Tutorial Typhoid
Tutorial Typhoid
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
Disusun oleh:
Aviciena Bin Iskandar
Pembimbing:
dr. William S Tjeng, Sp. A
Tutorial Klinik
Menyetujui,
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan
yang berjudul Demam Typhoid + Anemia Normokrom Normositik
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan referat ini tidak lepas
dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. William S Tjeng, Sp. A., sebagai dosen pembimbing klinik selama stase anak.
2. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga
pendidikan saat ini.
3. Rekan sejawat dokter muda angkatan 2014 yang telah bersedia memberikan
saran dan mengajarkan ilmunya pada penulis.
4. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Akhir kata, Tiada gading yang tak retak. Oleh karena itu, penulis
membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna
memperbaiki laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.
Penulis
BAB 1
KASUS
:
:
:
:
:
An. AS
6 tahun
Laki-laki
Jl. XXXX
14 April
Orang tua
Ayah
Ibu
A. RESUME IGD
Subyektif:
Demam 4 hari, batuk, muntah (+)
Obyektif:
1. Tanda-tanda vital
2. Kesadaran
4. Thorax
5. Abdomen
Assesment:
Obs. Febris + low intake + anemia Pro evaluasi
Planning konsul dr. Spesialis. Anak:
1. IVFD D5 NS 150 tetes/menit
2. HDT
3. Jangan transfusi dulu
4. Paracetamol 4x1 cth
5. simptomatik
Penunjang:
Laboratorium darah lengkap
4
B. RESUME RUANGAN
Anamnesis:
1. Keluhan Utama
Demam 4 hari
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien demam selama 4 hari, demam tidak turun-turun dan terus
meninggi suhunya terutama pada sore atau malam hari. Keluhan ini disertai
dengan perasaan nyeri dan tidak nyaman di perut, mual dan muntah, nafsu
makan menurun, serta batuk berdahak sejak 1 minggu yang lalu, BAB cair
(-). Pasien kemudian dibawa di RS Swasta lalu dirujuk ke RSUD AWS.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya dan
tidak pernah dirawat di RS
Riwayat Saudara-Saudaranya :
1. Aterm, spontan, 9 tahun, sehat
2. Aterm, spontan, 3 tahun, sehat
3. Aterm, spontan, 1 tahun, sehat
Pertumbuhan Dan Perkembangan Anak :
Berat badan lahir
: 2900 gram
: 51 cm
: 20 kg
: 110 cm
Gigi keluar
: lupa
5
Tersenyum
: lupa
Miring
: lupa
Tengkurap
: lupa
Duduk
: lupa
Merangkak
: lupa
Berdiri
: lupa
Berjalan
: 1 tahun
: lupa
Masuk TK
: 4 tahun
Masuk SD
: 5 tahun
Susu sapi
Bubur susu
: 9 bulan
Tim saring
: 1 tahun
Buah
: 1 tahun
: 1,5 tahun
Pemeliharaan Prenatal
Periksa di
: dr. Sp.OG
6
Penyakit Kehamilan
:-
Riwayat Kelahiran :
Lahir di
: RS
: bidan
: 9 bulan
Jenis partus
: spontan
Pemeliharaan postnatal :
Periksa di
Keadaan anak
: sehat
Keluarga berencana
: tidak
IMUNISASI (lengkap)
Imunisasi
BCG
Polio
Campak
DPT
Hepatitis B
I
+
+
+
+
+
II
////////
+
+
-
Booster II
///////
///////
-
PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 22 April 2015
Kesan umum
: sakit sedang
Tanda Vital
Frekuensi nadi
Frekuensi napas
Temperatur
: 24 x/ menit
: 37 o C per axial
Antropometri
Berat badan
: 20,9 kg
Panjang Badan
: 114 cm
Status Gizi
: Gizi baik
Kepala
Rambut
Mata
Mulut
Leher
Pembesaran Kelenjar : Pembesaran KGB submandibular (-/-),
Thoraks
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
: Tampak datar
Palpasi
Perkusi
: Timpani
Auskultasi
Ekstremitas
: Akral hangat (+), Pallor (+), oedem (-), capillary refill test
< 2 detik, sianosis (-), pembesaran KGB aksiler (-/-),
pembesaran KGB inguinal (-/-).
