Anda di halaman 1dari 53

LAPORAN PBL II

BLOK NEUROLOGY & SPECIFIC SENSE SYSTEM (NSS)


Tuan Mose yang Malang

dr Nur Signa Aini Gumilas, M.Biotech.


Kelompok 4
Cahya Candra P.

G1A010003

Indrasti Banjaransari

G1A010020

Rinda Puspita A.

G1A010033

I Ngurah Ardhi W.

G1A010046

Nurvita Pranasari

G1A010054

Rahmat Vanadi N.

G1A010058

Zhita Wahyu A.

G1A010061

Sarah Shafira A. R.

G1A010072

Provita Rahmawati

G1A010082

Suci Nuryanti

G1A009067

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN


JURUSAN KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2013

BAB I
PENDAHULUAN
Informasi 1
Tn. Mose, usia 38 tahun datang ke IGD diantar keluarganya dengan keluhan
penurunan kesadaran sejak 1 jam yang lalu ketika sedang tiduran. Enam jam
sebelum masuk rumah sakit, pagi hari setelah bangun tidur pasien mengeluh sakit
pada kepalanya yang semakin lama semakin hebat hingga pasien muntah, keluhan
ini tidak hilang dengan mengonsumsi obat penghilang rasa sakit. Sehingga oleh
keluarganya Tn. Mose di bawa ke rumah sakit, di tengah perjalanan Tn. Mose
mengalami kejang selama 10 menit. Sesampainya di IGD pasien mengalami
kejang kembali selama 5 menit.
Seminggu sebelum masuk rumah sakit pasien merasa demam. Pasien
mempunyai riwayat 1 bulan yang lalu, pasien mengeluh batuk, sering berkeringat
pada malam hari dan pasien merasakan berat badannya turun sehingga dengan
keluhan ini pasien berobat ke dokter. Oleh dokter, pasien dilakukan foto rontgen
dan diketahui didapatkan infeksi pada paru-parunya. Pasien diharuskan meminum
obat yang tidak boleh putus sama sekali selama 6 bulan, akan tetapi karena
keterbatasan biaya pasien tidak berobat kembali.
Informasi 2
RPD
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat DM disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat kejang sebelumnya disangkal
Riwayat trauma disangkal

Informasi 3
Pemeriksaan fisik
KU

: penurunan kesadaran

Kesadaran

: E2M3V2

Vital sign
-

TD 120/80

Nadi 100 x/menit

RR 24 x/menit

Suhu 390 C

Orientasi
-

Waktu

: jelek

Orang

: jelek

Tempat: jelek

Kepala dan leher


-

Kepala

: mesosephal, tanda trauma (jejas) (-)

Leher

: kaku kuduk (+)

Mata

: dbn

Jantung

: dbn

Paru

: stridor (+)

Informasi 4
1. Pemeriksaan nervus cranialis
a. N. III: ODS :bentuk pupil bulat isokor diameter 3mm
OS

:reflek cahaya langsung dan tidak langsung (+) sedikit

berkurang
b. N. VI

: kesan parese N. VI bilateral

c. N. VII

: parese facial sinistra tipe sentral

2. Pemeriksaan sensibilitas: sulit dinilai


3. Pemeriksaan neurologis
-

Tes kaku kuduk

: (+)

Tes brudzinski I-IV

: (+)

Tes kernig

: (+)

4. Pemeriksaan fisiologis

: (+) meningkat

5. Kekuatan motorik

: sulit dinilai, kesan kelemahan pada

keempat ekstremitas
6. Pemeriksaan patologis
-

Reflek babinsky

: (+)

Pemeriksaan penunjang
1. Darah lengkap (Hb, leukosit, Ht, Trombosit, hitung jenis) GDS, ureum,
kreatinin, elektrolit
Hb

: 14 gr/dl

Leukosit

: 17.000 mm3

Trombosit

: 150.000 mm3

Hematokrit

: 42%

GDS

: 145 mg/dl

Ureum

: 23 mg/dl

Kreatinin

: 0,7 mg/dl

Kalium

: 4 meq/l

Natrium

: 140 meq/l

Klorida

: 101 meq/l

2. TB ICT

: (+)

3. Foto thorax

: gambaran TB milier paru kanan kiri

4. Brain CT scan
-

Gambaran tuberculoma

Tidak tampak hidrosefalus

Tidak tampak infark

5. Lumbal pungsi
-

Warna

: xantokrom

Leukosit

: 750 x 103 /ml

Neutrophil

: <75%

Protein

: meningkat

Perbandingan glukosa CSS

: Plasma <50%

Diagnosa klinik

penurunan kesadaran, meningeal sign (+), parese N.

III, N. VI, parese N. VII sinistra tipe sentral


Diagnosis topic

meningeal, encephalon

Diagnosis etiologi

meningoensefalitis e.c. tuberculosa

Diagnosa banding

meningoensefalitis e.c virus, meningoensefalitis e.c

parasit
Prognosis
Fungsional

: dubia ad malam

Vitam

: dubia ad malam

Sanam

: dubia ad malam

Terapi
-

IVFD asering 20 tpm

O2 4 ltr/menit

Dexametason iv bolus 0,3 mg/kgBB/hari

Diazepam 10 mgiv pelan

Phenytoin 3x100 mg iv

Paracetamol 3x500 mg (jika panas)

Causa
Tahap 1 (2 bulan)
Isoniazid 300 mg
Rifampicin 600 mg
Pirazinamid 2 gram
Etambutol 750 mg
Tahap lanjut (7-10 bulan)
Isoniazid 300 mg
Rifampicin 600 mg

BAB II
PEMBAHASAN
A. Klarifikasi istilah
1. Kejang
Merupakan masalah neurologik yang terjadi akibat lepas muatan
paroksimal yang berlebihan dari suatu populasi neuron yang sangat mudah
terpicu (fokus kejang) sehingga mengganggu fungsi normal otak (Price
dan Wilson, 2005).
2. Penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh:
a. Gangguan difus (gangguan metabolik)
Pada penyakit metabolik, gangguan neurologik umumnya bilateral
dan hampir selalu simetrik. Selain itu, gejala neurologinya tidak dapat
dilokalisir pada satu susunan anatomi tertentu pada susunan saraf
pusat. Penyebab gangguan kesadaran pada golongan ini terutama
akibat kekurangan O2, kekurangan glukosa, gangguan sirkulasi darah
serta pengaruh berbagai macam toksin
b. Kekurangan O2
Otak yang normal memerlukan 3,3 cc O 2/100 gr otak/menit yang
disebut cerebral metabolic Rate for Oxygen (CMR O 2). Apabila CMR
O2 kurang dari 2,5 cc/100 gr otak/menit akan mulai terjadi gangguan
mental dan umumnya bila kurang dari 2 cc/100 gr otak/menit terjadi
koma
c. Glukosa
Energi otak hanya diperoleh dari glukosa. Tiap gram otak
memerlukan 5,5 mg glukosa/menit. Menurut Hinwich pada glikomi,
gangguan pertama terjadi pada cerebrum dan keudian progresif ke
batang otak yang letaknya lebih kaudal. Menurut Arduini, hipoglikemi
menyebabkan depresi selektif pada susunan saraf pusat yang dimulai
pada formatio retikularis dan kemudian menjalar ke bagian-bagian
lain.
d. Gangguan sirkulasi darah

Untuk mencukupi kebutuhan O2 dan glukosa, aliran darah ke otak


memegang peranan penting. Bila aliran darah ke otak berkurang, O 2
dan glukosa darah juga akan berkurang
e. Peningkatan tekanan intrakranial (Corwin, 2009).
3. Kesadaran
Adalah keadaan mengetahui secara subyektif tentang dunia luar
dan diri sendiri, termasuk mengetahuiakan pikiran sendiri, yaitu kesadaran
akan pikiran, persepsi, mimpi dan sebagainya (Sherwood, 2011).
4. Sakit kepala
Sakit kepala merupakan keluhan utama yang paling sering
disajikan kepada dokter. Setiap jenis sakit kepala mempunyai dasar
organik, walaupun pada sebagian dasar organiknya bersifat psiko-organik
(Sidharta, 2008).
Apabila sesorang dalam hidupnya mengalami banyak kekecewaan
dan kegagalan, hal tersebut akan menyusun ketegangan mental. Keadaan
demikian yang berlarut-larut akan menimbulkan ketegangan pada otot
kepala, leher, dan bahu; serta mendasari sakit kepala psiko-organik
(Sidharta, 2008).
Dasar organo-organik bagi sakit kepala ialah perangsangan
terhadap bangunan-bangunan wilayah kepala dan leher yang peka terhadap
rangsang nyeri. Bangunan-bangunan ekstrakranial yang peka nyeri ialah
otot-otot oksipital, temporal dan frontal, kulit kepala, arteri-arteri subkutis,
dan periosteum tengkorak. Tulang tengkorak sendiri tidak peka nyeri.
Bangunan-bangunan intracranial yang peka nyeri terdiri dari meninges,
terutama durabasalis dan meninges yang mendingini sinus venosus, serta
arteri besar pada basis otak. Sebagian besar jaringan otak sendiri tidak
peka terhadap nyeri (Sidharta, 2008).
Perangsangan terhadap bangunan-bangunan tersebut di atas dapat berupa:
a.

Infeksi selaput otak

b.

Iritasi kimiawi terhadap selaput otak

c.

Peregangan selaput otak

d.

Vasodilatasi arteri intrakranial

e.

Gangguan pembuluh darah ekstrakranial

f.

Gangguan terhadap otot-otot yang mempunyai hubungan dengan

kepala
g.

Nyeri rujukan dari daerah mata, sinus, basis kranii, gigi geligi, dan

daerah leher (Sidharta, 2008).


Nyeri kepala (ICHD-II, 2004)
a. Nyeri kepala primer: suatu nyeri kepala tanpa disertai adanya
penyebab struktural organik, merupakan diagnosis utama, bersifat
idiopatik dan bukan disebabkan adanya penyakit lain.
b. Nyeri kepala sekunder: sakit kepala gejala lain karena penyakit seperti
hipertensi, radang sinus, premenstrual disorders, dan lain-lain.
Klasifikasi nyeri kepala berdasarkan The International Classificaton of
Headache Disorders-II:
a. Nyeri kepala primer
1. Migrain
2. Tension-Type headache (TTH)
3. Cluster Headache dan Trigeminal otonomik chepalagia lain
4. Nyeri kepala primer lain
b. Nyeri kepala sekunder
1. Nyeri kepala yang disebakan karena trauma kepala atau leher.
2. Nyeri kepala yang disebakan karena kerusakan vaskular pada
cranial atau leher.
3. Nyeri kepala yang disebakan karena kerusakan nonvaskular
intracranial.
4. Nyeri kepala yang disebakan karena substansi dan efek
baliknya.
5. Nyeri kepala yang disebakan karena infeksi.
6. Nyeri kepala yang disebakan karena kerusakan homeostasis.
7. Nyeri kepala dan wajah yang disebakan karena pada cranium,
leher, mata, telinga, hidung, sinus, gigi, mulut, atau struktur
fasial dan cranial lain.

