengan menggeser kegunaan ubi
kayu menjadi BBN (dari sumber daya karbohidrat ke sumber daya hidrokarbon), diharapkan
harga ubi kayu akan meningkat sehingga pendapatan petani akan meningkat pula.
20
Ubi kayu akan menguatkan security of supply bahan bakar berbasis kemasyarakatan.
Memperbesar basis sumber daya bahan bakar nabati, karena ubi kayu adalah tanaman yang
toleran terhadap tanah dengan tingkat kesuburan rendah, mampu berproduksi baik pada
lingkungan sub optimal, dan mempunyai pertumbuhan yang relative lebih baik pada lingkungan
sub optimal dibandingkan dengan tanaman lain.
Secara umum, proses pengolahan bahan berpati seperti ubi kayu, jagung dan sagu
dilakukan dengan proses urutan. Pertama adalah proses hidrolisis, yakni proses konversi pati
menjadi glukosa. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan -glikosidik. Pati terdiri dari
dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas, fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak
terlarut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan -(1,4)-D-glikosidik
sedangkan amilopektin mempunyai struktur bercabang dengan ikatan -(1,6)-D-glikosidik
sebanyak 4-5% dari berat total.
Prinsip dari hidrolisis pati pada dasarnya adalah pemutusan rantai polimer pati menjadi
unit-unit dekstrosa (C6H12O6). Pemutusan rantai polimer tersebut dapat dilakukan dengan berbagai
metode, misalnya secara enzimatis, kimiawi ataupun kombinasi keduanya. Hidrolisis secara
enzimatis memiliki perbedaan mendasar dibandingkan hidrolisis secara kimiawi dan fisik dalam
hal spesifitas pemutusan rantai polimer pati. Hidrolisis secara kimiawi dan fisik akan memutus
rantai polimer secara acak, sedangkan hidrolisis enzimatis akan memutus rantai polimer secara
spesifik pada percabangan tertentu.
Enzim yang digunakan adalah alfa-amilase pada tahap likuifikasi, sedangkan tahap
sakarifikasi digunakan enzim glukoamilase. Berdasarkan penelitian, penggunaan -amilase pada
tahap likuifikasi menghasilkan DE tertinggi yaitu 50.83 pada konsentrasi -amilase 1.75 U/g pati
dan waktu likuifikasi 210 menit, dan glukoamilase pada tahap sakarifikasi menghasilkan DE
tertinggi yaitu 98.99 pada konsentrasi enzim 0.3 U/g pati dengan waktu sakarifikasi 48 jam.
Tahap kedua adalah proses fermentasi untuk mengkonversi glukosa (gula) menjadi etanol
dan CO2. Fermentasi etanol adalah perubahan 1 mol gula menjadi 2 mol etanol dan 2 mol CO 2.
Pada proses fermentasi etanol, khamir terutama akan memetabolisme glukosa dan fruktosa
membentuk
asam
piruvat
melalui
tahapan
reaksi
pada
jalur
Embden-Meyerhof-Parnas,
sedangkan asam piruvat yang dihasilkan akan didekarboksilasi menjadi asetaldehida yang
kemudian mengalami dehidrogenasi menjadi etanol.
Khamir yang sering digunakan dalam fermentasi alkohol adalah Saccharomyces
cerevisiae, karena jenis ini dapat berproduksi tinggi, toleran terhadap alkohol yang cukup tinggi
(12-18% v/v), tahan terhadap kadar gula yang tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi pada
suhu 4-32oC.
Setelah proses fermentasi selesai, dilakukan destilasi untuk memisahkan etanol. Distilasi
merupakan pemisahan komponen berdasarkan titik didihnya. Titik didih etanol murni adalah 78 oC
sedangkan air adalah 100oC (Kondisi standar). Dengan memanaskan larutan pada suhu rentang
21
78 100oC akan mengakibatkan sebagian besar etanol menguap, dan melalui unit kondensasi
akan bisa dihasilkan etanol dengan konsentrasi 95 % volume.
