Anda di halaman 1dari 100

KEBIJAKAN KAPOLRESTABES SEMARANG DALAM MENANGANI

PREMANISME DI KOTA SEMARANG

PENULISAN HUKUM

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna


menyelesaikan Program Sarjana (S1) Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro

Oleh:
Nama

: Mangiring Silalahi

NIM

: 11010110151270

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2012
i

MOTTO
Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya
yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa melainkan
beroleh hidup yang kekal.
( Yohanes 3 : 16 )
Kerjakanlah tugasmu, kerjakanlah kewajibanmu, tanpa menghitung-hitung akibatnya.
( Ir. Soekarno )
Do what you should do and do what you like to do.
( Prof. Sudharto P. Hadi, M.ES, Ph.D )

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karyaku ini kepada :


Tuhan Yesus Kristus, Juru Selamatku;
Almamaterku

Fakultas

Hukum

Universitas

Diponegoro

Semarang;
Papa dan Mama yang sangat kusayangi dan kucintai;
Kakak-kakakku Duma Evi Ulina S, Neni Agustina S, Denni Nova

S dan adek-adekku Rosarina S dan Limsa S;


Keluarga Besar Silalahi dan Sihombing;
Teman- teman Seperjuangku; dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan berkatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul

KEBIJAKAN

KAPOLRESTABES

SEMARANG

DALAM

MENANGANI PREMANISME DI KOTA SEMARANG.


Skripsi

ini

dimaksudkan

sebagai

salah

satu

persyaratan

guna

menyelesaikan Program Sarjana (Stara-1) Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum


Universitas Diponegoro Semarang. Penulis menyadari dalam menyelesaikan
skripsi ini banyak memperoleh dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk
itu, dengan rasa hormat penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak
yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, antara lain kepada :
1. Bapak Prof. Sudharto P. Hadi, M.ES, Ph.D selaku Rektor Universitas
Diponegoro Semarang;
2. Bapak Prof. Dr. Yos Johan Utama,S.H.,M.Hum selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro Semarang;
3. Ibu Tri Laksmi Indreswari, S.H.,M.Hum selaku dosen wali yang atas
kesediaan beliau untuk membimbing penulis mulai dari memasuki
perkuliahan dan juga kesabaran beliau menghadapi penulis yang tentu tidak
luput dari kesalahan selama menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro Semarang;
4. Bapak Pujiono S.H.,M.Hum selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro Semarang.

vi

5. Bapak Prof. Dr. Nyoman Serikat P J, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing
I yang dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan, petunjuk, arahan,
semangat dan kepercayaan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan;
6. Bapak Purwoto, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang senantiasa
memberikan bimbingan, arahan, semangat dan kepercayaan sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya;
7. Tim Penguji yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk menguji
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro Semarang;
8. Seluruh Dosen Bagian Hukum Pidana atas didikan yang beliau-beliau
berikan menjadi inspirasi bagi penulis untuk berusaha menjadi lebih baik
dan agar tidak pernah puas dalam menggali ilmu;
9. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang dan
segenap Civitas Akademik Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Semarang yang telah banyak membantu selama masa studi penulis;
10. Kedua orangtua penulis Bapak P Silalahi dan Ibu R Sihombing yang sangat
penulis sayangi, terima kasih untuk doa dan kasih sayangnya;
11. Saudari-saudariku kak Evi, kak Neni, kak Nova, dek Rosa dan dek Limsa
yang selalu memberikan semangat untuk segera menyelesaikan tulisan ini;
12. Adek-adek komselku Yosa, Budi, Christiadi, Moko, dan Aldo terimakasih
buat doa dan semangat yang kalian berikan;
13. Saudara- saudari seperjuangan Agi, Lia, Mesi, David, Arif, Kamil, Oliv dan
Fetty yang telah berjuang bersama untuk menghadapi setiap tantangan;

vii

14. Temen-temen Kontrakan Fredom, Mesi, David, Daniel dan Ramzit yang
memotivasi penulis untuk terus menjadi lebih baik;
15. Keluarga Besar Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) Fakultas Hukum
Universitas

Diponegoro

terimakasih

untuk

kebersamaan,

jalinan

persaudaraan dan sukacita yang telah kita jalani selama ini;


16. Teman-teman Paduan Suara Satya Darma Gita FH UNDIP, terimakasih buat
kebersamaan, jalinan persaudaraan dan kekeluargaan yang telah kita jalani;
17. Teman-teman angkatan 2010 Fakultas Hukum Undip;
18. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari masih banyak
kekurangan dan kesalahan yang tentu saja tidak disengaja, maka dengan segala
kerendahan hati penulis mengharapkan masukan baik saran maupun kritik dari
semua pihak guna kesempurnaan skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca
dan bagi semua pihak yang membutuhkan.

Semarang, Juli 2012


Hormat Penulis

Mangiring Silalahi

viii

ABSTRAK
Kebijakan hukum merupakan salah satu faktor yang mendapat peranan
penting dalam konteks negara hukum. Hukum menetapkan apa yang harus
dilakukan dan atau apa yang boleh dilakukan serta yang dilarang. Preman dalam
kesehariannya adalah manusia yang ingin bebas, hidup tidak mau diatur, kadang
penuh dengan kekerasan, dan tidak peduli pada norma dan etika yang hidup di
masyarakat. Efek dari premanisme di Indonesia khususnya di Semarang adalah
ketakutan yang timbul dalam masyarakat. Dengan kata lain premanisme akan
selalu mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat. Oleh karena itu
Polrestabes Semarang harus bisa menangani masalah premanisme. Dalam
penelitian ini metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan
yuridis normatif.
Kebijakan Kapolrestabes Semarang dalam menangani masalah
premanisme di Kota Semarang dilakukan dengan beberapa langkah/tindakan,
yang digolongkan menjadi dau langkah, yaitu langkah preventif (pencegahan)
yang terdiri dari sosialisasi/penyuluhan, bimbingan dan patroli, serta langkah
represif (penanggulangan, menekan, mengekang, menahan atau menindas) yang
terdiri dari dua tahap yaitu tahap penyelidikan (serangkaian tindakan penyelidik
untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana
guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan) dan tahap
penyidikan (serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang terjadi guna menemukan tersangkanya). Dalam menjalankan langkah
tersebut Polrestabes Semarang tidak lepas dari hambatan-hambatan. Oleh karena
itu bantuan dari pihak luar pun sangat diharapkan.

Kata Kunci: Kebijakan, Kepolisian, Premanisme.

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................

HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................

ii

HALAMAN PENGUJIAN .......................................................................

iii

MOTTO .....................................................................................................

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ...............................................................

KATA PENGANTAR ..............................................................................

vi

ABSTRAK ................................................................................................

ix

DAFTAR ISI .............................................................................................

BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan..................................................

B. Perumusan Masalah ................................................................

C. Tujuan Penulisan ....................................................................

D. Kegunaan Penulisan ...............................................................

E. Sistematika Penulisan .............................................................

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA


A. Kebijakan Penegakan Hukum Pidana .....................................

10

1. Pengertian Kebijakan Kriminal ....

10

2. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana ..................................

12

B. Fungsi dan Tugas Kepolisian Republik Indonesia ...................

16

1. Fungsi Kepolisian ...............................................................

16

2. Tugas Kepolisian ................................................................

19

C. Pengertian Premanisme ...............................................................

25

1. Subyek Premanisme ................................................................

25

2. Pengertian Premanisme ...........................................................

27

3. Kejahatan yang Dilakukan Premanisme .................................

28

BAB III : METODE PENELITIAN


A. Metode Pendekatan ..................................................................

29

B. Spesifikasi Penelitian ................................................................

30

C. Metode Pengumpulan Data ......................................................

30

D. Metode Analisis Data ................................................................

32

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Gambaran Umum Polrestabes Semarang .................................

34

1. Visi Polrestabes Semarang ................................................

35

2. Misi Polrestabes Semarang ...............................................

36

3. Tujuan Polrestabes Semarang ...........................................

38

4. Sasaran Prioritas Polrestabes Semarang ............................

39

5. Kebijakan Kapolrestabes Semarang Tahun 2012 ..............

43

B. Kebijakan Kapolrestabes Semarang Dalam Menangani


Masalah Premanisme di Kota Semarang .................................

45

1. Langkah Preventif Dalam Menangani Masalah


Premanisme ......................................................................

48

2. Langkah Represif Dalam Menangani Masalah


Premanisme ......................................................................

52

xi

C. Hambatan-Hambatan yang Dialami Polrestabes Semarang


Dalam Menangani Masalah Premanisme ...............................

80

1. Hambatan yang Dialami Dalam Langkah Preventif ..........

81

2. Hambatan yang Dialami Dalam Langkah Represif ...........

82

BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ..............................................................................

85

B. Saran ........................................................................................

86

DAFTAR PUSTAKA

xii

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN


Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan suatu negara yang
berdasar atas hukum bukan berdasarkan kepada kekuasaan semata.1 Hal
tersebut dipertegas di dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia yang
menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Hal ini berarti
seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara harus di dasarkan pada
ketentuan hukum yang berlaku. Dengan demikian segala sesuatunya harus
taat kepada ketentuan hukum sebagai upaya yang menyeluruh untuk
mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis, menjunjung
tinggi hak asasi manusia, menjamin tegaknya supremasi hukum dengan
tidak ada pengecualian atas siapapun di mata hukum. Di samping itu
amademen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang selanjutnya disebut
sebagai UUD 1945 secara tegas memberikan perlindungan mengenai hak
asasi manusia. Oleh sebab itu semua warga negara berkesempatan
memperoleh perlakuan yang sama dihadapan hukum untuk menjadi manusia
seutuhnya.
Aspek penegakan hukum merupakan salah satu faktor yang mendapat
peranan penting dalam konteks negara hukum (rechtstaat). Dalam arti
sempit tegaknya hukum sering diidentikkan dengan tegaknya undang1

Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945.

undang. Namun dalam arti yang lebih luas penegakan hukum itu adalah
upaya menjamin tegaknya hukum tidak hanya dalam institusi formal tetapi
juga menjamin tegaknya nilai-nilai keadilan yang ada dalam kehidupan
bermasyarakat.
Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan atau apa yang
boleh dilakukan serta yang dilarang. Sasaran hukum yang hendak dituju
bukan saja orang yang nyata-nyata berbuat melawan hukum, melainkan juga
perbuatan hukum yang mungkin akan terjadi, dan kepada alat perlengkapan
negara untuk bertindak menurut hukum. Sistem bekerjanya hukum yang
demikian itu merupakan salah satu bentuk penegakan hukum.
Untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut, perlu memperhatikan
pembangunan di bidang hukum, yang salah satunya yaitu hukum pidana.
Hukum pidana dari suatu bangsa merupakan indikasi yang sangat penting
untuk mengetahui tingkat peradaban bangsa itu, karena didalamnya tersirat
bagaimana pandangan

bangsa tersebut

tentang etik (tata

susila),

kemasyarakatan dan moral.2 Tetapi hendaklah juga pembangunan di bidang


hukum itu sendiri mendasarkan pada rasa keadilan. Penegakan dan
perlindungan hukum yang berintikan keadilan dapat diartikan bahwa hukum
akan memperlakukan setiap orang secara adil dan beradab yang merupakan
cerminan dari sila kedua Pancasila.
Jika dilihat dari penegakan dan perlindungan hukum, kita mengenal
suatu lembaga yang kita sebut Lembaga Kepolisian. Dalam Pasal 1 Undang2

Sudarto,Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990), halaman 4.

Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Repubik


Indonesia yang dimaksud Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan
dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundangundangan. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Repubik Indonesia disebutkan bahwa fungsi kepolisian
adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Repubik Indonesia, disebutkan bahwa tugas pokok
Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. Menegakkan hukum; dan
c. Memberikan

perlindungan,

pengayoman,

dan

pelayanan

kepada

masyarakat.
Rumusan tugas pokok tersebut bukan merupakan urutan prioritas,
ketiga-tiganya sama penting, sedangkan dalam pelaksanaannya tugas pokok
mana yang akan dikedepankan sangat tergantung pada situasi masyarakat
dan lingkungan yang dihadapi karena pada dasarnya ketiga tugas pokok
tersebut dilaksanakan secara simultan dan dapat dikombinasikan. Di
samping itu, dalam pelaksanaan tugas ini harus berdasarkan norma hukum,

mengindahkan norma agama, kesopanan, dan kesusilaan, serta menjunjung


tinggi hak asasi manusia.3
Secara garis besar tugas polisi yaitu untuk memberikan rasa aman
kepada masyarakat. Akan tetapi akhir-akhir ini premanisme begitu marak di
Indonesia khususnya di kota-kota besar, salah satunya yaitu Kota Semarang.
Dengan adanya aksi preman ini maka masyarakat merasa tidak nyaman dan
resah. Dengan kata lain premanisme yang ada di Kota Semarang membuat
masyarakat sangat tidak aman. Dengan adanya keadaan seperti ini
Polrestabes Kota Semarang tidak bisa berdiam diri. Mereka akan melakukan
upaya-upaya

untuk

mengembalikan

keamanan

dan

kesejahteraan

masyarakatnya. Berdasarkan hal inilah, maka menarik untuk dikaji


permasalahan penanganan premanisme oleh Lembaga Kepolisian Republik
Indonesia berdasarkan tugas dan kewenangannya yang terdapat dalam
Undang-Undang No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia, khususnya di Kota Semarang, melalui suatu penelitian yaitu
Kebijakan Kapolrestabes Semarang Dalam Menangani Premanisme Di
Kota Semarang

Penjelasan Undang-Undang No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

B. PERUMUSAN MASALAH
Dalam penelitian ini permasalahan dan pembahasan akan dibatasi
pada kebijakan dalam menangani premanisme di Polrestabes Semarang.
Adapun permasalahan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana kebijakan Kapolrestabes Semarang dalam menangani
premanisme di Kota Semarang?
2. Apakah yang menjadi hambatan bagi Polrestabes Semarang dalam
menangani premanisme di Kota Semarang?

C. TUJUAN PENELITIAN
Perumusan tujuan penelitian merupakan pencerminan arah dan
penjabaran strategi terhadap masalah yang muncul dalam penelitian.
Dengan adanya tujuan penelitian maka suatu penelitian akan lebih terarah
dan lebih bermanfaat. Adapun tujuan yang hendak dicapai dengan adanya
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.

Untuk

mengetahui

kebijakan

Kapolrestabes

Semarang

dalam

menangani masalah premanisme yang ada di Kota Semarang.


2.

Untuk mengetahui hambatan yang dialami Polrestabes Semarang dalam


menangani masalah premanisme di Kota Semarang.

D. KEGUNAAN PENELITIAN
Setiap hasil penelitian termasuk penelitian hukum pasti mempunyai
kegunaan. Diharapkan penelitian hukum ini dapat memberi manfaat bagi
5

aspek penegakan hukum di negara ini. Adapun kegunaan yang dapat


diambil dari penelitian hukum ini adalah sebagai berikut :
1.

Kegunaan Teoritis
a.

Membantu perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu


pengetahuan di bidang ilmu hukum pidana.

b.

Mengembangkan wawasan dan pengetahuan ilmu hukum mengenai


kebijakan Kapolrestabes Semarang dalam menangani masalah
premanisme di Kota Semarang.

2.

Kegunaan Praktis
a.

Dengan adanya penelitian ini, masyarakat dapat mengerti


bagaimana upaya pencegahan dan penanggulangan yang dilakukan
terhadap masalah premanisme.

b.

Memberikan pengertian kepada masyarakat, sehingga masyarakat


dapat berpartisiasi dalam penanganan masalah premanisme.

c.

Memberikan informasi dan sumbangan pemikiran kepada para


mahasiswa

dan

akademisi

lainnya

mengenai

kebijakan

Kapolrestabes Semarang dalam menangani masalah premanisme di


wilayah Kota Semarang.

E. SISTEMATIKA PENULISAN SKRIPSI


Untuk mempermudah memahami isinya, maka penulisan skripsi ini
disajikan dalam bentuk rangkaian bab, yang terdiri dari lima bab yang berisi
tentang uraian secara umum, teori-teori yang diperlukan dalam menganalisa
6

permasalahan dan pembahasan hasil penelitian serta kesimpulan dan saran.


Adapun sistematikanya adalah sebagai berikut :
1.

BAB I PENDAHULUAN
Bab ini terdiri dari lima sub bab yang terdiri dari Latar belakang
penelitian (Sub Bab A), Perumusan Masalah (Sub Bab B), Tujuan
Penelitian (Sub Bab C), Kegunaan Penelitian (Sub Bab D), serta
Sistematika Penulisan Skripsi (Sub Bab E).
Dalam Sub Bab A diuraikan sedikit tentang latar belakang
Lembaga Kepolisian, tugas dan kewajibannya serta wewenang yang
diperolehnya. Dalam hal ini wewenang untuk menetapkan kebijakankebijakan dalam rangka mensejahterakan masyarakat.
Dalam Sub Bab B diuraikan mengenai perumusan masalah yang
akan diteliti. Hal ini dilakukan untuk mencegah penyimpangan dalam
pengumpulan data serta kekaburan dalam pembahasan hasil penelitian.
Pokok-pokok permasalahan yang akan diteliti adalah kebijakan
Kapolrestabes Semarang dalam menangani masalah premanisme di
Kota Semarang serta hambatan-hambatan yang dialami.
Dalam Sub Bab C dijelaskan mengenai tujuan dari penelitian dan
penulisan hukum ini. Tujuan ini dibagi menjadi tujuan obyektif dan
tujuan subyektif.
Dalam Sub Bab D dijelaskan tentang kegunaan yang diharapkan
oleh penulis dari penelitian dan penulisan hukum ini. Kegunaankegunaan ini dikelompokkan menjadi kegunaan teoritis dan kegunaan
praktis.

Dalam Sub Bab E diuraikan mengenai sistematika penulisan


skripsi, dimana dalam bagian ini kita dapat melihat isi skripsi sehingga
kita akan mendapatkan gambaran secara garis besar mengenai hal apa
saja yang di bahas dalam tiap-tiap bab.

2.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


Bab ini menjelaskan mengenai teori dasar atau landasan teoritis
yang mendasari penulisan skripsi ini. Bab ini terdiri dari Kebijakan
Penegakan Hukum Pidana (Sub Bab A), Tugas dan Fungsi Kepolisian
Republik Indonesia (Sub Bab B), Pengertian Premanisme (Sub Bab C).

3.

BAB III METODE PENELITIAN


Bab ini menguraikan mengenai metode penelitian yang digunakan
dalam penulisan skripsi ini secara jelas dan terperinci. Metode-metode
tersebut terdiri atas Metode Pendekatan (Sub Bab A), Spesifikasi
Penelitian (Sub Bab B), Teknik Pengumpulan Data (Sub Bab C),
Metode Analisis Data (Sub Bab D).

4. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Bab ini berisi tentang uraian hasil penelitian. Dalam bab ini akan
disajikan data yang telah diperoleh pada saat pelaksanaan penelitian
yang dilakukan melalui studi lapangan dan studi pustaka sesuai dengan
permasalahan yang telah ditentukan. Bab ini terdiri dari kebijakan
8

Kapolrestabes Semarang dalam menangani masalah premanisme di


Kota Semarang (Sub Bab A) serta hambatan-hambatan yang dialami
oleh Polrestabes Semarang dalam menangani premanisme (Sub Bab B)

5. BAB V PENUTUP
Bab ini merupakan bab penutup dalam skripsi ini yang terdiri
dari Kesimpulan (Sub Bab A) dan Saran (Sub Bab B) yang bertujuan
agar terdapat kesimpulan dalam Kebijakan Kapolrestabes Semarang
dalam menangani premanisme di Kota Semarang yang dapat digunakan
sebagai bahan untuk mengatasi masalah premanisme yang ada di Kota
Semarang dan di kota-kota lain, serta sebagai bahan pertimbangan
dalam melakukan penyempurnaan terhadap peraturan perundangundangan yang berhubungan dengan kepolisian.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. KEBIJAKAN PENEGAKAN HUKUM PIDANA


1.

Pengertian Kebijakan Kriminal


Istilah kebijakan diambil dari istilah policy (Inggris) atau
politiek (Belanda). Bertolak dari istilah ini, maka kebijakan kriminal
dapat pula disebut sebagai politik kriminal.
Sudarto mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal,
yaitu :4
a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi
dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;
b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dan aparatur penegak
hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;
serta,
c. Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah
keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundangundangan

dan

badanbadan

resmi,

yang

bertujuan

untuk

menegakkan norma norma sentral dari masyarakat.


Dalam rumusan yang lebih singkat, Sudarto menyatakan bahwa
kebijakan atau politik kriminal merupakan suatu usaha yang rasional

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan
Konsep KUHP Baru, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), halaman 3.

10

dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. 5 Defenisi ini


diambil dari defenisi Marc Ancel yang merumuskan sebagai the
rational organization of the control crime by society.6 Bertolak dari
pengertian yang dikemukakan Marc Ancel ini, G. Peter Hoefnagels
mengemukakan bahwa Criminal policy is the rational organization
of the social reaction to crime.7
Pada dasarnya kebijakan atau politik kriminal adalah bagian dari
kebijakan atau politik sosial. Kebijakan sosial ini bertujuan untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare) dan melindungi
masyarakat (social defence). Maka dalam hal ini dapat dikatakan
bahwa kebijakan kriminal adalah bagian integral dari kebijakan sosial
yang bertujuan untuk melindungi masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat, bahwa upaya
penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan
kebijakan, dalam arti8:
a. Ada keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik
sosial;
b. Ada keterpaduan (integralitas) antara upaya penanggulangan
kejahatan dengan penal dan non penal.

Ibid., halaman 3.
Ibid., halaman 3.
7
Ibid., halaman 3.
8
Ibid., halalaman 5-6
6

11

2.

Pengertian Kebijakan Hukum Pidana


Kebijakan kriminal dapat terlaksana dengan baik jika ada
keterpaduan antara kebijakan hukum pidana (penal policy) dan
kebijakan non penal (non penal policy).
a. Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)
Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat
dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Sudarto
menyatakan, Politik Hukum adalah :
1) Usaha untuk mewujudkan peraturan peraturan yang baik,
sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.9
2) Kebijakan dari negara melalui badan badan yang berwenang
untuk menetapkan peraturan peraturan yang dikehendaki yang
diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang
terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang
dicita-citakan.10
Bertolak dari pengertian demikian, Sudarto selanjutnya
menyatakan bahwa melaksanakan politik hukum

pidana

berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundangundangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat
keadilan dan daya guna11. Dalam kesempatan lain beliau
menyatakan

bahwa melaksanakan politik hukum pidana

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana (Bandung, Alumni, 1981), halaman 159.
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat (Bandung, Sinar Baru, 1983), halaman
20.
11
Sudarto, Op.cit., halaman 161.
10

12

berarti berusaha mewujudkan peraturan perundang-undangan


pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu
dan untuk masamasa yang akan datang. Dengan demikian,
dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum
pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau
membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana
yang baik.
Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana di atas
terlihat pula dalam defenisi penal policy yang dikemukakan
oleh Marc Ancel sebagai suatu ilmu sekaligus seni yang
bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum

positif

dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak


hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada
pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada
para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.
Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih
menitikberatkan

pada

sifat

represif

(penindasan,

pemberantasan, penumpasan) setelah kejahatan itu terjadi.


Menurut A. Mulder12, Strafrechtspolitiek ialah garis kebijakan
untuk menentukan :

12

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta : Kencana Prenada
Media Group 2008), halaman 23.

13

1) Seberapa jauh ketentuan ketentuan pidana yang berlaku


perlu diubah dan diperbaharui;
2) Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak
pidana;
3) Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan
pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.
Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa kebijakan hukum
pidana meliputi sekaligus merupakan perwujudan dari tiga
proses kebijakan yaitu tahap formulasi, tahap aplikasi dan tahap
eksekusi.
1) Tahap Formulasi
Pada dasarnya tahap formulasi merupakan tahap yang
paling strategis dan menentukan, dilihat dari keseluruhan
proses kebijakan untuk mengoperasionalisasikan sanksi
pidana. Kesalahan pada tahap formulasi atau legislasi akan
berpengaruh besar ke tahap aplikasi dan eksekusi.
Barda Nawawi Arief berpendapat dalam bukunya
Teori-Teori dan Kebijakan Pidana menjelaskan bahwa:
Sebagai salah satu bagian dari mata rantai
perencanaan
penanggulangan
untuk
mencapai
kesejahteraan masyarakat, maka tahap penetapan
pidana (tahap formulasi) harus merupakan tahap yang
matang mengenai kebijakan-kebijakan tindakan apa
yang seharusnya diambil dalam hal pemidanaan apabila
terjadi suatu pelanggaran hukum.13
13

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni,
2005), halaman 92.

