Anda di halaman 1dari 33

Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Tutorial Klinik Infeksi

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

DEMAM TYPHOID + ANEMIA NORMOKROM


NORMOSITIK

Disusun oleh:
Aviciena Bin Iskandar

Pembimbing:
dr. William S Tjeng, Sp. A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
Mei 2015

Tutorial Klinik

DEMAM TYPHOID + ANEMIA DEFISIENSI BESI

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian stase Anak


AVICIENA BIN ISKANDAR

Menyetujui,

dr. William S Tjeng, Sp. A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
Mei 2015
2

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan
yang berjudul Demam Typhoid + Anemia Normokrom Normositik
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan referat ini tidak lepas
dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. William S Tjeng, Sp. A., sebagai dosen pembimbing klinik selama stase anak.
2. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga
pendidikan saat ini.
3. Rekan sejawat dokter muda angkatan 2014 yang telah bersedia memberikan
saran dan mengajarkan ilmunya pada penulis.
4. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Akhir kata, Tiada gading yang tak retak. Oleh karena itu, penulis
membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna
memperbaiki laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.

Samarinda, Mei 2015

Penulis

BAB 1
KASUS

Pasien masuk RS pada tanggal 14 April 2015 melalui Instalasi Gawat


Darurat RSU A.W. Sjahranie Samarinda.
Identitas:
Nama
Umur
Jenis kelamin
Alamat
Tanggal masuk

:
:
:
:
:

An. AS
6 tahun
Laki-laki
Jl. XXXX
14 April

Orang tua
Ayah
Ibu

: Bpk. J (40 th, Swasta)


: Ibu. W (38 th, Ibu Rumah Tangga)

A. RESUME IGD
Subyektif:
Demam 4 hari, batuk, muntah (+)
Obyektif:
1. Tanda-tanda vital
2. Kesadaran

4. Thorax
5. Abdomen

:Nadi 88x/menit, RR:24x/menit, T: 37,0 C


: GCS E4V5M6
3. Kepala
: anemis (+|+) , ikterik (-|-), sianosis
(-), napas cuping hidung (-), trismus (-), otorea (-)
: Retraksi intercosta (-), whe (-|-), rho (-|-)
: Flat, BU(+)N, timpani, nyeri tekan (-)
6. Ekstremitas : ekstremitas superior dan inferior
akral hangat, CRT <2 detik, kaku (-)

Assesment:
Obs. Febris + low intake + anemia Pro evaluasi
Planning konsul dr. Spesialis. Anak:
1. IVFD D5 NS 150 tetes/menit
2. HDT
3. Jangan transfusi dulu
4. Paracetamol 4x1 cth
5. simptomatik
Penunjang:
Laboratorium darah lengkap
4

B. RESUME RUANGAN
Anamnesis:
1. Keluhan Utama
Demam 4 hari
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien demam selama 4 hari, demam tidak turun-turun dan terus
meninggi suhunya terutama pada sore atau malam hari. Keluhan ini disertai
dengan perasaan nyeri dan tidak nyaman di perut, mual dan muntah, nafsu
makan menurun, serta batuk berdahak sejak 1 minggu yang lalu, BAB cair
(-). Pasien kemudian dibawa di RS Swasta lalu dirujuk ke RSUD AWS.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya dan
tidak pernah dirawat di RS
Riwayat Saudara-Saudaranya :
1. Aterm, spontan, 9 tahun, sehat
2. Aterm, spontan, 3 tahun, sehat
3. Aterm, spontan, 1 tahun, sehat
Pertumbuhan Dan Perkembangan Anak :
Berat badan lahir

: 2900 gram

Panjang badan lahir

: 51 cm

Berat badan sekarang

: 20 kg

Panjang badan sekarang

: 110 cm

Gigi keluar

: lupa
5

Tersenyum

: lupa

Miring

: lupa

Tengkurap

: lupa

Duduk

: lupa

Merangkak

: lupa

Berdiri

: lupa

Berjalan

: 1 tahun

Berbicara 2 suku kata

: lupa

Masuk TK

: 4 tahun

Masuk SD

: 5 tahun

Makan dan minum anak


ASI

: 0 bulan dihentikan 2 bulan

Susu sapi

: Jenis susu buatan SGM takaran 2 sendok dalam


200 cc

Bubur susu

: 9 bulan

Tim saring

: 1 tahun

Buah

: 1 tahun

Lauk dan makan padat

: 1,5 tahun

Pemeliharaan Prenatal
Periksa di

: dr. Sp.OG
6

Penyakit Kehamilan

:-

Obat-obatan yang sering diminum

: vitamin dan obat penambah darah

Riwayat Kelahiran :
Lahir di

: RS

Persalinan ditolong oleh

: bidan

Berapa bulan dalam kandungan

: 9 bulan

Jenis partus

: spontan

Pemeliharaan postnatal :
Periksa di

: bidan dan dipuskesmas

Keadaan anak

: sehat

Keluarga berencana

: tidak

IMUNISASI (lengkap)
Imunisasi
BCG
Polio
Campak
DPT
Hepatitis B

I
+
+
+
+
+

II
////////
+
+
-

Usia saat imunisasi


III
IV
Booster I
///////
///////
///////
+
///////
///////
///////
+
///////
///////
-