Pemeriksaan Penunjang
14 April 2015
WBC
: 12.300
HGB
: 9.0
HCT
: 26,2
PLT
: 337.000
GDS
: 157
Na
: 136
: 3,7
Cl
: 95
HDT
Tubex
: +6
Prognosis : Dubia
9
Follow Up:
Tanggal
15/04/15
Tubex skala
0
HDT:
normokrom
normositik
IgG (-)
IgM (-)
NS1 (-)
Perjalanan Penyakit
S: batuk (+), demam hari ke 4
(+), batuk pilek, muntah 1 kali
O : CM, nadi 104 kali/menit,
Pengobatan
D5 NS 1500 cc/24 jam
Ambroxol 3 x1/2 cth
Paracetamol 4 x cth
Inj. Cefotaxim 3x600 mg
16/04/15
Hb 10 g/dl
L 7000
Hct 30,6%
Tro
287.000
VSD dd ASD
S: batuk (+), demam hari ke 5
17/04/15
dd ASD
S: batuk (+), demam hari ke 6
A: ISPA + anemia
21/04/15
Tubex skala
6
22/04/15
normokrom normositik
S: batuk (), demam hari ke 11
(-), mual (-), muntah (-), nafsu
makan
Inj. Cefotaxim 3x600 mg
O : CM, nadi 80 kali/menit, RR CTM 3x1/2 tab
Salbutamol 3x2 mg tab
24 kali/menit, T: 36,1 0C,
anemis (-/-), ikt (-/-), rh (-/-),
wh (-/-), Retraksi intercostal (-)
Abd. Soefl, Bu (+), Nyeri perut
(-)
Eks: akral hangat
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Demam Tifoid
Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik yang bisa disebabkan oleh
Salmonella enteric serotype typhi. Bakteri ini ditularkan melalui konsumsi makanan
atau minuman yang terkontaminasi atau dari feces dan urin orang yang terinfeksi.
Awalnya dimulai dengan demam ringan tetapi akan progresif dan sering
berkelanjutan sehingga 39 C sampai 40 C (Parry, 2002). Selain itu bakteri
Salmonella Paratyphi juga bisa menyebabkan demam tifoid namun gejala
penyakitnya lebih ringan (Jerry, 2011)
2.1.1
Infectious Agent
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella
paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatip,
tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak
dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam
12
bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan
0
makanan dan minuman yang terkontaminasi. Setelah itu, organisme itu akan
menuju ke bagian lambung dan akan menempel pada sel M (microfold) di bagian
peyer patches juga di bagian enterosit. Bakteri tersebut akan menetap dan
bereplikasi di vakuola endosit (Murray, 2009).
Seterusnya bakteri ini diangkut dalam phagosomes ke lamina propria
untuk dilepaskan. Sesampainya di sana, Salmonell akan menyebabkan masuknya
makrofag (strain non typoidal) atau netrofil (strain typoidal) (Brooks, 2004)
13
Antigen Vi dalam S.typhi penting dalam mencegah opsonisasi mediasiantibodi dan komplemen-mediasi lisis. Dengan induksi pelepasan sitokin dan
migrasi sel mononuclear, organism S.typhi akan menyebar melalui sistem
retikuoendotelial terutama ke hati, limpa dan sum sum tulang. Dalam waktu 14
hari, bakteri akan muncul dalam darah , memfasilitasi sekunder metastase foci
(misalnya
abses
limpa).
Infeksi
Salmonella
non-typhoidal
umumnya
mempresipitasi respon local, sedangkan S.typhi dan bakteri yang virulen akan
menyerang dengan lebih dalam melalui limfatik dan kapiler dan akan
menyebabkan respon imun utama (Klotchko,2011).
Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut
terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui
pemeriksaan. Diduga endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi makrofag di
dalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus, dan kelenjar limfe mesenterika
untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang
dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskuler yang tidak stabil, demam,
depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sitem
imunologik (Soedarmo, 2012).
Tingkat keparahan penyakit pada individu dengan Salmonellosis tidak
hanya ditentukan oleh faktor-faktor virulen tetapi juga sifat dari sel hostnya. (Ohl,
2006). Dalam suatu penelitian terbaru, dilaporkan faktor risiko yang paling umum
ditemukan adalah pengguna kortikosteroid, keganasan, diabetes, infeksi HIV,
pengambilan terapi antimikroba sebelumnya dan juga terapi imunosupresif
(Klotchko, 2011)
2.1.3
malaise, sakit kepala, konstipasi, bradikardia, dan mialgia. Semua pasien demam
tifoid selalu mederita demam pada awal penyakit, dengan pola demam yang khas
yaitu step-ladder temperature chart yang ditandai dengan demam timbul insidius,
14
kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir
minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4
demam turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti
kolesistitis, abses jaringan lunak maka demam akan menetap. Banyak orangtua
pasien demam tifoid melaporkan bahwa demam lebih tinggi saat sore dan malam
hari dibandingkan dengan pagi harinya. Pada saat demam sudah tinggi, pada
kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat, seperti kesadaran
berkabut atau delirium atau penurunan kesadaran, mulai apati sampai koma.
gejala gastointestinal pada kasus demam tifoid sangat bervariasi. Pasien dapat
mengeluh diare, obstipasi, atau obstipasi kemudian kemudian disusul episode
diare. Pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih di tengah, sedang
tepi dan ujungnya kemerahan (Soedarmo, 2012).
sehingga plateau yang tinggi dan dapat terjadi pembesaran limpa dan hati.
Meskipun jarang pada beberapa kasus, namun bisa terlihat bintik-bintik merah
atau red spots yang timbul sebentar di bagian abdomen atau dada. Sebelum
pemberian antibiotik, komplikasi utama adalah pendarahan dan perforasi usus
(Brooks, 2004)
Sekitar 10-15% penyakit demam tifoid dapat menjadi parah. (MK, 2005).
Demam yang meningkat sehingga plateau yang tinggi terjadi pada minggu kedua.
Hal ini dapat bertahan sehingga 4 minggu jika tidak ditangani diikuti dengan
kembalinya kepada suhu normal. Gejala indikator pada saat ini adalah bradikardi
relatif meskipun ini bukan temuan universal ( Klotchko, 2011)
Bagi dewasa sering mengalami sembelit tetapi bagi anak-anak dan
penderita HIV, lebih sering dijumpai gejala diare. Pada pemeriksaan fisik, pasien
juga dijumpai dengan tender pada abdomen, hepatomegali dan splenomegali
(Parry, 2002)
Pada gambaran darah tepi dapat ditemukan anemia normokrom normositik
yang terjadi sebagai akibat perdarahan usus atau supresi pada sumsum tulang.
Jumlah leukosit rendah, namun jarang di bawah 3000/ uL3. Apabila terjadi abses
piogenik maka jumlah leukosit dapat meningkat mencapai 20.000-25.000/uL 3.
15
Uji Diagnostik.
Vaksinasi
Pada orang yang divaksinasi demam tifoid, titer aglutinin O dan H
meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1
tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1
atau 2 tahun. Oleh karena itu titer aglutinin H pada seseorang yang
pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.
g.
2. Faktor-faktor teknis
a.
