Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Secara anatomi, kornea merupakan bagian terluar dari mata yang
berkontak langsung dengan lingkungan, terdiri atas lima lapisan yaitu lapisan
epitel kornea yang bersambungan dengan epitel konjungtiva bulbaris, membran
Bowman, stroma, membran Descemet, dan lapisan endotel. Epitel merupakan
lapisan pertahanan kornea terhadap infeksi, sehingga apabila terdapat jejas pada
epitel maka kornea akan mudah sekali terinfeksi dan menyebabkan keratitis
(Anonimous, 2009).
Keratitis merupakan peradangan pada kornea. Keratitis dapat terletak
superfisial maupun profunda. Keratitis dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti
infeksi, mata kering yang disebabkan oleh gangguan kelopak mata atau kurangnya
air mata, pajanan terhadap sinar yang terlalu terang, reaksi alergi terhadap iritan,
imunologis (ulkus Mooren), dan defisiensi vitamin A. Mata yang kering dapat
menurunkan mekanisme pertahanan kornea sehingga mengakibatkan keratitis
(Anonimous, 2009).
Keratitis dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa tipe berdasarkan
etiologi dan lokasi terjadinya lesi (Ilyas, 2006). Keratitis yang disebabkan oleh
bakteri atau mikroba adalah jenis keratitis yang paling parah komplikasinya. 1015% kasus mengakibatkan hilangnya penglihatan secara permanen. Di Amerika
Serikat kira-kira 25.000 penduduk amerika setiap tahunnya menderita penyakit ini
(Vaughan, 2009). Frekuensi keratitis herpes simpleks di Amerika Serikat sebesar
5% di antara seluruh kasus kelainan mata. Di Negara-negara berkembang
insidensi keratitis herpes simpleks berkisar antara 5,9-20,7 per 100.000 orang
setiap tahunnya (Suhardjo, 1995).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Histologi Kornea

Gambar 1. Anatomi dan histologi kornea


Kornea (cornum = seperti tanduk) merupakan selaput bening mata yang
tembus cahaya dan pelindung struktur mata internal (Ilyas, 2006; James et al.,
2006). Jaringan ini bersifat avaskular dan transparan. Kornea dewasa mempunyai
tebal 0,54 mm di tengah, 0,65 mm di tepi, dan diameter 11,5 mm (Vaughan,
2009). Kornea memberikan kontribusi dari total kekuatan refraksi mata atau
setara dengan 40 dioptri dari total 50 dioptri mata manusia (Ilyas, 2006; Golnaz
dan Jeffrey, 2007).
Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi glukosa dari aqueus
humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata dan udara bebas.
Sebagai tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus (Lang,
2000).
Kornea adalah salah satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung
saraf terbanyak dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan
konjungtiva. Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari
2

saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V, saraf siliar longus yang berjalan
suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran Bowman
melepas selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua
lapis terdepan. Sensasi dingin oleh Bulbus Krause ditemukan pada daerah limbus
(Ilyas, 2006).
Dari anterior ke posterior (Gambar 1), kornea memiliki 5 lapisan yang
berbeda-beda. Adapun lapisan-lapisan tersebut sebagai berikut (Vaughan, 2009).
1. Epitel
Terdiri 5 lapis sel epitel squamous bertingkat tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Tebal lapisan
epitel kira-kira 5% (50 m) dari total seluruh lapisan kornea. Epitel dan film
air mata merupakan lapisan permukaan dari media penglihatan. Pada sel basal
sering terlihat mitosis sel dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapisan
sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng. Sel basal berikatan
erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui
desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air,
elektrolit dan glukosa melalui barrier. Sel basal menghasilkan membran basal
yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan
erosi rekuren. Sedangkan epitel berasal dari ektoderem permukaan. Epitel
memiliki daya regenerasi (Ilyas, 2005).
2. Membran bowman
Lapisan basal tipis yang berasal dari sel basal epitel squamous bertingkat.
Lapisan ini memiliki daya tahan yang tinggi terhadap trauma, namun tidak
memiliki daya regenerasi. Apabila terjadi trauma akan menimbulkan jaringan
parut (Lang, 2000). Tebal lapisan ini sekitar 12 m (Khurana, 2007).
3. Stroma
Lapisan ini mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea. Merupakan lapisan
tengah pada kornea. Bagian ini terdiri atas lamel fibril-fibril kolagen dengan
lebar sekitar 0,5 mm yang saling menjalin dan mencakup seluruh diameter
kornea. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas
terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan

dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma
(Ilyas, 2006).
4. Membran Descemet
Lapisan ini merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang
stroma kornea yang dihasilkan oleh endotel. Bersifat sangat elastis dan jernih
yang tampak amorf pada pemeriksaan mikroskop elektron, membran ini
berkembang terus seumur hidup dan mempunyai tebal 40 m. Lebih kompak
dan elastis daripada membran Bowman. Juga lebih resisten terhadap trauma
dan proses patologik lainnya dibandingkan dengan bagian-bagian kornea yang
lain (Ilyas, 2005).
5. Endotel
Berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal, tebal
antara 20-40 m melekat erat pada membran Descemet melalui hemidesmosom
dan zonula okluden. Endotel dari kornea ini dibasahi ole h aqueous humor.
Lapisan endotel berbeda dengan lapisan epitel karena tidak mempunyai daya
regenerasi, sebaliknya endotel mengkompensasi sel-sel yang mati dengan
mengurangi kepadatan seluruh endotel dan memberikan dampak pada regulasi
cairan, jika endotel tidak lagi dapat menjaga keseimbangan cairan yang tepat
akibat gangguan sistem pompa endotel, stroma bengkak karena kelebihan
cairan (edema kornea) dan kemudian hilangnya transparansi (kekeruhan) akan
terjadi. Permeabilitas dari kornea ditentukan oleh epitel dan endotel yang
merupakan membran semipermeabel, kedua lapisan ini mempertahankan
kejernihan daripada kornea, jika terdapat kerusakan pada lapisan ini maka akan
terjadi edema kornea dan kekeruhan pada kornea (Ilyas, 2006).
2.2 Fisiologi Kornea
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang dilalui
berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh susunan
filamen-filamen kolagen pada stroma yang uniform, avaskular, dan komposisi air
yang konstan di dalam stroma atau keadaan dehidrasi relatif (deturgesens). Air di
dalam stroma dipertahankan sebanyak 70% (Lang, 2000; Khurana, 2007).

