CR Fix
CR Fix
PTERIGIUM
Oleh :
Meillyssa CH
0318011054
Pembimbing :
dr. Aryanti Ibrahim, SpM.
1.1
Latar Belakang
Rekuren lebih sering terjadi pada pasien yang usia muda dibandingkan
dengan pasien usia tua. Laki-laki lebih beresiko 4 kali daripada perempuan
dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah dan riwayat
terpapar lingkungan di luar rumah.
BAB II
ISI
SMF MATA RSUD Dr. Hi. ABDUL MOELOEK BANDAR
LAMPUNG
STATUS ILMU PENYAKIT MATA
2.1
Identitas
Nama
: Ny. F
Umur
: 58 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Pekerjaan
Alamat
2.2
Anamnesa
Keluhan Utama
Keluhan Tambahan
2.3
Pemeriksaan Fisik
Status Present
Keadaan umum
Kesadaran
: Compos mentis
Tekanan darah
: 130/80 mmHg
Nadi
: 80 x/menit
Pernafasan
: 24 x/menit
Status Generalis
Kepala
Bentuk
: Normocephalic
Mata
: Status Oftamologis
Telinga
Hidung
Mulut
Thoraks
Jantung
Paru
Abdomen
Hepar
Lien
Ektremitas
Superior
Inferior
Status Oftalmologis
OCULAR DEXTRA
6/6
VISUS
OCULAR SINISTRA
6/6
Tidak Dilakukan
KOREKSI
Tidak Dilakukan
Tidak Dilakukan
SKIASKOPI
Tidak Dilakukan
Tidak Dilakukan
SENSUS COLORIS
Tidak Dilakukan
Orthoforia
Eksoftalmus (-)
Endoftalmus (-)
Normal
Nistagmus (-)
Strasbismus (-)
Hordeolum (-)
Kalazion (-)
Blefaritis (-)
Enteropion (-)
Ekteropion (-)
Ptosis (-)
Xantelesma (-)
BULBUS OCULI
Orthoforia
Eksoftalmus (-)
Endoftalmus (-)
Normal
Nistagmus (-)
Strasbismus (-)
Hordeolum (-)
Kalazion (-)
Blefaritis (-)
Enteropion (-)
Ekteropion (-)
Ptosis (-)
Xantelesma (-)
SUPERSILIA
PARESE/PARALISE
PALPEBRA SUPERIOR
Trauma (-)
Hordeolum (-)
Kalazion (-)
Blefaritis (-)
Enteropion (-)
Ekteropion (-)
Ptosis (-)
Xantelesma (-)
Trauma (-)
PALPEBRA INFERIOR
Trauma (-)
Hordeolum (-)
Kalazion (-)
Blefaritis (-)
Enteropion (-)
Ekteropion (-)
Ptosis (-)
Xantelesma (-)
Trauma (-)
CONJUNGTIVA
Hiperemi (-)
Hiperemi (-)
Injeksi siliar (-)
Injeksi konjungtiva (+)
Pterigium (+)
PALPEBRA
CONJUNGTIVA FORNICES
CONJUNGTIVA BULBI
Anikterik
SCLERA
Jernih
Arcus senilis (+)
Dalam
CORNEA
CAMERA OCULI
Kripta Baik
ANTERIOR
IRIS
Hiperemi (-)
Hiperemi (-)
Injeksi siliar (-)
Injeksi konjungtiva (+)
Pterigium (+)
Penebalan (+)
Jernih
Arcus senilis (+)
Sulit dinilai
Kripta Baik
Bulat, sentral
Reflek cahaya (+)
Shadow test (-)
Jernih
Tidak Dilakukan
LENSA
FUNDUS REFLEKS
Bulat, sentral
Reflek cahaya (+)
Shadow test (-)
Jernih
Tidak Dilakukan
Tidak Dilakukan
CORPUS VITREUM
Tidak Dilakukan
Normal/palpasi
Normal
TENSIO OCULI
SISTEM CANALIS
Normal/palpasi
PUPIL
Normal
LACRIMALIS
2.4
Pemeriksaan Anjuran
Tes sonde
2.5
Diagnosa Banding
Pterygium ODS
Pseudopterygium ODS
Pinguekula ODS
2.6
Diagnosa Kerja
Pterygium derajat II ODS
2.7
Penatalaksanaan
A. Non Medikamentosa
Kurangi pajanan debu dan sinar matahari dengan menggunakan
helm atau kacamata anti ultraviolet
Kontrol ke rumah sakit
B. Medikamentosa
Immatrol Ed 4 dd gtt 1 ODS
Interhistine 3 x 1 tablet
C. Pembedahan
2.8
Prognosa
Quo ad vitam
: Dubia ad bonam
Quo ad functionam
: Dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1
Definisi
6
menurut
Sidharta
Ilyas,
Pterygium
merupakan
suatu
3.2
Epidemiologi
Kasus pterygium yang tersebar di seluruh dunia sangat bervariasi,
tergantung pada lokasi geografisnya, tetapi lebih banyak di daerah iklim
panas dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat
ekuator. Prevalensi juga tinggi pada daerah berdebu dan kering.