14

Kebijakan
strategis

dari

formulasi

merupakan

keseluruhan

proses

tahapan

paling

fungsionalisasi

dan

konkretisasi hukum pidana. Sehingga dengan demikian


kebijakan formulasi merupakan langkah awal di dalam
penanggulangan kejahatan, yang secara fungsional dapat
dilihat sebagai bagian dari perencanaan dan mekanisme
penanggulangan kejahatan. Yang dituangkan ke dalam
perundang-undangan meliputi14 :
a) Perencanaan/kebijakan

tentang

perbuatan

apa

yang

dilarang.
b) Perencanaan

atau

kebijakan

mengenai

pertanggungjawaban pidana bagi pelakunya.


c) Perencanaan/kebijakan mengenai formulasi sanksi dan
pemidanaan atas perbuatan tersebut.
2) Tahap aplikasi
Tahap aplikasi adalah tahap penerapan ketentuanketentuan pidana yang telah dirumuskan dalam peraturan
perundang-undangan.
3) Tahap eksekusi
Tahap eksekusi adalah tahap penerapan pelaksanaan
pidana yang telah ditetapkan dalam tahap aplikasi.

14

Ibid.,halaman 198.

15

b. Kebijakan non penal (Penal Policy)


Kebijakan non penal adalah kebijakan yang lebih bersifat
tindakan pencegahan terjadinya kejahatan. Dengan demikian
sasarannya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab
terjadinya kejahatan (faktor kriminogen).
Faktor-faktor kondusif itu antara lain berpusat pada masalahmasalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak
langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan.
Dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan global, maka
upaya-upaya non penal menduduki posisi kunci dan strategis dari
keseluruhan upaya politik kriminal.

B. FUNGSI DAN TUGAS KEPOLISISAN REPUBLIK INDONESIA


1. Fungsi Kepolisian
Dalam penegakan dan perlindungan hukum, kita mengenal suatu
lembaga yang kita sebut Lembaga Kepolisian Republik Indonesia.
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Repubik Indonesia yang dimaksud Kepolisian
adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga
polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 2
Undang - Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Repubik Indonesia disebutkan bahwa fungsi kepolisian adalah salah
satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan
16

dan

ketertiban

masyarakat,

penegakan

hukum,

perlindungan,

pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.


Dalam Pasal 4 Undang - Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Repubik Indonesia, disebutkan bahwa tujuan
Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu untuk mewujudkan
keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan
ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta
terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak
asasi manusia.
Untuk menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat, Polri
berkewajiban dengan segala usaha, pekerjaan dan kegiatan untuk
pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat, dan usaha ini harus
berdasarkan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Tetapi seringkali tindakan petugas Polri melakukan usaha,
pekerjaan dan kegiatan yang tidak didasarkan kepada ketentuan di
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga seakanakan petugas tersebut bertindak sewenang-wenang. Tetapi karena
Polri mempunyai kewajiban mewujudkan situasi keamanan dan
ketertiban masyarakat maka tindakan yang demikian yang dilakukan
oleh petugas Polri dalam praktek kepolisian dapat dibenarkan.
Dalam hal ini biasanya petugas Polri melakukan tindakantindakan yang sifatnya preventif yang ditunjukan untuk meniadakan
17

gejala-gejala yang mengarah terjadinya tindak pidana yang dapat


menimbulkan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban umum.
Tindakan yang represif pada prinsipnya harus didasarkan kepada
peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti KUHAP dan
ketentuan-ketentuan Hukum Acara Pidana tertentu tindakan untuk
peraturan perundang-undangan hukum pidana di luar KUHAP.
Namun dalam hal tertentu tindakan represif yang dilakukan yang tidak
didasarkan kepada peraturan perundang-undangan, dapat juga
dibenarkan, dengan pengertian tindakan represif itu tidak untuk
diajukan ke Pengadilan.
Menurut Djoko Prakoso dalam bukunya Polri Sebagai Penyidik
Dalam Penegakan Hukum berpendapat bahwa
Tidak selalu Polri dalam pekerjaan dan kegiatan dalam
rangka pelaksanaan tugas pembinaan keamanan dan ketertiban
masyarakat, berdasarkan kepada peraturan perundang-undangan
yang berlaku, khususnya dibidang preventif, tetapi dibidang
represifpun dapat juga kita jumpai untuk meniadakan atau
menghentikan suatu tindak pidana yang berlangsung.15

2. Tugas Kepolisian
Dalam Pasal 13 Undang - Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Repubik Indonesia, disebutkan bahwa tugas pokok
Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:

15

Djoko Prakoso, S.H., Polri Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum, (Jakarta:Bina
Aksara, 198), halaman 142.

18

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;


b. Menegakkan hukum; dan
c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.
Dalam Penjelasan Pasal 13 Undang-Undang No 2 Tahun 2002
Tentang Kepolisian Negara Republi Indonesia dijelaskan bahwa:
Rumusan tugas pokok tersebut bukan merupakan urutan
prioritas, ketiga-tiganya sama penting, sedangkan dalam
pelaksanaannya tugas pokok mana yang akan dikedepankan
sangat tergantung pada situasi masyarakat dan lingkungan yang
dihadapi karena pada dasarnya ketiga tugas pokok tersebut
dilaksanakan secara simultan dan dapat dikombinasikan. Di
samping itu, dalam pelaksanaan tugas ini harus berdasarkan
norma hukum, mengindahkan norma agama, kesopanan, dan
kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.16
Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :
a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli
terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan,
ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;
c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,
kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat
terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;
d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
16

Penjelasan Pasal 13 Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

19

f. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis


terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan
bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak
pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan
perundang-undangan lainnya;
h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,
laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan
tugas kepolisian;
i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan
lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana
termasuk

memberikan

bantuan

dan

pertolongan

dengan

menjunjung tinggi hak asasi manusia;


j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum
ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;
k. Memberikan

pelayanan

kepada

masyarakat

sesuai

dengan

kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta


l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara
umum berwenang:
a. Menerima laporan dan/atau pengaduan;
20

b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang


dapat mengganggu ketertiban umum;
c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
e. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan
administratif kepolisian;
f. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan
kepolisian dalam rangka pencegahan;
g. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
h. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret
seseorang;
i. Mencari keterangan dan barang bukti;
j. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
k. Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan
dalam rangka pelayanan masyarakat;
l. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan
putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan
masyarakat;
m. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan lainnya berwenang :

21

a. Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan


kegiatan masyarakat lainnya;
b. Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;
c. Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;
d. Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;
e. Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan
peledak, dan senjata tajam;
f. Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap
badan usaha di bidang jasa pengamanan;
g. Memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian
khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis
kepolisian;
h. Melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam
menyidik dan memberantas kejahatan internasional;
i. Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing
yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi
terkait;
j. Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi
kepolisian internasional;
k. Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup
tugas kepolisian.

22

Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara
Republik Indonesia berwenang untuk :
a. Melakukan

penangkapan,

penahanan,

penggeledahan,

dan

penyitaan;
b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat
kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka
penyidikan;
d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi;
g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara;
h. Mengadakan penghentian penyidikan;
i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi
yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan
mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang
yang disangka melakukan tindak pidana;

23

k. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik


pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik
pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan
l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Yang dimaksud tindakan lain adalah tindakan penyelidikan dan
penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan
tersebut dilakukan;
c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan
jabatannya;
d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan
e. Menghormati hak asasi manusia.
Dalam melaksanakan tugasnya, Polri harus berdasarkan kepada
suatu wewenang yang diberikan undang-undang kepadanya. Seorang
petugas

yang

memiliki

wewenang,

berarti

petugas

tersebut

mempunyai kekuasaan bertindak sesuai dengan ketentuan-ketentuan


dalam peraturan perundang-undangan sehingga pengertian pemberian
wewenang merupakan pemberian keabsahan untuk melakukan suatu
tindakan.

24

C. PENGERTIAN PREMANISME
1.

Subyek Premanisme
Preman termasuk kata benda yang mempunyai banyak arti,
berikut ini kutipan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia :
sebutan kepada orang jahat (penodong, perampok, pemeras, dsb):
Preman Medan sangat terkenal;
partikelir, swasta;
bukan tentara; sipil (tentang orang, pakaian, dsb);
kepunyaan sendiri (tentang kendaraan dsb); orang preman, orang
sipil, bukan militer; mobil preman, mobil pribadi (bukan mobil
dinas); pakaian preman, bukan pakaian seragam militer.
Satu bulan terakhir istilah preman dan premanisme menjadi
topik hangat berita di Indonesia. Dari empat definisi preman yang ada
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi pertamalah yang
dimaksud para pemimpin negara, politisi, akademisi dan blogger,
yang sama-sama gencar membahas preman dan premanisme di
Indonesia. Padahal 40-an tahun lalu preman itu masih berkonotasi
positif, misalnya yang dimaksud polisi berpakaian preman adalah
polisi yang tidak berpakaian dinas, bukan polisi yang memakai
pakaian dan atribut preman. Mobil preman bukan mobil milik preman,
tetapi mobil pribadi.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dari pernyataannya
tentang pemberantasan preman, mengartikan preman itu kelompok25

kelompok tertentu yang meresahkan masyarakat dengan tindakan


jahatnya, mulai pemerasan sampai pembunuhan.
Tubagus Hasanuddin mengatakan bahwa negara tidak boleh
kalah oleh preman, ucapannya terkait dengan kasus bentrok dinihari
23 Januari 2012 di RSPAD. Jadi masih mengartikan preman sebagai
kelompok jahat seperti yang dimaksud Presiden SBY.
Seorang sosiolog yang sering diundang TV berita untuk menjadi
nara sumber berbagai macam topik sosial politik, Tamrin Amal
Tomagola, lain lagi pendapatnya. Ia menjabarkan preman dalam
beberapa macam jenis dalam artikelnya di Kompas edisi 1 Maret
2012:
Preman politik, hukum dan keamanan: aktivitas mereka legal
dalam berbagai lembaga negara, jaksa, hakim, pengacara,
berseragam coklat berekening gendut, dan politisi di parlemen serta
di kantor DPP Parpol.
Preman Sosial: orang berjubah, berseragam jawara, dipersatukan
dalam ormas, kelahirannya dibidani preman politik dan keamanan.
Preman Ekonomi: terdiri dari pemuda pemudi putus sekolah dan
penganggur dari seluruh Indonesia yang tidak kebagian kue
pembangunan sejak era Orde Baru. Modal mereka adalah nyali dan
kekuatan fisik.
Ada juga yang menambahkan jenis preman yaitu preman media.
Preman media ini sangat hebat dalam mempengaruhi opini
26

masyarakat. Bila menurut logika umum sebuah diskusi dianggap akan


memperkaya pemikiran untuk memperbaiki situasi, maka banyak
berita yang ditulis di media termasuk dalam blog, talk show yang
ditayangkan, pada dasarnya termasuk brutal, mengumbar kalimat
kasar, mengajak makar, saling menghina orang dan kelompok lain.
Dalam kompasiana.com tertulis bahwa kemungkinan tidak murni
untuk kepentingan rakyat, ada nuansa kepentingan kelompok atau
bahkan mungkin pribadi pada perilaku preman media ini.17

2.

Pengertian Premanisme
Premanisme bukan merupakan kata asli dari Indonesia. Kata
premanisme ini berawal dari kata preman yang berasal dari bahasa
Inggris yaitu free man yang berarti manusia bebas. Kemudian kata
free man diIndonesiakan menjadi preman, hal ini dikarenakan lidah
orang Indonesia susah mengejanya. Preman dalam kesehariannya
memang adalah manusia yang ingin bebas, hidup tidak mau diatur,
kadang penuh dengan kekerasan, dan tidak peduli pada norma dan
etika yang hidup di masyarakat. Jika kata preman ditambah dengan
akhiran isme sehingga menjadi premanisme, maka pengertiannya
menjadi faham kebebasan yang dianut seseorang untuk menghalalkan
segala cara guna mencapai tujuannya. Efek dari premanisme di

17

http://hankam.kompasiana.com, 14 Mei 2012.

27

Indonesia biasanya adalah ketakutan yang timbul dalam masyarakat.


Hal ini sering terjadi di kota-kota besar salah satunya Kota Semarang.

3.

Kejahatan Yang Dilakukan Premanisme


Ada begitu banyak kejahatan yang dapat dilakukan oleh
premanisme. Mulai dari meresahkan, mengganggu keamanan dan
ketertiban di masyarakat. Perbuatan yang biasa dilakukan preman
yang dikategorikan sebagai tindak pidana antara lain:
a. Pencurian dengan kekerasan
b. Pemerasan
c. Pengrusakan
d. Pengeroyokan
e. Penganiayaan
f. Pemerkosaan
g. Pembunuhan
h. dsb.