Deturgesens atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea, dipertahankan


oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan
endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel jauh lebih penting daripada
epitel, dan kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel berdampak jauh lebih parah
daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema
kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya, kerusakan pada epitel hanya
menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat yang akan meghilang bila sel-sel
epitel telah beregenerasi. Penguapan air dari lapisan air mata prekorneal
menghasilkan hipertonisitas ringan lapisan air mata tersebut, yang mungkin
merupakan faktor lain dalam menarik air dari stroma kornea superfisial dan
membantu mempertahankan keadaan dehidrasi (Vaughan, 2009).
Penetrasi obat ke dalam ke kornea bersifat bifasik. Substansi larut lemak
dapat melalui epitel utuh dan substansi larut air dapat melalui stroma yang utuh.
Karenanya agar dapat melalui kornea, obat harus larut lemak dan larut air
sekaligus. Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme
kedalam kornea. Namun sekali kornea ini cedera, stroma yang avaskular dan
membran Bowman mudah terkena infeksi oleh berbagai macam organisme,
seperti bakteri, virus, parasit, dan jamur (Vaughan, 2009).
2.3 Keratitis
2.3.1 Definisi
Keratitis adalah infeksi pada kornea yang biasanya diklasifikasikan
menurut lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis superfisialis apabila mengenal
lapisan epitel atau Bowman dan keratitis profunda yang mengenai lapisan stroma
(Ilyas, 2006).
2.3.2

Epidemiologi
Keratitis bakterialis merupakan penyebab kebutaan di negara berkembang.

Pada tahun 1996, Gonzales et al. Melaporkan bahwa insidensi keratitis di selatan
India 11,3 per 10.000 penduduk, 35% dari ulkus kornea yang disebabkan oleh
bakteri dan 32% adalah karena jamur. Penelitian lain di timur India ditemukan
bahwa 62% dari ulkus kornea disebabkan jamur. Di Nepal angka ini diperkirakan
799 per 100.000 per tahun. Jamur menyebabkan keratitis di sekitar 6% dari pasien
5

di daerah beriklim sedang, tetapi angka yang lebih menonjol di daerah tropis.
(Norina et al., 2008).
Angka kejadian infeksi keratitis di negara maju juga telah meningkat
karena tingginya tingkat pengguna lensa kontak. Saat ini 2 sampai 11 per 100.000
per tahun. Sebuah penelitian dari Hongkong menemukan kejadian tahunan 0,63
per 10.000 pada bukan pemakai lensa kontak dan 3,4 per 10.000 pada pemakai
lensa kontak. Keratitis acanthamoeba sekarang menyumbang sekitar 1% dari
semua kasus, dengan menggunakan lensa kontak yang bertindak sebagai faktor
risiko utama.
Frekuensi keratitis herpes simpleks di Amerika Serikat sebesar 5% di
antara seluruh kasus kelainan mata. Di negara-negara berkembang insidensi
keratitis herpes simpleks berkisar antara 5,9-20,7 per 100.000 orang setiap tahun.
Di Tanzania 35-60% ulkus kornea disebabkan oleh keratitis herpes simpleks
(Suhardjo, 1995).
2.3.3 Etiologi dan faktor risiko
Penyebab keratitis bermacam-macam dan digolongkan menjadi infeksi dan
non infeksi. Adapun penyebab infeksi berupa bakteri, virus, fungi, dan parasit
(Vaughan, 2009).
Matthew et al. (2008) menemukan beberapa faktor risiko penyebab terjadinya
keratitis yaitu penggunaan kontak lens, penyakit kornea sebelumnya, trauma mata,
dan ocular surgery. Selain itu faktor lainnya adalah kekeringan pada mata, pajanan
terhadap cahaya yang sangat terang, benda asing yang masuk ke mata, reaksi alergi
atau mata yang terlalu sensitif terhadap kosmetik mata, debu, polusi atau bahan iritatif
lain, dan kekurangan vitamin A (Mansjoer, 2001).

2.3.4

Patofisiologi
Permukaan kornea secara normal akan dilindungi oleh berbagai macam

mekanisme pertahanan termasuk diantaranya barrier fisik dari kelopak mata


terhadap benda asing, kedipan mata yang reguler untuk menyapu kotoran yang
menempel pada film air mata, dan persambungan antara epitel konjungtiva dan
kornea. Ada juga mediator sistem imun yang mempertahankan kornea, seperti sel
mast konjungtiva, conjunctiva-associated lymphoid tissue (CALT) yang
bertanggung jawab atas antigen lokal, substansi imunoaktif pada film air mata
6

(IgA, lisozim, beta lisin, laktoferin, dan albumin spesifik dari air mata), sel-sel
plasma, makrofag, dan limfosit T (Golnaz dan Jeffrey, 2007).
Ketika terjadinya defek pada epitel kornea, maka proses infeksi dan
inflamasi akan dimulai (Golnaz dan Jeffrey, 2007). Karena kornea bersifat
avaskular, maka pertahanan ketika peradangan tidak akan segera datang seperti
pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi. Mediator sistem imun
dan sel-sel imun yang terdapat pada kornea dan konjungtiva akan segera bekerja,
kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang terdapat dilimbus dan
tampak sebagai injeksi perikornea (siliar). Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari
sel-sel mononuklear, sel plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN) yang
mengakibatkan timbulnya infiltrat dan tampak sebagai bercak berwarna kelabu
keruh dengan batas-batas tak jelas dan permukaan tidak licin, kemudian dapat
terjadi kerusakan epitel dan timbulah ulkus kornea (Vaughan, 2009).
Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada
kornea baik superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan
fotofobia. Rasa sakit ini diperberat dengan adanya gesekan palpebra (terutama
palbebra superior) pada kornea dan menetap sampai sembuh. Fotofobia pada
penyakit kornea timbul akibat kontraksi iris yang meradang dan nyeri.
(Vaughan, 2009).
Karena kornea berfungsi sebagai jendela bagi mata dan membiaskan
berkas cahaya, lesi kornea umumnya agak mengaburkan penglihatan, terutama
kalau letaknya di pusat. Meskipun mata berair, sekret biasanya tidak ditemukan
(Vaughan, 2009).
2.3.5 Manifestasi klinis
Tanda patognomik dari keratitis ialah terdapatnya infiltrat di kornea.
Infiltrat dapat ada di seluruh lapisan kornea. Pada peradangan yang dalam,
penyembuhan berakhir dengan pembentukan jaringan parut (sikatrik) yang dapat
berupa nebula, makula, dan leukoma. Adapun gejala umum keratitis adalah
sebagai berikut (Mansjoer, 2001).
Gejala subjektif:
Keluar air mata yang berlebihan (epifora)