Aglutinasi silang
Karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O dan
H yang sama, maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat juga
menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies lain. Oleh karena itu
spesies Salmonella penyebab infeksi tidak dapat ditentukan dengan uji
widal.
b.
c.
adalah
bakteri
yang
memfermentasikan
D-glukosa,
#2: Basa/Asam/gas/H2S
menunjukkan bakteri
Salmonella. Adanya
gelembung gas dibagian
bawah tabung uji
menunjukkan Salmonella
enteritidis
20
Species
Urea
ONPG
lact
Man
glu
O
x
Cit
ind
mot
H 2S
Gas
E.coli
Shigella spp
+
-
+
-
+
D
+
+
++
D
++
-
++
---
S.typhi
S.paratyphi A
Other
Salmonella
K.pneumoniae
v.cholaerae
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
++
+
D
+
-
+
+
+
24
H
+
+
+
+
+
d
--+
+
-
Keterangan:
Lact : Lactose
Man : Mannitol
Glu
: Glucose
OX
: Oxidative test
CIT
: Citrate test
Ind
: Indole
Mot : Motility
H2S : Hydrogen Sulphate
d : Different strains give different results
2.1.6. Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu :
2.1.6.1. Komplikasi Intestinal
a. Perdarahan Usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor
yang tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga
penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah
ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam.
b. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada
minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita demam
tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah
kuadran kanan bawah yang kemudian meyebar ke seluruh perut. Tanda perforasi
lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun dan bahkan sampai syok.
2.1.6.2. Komplikasi Ekstraintestinal
a. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok,
22
neuropsikiatrik
delirium,
meningismus,
meningitis,
2.2
Anemia
2.2.1
Pengertian Anemia
Anemia adalah pengurangan jumlah sel darah merah, kuantitas hemoglobin, dan
volume pada sel darah merah (hematokrit) per 100 ml darah. Dengan demikian,
anemia bukan suatu diagnosis melainkan pencerminan dari dasar perubahan
patofisiologis, yang diuraikan oleh anamnesa dan pemeriksaan fisik yang diteliti,
serta didukung oleh pemeriksaan laboratorium (Price, 1995).
2.2.2
Kriteria anemia
Penentuan anemia pada seseorang tergantung pada usia, jenis kelamin, dan
tempat tinggal. Kriteria anemia menurut WHO tahun 1968 (dikutip dari Tarwoto,
2008) adalah laki-laki dewasa dengan jumlah hemoglobin < 13 g/dl, wanita
dewasa tidak hamil < 12 g/dl, wanita hamil < 11 g/dl, anak umur 6-14 tahun < 12
g/dl, anak umur 6 bulan 6 tahun < 11 g/dl. Secara klinis menurut I made Bakta
2003, kriteria anemia di Indonesia umumnya adalah hemoglobin < 10 g/dl,
hematokrit < 30%, dan eritrosit < 2,8 juta /
(Tarwoto, 2008).
anemia aplastik; (2) anemia defisiensi besi; dan (3) anemia megaloblastik.
Anemia defisiensi besi merupakan penyebab utama anemia di dunia dan terutama
sering dijumpai pada perempuan usia subur, disebabkan oleh kehilangan darah
sewaktu menstruasi dan peningkatan kebutuhan besi selama kehamilan. Menurut
Almatsier (2005), anemia defisiensi besi atau anemia zat besi adalah anemia yang
disebabkan oleh kekurangan zat besi yang berperan dalam pembentukan
hemoglobin, baik karena kekurangan konsumsi atau karena gangguan absorbsi. ).
WHO (dikutip dari Tarwoto, 2008) menetapkan kriteria anemia pada laki-laki
dewasa jika hemoglobin < 13 g/dl, wanita dewasa tidak hamil jika hemoglobin <
12 g/dl, wanita hamil jika hemoglobin < 11 g/dl, anak umur 6-14 tahunjika
hemoglobin < 12 g/dl, dan anak umur 6 bulan 6 tahun jika hemoglobin < 11
g/dl.
Anemia defisiensi besi atau anemia zat besi adalah anemia yang
25
(Almatsier, 2005).