Booster II
///////
///////
-

PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 22 April 2015
Kesan umum

: sakit sedang

Tanda Vital

Frekuensi nadi

: 88 x/menit, isi cukup, reguler


7

Frekuensi napas

Temperatur

: 24 x/ menit
: 37 o C per axial

Antropometri
Berat badan

: 20,9 kg

Panjang Badan

: 114 cm

Status Gizi

: Gizi baik

Kepala
Rambut

: Rambut Hitam, tidak mudah dicabut atau rontok

Mata

: Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), Refleks


Cahaya (+/+), PupilIsokor (3mm), mata cowong (-/-)

Mulut

: Sianosis (-), lidah kotor (+), mukosa bibir basah,


pembesaran tonsil (-/-), gusi berdarah, mimisan (-)

Leher
Pembesaran Kelenjar : Pembesaran KGB submandibular (-/-),
Thoraks
Inspeksi

: Bentuk dada simetris,gerak dinding dada simetris dextra


= sinistra, retraksi (-), Ictus cordis tidak tampak

Palpasi

: Fremitus raba dekstra = sinistra, Ictus cordis teraba ICS


V MCLS

Perkusi

: Sonor di semua lapangan paru


Batas jantung kesan tidak membesar

Auskultasi

: vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), S1S2 tunggal reguler,


murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi

: Tampak datar

Palpasi

: Soefl, nyeri tekan abdomen (+), hepatomegali (-),


splenomegali (-), turgor kulit kembali cepat

Perkusi

: Timpani

Auskultasi

: Bising usus (+) normal, metalic sound (-)

Ekstremitas

: Akral hangat (+), Pallor (+), oedem (-), capillary refill test
< 2 detik, sianosis (-), pembesaran KGB aksiler (-/-),
pembesaran KGB inguinal (-/-).

Pemeriksaan Penunjang
14 April 2015
WBC

: 12.300

HGB

: 9.0

HCT

: 26,2

PLT

: 337.000

GDS

: 157

Na

: 136

: 3,7

Cl

: 95

HDT

: Anemia Normokrom Normositik

Tubex

: +6

Prognosis : Dubia
9

Follow Up:
Tanggal
15/04/15
Tubex skala
0
HDT:
normokrom
normositik
IgG (-)
IgM (-)
NS1 (-)

Perjalanan Penyakit
S: batuk (+), demam hari ke 4
(+), batuk pilek, muntah 1 kali
O : CM, nadi 104 kali/menit,

Pengobatan
D5 NS 1500 cc/24 jam
Ambroxol 3 x1/2 cth
Paracetamol 4 x cth
Inj. Cefotaxim 3x600 mg

RR 24 kali/menit, T: 38,7 0C,


anemis (+/+), ikt (-/-), rh (-/-),
wh (-/-), Retraksi intercostal (-)
Abd. Soefl, Bu (+), Nyeri perut
(+)
Eks: akral hangat
A: obs. Febris + low intake +
anemia pro evaluasi + susp.

16/04/15
Hb 10 g/dl
L 7000
Hct 30,6%
Tro
287.000

VSD dd ASD
S: batuk (+), demam hari ke 5

D5 NS 1500 cc/24 jam


Ambroxol 3 x1/2 cth
(+), flu (-), muntah (-)
Paracetamol 4 x cth
O : CM, nadi 96 kali/menit, RR
Inj. Cefotaxim 3x600 mg
28 kali/menit, T: 36,7 0C,
Feryz 3x1cth
anemis (+/+), ikt (-/-), rh (-/-),
wh (-/-), Retraksi intercostal (-)
Abd. Soefl, Bu (+), Nyeri perut
(+)
Eks: akral hangat
A: ISPA + anemia + susp. VSD

17/04/15

dd ASD
S: batuk (+), demam hari ke 6

D5 NS 1500 cc/24 jam


Ambroxol 3 x1/2 cth
(+), BAB normal, BAK normal
Paracetamol 4 x cth
O : CM, nadi 96 kali/menit, RR
Inj. Cefotaxim 3x600 mg
28 kali/menit, T: 39,7 0C,
Feryz 3x1cth
CTM 3x1/2 tab
anemis (+/+), ikt (-/-), rh (-/-),
Salbutamol 3x2 mg tab
wh (-/-), Retraksi intercostal (-)
10

Abd. Soefl, Bu (+), Nyeri perut


(+)
Eks: akral hangat

A: ISPA + anemia + susp. VSD


dd ASD
20/04/15

S: batuk (+), demam hari ke 9

D5 NS 1500 cc/24 jam


Ambroxol 3 x1/2 cth
(+), mual (+), muntah (+)
Paracetamol 4 x cth
O : CM, nadi 96 kali/menit, RR
Inj. Cefotaxim 3x600 mg
0
28 kali/menit, T: 36,7 C,
CTM 3x1/2 tab
Salbutamol 3x2 mg tab
anemis (+/+), ikt (-/-), rh (-/-),
wh (-/-), Retraksi intercostal (-)
Abd. Soefl, Bu (+), Nyeri perut
(-)
Eks: akral hangat

A: ISPA + anemia
21/04/15
Tubex skala
6

S: batuk (), demam hari ke 10

D5 NS 1500 cc/24 jam


Ambroxol 3 x1/2 cth
(-), mual (-), muntah (-)
Paracetamol 4 x cth
O : CM, nadi 80 kali/menit, RR
Inj. Cefotaxim 3x600 mg
CTM 3x1/2 tab
29 kali/menit, T: 36,1 0C,
Salbutamol 3x2 mg tab
anemis (-/-), ikt (-/-), rh (-/-),
wh (-/-), Retraksi intercostal (-)
Abd. Soefl, Bu (+), Nyeri perut
(-)
Eks: akral hangat
A: Demam Tifoid + anemia

