Anda di halaman 1dari 22

Case Report Session

PTERIGIUM

Oleh :
Meillyssa CH
0318011054

Pembimbing :
dr. Aryanti Ibrahim, SpM.

SMF ILMU PENYAKIT MATA


RSUD. Dr. H. ABDUL MOELOEK
PERIODE 10 - 29 OKTOBER 2011
BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Pterygium merupakan jaringan fibrovaskular yang bersifat invasif dan


degeneratif, berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah temporal maupun
nasal konjungtiva menuju kornea pada daerah interpalpebra. Asal kata
pterygium dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya wing atau sayap.
Hal ini mengacu pada pertumbuhan pterygium yang berbentuk sayap pada
konjungtiva bulbi.
Kasus Pterygium yang tersebar di seluruh dunia sangat bervariasi,
tergantung pada lokasi geografisnya, tetapi lebih banyak di daerah iklim
panas dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat
ekuator. Prevalensi juga tinggi pada daerah berdebu dan kering. Insiden
pterygium di Indonesia yang terletak di daerah ekuator, yaitu 13,1%.
Insiden tertinggi pterygium terjadi pada pasien dengan rentang umur 20
49

tahun. Pasien dibawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium.

Rekuren lebih sering terjadi pada pasien yang usia muda dibandingkan
dengan pasien usia tua. Laki-laki lebih beresiko 4 kali daripada perempuan
dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah dan riwayat
terpapar lingkungan di luar rumah.

BAB II
ISI
SMF MATA RSUD Dr. Hi. ABDUL MOELOEK BANDAR
LAMPUNG
STATUS ILMU PENYAKIT MATA

2.1

Identitas
Nama

: Ny. F

Umur

: 58 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Alamat

: Tanjung Senang, Bandar Lampung

Rawat Jalan di RSUAM : 15 Oktober 2011

2.2

Anamnesa
Keluhan Utama

: Pasien mengalami penurunan penglihatan


dan pandangan berbayang disertai mata
merah pada kedua mata sejak 1 minggu
ini sebelum masuk Rumah Sakit, terutama
pada mata kiri.

Keluhan Tambahan

: Sensasi mengganjal pada kedua mata, mata


berair

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Poliklinik Mata RSAM dengan keluhan mengalami
penurunan penglihatan dan pandangan berbayang disertai mata merah pada
kedua mata sejak 1 minggu ini sebelum masuk Rumah Sakit, terutama
pada mata kiri. Keluhan disertai sensasi mengganjal pada kedua mata dan
mata sering berair. Terdapat selaput di sudut mata kanan dan mata kiri
bagian dalam berwarna kekuningan sejak 4 tahun. Pasien mengaku selaput
tersebut makin lama makin membesar. Perasaan mengganjal membuat
pasien sering menggosok-gosok matanya hingga merah. Pasien sudah
menggunakan obat mata tetes yang dijual bebas selama 3 bulan ini, tetapi

tidak mengurangi selaput tersebut. Bengkak pada mata di sangkal oleh


pasien.
Sehari-hari pasien sering terpajan sinar matahari dan debu. Pasien
setiap harinya mengantar cucu-cucunya ke sekolah dengan menggunakan
motor, tanpa helm dan kacamata karena sekolahnya tidak begitu jauh dari
rumah. Riwayat trauma sebelumnya disangkal. Ini adalah penyakit mata
yang pertama kali dirasakan pasien. Pasien belum pernah mengobati
sakitnya ini ke dokter maupun rumah sakit.
Riwayat penyakit dahulu
Pasien mengaku memiliki riwayat sakit kencing manis dan darah tinggi
sejak 1 tahun terakhir dan meminum obat secara rutin. Pasien tidak pernah
sakit mata sebelumnya.

Riwayat Penyakit keluarga


Pasien mengaku memiliki riwayat darah tinggi dan kencing manis pada
keluarganya. Pasien mengaku bahwa nenek pasien juga pernah mengalami
penyakit mata seperti ini. Riwayat asma dan alergi disangkal pasien.