Terdapat dua tipe proses destilasi yang banyak diaplikasikan, yaitu continuous-feed
distillation column system dan pot-type distillation system. Selain tipe tersebut, dikenal juga tipe
destilasi vakum yang menggunakan tekanan rendah dan suhu yang lebih rendah untuk
menghasilkan konsentrasi alkohol yang lebih tinggi. Tekanan yang digunakan untuk destilasi
adalah 42 mmHg atau 0.88 psi. Dengan tekanan tersebut, suhu yang digunakan pada bagian
bawah kolom adalah 35 oC dan 20oC di bagian atas. Proses produksi FGE dari bahan berpati
disajikan pada Gambar 2.5.1, sedangkan Gambar 2.5.2 menunjukkan proses produksi FGE dari
ubi kayu.
Gambar 2.5.1. Proses Produksi FGE dari bahan berpati
Dari
proses
distilasi
akan
dihasilkan etanol dengan kadar etanol maksimal 95%. Untuk aplikasi bahan bakar, etanol hasil
destilasi harus dimurnikan yaitu dengan cara dikeringkan. Pengeringan etanol dapat dilakukan
dengan beberapa cara. Cara-cara pengeringan etanol yang ada adalah antara lain pengeringan
menggunakan kapur (CaO), garam, benzene dan penggunaan molecular sieve.
Molecular sieve merupakan suatu metode purifikasi yang banyak digunakan di industri
minyak serta laboratorium untuk memisahkan komponen dan untuk pengeringan. Molecular
sieve adalah suatu bahan yang memiliki pori-pori kecil dengan ukuran yang tepat dan seragam
yang digunakan sebagai absorben cairan dan gas. Bahan ini dapat menyerap air hingga 20% dari
berat bahan itu sendiri. Bahan-bahan yang termasuk molecular sieve antara lain zeolit,
lempung, karbon aktif, microporous charcoal dan porous glasses.
22
Gambar 2.5.2.. Diagram alir proses pembuatan FGE dari ubi kayu
Proses Pembuatan Bioetanol ubi kayu skala kerakyatan atau skala rumahan
Pembuatan bioetanol juga dapat dilakukan pada skala rumahan. Dengan memanfaatkan
ubi kayu segar berkadar pati 28%, ditargetkan akan diperoleh 7 liter bioetanol. Langkah-langkah
pembuatan bioetanol skala rumahan adalah sebagai berikut.
-
Kupas Kasar ubi kayu segar sebanyak 50 Kg. Cuci dan giling dengan mesin penggiling
listrik, mesin bensin, ataupun diesel.
Masukkan bubur ubi kayu ke dalam drum yang terbuka penuh bagian atasnya.
Tambahkan air 40 50 liter dan aduk sambil dipanasi menggunakan kompor minyak
tanah, gas, ataupun tungku batu bara dan limbah pertanian, baik yang dibakar langsung,
seperti batok kelapa, cangkang, sabut, ranting ranting kayu, maupun limbah pertanian
dan peternakan yang diubah menjadi biogas.
Tambahkan 1,5 ml enzim alfa amylase (dapat dibeli di toko kimia khusus). Panaskan
selama 30 60 menit pada suhu sekitar 900 C.
Jaga temperatur pada kisaran 55 600 C selama 3 jam, lalu dinginkan hingga suhu di
bawah 350 C. Gunakan alat penukar panas untuk mempercepat proses pendinginan.
Tanbahkan 1 g ragi roti (dapat dibeli di toko bahan bahan kue), urea 65 g, dan NPK 14
g. Biarkan selama 72 jam dalam keadaan tertutup, tetapi tidak rapat agar gas karbon
23
dioksida yang terbentuk bisa keluar. Fermentasi yang berhasil ditandai dari aroma sepeti
tape, suara gelembung gas yang naik ke atas, dan keasaman (pH) di atas 4.
-
Pindahkan cairan yang mengandung 7 -9 % bioetanol itu ke dalam drum lain yang
didesain sebagai penguap (evaporator).