22/04/15

normokrom normositik
S: batuk (), demam hari ke 11
(-), mual (-), muntah (-), nafsu

D5 NS 1500 cc/24 jam


Ambroxol 3 x1/2 cth
Paracetamol 4 x cth
11

makan
Inj. Cefotaxim 3x600 mg
O : CM, nadi 80 kali/menit, RR CTM 3x1/2 tab
Salbutamol 3x2 mg tab
24 kali/menit, T: 36,1 0C,
anemis (-/-), ikt (-/-), rh (-/-),
wh (-/-), Retraksi intercostal (-)
Abd. Soefl, Bu (+), Nyeri perut
(-)
Eks: akral hangat

A: Demam Tifoid + anemia


normokrom normositik

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Demam Tifoid
Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik yang bisa disebabkan oleh

Salmonella enteric serotype typhi. Bakteri ini ditularkan melalui konsumsi makanan
atau minuman yang terkontaminasi atau dari feces dan urin orang yang terinfeksi.
Awalnya dimulai dengan demam ringan tetapi akan progresif dan sering
berkelanjutan sehingga 39 C sampai 40 C (Parry, 2002). Selain itu bakteri
Salmonella Paratyphi juga bisa menyebabkan demam tifoid namun gejala
penyakitnya lebih ringan (Jerry, 2011)

2.1.1

Infectious Agent
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella

paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatip,
tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak
dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam
12

bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan
0

pemanasan (suhu 60 C) selama 15 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan


khlorinisasi.
Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu : (Indro, 2004)
1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh
kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau
disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol
tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau
pili dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan
tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan
alkohol.
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan
menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut
aglutinin.
2.1.2

Patogenesis Demam Tifoid


Organisme ini hampir selalu masuk melalui rute oral biasanya bersamaan

makanan dan minuman yang terkontaminasi. Setelah itu, organisme itu akan
menuju ke bagian lambung dan akan menempel pada sel M (microfold) di bagian
peyer patches juga di bagian enterosit. Bakteri tersebut akan menetap dan
bereplikasi di vakuola endosit (Murray, 2009).
Seterusnya bakteri ini diangkut dalam phagosomes ke lamina propria
untuk dilepaskan. Sesampainya di sana, Salmonell akan menyebabkan masuknya
makrofag (strain non typoidal) atau netrofil (strain typoidal) (Brooks, 2004)
13

Antigen Vi dalam S.typhi penting dalam mencegah opsonisasi mediasiantibodi dan komplemen-mediasi lisis. Dengan induksi pelepasan sitokin dan
migrasi sel mononuclear, organism S.typhi akan menyebar melalui sistem
retikuoendotelial terutama ke hati, limpa dan sum sum tulang. Dalam waktu 14
hari, bakteri akan muncul dalam darah , memfasilitasi sekunder metastase foci
(misalnya

abses

limpa).

Infeksi

Salmonella

non-typhoidal

umumnya

mempresipitasi respon local, sedangkan S.typhi dan bakteri yang virulen akan
menyerang dengan lebih dalam melalui limfatik dan kapiler dan akan
menyebabkan respon imun utama (Klotchko,2011).
Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut
terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui
pemeriksaan. Diduga endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi makrofag di
dalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus, dan kelenjar limfe mesenterika
untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang
dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskuler yang tidak stabil, demam,
depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sitem
imunologik (Soedarmo, 2012).
Tingkat keparahan penyakit pada individu dengan Salmonellosis tidak
hanya ditentukan oleh faktor-faktor virulen tetapi juga sifat dari sel hostnya. (Ohl,
2006). Dalam suatu penelitian terbaru, dilaporkan faktor risiko yang paling umum
ditemukan adalah pengguna kortikosteroid, keganasan, diabetes, infeksi HIV,
pengambilan terapi antimikroba sebelumnya dan juga terapi imunosupresif
(Klotchko, 2011)

2.1.3

Gambaran klinis Demam Tifoid


Setelah masa inkubasi selama 10 -14 hari, timbul gejala seperti demam,

malaise, sakit kepala, konstipasi, bradikardia, dan mialgia. Semua pasien demam
tifoid selalu mederita demam pada awal penyakit, dengan pola demam yang khas
yaitu step-ladder temperature chart yang ditandai dengan demam timbul insidius,
14

kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir
minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4
demam turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti
kolesistitis, abses jaringan lunak maka demam akan menetap. Banyak orangtua
pasien demam tifoid melaporkan bahwa demam lebih tinggi saat sore dan malam
hari dibandingkan dengan pagi harinya. Pada saat demam sudah tinggi, pada
kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat, seperti kesadaran
berkabut atau delirium atau penurunan kesadaran, mulai apati sampai koma.
gejala gastointestinal pada kasus demam tifoid sangat bervariasi. Pasien dapat
mengeluh diare, obstipasi, atau obstipasi kemudian kemudian disusul episode
diare. Pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih di tengah, sedang
tepi dan ujungnya kemerahan (Soedarmo, 2012).