2.3

Pemeriksaan Fisik
Status Present
Keadaan umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Compos mentis

Tekanan darah

: 130/80 mmHg

Nadi

: 80 x/menit

Pernafasan

: 24 x/menit

Status Generalis
Kepala
Bentuk

: Normocephalic

Mata

: Status Oftamologis

Telinga

: Tak tampak kelainan

Hidung

: Tak tampak kelainan

Mulut

: Tak tampak kelainan

Thoraks
Jantung

: Dalam batas normal

Paru

: Dalam batas normal

Abdomen
Hepar

: Tak teraba, hepatomegali (-)

Lien

: Tak teraba, sphlenomegali (-)

Ektremitas
Superior

: Tak tampak kelainan

Inferior

: Tak tampak kelainan

Status Oftalmologis

OCULAR DEXTRA
6/6

VISUS

OCULAR SINISTRA
6/6

Tidak Dilakukan

KOREKSI

Tidak Dilakukan

Tidak Dilakukan

SKIASKOPI

Tidak Dilakukan

Tidak Dilakukan

SENSUS COLORIS

Tidak Dilakukan

Orthoforia
Eksoftalmus (-)
Endoftalmus (-)
Normal
Nistagmus (-)
Strasbismus (-)
Hordeolum (-)
Kalazion (-)
Blefaritis (-)
Enteropion (-)
Ekteropion (-)
Ptosis (-)
Xantelesma (-)

BULBUS OCULI

Orthoforia
Eksoftalmus (-)
Endoftalmus (-)
Normal
Nistagmus (-)
Strasbismus (-)
Hordeolum (-)
Kalazion (-)
Blefaritis (-)
Enteropion (-)
Ekteropion (-)
Ptosis (-)
Xantelesma (-)

SUPERSILIA
PARESE/PARALISE

PALPEBRA SUPERIOR

Trauma (-)
Hordeolum (-)
Kalazion (-)
Blefaritis (-)
Enteropion (-)
Ekteropion (-)
Ptosis (-)
Xantelesma (-)
Trauma (-)

PALPEBRA INFERIOR

Trauma (-)
Hordeolum (-)
Kalazion (-)
Blefaritis (-)
Enteropion (-)
Ekteropion (-)
Ptosis (-)
Xantelesma (-)
Trauma (-)

CONJUNGTIVA
Hiperemi (-)
Hiperemi (-)
Injeksi siliar (-)
Injeksi konjungtiva (+)
Pterigium (+)

PALPEBRA
CONJUNGTIVA FORNICES
CONJUNGTIVA BULBI

Anikterik

SCLERA

Jernih
Arcus senilis (+)
Dalam

CORNEA
CAMERA OCULI

Kripta Baik

ANTERIOR
IRIS

Hiperemi (-)
Hiperemi (-)
Injeksi siliar (-)
Injeksi konjungtiva (+)
Pterigium (+)
Penebalan (+)
Jernih
Arcus senilis (+)
Sulit dinilai
Kripta Baik

Bulat, sentral
Reflek cahaya (+)
Shadow test (-)
Jernih
Tidak Dilakukan

LENSA
FUNDUS REFLEKS

Bulat, sentral
Reflek cahaya (+)
Shadow test (-)
Jernih
Tidak Dilakukan

Tidak Dilakukan

CORPUS VITREUM

Tidak Dilakukan

Normal/palpasi
Normal

TENSIO OCULI
SISTEM CANALIS

Normal/palpasi

PUPIL

Normal

LACRIMALIS

2.4

Pemeriksaan Anjuran
Tes sonde

2.5

Diagnosa Banding
Pterygium ODS
Pseudopterygium ODS

Pinguekula ODS

2.6

Diagnosa Kerja
Pterygium derajat II ODS

2.7

Penatalaksanaan
A. Non Medikamentosa
Kurangi pajanan debu dan sinar matahari dengan menggunakan
helm atau kacamata anti ultraviolet
Kontrol ke rumah sakit
B. Medikamentosa
Immatrol Ed 4 dd gtt 1 ODS
Interhistine 3 x 1 tablet
C. Pembedahan