8. Nyeri kepala yang disebakan karena masala psikiatrik.


B. Batasan masalah
1) Identitas pasien
a. Nama: Tn. Mose
b. Jenis kelamin: Laki-laki
c. Usia: 38 tahun
2) Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
a. Keluhan utama: penurunan kesadaran
b. Onset: 1 jam yang lalu
c. Kualitas:d. Kuantitas:e. Kronologi: pagi hari setelah bangun tidur pasien mengeluh
sakit kepala yang semakin lama semakin hebat
f. Progesifitas: sakit kepala muntah kejang 10 menit
di perjalanan kejang kembali 5 menit di rumah sakit
g. Keluhan penyerta: muntah, sakit kepala, kejang.
3) Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
a. 1 minggu yang lalu demam, batuk 1 bulan lalu, berkeringat
malam hari, berat badan menurun.
b. Foto rontgen infeksi paru.
c. Mengonsumsi obat yang 6 bulan tidak boleh putus.
4) Riwayat Sosial Ekonomi (RSE)
Menengah ke bawah karena pasien tidak meneruskan
pengobatan karena keterbatasan biaya.
C. Sasaran belajar
1. Jenis-jenis kejang
2. Tingkat kesadaran
3. Gangguan yang terjadi pada Tn. Mose pada system apa?
4. Penyebab penurunan kesadaran
5. Mekanisme kejang
6. Bagaimana hubungan penurunan kesadaran dengan kejang? pathway

7. Beda input spesifik dan non spesifik? Contohnya?


8. Bagaimana fisiologi impuls saraf?
9. Interpretasi GCS dan hubungannya dengan penurunan kesadaran
10. Mekanisme sakit kepala yang menyebabkan muntah
11. Interpretasi kasus tentang orientasi
12. Pada pemeriksaan stridor (+) apakah berkaitan dengan gejala TB? Apakah
menunjukan TB ekstra paru?
13. Pemeriksaan penunjang (sputum, EEG, Pungsi Lumbal)? Perlukah pada
kasus ini dilakukan pemeriksaan tersebut dan atas indikasi apa?
14. Pemeriksaan nervus cranialis (N. III, N. VI, N. VII)
15. Pemeriksaan sensibilitas
16. Pemeriksaan neurologis (tes kaku kuduk, tes brudzinski I-IV, tes kernig)
17. Pemeriksaan fisiologis
18. Pemeriksaan kekuatan motoric
19. Pemeriksaan patologis
20. Pemeriksaan penunjang (darah lengkap), TB ICT, foto thorax, CT scan
21. Meningitis, ensefalitis, TB (definisi, etiologi, tanda & gejala klinis,
pemeriksaan diagnosis dan hasil yang didapatkan, penatalaksanaan)
22. Komplikasi
23. prognosis
D. Pembahasan sasaran belajar
1. Kejang diklasifikasikan sebagai parsial atau generalisata berdasarkan
apakah kesadaran utuh atau lenyap. Kejang parsial dibagi menjadi parsial
sederhana (kesadaran utuh) dan parsial kompleks (kesadaran berubah
tetapi tidak hilang (Price dan Wilson, 2005).

Tabel 1. Klasifikasi Kejang (Price dan Wilson, 2005)


No.
1

Klasifikasi
parsial

Karakteristik
Kesadaran utuh walaupun mungkin berubah;
fokus di satu bagian tetapi dapat menyebar ke

a. Parsial
sederhana

bagian lain
1. Dapat bersifat motoric (gerakan abnormal
unilateral)
2. Dapat

bersifat

membaui,

sensorik

mendengar

(merasakan,

sesuatu

yang

abnormal)
3. Dapat

bersifat

autonomic

(takikardia,

bradikardia, takipnu, kemerahan, rasa


tidak enak di epigastrium)
4. Dapat bersifat psikik (disfagia, gangguan
dayan ingat)
b. Parsial
kompleks

5. Biasanya berlangsung <1 menit


Dimulai sebagai kejang parsial sederhana;
berkembang menjadi perubahan kesadaran
yang disertai:
1. Gejala

motoric,

gejala

sensorik,

otomatisme (mengecap-ngecapkan bibir,


mengunyah, menarik, narik baju)
2. Beberapa

kejang

parsial

kompleks

mungkin berkembang menjadi kejang


generalisata
2.

generalisata

3. Biasanya berlangsung 1-3 menit


Hilangnya kesadaran; tidak ada awitan fokal;

a. Tonik-klonik

bilateral dan simetrik; tidak ada aura.


Spasme tonik-klonik otot; inkotinensia urin

b. absence

dan alvi; menggigit lidat, fase pascaiktus


Sering salah didiagnosis sebagai melamun
1. menatap kosong, kepala sedikit lunglai,
kelopak mata bergetar, atau berkedeip
secara cepat; tonus postural tidak hilang

c. mioklonik

2. berlangsung selama beberapa detik


Kontraksi mirip syok mendadak yang terbatas
di beberapa otot atau tungkai; cenderung
singkat

d. atonik

Hilangnya

secara

mendadak

tonus

otot

e. klonik

disertai lenyapnya postur tubuh (drop attacks)


Gerakan menyentak, repetitive, tajam, lambat,
dan tunggal atau multiple di lengan, tungkai,

f. tonik

atau torso
Peningkatan mendadak tonus otot (menjadi
kaku, kontraksi) wajah dan tubuh bagian atas;
fleksi lengan dan ekstensi tungkai
1. mata kepala mungkin berputar ke satu sisi
2. dapat menyebabkan henti nafas

2. Tingkat kesadaran (level of consciousness) merupakan bagian dari


proses pemeriksaan neurologis. Pengukuran tingkat kesadaran
digunakan glasgow coma scale (Price dan Wilson, 2005).
Tabel 2. Tingkat Kesadaran (Juwono, 1996 ; Price dan Wilson, 2005 ;
Lumbantobing, 2008).
No.
1.

Istilah
sadar

Karakteristik
1. sadar penuh akan sekeliling
2. orientasi dikatakan baik terhadap orang,
tempat, dan waktu
3. kooperatif
4. dapat

mengulang

beberapa

angka

beberapa menit setelah diberitahu


5. bereaksi penuh dan adekuat terhadap
2.
3.

apatis
otomatisme

rangsangan visual, auditorik, dan sensorik


Sikap acuh tak acuh, tidak segera
menjawab ketika ditanya
1. tingkah laku relative normal

(misal

mampu makan sendiri)


2. dapat berbicara dalam kalimat tetapi
kesulitan

mengingat

dan

memberi

penilaian
3. tidak ingat peristiwa-peristiwa sebelum

periode hilangnya kesadaran


4. dapat mengajukan pertanyaan yang sama
berulang kali
5. bertindak secara otomatis tanpa dapat
mengingat apa yang baru saja atau telah
dilakukannya
4.

konfusi

6. dapat mematuhi perintah sederhana


1. melakukan aktivitas yang bertujuan (misal
menyuapkan makanan ke mulut) dengan
gerakan yang canggung
2. disorientasi waktu, tempat, dan / orang
(bertindak seakan-akan tidak sadar)
3. gangguan

daya

ingat,

tidak

mampu

mempertahankan ekspresi atau pikiran


4. biasanya sulit dibangunkan
5.

delirium

5. tidak kooperatif
1. disorientasi waktu, tempat, dan ruang
2. tidak kooperatif
3. agitasi, gelisah, bersifat selalu menolak
(mungin berusaha keluar dan turun dari
tempat tidur, gelisah di tempat tidur,
membuka baju)
4. sulit dibangunkan
5. Kesadaran menurun disertai kekacauan
mental dan motorik seperti disorientasi,
iritatif, salah persepsi terhadap rangsang
sensorik,

6.

somnolen

sering

halusinasi
Penderita mudah

timbul

ilusi,

dibangunkan,

dan
dapat

bereaksi secara motorik atau verbal yang


layak tetapi setelah memberikan respon, ia
terlena
dihentikan

kembali

bila

rangsangan

7.

sopor

Penderita hanya dapat dibangunkan dalam


waktu singkat oleh rangsang nyeri yang

8.

hebat dan berulang-ulang


1. diam, mungkin tampaknya tidur

stupor

2. berespon terhadap rangsang suara yang


keras
3. terganggu oleh cahaya
4. berespon baik terhadap rangsangan rasa
9.

sakit
1. bisu

Stupor dalam

2. sulit dibangunkan (sedikit respon terhadap


rangsang nyeri)
3. berespon terhadap nyeri dengan gerakan
10.

otomatis yang tidak bertujuan


1. tidak sadar

koma

2. tubuh flaksid
3. tidak berespon terhadap rangsang nyeri
maupun verbal
11.

4. reflek masih ada: muntah, lutut, kornea


Koma irreversible 1. reflek hilang
dan kematian

2. pupil terfiksasi dan dilatasi


3. pernafasan dan denyut jantung terhenti

1) Koma
a

Koma supratentorial diensefalik


Semua proses supratentorial yang dapat mengakibatkan
destruksi dan

kompresi pada substansia retikularis diensefalon

(nuklei intralaminares) akan menimbulkan koma. Destruksi ini bisa


terjadi dalam arti morfologi maupun biokimiawi.Destruksi dalam
arti morfologi dapat terjadi akibat perdarahan atau infiltrasi dan
matastasis tumor ganas.Destruksi dalam arti biokimiawi dijumpai
pada meningitis. Dan kompresi dapat disebabakan oleh proses
desak ruang baik yang berupa hematom atau neoplasma (Mardjono
dan Shidarta, 2009).

Koma infratentorial diensefalik


Terdapat dua macam proses patologi di dalam ruang
infrateritorial yang dapat menimbulkan koma, yaitu (Mardjono dan
Shidarta, 2009):
1. Proses patologik di dalam batang otak yang merusak susbstansia
retikularis. Lesi vaskular yang dapat merusak substansia retikularis
mesensefali terjadi karena penyumbatan arteri serebeli superior.
2. Proses di luar batang otak yang mendesak dan mengganggu fungsi
substansia retikularis.
Koma infratentorial akan cepat timbul jika substansia retikularis
mesensefalon mengalami gangguan sehingga tidak bisa berfungsi
baik. Hal ini terjadi akibat perdarahan.Dimana perdarahan di
batang otak sering merusak tegmentum pontis dari pada
mesensefalon (Mardjono dan Shidarta, 2009).

Koma bihemisferik difus


Koma ini terjadi karena metabolisme neural kedua belah
hemisferium terganggu secara difus.Biasanya koma ini terjadi pada
penyakit ensefalopati metabolik primer dan ensefalopati skunder
(Mardjono dan Shidarta, 2009).
Keadaan koma juga dapat dibagi dua, yakni koma diensefalik dan

koma kortikal bihemisfer. Sindroma yang menjurus ke koma diensefalik


ialah sebagai berikut:
1.