Fotofobia
Blefarospasme
Nyeri
Gejala objektif:
Penurunan tajam penglihatan
Radang pada kelopak mata (bengkak, merah)
Mata merah (injeksi siliar)
Infiltrat (+/-)

2.3.6 Klasifikasi
Keratitis diklasifikasikan menurut lapisan kornea yang terkena yaitu
keratitis superfisialis apabila mengenal lapisan epitel atau Bowman dan keratitis
profunda yang mengenai lapisan stroma (Ilyas, 2006).
Menurut tempatnya, keratitis diklasifikasikan sebagai berikut (Khurana,
2003).
I. Keratitis Superfisial
1. Keratitis epitelial
a. Keratitis punctata superfisialis
b. Herpes simpleks
c. Herpes zoster
2. Keratitis subepitelial
a. Keratitis nummularis
b. Keratitis disiformis
3. Keratitis stromal
a. Keratitis neuroparalitik
b. Keratitis lagoftalmus
II. Keratitis Profunda
1. Keratitis interstisial
2. Keratitis sklerotikans
3. Keratitis disiformis
4.

(A)

(B)

(C)
8

Gambar 2. (A) Keratitis pungtata. (B) Keratitis numularis. (C) Keratitis


interstisial
Sumber: Anonimous (2009)
1.
2.
3.
4.

Berdasarkan etiologinya, keratitis dapat dibedakan atas (Vaughan, 2009):


Keratitis bakterialis
Keratitis virus
Keratitis fungi
Keratitis parasit

2.3.7

Diagnosis kerja

1) Anamnesis
Pasien biasanya datang dengan keluhan penurunan tajam penglihatan, mata
merah, merasa kelilipan, nyeri, fotofobia, epifora, dan blefarospasme.
2) Pemeriksaan fisik
Injeksi siliar merupakan penanda pada kebanyakan kasus keratitis, terdapat
kekeruhan kornea, pupil miosis, kedalaman bilik mata depan normal, tekanan
intraokular normal, sekret (-).
3) Pemeriksaan penunjang
Tes placido
Penderita membelakangi jendela atau sumber cahaya, pemeriksa menghadap
ke penderita dengan jarak pendek sambil memegang alat placid. Alat placid
dipasang didepan mata penderita dan pemeriksa melihat bayangan placido
pada kornea penderita melalui lubang yang terdapat ditengah-tengah alat
tersebut, sedang penderita melihat ke arah lubang tersebut. Yang diperhatikan
adalah gambaran sirkuler yang direfleksi pada permukaan kornea penderita.
Bila bayangan di kornea gambarannya sirkuler dan teratur disebut placid (-),
pertanda permukaan kornea baik. Jika gambaran sirkulernya tidak teratur,
placid (+), berarti permukaan kornea tidak baik, mungkin ada infiltrat, ulkus,
sikatrik, atau astigmatisma.
Uji fluoresensi
Mata ditetesi dengan fluoresens warna kuning kemudian dibilas dengan NaCl
akan berubah menjadi hijau. Untuk lebih jelas diamati dengan slitlamp
memakai warna biru atau digunakan kertas fluoresens yang diletakkan di
sakus lakrimal dan pasien disuruh berkedip-kedip kemudian diamati.
9

Tes fistel
Setelah pemberian fluoresens bola mata harus ditekan sedikit, untuk
melepaskan fibrin dari fistel, sehingga cairan COA dapat mengalir keluar
melalui fistel, seperti air mancur pada tempat ulkus tersebut.
Bakteriologi
Dilakukan pemeriksaan hapusan langsung, pembiakan, tes sensitivitas. Dari
pemeriksaan hapusan langsung dapat diketahui jenis kuman penyebab. Bila
tidak terdapat kumannya, dari macam-macam sel yang ditemukan dapat
diketahui kira-kira penyebab terjadinya keratitis. Bila terdapat banyak
monosit maka diduga akibat virus, leukosit PMN kemungkinan bakteri,
Eosinofil menunjukkan radang akibat alergi, limfosit terdapat pada radang
yang kronis.
Sensibilitas kornea.
Pemeriksaan sensibilitas kornea dilakukan pada mata kanan dan kiri yaitu
pada bagian parasentral meridian horizontal temporal, menggunakan dua
macam alat yaitu:
a) menggunakan kapas pilin

Pasien duduk di depan pemeriksa, kemudian mata yang akan diperiksa


difiksasi dengan cara diminta melihat ke arah nasal. Kapas pilin
disentuhkan pada kornea dari temporal. Bila terjadi refleks kedip dicatat
sebagai sensibilitas kornea positif (+), sedangkan bila tidak terjadi refleks
kedip maka dicatat sensibilitas kornea negatif (-).
b) menggunakan estesiometer

Pasien duduk didepan pemeriksa, kemudian mata yang akan diperiksa


disinari dengan lampu senter dari jarak kurang lebih 40 cm, dan disuruh
melihat kearah lampu senter. Estesiometer dengan panjang filamen 6 cm,
diarahkan ke mata responden dan disentuhkan pada kornea parasentral
bagian temporal dengan arah tegak lurus sampai filamen sedikit
membengkok 5o. Bila tidak ada refleks kedip maka pemeriksaan diulangi
dengan panjang filament dikurangi 0,5 cm, begitu seterusnya sampai
terjadi refleks kedip. Hasil yang dicatat adalah panjang filament terpanjang
yang menyebabkan refleks kedip.