2.8

Prognosa
Quo ad vitam

: Dubia ad bonam

Quo ad functionam

: Dubia ad bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1

Definisi
6

Menurut Ivan R. Schwab dan Chandler R. Dawson (1995) dalam General


Ophthalmology, pterygium merupakan suatu pelanggaran batas suatu
pinguicula berbentuk segitiga berdaging ke kornea, umumnya di sisi nasal,
secara bilateral.
Sedangkan

menurut

Sidharta

Ilyas,

Pterygium

merupakan

suatu

pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat invasif dan


degeneratif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian
nasal maupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea.
Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di
daerah kornea.
Asal kata pterygium dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya wing
atau sayap. Hal ini mengacu pada pertumbuhan pterygium yang berbentuk
sayap pada konjungtiva bulbi.

Gambar 1. Mata dengan pterygium

3.2

Epidemiologi
Kasus pterygium yang tersebar di seluruh dunia sangat bervariasi,
tergantung pada lokasi geografisnya, tetapi lebih banyak di daerah iklim

panas dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat
ekuator. Prevalensi juga tinggi pada daerah berdebu dan kering.
Di Indonesia yang melintas di bawah garis khatuliswa, kasus-kasus
pterygium cukup sering didapati. Apalagi karena faktor risikonya adalah
paparan sinar matahari (UVA & UVB), dan bisa dipengaruhi juga oleh
paparan alergen, iritasi berulang (misal karena debu atau kekeringan).
Insiden tertinggi pterygium terjadi pada pasien dengan rentang umur 20
49

tahun. Pasien dibawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium.

Rekuren lebih sering terjadi pada pasien yang usia muda dibandingkan
dengan pasien usia tua. Laki-laki lebih beresiko 4 kali daripada
perempuan.

3.3

Faktor Resiko
Faktor resiko yang mempengaruhi pterygium adalah lingkungan yakni
radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara
dan faktor herediter .
1. Radiasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama timbulnya pterygium adalah
paparan sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan
konjungtiva menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Letak
lintang, lamanya waktu di luar rumah, penggunaan kacamata dan topi
juga merupakan faktor penting.

2. Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan
pterygium dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan

riwayat keluarga dengan pterygium, kemungkinan diturunkan secara


autosom dominan.
3 . Faktor lain.
Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea
merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya
limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari
pterygium. Yang juga menunjukkan adanya pterygium angiogenesis
factor dan penggunaan farmakoterapi antiangiogenesis sebagai terapi.
Debu, kelembapan yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel
tertentu, dry eye dan virus papilloma juga penyebab dari pterygium.

3.4

Patogenesis
Etiologi pterygium tidak diketahui dengan jelas. Karena penyakit ini lebih
sering pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas, maka gambaran
yang paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktorfaktor lingkungan seperti paparan terhadap sinar ultraviolet dari matahari,
daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan
lainnya. Diduga pelbagai faktor risiko tersebut menyebabkan terjadinya
degenerasi elastis jaringan kolagen dan proliferasi fibrovaskular. Dan
progresivitasnya diduga merupakan hasil dari kelainan lapisan Bowman
kornea. Beberapa studi menunjukkan adanya predisposisi genetik untuk
kondisi ini.
Teori lain menyebutkan bahwa patofisiologi pterygium ditandai dengan
degenerasi elastik kolagen dan proliferasi fibrovaskular dengan permukaan
yang menutupi epitel. Hal ini disebabkan karena struktur konjungtiva bulbi
yang selalu berhubungan dengan dunia luar dan secara intensif kontak
dengan ultraviolet dan debu sehingga sering mengalami kekeringan yang
mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi
sampai menjalar ke kornea. Selain itu, pengeringan lokal dari kornea dan
konjungtiva yang disebabkan kelainan tear film menimbulkan fibroplastik