28

BAB III
METODE PENELITIAN

Penelitian adalah usaha untuk mengamati gejala-gejala alam dan masyarakat


berdasarkan disiplin metodologi ilmiah dengan tujuan menemukan prinsip-prinsip
baru di belakang gejala-gejala yang ada. Seseorang yang hendak mencari ilmu
terhadap suatu fenomena tentunya membutuhkan penelitian ilmiah. Penelitian
ilmiah meliputi suatu rangkaian proses membuat dari suatu urutan tahap-tahap
beruntun yang garis besarnya terdiri dari tahap-tahap persiapan, pengumpulan
data, penguraiannya, dan pelaporan hasil.
Demikian halnya dengan penyusunan penulisan hukum ini, penulis
menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
A. LOKASI PENELITIAN
Penelitian ini mengambil lokasi penelitian di Polrestabes Semarang
sebagai suatu lembaga Kepolisian Republik Indonesia.

B. METODE PENDEKATAN
Dalam penelitian ini, metode pendekatan yang digunakan adalah
metode pendekatan Yuridis Empiris. Pendekatan yuridis dimaksudkan bahwa
penelitian ditinjau dari peraturan-peraturan yang merupakan data sekunder.

29

Sedangkan penelitian hukum empiris yaitu penelitian yang mempergunakan


data primer.18

C. SPESIFIKASI PENELITIAN
Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis. Metode
deskriptif adalah prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan
menggambarkan atau melukiskan keadaan objek penelitian pada saat
sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampil atau sebagaimana adanya.
Deskriptif analitis adalah suatu penelitian yang berusaha menemukan gejalagejala yang diperlukan dalam dokumen atau suatu buku dan menggunakan
informasi-informasi yang berguna di bidang masing-masing. Dalam
penelitian ini akan digambarkan mengenai keadaan objek yang akan diteliti
yaitu penanganan premanisme yang dilakukan oleh polisi, khususnya
mengenai kebijakan Kapolrestabes dalam menangani premanisme di Kota
Semarang.

D. METODE PENENTUAN SAMPEL


Metode penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
Purposive Sampling yaitu memilih subjek sampel dengan ciri-ciri tertentu
atau sifat karakter tertentu yang benar-benar merupakan ciri utama atau ciri
yang mencerminkan populasi.

18

Ronny Hanitjo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1998), halaman 250.

30

Teknik memilih sampel dengan model Purposive Sampling, karena


untuk menentukan seseorang menjadi sampel atau tidak, didasarkan pada
tujuan tertentu misalnya dengan pertimbangan peneliti dalam usahanya
memperoleh informasi yang relevan dengan tujuan penelitian.
Adapun subjek penelitian dalam penulisan ini adalah polisi yang
bertugas sebagai penyidik di Polrestabes Semarang. Data dan informasi yang
kemudian diperoleh dari sampel di atas, kemudian akan dijadikan penulis
sebagai bahan dalam penulisan hukum.

E. METODE PENGUMPULAN DATA


Pengumpulan data dilakukan dengan mempergunakan data primer yaitu
data yang diperoleh langsung dari objek yang diteliti. Metode pengumpulan
data dalam penelitian antara lain: observasi (pengamatan langsung),
interviewer (wawancara), dokumentasi.
Berdasarkan sumber pengambilannya, data dibedakan menjadi dua,
yaitu sebagai berikut:
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan
langsung di lapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau
yang bersangkutan yang memerluannya. Data primer ini disebut
juga data asli atau data baru.
2. Data Sekunder

31

Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpukan


oleh orang yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang
telah ada. Data ini biasanya diperoleh dari perpustakaan atau dari
laporan-laporan peneliti terdahulu. Data sekunder disebut juga data
tersedia.
Dengan demikian dari hasil pengumpulan data didapat data primer dan
data sekunder. Dalam penelitian ini metode pengumpulan data yang
digunakan adalah metode wawancara, yakni bertatap muka dan bertanya
langsung pada responden. Wawancara dalam hal ini sebagai alat pengumpul
data primer.
Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh
keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu. Sesuai dengan
pengertian wawancara tersebut berarti wawancara merupakan alat untuk
mencari dan mengumpulkan. Dalam suatu wawancara terdapat dua pihak
yang mempunyai kedudukan yang berbeda yaitu pengejar informasi yang
biasa disebut pewawancara atau interviewer dan pemberi informasi yang
disebut informan atau responden. Teknik wawancara yang digunakan dalam
penelitian ini adalah wawancara bebas terpimpin atau interview guide.
Wawancara yang dipakai disini hanya berupa catatan-catatan mengenai
pokok-pokok yang akan ditanyakan, sehingga masih memungkinkan adanya
varias-variasi pertanyaan yang disesuaikan dengan situasi ketika interview
dilakukan

32

F. METODE ANALISIS DATA


Setelah data yang dibutuhkan terkumpul maka dilanjutkan dengan
menganalisis data. Analisis data dilakukan dengan cara kualitatif, yaitu data
yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis untuk selanjutnya
dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan
dibahas. Dalam teknik ini dilakukan proses analisis data terhadap data
tersebut yang dijabarkan dalam bentuk penjelasan-penjelasan.

33

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. GAMBARAN UMUM POLRESTABES SEMARANG


Kota Semarang merupakan daerah sentral Jawa Tengah dan Kota
Semarang merupakan Ibukota Propinsi Jawa Tengah serta Kota
pemerintahan dengan aktifitas yang begitu tinggi dibandingkan dengan
kota-kota lain di Jawa Tengah serta perkembangan ekonominya yang
sangat pesat secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi
situasi Kamtibmas di Jawa Tengah, perkembangan tersebut sangat cepat
dan serba tidak pasti sehingga tidak cukup untuk diprediksi.
Situasi Kamtibmas di Kota Semarang tidak akan lepas dari pengaruh
situasi nasional karena situasi nasional sangat dipengaruhi oleh situasi
regional sedangkan situasi regional sendiri dipengaruhi oleh situasi dunia
pada umumnya dari faktor-faktor yang berpengaruh berupa politik,
ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan.
Polrestabes Semarang sebagai pengemban tugas memelihara
Kamtibmas, penegakan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman
dan pelayanan masyarakat sangat dipengaruhi oleh berbagai aspek
kehidupan masyarakat, antara lain19:
1. Letak wilayah Kota Semarang;
2. Pertambahan penduduk yang sangat besar;
19

Rencana Kerja Kepolisian Resor Kota Besar Semarang Tahun 2012, halaman 2.

34

3. Sumber daya alam yang ada;


4. Bidang ideologi yang dimiliki warga masyarakat;
5. Keadaan sosial politik;
6. Perkembangan sosial ekonomi;
7. Sosial Budaya;
8. Hukum, keamanan dan kriminalitas yang ada.
Secara

administrasi

Pemerintahan

Polrestabes

Semarang

membawahai 14 Polsek dan 1 Kepolisian kawasan pelabuhan dengan luas


wilayah 373,70 km2 dengan jumlah penduduk 1.564.233 jiwa yang
memiliki potensi cukup besar bagi proses pembangunan nasional. Namun
tetap akan menjadi permasalahan apabila tidak diimbangi dengan lapangan
pekerjaan yang memadai. Berbagai kebijakan Pemerintah baik Pusat
maupun daerah yang dinilai tidak pro rakyat memunculkan aksi-aksi di
tengah masyarakat berupa aksi unjuk rasa dari kalangan masyarakat. Dan
akibatnya kejahatan dapat terjadi kapan saja.

1. Visi Polrestabes Semarang


Visi Polrestabes Semarang yaitu

terwujudnya pengayoman,

perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat dengan menjunjung


tinggi HAM dalam melaksanakan upaya penegakan Hukum dan
pemeliharaan Kamtibnas di wilayah hukum Polrestabes Semarang
secara proaktif.20

20

Ibid, halaman 19.

35

2. Misi Polrestabes Semarang


Misi Polrestabes Semarang yaitu21:
a. Meningkatkan SDM kepolisian Wilayah Kota Besar Semarang
untuk tampil sebagai sosok pengayom, pelindung dan pelayan
masyarakat yang dapat melaksanakan tugas sesuai perkembangan
dan tantangan yang dihadapi;
b. Melaksanakan pelayanan optimal, yang dapat menimbulkan
kepercayaan

bagi

masyarakat

dalam

upaya

meningkatkan

kesadaran hukum masyarakat dan mewujudkan kemitraan;


c. Memelihara solidaritas institusi Polrestabes Semarang dari
berbagai pengaruh yang merugikan organisasi;
d. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dengan tetap
berpedoman kepada norma-norma, budaya masyarakat Kota
Semarang dan sekitarnya;
e. Melaksanakan

penegakan

berkesinambungan,

profesional

hukum
dan

secara
transparan,

konsisten,
dengan

mengedepankan dan menjunjung tinggi HAM serta bekerjasama


dengan unsur penegak hukum lainnya untuk memelihara
Kamtibmas;
f. Menciptakan kondisi keamanan yang kondusif, dengan peran serta
masyarakat dan instansi terkait secara aktif dalam pengamanan
hasil Pemilu 2009 dan kebijakan pemerintah;

21

Ibid, halaman 21.

36

g. Melakukan pengendalian dan pengawasan secara berjenjang untuk


mengurangi adanya penyimpangan-penyimpangan;
h. Meningkatkan

kepercayaan

masyarakat

terhadap

kinerja

Polrestabes Semarang sehingga tercapai perpolisian masyarakat.


Dalam menentukan visi, Polrestabes tidak bisa lepas dari
program prioritas revitalisasi polri, program tersebut yaitu:
a. Pengungkapan dan penyelesaian kasus-kasus menonjol;
b. Meningkatkan

pemberantasan

preman,

kejahatan

jalanan,

perjudian, narkotika, illegal logging, illegal fishing, illegal mining,


human trafficking dan korupsi;
c. Penguatan kemampuan densus 88 anti teror, melalui peningkatan
kerjasama dengan satuan anti teror TNI dan Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT);
d. Pembenahan kinerja reserse dengan program keroyok reserse
melalui peningkatan kompetensi penyidik;
e. Implementasi struktur organisasi polri yang baru;
f. Membangun kerjasama melalui sinergi polisional yang proaktif;
g. Memacu perubahan mind set dan culture set polri;
h. Menggelar Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK) di berbagai sentra
kegiatan publik;
i. Mengembangkan Layanan Pengadaan Sistem Elektronik (LPSE);
j. Membangun dan mengembangkan sistem informasi terpadu.

37

3. Tujuan Polrestabes Semarang


Suatu lembaga yang mempunyai tugas dan fungsi pasti tidak
terlepas dari suatu tujuan yang hendak dicapai. Tujuan tersebut dapat
berupa tujuan jangka panjang, menengah dan jangka pendek. Tujuan
jangka panjang Polrestabes Semarang yaitu:22
a. Terkendalinya angka pelanggaran hukum dan crime indeks, serta
meningkatkan penyelesaian kasus kriminalitas untuk menciptakan
rasa aman masyarakat;
b. Terungkapnya jaringan kejahatan internasional terutama narkotika,
perdagangan manusia dan pencucian uang serta terorisme;
c. Terlindunginya keamanan informasi rahasia lembaga/fasilitas vital
negara sesudah diterapkannya AFTA dan Zona perdagangan bebas;
d. Menurunnya jumlah pecandu narkoba dan mengungkap kasus serta
dapat diberantasnya jaringan utama Supply Narkoba dan prekursor;
e. Terkendalinya gangguan keamanan dan pelanggaran hukum di
perairan Indonesia dan pelayaran Internasional dalam hal
perdagangan dan distribusi;
f. Terungkapnya jaringan utama pencurian sumber daya alam, serta
membaiknya penegakan hukum dalam pengelolaan sumber daya
alam;
g. Meningkatkan kepatuhan hukum dan disiplin masyarakat terhadap
hukum;
22

Ibid, halaman 23.