Masak menggunakan kompor minyak tanah, gas, tungku, briket batu bara, arang tau
bahan bakar lain, hingga keluar uapnya menuju alat distilasi. Hal ini terindikasi melalui
rambatan panas dalam pipa menuju alat distilasi dan kenaikan temperatur pada
termometer. Nyalakan aliran air kondensor pengembun uap bioetanol.
mulai keluar. Kontrol temperatur dapat dilakukan dengan dua cara, yakni mengatur aliran
air refluks dalam alat distilasi dan /atau mengatur api kompor.
-
Keluarkan limbah melalui kran bawah drum, melewati saringan yang akan menahan
limbah padat dan meloloskan limbah cair.
Hasil destilasi dengan cara destilasi di atas adalah etanol dengan kadar 95%. Untuk
meningkatkan konsentrasinya hingga diperoleh FGE dapat dilakukan juga dalam skala
kerakyatan dengan menggunakan peralatan dan bahan yang sederhana. Prosedurnya yaitu
dengan mencampurkan etanol 95% dengan kapur gamping (CaO) yang ditepungkan dengan
komposisi 1 : 4 atau 1 : 2 (1 bagian kapur dan 4 atau 2 bagian etanol 95%). Aduk secara periodik
dan biarkan selama 24 jam. Selanjutnya diuapkan (gunakan pemanas tidak langsung) dan
disuling dengan penyuling sederhana (alat distilasi satu tingkat) dan disuling dengan penyuling
sederhana (alat distilasi satu tingkat).
Mutu dan Metode Uji Bioetanol
Mutu bioetanol sebagai bahan bakar cukup ketat yang mensyaratkan kadar etanol lebih
dari 99% serta beberapa parameter lainnya. Hal ini berhubungan manfaatnya sebagai pengganti
bahan bakar. Spesifikasi standar bioetanol terdenaturasi untuk gasohol disajikan pada Tabel
2.5.1.
Tabel 2.5.1. Spesifikasi standar bioetanol terdenaturasi untuk gasohol
No.
1
Sifat
Kadar etanol
Unit, Min/Maks
%-v, min
Spesifikasi
99.5 (sebelum denaturasi)
2
3
4
Kadar metanol
Kadar air
Kadar denaturan
5
6
Mg/l, maks
%-v, maks
%-v, min
%-v, maks
Mg/kg, maks
Mg/l, maks
CH3COOH
Tampakan
24
8
9
10
11
Mg/l, maks
Mg/l, maks
Mg/100 ml, maks
40
50
5.0
6.5-9.0
FGE atau etanol kering biasanya memiliki berat jenis dalam rentang 0.7936-0.7961
(pada kondisi 15,56/15,56oC), atau berat jenis dalam rentang 0.7871-0.7896 (pada kondisi
25/25oC).
3. ASPEK PEMASARAN
Kebutuhan pasar singkong yang selama ini didominasi oleh pabrikan tapioka sehingga
menurunkan bargaining power petani singkong sudah berakhir dengan meluncurnya trend
pengolahan biofuel berbahan dasar singkong yaitu ethanol. Perebutan bahan baku telah memicu
kenaikan harga bahan baku di pasar singkong yang ditandai dengan kolapsnya beberapa pabrik
pengolahan
tapioka
yang
masih
mempertahankan
sistem
purchasing
gaya
lama
( mempermainkan harga di tingkat petani) karena tidak mendapatkan suplai bahan baku.
Kenaikan harga hingga 50 % dan minimnya pasokan singkong telah membuat komoditas ini
mengalami apresiasi dan kestabilan harga.
PERMINTAAN DALAM NEGERI
Konsumsi Dalam Negeri ubi kayu dalam bentuk gapiek ataupun tapioka di Indonesia,
terutama diperlukan untuk kebutuhan pakan ternak, tekstil, kerupuk dan berbagai bahan
campuran bagi produk makanan lainnya yang dibuat dari tepung. Bisa dibayangkan bahwa
kebutuhan tepung ubi kayu ataupun tapioka akan terus meningkat di Indonesia, sesuai dengan
peningkatan populasi konsumen.