baru. Tingginya insiden pterygium pada daerah beriklim kering


mendukung teori ini.
Teori terbaru pterygium menyatakan kerusakan limbal stem cell di daerah
interpalpebra akibat sinar ultraviolet. Limbal stem cell merupakan sumber
regenarasi epitel kornea dan sinar ultraviolet menjadi mutagen untuk p53
tumor supressor gene pada limbal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming
growth factor-beta diproduksi dalam jumlah berlebihan dan meningkatkan
proses kolagenase sehingga sel-sel bermigrasi dan terjadi angiogenesis.
Akibatnya, terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan
subepitelial fibrovaskular. Pada jaringan subkonjungtiva terjadi perubahan
degenerasi elastik dan proliferasi jaringan vaskular di bawah epitelium
yang kemudian menembus kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada
lapisan membran Bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular yang
sering disertai inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal, atau tipis dan
kadang terjadi displasia. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi
pembentukan jaringan konjungtiva pada permukaan kornea.
Pemisahan fibroblast dari jaringan pterygium menunjukkan perubahan
phenotype, yaitu lapisan fibroblast mengalami proliferasi sel yang
berlebihan.

Pada

fibroblast

pterygium

menunjukkan

matriks

metalloproteinase, yaitu matriks ekstraselular yang berfungsi untuk


memperbaiki jaringan yang rusak, penyembuhan luka, dan mengubah
bentuk. Hal ini menjelaskan penyebab pterygium cenderung terus tumbuh
dan berinvasi ke stroma kornea sehingga terjadi reaksi fibrovaskular dan
inflamasi.

3.5

Gambaran Klinis
Pterygium biasanya terjadi secara bilateral, namun jarang terlihat simetris,
karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak
dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Kira-kira 90% terletak di

10

daerah nasal karena daerah nasal konjungtiva secara relatif mendapat sinar
ultraviolet yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva
yang lain. Selain secara langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat
sinar ultra violet secara tidak langsung akibat pantulan dari hidung.
Pterygium yang terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara
bersamaan walaupun pterygium di daerah temporal jarang ditemukan.
Perluasan pterygium dapat sampai ke medial dan lateral limbus sehingga
menutupi sumbu penglihatan dan menyebabkan penglihatan kabur.
Secara klinis muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva
yang meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra. Biasanya pada
bagian nasal tetapi dapat juga terjadi pada bagian temporal. Deposit besi
dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior dari kepala pterygium
(stokers line).
Gejala klinis pterygium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering
tanpa keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering
dialami pasien antara lain:
- mata sering berair dan tampak merah
- merasa seperti ada benda asing
- timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterygium
- pada pterygium derajat 3 dan 4 dapat terjadi penurunan tajam
penglihatan.
- Dapat terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan
mata.

3.6

Klasifikasi Pterygium
Pterygium dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
Body, bagian segitiga yang meninggi pada pterygium dengan dasarnya
ke arah kantus

11

Apex (head), bagian atas pterygium


Cap, bagian belakang pterygium
A subepithelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk
batas pinggir pterygium.
Pterigyum terbagi berdasarkan perjalanan penyakit menjadi 2 tipe, yaitu :
- Progressif pterygium

: memiliki gambaran tebal dan vascular dengan


beberapa infiltrat di kornea di depan kepala
pterygium

- Regressif pterygium

: dengan

gambaran

tipis,

atrofi,

sedikit

vaskularisasi, membentuk membran tetapi


tidak pernah hilang
Pterygium juga dibagi dalam 4 derajat yaitu :
1. Derajat 1

: Jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea

2. Derajat 2

: Jika pterygium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak


lebih dari 2 mm melewati kornea

3. Derajat 3

: Jika pterygium sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak


melebihi pinggiran pupil mata, dalam keadaan cahaya
normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3 4 mm)

4. Derajat 4

: Jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil


sehingga mengganggu penglihatan.