38

h. Meningkatnya kinerja Polri tercermin dengan menurunnya angka


kriminalitas, pelanggaran hukum dan meningkatnya penyelesaian
kasus-kasus hukum;
i. Terwujudnya peningkatan kekuatan dan kemampuan Polri yang
signifikan.
Tujuan jangka menengah Polrestabes Semarang yaitu menjadi
polisi yang berkarakter sipil, membangun pemolisian masyarakat dan
perpolisian masyarakat untuk mendekatkan polisi dengan masyarakat
agar terbina kerjasama dalam menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat. Selain itu Polrestabes Semarang juga berupaya untuk
meningkatkan kemampuan Polri dalam mencegah, menangkal dan
menindak kejahatan. Dan meningkatkan profesionalisme Polri melalui
pembinaan kinerja dengan meningkatkan kompentensi pelayanan inti,
manajemen operasional, pengembangan sumber daya organisasi dan
manajemen perilaku serta pemantapan dalam struktur organisasi
kepolisian. Sedangkan tujuan jangka pendek dari Polrestabes
Semarang yaitu Polrestabes Semarang dapat melaksanakan setiap
tugasnya dengan maksimal.

4. Sasaran Prioritas Polrestabes Semarang Tahun 2012


Dalam

melaksanakan

tugas

dan

fungsinya,

Polrestabes

Semarang harus dapat menentukan sasaran-sasaran yang harus dibuat

39

untuk memudahkan dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya. Berikut


sasaran prioritas Polrestabes Semarang tahun 2012 yaitu: 23
a.

Mengoptimalkan sumber daya anggota Polri dan PNS dengan


menggunakan sarana dan prasarana yang ada untuk mendukung
pelaksanaan tugas melalui sistem yang efektif dan efisien;

b.

Meningkatkan sistem pelaksanaan latihan di tingkat Polres dan


Polsek

jajaran

meningkatkan

untuk

memelihara,

kemampuan

membangun

profesionalisme

Polri

dan
yang

terencana, terprogram dan terjadwal;


c.

Meningkatkan

kesiapan,

kesiapsiagaan

dan

efektifitas

pelaksanaan dalam operasi kepolisian yang dititikberatkan pada


sasaran-sasaran selektif;
d.

Peningkatan kualitas pelayanan dan perlindungan kepada


masyarakat dengan berpedoman kepada tindakan manajemen
strategi didukung dengan keteladanan yang baik dan benar, dari
masing-masing pimpinan di setiap tingkatan organisasi di
seluruh jajaran Polrestabes Semarang;

e.

Mengembangkan dan mengaplikassikan secara benar dan


konsisten seluruh piranti lunak yang telah dioperasikan di setiap
fungsi dalam rangka optimalisasi pelaksanaan tugas;

f.

Berupaya

meningkatkan

kemampuan

deteksi

dini

dan

kemampuan analisa sosial terhadap perkembangan lingkungan


23

Ibid, halaman 23.

40

strategi wilayah hukum Polrestabes Semarang dari aspek asta


gatra dan kemungkinan kontijensinya. Diharapkan setiap
perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat di wilayah
hukum Polrestabes Semarang mampu terdeteksi secara cepat,
tepat dan tuntas serta mampu memanfaatkan peluang yang ada;
g.

Meningkatkan kemampuan dan kekuatan Polsek sebagai ujung


tombak (basis deteksi dini), yang diharapkan memiliki daya
tangkal yang efektif dan mampu mengatasi semua gejolak sosial
dan gangguan Kamtibmas yang akan timbul melalui optimalisasi
pelaksanaan tugas Babinkamtibmas dan partisipasi masyarakat
dengan pola rayonisasi;

h.

Memantapkan

pembinaan

kemitraan

berupa

kegiatan

Babinkamtibmas, yang berkaitan dengan kegiatan kemitraan


melalui pelaksanaan wira karya Pramuka, Latihan Satpam, PKS,
RBC, Penataran Kamtibmas dan organisasi tingkat Polres serta
safari KB;
i.

Meningkatkan kegiatan preventif di daerah rawan kejahatan


dalam rangka mencegah terjadinya kejahatan dan pelanggaran
serta memberikan bantuan/pertolongan dan perlindungan kepada
masyarakat serta mengamankan secara fisik melalui pengaturan,
penjagaan,

pengawalan

dan

patroli

terhadap

kegiatan

masyarakat;

41

j.

Mengoptimalkan kegiatan pengaturan, penjagaan dan patroli


daerah rawan kemacetan dan kriminal dengan menganalisa dan
mengevaluasi karakteristik/anatomi kerawanan lalu lintas dan
kriminal serta didukung pelaksanaan penegakan hukum terhadap
pelanggaran lalu lintas baik tilang, penyidikan laka lantas dan
kriminalitas secara tegas dan konsisten;

k.

Meningkatkan kegiatan penegakan hukum melalui kegiatan


penyidikan

dengan

memanfaatkan

perkembangan

ilmu

pengetahuan dan teknologi kepolisian terutama terhadap


kejahatan

yang

melibatkan

kelompok

massa,

kejahatan

berdimensi baru, kejahatan ekonomi dan kejahatan terorganisir;


l.

Pembentukan tim khusus guna menekan dan mengungkap


kasus-kasus yang menjadi atensi masyarakat yang terjadi di
wilayah hukum Polrestabes Semarang;

m. Meningkatkan dan membudayakan fungsi pengawasan melekat


secara terus menerus dan menyeluruh, didukung dengan
pengawasan
pelaksanaan

fungsional
tugas

dan

dalam
untuk

rangka

meningkatkan

mengantisipasi

tuntutan

perkembangan manajemen di lingkungan Polri.

42

5. Kebijakan Kapolrestabes Semarang Tahun 2012


Ada beberapa kebijakan yang dikeluarkan Kapolrestabes
Semarang dalam tahun 2012, antara lain:24
a. Melakukan pembinaan terhadap tokoh masyarakat minimal 1
anggota Polri memiliki 1 tokoh binaan;
b. Memperluas dan meningkatkan kemitraan antara Polri dengan
berbagai elemen masyarakat untuk mendukung tugas-tugas
Polri;
c. Mengoptimalkan potensi yang telah ada sehingga potensi
tersebut dapat diberdayakan secara optimal dalam pelaksanaan
tugas;
d. Berupaya mengungkap dan menyelesaikan kasus-kasus yang
mendapat atensi pimpinan dan meresahkan masyarakat termasuk
atensi khusus terhadap kasus-kasus tunggakan yang belum
terungkap;
e. Menyatukan persepsi dan tindakan guna mendapat kepercayaan
masyarakat dalam rangka pelaksanaan Quick Wins;
f. Inventarisir kasu-kasus menonjol dan melakukan evaluasi
terhadap

perkembangannya

untuk

ditentukan

langkah

berikutnya;
g. Melakukan gelar perkara terhadap kasus pelik yang terjadi dan
melibatkan para penyidik yang menangani;
24

Ibid, halaman 30.

43

h. Melakukan penggeseran pasukan di setiap tempat keramaian dan


tempat rawan sebagai bentuk pengamanan terbuka yang
dilakukan Samapta;
i. Transparansi terhadap penggunaan anggaran sehingga tidak
menimbulkan keresahan anggota dan tidak menyimpang dari
ketentuan perwabku;
j. Inventaris Ranmor Dinas, alat komunikasi dan transportasi
sebagai perwujudan pelaksanaan gerak respons;
k. Meningkatkan kerjasama dengan unsur TNI, mengingat TNI
adalah satu-satunya institusi yang diberi kewenangan sesuai
dengan undang-undang untuk membantu Polri;
l. Memacu anggota untuk meningkatkan kreatifitas sehingga
diharapkan siapa yang lebih kreatif dan inovatif itulah yang akan
muncul dan tampil sebagai pemenang;
m. Harus berkaca pada kasus-kasus di tempat lain agar tidak terjadi
di Polrestabes Semarang sehingga bila telah berupaya dan
bekerja maksimal sesuai dengan prosedur dan proporsional,
namun masih terjadi, maka apapun yang terjadi kita tidak
menyesal.

44

B. KEBIJAKAN

KAPOLRESTABES

SEMARANG

DALAM

MENANGANI MASALAH PREMANISME DI KOTA SEMARANG


Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari
politik hukum maupun dari politik kriminal. Sudarto menyatakan, Politik
Hukum adalah :
1. Usaha untuk mewujudkan peraturanperaturan yang baik, sesuai
dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.25
2. Kebijakan dari negara melalui badanbadan yang berwenang untuk
menetapkan

peraturanperaturan

yang

dikehendaki

yang

diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang


terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicitacitakan.26
Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa kebijakan hukum pidana
meliputi sekaligus merupakan perwujudan dari tiga proses kebijakan yaitu
tahap formulasi, tahap aplikasi dan tahap eksekusi.
1) Tahap Formulasi
Pada dasarnya tahap formulasi

merupakan tahap yang paling

strategis dan menentukan, dilihat dari keseluruhan proses kebijakan


untuk mengoperasionalisasikan sanksi pidana. Kesalahan pada tahap
formulasi atau legislasi akan berpengaruh besar ke tahap aplikasi dan

25

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana (Bandung, Alumni, 1981), halaman 159.
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat (Bandung, Sinar Baru, 1983), halaman
20.
26

45

eksekusi. Barda Nawawi Arief berpendapat dalam teori-teori dan


kebijakan pidana bahwa,
Sebagai salah satu bagian dari mata rantai perencanaan
penanggulangan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, maka
tahap penetapan pidana (tahap formulasi) harus merupakan tahap
yang matang mengenai kebijakan-kebijakan tindakan apa yang
seharusnya diambil dalam hal pemidanaan apabila terjadi suatu
pelanggaran hukum.27
2) Tahap aplikasi
Tahap aplikasi adalah tahap penerapan ketentuan-ketentuan
pidana yang telah dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan.
3) Tahap eksekusi
Tahap eksekusi adalah tahap penerapan pelaksanaan pidana yang
telah ditetapkan dalam tahap aplikasi.
Di dalam Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia
disebutkan bahwa tugas kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan
negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.28 Dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Repubik Indonesia, disebutkan bahwa tugas
pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:29
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. Menegakkan hukum; dan

27

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni,
2005), halaman 92
28
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Repubik Indonesia.
29
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Repubik Indonesia.

46

c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada


masyarakat.
Dalam penjelasan Pasal 13 Undang-Undang Kepolisian Negara
Republik Indonesia dijelaskan bahwa,
Rumusan tugas pokok tersebut bukan merupakan urutan prioritas,
ketiga-tiganya sama penting, sedangkan dalam pelaksanaannya tugas
pokok mana yang akan dikedepankan sangat tergantung pada situasi
masyarakat dan lingkungan yang dihadapi karena pada dasarnya
ketiga tugas pokok tersebut dilaksanakan secara simultan dan dapat
dikombinasikan. Di samping itu, dalam pelaksanaan tugas ini harus
berdasarkan norma hukum, mengindahkan norma agama, kesopanan,
dan kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.30
Tugas pokok Polri dalam memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat berusaha menjaga dan memelihara akan kondisi masyarakat
terbebas dari rasa ketakutan dan atau kekhawatiran, sehingga ada rasa
kepastian dan jaminan dari segala kepentingan serta terbebas dari adanya
pelanggaran norma-norma hukum. Aksi Premanisme di Kota Semarang
sudah tidak menjadi suatu hal yang baru. Berbagai upaya telah dilakukan
untuk menangani aksi premanisme ini. Demikian halnya dengan
Polrestabes Semarang telah lama berupaya semaksimal mungkin untuk
meminimalisasi aksi premanisme di Kota Semarang. Kapolrestabes
Semarang memberikan kebijakan untuk menangani masalah premanisme
dengan menggolongkan tindakan/upaya yang dilakukannya menjadi dua
golongan, yaitu langkah preventif dan langkah represif.31

30

Penjelasan Pasal 13 Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia.


Sumadi, Wawancara,Kasubbag Binops Reserse Polrestabes Semarang, Polrestabes Semarang,
(Semarang, 7 Mei 2012).
31

47

1. Langkah Preventif Dalam Menangani Masalah Premanisme


Langkah preventif adalah langkah yang bersifat sebagai
pencegahan, supaya jangan terjadi tindakan kejahatan.32 Usaha
kepolisian melalui upaya preventif dilaksanakan dengan konsep dan
pola pembinaan dalam wujud memberi pengayoman, perlindungan dan
pelayanan kepada masyarakat melalui cara penyuluhan, pengaturan,
penjagaan, pengawalan, patroli polisi dan lain-lain. Hal ini dilakukan
agar masyarakat merasa aman, tertib dan tenteram serta tidak
terganggu segala aktifitasnya. Langkah preventif terdiri dari beberapa
kegiatan, yaitu:
a. Sosialisasi/Penyuluhan
Sebelum melakukan sosialisasi sangat diperlukan persiapan
yang matang. Mulai dari materi yang akan disampaikan, waktu dan
tempat pelaksanaan. Untuk pengelompokan umur, jenis kelamin,
pendidikan sangat mempengaruhi materi yang akan disampaikan.
Dalam sosialisasi tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda
mempunyai pengaruh sangat besar. Karena Polisi mengharapkan
mereka bisa membentuk restoratif justice dikemudian hari.
Sehingga mereka bisa menyelesaikan setiap persoalan yang
dianggap masalah kecil. Jadi untuk menghindari masalah-masalah
yang kecil agar tidak sampai ke pengadilan. Sosialisasi dilakukan
oleh bagian Binmas Polrestabes Semarang. Setelah melakukan
32

Sumadi, Wawancara, Kasubbag Binops Reserse Polrestabes Semarang, Polrestabes Semarang,


(Semarang, 7 Mei 2012).