10

2.3.8

Diagnosis banding
Diagnosis banding dari keratitis sangat erat kaitannya dengan penyakit

mata lain yang menyebabkan mata merah. Berikut diagnosis banding keratitis
(Berson, 1993).
Tabel 1. Diagnosis banding mata merah
Gejala subjektif
dan objektif

Glaukoma
akut

Uveitis
akut

Keratitis

Visus
Nyeri
Fotofobi
Halo
Injeksi siliar
Injeksi
konjungtiva
Kekeruhan kornea
Destruksi epitel
kornea
Kelainan pupil

3
2 sampai 3
1
2
1
2

1 sampai 2
2
3
0
2
2

3
0

Kedalaman
kamera okuli
anterior
Tekanan
intraokular
Sekret

Konjungtivitis
Bakteri

Virus

3
2
3
0
3
2

0
0
0
0
0
3

0
0
0
0
0
2

Alergi
0
0
0
0
0
1

0
0

1 sampai 3
1 sampai 3

0
0

0 atau 1
0 atau 1

0
0

Midrasi,
non reaktif
3

Kecil tapi
irreguler
0

Normal
atau kecil
0

-2 sampai 1

Kadangkadang

2 atau 3

Sumber: Berson (1993)


2.4 Keratitis Bakterialis
Keratitis bakterialis adalah keratitis yang disebabkan oleh bakteri patogen
dan dapat menyebabkan kebutaan (Jabran et al., 2008). Ciri-ciri khusus keratitis
bakterialis adalah perjalanannya yang cepat. Destruksi korneal lengkap bisa
terjadi dalam 2448 jam oleh beberapa agen bakteri yang virulen. Ulkus kornea,
pembentukan abses stroma, edema kornea, dan inflamasi segmen anterior adalah
karakteristik dari penyakit ini (Anonimous, 2009).
2.4.1

Patogen
Berikut ini adalah patogen keratitis bakterialis dengan karakteristik infeksi
11

masing-masing infeksi.
Tabel 2. Karakteristik infeksi patogen keratitis

Sumber: Lang (2000)

2.4.2 Patogenesis
Awal dari keratitis bakterialis adalah adanya gangguan dari epitel kornea
yang intak dan masuknya mikroorganisme patogen ke stroma kornea, dimana
akan terjadi proliferasi dan menyebabkan ulkus. Faktor virulensi dapat
menyebabkan invasi mikroba atau molekul efektor sekunder yang membantu
proses infeksi. Beberapa bakteri memperlihatkan sifat adhesi pada struktur
fimbriasi dan struktur non fimbriasi yang membantu penempelan ke sel kornea.
Selama stadium inisiasi, epitel dan stroma pada area yang terluka dan infeksi
dapat terjadi nekrosis. Sel inflamasi akut (terutama neutrofil) mengelilingi ulkus
awal dan menyebabkan nekrosis lamella stroma (Anonimous, 2009).
Difusi produk-produk inflamasi di bilik posterior, menyalurkan sel-sel
inflamasi ke bilik anterior dan menyebabkan adanya hipopion. Toksin bakteri
yang lain dan enzim (meliputi elastase dan alkalin protease) dapat diproduksi
selama infeksi kornea yang nantinya dapat menyebabkan destruksi substansi
kornea (Anonimous, 2009).
2.4.3

Manifestasi klinis

12

Pasien dengan keratitis bakteri (Gambar 3) pada umumnya bersifat


unilateral, nyeri, fotofobia, hiperlakrimasi, dan terdapat penurunan fungsi
penglihatan. Anamnesis yang perlu dilakukan diantaranya riwayat pemakaian
kontak lensa, trauma, penurunan status imunologis, defisiensi air mata, penyakit
kornea, dan malposisi kelopak mata. Dapat ditemukan infiltrat stromal dan sekret
kental mukopurulen, edema kornea, injeksi siliar, dan pada kasus yang berat
bahkan dapat ditemukan hipopion. Tekanan intraokular dapat turun disebabkan
hipotonus badan siliar. Namun, pada umumnya tekanan intraokular meningkat
akibat sumbatan dari trabecular meshwork oleh sel peradangan. Kelopak mata
juga dapat edema (Anonimous, 2009).
S. aureus dan S. pneumoniae pada umumnya memberikan gambaran oval,
kuning-putih, supurasi stroma yang padat dan opak dikelilingi kornea yang jernih,
serta menyebar dari fokus infeksi ke tengah kornea. Pada umumnya muncul 24-48
jam setelah inokulasi pada kornea. Hipopion dapat terjadi. Pada pemeriksaan
gram akan ditemukan diplokokus gram positif (Anonimous, 2009).
Pseudomonas sp umumnya menghasilkan eksudat mukopurulen, nekrosis
liquefaktif yang difus, dan semiopak ground glass pada penampakan stroma.
Infeksi berkembang dengan cepat karena enzim proteolitik yang diproduksi oleh
Pseudomonas. Terasa nyeri dan perforasi kornea dapat terjadi dalam 48 jam. Pada
pemeriksaan gram akan ditemukan bakteri batang gram negatif (Anonimous,
2009).

Gambar 3. Keratitis bakterialis


Sumber: Anonimous (2009)
2.4.4

Tata laksana
13

Terapi

dimulai

dengan

antibiotik

spektrum

luas

sebab

infeksi

polimikrobial sering terjadi. Pemilihan regimen pengobatan dapat menggunakan


terapi kombinasi. Aminoglikosida (gentamisin 1,5% atau tobramisin 1,5%) 1
tetes/jam dan sefalosporin (cefazolin 1 tetes/jam pada jam bangun selama lima
hari atau cefuroxim 5%) atau monoterapi dengan fluorokuinolon seperti
ciprofloksasin 0,3% 2 tetes/15 menit selama 6 jam diteruskan 2 tetes/30 menit
selama 18 jam dan kemudian di tapp off sesuai respon pengobatan. Perbaikan
kondisi terjadi pada 48 jam berikutnya (Anonimous, 2009).
Terapi single drug dengan menggunakan flourokuinolon (misalnya
ciprofloksasin, ofloksasin) menunjukkan efektiftivitas yang sama seperti terapi
kombinasi. Tetapi beberapa patogen (misalnya streptococcus) dilaporkan
mempunyai kerentanan bervariasi terhadap golongan florokuinolon dan prevalensi
resistensi terhadap golongan florokuinolons tampaknya semakin meningkat
(Anonimous, 2009). Moksifloksasin dilaporkan memiliki cakupan yang lebih baik
terhadap bakteri gram positif dari florokuinolon generasi sebelumnya pada uji invitro (Aamna et al., 2008). Penggunaan steroid harus dihindari karena dapat
mengganggu proses reepitelisasi dari kornea (Bowlling et al., 2011).
2.5 Keratitis Virus
2.5.1 Keratitis virus herpes simpleks (HSV)
Keratitis herpes simpleks (HSV) merupakan salah satu infeksi kornea yang
paling sering ditemukan dalam praktik. Disebabkan oleh virus herpes simpleks
tipe 1 maupun tipe 2 (Foster, 2008). Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks
dapat bersifat primer dan kambuhan. lnfeksi primer herpes simpleks primer pada
mata jarang ditemukan dan bentuk ini (Vaughan, 2009).
2.5.1.1 Gejala Klinis
Infeksi primer ditandai oleh adanya demam, malaise, limfadenopati
preaurikuler, konjungtivitis folikutans, blefaritis, dan 2/3 kasus terjadi keratitis
epitelial. Kira-kira 94-99% kasus bersifat unilateral, walaupun pada 40% atau
lebih dapat terjadi bilateral khususnya pada pasien-pasien atopik. Infeksi primer
dapat terjadi pada setiap umur, tetapi biasanya antara umur 6 bulan-5 tahun atau
14