Pembagian lain pterygium, yaitu :


Tipe 1 : Meluas kurang dari 2 mm di atas kornea. Timbunan besi
(ditunjukkan dengan Stockers line) dapat terlihat di epitel
kornea bagian anterior/depan pterygium. Lesi/jejas ini
asimtomatis, meskipun sebentar-sebentar dapat meradang
(intermittently inflamed). Jika memakai soft contact lens,
gejala dapat timbul lebih awal karena diameter lensa yang
luas bersandar pada ujung kepala pterygium yang sedikit
naik/terangkat dan ini dapat menyebabkan iritasi.

12

Tipe 2 : Melebar hingga 4 mm dari kornea, dapat kambuh (recurrent)


sehingga perlu tindakan pembedahan. Dapat mengganggu
precorneal tear film dan menyebabkan astigmatisme.
Tipe 3 : Meluas hingga lebih dari 4 mm dan melibatkan daerah
penglihatan (visual axis). Lesi/jejas yang luas (extensive), jika
kambuh, dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva
dan meluas hingga ke fornik yang terkadang dapat
menyebabkan keterbatasan pergerakan mata.

Gambar 2. Perbedaan pterygium dan pinguecula serta klasifikasi pterygium

3.7

Diagnosa Banding
Secara klinis pterygium dapat dibedakan dengan dua keadaan yang sama
yaitu pinguecula dan pseudopterygium.
A. Pinguecula
Bentuknya kecil dan meninggi, merupakan massa kekuningan
berbatasan dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura

13

intrapalpebra dan kadang terinflamasi. Tindakan eksisi tidak


diindikasikan pada kelainan ini. Prevalensi dan insiden meningkat
dengan meningkatnya umur. Pingecuela sering pada iklim sedang dan
iklim tropis. Angka kejadian sama pada laki laki dan perempuan.
Paparan sinar ultraviolet bukan faktor resiko pinguecula.
B. Pseudopterygium
Pertumbuhannya mirip dengan pterygium karena membentuk sudut
miring atau Terriens marginal degeneration. Selain itu, jaringan parut
fibrovaskular yang timbul pada konjungtiva bulbi pun menuju kornea.
Namun berbeda dengan pterygium, pseudopterygium merupakan
akibat inflamasi permukaan okular sebelumnya seperti pada trauma,
trauma kimia, konjungtivitis sikatrikal, trauma bedah atau ulkus
perifer kornea. Pada pseudopterigium yang tidak melekat pada limbus
kornea, maka probing dengan muscle hook dapat dengan mudah
melewati bagian bawah pseudopterigium pada limbus, sedangkan
pada pterygium tak dapat dilakukan. Pada pseudopteyigium tidak
didapat bagian head, cap dan body dan pseudopterygium cenderung
keluar dari ruang interpalpebra fissure yang berbeda dengan true
pterigium.

3.8

Penatalaksanaan
1. Konservatif
Pada pterygium yang ringan tidak perlu diobati dan biasanya cukup
diatasi dengan menghindari faktor iritan serta memakai pelindung mata
untuk meminimalisasi kontak mata dengan lingkungan. Untuk
pterygium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat
diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari
selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid
tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau
mengalami kelainan pada kornea.