Sindroma lesi supratentorial dengan perburukan retro-

kaudal
a.

Tahap diensefalik
(1)
(2)

Perubahan kewaspadaan dan perilaku


Pernafasan sering diselingi oleh tarikan
nafas yang dalam sekali. Dalam tidur
pernafasannya jenis cheyne stokes

(3)

Pupil isokor sempit berdiameter 1-3 mm

(4)

Kedudukan kedua bola mata divergensi

(5)

Pemutaran kepala menimbulkan gerakan


ocular konjugat yang mengarah ke jurusan
yang berlawanan dengan arah pemutaran
kepala (dolls eye movement)

(6)

Hemiparesis memburuk, anggota gerak


ipsilateral menjadi kaku, tetapi masih
bereaksi

terhadap

rangsangan.

Reflex

patologi Babinski dapat ditimbulkan pada


kedua sisi.
b.

Tahap mesensefalon-pons
(1)

Suhu badan naik turun

(2)

Diabetes insipidus

(3)

Pernafasan cheyne stokes berangsur hilang


dan diganti hiperventilasi

(4)

Pupil yang tadinya sempit jadi melebar 2-3


mm yang tidak bereaksi terhadap cahaya

(5)

Gerakan bola mata mulai menunjukkan


diskonjugasi

(6)
c.

Tanggapan motoric bersifat ekstensor.

Tahap pons-medula oblongata


Hiperventilasi

yang

dalam

dan

terus-

menerus mulai mereda. Tetapi pernafasan menjadi


tidak teratur, dengan episode apneu dan pernafasan
menjadi dangkal dan cepat (20-40/menit).
d.

Tahap medula oblongata


(1)

Ini adalah tahap terminal. Pernafasan


menjadi lambat, tak teratur dan dangkal,
sering diselingi inspirasi lalu ekspirasi yang
panjang seolah hendak menghembuskan
nafas terakhir, namun disusul dengan
inspirasi yang terputus-putus.

(2)

Nadi menjadi tidak teratur dan lambat atau


cepat

(3)

Tekanan darah menurun secara tiba-tiba

(4)

Akhirnya pernafasan berhenti dan tidak


lama kemudian pupil melebar. Dengan
pernafasan buatan dan obat presor, tekanan
darah dapat dinaikkan untuk beberapa jam,
tetapi

kematian

sudah

tidak

dapat

dihindarkan.
2.

Sindroma herniasi unkus/kompresi batang otak bagian

lateral
a.

Tahap dini nervus okulomotorius


Anisokoria sedang dengan reaksi cahaya
lambat pada pupil yang melebar.

b.

Tahap lanjut nervus okulomotorius


(1)

Anisokoria dengan pupil yang melebar pada


sisi lesi

(2)

Paralisis N.III ipsilateral

(3)

Stupor atau koma

(4)

Sebelum atau sewaktu orang sakit menjurus


ke stupor, hemiparesis ipsilateral.

(5)

Tidak lama kemudian kedua sisi tubuh


bereaksi dengan gerakan ekstensor pada
perangsangan.

c.

Tahap terminal herniasi unkus


Manifestasinya sama dengan tahap terminal
sindroma sentral perburukan retro-kaudal.

3.

Sindroma lesi infratentorial dengan kompresi diffuse

ascending reticular system


Lesi di fosa posterior serebri yang terletak di luar
batang otak dapat menimbulkan koma dengan 3 jalan yaitu
(a) penekanan langsung pada tegmentum pons, (b) herniasi

ke atas menekan mesensefalon, (c) herniasi ke bawah


menekan medulla oblongata. Gabungan ketiga jenis
kompresi batang otak memberikan gambaran:
a.

Muntah-muntah

b.

Kelumpuhan beberapa saraf otak

c.

Deviation konjugae

d.

Pupil sempit dan tidak bereaksi terhadap cahaya

e.

Proptosis

f.

Kesadaran menurun yang menjurus ke koma

g.

Hiperventilasi.

(Sidharta, 2008).
Sedangkan koma kortikal bihemisferik dalam arti bahwa koma timbul
karena neuron-neuron kortikal kedua bihemisferium tidak dapat bekerja,
dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu kelompok primer dan
sekunder (Sidharta, 2008).
Kelompok primer terjadi karena metabolism neuron terganggu akibat
faktor-faktor intrinsik yang ditentukan oleh gen, sehingga merupakan
inborn error of metabolism dan penyakitnya dikenal sebagai ensefalopati
metabolik primer (Sidharta, 2008).
Kelompok sekunder atau ensefalopati metabolik sekunder terjadi
akibat neuron-neuron kortikal kedua bihemisferium berdegenerasi akibat
komplikasi intoksikasi, gangguan keseimbangan elektrolit, defisiensi
makanan, dan sebagainya (Sidharta, 2008).
Tabel 3. Glasgow Coma Scale (Price dan Wilson, 2005)
No.
1.

Respon
Score
Membuka mata (E)
Spontan: membuka mata spontan
4
Terhadap rangsang suara: membuka mata bila dipanggil 3
atau diperintahkan
Terhadap rangsang nyeri: membuka mata bila ada tekanan 2
pada jari di atas bantalan kuku proksimal
Tidak ada: mata tidak membuka terhadap rangsang apapun

2.

Respon verbal terbaik (V)


Orientasi baik: dapat bercakap-cakap, mengetahui siapa 5
dirinya, dimana ia berada, bulan, dan tahun
Bingung: dapat bercakap-cakap tetapi ada disorientasi pada 4
1 atau lebih sferis
Kata yang diucapkan tidak tepat: percakapan tidak dapat 3
bertahan, susunan kata kacau atau tidak tepat
Tidak dapat dimengerti: mengeluarkan suara (misal 2
merintih) tetapi tidak ada kata-kata yang dapat dikenal
Tidak ada: tidak mengeluarkan suara apapun walaupun 1

3.

diberi rangsang nyeri


Respon motoric terbaik (M)
Mematuhhi perintah: misal angkat tangan ; tunjukan 2 6
jari
Melokalisasi nyeri: tidak mematuhi perintah tetapi 5
berusaha

menunjukan

lokasi

nyeri

dan

mencoba

menghilangkan rasa nyeri tersebut


Reaksi fleksi: lengan fleksi bila diberi rangsang nyeri tetapi 4
tidak ada usaha yang jelas untuk menghilangkan rangsang
nyeri, dan tanpa posisi fleksi abnormal
Fleksi abnormal terhadap nyeri: lengan fleksi di siku dan 3
pronasi, tangan mengepal (postur dekortikasi)
Ekstensi abnormal terhadap nyeri: ekstensi lengan di siku, 2
lengan biasanya adduksi dan bahu berotasi ke dalam
(postur deserebrasi)
Tidak ada: tidak ada respon terhadap nyeri; flaksid

Bila menggunakan skala Glasgow sebagai patokan untuk koma, maka


koma = tidak dapat respons membuka mata, bicara dan gerakan dengan
jumlah = 3 (Lumbantobing, 2008). Setelah dilakukan skoring maka dapat
diambil kesimpulan sebagai hasil kualitatif sebagai berikut (Faqih, 2012):
a. Compos Mentis (GCS: 15-14)
b. Apatis (GCS: 13-12)
c. Somnolen (GCS: 11-10)
d. Delirium (GCS: 9-7)
e. Sporo koma (GCS: 6-4)

f. Koma (GCS: 3)
3. Gangguan pada system apa? Sistem persarafan
4. Penyebab penurunan kesadaran karena adanya gangguan pada penyaluran
impuls saraf dari neuron penggalak kewaspadaan di talamus menuju
neuron pengemban kewaspadaan di korteks serebri (Sidharta, 2008).
5. Mekanisme kejang (Martini, 2012)
Peningkatan tekanan
intrakranial

Penekanan pembuluh darah

hipoperfusi
otak
metabolisme intrasel dan
penurunan produksi ATP
gangguan pompa ion Na/K

Influx Na
>>>>>
Potensial aksi
>>>>>
ion Ca masuk ke membran presinaps >>>>

eksositosis
neurotransmitter
depolarisasi otot di
neuromuscular
junction

retikulum sarkoplasma di
otot melepaskan Ca >>>>>

Kontraksi
>>>>
Kejang

6. Hubungan penurunan kesadaran dan kejang


Penurunan kesadaran dan kejang dapat dihubungkan dengan
peningkatan tekanan intrakranial yang merupakan penyebab terjadinya
kedua keadaan tersebut. Tekanan intrakranial yang disebabkan oleh
infeksi dan penambahan massa jaringan di otak dapat mengakibatkan
kondisi hipoperfusi otak. Kondisi ini menyebabkan hipoksia cerebri
dan gangguan pompa ion Na/K. Hipoksia cerebri menyebabkan
kerusakan saraf dimana terjadi penghalangan impuls dari neuron
penggalak kesadaran di talamus

menuju neuron pengemban

kewaspadaan di korteksi cerebri sehingga terjadi penurunan


kesadaran. Sedangkan gangguan pompa ion Na/K dapat menyebabkan
peningkatan produksi potensial aksi yang berlebihan yang akan
memicu depolarisasi otot di neuromuscular junction. Adanya
depolarisasi

ini

akan

menghasilkan

kontraksi

berlebih

dan

menyebabkan kejang.
7. Input spesifik dan input non spesifik (Mardjono dan Sidharta, 2009)
input

spesifik

Non spesifik

Berjalan melalui
lintasan aferen impuls

neuron-neuron di formatio
reticularis medulla spinalis
dan batang otak, sebagian
ada yang melewati cabang
kolateral dulu

menuju titik tertentu di


korteks serebri
talamus (inti intralaminar
korteks cerebri

kesadaran

Perbedaannya pada input spesifik impuls menuju titik-titik


tertentu di korteks serebri sedangkan input non spesifik impuls menuju
korteks serebri secara keseluruhan dan bertanggung jawab pada
derajat kesadaran seseorang.
Input spesifik merujuk kepada perjalanan impuls aferen yang
khas dimana menghasilkan suatu kesadaran yang khas pula. Lintasan
yang digunakan impuls-impuls tersebut dapat dinamakan lintasan
yang menghubungkan suatu titik pada tubuh dengan suatu titik di
daerah korteks primer (penghantarannya berlangsung dari titik ke
titik), yang berarti bahwa suatu titik pada kulit yang dirangsang
mengirimkan impuls yang akan diterima oleh sekelompok neuron
dititik tertentu daerah reseptif somatosensorik primer. Setibanya
impuls aferen di tingkat korteks terwujudlah suatu kesadaran akan
suatu modalitas perasaan yang spesifik, yaitu perasaan nyeri di kaki
atau di wajah atau suatu penglihatan, penghiduan atau suatu
pendengaran tertentu (Mardjono dan Sidharta, 2009).
Input yang bersifat non-spesifik adalah sebagian dari impuls
aferen spesifik yang disalurkan melalui lintasan aferen non-spesifik