Demam dapat meningkat

sehingga plateau yang tinggi dan dapat terjadi pembesaran limpa dan hati.
Meskipun jarang pada beberapa kasus, namun bisa terlihat bintik-bintik merah
atau red spots yang timbul sebentar di bagian abdomen atau dada. Sebelum
pemberian antibiotik, komplikasi utama adalah pendarahan dan perforasi usus
(Brooks, 2004)
Sekitar 10-15% penyakit demam tifoid dapat menjadi parah. (MK, 2005).
Demam yang meningkat sehingga plateau yang tinggi terjadi pada minggu kedua.
Hal ini dapat bertahan sehingga 4 minggu jika tidak ditangani diikuti dengan
kembalinya kepada suhu normal. Gejala indikator pada saat ini adalah bradikardi
relatif meskipun ini bukan temuan universal ( Klotchko, 2011)
Bagi dewasa sering mengalami sembelit tetapi bagi anak-anak dan
penderita HIV, lebih sering dijumpai gejala diare. Pada pemeriksaan fisik, pasien
juga dijumpai dengan tender pada abdomen, hepatomegali dan splenomegali
(Parry, 2002)
Pada gambaran darah tepi dapat ditemukan anemia normokrom normositik
yang terjadi sebagai akibat perdarahan usus atau supresi pada sumsum tulang.
Jumlah leukosit rendah, namun jarang di bawah 3000/ uL3. Apabila terjadi abses
piogenik maka jumlah leukosit dapat meningkat mencapai 20.000-25.000/uL 3.
15

Trombositopenia sering dijumpai, kadang-kadang berlangsung beberapa minggu


(Soedarmo, 2012).
2.1.4

Uji Diagnostik.

2.1.4.1 Metode Isolasi


Untuk metode isolasi Salmonella, dapat digunakan medium EMB,
MacConkey atau deoksikolat yang tidak memfermentasikan laktosa namun
deteksi organsimenya cepat. Dengan metode ini, bukan hanya mendeteksi
Salmonella dan Shigella malah Proteus, Serratia, Pseudomonas juga bisa
terdeteksi. Selain itu, dapat juga digunakan medium Bismuth Sulfit yang akan
membentuk koloni hitam karena produksi H2S (Brooks, 2004).
Metode isolasi selektif pula adalah dengan agar salmonella-shigella (SS)
dan juga agar Hektoen (Hohmann, 2001) . Agar deoksilat-sitrat (DCA) juga bisa
digunakan untuk mendeteksi pertumbuhan Salmonella dan Shigella. Biakan pada
ketiga media agar ini membantu pertumbuhan Salmonella dan Shigella melebihi
Enterobacteriaceae lain (PHLN, 2000).
Seterusnya untuk isolasi pada media sangat selektif adalah selenit F atau
kaldu tetrationat yang mana memerlukan spesimen feses untuk media ini. Dengan
media ini, dapat menghambat replikasi bakteri floral normal di usus. Setelah
inkubasi selama dua hari, spesimen kemudiannya diletakkan dalam media
difresial dan selektif (Brooks, 2004)
2.1.4.2 Metode Serologi
Metode serologi bertujuan untuk mengidentifiksai biakan Salmonella dan
juga dapat digunakan untuk menentukan titer antibodi pada pasien yang terinfeksi
Salmonella. Dapat digunakan dengan dua cara yaitu uji aglutinasi di atas slide dan
uji aglutinasi pengeneceran tabung (tes widal) (Brooks, 2004)
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
16

(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam


serum penderita demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella typhi
dan pada orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid.
Antigen yang digunakan pada uij Widal adlah suspensi Salmonella
typhi yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal
adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga
menderita demam tifoid
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang
ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin
besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi
yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan
selang waktu paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat
selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid.
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut : (Indro, 2004)
a.Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut
b. Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau
pernah menderita infeksi
c.Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.
Beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal antara lain :
1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Penderita
a. Keadaan umum gizi penderita
Gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
b. Waktu pemeriksaan selama perjalanan penyakit
17

Aglutinin baru dijumnpai dalam darah setelah penderita mengalami


sakit selama satu minggu dan mencapai puncaknya pada minggu
kelima atau keenam sakit.
c. Pengobatan dini dengan antibiotik
Pemberian antibiotik dengan obat antimikroba dapat menghambat
pembentukan antibodi.
d. Penyakit-penyakit tertentu
Pada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi
pembentukan antibodi, misalnya pada penderita leukemia dan
karsinoma lanjut.
e. Pemakaian obat imunosupresif atau kortikosteroid dapat menghambat
pembentukan antibodi.
f.

Vaksinasi
Pada orang yang divaksinasi demam tifoid, titer aglutinin O dan H
meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1
tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1
atau 2 tahun. Oleh karena itu titer aglutinin H pada seseorang yang
pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.

g.

Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya


Keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun titer
aglutininnya rendah. Di daerah endemik demam tifoid dapat dijumpai
aglutinin pada orang-orang yang sehat.
18

2. Faktor-faktor teknis
a.

Aglutinasi silang
Karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O dan
H yang sama, maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat juga
menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies lain. Oleh karena itu
spesies Salmonella penyebab infeksi tidak dapat ditentukan dengan uji
widal.

b.

Konsentrasi suspensi antigen


Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada uji widal akan
mempengaruhi hasilnya.

c.

Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen


Daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella setempat
lebih baik daripada suspensi antigen dari strain lain.