48

kegiatan

sosialisasi

ini

maka

dibuatlah

laporan

tentang

pelaksanaannya.
b. Bimbingan
Kegiatan bimbingan yang dilaksanakan oleh Polrestabes
Semarang dapat diberikan dalam suatu forum yang telah dibentuk.
Forum tersebut misalnya Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat
yang biasa disingkat FKPM, dan ada juga Forum Kemitraan Polisi
Masyarakat dan Mahasiswa (FKPMM). Hal ini diwajibkan bagi
setiap anggota Polrestabes Semarang untuk mempunyai minimal
satu orang dalam masyarakat yang harus dibimbingnya.
c. Patroli
Patroli dilakukan oleh seluruh anggota polisi yang ada di
Polrestabes Semarang secara bergantian. Biasanya dipimpin oleh
bagian Sabara dan Reserse Polrestabes Semarang. Setiap anggota
polri yang bertugas melaksanakan patroli harus dilengkapi surat
perintah sesuai dengan KUHAP dan Undang-undang No. 2 Tahun
2002. Dan sebelum melakukan patroli, akan didahului dengan
arahan dari pimpinan yang biasa disebut Arahan Pimpinan Patroli
(APP). Setelah itu dilakukan pengecekan perlengkapan yang akan
digunakan dan pengecekan personil yang terlibat. Pengecekan
perlengkapan misalnya kendaraan yang akan digunakan, alat
komunikasi yang diperlukan, dll. Sedangkan perlengkapan personel
misalnya terdiri dari pakaian yang akan digunakan untuk
49

melakukan operasi. Kemudian tim yang akan melaksanakan patroli


menentukan sasaran yang jelas, yaitu meliputi:33
a) Waktu
Waktu yang dipergunakan harus jelas, hari apa dan
jam berapa.
b) Tempat
Tempat merupakan lokasi dimana patroli akan
dilaksanakan.
c) Orang
Dalam melakukan patroli harus ditentukan juga siapa
orang-orang yang perlu diwaspadai. Sehingga mereka tidak
mendapatkan kesempatan untuk melakukan kejahatan,
walaupun awalnya mereka sudah mempunyai niat untuk
melakukannya.
Selain menentukan sasaran yang jelas, dalam melaksanakan
patroli ada panduan berupa Standar Operasional Pelaksanaan
(SOP) yang harus diikuti. Pelaksanaan operasi oleh Polrestabes
Semarang biasanya dilakukan dalam dua tim, yaitu34:
1) Tim Pertama
Tim pertama adalah tim pendahulu. Tim ini berangkat
dengan menggunakan seragam bebas yang biasa disebut

33

Mangisara Manurung, Wawancara, Kasubbag Dalops Polrestabes Semarang, Polrestabes


Semarang, (Semarang, 31 Mei 2012).
34
Drs. Basuki, Wawancara, Kasat Sabhara, Polrestabes Semarang, (Semarang, 13 Juni 2012).

50

seragam preman. Mereka menggunakan seragam bebas


dengan tujuan agar mereka bisa lebih bebas dalam melakukan
tugasnya tanpa ada kecurigaan dari pihak preman yang
sebenarnya. Tim pertama ditempatkan di lapangan terlebih
dahulu untuk melihat situasi dan kondisi yang terjadi.
Kemudian tim ini akan menandai orang-orang yang telah
mereka curigai sebagai preman. Dan setelah itu mereka
melakukan pengawasan terhadap segala aktifitas

yang

dilakukan oleh preman tersebut. Pada saat preman tersebut


melakukan kejahatan, baru tim pertama ini akan menghubungi
tim lain. Kemudian mereka akan bersama-sama menangkap
preman yang melakukan kejahatan tersebut.
2) Tim Kedua
Tim kedua ditempatkan tidak jauh dari tim pertama,
yaitu di sekitar wilayah patroli. Tim ini bersiap sedia mana
kala tim pertama menghubungi mereka untuk masuk wilayah
tempat kejadian kejahatan. Dan tim kedua dan pertama akan
bekerja sama untuk menangkap preman yang melakukan
kejahatan tersebut.
Selain membagi menjadi dua tim, Polrestabes Semarang
juga dapat melakukan operasi dengan mengelilingi suatu
wilayah yang diperkirakan rawan terhadap kejahatan. Operasi
yang dilakukan oleh Polrestabes Semarang ini merupakan
51

kegiatan rutin yang masuk dalam Program Tetap (Protap)


Polrestabes Semarang. Setelah melakukan operasi, maka
selanjutnya dibuatlah laporan hasil operasi yang telah
dilakukan. Laporan ini dibuat oleh bagian sabhara dan bagian
reskrim. Pembuatan laporan ini tergantung dari tindak pidana
yang dilakukan oleh preman. Jika tindak pidana yang
dilakukan merupakan tindak pidana ringan, maka bagian
sabharalah yang membuat laporan hasil operasi. Akan tetapi
jika tindak pidana yang dilakukan oleh preman merupakan
tindak pidana biasa, maka bagian reskrimlah yang membuat
laporan operasi yang telah dilakukan. Sedangkan apabila sama
sekali tidak ada terjadi suatu tindak pidana pada saat operasi
dilakukan, maka laporan yang diberikan kepada atasan hanya
berupa laporan lisan saja.

2. Langkah Represif Dalam Menangani Masalah Premanisme


Langkah represif adalah langkah yang bersifat represi (menekan,
mengekang, menahan atau menindas).35 Tugas-tugas di bidang represif
adalah mengadakan penyelidikan dan penyidikan atas kejahatan dan
pelanggaran menurut ketentuan dalam undang-undang. Tugas represif
ini sebagai tugas kepolisian dalam bidang peradilan atau penegakan
hukum. Kondisi demikian menjadi ciri khas pekerjaan polisi, di satu
35

Sumadi, Wawancara, Kasubbag Binops Reserse Polrestabes Semarang, Polrestabes Semarang,


(Semarang, 7 Mei 2012).

52

sisi harus memelihara ketertiban, di sisi lain harus menegakkan


keadilan dengan jalan hukum.
a. Penyelidikan
Dalam Pasal 1 butir (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 Tentang Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa
penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai
tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan.36 Dan yang dimaksud dengan penyelidik dalam
undang-undang ini adalah pejabat polisi negara Republik
Indonesia yang diberi wewenang untuk melakukan penyelidikan.
Setelah adanya laporan/pengaduan tentang kejahatan dari
masyarakat, maka polisi akan mengecek benar tidaknya suatu
kejahatan tersebut atau melakukan penyelidikan. Dalam Pasal 1
butir (24) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum
Acara Pidana menyebutkan bahwa Laporan adalah pemberitahuan
yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban
berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang
tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa
pidana.37 Sedangkan dalam Pasal 1 butir (25) Undang-Undang
Nomor

Tahun

1981

Tentang

Hukum

Acara

Pidana

menyebutkan bahwa Pengaduan adalah pemberitahuan disertai


36
37

Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
Pasal 1 ayat (24) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

53

permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang


berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah
melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.38
Dengan adanya laporan/aduan tersebut maka polisi akan
meminta informasi tentang identitas pelapor dan tentang
kejahatan yang terjadi serta tempat kejadian kejahatan itu
berlangsung. Dan setelah itu polisi akan datang untuk melakukan
penyelidikan ke tempat terjadinya kejahatan tersebut atau tempat
kejadian perkara yang sering disebut TKP. Dan disinilah akan
dilakukan pemeriksaan, sehingga polisi dapat menetukan dapat
atau tidaknya dilakukan penyidikan. Dalam hal ini penyelidik
mempunyai wewenang untuk melakukan penangkapan.
b. Penyidikan
Dalam Pasal 1 butir (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 Tentang Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa
penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari
serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.39 Dan yang dimaksud dengan penyidik dalam Pasal
1 butir (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum
Acara Pidana adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia
atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang
38
39

Pasal 1 ayat (25) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

54

khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.40 Yang


dimaksud tersangka dalam Pasal 1 butir (14) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana adalah
seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan
bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.41
Dalam melakukan penyidikan, ada beberapa wewenang
yang dimiliki oleh penyidik Polrestabes Semarang yang sesuai
dengan BAB V KUHAP yaitu:
1) Penangkapan
Yang dimaksud penangkapan dalam Pasal 1 butir (20)
Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan
sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila
terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau
penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini.42 Dalam Pasal 16
Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana disebutkan bahwa untuk kepentingan penyidikan,
penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan
penangkapan.43

Pasal

selanjutnya

menjelaskan

bahwa

perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang


40

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
Pasal 1 ayat (14) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
42
Pasal 1 ayat (20) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
43
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
41

55

diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti


permulaan yang cukup. Yang dimaksud dengan "bukti
permulaan yang cukup" ialah bukti permulaan untuk
menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1
butir 14. Pasal ini menentukan bahwa perintah penangkapan
tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi
ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak
pidana.44
Dalam Pasal 18 disebutkan bahwa pelaksanaan tugas
penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara
Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta
memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan
yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan
alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan
yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.45 Dalam hal
tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat
perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera
menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada
kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat.
Tembusan surat perintah penangkapan harus diberikan
kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.
Penangkapan dapat dilakukan untuk paling lama satu hari.
44
45

Penjelasan Pasal 7 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.


Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

56

Terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan


penangkapan kecuali dalam hal ia telah dipanggil secara sah
dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa
alasan yang sah.
2) Penahanan
Yang dimaksud penahanan dalam Pasal 1 butir (21)
Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat
tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim
dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini46. Dalam Pasal 20 UndangUndang No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
disebutkan beberapa hal tentang penahanan, yaitu:47
a) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik
pembantu atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 berwenang melakukan penahanan.
b) Untuk

kepentingan

berwenang

melakukan

penuntutan,
penahanan

penuntut
atau

umum

penahanan

lanjutan.
c) Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang
pengadilan dengan penetapannya berwenang melakukan
penahanan.
46
47

Pasal 1 ayat (21) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
Pasal 20 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

57

Selanjutnya dalam Pasal 21 Undang-Undang No 8


Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana menjelaskan
tentang penahanan yaitu:48
a) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan
terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga
keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang
cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan
kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan
melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang
bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
b) Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh
penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau
terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan
atau penetapan hakim yang mencatumkan identitas
tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan
penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang
dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan.
c) Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan
lanjutan atau penetapan hakim sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya.
d) Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap
tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana

48

Pasal 21 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

58

dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam


tindak pidana tersebut dalam hal:
tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara
lima tahun atau lebih;
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351
ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378,
Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal
459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang
Hukum

Pidana,

Rechtenordonnantie

Pasal

25

dan

(pelanggaran

Pasal

26

terhadap

Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan


Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2
dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi
(Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955,
Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36
ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan
Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976
tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976
Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3086).

59

Dalam Pasal 22 Undang-Undang No 8 Tahun 1981


Tentang Hukum Acara Pidana disebutkan beberapa tentang
jenis penahanan yang dilakukan oleh penyidik, yaitu:49
a) Jenis penahanan dapat berupa :
penahanan rumah tahanan negara;
penahanan rumah;
penahanan kota.
b) Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal
atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan
mengadakan

pengawasan

terhadapnya

untuk

menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan


kesulitan

dalam

penyidikan,

penuntutan

atau

pemeriksaan di sidang pengadilan.


c) Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau
tempat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan
kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diri
pada waktu yang ditentukan.
d) Masa penangkapan dan atau penahanan dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
e) Untuk penahanan kota pengurangan tersebut seperlima
dari jumlah lamanya waktu penahanan sedangkan untuk

49

Pasal 22 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

60

penahanan rumah sepertiga dari jumlah lamanya waktu


penahanan.
Pasal 23 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana:50
a) Penyidik atau penuntut umum atau hakim berwenang
untuk mengalihkan jenis penahanan yang satu kepada
jenis penahanan yang lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22.
b) Pengalihan jenis penahanan dinyatakan secara tersendiri
dengan surat perintah dari penyidik atau penuntut umum
atau penetapan hakim yang tembusannya diberikan
kepada tersangka atau terdakwa serta keluarganya dan
kepada instansi yang berkepentingan.
Pasal 24 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana:51
a) Perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, hanya berlaku
paling lama dua puluh hari.
b) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila
diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum
selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang
berwenang untuk paling lama empat puluh hari.
50
51

Pasal 23 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.