(lintasan ini lebih dikenal sebagai diffuse ascending reticular


system) yang terdiri dari serangkaian neuron-neuron di substansia
retikularis medulla spinalis dan batang otak yang menyalurkan impuls
aferen ke thalamus (inti intralaminar). Inti intralaminar yang
menerima impuls non-spesifik tersebut akan menggalakkan dan
memancarkan impuls yang diterimanya

menuju/

merangsang/

menggiatkan seluruh korteks secara difuse dan bilateral sehingga


timbul kesadaran/kewaspadaan. Karena itu, neuron-neuron inti
intralaminar disebut neuron penggalak kewaspadaan, sedangkan
neuron-neuron diseluruh korteks serebri yang digalakkan disebut
neuron pengemban kewaspadaan (Mardjono dan Sidharta, 2009).
8. Fisiologi impuls saraf
Stimulus buka kanal Na ion Na masuk membrane sel
depolarisasi kanal Na terbuka >> potensial aksi kanal Na
menutup, kanal K membuka ion K keluar repolarisasi
refraktorik.
Potensial aksi menjalar di serabut saraf impuls saraf neuron
presinaps rangsang neurotransmitter kanal Ca membuka ion
Ca fasilitasi neurotransmitter bisa sebabkan eksitatorik atau
inhibitatorik.
9. Interpretasi GCS
E2: pasien membuka mata dengan rangsangan nyeri
M3: reaksi fleksi (dekortikasi), rangsang nyeri memberikan respon
fleksi siku
V2: mengerang (tidak mengucapkan kata, hanya mengerang)
Apabila melihat penilaian kesadaran dengan GCS, maka
keadaan umum Tuan Mose adalah sopor. Sopor adalah keadaan
mengantuk yang dalam, dimana pasien dapat dibangunkan dengan

rangsang kuat, misal nyeri tetapi tidak terbangun sempurna dan tidak
memberikan jawaban verbal yang baik (Setiyohadi et. al., 2009).
Sumber lain menyebutkan untuk interpretasi GCS adalah sebagai
berikut:
1.
2.
3.
4.
5.

GCS = E4M6V5 (15) : compos mentis


GCS 7 : koma
GCS = E1M1V1 (3) : koma dalam
GCS = E4M6V- : Afasia motorik
GCS = E4M1V1 : coma vigil
Jika nilai GCS nya diantara 15 dan 3 berarti kesadarannya

menurun. Penurunan kesadaran ini bisa ringan, sedang atau berat.


Dianggap ringan, bilai nilai total GCS nya 14 sampai 13 sedang nilai
12 sampai 9 adalah kesadaran menurun sedang, dan bila kurang dari 9
maka penurunan kesadaran cukup berat.
10. Mekanisme sakit kepala yang menyebabkan muntah
Sakit kepala TIK meningkat penekanan pada medulla
oblongata

terstimulasi

chemotriggerzone

(CTZ)

sebagai

kemoreseptor pusat muntah perlambatan pengosongan lambung


mual muntah (Sibernagi, 2012).
11. Orientasi terhadap orang (individu), waktu dan tempat perlu dinilai.
Orientasi merupakan kemampuan untuk mengaitkan keadaan
disekitarnya dengan pengalaman masa lampau. Orientasi terhadap
waktu dan tempat dapat dianggap sebagai ukuran memori jangka
pendek yaitu kemampuan pasien memantau perubahan secara
continue. Bila orientasi pasien terganggu, hal ini dapat menunjukkan
bahwa memori jangka pendeknya terganggu. Pemeriksaan orientasi
kepada pasien ditanyakan pertanyaan berikut (Mardjono dan Sidharta,
2009):
a. Orientasi terhadap orang
Siapa nama anda? Berapa usia anda? Apakah tugas anda?
Kapan anda dilahirkan? Apakah ia mengenal orang lain di
sekitar anda? dan sebagainya.

b. Orientasi waktu
Hari apa sekarang? Sekarang tanggal berapa? Bulan
berapa? Tahun berapa? dan sebagainya.
c. Orientasi tempat
Dimana sekarang kita berada? Apa nama tempat ini?
Dilokasi mana sekarang kita berada? dan sebagainya.
12. Stridor adalah bunyi kontinyu yang dihasilkan oleh getaran jalan nafas
ekstrathorax dan merupakan suara respirasi bernada tinggi, berisik
seperti orang mengorok pada fase inspirasi, serta merupakan suatu
tanda obstruksi saluran pernapasan. Penyebab stridor adalah sumbatan
laring atau trakea. Stridor bukan merupakan penanda gejala TB ekstra
paru. Suara ini dapat terdengar tanpa menggunakan alat bantu
stetoskop. Pada pasien ini stridor terjadi akibat pasien mengalami
penurunan kesadaran hingga tahap koma sehingga yang terjadi adalah
lidah tertarik ke belakang dan menutupi saluran pernafasannya
sehingga dihasilkan suara stridor (Bickley, 2008).
13. Pemeriksaan penunjang sputum.
Indikasi pemeriksaan sputum yakni di duga terdapat penyakit
pada paru-paru. Manfaat pemeriksaan sputum antara lain pemeriksaan
sputum bersifat mikroskopik dan penting untuk diagnosis etiologi
berbagai penyakit pernafasan, serta dapat menjelaskan organisme
penyebab penyakit, contoh : Tuberculosis.
Untuk

pemeriksaan

sputum

mungkin

tidak

dilakukan,

diarenakan dalam memeriksa sputum dibutuhkan kesadaran yang baik.


Sedangkan dalam kasus, pasien dalam kesadaran yang tida baik. Maka
dari itu, bisa dipilih pemeriksaan lain seperti TB ICT.
14. Pemeriksaan nervus cranialis
1)

Pemeriksaan N. VI

a.

Fungsi: Somatomotorik.

b. Menginervasi m. Rektus eksternus (lateralis). Kerja mata ini


menyebabkan lirik mata ke arah temporal
c. Fungsi otot bola mata dinilai dengan keenam arah utama
yaitu lateral. Lateral atas, medial atas, medial bawah, lateral
bawah, keatas dan kebawah. Pasien disuruh mengikuti arah
pemeriksaan yang dilakukan pemeriksa sesuai dengan
keenam arah tersebut. Normal bila pasien dapat mengikuti
arah dengan baik. Terbatas bila pasien tidak dapat mengikuti
dengan baik karena kelemahan otot mata, ninstagmus bila
gerakan bola mata pasien bolak balik involunter.
d. Interpretasi kesan n. VI bilateral, bisanya disebakan oleh
kerusakan nuklear. Biasanya terdapat pada penyakit
meningitis dan ensefalitis.
2)

Pemeriksaan N. VII
a. Fungsi motorik : Kesimetrisan muka (kerutan dahi, pejaman
mata, plika nasolabialis, sudut mulut)

b.

Asimetris jelas : lesi di perifer

c.

Lesi di sentral : dahi normal, dapat simetris waktu istirahat


d. Pemeriksaan : - angkat alis dan kerutkan dahi, pejamkan
mata, menyeringai menunjukkan gigi geligi, mencucurkan
bibir, gembungkan pipi.
e. Chovstek : ketokan bagian depan telinga + kontraksi
otot
f. Fungsi pengecapan : Sensoris 2/3 anterior lidah
g. Dengan menjulurkan lidah, ditaruh berbagai reseptor
rangsang rasa
3). Cara pemeriksaan nervus III (Lumbantobing, 2008)

Pemeriksaan ptosis
Inspeksi :

Melihat apakah kelopak mata atas memotong iris pada titik yang sama
secara bilateral atau tidak.

Melihat apakah pasien mendongakkan kepala ke atas untuk melihat


objek yang berada di depan pasien

Melihat apakah pasien cenderung mengangkat alis untuk melihat objek


yang berada di depan
Palpasi (untuk menilai ptosis karena kelumpuhan M.levator
palpebrae akibat kelumpuhan N III), caranya :

Meminta pasien memejamkan mata, kemudian disuruh membukanya

Saat pasien membuka mata, lakukan fiksasi dengan cara memegang


palpebra superior serta dengan menekan alis mata dengan tangan yang lain.
b

Pupil
Pemeriksaan pupil meliputi :
Bentuk dan ukuran pupil.
Bentuk yang normal adalah bulat. Ukuran pupil yang normal
kira-kira 2-3 mm (garis tengah). Pupil yang mengecil disebut
Meiosis, yang biasanya terdapat pada Sindroma Horner, pupil
Argyl Robertson( sifilis, DM, multiple sclerosis). Sedangkan
pupil yang melebar disebut mydriasis, yang biasanya terdapat
pada parese/ paralisa m. sphincter dan kelainan psikis yaitu
histeris
Perbandingan pupil kanan dengan kiri
Perbedaan diameter pupil

sebesar 1 mm masih dianggal

normal. Bila antara pupil kanan dengan kiri sama besarnya


maka disebut isokor. Bila tidak sama besar disebut anisokor.
c

Refleks pupil
Terdiri atas :
Reflek cahaya
Diperiksa mata kanan dan kiri sendiri-sendiri. Satu mata
ditutup dan penderita disuruh melihat jauh supaya tidak ada
akomodasi dan supaya otot sphincter relaksasi. Kemudian
diberi cahaya dari samping mata. Pemeriksa tidak boleh

berada ditempat yang cahayanya langsung mengenai mata.


Dalam keadaan normal maka pupil akan kontriksi
Reflek konsensual (tidak langsung)
Adalah reflek cahaya disalah satu mata, dimana reaksi juga
akan terjadi pada mata yang lain. Mata tidak boleh langsung
terkena cahaya, diantara kedua mata diletakkan selembar
kertas. Mata sebelah diberi cahaya, maka normal mata yang
lain akan kontriksi juga.
Interpretasi informasi
ODS : normal
OS : ada kelainan pada nervus III
15. Pemeriksaan sensibilitas
Adanya gangguan pada otak, medulla spinalis, dan saraf tepi
dapat menimbulkan gangguan sensorik. Gangguan ini tidak tampak
seperti halnya pada gangguan motorik maupun trofi otot. Gangguan
sensorik dapat menimbulkan perasaan kesemutan atau baal (parestesi),
kebas atau mati rasa, kurang sensitif (hipestesi) dan ada pula yang
sangat sensitif (hiperestesi). Pemeriksaan sensorik adalah pemeriksaan
yang paling sulit di antara pemeriksaan neurologik yang lain karena
sangat subjektif. Sehubungan dengan pemeriksaan fungsi sensorik
1

maka beberapa hal berikut ini harus dipahami dulu:


Kesadaran penderita harus penuh dan tajam. Penderita tidak boleh
dalam keadaan lelah, kelelahan akan mengakibatkan gangguan

perhatian serta memperlambat waktu reaksi.