2.1.4.3 Metode PCR


Meskipun tes PCR (polymerase chain reaction) yang mendeteksi materi
genetik dari bakteri telah dicoba, PCR tampaknya tidak cukup sensitif untuk
mendeteksi organisme dalam tinja (hanya sekitar 47% sensitive). Suatu penelitian
berpendapat bahwa sensitivitas PCR baik bila dilakukan pada sampel darah
daripada feses.(84%-95% setelah lima hari infeksi) tatepi tes ini tidak banyak
tersedia.(Ballesteros, 2012)
2.1.4.4 Reaksi Biokimia
TSI digunakan untuk mengetahui organisme yang dapat menfermentasi
19

glukosa,sukrosa dan laktosa dengan atau tanpa menghasilkan gas. Pada


Salmonella, ditemukan asam pada bagian bawah dan basa pada bagian miring
(memfermentasi glukosa) dan terlihat gas pada dasar tabung dengan warna hitam
pada bagian bawah menandakan H2S dihasilkan.(Hendrikson, 2003)
Salmonella

adalah

bakteri

yang

memfermentasikan

D-glukosa,

menghasilkan asam tetapi tidak membentuk gas, oksidase negatip, katalase


positip, tidak memproduksi indol karena tidak menghasilkan enzim trytophanase
yang akan memecah tryptophan menjadi indol. Dengan methyl red positip
menfermentasikan glukosa,menghasilkan asam yang terakumulasi di dalam
medium sehingga menyebabkan pH medium menjadi asam.(Darmawati, 2009).
Uji ONPG juga negatif karena tidak menghasilkan enzim beta galaktosidase
sehingga bakteri tidak memfermentasikan laktosa, lipase dan deoksiribonuklease
juga tidak diproduksi.(Talaro, 2002)

#2: Basa/Asam/gas/H2S
menunjukkan bakteri
Salmonella. Adanya
gelembung gas dibagian
bawah tabung uji
menunjukkan Salmonella
enteritidis
20

Tabel 2.2 Identifikasi bakteri Enterobacteriaceae

Species

Urea

ONPG

lact

Man

glu

O
x

Cit

ind

mot

H 2S

Gas

E.coli
Shigella spp

+
-

+
-

+
D

+
+

++
D

++
-

++
---

S.typhi
S.paratyphi A
Other
Salmonella
K.pneumoniae
v.cholaerae

+
+
+

+
+
+

+
+
+

+
++

+
D

+
-

+
+

+
24
H

+
+

+
+

+
d

--+

+
-

Keterangan:
Lact : Lactose
Man : Mannitol
Glu
: Glucose
OX
: Oxidative test
CIT
: Citrate test

Ind
: Indole
Mot : Motility
H2S : Hydrogen Sulphate
d : Different strains give different results

2.1.5. Penatalaksanaan Demam Tifoid


WHO menyarankan untuk manajemen umum, tindakan dukungan penting
dalam pengelolaan demam tifoid adalah pemberian oral atau hidrasi intravena ,
penggunaan antipiretik, dan pemberian nutrisi yang tepat dan juga indikasi transfusi
darah yang sesuai. Lebih dari 90% pasien dapat ditangani di rumah dengan
pemberian antibiotic secara oral, dengan perawatan dapat di andalkan, dan juga
tindak lanjut dilakukan untuk mencegah komplikasi atau kegagalan terhadap terapi.
Namun, pasien dengan muntah terus-menerus, diare dan distensi abdomen mungkin
memerlukan rawat inap dan terapi antibiotic parenteral. Pengobatan antibiotik
merupakan pengobatan utama karena pada dasarnya patogenesis infeksi Salmonella
21

typhi berhubungan dengan keadaan bakteriemia.


Kloramfenikol masih merupakan pilihan utama pada pengobatan penderita
demam tifoid. Salah satu kelemahan kloramfenikol adalah tingginya angka relaps
dan karier. Namun pada anak, hal tersebut jarang dilaporkan. Di beberapa negara
sudah dilaporkan kasus demam tifoid yang resisten terhadap kloramfenikol. Strain
yang resisten ini umumnya rentan terhadap sefalosporin generasi 3 seperti
seftriakson maupun sefotaksim. Efikasi golongan quinolon baik, tetapi tidak
dianjurkan untuk anak-anak (Soedarmo, 2012).

2.1.6. Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu :
2.1.6.1. Komplikasi Intestinal
a. Perdarahan Usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor
yang tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga
penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah
ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam.
b. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada
minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita demam
tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah
kuadran kanan bawah yang kemudian meyebar ke seluruh perut. Tanda perforasi
lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun dan bahkan sampai syok.
2.1.6.2. Komplikasi Ekstraintestinal
a. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok,
22

sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.


b. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi
intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
c. Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan pleuritis
d. Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis
e. Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis
f. Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis
g. Komplikasi

neuropsikiatrik

delirium,

meningismus,

meningitis,

polineuritis perifer, psikosis, dan sindrom katatonia.

2.2

Anemia

2.2.1

Pengertian Anemia

Anemia didefinisikan sebagai berkurangnya kadar hemoglobin darah.

Walaupun nilai normal dapat bervariasi antar laboratorium, kadar hemoglobin


biasanya kurang dari 13,5 g/dl pada pria dewasa, dan kurang dari 11,5 g/dl pada
wanita dewasa. Sejak usia 3 bulan sampai pubertas, kadar hemoglobin yang
kurang dari 11,0 g/dl menunjukkan anemia. Tingginya kadar hemoglobin pada
bayi baru lahir menyebabkan ditentukannya 15,0 g/dl sebagai batas bawah pada
waktu lahir (Hoffbrand, dkk, 2005).