Pemasaran Hasil Produksi Petani
Banyak masalah yang selama ini sering dihadapi para petani ubi kayu dalam memasarkan
produksinya, terutama sekali menyangkut harga, peran dan tingkah para pengumpul, dan
kebijakan yang dilakukan sendiri oleh para Pengusaha Pabrik Pengolahan Ubi Kayu dan Eksportir.
Harga Jual Ubi Kayu
Harga jual ubi kayu ditingkat petani p@ Ubi Kayu/Eksportir yang mungkin juga dipengaruhi oleh
adanya kebijakan Pemerintah tentang kuota ekspor, serta naik turunnya nilai dolar terhadap
rupiah. Disamping itu bisa dipahami pula bahwa bagi daerah-daerah penghasil ubi kayu untuk
industri, para petani di dalam mengadakan penanaman tidak mampu mengantisipasi daya serap
pihak pabrik pengolahan.
Melalui kemitraan antara Petani Ubi Kayu dengan Pengusaha Pabrik Pengolahan dan Eksportir,
para Pengusaha akan bisa menentukan kepastian jumlah produksi yang mungkin ditampung dan
luas tanam ubi kayu yang akan dilaksanakan bersama mitra petaninya. Keadaan ini akan dapat
mencegah terjadinya produksi yang melimpah, dan apabila harga pasar yang terjadi lebih tinggi
25
dari tingkat harga itu disepakati untuk penentuan harga dasar bisa dibuatkan kesepakatan yang
tidak merugikan petani, dan apabila harga pasar lebih tinggi dari kesepakatan harga itu akan
dipergunakan sama dengan harga pasar setempat.
PERMINTAAN LUAR NEGERI
Ubi kayu kering diperlukan untuk bahan pakan ternak dan banyak lainnya, yang jumlah
kebutuhan selama ini makin meningkat sejalan dengan peningkatan populasi konsumen akhir
dari ubi kayu tersebut. Untuk mempertahankan pasar luar negeri yang telah dikuasai Indonesia
dengan jumlah yang semakin besar, maka kebutuhan terhadap ubi kayu untuk masa-masa
mendatang diperkirakan masih akan terus meningkat.
Perkembangan Ekspor
Ekspor ubi kayu Indonesia dilakukan dalam bentuk ubi kayu kering (gapiek atau lainnya)
dan tepung tapioka. Perkembangan ekspor ubi kayu dalam bentuk kering (gapiek, chips atau
tepung) selama tahun 1990 sampai tahun 1998 terlihat pada Tabel 3.1. dan Tabel 3.2. Dalam
periode tersebut ekspor terbesar terjadi pada Tahun 1993, selanjutnya perkembangan ekspor ubi
kayu ada kecenderungan makin turun. Berbagai hal menyangkut masalah tata niaga yang
berkaitan dengan peraturan ekspor (diterapkannya pembagian quota) dan pola penyerapan
produksi ubi kayu petani, dirasakan telah mempengaruhi laju ekspor yang selanjutnya adalah
juga produktivitas ubi kayu petani.
Tabel 3.1.
Ekspor Ubi Kayu Indonesia Tahun 1990-1998
Pelet
Bentuk Lain
1990
597.329.412
570.456.989
3.315.094
1991
492.507.502
364.264.420
1.850.820
1992
368.868.865
501.304.110
3.235.648
1993
516.585.171
408.446.685
10.852.244
1994
386.024.532
298.829.708
1.184.831
1995
426.894.318
53.281.008
1.307.822
1996
290.039.080
93.610.152
4.941.434
1997
184.154.743
59.315.873
3.530.003
1998
194.616.294
24.770.000
2.017.583
Sumber : Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia. Ekspor. BPS. Dikumpulkan dari Buku
Tahun 1990 - 1998
26
Tabel 3.2.