14

2. Bedah
Pada pterygium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi
pterygium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterygium maka bagian
konjungtiva bekas pterygium tersebut ditutupi dengan cangkok
konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk
menurunkan

angka

kekambuhan. Tujuan

utama

pengangkatan

pterigyum yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik,


mengupayakan komplikasi seminimal mungkin, angka kekambuhan
yang rendah. Penggunaan Mitomycin-C (MMC) sebaiknya hanya pada
kasus pterygium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian
MMC juga cukup berat.
Indikasi Operasi
-

Pterygium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus

Pterygium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi

pupil
-

Pterygium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair

dan silau karena astigmatismus


-

Kosmetik, terutama untuk penderita wanita

Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan

pterygium adalah

kekambuhan, dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovaskular di limbus


ke kornea. Banyak teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada
yang diterima secara universal karena tingkat kekambuhan yang
variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pteryigium adalah
langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih
untuk memisahkan ujung pterygium dari kornea yang mendasarinya.
Keuntungan termasuk epitelisasi yang lebih cepat, jaringan parut yang
minimal dan halus dari permukaan kornea.

15

Teknik lain yang bisa digunakan pada pembedahan pterygium, yaitu :


a. Teknik Bare Sclera
Melibatkan

eksisi

kepala

dan

tubuh

pterygium,

sementara

memungkinkan sklera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi,


antara 24 89 %, telah didokumentasikan dalam berbagai laporan.
b. Teknik Autograft Conjungtiva
Memiliki tingkat kekambuhan antara 2 40 % pada beberapa studi
prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan autograft, biasanya
dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas sklera yang
telah di eksisi pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk
hasil yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati
jaringan Tenon's dari graft conjungtiva penerima, manipulasi minimal
jaringan dan orientasi akurat dari graft tersebut. Lawrence W. Hirst dari
Australia merekomendasikan penggunaan sayatan besar untuk eksisi
pterygium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah
dengan teknik ini.
c. Cangkok Membran Amnion
Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah
kekambuhan pterygium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan
membran amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah
menyatakan bahwa membran amnion berisi faktor penting untuk
menghambat peradangan dan fibrosis dan epitelialisasi. Sayangnya,
tingkat kekambuhan sangat beragam pada studi yang ada, antara 2,6
-10,7 % untuk pterygia primer dan 37,5 % untuk kekambuhan pterygia.
Sebuah keuntungan dari teknik ini yaitu selama autograft konjungtiva
terjadi regenerasi bulbar konjungtiva. Membran Amnion biasanya
ditempatkan di atas sklera, dengan membran basal menghadap ke atas
dan stroma menghadap ke bawah. Beberapa studi terbaru telah
menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk membantu cangkok
membran amnion menempel jaringan episkleral dibawahnya. Lem
fibrin juga telah digunakan dalam autografts conjungtiva.

16

3. Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi
masalah, sehingga terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam
pengelolaan pterygia. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi
telah cukup menurun dengan penambahan terapi ini, namun ada
komplikasi dari terapi tersebut.
MMC
MMC

telah

digunakan

sebagai

pengobatan

tambahan

karena

kemampuannya untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan


iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang aman dan efektif belum
ditentukan. Dua bentuk MMC yang saat ini digunakan adalah aplikasi
intraoperative MMC langsung ke sklera setelah eksisi pterygium, dan
penggunaan obat tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa
penelitian

sekarang

menganjurkan

penggunaan

MMC

hanya

intraoperatif untuk mengurangi toksisitas.


Beta Iradiasi
Digunakan untuk menghambat mitosis pada sel dengan cepat dari
pterygium, meskipun tidak ada data yang jelas dari angka kekambuhan
yang tersedia. Namun, efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis sklera,
endophthalmitis dan pembentukan katarak, telah mendorong dokter
untuk tidak merekomendasikan terhadap penggunaannya. Untuk
mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, maka penggunaannya
dikombinasikan dengan pemberian :
- Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5
hari, bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% 4x1
tetes/hari kemudian tappering off sampai 6 minggu.
- Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari,
diberikan bersamaan dengan salep mata dexamethasone.