Anemia merupakan keadaan menurunnya kadar hemoglobin, hematokrit, dan


jumlah sel darah merah dibawah nilai normal yang dipatok untuk perorangan
(Arisman, 2010).
23

Anemia adalah pengurangan jumlah sel darah merah, kuantitas hemoglobin, dan
volume pada sel darah merah (hematokrit) per 100 ml darah. Dengan demikian,
anemia bukan suatu diagnosis melainkan pencerminan dari dasar perubahan
patofisiologis, yang diuraikan oleh anamnesa dan pemeriksaan fisik yang diteliti,
serta didukung oleh pemeriksaan laboratorium (Price, 1995).

2.2.2

Kriteria anemia

Penentuan anemia pada seseorang tergantung pada usia, jenis kelamin, dan

tempat tinggal. Kriteria anemia menurut WHO tahun 1968 (dikutip dari Tarwoto,
2008) adalah laki-laki dewasa dengan jumlah hemoglobin < 13 g/dl, wanita
dewasa tidak hamil < 12 g/dl, wanita hamil < 11 g/dl, anak umur 6-14 tahun < 12
g/dl, anak umur 6 bulan 6 tahun < 11 g/dl. Secara klinis menurut I made Bakta
2003, kriteria anemia di Indonesia umumnya adalah hemoglobin < 10 g/dl,
hematokrit < 30%, dan eritrosit < 2,8 juta /

(Tarwoto, 2008).

2.2.3 Klasifikasi Anemia

Berdasarkan aspek etiologinya, anemia dapat diklasifikasikan menjadi: (1)

anemia aplastik; (2) anemia defisiensi besi; dan (3) anemia megaloblastik.

Menurut Hoffbrand (1993), anemia aplastik merupakan suatu gangguan yang


mengancam jiwa pada sel induk di sumsum tulang, yang sel-sel darahnya
diproduksi dalam jumlah yang tidak mencukupi. Anemia aplastik dapat
kongenital, idiopatik (penyebabnya tidak diketahui), atau sekunder akibat
penyebab-penyebab industri atau virus. Penyebab-penyebab sekunder anemia
24

aplastik (sementara atau permanen) meliputi, lupus eritematosus sistemik yang


berbasis autoimun, agen antineoplastik atau sitotoksik, terapi radiasi, antibiotik
tertentu, berbagai obat (seperti antikonvulsan, obat-obat tiroid, senyawa emas, dan
fenilbutazon), zat-zat kimia (seperti benzen, pelarut organik, dan insektisida), dan
penyakit-penyakit virus seperti mononukleosis infeksiosa dan Human
Immunodeficiency Virus (HIV) (Price, 2006).

Anemia defisiensi besi merupakan penyebab utama anemia di dunia dan terutama
sering dijumpai pada perempuan usia subur, disebabkan oleh kehilangan darah
sewaktu menstruasi dan peningkatan kebutuhan besi selama kehamilan. Menurut
Almatsier (2005), anemia defisiensi besi atau anemia zat besi adalah anemia yang
disebabkan oleh kekurangan zat besi yang berperan dalam pembentukan
hemoglobin, baik karena kekurangan konsumsi atau karena gangguan absorbsi. ).
WHO (dikutip dari Tarwoto, 2008) menetapkan kriteria anemia pada laki-laki
dewasa jika hemoglobin < 13 g/dl, wanita dewasa tidak hamil jika hemoglobin <
12 g/dl, wanita hamil jika hemoglobin < 11 g/dl, anak umur 6-14 tahunjika
hemoglobin < 12 g/dl, dan anak umur 6 bulan 6 tahun jika hemoglobin < 11
g/dl.

Menurut Guyton (2001), anemia megaloblastik adalah anemia yang sering


disebabkan oleh defisiensi vitamin B12 dan asam folat yang mengakibatkan
gangguan sintesis DNA, disertai kegagalan maturasi dan pembelahan inti.
Defisiensi-defisiensi ini dapat sekunder akibat malnutrisi, defisiensi asam folat,
malabsorbsi, kehilangan faktor intrinsik (seperti pada anemia pernisiosa dan
pascagastrektomi), infestasi parasit, penyakit usus, dan keganasan, serta sebagai
akibat agens-agens kemoterapeutik (Price, 2006).

2.2.4 Anemia Defisiensi Besi

2.2.4.1 Pengertian Anemia Defisiensi Besi

Anemia defisiensi besi atau anemia zat besi adalah anemia yang

25

disebabkan oleh kekurangan zat besi yang berperan dalam pembentukan

hemoglobin, baik karena kekurangan konsumsi atau karena gangguan absorbsi

(Almatsier, 2005).

2.2.4.2 Etiologi Anemia Defisiensi Besi

Secara umum, ada tiga penyebab anemia defisiensi zat besi, yaitu

kehilangan darah secara kronis seperti pada penyakit ulkus peptikum, hemoroid,
infestasi parasit, dan proses keganasan; asupan zat besi tidak cukup dan
penyerapan tidak adekuat; dan peningkatan kebutuhan akan zat besi untuk
pembentukan sel darah merah yang lazim berlangsung pada masa pertumbuhan
bayi, masa pubertas, masa kehamilan, dan menyusui (Arisman, 2010)

Pada pria dewasa, sebagian besar kehilangan darah disebabkan oleh proses
perdarahan akibat penyakit (atau trauma), atau akibat pengobatan suatu penyakit.
Sementara pada wanita, terjadi kehilangan darah secara alamiah setiap bulan. Jika
darah yang keluar selama haid sangat banyak (banyak wanita yang tidak sadar
kalau darah haidnya terlalu banyak) akan terjadi anemia defisiensi besi. Sepanjang
usia reproduktif, wanita akan mengalami kehilangan darah akibat peristiwa haid.
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa jumlah darah yang hilang selama
satu periode haid berkisar antara 20-25 cc. Jumlah ini menyiratkan kehilangan zat
besi sebesar 12,5-15 mg/bulan, atau kira-kira sama dengan 0,4-0,5 mg sehari.
Selain dari peristiwa haid, kehilangan zat besi dapat pula diakibatkan oleh
infestasi parasit, seperti cacing tambang (ankilostoma dan nekator), schistosoma,
dan mungkin pula Trichuris trichiura. Kasus-kasus tersebut lazim terjadi di
negara tropis ( kebanyakan negara tropis terklasifikasi sebagai negara belum dan
sedang berkembang), lembab serta keadaan sanitasi yang buruk.