16-25 tahun. Keratitis herpes simpleks didominasi oleh kelompok laki-laki pada
umur 40 tahun ke atas (Suhardjo, 1995).
Gejala-gejala subyektif keratitis epitelial meliputi: fotofobia, injeksi
perikorneal, dan penglihatan kabur. Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak
sebanding dengan luasnya lesi epitel, berhubung adanya hipestesi atau
insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus diwaspadai terhadap keratitis lain yang
juga disertai hipestesi kornea, misalnya pada: herpes zoster oftalmikus keratitis
akibat pemaparan dan mata kering, pengguna lensa kontak, keratopati bulosa, dan
keratitis kronik. Gejala spesifik pada keratitis herpes simpleks ringan adalah tidak
adanya fotofobia (Suhardjo, 1995).
2.5.1.2 Lesi
Keratitis herpes simpleks juga dapat dibedakan atas bentuk superfisial dan
profunda. Keratitis superfisial dapat berupa pungtata, dendritik, dan geografik.
Keratitis dendritik merupakan proses kelanjutan dari keratitis pungtata yang
diakibatkan oleh perbanyakkan virus dan menyeba serta menimbulkan kematian
sel dengan defek bercabang. Lesi dendritik merupakan gambaran lesi yang
memiliki percabangan linear dengan tepian kabur dan memiliki bulbus terminalis
pada ujungnya. Pemulasan fluoresein memudahkan melihat dendritik, namun
keratitis herpes dapat juga menyerupai infeksi kornea yang lain dan harus
dimasukkan dalam diagnosis banding (Vaughan, 2009).
Ada juga bentuk lain yaitu bentuk lesi geografik yaitu lesi dendritik
menahun dengan lesi berbentuk lebih lebar. Hal ini terjadi akibat bentukan ulkus
bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi ovoid. Dengan demikian
gambaran ulkus menjadi seperti peta geografi dengan kaki cabang mengelilingi
ulkus. Tepian ulkus tidak kabur. Sensasi kornea, seperti halnya penyakit dendritik,
menurun. Lesi epitel kornea lain yang dapat ditimbulkan HSV adalah keratitis
epitelial blotchy, keratitis epitelial stelata, dan keratitis filamentosa. Namun,
semua ini umumnya bersifat sementara dan sering menjadi dendritik khas dalam
satu dua hari (Vaughan, 2009).

15

Gambar 4. Lesi dendritik (kanan) dan lesi geografik (kiri) pada keratitis HSV
Keratitis herpes simpleks bentuk dendritik harus dibedakan dengan
keratitis herpes zoster. Pada keratitis herpes zoster bukan suatu ulserasi tetapi
suatu hipertropi epitel yang dikelilingi mukus plak dan bentuk dendriform lebih
kecil (Ilyas, 2006).
Keratitis diskiformis (Gambar 5B) adalah bentuk penyakit stroma paling
umum pada infeksi HSV. Stroma di daerah pusat yang edema berbentuk cakram,
tanpa infiltrasi berarti, dan umumnya tanpa vaskularisasi. Edemanya mungkin
cukup berat untuk membentuk lipatan-lipatan di membran Descement. Mungkin
terdapat endapan keratik tepat dibawah lesi diskiformis itu, namun dapat pula
diseluruh endotel karena sering bersamaan dengan uveitis anterior. Seperti
kebanyakan lesi herpes pada orang imunokompeten, keratitis diskiformis
normalnya sembuh sendiri, setelah berlangsung beberapa minggu sampai bulan.
Edema adalah tanda terpenting dan penyembuhan dapat terjadi dengan parut dan
vaskularisasi minimal (Vaughan, 2009).
Keratitis HSV stroma dalam bentuk infiltrasi dan edema fokal yang sering
disertai vaskularisasi, terutama disebabkan replikasi virus. Kadang-kadang
dijumpai adanya infiltrat marginal atau lebih dikenal sebagai Wessely ring
(Gambar 5A) diduga sebagai infiltrat PMN disertai reaksi antigen antibodi virus
herpes simpleks. Penipisan dan perforasi kornea dapat terjadi dengan cepat,
apalagi jika dipakai kortikosteroid topikal. Jika terdapat penyakit stroma dengan
ulkus epitel, akan sulit dibedakan superinfeksi bakteri atau fungi pada penyakit
herpes. Pada penyakit epitelial harus diteliti benar adanya tanda-tanda khas
herpes, namun unsur bakteri atau fungi dapat saja ada dan dapat pula disebabkan
oleh reaksi imun akut, yang sekali lagi harus mempertimbangkan adanya penyakit
16

virus aktif. Mungkin terlihat hipopion dengan nekrosis, infeksi bakteri atau fungi
sekunder (Vaughan, 2009).

(A)

(B)

Gambar 5. (A) Lesi dengan Wessely Ring (B). Keratitis Diskiformis


2.5.1.3 Patogenesis
Keratitis herpes simpleks dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal
Kerusakan terjadi pada pembiakan virus intraepitel, mengakibatkan kerusakan sel
epitel, dan membentuk ulkus kornea superfisial. Pada yang stromal terjadi reaksi
imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang yaitu reaksi antigen antibodi
yang menarik sel radang kedalam stroma. Sel radang ini mengeluarkan bahan
proteolitik untuk merusak virus tetapi juga akan merusak jaringan stroma
disekitarnya. Hal ini penting diketahui karena manajemen pengobatan pada yang
epitelial ditujukan terhadap virusnya sedang pada yang stromal ditujukan untuk
menyerang virus dan reaksi radangnya. Perjalanan klinik keratitis dapat
berlangsung lama kaena stroma kornea kurang vaskuler, sehingga menghambat
migrasi limfosit dan makrofag ke tempat lesi. Infeksi okuler HSV pada hospes
imunokompeten biasanya sembuh sendiri, namun pada hospes yang secara
imunologik tidak kompeten, perjalanannya mungkin menahun dan dapat merusak
(Vaughan, 2009).
2.5.1.4 Tata laksana
Bertujuan

menghentikan

replikasi

virus

didalam

kornea,

sambil

memperkecil efek merusak akibat respon radang (Suhardjo, 1995).