Prosedur pemeriksan harus benar-benar dimengerti oleh penderita,
karena pemeriksaan fungsi sensorik benar-benar memerlukan

kerja

sama yang sebaik-baiknya antara pemeriksa dan penderita. Dengan


demikian cara dan tujuan pemeriksaan harus dijelaskan kepada
3

penderita dengan istilah yang mudah dimengerti olehnya.


Kadang-kadang terlihat adanya manifestasi obyektif ketika dilakukan
pemeriksaan anggota gerak atau bagian tubuh yang dirangsang,

misalnya penderita menyeringai, mata berkedip-kedip serta perubahan


4

sikap tubuh.
Yang dinilai bukan hanya ada atau tidak adanya sensasi tetapi juga
meliputi perbedaan-perbedaan sensasi yang ringan, dengan demikian

harus dicatat gradasi atau tingkat perbedaannya.


Ketajaman persepsi dan interpretasi rangsangan berbeda pada setiap
individu, pada tiap bagian tubuh, pada individu yang sama tetapi dalam
situasi yang berlainan. Dengan demikian dianjurkan untuk melakukan

pemeriksaan ulangan pada hari berikutnya.


Azas simetris: pemeriksaan bagian kiri harus selalu dibandingkan

dengan bagian kanan. Hal ini untuk menjamin kecermatan pemeriksaan.


Pemeriksaan ini harus dikerjakan dengan sabar (jangan tergesa-gesa),
menggunakan alat yang sesuai dengan kebutuhan/ tujuan, tanpa
menyakiti penderita, dan penderita tidak boleh dalam keadaan tegang.

Bahan yang dipakai untuk pemeriksaan sensorik meliputi:


Jarum berujung tajam dan tumpul (dapat digunakan jarum pentul atau

jarum pada palu refleks) untuk rasa nyeri superficial.


Kuas halus, kapas, bulu, tissue, atau bila terpaksa dengan ujung jari tangan

yang disentuhkan ke kulit secara halus sekali untuk rasa raba/taktil.


Tabung yang diisi air dingin atau air panas untuk sensasi suhu. Lebih baik
menggunakan tabung dari metal daripada tabung gelas karena gelas
merupakan konduktor yang buruk. Untuk sensai dingin menggunakan air
bersuhu 5-10C dan sensasi panas diperlukan suhu 40-45C. suhu kurang

4
5

dari 5C dan lebih dari 45C dapat menimbulkan rasa nyeri.


Garpu tala berfrekuensi 128 atau 256 Hz untuk sensasi getar.
Lain-lain (untuk pemeriksaan fungsi sensorik diskriminatif), seperti:
Jangka untuk two point tactile discrimination
Benda-benda berbentuk (kunci, uang logam, botol, dan lainlain) untuk pemeriksaan stereognosis.
Pensil untuk pemeriksaan graphestesi.
Untuk pemeriksaan sensasi gerak dan posisi tidak diperlukan alat khusus.

CARA PEMERIKSAAN SENSORIK


A Anamnesis
a Apa yang dikeluhkan. Keluhan dapat berupa:
1) kesemutan atau baal (parestesi)
2) rangsang yang tidak nyeri dirasakan sebagai nyeri
(disestesi/painful parestesi)

3)
4)
5)
6)

b
c

kurang peka (hipestesi)


terlalu peka (hiperestesi)
gangguan keseimbangan dan gait (gaya berjalan)
modalitas sensorik normal tetapi tidak bias mengenal

benda pada perabaan tangan (astereognosis)


7) lain-lain keluhan
Kapan timbulnya keluhan.
Lokasi keluhan.
Keluhan positif semacam parestesi, disestesi dan
nyeri biasanya dapat dilokalisir, tetapi gejala-gejala negative

seperti hipestesi dan anogsia sulit dilokalisir.


Sifat keluhan.
Penderita diminta menggambarkan sifat keluhan.
Pada keluhan nyeri perlu juga diketahui derajat rasa nyeri

yang timbul.
Kejadian-kejadian tertentu yang berkaitan.
Apakah ada kejadian-kejadian
terjadinya

keluhan.

Misalnya

pada

yang
HNP,

memicu
penderita

merasakan ischialgia pada waktu mengangkat benda berat,


dan

nyeri

meningkat

pada

keadaan-keadaan

yang

menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, misalnya


f

batuk, mengejan, bersin), dan lain-lain.


Kelainan neurologis yang menyertai.
Dapat berupa kelemahan/gangguan

motorik,

gangguan bahasa, kejang, gangguan defekasi dan miksi, dan


gangguan saraf otonom.
B Pemeriksaan fisik
1 Pemeriksaan modalitas
Modalitas primer dari sensasi somatik (seperti rasa nyeri,
raba, posisi, getar dan suhu) diperiksa lebih dulu sebelum
memeriksa fungsi sensorik diskriminatif/kortikal.
a. Pemeriksaan sensasi nyeri superfisial
Nyeri merupakan sensasi yang paling baik untuk
menentukan batas gangguan sensorik. Alat yang digunakan
adalah jarum berujung tajam dan tumpul. Cara pemerikasan:
a) Mata penderita ditutup
b) Pemeriksa terlebih dahulu mencoba jarum pada dirinya sendiri.
c) Tekanan terhadap kulit penderita seminimal mungkin, jangan
sampai menimbulkan perlukaan.

d) Rangsangan terhadap terhadap kulit dilakukan dengan ujung


runcing dan ujung tumpul secara bergantian. Penderita diminta
menyatakan sensasinya sesuai yang dirasakan. Penderita jangan
ditanya: apakah anda merasakan ini atau apakah ini runcing?
e) Bandingkan daerah yang abnormal dengan daerah normal yang
kontralateral tetapi sama (misalnya: lengan bawah volar kanan
dengan kiri)
f) Penderita juga diminta menyatakan apakah terdapat perbedaan
intensitas ketajaman rangsang di derah yang berlainan.
g) Apabila dicurigai daerah yang sensasinya menurun/meninggi maka
rangsangan dimulai dari daerah tadi ke arah yang normal.
b. Pemeriksaan sensasi nyeri tekan dalam
Pemeriksaan dilakukan dengan cara menekan tendo Achilles,
fascia antara jari tangan IV dan V atau testis.
c. Pemeriksaan sensasi taktil/raba
Alat yang dipakai adalah kapas, tissue, bulu, kuas halus, dan
a
b
c

lain-lain. Cara pemeriksaan :


Mata penderita ditutup
Pemeriksa terlebih dahulu mencoba alat pada dirinya sendiri.
Stimulasi harus seringan mungkin, jangan sampai memberikan
tekanan terhadap jaringan subkutan. Tekanan dapat ditambah sedikit
bila memeriksa telapak tangan atau telapak kaki yang kulitnya lebih

tebal.
Mulailah dari daerah yang dicurigai abnormal menuju daerah yang
normal. Bandingkan daerah yang abnormal dengan daerah normal
yang kontralateral tetapi sama (misalnya: lengan bawah volar kanan

dengan kiri)
Penderita diminta untuk mengatakan ya atau tidak apabila
merasakan adanya rangsang, dan sekaligus juga diminta untuk
menyatakan tempat atau bagian tubuh mana yang dirangsang.
d. Pemeriksaan sensasi getar/vibrasi
Alat yang digunakan adalah garpu tala berfrekuensi 128 atau

a
b

256 Hz. Cara pemeriksaan:


Garpu tala digetarkan dengan memukulkan pada benda padat/keras.
Kemudian pangkal garpu tala diletakkan pada daerah dengan tulang
yang menonjol seperti ibu jari kaki, pergelangan tangan, maleolus

lateralis/medialis, procc. spinosus vertebrae, siku, bagian lateral


c
d
e

clavicula, lutut, tibia, sendi-sendi jari dan lainnya. (Gambar 1)


Bandingkan antara kanan dan kiri.
Catat intensitas dan lamanya vibrasi.
Untuk penentuan lebih cermat, garpu tala kemudian dipindahkan
pada bagian tubuh yang sama pada pemeriksa. Apabila pemeriksa
masih merasakan getaran, berarti rasa getar penderita sudah
menurun.
Pada kasus di dapatkan hasil pemeriksaan sensibiiltas pasien
adalah sulit dinilai. Salah satu syarat dilakukan pemeriksaan
sensibilitas kesadaran pasien harus penuh dan harus ada
komunilasi anatara pasien dengan dokter yang baik, namun
pada kasus ini kesadaran pasien menurun sehingga
pemeriksaan sensibilitas sulit dinilai.

16.

Pemeriksaan
neurolo

a.

gis

Kaku kuduk
Tangan
pemeriksa
ditempatkan

di

bawah kepala pasien yang sedang berbaring. Kemudian kepala


ditekuk (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai dada. Selama
penekukan ini diperhatikan adanya tahanan. Bila terdapat kaku
kuduk didapatkan tahanan dan dagu tidak mencapai dada. Untuk
pasien yang kesadarannya menurun, sebaiknya penekukan kepala
dilakukan sewaktu pernafasan pasien dalam keadaan ekspirasi
(Lumbantobing, 2008).
Kaku kuduk adalah salah satu bagian dari pemeriksaan
Meningeal Sign. Apabila pemeriksaan ini positif maka merupakan
suatu tanda dari meningitis. Kaku kuduk terjadi karena adanya

inflamasi pada nervus cranialis XI yaitu acessorius. Nervus ini


merupakan nervus yang kerjanya dominan sistem motorik, yaitu
mempersyarafi

dua

musculus

pada

bagian

leher

(M.

Sternocleidomastoideus dan M. Trapezius). Sehingga untuk


melakukan pemeriksaan kaku kuduk yang memfleksikan bagian
kepala ke arah sternum maka akan terasa sakit dan tidak bisa
menempel selayaknya orang normal (Lumbantobing, 2008).
b.

Kernig Sign
Penderita berbaring, paha difleksikan pada persendian panggul
sampai membuat sudut 90 derajat. Tungkai bawah diekstensikan
pada persendian lutut. Ekstensikan sampai dengan sudut 135
derajat antara tungkai bawah dan atas. Bila nyeri atau ada tahanan
kernig sign + (Lumbantobing, 2008).

c.

Pemeriksaan brudzinski I-IV (Lumbantobing, 2008).


a. Brudzinski I (Brudzinskis Neck Sign)
Caranya: Tangan ditempatkan di bawah kepala yang
sedang baring. Kita tekuk kepala (fleksi) sampai dagu
mencapai dada. Tangan yang satu lagi sebaiknya ditempatkan
di dada pasien untuk mencegah diangkatnya badan.

Interpretasi: Tanda brudzinski I (+) bila terdapat fleksi pada kedua


tungkai
b. Brudzinski II (Brudzinskis Contra-Lateral Leg Sign)

Caranya: Pada pasien yang sedang baring, satu tungkai di


fleksikan pada persendian panggul, sedang tungkai yang
satunya lagi berada dalam keadaan ekstensi (lurus).