26

Makanan yang banyak mengandung zat besi adalah bahan makanan yang berasal
dari daging hewan. Selain banyak mengandung zat besi, serapan zat besi dari
sumber makanan tersebut mempunyai angka keterserapan sebesar 20-30%.
Sayangnya sebagian besar penduduk di negara yang belum (sedang) berkembang
tidak mampu atau belum mampu menghadirkan makanan tersebut di meja makan.
Ditambah dengan kebiasaan mengonsumsi makanan yang dapat mengganggu
penyerapan zat besi seperti kopi dan teh secara bersamaan sewaktu makan
menyebabkan serapan zat besi semakin rendah.

Asupan zat besi harian diperlukan untuk mengganti zat besi yang hilang melalui
tinja, air kencing, dan kulit. Kehilangan basis ini diduga sebanyak 14 ug/kg
BB/hari. Jika dihitung berdasarkan jenis kelamin, kehilangan basis zat besi untuk
pria dewasa mendekati 0,9 mg dan 0,8 mg untuk wanita. Masa bayi dan anak-anak
merupakan saat pertumbuhan yang cepat dan pada saat itu zat besi dibutuhkan
dalam jumlah banyak. Begitu juga remaja, terutama remaja wanita yang
mengalami haid, membutuhkan lebih banyak zat besi, karena zat besi yang hilang
dari tubuh saat haid juga banyak. Pada ibu hamil dan menyusui, kebutuhan zat
besi meningkat karena selain dibutuhkan oleh sang ibu, zat besi juga dibutuhkan
oleh bayinya. Pada ibu hamil zat besi juga dibutuhkan oleh plasenta dan janinnya.
Apabila kebutuhan yang tinggi ini tidak dapat dipenuhi maka kemungkinan
terjadinya anemia gizi besi cukup besar (Wirakusumah, 1999).

2.2.4.3 Tanda dan Gejala Anemia Defisiensi Besi

Tanda dan gejala anemia defisiensi besi dibagi menjadi dua, yaitu tanda

dan gejala anemia defisiensi besi tidak khas serta tanda dan gejala anemia
defisiensi besi yang khas.

Tanda dan gejala anemia defisiensi besi tidak khas hampir sama dengan anemia
pada umumnya yaitu: cepat lelah atau kelelahan, hal ini terjadi karena simpanan
oksigen dalam jaringan otot kurang sehingga metabolisme otot terganggu; nyeri
kepala dan pusing merupakan kompensasi dimana otak kekurangan oksigen,
karena daya angkut hemoglobin berkurang; kesulitan bernapas, terkadang sesak
napas merupakan gejala, dimana tubuh memerlukan lebih banyak lagi oksigen
dengan cara kompensasi pernapasan lebih dipercepat; palpitasi, dimana jantung
27

berdenyut lebih cepat diikuti dengan peningkatan denyut nadi; dan pucat pada
muka, telapak tangan, kuku, membran mukosa mulut dan konjungtiva (Tarwoto,
2007).

Tanda dan gejala yang khas pada anemia defisiensi besi adalah: adanya kuku
sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal dan menjadi
cekung mirip sendok; atropi papil lidah, permukaan lidah menjadi licin dan
mengkilap karena papil lidah menghilang; stomatitis angular, peradangan pada
sudut mulut sehingga nampak seperti bercak berwarna pucat keputihan; disfagia,
nyeri saat menelan karena kerusakan epitel hipofaring; atropi mukosa gaster; dan
adanya peradangan pada mukosa mulut (stomatitis), peradangan pada lidah
(glositis), dan peradangan pada bibir (cheilitis) (Tarwoto, 2007).

BAB 3
ANALISA KASUS
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, Pasien An. AS usia 6 tahun datang
bersama orang tuanya ke IGD RSU AWS Samarinda pada 14 April 2015 dengan
keluhan utama demam tinggi yang tidak kunjung turun selama 4 hari. Diagnosis
masuk dan diagnosis kerja pasien ini adalah Obs. Febris + low intake + anemia
Pro evaluasi. Setelah menjalani proses perawatan selama beberapa hari di ruang
melati, pasien akhirnya didiagnosa akhir dengan Demam Tifoid + Anemia
Defisisensi Besi. Diagnosa ini ditegakkan berdasarkan hasil dari anamnesa,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.
TEORI