Secara umum, ada tiga penyebab anemia defisiensi zat besi, yaitu
kehilangan darah secara kronis seperti pada penyakit ulkus peptikum, hemoroid,
infestasi parasit, dan proses keganasan; asupan zat besi tidak cukup dan
penyerapan tidak adekuat; dan peningkatan kebutuhan akan zat besi untuk
pembentukan sel darah merah yang lazim berlangsung pada masa pertumbuhan
bayi, masa pubertas, masa kehamilan, dan menyusui (Arisman, 2010)
Pada pria dewasa, sebagian besar kehilangan darah disebabkan oleh proses
perdarahan akibat penyakit (atau trauma), atau akibat pengobatan suatu penyakit.
Sementara pada wanita, terjadi kehilangan darah secara alamiah setiap bulan. Jika
darah yang keluar selama haid sangat banyak (banyak wanita yang tidak sadar
kalau darah haidnya terlalu banyak) akan terjadi anemia defisiensi besi. Sepanjang
usia reproduktif, wanita akan mengalami kehilangan darah akibat peristiwa haid.
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa jumlah darah yang hilang selama
satu periode haid berkisar antara 20-25 cc. Jumlah ini menyiratkan kehilangan zat
besi sebesar 12,5-15 mg/bulan, atau kira-kira sama dengan 0,4-0,5 mg sehari.
Selain dari peristiwa haid, kehilangan zat besi dapat pula diakibatkan oleh
infestasi parasit, seperti cacing tambang (ankilostoma dan nekator), schistosoma,
dan mungkin pula Trichuris trichiura. Kasus-kasus tersebut lazim terjadi di
negara tropis ( kebanyakan negara tropis terklasifikasi sebagai negara belum dan
sedang berkembang), lembab serta keadaan sanitasi yang buruk.
26
Makanan yang banyak mengandung zat besi adalah bahan makanan yang berasal
dari daging hewan. Selain banyak mengandung zat besi, serapan zat besi dari
sumber makanan tersebut mempunyai angka keterserapan sebesar 20-30%.
Sayangnya sebagian besar penduduk di negara yang belum (sedang) berkembang
tidak mampu atau belum mampu menghadirkan makanan tersebut di meja makan.
Ditambah dengan kebiasaan mengonsumsi makanan yang dapat mengganggu
penyerapan zat besi seperti kopi dan teh secara bersamaan sewaktu makan
menyebabkan serapan zat besi semakin rendah.
Asupan zat besi harian diperlukan untuk mengganti zat besi yang hilang melalui
tinja, air kencing, dan kulit. Kehilangan basis ini diduga sebanyak 14 ug/kg
BB/hari. Jika dihitung berdasarkan jenis kelamin, kehilangan basis zat besi untuk
pria dewasa mendekati 0,9 mg dan 0,8 mg untuk wanita. Masa bayi dan anak-anak
merupakan saat pertumbuhan yang cepat dan pada saat itu zat besi dibutuhkan
dalam jumlah banyak. Begitu juga remaja, terutama remaja wanita yang
mengalami haid, membutuhkan lebih banyak zat besi, karena zat besi yang hilang
dari tubuh saat haid juga banyak. Pada ibu hamil dan menyusui, kebutuhan zat
besi meningkat karena selain dibutuhkan oleh sang ibu, zat besi juga dibutuhkan
oleh bayinya. Pada ibu hamil zat besi juga dibutuhkan oleh plasenta dan janinnya.
Apabila kebutuhan yang tinggi ini tidak dapat dipenuhi maka kemungkinan
terjadinya anemia gizi besi cukup besar (Wirakusumah, 1999).
Tanda dan gejala anemia defisiensi besi dibagi menjadi dua, yaitu tanda
dan gejala anemia defisiensi besi tidak khas serta tanda dan gejala anemia
defisiensi besi yang khas.