Interpretasi: Tanda Brudzinski II (+) bila tungkai yang satunya ikut


pula terfleksi.
c. Brudzinski III
Caranya: Tekan os zigomaticum
Interpretasi: Tanda Brudzinski III (+) bila terjadi fleksi
involunter ekstremitas superior (lengan tangan fleksi)
d. Brudzinski IV
Caranya: Tekan simfisis ossis pubis (SOP)
Interpretasi: Tanda Brudzinski IV (+) bila terjadi fleksi
involunter ekstremitas inferior (kaki)
17. Pemeriksaan fisiologis (cara pemeriksaan, interpretasi, mengapa bisa
a.

b.

meningkat, mengapa bisa menurun)?


Prosedur tindakan pelaksanaan:
- Penentuan lokasi pengetukan yaitu tendon, periosteum, dan kulit
- Anggota gerak yang akan diketuk harus dalam keadaan santai
- Dibandingkan dengan sisi lainnya dalam posisi yang simetris
Reflek Fisiologis di Ekstremitas Atas:
1. Reflek bisep
a. Pasien duduk santai
b. Lengan rileks, posisi antara fleksi dan ekstensi dan sedikit
pronasi, lengan diletakkan di atas lengan pemeriksa
c. Ibu jari pemeriksa diletakkan diatas tendo bisep, lalu pukulah
ibu jari tadi dengan palu reflek
d. Respon: fleksi ringan di siku
2. Reflek trisep
a. Pasien duduk rileks
b. Lengan pasien diletakkan di atas lengan pemeriksa

c. Pukulah tendo trisep melalui fosa olekrani


d. Respon: ekstensi lengan bawah di siku
3. Reflek brakhioradialis
a. Posisi pasien sama dengan pemeriksaan reflek bisep
b. Pukulah tendo brakhioradialis pada radius distal dengan palu
reflek
c. Respon: muncul gerakan menyentak pada lengan
4. Reflek periosteum radialis
a. Lengan bawah sedikit di fleksikan pada sendi siku dan tangan
sedikit di pronasikan
b. Ketuk periosteum ujung distal os. Radialis
c. Respon: fleksi lengan bawah dan supinasi tangan
5. Reflek periosteum ulnaris
a. Lengan bawah sedikit di fleksikan pada siku, sikap tangan
antara supinasi dan pronasi
b. Ketukan pada periosteum os. Ulnaris
c. Respon: pronasi tangan
c.
1.

Reflek Fisiologis Dinding Perut:


Reflek dinding perut
a. Kulit dinding perut digores dengan bagian tumpul palu reflek
dengan arah dari samping ke garis tengah
b. Respon: kontraksi dinding perut

d.

Reflek Fisiologis Ekstremitas Bawah:


1. Reflek patella
a. Pasien duduk santai dengan tungkai menjuntai
b. Raba daerah kanan-kiri tendo untuk menentukan daerah yang
tepat
c. Tangan pemeriksa memegang paha pasien
d. Ketuk tendo patela dengan palu reflek menggunakan tangan
yang lain
e. Respon: pemeriksa akan merasakan kontraksi otot kuadrisep,
ekstensi tungkai bawah
2. Reflek achilles
a. Penderita berbaring terlentang
b. Kaki yang akan diperiksa ditumpangkan pada os. Tibia kaki
lainnya
c. 1 tangan pemeriksa memegang jari-jari kaki yang akan
diperiksa, sedangkan tangan yang lain mengetuk tendo achilles
d. Respon: plantar fleksi kaki
3. Reflek plantar
a. Telapak kaki pasien digores dengan ujung tumpul palu reflek
b. Respon: plantar fleksi kaki dan fleksi semua jari kaki

(Sidharta, 2005).
PERLU DIPERHATIKAN:
1. Relaksasi sempurna: orang coba harus relaks dengan posisi
seenaknya. Bagian (anggota gerak) yang akan diperiksa harus
terletak sepasif mungkin (lemas) tanpa ada usaha orang coba
untuk mempertahankan posisinya.
2. Harus ada ketegangan optimal dari otot yang akan diperiksa. Ini
dapat dicapai bila posisi dan letak anggota gerak orang coba diatur
dengan baik.
3. Pemeriksa mengetukkan Hammer dengan gerakan fleksi pada
sendi

tangan

dengan

kekuatan

yang

sama,

yang

dapat

menimbulkan regangan yang cukup.


18. Pemeriksaan kekuatan motorik
a. Dimulai dari deltoid, minta pasien untuk mengangkat ledua lengan
atas ke anterior simultan dengan tahanan yang diberikan pemeriksa.
Bandingkan kanan dan kiri. m. Deltoid disarafi oleh C5 melalui N.
Axillaris
b. Minta pasien untuk untuk ekstensi antebrachiumdan anterofleksi
seperti membawa nampan (supinasi). minta pasien untuk
memejamkan mata dan bertrahan dalam posisi tersibut selama 10
hitungan.

Normal

mampu

bertahan.

Bila

ada

kelemahan

ekstremitas superior, mata akan pronasi (pronator drift) dan jatuh.


Pronator drift merupakan indikator kelumpuhan/ kelemahan UMN.
Pada UMN otot supinator ekstemitas superior lebih lemah dari
pronator, sehingga cenderung pronasi. Tes ini juga baik untuk
menguji konsistensi interna, sebab pasien yang pura-pura akan
selalu menjatuhkan tangan tanpa disertai pronasi.
c. Periksa kekuatan fleksi lengan bawah dengan memegang
pergelangan tangan dan memberi tahanan pada penderita dari sisi
atas, minta pasien untuk fleksi lengan bawah. Ulangi dan
bandingkan dengan lengan yang lain. Tes ini untuk memeriksa m.
biseps

brachii

musculocutaneus.

yang

disarafi

oleh

C5&6

melalui

d. Mintalah pasien untuk ekstensi lengan bawah melawan tahan yang


diberikan pemeriksa. Mulailah dari posisi fleksi maksimal, posisi
ini sangat sensitif untuk mengetahui penurunan kekuatan.
Bandingkan dengan sisi kontra lateral. Tes ini untuk memeriksa m.
triseps brachii yang disarafi oleh C6&7 melalui nervus radialis.
e. Periksa kekuatan ekstensi tangan dengan meminta pasien ekstensi
perdelangan tangan melawan tahanan dari pemeriksa. Bandingkan
dengan sisi kontralateral. Tes ini untuk memeriksa otot ekstensor
lengan bawah yang disarafi oleh C6&7 melalui N radialis. N
radialis nerupakan saraf otot extensor lengan, mensarai semua otot
ekstensor pada lengan atas dan lengan bawah.
f. Periksalah tangan pasien, cari atrofi otot intrinsik, thenar,
hipothenar. Periksalah genggaman pasien dengan meminta
penderita menggenggam jari pemeriksa sekuatnya dan tidak
melepas genggaman saak memeriksa mencoba menarik jarinya.
Normal pemeriksa tida dapat menarik jari dari genggaman pasien.
Bandingkan dengan sisi kontra lateral. Tes ini untuk memeriksa
kekuatan otot fleksor lengan bawah dan otot intrinsik tangan.
g. Periksalah otot intrinsik tangan sekali lagi, dengan meminta pasien
abduksi pada semua jari dan melawan tekanan/ tahanan pemeriksa.
Normal pasien dapat menahan tekanan pemeriksa. Otot abduksi jari
disarafi oleh T1 melalui N ulnaris.
h. Periksalah kekuatan oposisi ibujari dengan meminta pasien
menyentuhkan ujung ibujari dengan jari jelunjuknya sendiri dan
melawan tahanan pemeriksa.bandingkan dengan sisi kontra lateral.
Oposisi ibujari disarafi oleh C8&T1 melalui N. medianus.
i. Periksalah fleksi sendi panggul. Pasien dal posisi berbaring.
Mintalah pasien mengangkat tungkai denga fleksi sendi panggul
melawan tahanan pemeriksa. Bandingkan dengan sisi kontra
lateral. Tes ini memeriksa m. iliopsoas Fleksi panggul disarafi olef
L2&3 melalui N femoralis.

j. Periksalah adduksi tungkai dengan meletakkan tangan pemeriksa


pada sisi dalam paha dan mintalah penderita untuk adduksi kedua
tungkai. Adduksi tungkai disarafi oleh L2,3 dan 4
k. Periksalah abduksi tungkai dengan meletakkan tangan pemeriksa
pada sisi luar paha dan mintalah penderita untuk abduksi kedua
tungkai. Abduksi tungkai disarafi oleh L4,5dan S1
l. Periksalah ekstensi panggul dengan meminta pasienmenekan
tungkai kebawah melawan tahanan tangan pemeriksa yang ada di
bawah tungkai. Bandingkan dengan sisi kontra lateral. Tes ini
memeriksa m. gluteus maksimus. Ekstensi panggul disarafi oleh
L4&5 melalui N. gluteus
m. Periksalah ekstensi lutut dengan meletakkan tangan pemeriksa di
bawah lutut dan pergelangan kaki, mintalah pasien ektensi lutut
melawan tahan pemeriksa, bandingkan dengan sisi kontra lateral.
Tes ini memeriksa m. quadriseps femoris. Ekstensi lutut oleh m.
quadriseps dan disarafi oleh L3&4 melalui N femoralis
n. Periksalah fleksi lutut dengan memegang lutut dan memberikan
tahanan pada pergelangan kaki. Mintalah pasien menarik tumit
kearah pantat sekuat mungkin (fleksi) melawan tahanan pemeriksa.
Bandingkan dengan sisi kontra lateal. Tes ini memeriksa otot
hamstring, yang disarafi oleh L5 &S1 melalui Nsciatica
o. Periksalah dorsofleksi dengan meminta pasien dorsofleksi kaki
sekuat mungkin melawan tahanan pemeriksa. Bandingkan sisi
kontra lateral. Tes ini memeriksa kompartemen anterior cruris.
Dorsofleksi kaki disarafi oleh L4&5 melalui N peroneus.
p. Periksalah plantar fleksi dengan meminta pasien plantar fleksi
sekuat mungkin melawan tahanan pemeriksa. Bandingkan dengan
sisi kontra lateral. Tes ini memeriksa m. gastroknemius dan soleus
di kompartemen posterior cruris. Planta fleksi disarafi oleh S1&2
melalui N. tibialis

q. Mintalah pasien ekstensi ibu jari kaki melawan tahanan pemeriksa.