Nilai Ekspor Ubi Kayu Indonesia Tahun 1990-1998
Tepung Tapioka
Bentuk Lain
1990
70.725.233
70.050.724
998.850
1991
53.728.693
50.476.797
755.643
1992
40.625.621
67.027.162
1.069.976
1993
47.906.448
42.625.199
1.084.136
1994
33.228.911
28.838.302
1.010.002
1995
59.763.831
6.123.001
633.576
1996
35.766.853
10.743.422
1.103.416
1997
16.172.507
5.564.969
991.832
1998
18.262.201
1.718.000
421.401
Berbeda dengan gapiek dan genusnya, total ekspor dalam bentuk tapioka terlihat pernah
mencapai titik tertinggi sebesar 82.191 ton dengan nilai sebesar US 13,98 juta pada tahun 1993
(Tabel 3.3). Untuk tahun selanjutnya jumlah ekspor kembali tidak menentu. Penurunan total
ekspor yang drastis pada tahun 1994 diimbangi dengan ekspor yang tinggi pada tahun 1995. Ini
terjadi mungkin karena adanya pergeseran masa panen akibat pengaruh iklim dan adanya
masalah penampungan ubi kayu petani dan pengolahannya yang dikaitkan dengan kebijakan
niaga pihak Pengusaha.
Tabel 3.3
Ekspor Tapioka (Pati Ubi Kayu) Indonesia Tahun 1990-1997
Total Ekspor
Tahun
Gaplek
Pelet
1990
6.702.500
1.426.072
1991
4.506.500
1.320.175
1992
21.598.013
5.217.332
27
1993
82.191.450
13.982.712
1994
30.870.431
10.548.950
1995
17.923.865
5.575.430
1996
7.336.226
2.668.590
Total Ekspor
Negara Tujuan
Korea
120.797.083
12.125.792
China
67.502.292
5.473.891
Philppine
558.000
107.884
Malaysia
2.342.962
436.884
Vietnam
697.920
41.875
28
Netherlands
20.400.000
1.371.550
Switzerlands
3.000.000
165.000
570.000
85.500
4.500.000
328.000
Japan
762.000
154.570
Singapore
247.000
53.106
26.600
57.399
Taiwan
Germany
United Kingdom
Peluang pasar untuk tapioka cukup potensial baik pasar dalam negeri maupun luar
negeri. Permintaan dalam negeri terutama berasal dari wilayah Pulau Jawa seperti Bogor,
Tasikmalaya, Indramayu. Sementara permintaan pasar luar negeri berasal dari beberapa
negara ASEAN dan Eropa.
Di Indonesia, industri tepung tapioka memiliki asosiasi yaitu Assosiasi Tepung Tapioka
Indonesia (ATTI) yang berpusat di Jakarta. Keberadaan asosiasi ini belum begitu dirasakan
oleh pihak-pihak terkait terutama petani yang tidak dapat menikmati harga singkong sesuai
dengan kesepakatan antara pemda, petani dan pengusaha. Sementara pengusaha tidak
dapat memperoleh bahan baku secara langsung dari petani. Asosiasi ini diharapkan dapat
berperan dalam pengendalian harga pasar tepung tapioka, harga bahan baku serta akses
permodalan bagi pengusaha, sehingga industri tapioka dapat berkembang dalam rangka
memenuhi permintaan pasar dalam negeri dan pasar luar negeri.
Permintaan tepung tapioka di Indonesia cenderung meningkat karena peningkatan
jumlah industri makanan yang menggunakan bahan baku tapioka. Selama ini, sebagian besar
29
hasil produksi tapioka hanya mampu memenuhi kebutuhan beberapa wilayah di Indonesia,
antara lain Surabaya, Bogor, Indramayu dan Tasikmalaya.
Pada tahun 1996 sampai 2001 Indonesia menghasilkan rata-rata 15 sampai 16 juta ton
tapioka dari industri tapioka yang berlokasi di Sumatra, Jawa, dan Sulawesi. Jumlah produksi
tapioka yang terserap pasar dalam negeri sebanyak 13 juta ton dan permintaan dalam negeri
mengalami peningkatan 10% per tahun. Saat ini, produksi tapioka Indonesia belum dapat
memenuhi pasar dengan maksimal karena setiap tahun meningkat 10% atau 1,3 juta ton
pertahun. Sementara 70% produksi dihasilkan dari Pulau Sumatra, sedangkan 30%
merupakan produksi Pulau Jawa dan Sulawesi. (foodmarketexchange.com). Hal tersebut
mengindikasikan masih luasnya potensi usaha dan permintaan tapioka di Indonesia.