3.9

Komplikasi
17

Komplikasi dari pterygium meliputi sebagai berikut:


- Gangguan penglihatan
- Mata kemerahan
- Iritasi
- Gangguan pergerakan bola mata.
- Timbul jaringan parut kronis pada konjungtiva dan kornea
- Pada pasien yang belum di eksisi terjadi distorsi dan penglihatan sentral
berkurang
- Timbul jaringan parut pada otot rektus medial yang dapat menyebabkan
diplopia
- Dry Eye sindrom
- Keganasan epitel pada jaringan epitel di atas pterygium
Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut:
- Rekurensi
- Infeksi
- Perforasi korneosklera
- Jahitan graft terbuka hingga terjadi pembengkakkan dan perdarahan
- Korneoscleral dellen
- Granuloma konjungtiva
- Epithelial inclusion cysts
- Conjungtiva scar
- Adanya jaringan parut di kornea
- Disinsersi otot rektus
Yang paling sering dari komplikasi bedah pterigyum adalah kekambuhan.
Eksisi bedah memiliki angka kekambuhan yang tinggi, sekitar 50-80%.
Angka ini bisa dikurangi sekitar 5-15% dengan penggunaan autograft dari
konjungtiva atau transplantasi membran amnion pada saat eksisi.

3.10 Prognosa

18

Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak
nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi. Sebagian besar
pasien dapat beraktivitas kembali setelah 48 jam postoperasi. Pasien
dengan rekuren pterygium dapat dilakukan eksisi ulang dengan
conjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion. Umumnya
rekurensi terjadi pada 3-6 bulan pertama setelah operasi.
Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterygium seperti riwayat keluarga
atau karena terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai
kacamata sunblock dan mengurangi intensitas terpapar sinar matahari.

BAB IV
KESIMPULAN

1.

Pterygium merupakan jaringan fibrovaskular yang bersifat invasif dan


degeneratif, berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah temporal maupun nasal
konjungtiva menuju kornea pada daerah interpalpebra.

19

2.

Faktor resiko yang mempengaruhi pterygium adalah lingkungan yakni radiasi


ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara, dan faktor
herediter.

3.

Pterygium juga dibagi dalam 4 derajat yaitu :


1. Derajat 1 : Jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea
2. Derajat 2 : Jika pterygium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih
dari 2 mm melewati kornea
3. Derajat 3 : Jika pterygium sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata, dalam keadaan cahaya normal (pupil
dalam keadaan normal sekitar 3 4 mm)
4. Derajat 4 : Jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.

4.

Penatalaksanaan pada pterygium derajat 1 dan derajat 2 yang tak meradang


cukup dengan meminimalisasi intensitas kontak dengan faktor penyebab. Bila
pterygium meradang, maka dapat diberikan obat tetes mata kombinasi
antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari.

5.

Indikasi Operasi
Pterygium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
Pterygium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
Pterygium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau
karena astigmatismus
Kosmetik, terutama untuk penderita wanita

DAFTAR PUSTAKA

Aminlari,

Ardalan,

MD.

2011.

Management

of

Pterygium.

http://www.aao.org/aao/publications/eyenet/201011/ pearls.cfm?.
Di akses pada tanggal 16 Oktober 2011.

20

Bag. SMF Ilmu Penyakit Mata. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Edisi III.
Airlangga. Surabaya. Hal: 102 104.
Fisher, Jerome P. PTERYGIUM. 2009. http://emedicine.medscape. com/article/
1192527-overview. Diakses pada tanggal 16 Oktober 2011.
Ilyas, Sidharta. 2010. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. FKUI. Jakarta. Hal:2-6, 116
117.
Laszuarni. 2010. Prevalensi Pterigium Di Kabupaten Langkat. Universitas
Sumatera Utara. Medan.
Vaughan, G. 2000. Oftalmologi Umum Edisi 14. Widya Medika. Jakarta.
Wijaya, Nana. 1993. Ilmu Penyakit Mata. Abdi Tegal. Jakarta.

21

Anda mungkin juga menyukai