1. Debridement
17

Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epitelial, karena


virus berlokasi di dalam epitel. Debridement juga mengurangi beban
antigenik virus pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea,
namun epitel terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan
aplikator berujung kapas khusus. Iodium atau eter topikal tidak banyak
manfaat dan dapat menimbulkan keratitis kimiawi. Obat siklopegik seperti
atropin 1 % atau homatropin 5% diteteskan ke dalam sakus konjugtiva, dan
ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien harus diperiksa setiap hari dan diganti
penutupnya sampai defek korneanya sembuh. Umumnya adalah 72 jam.
Pengobatan tambahan dengan anti virus topikal mempercepat pemulihan
epitel. Terapi obat topikal tanpa debridement epitel pada keratitis epitel
memberi keuntungan karena tidak perlu ditutup, namun ada kemungkinan
pasien menghadapi berbagai keracunan obat (Vaughan, 2009).

2. Terapi obat
Agen anti virus topikal yang dipakai pada keratitis herpes adalah idoxuridine
(IDU), trifluridine (TFT), vidarabine, dan asiklovir. TFT dan asiklovir efektif
untuk penyakit stroma. IDU dan TFT sering menimbulkan reaksi toksik.
Asiklovir oral digunakan untuk penyakit herpes mata berat. IDU merupakan
obat antiviral yang murah, bersifat tidak stabil, bekerja dengan menghambat
sintesis DNA virus, dan bersifat toksik untuk epitel normal, tidak boleh
dipergunakan lebih dari 2 minggu. Terdapat dalam larutan 1% dan diberikan
setiap jam. Salep 0,5% diberikan setiap 4 jam. Vidarabin sama dengan IDU,
akan tetapi hanya terdapat dalam bentuk salep. TFT sama dengan IDU,
diberikan 1% setiap 4 jam. Asiklovir bersifat selektif terhadap sintesis DNA
virus. Dalam bentuk salep 3% yang diberikan setiap 4 jam. Sama efektif
dengan antivirus lain akan tetapi dengan efek samping yang minimal
(Anonimous, 2009). Foster (2008) menemukan gansiklovir gel lebih efektif
dibandingkan asiklovir.
Kortikosteroid topikal tidak perlu bahkan berpotensi sangat merusak.
Kortikosteroid topikal dapat juga mempermudah perlunakan kornea, yang
18

meningkatkan risiko perforasi kornea. Jika memang perlu memakai


kortikosteroid topikal karena hebatnya respon peradangan, penting sekali
ditambahkan obat anti virus secukupnya untuk mengendalikan replikasi virus
(Vaughan, 2009).
3.

Bedah
Keratoplasti penetrans mungkin diindentifikasi untuk rehabilitasi penglihatan
pasien yang mempunyai siktarik kornea berat, namun hendaknya dilakukan
beberapa bulan setelah penyakit herpes non aktif. Pasca bedah, infeksi herpes
rekurens dapat timbul karena trauma bedah dan kortikosteroid topikal yang
diperlukan untuk mencegah penolakan transplantasi kornea. Juga sulit
dibedakan penolakan transplantasi kornea dari penyakit stroma rekurens
(Vaughan, 2009).
Perforasi kornea akibat penyakit herpes stroma atau superinfeksi bakteri atau
fungi mungkin memerlukan keratoplasti penetrans darurat. Pelekat jaringan
sianokrilat dapat dipakai secara efektif untuk menutup perfosi kecil dan graft
petak lamelar berhasil baik pada kasus tertentu. Keratoplasti lamelar memiliki
keuntungan dibanding keratoplasti penetrans karena lebih kecil kemungkinan
terjadi penolakan transparan. Lensa kontak lunak untuk terapi atau tarsorafi
mungkin diperlukan untuk pemulihan defek epitel yang terdapat pada keratitis
herpes simpleks (Vaughan, 2009).

4.

Pengendalian mekanisme pemicu yang mengaktifkan kembali infeksi HSV


Infeksi HSV rekurens pada mata banyak dijumpai kira-kira sepertiga kasus
dalam 2 tahun serangan pertama. Sering dapat ditemukan mekanisme
pemicunya setelah dengan teliti mewawancarai pasien. Begitu ditemukan,
pemicu itu dapat dihindari. Aspirin dapat dipakai untuk mencegah demam,
pajanan berlebihan terhadap sinar matahari atau sinar UV dapat dihindari.
Keadaan-keadaan yang dapat menimbulkan stres psikis dapat dikurangi. Dan
aspirin dapat diminum sebelum menstruasi (Vaughan, 2009).

2.5.6

Keratitis virus varisela zoster


Infeksi virus varicella zoster terjadi dalam 2 bentuk: primer (varicella) dan

rekuren (zoster). Manifestasi pada mata jarang terjadi pada varicella namun sering
19

pada zoster oftalmika. Pada varicella, lesi mata umumnya pada kelopak dan tepian
kelopak. Jarang ada keratitis (khas lesi stroma perifer dengan vaskularisasi), dan
lebih jarang lagi keratitis epitel dengan atau tanpa pseudodendritik (Vaughan,
2009).
Berbeda dari lesi kornea varicella yang jarang dan jinak, zoster oftalmika
relatif banyak dijumpa, kerap kali disertai keratouveitis yang bervariasi beratnya
sesuai dengan status kekebalan pasien. Komplikasi kornea pada zoster oftalmika
dapat diperkirakan timbul jika terdapat erupsi kulit di daerah yang dipersarafi
cabang-cabang Nervus Nasosiliaris (Vaughan, 2009).