Pasal 24 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

61

c) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat


(2)

tidak

tersangka

menutup
dari

kemungkinan

tahanan

sebelum

dikeluarkannya
berakhir

waktu

penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah


terpenuhi.
d) Setelah waktu enam puluh hari tersebut, penyidik harus
sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum.
Pasal 25 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana:52
a) Perintah penahanan yang diberikan oleh penuntut umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, hanya berlaku
paling lama dua puluh hari.
b) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila
diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum
selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri
yang berwenang untuk paling lama tiga puluh hari.
c) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat
(2)

tidak

tersangka

menutup
dari

kemungkinan

tahanan

sebelum

dikeluarkannya
berakhir

waktu

penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah


terpenuhi.

52

Pasal 25 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

62

d) Setelah waktu lima puluh hari tersebut, penuntut umum


harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi
hukum.
Pasal 29 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana:53
a) Dikecualikan dari jangka waktu penahanan sebagaimana
tersebut pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 dan
Pasal 28, guna kepentingan pemeriksaan, penahanan
terhadap tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang
berdasar alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan
karena:
tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik
atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan
surat keterangan dokter, atau
perkara yang sedang diperiksa diancam dengan
pidana penjara sembilan tahun atau lebih.
b) Perpanjangan tersebut pada ayat (1) diberikan untuk
paling lama tiga puluh hari dan dalam hal penahanan
tersebut masih diperlukan, dapat diperpanjang lagi untuk
paling lama tiga puluh hari.
c) Perpanjangan penahanan tersebut atas dasar permintaan
dan laporan pemeriksaan dalam tingkat:

53

Pasal 29 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

63

penyidikan dan penuntutan diberikan oleh ketua


pengadilan negeri;
pemeriksaan di pengadilan negeri diberikan oleh
ketua pengadilan tinggi;
pemeriksaan banding diberikan oleh Mahkamah
Agung;
pemeriksaan kasasi diberikan oleh Ketua Mahkamah
Agung.
d) Penggunaan kewenangan perpanjangan penahanan oleh
pejabat tersebut pada ayat (3) dilakukan secara bertahap
dan dengan penuh tanggung jawab.
e) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (2) tidak
menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka atau
terdakwa

dari

tahanan

sebelum

berakhir

waktu

penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah


dipenuhi.
f) Setelah waktu enam puluh hari, walaupun perkara
tersebut belum selesai diperiksa atau belum diputus,
tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan dari
tahanan demi hukum.
g) Terhadap perpanjangan penahanan tersebut pada ayat (2)
tersangka atau terdakwa dapat mengajukan keberatan
dalam tingkat :
64

penyidikan dan penuntutan kepada ketua pengadilan


tinggi;
pemeriksaan pengadilan negeri dan pemeriksaan
banding kepada Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 30 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana menjelaskan bahwa,
Apabila tenggang waktu penahanan sebagaimana
tersebut pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 dan
Pasal 28 atau perpanjangan penahanan sebagaimana
tersebut pada Pasal 29 ternyata tidak sah, tersangka
atau terdakwa berhak minta ganti kerugian sesuai
dengan ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 95 dan
Pasal 96.54
Pasal 31 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana:55
a) Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau
penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan
masing-masing,

dapat

mengadakan

penangguhan

penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan


orang, berdasarkan syarat yang ditentukan.
b) Karena jabatannya penyidik atau penuntut umum atau
hakim sewaktu-waktu dapat mencabut penangguhan
penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar
syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

54
55

Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.


Pasal 31 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

65

3) Penggeledahan Badan
Yang dimaksud penggeledahan badan dalam Pasal 1
butir (18) Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum
Acara Pidana adalah tindakan penyidik untuk mengadakan
pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari
benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya
serta, untuk disita.56 Pasal 32 sampai dengan Pasal 37
Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana

mengatur

tentang

penggeledahan

yang

dapat

dilakukan oleh penyidik.


Pasal 32 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana mengatakan bahwa untuk kepentingan
penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah
atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan
menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang
ini.57
Pasal 33 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana:58
a) Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat
penyidik

dalam

melakukan

penyidikan

dapat

mengadakan penggeledahan yang diperlukan.

56

Pasal 1 ayat (18) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
Pasal 32 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
58
Pasal 40 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
57

66

b) Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari


penyidik, petugas kepolisian negara Republik Indonesia
dapat memasuki rumah.
c) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua
orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni
menyetujuinya.
d) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh
kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang
saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau
tidak hadir.
e) Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau
menggeledah rumah, harus dibuat suatu berita acara dan
turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni
rumah yang bersangkutan.
Pasal 34 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana:59
a) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak
bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak
mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu,
dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 33 ayat (5)
penyidik dapat melakukan penggeledahan :

59

Pasal 34 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

67

pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal,


berdiam atau ada dan yang ada di atasnya;
pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal,
berdiam atau ada;
di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat
bekasnya;
di tempat penginapan dan tempat umum lainnya.
b) Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan seperti
dimaksud dalam ayat (1) penyidik tidak diperkenankan
memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain yang
tidak merupakan benda yang berhubungan dengan tindak
pidana

yang

bersangkutan,

kecuali

benda

yang

berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan


atau yang diduga telah dipergunakan untuk melakukan
tindak pidana tersebut dan untuk itu wajib segera
melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat
guna memperoleh persetujuannya.
Pasal 35 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana mengatur tentang tempat dimana
penyidik tidak boleh masuk/memeriksa, kecuali dalam hal
tertangkap tangan:60

60

Pasal 35 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

68

a) ruang di mana sedang berlangsung sidang Majelis


Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat
atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
b) tempat di mana sedang berlangsung ibadah dan atau
upacara keagamaan;
c) ruang dimana sedang berlangsung sidang pengadilan.
Pasal 36 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana mengatakan bahwa dalam hal penyidik
harus melakukan penggeledahan rumah di luar daerah
hukumnya, dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut
dalam Pasal 33, maka penggeledahan tersebut harus diketahui
oleh ketua pengadilan negeri dan didampingi oleh penyidik
dari daerah hukum di mana penggeledahan itu dilakukan.61
Pasal 37 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana:62
a) Pada waktu menangkap tersangka, penyelidik hanya
berwenang menggeledah pakaian termasuk benda yang
dibawanya serta, apabila terdapat dugaan keras dengan
alasan yang cukup bahwa pada tersangka tersebut
terdapat benda yang dapat disita.
b) Pada waktu menangkap tersangka atau dalam hal
tersangka sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibawa
61
62

Pasal 36 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.


Pasal 37 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

69

kepada penyidik, penyidik berwenang menggeledah


pakaian dan atau menggeledah badan tersangka.
4) Penyitaan
Yang dimaksud penyitaan dalam Pasal 1 butir (16)
Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana yaitu,
serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih
dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda
bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak
berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam
penyidikan, penuntutan dan peradilan.63
Pada Pasal 38 sampai dengan Pasal 46 Undang-Undang
No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana mengatur
tentang penyitaan yang dilakukan oleh penyidik.
Pasal 38 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana:64
a) Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan
surat izin ketua pengadilan negeri setempat.
b) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak
bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak
mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu,
tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat
melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan
untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua
63
64

Pasal 1 ayat (16) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
Pasal 38 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

70

pengadilan

negeri

setempat

guna

memperoleh

persetujuannya.
Pasal 39 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana:65
a) Yang dapat dikenakan penyitaan adalah :
benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang
seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan
pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
benda yang telah dipergunakan secara langsung
untuk

melakukan

tindak

pidana

atau

untuk

mempersiapkannya;
benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi
penyidikan tindak pidana;
benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan
melakukan

tindak

pidana;

benda

lain

yang

mempunyai hubungan lansung dengan tindak pidana


yang dilakukan.
b) Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata
atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan
penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana,
sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1).

65

Pasal 39 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

71

Pasal 40 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang


Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa dalam hal
tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat
yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan
untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat
dipakai sebagai barang bukti.66
Pasal 41 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa,
Dalam hal tertangkap tangan penyidik berwenang
menyita paket atau surat atau benda yang
pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh
kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau
perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang
paket, surat atau benda tersebut diperuntukkan bagi
tersangka atau yang berasal daripadanya dan untuk itu
kepada tersangka dan atau kepada pejabat kantor pos
dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan
komunikasi atau pengangkutan yang bersangkutan,
harus diberikan surat tanda penerimaan.67
Pasal 42 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana:68
a) Penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang
menguasai benda yang dapat disita, menyerahkan benda
tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan
kepada yang menyerahkan benda itu harus diberikan
surat tanda penerimaan.

66

Pasal 40 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.


Pasal 41 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
68
Pasal 42 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
67

72

b) Surat atau tulisan lain hanya dapat diperintahkan untuk


diserahkan kepada penyidik jika surat atau tulisan itu
berasal dari tersangka atau terdakwa atau ditujukan
kepadanya atau kepunyaannya atau diperuntukkan
baginya atau jikalau benda tersebut merupakan alat untuk
melakukan tindak pidana.
Pasal 43 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa Penyitaan surat
atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut
undang-undang untuk merahasiakannya, sepanjang tidak
menyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas
persetujuan mereka atau atas izin khusus ketua pengadilan
negeri setempat kecuali undang-undang menentukan lain.69
Pasal 44 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana:70
a) Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda
sitaan negara.
b) Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaikbaiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat
yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan
dalam proses peradilan dan benda tersebut di larang
untuk dipergunakan oleh siapapun juga.
69
70

Pasal 43 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.


Pasal 44 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

73

Pasal 45 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang


Hukum Acara Pidana:71
a) Dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang dapat
lekas rusak atau yang membahayakan, sehingga tidak
mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan
terhadap

perkara

yang

bersangkutan

memperoleh

kekuatan hukum tetap atau jika biaya penyimpanan


benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi, sejauh
mungkin dengan persetujuan tersangka atau kuasanya
dapat diambil tindakan sebagai berikut :
apabila perkara masih ada ditangan penyidik atau
penuntut umum, benda tersebut dapat dijual lelang
atau dapat diamankan oleh penyidik atau penuntut
umum, dengan disaksikan oleh tersangka atau
kuasanya;
apabila perkara sudah ada ditangan pengadilan, maka
benda tersebut dapat diamankan atau dijual lelang
oleh

penuntut

umum

atas

izin

hakim

yang

menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh


terdakwa atau kuasanya.
b) Hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa
uang dipakai sebagai barang bukti.

71

Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

74

c) Guna

kepentingan

pembuktian

sedapat

mungkin

disisihkan sebagian dari benda sebagaimana dimaksud


dalam ayat (1).
d) Benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk
diedarkan,

tidak

termasuk

ketentuan

sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1), dirampas untuk dipergunakan


bagi kepentingan negara atau untuk dimusnahkan.
Pasal 46 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana:72
a) Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan
kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda
itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka
yang paling berhak apabila :
kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak
memerlukan lagi;
perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak
cukup bukti atau ternyata tidak merupakan
tindak pidana;
perkara

tersebut

dikesampingkan

untuk

kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup


demi

hukum,

kecuali

apabila

benda

itu

diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang

72

Pasal 46 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

75

dipergunakan untuk melakukan suatu tindak


pidana.
b) Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang
dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang
atau kepada mereka yang disebut dalam putusan
tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda
itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau
untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan
lagi atau, jika benda tersebut masih diperlukan
sebagai barang bukti dalam perkara lain.
5) Pemasukan Rumah
Yang dimaksud pemasukan rumah dalam Pasal 1 butir
(16) Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum
Acara Pidana yaitu
Tindakan penyidik untuk memasuki rumah
tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk
melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan
dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini.73
6) Pemeriksaan Surat
Dalam Pasal 47 sampai dengan 49 Undang-Undang No
8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana diatur tentang
pelaksanaan pemeriksaan surat yang dilakukan oleh penyidik.