Tanda dan gejala anemia defisiensi besi tidak khas hampir sama dengan anemia
pada umumnya yaitu: cepat lelah atau kelelahan, hal ini terjadi karena simpanan
oksigen dalam jaringan otot kurang sehingga metabolisme otot terganggu; nyeri
kepala dan pusing merupakan kompensasi dimana otak kekurangan oksigen,
karena daya angkut hemoglobin berkurang; kesulitan bernapas, terkadang sesak
napas merupakan gejala, dimana tubuh memerlukan lebih banyak lagi oksigen
dengan cara kompensasi pernapasan lebih dipercepat; palpitasi, dimana jantung
27
berdenyut lebih cepat diikuti dengan peningkatan denyut nadi; dan pucat pada
muka, telapak tangan, kuku, membran mukosa mulut dan konjungtiva (Tarwoto,
2007).
Tanda dan gejala yang khas pada anemia defisiensi besi adalah: adanya kuku
sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal dan menjadi
cekung mirip sendok; atropi papil lidah, permukaan lidah menjadi licin dan
mengkilap karena papil lidah menghilang; stomatitis angular, peradangan pada
sudut mulut sehingga nampak seperti bercak berwarna pucat keputihan; disfagia,
nyeri saat menelan karena kerusakan epitel hipofaring; atropi mukosa gaster; dan
adanya peradangan pada mukosa mulut (stomatitis), peradangan pada lidah
(glositis), dan peradangan pada bibir (cheilitis) (Tarwoto, 2007).
BAB 3
ANALISA KASUS
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, Pasien An. AS usia 6 tahun datang
bersama orang tuanya ke IGD RSU AWS Samarinda pada 14 April 2015 dengan
keluhan utama demam tinggi yang tidak kunjung turun selama 4 hari. Diagnosis
masuk dan diagnosis kerja pasien ini adalah Obs. Febris + low intake + anemia
Pro evaluasi. Setelah menjalani proses perawatan selama beberapa hari di ruang
melati, pasien akhirnya didiagnosa akhir dengan Demam Tifoid + Anemia
Defisisensi Besi. Diagnosa ini ditegakkan berdasarkan hasil dari anamnesa,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.
TEORI
KASUS
ANAMNESIS
menderita
demam
pada
awal
4 hari
Demam terutama dialami saat
insidius,
kemudian
naik
macam
gejala
Demam
Anemis
Lidah Kotor
Nyeri tekan perut
Ekstremitas pallor
PEMERIKSAAN PENUNJANG
o Uji
Tubex
digunakan
Leukositosis
tanda
ditemukan
anemia
normokrom
Tifoid
Anemia
Normokrom Normositik
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan penunjang
Manifestasi
klinis
pada
PENATALAKSANAAN
menyarankan
intravena
antipiretik,
dan
penggunaan
pemberian
sesuai
Pengobatan
antibiotik
pada
dasarnya
berhubungan
dengan
keadaan bakteriemia.
DAFTAR PUSTAKA
Ballesteros, I.,M., et al 2012, Intra- and inter Laboratory Evaluation of An Improve
multiple-PCR Method For Detection and Typing of Salmonella, Available from:
http://www.jidc.org/index.php/journal/article/viewFile/2445/728 [Accessed 28 April
2012]
Herawati, M.H., Ghani, L., 2007. Hubungan Faktor Determinan dengan Kejadian
Demam Tifoid di Indonesia tahun 2007. Available from:
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/19409165173.pdf [Accessed 29 April 2015]
th
Murray, P.R., Rosenthal, K.S., and Pfaller, M.A., 2009. Medical Microbiology 6
edition. Canada:Mosby Elsevier :301-309
Ohl, M.E., Miller, S.I., 2006. Salmonella: Model for Bacterial Pathogenesis.
Available from: http://www.vmf.uni- leipzig.de/ik/wimmunologie/Lehre/SS06/SS061-10- Salmonella_Bacterial_pathogenesis.pdf [Accessed 29 April 2015]
32
th
33