Gambar 6. Keratitis Herpes Zoster pada cabang N. Nasosiliaris


Sumber: Anonimous (2009)
Berbeda dari keratitis HSV rekuren, yang umumnya hanya mengenai
epitel, keratitis VZV mengenai stroma dan uvea anterior pada awalnya. Lesi
epitelnya keruh dan amorf, kecuali kadang-kadang pada pseudodendritik linear
yang sedikit mirip dendritik pada keratitis HSV. Keluhan stroma disebabkan oleh
edema dan sedikit infiltrat sel yang pada awalnya hanya subepitel. Keadaan ini
dapat diikuti penyakit stroma dalam dengan nekrosis dan vaskularisasi. Kadangkadang timbul keratitis diskiformis dan mirip keratitis diskiformis HSV.
20

Kehilangan sensasi kornea selalu merupakan ciri mencolok dan sering


berlangsung berbulan-bulan setelah lesi kornea tampak sudah sembuh. Uveitis
yang timbul cenderung menetap beberapa minggu sampai bulan, namun akhirnya
sembuh. Skleritis dapat menjadi masalah berat pada penyakit VZV mata
(Vaughan, 2009).
Asiklovir intravena dan oral telah dipakai dengan hasil baik untuk
mengobati herpes zoster oftalmika, khususnya pada pasien yang kekebalannya
terganggu. Dosis oralnya adalah 800 mg, 5 kali sehari untuk 10-14 hari. Terapi
hendaknya dimulai 72 jam setelah timbulnya kemerahan. Peranan anti virus
topikal kurang meyakinkan. Kortikosteroid topikal mungkin diperlukan untuk
mengobati keratitis berat, uveitis, dan glaukoma sekunder. Penggunaan
kortikosteroid sistemik masih kontroversial. Terapi ini mungkin diindikasikan
untuk mengurangi insidensi dan hebatnya neuralgia paska herpes. Namun
demikian keadaan ini sembuh sendiri (Vaughan, 2009).
2.6 Keratitis Fungi
Keratitis jamur dapat menyebabkan infeksi jamur yang serius pada kornea
dan berdasarkan sejumlah laporan, jamur telah ditemukan menyebabkan 6%-53%
kasus keratitis ulseratif. Lebih dari 70 spesies jamur telah dilaporkan
menyebabkan keratitis jamur (Sachin et al., 2012).
2.6.1

Etiologi
Secara ringkas dapat dibedakan:

1.

Jamur berfilamen (filamentous fungi): bersifat multiseluler dengan cabangcabang hifa.


a) Jamur

bersepta:

Furasium

sp,

Acremonium

sp,

Aspergillus

sp,

Cladosporium sp, Penicillium sp, Paecilomyces sp, Phialophora sp,


Curvularia sp, Altenaria sp.
b) Jamur tidak bersepta: Mucor sp, Rhizopus sp, Absidia sp.
2.

Jamur ragi (yeast) yaitu jamur uniseluler dengan pseudohifa dan tunas:
Candida albicans, Cryptococcus sp, Rodotolura sp.

21

2.6.2

Manifestasi Klinis
Reaksi peradangan yang berat pada kornea yang timbul karena infeksi

jamur dalam bentuk mikotoksin, enzim-enzim proteolitik, dan antigen jamur yang
larut. Agen-agen ini dapat menyebabkan nekrosis pada lamela kornea, peradangan
akut, respon antigenik dengan formasi cincin imun, hipopion, dan uveitis yang
berat (Srinivasan, 2004).
Ulkus kornea yang disebabkan oleh jamur berfilamen dapat menunjukkan
infiltrasi abu-abu sampai putih dengan permukaan kasar, dan bagian kornea yang
tidak meradang tampak elevasi keatas. Lesi satelit yang timbul terpisah dengan
lesi utama dan berhubungan dengan mikroabses stroma. Plak endotel dapat
terlihat paralel terhadap ulkus. Cincin imun dapat mengelilingi lesi utama, yang
merupakan reaksi antara antigen jamur dan respon antibodi tubuh. Sebagai
tambahan, hipopion dan sekret yang purulen dapat juga timbul. Reaksi injeksi
konjungtiva dan kamera okuli anterior dapat cukup parah. Pada keratitis candida
biasaya ditandai dengan lesi berwarna putih kekuningan (Srinivasan, 2004).
Untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman berikut
(Srinivasan, 2004).
1.

Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama

2.

Lesi satelit

3.

Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan
seperti hifa di bawah endotel utuh

4.

Plak endotel

5.

Hipopion, kadang-kadang rekuren

6.

Formasi cincin sekeliling ulkus

7.

Lesi kornea yang indolen

22

Gambar 7. Keratitis aspergilus dan keratitis candida


Sumber: Srinivasan (2004)
2.6.3

Diagnosis laboratorium
Pemeriksaan laboratorium sangat membantu diagnosis pasti, walaupun

bila negatif belum menyingkirkan diagnosis keratomikosis. Yang utama adalah


melakukan pemeriksaan kerokan kornea (sebaiknya dengan spatula Kimura) yaitu
dari dasar dan tepi ulkus dengan biomikroskop. Dapat dilakukan pewarnaan KOH,
Gram, Giemsa atau KOH + Tinta India, dengan angka keberhasilan masingmasing 20-30%, 50-60%, 60-75% dan 80%. Lebih baik lagi melakukan biopsi
jaringan kornea dan diwamai dengan Periodic Acid Schiff atau Methenamine
Silver, tapi sayang perlu biaya yang besar. Akhir-akhir ini dikembangkan
Nomarski differential interference contrast microscope untuk melihat morfologi
jamur dari kerokan kornea (metode Nomarski) yang dilaporkan cukup
memuaskan. Selanjutnya dilakukan kultur dengan agar Sabouraud atau agar
ekstrak maltosa (Srinivasan, 2006).
2.6.4 Tata laksana
Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat
komersial yang tersedia, tampaknya diperlukan kreativitas dalam improvisasi
pengadaan obat, yang utama dalam terapi keratomikosis adalah mengenai jenis
keratomikosis yang dihadapi bisa dibagi:
1.

Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya

2.

Jamur berfilamen

3.

Ragi (yeast)

4.

Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur sejati.

Golongan I: Topikal Amphotericin B 1,0-2,5 mg/ml, Thiomerosal (10 mg/ml),


Natamycin 10 mg/ml, golongan Imidazole.
Golongan II: Topikal Amphotericin B 0,15%, Miconazole 1%, Natamycin 5%
(obat terpilih), Econazole 1% (obat terpilih).
Golongan III: Econazole 1%, Amphoterisin B 0,15 %, Natamycin 5%,
Clotrimazole 1%, Fluoconazol 2 %
Golongan IV: Golongan Sulfa, berbagai jenis Antibiotik.