Di Indonesia yang melintas di bawah garis khatuliswa, kasus-kasus
pterygium cukup sering didapati. Apalagi karena faktor risikonya adalah
paparan sinar matahari (UVA & UVB), dan bisa dipengaruhi juga oleh
paparan alergen, iritasi berulang (misal karena debu atau kekeringan).
Insiden tertinggi pterygium terjadi pada pasien dengan rentang umur 20
49
Rekuren lebih sering terjadi pada pasien yang usia muda dibandingkan
dengan pasien usia tua. Laki-laki lebih beresiko 4 kali daripada
perempuan.
3.3
Faktor Resiko
Faktor resiko yang mempengaruhi pterygium adalah lingkungan yakni
radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara
dan faktor herediter .
1. Radiasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama timbulnya pterygium adalah
paparan sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan
konjungtiva menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Letak
lintang, lamanya waktu di luar rumah, penggunaan kacamata dan topi
juga merupakan faktor penting.
2. Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan
pterygium dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan
3.4
Patogenesis
Etiologi pterygium tidak diketahui dengan jelas. Karena penyakit ini lebih
sering pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas, maka gambaran
yang paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktorfaktor lingkungan seperti paparan terhadap sinar ultraviolet dari matahari,
daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan
lainnya. Diduga pelbagai faktor risiko tersebut menyebabkan terjadinya
degenerasi elastis jaringan kolagen dan proliferasi fibrovaskular. Dan
progresivitasnya diduga merupakan hasil dari kelainan lapisan Bowman
kornea. Beberapa studi menunjukkan adanya predisposisi genetik untuk
kondisi ini.
Teori lain menyebutkan bahwa patofisiologi pterygium ditandai dengan
degenerasi elastik kolagen dan proliferasi fibrovaskular dengan permukaan
yang menutupi epitel. Hal ini disebabkan karena struktur konjungtiva bulbi
yang selalu berhubungan dengan dunia luar dan secara intensif kontak
dengan ultraviolet dan debu sehingga sering mengalami kekeringan yang
mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi
sampai menjalar ke kornea. Selain itu, pengeringan lokal dari kornea dan
konjungtiva yang disebabkan kelainan tear film menimbulkan fibroplastik
Pada
fibroblast
pterygium
menunjukkan
matriks
3.5
Gambaran Klinis
Pterygium biasanya terjadi secara bilateral, namun jarang terlihat simetris,
karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak
dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Kira-kira 90% terletak di
10
daerah nasal karena daerah nasal konjungtiva secara relatif mendapat sinar
ultraviolet yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva
yang lain. Selain secara langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat
sinar ultra violet secara tidak langsung akibat pantulan dari hidung.
Pterygium yang terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara
bersamaan walaupun pterygium di daerah temporal jarang ditemukan.
Perluasan pterygium dapat sampai ke medial dan lateral limbus sehingga
menutupi sumbu penglihatan dan menyebabkan penglihatan kabur.