KASUS
ANAMNESIS

Semua pasien demam tifoid selalu

Demam tinggi tidak kunjung


28

menderita

demam

pada

awal

turun dan terus meninggi selama

penyakit, dengan pola demam yang

4 hari
Demam terutama dialami saat

khas yaitu step-ladder temperature


chart yang ditandai dengan demam
timbul

insidius,

kemudian

naik

secara bertahap tiap harinya dan


mencapai titik tertinggi pada akhir
minggu pertama, setelah itu demam

sore dan malam hari


Terdapat perasaan tidak enak di
perut, nyeri perut, mual dan
muntah
Kehilangan nafsu makan

akan bertahan tinggi dan pada


minggu ke-4 demam turun perlahan
secara lisis
Demam lebih tinggi saat sore dan
malam hari dibandingkan dengan
pagi harinya
Terdapat berbagai

macam

gejala

gastrointestinal yang bervariasi pada


demam tifoid
PEMERIKSAAN FISIK
o (sesuai dengan manifestasi klinis

demam tifoid dan anemia

yang telah dibahas pada bab 2)

Demam
Anemis
Lidah Kotor
Nyeri tekan perut
Ekstremitas pallor

PEMERIKSAAN PENUNJANG
o Uji

Tubex

digunakan

untuk o Laboratorium: Tubex test +6,

membantu menegakkan diagnosis

Anemia normokrom normositik,

demam tifoid, dimana nilai +4-10

Leukositosis

menyatakan positif tifoid


o Leukositosis
sebagai

tanda

terjadinya proses infeksi


o
Pada gambaran darah tepi dapat
29

ditemukan

anemia

normokrom

normositik yang terjadi sebagai


akibat perdarahan usus atau supresi
pada sumsusm tulang.
DIAGNOSIS
Demam

Tifoid

Anemia

Normokrom Normositik
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan penunjang

Manifestasi

klinis

pada

pemeriksaan fisik sesuai dengan


manifestasi klinis demam tifoid :
Demam step ladder dan gejala
gastrointestinal seperti perasaan
tidak enak di perut, nyeri perut

serta mual dan muntah


Pemeriksaan
penunjang
menunjukkan adanya hasil tubex
test yang positif, leukositosis
yang umum terjadi pada proses
infeksi, serta anemia normokrom
normositik yang juga sering
didapatkan pada kasus demam
tifoid

PENATALAKSANAAN

untuk D5 NS 1500 cc/24 jam


Ambroxol 3 x1/2 cth
manajemen umum, tindakan
Paracetamol 4 x cth
dukungan
penting
dalam Inj. Cefotaxim 3x600 mg
pengelolaan demam tifoid adalah CTM 3x1/2 tab
Salbutamol 3x2 mg tab
pemberian oral atau hidrasi
WHO

menyarankan

intravena

antipiretik,

dan

penggunaan
pemberian

nutrisi yang tepat dan juga


30

indikasi transfusi darah yang

sesuai
Pengobatan

antibiotik

merupakan pengobatan utama


karena

pada

dasarnya

patogenesis infeksi Salmonella


typhi

berhubungan

dengan

keadaan bakteriemia.

DAFTAR PUSTAKA
Ballesteros, I.,M., et al 2012, Intra- and inter Laboratory Evaluation of An Improve
multiple-PCR Method For Detection and Typing of Salmonella, Available from:
http://www.jidc.org/index.php/journal/article/viewFile/2445/728 [Accessed 28 April
2012]

Brenner, F.W., Villar, R.G., et al 2000. Salmonella Nomenclature. Available from:


http://jcm.asm.org/content/38/7/2465.full [Accessed 19 April 2012]

Brooks, G.F., Butel, J.S., Morse, S.A., 2004. Jewetz, Melnick,&

Adelberg Mikrobiologi Kedokteran, Edisi 23. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran


ECG: 251-264

Darmawati, S., 2009. Keanekaragaman Salmonella Typhi. Available from:


http://jurnal.unimus.ac.id/index.php/Analis/article/view/225/23 7 [Accessed 29 Apr
2015]

Hendrikson, R.S., 2003. WHO Global Salm-Surv. Available from:


http://www.antimicrobialresistance.dk/data/images/salmonella2_pdf.pd f [Accessed 29
April 2015]
31

Herawati, M.H., Ghani, L., 2007. Hubungan Faktor Determinan dengan Kejadian
Demam Tifoid di Indonesia tahun 2007. Available from:
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/19409165173.pdf [Accessed 29 April 2015]

Indro Handojo. Imunoasai Terapan Pada Beberapa Penyakit Infeksi. Airlangga


University Press. 2004.

Klotchko, A., 2011. Salmonellosis. Available from:


http://emedicine.medscape.com/article/228174-overview . [Accessed 19 April 2015]

th

Murray, P.R., Rosenthal, K.S., and Pfaller, M.A., 2009. Medical Microbiology 6
edition. Canada:Mosby Elsevier :301-309

Ohl, M.E., Miller, S.I., 2006. Salmonella: Model for Bacterial Pathogenesis.
Available from: http://www.vmf.uni- leipzig.de/ik/wimmunologie/Lehre/SS06/SS061-10- Salmonella_Bacterial_pathogenesis.pdf [Accessed 29 April 2015]

Parry, C.M., 2002. Typhoid Fever. Available from:


http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMra020201 [Accessed 29 April 2015]

Public Health Laboratory Newtork(PHLN), 2000. Available from:

http://www.health.gov.au/internet/main/publishing.nsf/Content/cda-phlncd salmonella.htm/$FILE/salmo.pdf [Accessed 29 April 2015]


Soedarmo, S., 2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi Kedua. Jakarta : IDAI

32

th

Talaro, K.P., Talaro, A.,2002. Foundations in Microbiology, 4 edition. Canada: Mc


Graw Hill: 612-617

33

Anda mungkin juga menyukai