23

Steroid topikal adalah kontra indikasi, terutama pada saat terapi awal.
Diberikan juga obat sikloplegik (atropin) guna mencegah sinekia posterior untuk
mengurangi uveitis anterior.
Tidak ada pedoman pasti untuk penentuan lamanya terapi; kriteria
penyembuhan antara lain adalah adanya penumpulan (blunting atau rounding-up)
dari lesi-lesi ireguler pada tepi ulkus, menghilangnya lesi satelit dan berkurangnya
infiltrasi di stroma di sentral dan juga daerah sekitar tepi ulkus. Perbaikan klinik
biasanya tidak secepat ulkus bakteri atau virus. Adanya defek epitel yang sulit
menutup belum tentu menyatakan bahwa terapi tidak berhasil, bahkan kadangkadang terjadi akibat pengobatan yang berlebihan. Jadi pada terapi keratomikosis
diperlukan kesabaran, ketekunan dan ketelitian dari kita semua.
2.7 Keratitis Parasit
Parasit dapat menyebabkan keratitis terutama acanthamoeba. 1-4% dari
keseluruhan kasus keratitis disebabkan oleh acanthamoeba (Ranjakumar, 2008).
2.7.1

Patogenesis
Penyebab keratitis adalah multifaktor. Penyabab utama dikarenakan

trauma minor okular. Biasanya trauma minor pada mata oleh karena penggunaan
kontak lens. Kemudian amoeba masuk ke kornea melalui penggunaan kontak lens
saat berenang atau cairan kontak lens. Adapun karakteristik keratitis
acanthamoeba untuk dibedakan dengan keratitis lainnya adalah:
1. Infiltrat yang berbentuk cincin
2. Peninggian lesi kornea
3. Kurangnya vaskularisasi baik pada kasus kronis maupun peradangan berat
(Ranjakumar, 2008).
2.7.2

Manifestasi klinis
Adapun gambaran klinis keratitis acanthamoeba adalah sebagai berikut:

1) Stadium dini: defek epitel, epitel yang berkabut, pseudodenritik


2) Stadium lambat: defek epitel, infiltrat stroma, keratitis numularis

24

3) Stadium lanjut: infiltrat yang berbentuk cincin, abses stroma, lesi satelit
(Ranjakumar, 2008).

Gambar 8. Gambaran keratitis acanthamoeba


Sumber: Ranjakumar (2008)

Tabel 3. Gejala klinis subjektif keratitis beradasarkan etiologi

2.7.3

Tata laksana

25

Tata laksana keratitis parasit adalah dengan pengobatan sistemik dan


topikal. Sistemik dengan menggunakan itraconazole atau ketaconazole 600
mg/hari secara oral. Obat-obat lain yang digunakaN adalah:
1) Aromatic diamidines: Propamidine isethionate 0.1 %, Dibromopropamidine
ointment 0.15 %
2) Aminoglycosides: Neomycin
3) Imidazole dan triazole antifungal
4) Polimiksin
5) Cationic antiseptik: Polyhexamethylene biguanide (PHMB) 0.02 %
Chlorhexidine 0.02 % (Ranjakumar, 2008).
Tabel 4. Pengobatan keratitis acanthamoeba berdasarkan siklus hidup

Sumber: Ranjakumar (2008)

BAB III
KESIMPULAN

Keratitis adalah suatu peradangan kornea yang disebabkan oleh bakteri,


virus, dan jamur. Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan lapis kornea yang
terkena seperti keratitis superficial dan profunda, atau berdasarkan penyebabnya
yaitu keratitis karena berkurangnya sekresi air mata, keratitis karena keracunan
obat, keratitis reaksi alergi, infeksi, reaksi kekebalan, reaksi terhadap
konjungtivitis menahun.
Pada keratitis sering timbul rasa sakit yang berat oleh karena kornea
bergesekan dengan palpebra, karena kornea berfungsi sebagai media untuk
refraksi sinar dan merupakan media pembiasan terhadap sinar yang yang masuk
ke mata maka lesi pada kornea umumnya akan mengaburkan penglihatan terutama

26

apabila lesi terletak sentral dari kornea. Fotofobia terutama disebabkan oleh iris
yang meradang Keratitis dapat memberikan gejala mata merah, rasa silau dan
merasa ada yang mengganjal atau kelilipan.
Manajemen yang tepat dapat mengurangi insidensi kehilangan penglihatan
dan membatasi kerusakan kornea. Keterlambatan diagnosis infeksi adalah salah
satu faktor yang berperan terhadap terapi awal yang tidak tepat. Kebanyakan
gangguan penglihatan ini dapat dicegah, namun hanya bila di diagnosis
penyebabnya ditetapkan secara dini dan diobati secara memadai.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Aamna J, Aurengzeb S, Syed AH, Zia-ud-din S. Role of Moxifloxacin in

2.

Bacterial Keratitis. Pak J Ophthalmol, 2009. 25(2): 81-6.


Anonimous. Keratitis Waspada Invasi Kuman pada Mata. Farmacia, 2009.
9(3). Serial online: http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?

3.

IDNews=1388
Bowlng E, Russell GE, Shovlin JP, Sindt CW. The Corneal Atlas. Review Of

4.
5.

Optometry, 2011.
Golnaz J, Jeffrey JZ. Keratitis. 2007. Serial online: www.antimicrobe.org
Foster CS. Ganciclovir GelA New Topical Treatment for Herpetic Keratitis.

6.
7.

Clinical Professor of Ophthalmology, 2008. 52-6.


Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Balai Penerbit FKUI: Jakarta, 2006.
Khurana AK. Comprehensive Opthamology. New Age International: New
Dehli, 2007.
27

8.
9.

Lang GK. Opthamology. Thieme Stuttgart: New York, 2000.


Mansjoer AM. Kapita Selekta edisi-3 jilid-1. Media Aesculapius FKUI:

Jakarta, 2001. Hal: 56.


10. Matthew G, Andrew A, Fiona S. Risk Factors and Causative
Organisms in Microbial Keratitis. Cornea, 2008. 27:2227.
11. Norina TJ, Raihan S, Bakiah S, Ezanee M, Liza-Sharmini AT, Wan HWH.
Microbial Keratitis: Aetiological Diagnosis And Clinical Features In Patients
Admitted To Hospital Universiti Sains Malaysia. Singapore Med J. 2008.
49(1): 67-71.
12. Ranjakumar. Parasitic Keratitis. Dept. of Ophthalmology Medical college:
Kozhikode. 2008. 412-6.
13. Sachin D, Ruchi K, Santosh S. Epidemiological Features And Laboratory
Results Of Bacterial And Fungal Keratitis: A Five-Year Study At A
Ruraltertiary-Care Hospital In Western Maharashtra, India. Singapore Med J,
2012. 53(4): 264267.
14. Srinivasan M. Fungal Keratitis. Curr Opin Ophthalmol, 2004. 15:321327.
Lippincott Williams & Wilkins.
15. Suhardjo. Diagnosis dan Penatalaksanaan Keratitis Herpes Simpleks. Cermin
dunia kedokteran, 1995. 104: 49-51.

28

Anda mungkin juga menyukai