Tepung tapioka Indonesia sangat berpeluang untuk meraih pasar Asia dan Eropa.
Ketersediaan lahan dan bahan baku serta tenaga yang murah menyebabkan produk Indonesia
mampu bersaing dalam harga.
Indonesia adalah produsen nomor dua di Asia setelah Thailand. Produksi rata-rata
tapioka Indonesia mencapai 15-16 ton, sedangkan Thailand 30 juta ton tapioka pertahun dan
Vietnam berada pada urutan ketiga yaitu 2-3 juta ton tapioka per tahun.
Perdagangan bebas yang akan dilaksanakan di masa mendatang akan memberikan
dampak positif terhadap produk pertanian Indonesia, termasuk industri tapioka. Ditinjau dari
segi harga dan kualitas, tapioka Indonesia dapat bersaing dengan Thailand. Sebagaimana
diungkapkan foodmarketexchange.com, bahwa tapioka Indonesia merupakan salah satu
ancaman bagi pasar tapioka Thailand.
Peluang pasar tapioka Indonesia masih sangat terbuka terutama pasar Eropa seperti
Spanyol, Belanda, Jerman, Prancis dan Portugal. Disamping itu pasar dalam negeri yang
sampai saat ini belum dapat terpenuhi.
PUSTAKA
30
Anonim, 2006, Pembuatan Tepung Tapioka, Bogor: Balai Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.
Antarlina, 1992, Evaluasi Sifat-Sifat Sensoris, Fisik, dan Kimia Beberapa Klon Ubi Kayu Plasma
Nuftah, Malang : Balitkabi Malang.
Barret, D.M., dkk., 1999, Peningkatan Mutu HAsil Ubi KAyu di Indonesia , Sukamandi: Balai
Penelitian Tanaman Pangan.
Bourtoom, T. 2007, Effect of Some Process Parameters on The Properties of Edible Film
Prepared From Starch. Songkhala :Department of Material Product Technology.
Fennema, O.R., 1985, Food Chemistry, New York : Departement of Food Science. University of
Wisconsin-Madison.
Henrique, C. M., et all, 2007. Classification of Cassava Starch Film by Physicochemical
Properties and Water Vapor Permeability Quantification by FTIR and PLS. Journal of Food
Science. 74: E184-E189
Hidayat, B., 2008, Pengembangan Formulasi Produk Mie Berbahan Baku Pati Ubi Kayu,
Lampung : Politeknik Negeri Lampung.
Hidayat B, dkk. 2007, Kajian Pengembangan Mie Pati Ubi Kayu, Lampung: Politeknik Negeri
Lampung.
Hidayat, B., dkk., 2006, Kajian Pengembangan Makanan Tradisional sebagai Produk Pangan
Unggulan (Berbasis Jagung dan Ubi Kayu), Lampung: Politeknik Negeri Lampung.
Hui, Y. H. 2006, Handbook of Food Science, Technology, and, Engineering Volume I. CRC Press,
USA
Kearsley, M.W. and Dziedzic., 1995, Handbook of Starch Hydrolysis Product and Their
Derivatives, Blackie Academic & Professional, Glasgow.
Margono, T., dkk., 1993., Buku Panduan Teknologi Pangan, Jakarta: Pusat Informasi Wanita
dalam Pembangunan PDII-LIPI bekerjasama dengan Swiss Development Cooperation.
Radiyati, T., dan Agusto, A.W., 1990, Pedayagunaan Ubi Kayu, Subang: BPTTG Puslitbang Fisika
Terapan LIPI.
Wahyu, M.K., 2009, Pemanfaatan Pati Singkong Sebagai Bahan Baku Edible Film, Bandung:
Universitas Padjajaran.
Winarno, F.G., 1992, Kimia Pangan dan Gizi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
31