Tes ini memeriksa m. ekstensor halucis longus yang disarafi oleh
L5.
Pada pemeriksaan kekuatan motorik didapatkan hasil sulit dinilai ini
berkaitan dengan pemeriksaan kekuatan motorik yang memerlukan
koorperatif dari pasien, sedangkan pada kasus didapatkan penurunan
kesadaran hal ini menimbulkan pemeriksaan sulit dinilai.
19. Pemeriksaan patologis meliputi:
1. Reflek hoffmann tromer
Tangan pasien ditumpu oleh tangan pemeriksa, kemusian ujung
jari tangan pemeriksa yang lain disentilkan ke ujung jari tengah
tangan penderita. Kita lihat respon jari tangan penderita, yaitu fleksi
jari-jari yang lain, aduksi dari ibu jari. Reflek positif bilateral bisa
dijumpai pada 25 % orang normal, sedangkan unilateral hoffmann
indikasi untuk suatu lesi UMN.
2. Reflek babinski:
1. Pasien diposisikan berbaring supinasi dengan kedua kaki
diluruskan.
2. Tangan kiri pemeriksa memegang pergelangan kaki pasien
agar kaki tetap pada tempatnya.
3. Lakukan penggoresan telapak kaki bagian lateral dari
posterior ke anterior
4. Respon : posisitf apabila terdapat gerakan dorsofleksi ibu
jari kaki dan pengembangan jari kaki lainnya.

Gambar 1. Reflek Babinski


3. Reflek Oppenheim

Lakukan goresan pada sepanjang tepi depan tuilang tibia dari


atas ke bawah, dengan kedua jari telunjuk dan tengah., jika posistidf
maka akan timbul reflek seperti babinski

Gambar 2. Reflek Oppenheim


4. Reflek gordon
Lakukan goresan / memencet otot gastrocnemius . jika posistif
maka akan timbul reflek seperti babinski.

Gambar 3. Reflek Gordon


5. Reflek schaefer
Lakukan pemencetan pada tendo achiles. Jika positif maka akan
timbul reflek seperti babinski.

Gambar 4. Reflek Schaefer


6. Reflek chaddock
Lakukan goresan sepanjang tepi lateral punggung kaki di
luar telapak kaki, dari tumit ke depan. Jika posistif maka akan
timbul reflek seperti babinski.

Gambar 5. Reflek Chaddok


2. Tabel Nilai Rujukan Laboratorium
Hemoglobin
leukosit
hematokrit
trombosit
GDS
Kreatinin
ureum
kalium
natrium
klorida
TB ICT

Normal
13 gr/dl-18 gr/dl
4500-10.000 sel/mm3
40-52%
150.000-400.000 sel/mm3
200 mg/dl
0,7-1,2 mg/dl
5-25 mg/dl
3,5-5,0 meq/l
135-145 meq/l
95-105 meq/l
(-)

Info
14 gr/dl
17.000 sel/mm3
42%
150.000 sel/mm3
145 mg/dl
0,7 mg/dl
23 mg/dl
4 meq/l
140 meq/l
101 meq/l
(+)

interpretasi
normal
meningkat
normal
normal
normal
normal
normal
normal
normal
normal
Apabila
serum
mengandung
antibodi

IgG

terhadap
M.tuberculosis,
maka

antibodi

akan

berikatan

dengan
dan
garis

antigen

membentuk
warna

merah muda
20. Pemeriksaan TB ICT, foto thorax, pungsi lumbal
ICT
tuberculosis)

Uji

Immunochromatographic

adalah

uji

serologi

tuberculosis

untuk mendeteksi

(ICT
antibodi

M.tuberculosis dalam serum. Uji ICT merupakan uji diagnostik TB


yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran
sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5
antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada
membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung
dalam 1garis) disamping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa
sebanyak 30 ml diteteskan kebantalan warna biru, kemudian serum
akan berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum mengandung
antibodi IgG terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan
dengan antigen dan membentuk garis warna merah muda. Uji
dinyatakan positif bila setelah 15 menitterbentuk garis kontrol dan
minimal satu dari empat garis antigen pada membrane.
TB Milier merupakan penyakit Limfo-Hematogen sistemik
akibat penyebaran kuman M. tuberkulosis dari kompleks primer yang
biasanya terjadi dalam waktu 2-6 bulan pertama setelah infeksi awal
(IDAI, 2005).
Terjadinya TB milier dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu kuman
M. tuberkulosis (jumlah dan virulensi), status imnologis penderita
(nonspesifik dan spesifik) dan faktor lingkungan (kurangnya paparan
sinar matahari, perumahan yang padat, polusi udara, merokok,
penggunaan alkohol, obat bius serta sosio ekonomi). Beberapa kondisi
yang menurunkan sistem imun juga dapat menyebabkan timbulnya TB
milier (IDAI, 2005).
Gambaran radiologis TB milier sangat khas, berupa tuberkel
halus (millii) yabg tersebar merta (difus) di seluruh lapangan paru,
dengan bentuk yang khas dan ukuran yang hampir seragam (1-3 mm)
(IDAI, 2005).
Gambaran tuberculosis milier berupa bercak-bercak halus yang
umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru (Bahar, 1998).
Akibat adanya penyebaran tuberculosis paru secara hematogen
akan tampak sarang-sarang sekecil 1-2 mm, atau sebesar kepala jarum
(milium), tersebar merata dikedua belah paru. Pada foto toraks,
tuberculosis miliaris ini dapat menyerupai gambaran badai kabut
(snow storm appearance). Penyebaran penayakit tuberculosis paru ini

juga dapat terjadi ke ginjal, tulang, sendi, selaput otak (meninges), dan
sebagainya (Rasad, 2001).
Pada pemeriksaan radiologi, gambaran tuberculosis milier
yang berupa bayangan-bayangan kecil itu kelihatan berbatas sangat
tegas, seakan-akan tiap bintik itu dapat diangkat dengan pinset.
Besarnya pada tiap kasus berlainan, tetapi pada satu kasus biasanya
sama besar. Bayangan-bayangan ini sebenarnya disebabkan oleh
superposisi dari banyak tuberkel, dan ini mungkin sama sekali tidak
mengakibatkan suatu bayangan sebelum jumlahnya cukup banyak
atau besarnya cukup luas untuk menyebabkan suatu bayangan karena
superposisi. Oleh karena itu radiograf mula-mula mungkin berbentuk
normal, akan tetapi akan tampak bayangan-bayangan itu didalam kirakira 2 minggu. Sementara didalam pengobatan, bayangan-bayangn
hilang jauh sebelum tuberkel-tuberkel secara patologis benar-benar
menghilang,

sehingga

sebaiknya

pengobatan

tetap

diteruskan

walaupun pasien telah merasa enak badan dan oleh karena gambaran
radiologi telah menjadi normal. Mungkin ada tanda-tanda lain dari
tuberculosis paru-paru seperti suatu kavitas, atau kelenjar-kelenjar
hilus mungkin membesar (Simon, 1986).
Gambaran radiologis dari tuberculosis

miliaris

adalah

terlihatnya bayangan nodul-nodul halus yang tersebar di seluruh


lapangan paru (WHO, 1995).
Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah
sel dan protein cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan
adanya peningkatan tekanan intrakranial. Cara pengambilan sampel:
1) Pungsi lumbal L4-L5 (dewasa), L3-L4 (bayi) rongga sub
arakhnoid
2) Pungsi suboccipital
3) Pungsi ventrikel
Pengiriman dan penyimpanan:
1) Harus segera dikirim. Pemeriksaan harus dilaksanakan 1-2 jam
setelah

pengambilan

(terbaik

<

jam).

Penundaan

menyebabkan glukosa turun.


2) Penyimpanan 4oC dapat memperlambat degenerasi sel dan
kimia

3) Pemeriksaan mikrobiologi harus segera dilakukan jangan


disimpan dalam suhu dingin karena menghambat Neisseria
meningitidis & Haemophilus influenzae. Sampel sebaiknya
dalam suhu kamar.
4) Sisa spesimen dibekukan -20oC untuk pemeriksaan kimiawi,
serologi, dan materi genetik tambahan.
a. Pemeriksaan rutin cairan otak
1) Makroskopis
a) Warna
Cairan otak normal warnanya seperti aquadest. Jika terdapat
perubahan

warna

dimungkinkan

adanya

kelainan

(Gandosoebrata, 2010).
i.
Merah oleh adanya darah. Jika darah berasal dari pungsi
maka warna dalam tabung pertama berbeda dengan
tabung kedua dan ketiga dan jika dipusingkan akan
kembali jernih, sedangkan jika perdarahan subarachnoid
maka warna dalam ketiga tabung akan sama dan cairan
ii.

atas berwarna kuning.


Coklat. Warna ini disebabkan oleh eritrosit yang
mengalami hemolisis. Cairan atas akan berwarna

iii.

kuning jika dipusingkan.


Kuning (xanthokhoromi), disebabkan oleh icterus berat

iv.

atau kadar protein tinggi.


Keabu-abuan, disebabkan oleh leukosit dalam jumlah

besar seperti pada radang purulent.


b) Kekeruhan
Pada keadaan normal cairan otak sejernih aquadest. Umumnya
kekeruhan dapat disebabkan oleh adanya darah dan sel-sel
peradangan.
c) Sedimen
Cairan otak normal walaupun dipusingkan tidak akan
mempunyai sedimen sedikitpun.
d) Bekuan
Cairan otak normal tidak akan membeku. Jika terbentuk bekuan
yang sangat halus dan sangat renggang yang mulai terbentuk
dari permukaan cairan sampai ke pertengahan cairan biasanya
terjadi pada penyakit meningitis tuberculosa. Bekuan yang

besar atau kasar mengarah pada penyakit meningitis purulent.


Pada encephalitis dan poliomyelitis biasanya tidak terjadi
bekuan.
2) Mikroskopis
Dilakukan segera, karena dalam 30 menit 40% granulosit lisis.
Pemeriksaan yang dilakukan (L):
a) Hitung sel. Dewasa normal sel 5/L dan bayi baru lahir dapat
mencapai 20/L.
b) Hitung jenis sel
Sebaiknya dibuat dengan sitospin kemudian diwarnai MayGrunwald-Giemsa atau Wright. Penambahan 1 tetes albumin
30% pada 0,1 mL cairan otak. 2 tetes bovine serum albumin
22% pada 0,5 mL cairan otak. Sentrifugasi biasa dengan 3000g
5-10 menit, dapat distorsi dan fragmentasi sel.
Jenis sel dewasa normal : limfosit dan monosit 70 : 30
Anak-anak
: monosit bisa mencapai 80%
Kadang-kadang eosinofil, netrofil, mesotel, makrofag, sel
plasma, sel ependim, sel khoroid, sel blas dan sel ganas.
3) Kimiawi
Rutin : protein dan glukosa
a) Protein
Normal 1% dari protein serum
Bayi baru lahir dapat mencapai 150 mg/dL
6-12 bulan sampai dewasa 18-58 mg/dL
Tidak dapat dipakai reagen biuret yang biasa untuk
pemeriksaan protein total, yang dipakai
i.
Metode turbidimetri dengan as. Trikloroasetat atau as.
ii.
iii.