73

Pasal 1 ayat (16) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

76

Pasal 47 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang


Hukum Acara Pidana:74
a) Penyidik berhak membuka, memeriksa dan menyita surat
lain yang dikirim melalui kantor pos dan telekomunikasi,
jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan
jika benda tersebut dicurigai dengan alasan yang kuat
mempunyai hubungan dengan perkara pidana yang
sedang diperiksa, dengan izin khusus yang diberikan
untuk itu dari ketua pengadilan negeri.
b) Untuk kepentingan tersebut penyidik dapat meminta
kepada kepala kantor pos dan telekomunikasi, kepala
jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan
lain untuk menyerahkan kepadanya surat yang dimaksud
dan untuk itu harus diberikan surat tanda penerimaan.
c) Hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
pasal

ini,

dapat

dilakukan

pada

semua

tingkat

pemeriksaan dalam proses peradilan menurut ketentuan


yang diatur dalam ayat tersebut.
Pasal 48 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana:75
a) Apabila sesudah dibuka dan diperiksa, ternyata bahwa
surat itu ada hubungannya dengan perkara yang sedang
74
75

Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.


Pasal 48 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

77

diperiksa, surat tersebut dilampirkan pada berkas


perkara.
b) Apabila sesudah diperiksa ternyata surat itu tidak ada
hubungannya dengan perkara tersebut, surat itu ditutup
rapi dan segera diserahkan kembali kepada kantor pos
dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi
atau pengangkutan lain setelah dibubuhi cap yang
berbunyi "telah dibuka oleh penyidik" dengan dibubuhi
tanggal, tandatangan beserta identitas penyidik.
c) Penyidik

dan

para

pejabat

pada

semua

tingkat

pemeriksaan dalam proses peradilan wajib merahasiakan


dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan
isi surat yang dikembalikan itu.
Pasal 49 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana:76
a) Penyidik membuat

berita acara tentang tindakan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan Pasal 75.


b) Turunan berita acara tersebut oleh penyidik dikirimkan
kepada kepala kantor pos dan telekomunikasi, kepala
jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan
yang bersangkutan.

76

Pasal 49 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

78

Berpijak pada tugas kepolisian secara luas, maka dalam pelaksanaan


tugas

kepolisian

didasari

oleh

doktrin-doktrin

kepolisian

yang

mengandung pikiran-pikiran dasar dalam penyelenggaraan kepolisian dan


melatarbelakangi eksistensi kepolisian dalam negara. Doktrin-doktrin
tersebut, antara lain Tri Brata dan Catur Prasetya yang rumusannya
sebagai berikut:
a. Tri Brata
Kami Polisi Indonesia:
1. Berbakti Kepada Nusa dan Bangsa dengan penuh ketaqwaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
2. Menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kemanusiaan dalam
menegakkan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
3. Senantiasa melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat
dengan keikhlasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban.
b. Catur Prasetya
Sebagai insan Bhayangkara, kehormatan polisi adalah berkorban demi
masyarakat, bangsa dan negara, untuk:
1. Meniadakan segala bentuk gangguan keamanan;
2. Menjaga keselamatan jiwa raga, harta benda dan hak asasi
manusia;
3. Menjamin kepastian berdasarkan hukum;
4. Memelihara perasaan tenteram dan damai.
79

C. HAMBATAM-HAMBATAN YANG DIALAMI POLRESTABES


SEMARANG DALAM MENANGANI MASALAH PREMANISME
Dalam menangani masalah premanisme, langkah-langkah yang
dilakukan Polrestabes Semarang tidak selalu berjalan dengan baik. Ada
kalanya hambatan-hambatan itu datang. Dan hambatan yang dialami ini
dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu hambatan yang dialami dalam
langkah prevetif dan hambatan yang dialami dalam langkah represif.

1. Hambatan yang dialami dalam langkah preventif


a. Kesadaran masyarakat terhadap penegakan hukum sangat kurang.77
Penegakan hukum bukan hanya saja menjadi tugas aparat
hukum dalam hal ini kepolisian, akan tetapi masyarakat merupakan
faktor yang sangat penting untuk dapat menegakkan hukum yang
ada.

Untuk

menambah

kesadaran

masyarakat,

Polrestabes

Semarang sering melakukan penyuluhan di berbagai tempat agar


masyarakat mengetahui bahwa mereka juga memegang peranan
yang sangat penting untuk menegakkan hukum.
b. Keterbatasan informasi yang diperoleh dari masyarakat.78
Ada kalanya masyarakat merasa takut untuk memberikan
informasi yang sangat dibutuhkan oleh Polrestabes Semarang guna
menangani kejahatan yang ada. Akan tetapi karena rasa takut yang
77

Mangisara Manurung, Wawancara, Kasubbag Dalops Polrestabes Semarang, Polrestabes


Semarang, (Semarang, 31 Mei 2012).
78
Mangisara Manurung, Wawancara, Kasubbag Dalops Polrestabes Semarang, Polrestabes
Semarang, (Semarang, 31 Mei 2012).

80

dimiliki masyarakat, Polrestabes Semarang mengalami kesulitan


untuk mengupas tuntas setiap kejahatan yang ada. Upaya yang
dilakukan Polrestabes Semarang untuk mengatasi hambatan ini
yaitu dengan memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa
perlu adanya kerjasama antara masyarakat dan polri untuk
menumpas habis kejahatan.
c. Kurangnya kepedulian masyarakat terhadap perlindungan orang
lain dan lingkungan.79
Dengan

kurangnya

kepedulian

masyarakat

terhadap

perlindungan orang lain dan lingkungan, maka kerusakan yang


terjadi di masyarakat akan semakin parah. Biasanya masyarakat
akan merasa sungkan untuk membantu sesama mereka. Dengan
menyadari kekurangan tersebut Polrestabes Semarang menghimbau
masyarakat

untuk

lebih

peduli

terhadap

orang

lain

dan

lingkungannya. Cara yang dilakukan yaitu himbauan melalui


tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh pemuda, tokoh-tokoh masyarakat
karena masyarakat akan lebih memperhatikan apa yang diucapkan
oleh tokoh-tokoh tersebut.

79

Nengah, Wawancara, Kasubbag Binmas Polrestabes Semarang, Polrestabes Semarang,


(Semarang, 31 Mei 2012).

81

2. Hambatan yang dialami dalam langkah represif


a. Keterangan saksi yang kurang memadai.80
Dalam melakukan pemeriksaan, penyidik sering mengalami
bahwa saksi kurang memadai dalam memberikan informasi
tentang kejahatan yang terjadi. Hal ini biasanya karena rasa takut
yang dialami oleh saksi, sehingga dia bingung untuk memberikan
keterangan. Dalam hal ini penyidik harus lebih sabar dan tenang
untuk mendapatkan semua informasi yang dibutuhkan. Dan
penyidik pun harus pintar mencari ide-ide baru untuk menggali
informasi yang dibutuhkan.
b. Masih kurangnya alat bukti yang diperlukan.81
Hambatan yang tak kalah pentingya untuk diperhatikan
yaitu jika masih kurangnya alat bukti yang diperlukan untuk
melakukan penyidikan. Dalam Pasal 184 ayat (1) disebutkan alat
bukti yang sah yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat,
petunjuk dan keterangan terdakwa. Untuk mendapatkan minimal 2
alat bukti yang sah, penyidik masih butuh kerja keras. Penyidik
harus melakukan penyelidikan lebih lanjut untuk mendapatkannya.
c. Pasal yang dikenakan tidak/kurang sesuai.82
Di dalam pembuktian, sesuai atau tidaknya pasal yang
dikenakan sangat penting. Jika pasal yang dikenakan tidak sesuai
80

Muslih, Wawancara, Penyidik Polrestabes Semarang, Polrestabes Semarang, (Semarang, 31 Mei


2012).
81
Ibid.
82
Ibid.

82

bisa saja terdakwa dibebaskan atau dilepaskan. Oleh karena itu


penyidik tidak boleh sembarangan untuk menentukan pasal yang
dilanggar oleh tersangka. Ada kalanya penyidik mengalami
keragu-raguan dalam menentukan pasal yang akan dikenakan
terhadap tersangka. Untuk mengantisipasi hal tersebut biasanya
penyidik

menggunakan

beberapa

pasal

sekaligus

dan

menyelenggarakan penyelidikan lebih lanjut.

83

BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Polrestabes
Semarang, penulis memberikan kesimpulan, yaitu:
1. Kebijakan Kapolrestabes Semarang dalam menangani masalah
premanisme

di

Kota

Semarang

dilakukan

dengan

beberapa

langkah/tindakan, yang digolongkan menjadi dau langkah, yaitu


langkah preventif dan langkah represif.
a. Langkah Preventif
Langkah Preventif adalah langkah yang bersifat sebagai
pencegahan, supaya jangan terjadi tindakan kejahatan. Langkah
preventif

terdiri

dari

beberapa

kegiatan

yaitu

Sosialisasi,

Bimbingan dan Patroli.


b. Langkah Represif
Langkah Represiv adalah langkah yang bersifat represi
(menekan, mengekang, menahan atau menindas). Tugas-tugas di
bidang represif adalah mengadakan penyelidikan dan penyidikan
atas kejahatan dan pelanggaran menurut ketentuan dalam undangundang.

84

2. Hambatan bagi Polrestabes Semarang dalam menangani premanisme


di Kota Semarang antara lain:
a. Kesadaran masyarakat terhadap penegakan hukum sangat kurang.
b. Keterbatasan informasi yang diperoleh dari masyarakat.
c. Kurangnya kepedulian masyarakat terhadap perlindungan orang
lain dan lingkungan.
d. Keterangan saksi yang kurang memadai.
e. Masih kurangnya alat bukti yang diperlukan.
f. Pasal yang dikenakan tidak/kurang sesuai.

B. SARAN
Dari hasil penelitian yang dilakukan di Polrestabes Semarang,
penulis memiliki beberapa saran yaitu:
1. Adanya koordinasi yang lebih intensif antara masing-masing bagian di
Polrestabes

Semarang

dalam

melaksanakan

kegiatan-kegiatan

preventif dalam rangka mengatasi masalah premanisme di Kota


Semarang.
2. Adanya penempatan jumlah personil yang lebih banyak khususnya di
Sat Reskrim dalam melaksanakan tugas yang diberikan. Dan
pengusulan kenaikan anggaran untuk kegiatan penyelidikan dan
penyidikan tindak pidana dalam rancangan rencana kerja tahun
anggaran berikutnya.

85

3. Masyarakat harus ikut berperan serta secara aktif dalam memberantas


kejahatan. Seperti yang diketahui masalah premanisme sangat
merugikan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dan Polrestabes Semarang hendaknya menanamkan pengetahuan
sejak dini kepada masyarakat bahwa mereka sangat diperlukan untuk
memberantas kejahatan.
4. Adanya kebijakan khusus dari Kapolrestabes Semarang untuk
menangani masalah premanisme di Kota Semarang, sehingga
penanganannya akan lebih efektif dan efisien.

86

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU
Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana
Perkembangan Penyusunan
Konsep KUHP Baru, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2008.
Arief, Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung:
Penerbit Alumni, 2003.
Khoidin, M dan Sadjijino, Mengenal Figur Polisi Kita, Yogyakarta:
Laksbang PRESSindo, 2006.
Marlina, Hukum Penitensier, Medan: PT. Refika Aditama, 2011.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,
Bandung: Alumni, 2005.
Nitibaskara, Ronny Rahman, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum,
Jakarta: PT Kompas Nusantara, 2006.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas
Indonesia Press, 1984.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Penelitian Hukum
Normatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1981.
Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto a/n FH. Undip
Semarang,1990.
Sularto,R.B dan Budi Hermidi, Dasar Dasar Teknik Keterampilan Non
Litigasi (Bidang Hukum Penitensier), Semarang: Badan Penerbit
UNDIP, 2007.
Tongat, Hukum Pidana Materiil, Malang: UMM Press, 2006.
Widiyanti, Ninik, Kejahatan Dalam Masyarakat dan Pencegahannya,
Jakarta: PT Bina Aksara, 1987.

B. PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 1999.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Keputusan Presiden Republik Indonesia No 54 Tahun 2001 Tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPR/2000
Tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII/MPR/2000
Tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
C. INTERNET
http://www.polri.go.id/organisasi/op/vm.
http://www.scribd.com/doc/24887805/Viktimisasi-Struktural-DalamPelaksanaan-Operasi-Premanisme-oleh-Polri.
http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2184192-pengertianupaya-preventif.

Anda mungkin juga menyukai