Secara klinis muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva
yang meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra. Biasanya pada
bagian nasal tetapi dapat juga terjadi pada bagian temporal. Deposit besi
dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior dari kepala pterygium
(stokers line).
Gejala klinis pterygium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering
tanpa keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering
dialami pasien antara lain:
- mata sering berair dan tampak merah
- merasa seperti ada benda asing
- timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterygium
- pada pterygium derajat 3 dan 4 dapat terjadi penurunan tajam
penglihatan.
- Dapat terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan
mata.
3.6
Klasifikasi Pterygium
Pterygium dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
Body, bagian segitiga yang meninggi pada pterygium dengan dasarnya
ke arah kantus
11
- Regressif pterygium
: dengan
gambaran
tipis,
atrofi,
sedikit
2. Derajat 2
3. Derajat 3
4. Derajat 4
12
3.7
Diagnosa Banding
Secara klinis pterygium dapat dibedakan dengan dua keadaan yang sama
yaitu pinguecula dan pseudopterygium.
A. Pinguecula
Bentuknya kecil dan meninggi, merupakan massa kekuningan
berbatasan dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura
13
3.8
Penatalaksanaan
1. Konservatif
Pada pterygium yang ringan tidak perlu diobati dan biasanya cukup
diatasi dengan menghindari faktor iritan serta memakai pelindung mata
untuk meminimalisasi kontak mata dengan lingkungan. Untuk
pterygium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat
diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari
selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid
tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau
mengalami kelainan pada kornea.
14
2. Bedah
Pada pterygium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi
pterygium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterygium maka bagian
konjungtiva bekas pterygium tersebut ditutupi dengan cangkok
konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk
menurunkan
angka
kekambuhan. Tujuan
utama
pengangkatan
Pterygium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi
pupil
-
Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan
pterygium adalah
15
eksisi
kepala
dan
tubuh
pterygium,
sementara
16
3. Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi
masalah, sehingga terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam
pengelolaan pterygia. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi
telah cukup menurun dengan penambahan terapi ini, namun ada
komplikasi dari terapi tersebut.
MMC
MMC
telah
digunakan
sebagai
pengobatan
tambahan
karena
sekarang
menganjurkan
penggunaan
MMC
hanya
3.9
Komplikasi
17
3.10 Prognosa
18
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak
nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi. Sebagian besar
pasien dapat beraktivitas kembali setelah 48 jam postoperasi. Pasien
dengan rekuren pterygium dapat dilakukan eksisi ulang dengan
conjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion. Umumnya
rekurensi terjadi pada 3-6 bulan pertama setelah operasi.
Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterygium seperti riwayat keluarga
atau karena terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai
kacamata sunblock dan mengurangi intensitas terpapar sinar matahari.
BAB IV
KESIMPULAN
1.
19
2.
3.
4.
5.
Indikasi Operasi
Pterygium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
Pterygium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
Pterygium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau
karena astigmatismus
Kosmetik, terutama untuk penderita wanita
DAFTAR PUSTAKA
Aminlari,
Ardalan,
MD.
2011.
Management
of
Pterygium.
http://www.aao.org/aao/publications/eyenet/201011/ pearls.cfm?.
Di akses pada tanggal 16 Oktober 2011.
20
Bag. SMF Ilmu Penyakit Mata. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Edisi III.
Airlangga. Surabaya. Hal: 102 104.
Fisher, Jerome P. PTERYGIUM. 2009. http://emedicine.medscape. com/article/
1192527-overview. Diakses pada tanggal 16 Oktober 2011.
Ilyas, Sidharta. 2010. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. FKUI. Jakarta. Hal:2-6, 116
117.
Laszuarni. 2010. Prevalensi Pterigium Di Kabupaten Langkat. Universitas
Sumatera Utara. Medan.
Vaughan, G. 2000. Oftalmologi Umum Edisi 14. Widya Medika. Jakarta.
Wijaya, Nana. 1993. Ilmu Penyakit Mata. Abdi Tegal. Jakarta.
21