Sulfosalisilat
Metode kolorimetrik
Menurut Lowry, dye-binding dengan Coomasie brilliant

blue atau ponceau S


iv.
Modifikasi biuret, Pyrogallol red-molibdat
b) Glukosa
i.
50-60% dari glukosa plasma
ii.
Diperlukan 2-4 jam untuk mencapai keseimbangan
iii.
iv.

dengan glukosa plasma


Pemeriksaan harus segera dilakukan
Glukosa dibawah 45 mg/dL atau rasio glukosa cairan
otak dibagi plasma < 0,3-0,5 abnormal disebut
hipoglikorrakhia

v.

Kadar tinggi tidak spesifik umumnya berhubungan

dengan glukosa darah tinggi (DM)


4) Indikasi
a) Menegakkan diagnosis: meningitis, perdarahan subarakhnoid,
keganasan SSP, multipel sklerosis dan penyakit autoimun
b) Menentukan tekanan cairan otak
c) Memasukkan obat, anestesi, kontras
d) Konfirmasi penyebab inflamasi akut/kronik
e) Melihat perluasan infark/stroke
5) Kontraindikasi
a) Peningkatan tekanan intra kranial
b) Infeksi epidural
c) Infeksi atau penyakit kulit berat di area lumbar
d) Kelainan psikiatrik berat
Tabel interpretasi
Tes
Tekanan LP
Warna
Jumlah sel
Jenis sel
Protein
Glukosa

Meningitis
Bakterial
Meningkat
Keruh
> 1000/ml
Predominan PMN
Sedikit meningkat
Normal/menurun

Meningitis Virus

Meningitis TBC

Biasanya normal
Jernih
< 100/ml
Predominan MN
Normal/meningkat
Biasanya normal

Bervariasi
Xanthochromia
Bervariasi
Predominan MN
Meningkat
Rendah

Nilai Normal
1

Tekanan

: 50-180 cm H2O

Warna : transparan bening

Eritrosit

:-

Leukosit

: 0-5 sel/L atau 0-5 x 106 sel/L atau 0-5 x 103/mL

Protein : 1545 mg/dl atau 0,15-0,45 gr/L SI unit (sekitar 70 mg/dl


pada anak-anak dan lansia)

Glukosa

: 50-75 mg/dl (2,8-4,2 mmol/L SI unit atau 60-70 %

dari glukosa darah plasma)


7

Klorin : 700-750 mg/dl (110-125 mEq/L atau mmol/L SI unit)

Glutamine: 6-15 mg/dl

Laktat : <2 7,2 U/mL

10 Globulin-: 3-12 % dari total protein

Nilai Abnormal

Leukosit

Interpretasi Abnormal
Meningkat
Menurun
Abses, infeksi akut, infark cerebri, meningitis, penyakit

Eritrosit
Klorid
Glukosa

demyelinisasi, tumor
Trauma, perdarahan
Hiperglikemia sistemik

Meningitis, Tuberculosis
Infeksi bakteri, infeksi
jamur,

meningitis,

tuberculosis,

post

subarachnoid
Tekanan

hemorrhagik
Perdarahan, infeksi, trauma, Koma diabetikum, syok,
tumor

Protein

sinkop, tumor medulla

Darah dalam LCS,


perdarahan,

spinalis
DM, Penurunan

drastis

infeksi, produksi LCS

polineuritis, sifilis, trauma,


Gamma-

tumor
Neurosifilis,

sindroma -

Globulin

Guillain

Multiple

Warna LCS

Sclerosis
1 Kemerahan

Barre,
:

perdarahan

subarachnoidea,

intracerebral, intraventricular ; obstruksi medulla


spinalis
2

Keruh : infeksi, adanya protein dalam LCS

Xantokrome : peningkatan protein, breakdown


eritrosit lama

21. Meningoensefalitis tuberculosis


Adalah suatu reaksi peradangan akibat infeksi sekunder
Mycobacterium tubeculosis yang mengenai parenkim otak, satu
atau semua lapisan selaput yang membungkus jaringan otak dan

sumsum tulang belakang yang menimbulkan eksudasi berupa pus


atau serosa (Mardjono dan Sidharta, 2009).
Meningitis adalah radang umum pada arachnoid dan
piamater yang dapat terjadi secara akut dan kronis. Sedangan
ensefalitis

adalah

radang

jaingan

otak.

Meningoensefalitis

Tuberkulosis adalah peradangan pada meningen dan otak yang


disebabkan Mycobacterium Tuberculososis (Balentine, 2010).
Etiologi:
a

Bakteri : Mycobacterium Tuberculososis, treponama palidum

Virus : TORCH, echo virus, coxae virus, polio virus

Parasit : amoeba

Jamur : candida albicans, candida imminens


Tanda dan gejala meningoensefalitis merupakan gabungan

dari mengingitis dan ensefalitis : (Scheld, 2004)


a

Meningitis
Sakit kepala, demam, fotofobia, tes rangsang Meningeal (+),
tanda neurologik fokal (biasanya abnormal n. Cranialis III,
IV, VI), papil edema

Ensefalitis
Sakit kepala, demam, penurunan kesadaran, kejang, muntah,
parestesia, defisit neurologis

Terapi/penatalaksanaan
a. Infus
Diberikan IVFD (intravenous fluid drip) Asering 20 tpm
b. Oksigenasi
Diberikan O2 4 liter/menit
c. Steroid
Diberikan untuk :
1) Menghambat reaksi inflamasi
2) Mencegah komplikasi infeksi
3) Menurunkan edema serebri
4) Mencegah perlekatan
5) Mencegah arteritis/infark otak
Indikasi:
1) Kesadaran menurun
2) Defisit neurologis fokal
Dosis :

Deksametason 10 mg bolus intravena, kemudian 4 kali 5 mg


intravena selama 2 minggu selanjutnya turunkan perlahan
selama 1 bulan.
d. Kejang
Diberikan Diazepam 10 mg iv pelan
e. Phenitoin 3 x 100 mg iv
f. Antipiretik
Karena pasien demam, diberikan paracetamol 3 x 500 mg
g. Rejimen terapi 2 HRZE 7 RH
1) 2 bulan pertama
a) INH
: 1 x 400 mg/hari
b) Rifampisin
: 1 x 600 mg/hari
c) Pirazinamid
: 15-30 mg/kg/hari
d) Streptomisin
: 15 mg/kg/hari
atau
Etambutol
: 15-20 mg/kg/hari
2) 7-12 bulan berikutnya
a) INH
: 1 x 400 mg/hari
b) Rifampisin
: 1 x 600 mg/hari
22. Komplikasi
Meningoensefalitis terdiri dari komplikasi akut, intermediet
dan kronis. Komplikasi akut meliputi edema otak, hipertensi
intrakranial, Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone
Release (SIADH), kejang, ventrikulitis, dan meningkatnya tekanan
intrakranial (TIK). Patofisiologi dari TIK rumit dan melibatkan
banyak peran molekul proinflamatorik. Edema intersisial merupakan
akibat sekunder dari obstruksi aliran serebrospinal seperti pada
hidrosefalus, edema sitotoksik (pembengkakan elemen selular otak)
disebabkan oleh pelepasan toksin bakteri dan neutrofil, dan edema
vasogenik

(peningkatan

permeabilitas

sawar

darah

otak).

Komplikasi intermediet terdiri atas efusi subdural, demam, abses otak,


hidrosefalus. Sedangkan komplikasi kronik adalah memburuknya
fungsi kognitif, ketulian, kecacatan motorik.
23. Prognosis
Penderita meningitis dapat sembuh, sembuh dengan cacat
motorik/mental atau meninggal, hal tergantung dari :

1. Umur penderita
2. Jenis kuman penyebab
3. Berat ringan infeksi
4. Lama sakit sebelum mendapat pengobatan
5. Kepekaan kuman terhadap antibiotika yang diberikan
6. Adanya dan penanganan penyulit.

BAB III
KESIMPULAN
1. Meningoensefalitis tuberculosis adalah suatu reaksi peradangan akibat
infeksi sekunder Mycobacterium tubeculosis yang mengenai parenkim
otak, satu atau semua lapisan selaput yang membungkus jaringan otak dan

sumsum tulang belakang yang menimbulkan eksudasi berupa pus atau


serosa.
2. Tanda

dan

gejala

meningoensefalitis

merupakan

gabungan

dari

mengingitis dan ensefalitis.


3. Penatalaksanaan pada meningoensefalitis secara farmakologis yaitu
dengan pemberian infus, oksigenasi, obat steroid, obat antituberkulosis,
dan obat simptomatik.
4. Komplikasi pada meningoensefalitis dibagi menjadi tiga, yakni akut,
intermediet, dan kronik. Komplikasi akut meliputi edema otak, hipertensi
intrakranial, Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone Release
(SIADH), kejang, ventrikulitis. Komplikasi intermediet terdiri atas efusi
subdural, demam, abses otak, hidrosefalus. Sedangkan komplikasi kronik
adalah memburuknya fungsi kognitif, ketulian, kecacatan motorik.
5. Penderita meningitis dapat sembuh, sembuh dengan cacat motorik/mental
atau meninggal.

DAFTAR PUSTAKA
Bahar, A. 1998. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Balentine. 2010. Enchepalitis and Meningitis. Diakses tanggal 18 Maret 2013.
<http://emedicine.com>

Bickley, L. S. 2008. Sistem Saraf. Dalam Buku Saku Pemeriksaan Fisik dan
Riwayat Kesehatan Bates. Jakarta : EGC.
Corwin, E.J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3. Jakarta: EGC.
Faqih. 2012. Pemeriksaan Neurologis. Universitas Muhammadiah Malang.
Diakses pada tanggal 10 Maret 2013. <http://faqudin.staff.umm.ac.id>
Juwono, T. 1996. Pemeriksaan Klinik Neurologik Dalam Praktek. Jakarta : EGC.
Lumbantobing. 2008. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Mardjono, M., Sidharta, P. 2009. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.
Martini, F. 2012. Fundamental of Anatomy and Physiology. New York: Pearson
Education.
Pedoman Nasional TB Anak. Unit Kerja Koordinasi Pulmonologi PP Ikatan
Dokter Anak Indonesia. 2005. <www.idai.or.id>
Price, S.A., Wilson, L.M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit Volume 2. Jakarta: EGC.
Rasad, S., Kartoleksono, S., Ekayuda, I. 2001. Radiologi Diagnostik. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Setiyohadi., Bambang., Subekti., Imam. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Interna Publishing.
Scheld, M. 2004. Infection of the Central Nervous System 3 Edition.
Philladelphia: Lippincot William and Willkins.
Sibernagi, S. 2012. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta : EGC.
Sidaharta, P. 2005. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Jakarta: Dian
Rakyat.
Simon, G. 1986. Diagnostik Rontgen Untuk Mahasiswa Klinik Dan Dokter
Umum. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Olesen J. 2004. The International Classification of Headache Disorders-II. Ceph
Int Journal of Headache. Vol 24: 1-150.
WHO. 1995. Petunjuk Membaca Foto Untuk Dokter Umum. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai