Anda di halaman 1dari 16

JURNAL

Terapi Anti Inflamasi Nonsteroidal Pada Uveitis Anterior


Akut Rekuren
Oleh :
Dinda Ayu Teresha
112011101089
Dokter Pembimbing:
dr. Bagas Kumoro, Sp.M
SMF/LAB. ILMU KESEHATAN MATA
RSD dr. SOEBANDI JEMBER
2015

ABSTRAK
Tujuan
Untuk mengetahui efek terapi nonsteroidal anti inflamasi (NSAID) dalam
mencegah terjadinya rekurensi uveitis pada pasien dengan nongranulomatous
berulang, idiopatik, atau HLA-B27 yang terkait uveitis anterior akut (AAU).

Metode
Kasus diambil secara retrospektif dari 59 pasien dengan terdiagnosis uveitis
anterior akut (AAU) berulang yang diobati dengan obat celecoxib atau obat
diflunisal.

ABSTRAK
Hasil
- Lamanya terapi NSAID rata-rata adalah sekitar 21,2 5,7 bulan. Jumlah
rata-rata untuk semua pasien yang mengalami kekambuhan sebelum
diberikan terapi NSAID secara sistemik adalah 2,84 per orang/tahunnya.
Kekambuhan menurun menjadi 0,53 per orang/tahunnya setelah di follow
up dengan terapi NSAID (p<0.001). Tingkat kekambuhan sebelum dan
setelah pengobatan pada kelompok dengan HLA-B27 yang positif adalah
sebanyak n = 21, dibandingkan dengan tingkat kekambuhan sebelum dan
setelah pengobatan pada kelompok HLA-B27 yang negatif adalah sebanyak
(n = 38) dinilai signifikan dan secara statistik bermakna (p < 0.001).

Kesimpulan
- Serangan dan pajanan secara kumulatif terhadap pemberian kortikosteroid
dapat dicegah dengan memberikan terapi NSAID secara sistemik pada
pasien dengan uveitis anterior akut (AAU) berulang.

PENDAHULUAN
Uveitis anterior akut rekuren adalah peradangan intraokular, paling umum
ditemukan.
Sekitar 8,2 kasus baru per 100.000 orang pertahunnya.
Dari sudut pandang etiologinya salah satu penyakit yang paling sulit untuk
didiagnosa.
Dengan diperkenalkannya kortikosteroid pada tahun 1949 Kortikosteroid topikal
lini pertama untuk penyakit inflamasi akut pada mata.
Sebelum munculnya kortikosteroid, obat NSAID (aspirin) digunakan dalam
pengobatan peradangan pada mata.
Pengalaman penulis di Massachusetts Eye Research and Surgery Institution
(MERSI) NSAID oral sangat berguna dalam pengelolaan jangka panjang
terhadap pasien dengan nongranulomatous, idiopatik akut, atau HLA-B27 yang
terkait dengan uveitis anterior yang rekuren.
Jurnal ini menyajikan analisis secara retrospektif terhadap penggunaan NSAID oral
sebagai profilaksis dalam pencegahan rekurensi dari uveitis pada pasien dengan
uveitis anterior yang rekuren.

METODE
- Penelitian ini dilakukan secara prospektif pada Rumah Sakit Pakistan
dengan diagnosis Retinoblastoma antara bulan Januari 2006 dan
Desember 2009.
- Data penelitian ini di analisis menggunakan data dengan SPSS, sehingga
hasil statistik deskriptif diperoleh dari mean SD (waktu, usia,
termasuk penyakit unilateral atau bilateral, jumlah kasus per tahun,
jumlah presentasi antara laki-laki dan perempuan, serta pengobatan yang
digunakan untuk meningkatkan kelangsungan hidup pasien).
- Sedangkan uji Kaplan-Meier diaplikasikan untuk menganalisis pada
kelompok ICRB yang berbeda. Kelangsungan hidup pasien dihitung dari
minimal 1 tahun pasien sembuh dari kanker.

HASIL
Usia rata-rata pada penelitian tersebut adalah 43 11,7
tahun.
26 laki-laki dan 33 perempuan.
Penyakit autoimun sistemik diamati pada 13 pasien (11
wanita dan 2 laki-laki):

Spondilitis (n = 4)
Juvenile idiopathic arthritis (n = 2)
Psoriasis (n = 2)
Fibromyalgia (n = 1)
Tiroiditis Hashimoto ( n = 1)
Rheumatoid arthritis (n = 1)
Penyakit Crohn (n = 1).

Semua pasien di follow up setidaknya 1 tahun sebelum


diberikan terapi dengan menggunakan NSAID.

Perbedaan dalam tingkat kekambuhan sangat signifikan secara statistik


pada p < 0.001.

G. Riwayat Pengobatan
-Enukleasi 112(70%)
- Eksentrasi 12(7,5%)
- Radioterapo post eksentrasi 2 pasien (16,66%)

Kelompok pasien dibagi berdasarkan jenis kelamin


(laki-laki= 26; perempuan= 33).
Semua pasien tetap dalam remisi rata-rata sekitar 18,22 bulan.

Hasil juga dianalisis berdasarkan pada pasien yang menerima


celecoxib (n = 30) dibandingkan dengan pasien yang menerima
diflunisal (n = 29).
Dari 30 pasien yang menerima celecoxib:
26 menerima dosis 20 mg
4 sisanya pasien menerima 100 mg.

Semua pasien pada kelompok diflunisal menerima 500 mg.


Perbedaan antara tingkat kekambuhan pada terapi celecoxib
versus terapi diflunisal secara statistik tidak ditemukan nilai yang
signifikan
(p = 0,165).

Pasien pada terapi celecoxib tetap dalam remisi lagi (21


5,50 bulan) Pasien yang diterapi dengan diflunisal (15,34
5,78 bulan).
Perbedaan ini ditemukan secara statistik dan signifikan
dengan nilai p <0.001.
Terdapat satu pasien yang mengalami efek samping pada
terapi celecoxib.
Sepuluh pasien mengalami efek samping pada kelompok
terapi diflunisal.

Penelitian ini juga dibagi berdasarkan status HLA-B27.


Kelompok HLAB27 positif :
Rata-rata follow up pada kelompok HLAB27 positif adalah 20,43 bulan dan tingkat
kekambuhan sebelum pengobatan dengan NSAID ditemukan menjadi 2.24.
Pasien-pasien tetap dalam remisi selama 17 bulan pada terapi NSAID sedangkan tingkat
kekambuhan saat obat NSAID diberikan adalah 0,24.

Kelompok HLA-B27-negatif :
Rata-rata follow up dalam kelompok HLA-B27-negatif adalah 21,84 bulan dengan tingkat
kekambuhan sebelum perawatan menjadi 2,97.
Lamanya remisi saat pengobatan adalah 18,84 bulan.
Tingkat kekambuhan dalam kelompok ini adalah 0,66 selama pengobatan.
Perbedaan dalam tingkat kekambuhan sebelum dan selama terapi NSAID pada kedua
kelompok itu sangat signifikan secara statistik yaitu dengan nilai p <0.001.

PEMBAHASAN
NSAID memiliki sifat anti-inflamasi, analgesik, dan anti-piretik berdasarkan
kemampuan mereka untuk menghambat sintesis prostaglandin melalui jalur
(COX) siklooksigenase.
Ketika jaringan rusak, baik oleh cedera atau peradangan, jaringan fosfolipid
kemudian dilepaskan dibantu oleh enzim fosfolipase A2 yang dihasilkan dari
asam arakidonat (AA).
COX mengakibatkan AA untuk menghasilkan endoperoxidases PG-G2 dan
H2, yang merupakan prekursor prostaglandin (PG) di okular dan di jaringan.
PG meningkatkan permeabilitas pembuluh darah okular, menimbulkan
hiperemia konjungtiva, perubahan tekanan intraokular, dan meningkatkan
peradangan.
NSAID memiliki aktivitas menangkap radikal bebas dan anti-chemotactic,
yang memodulasi imunitas humoral dan selular selama efek bereaksi.

PEMBAHASAN
Mekanisme spesifik dari aksi celecoxib terutama melalui penghambatan
siklooksigenase-2 (COX-2).
Efek samping sakit perut, diare, dan dispepsia.
Diflunisal merupakan turunan difluorophenyl dari asam salisilat dan merupakan
inhibitor COX nonselektif.
Efek samping mual, muntah, sakit perut, diare, sembelit, dan dispepsia.
Penggunaan NSAID untuk pasien dengan uveitis anterior berulang mendukung
bahwa terapi tersebut efektif, hemat steroid, dan jelas patut dipertimbangkan
dalam upaya untuk bebas steroid pada uveitis.
Tingkat kekambuhan dari uveitis secara signifikan berkurang, tidak hanya di
populasi pasien tersebut namun juga pada pasien yang tidak memiliki gen HLAB27, dengan terapi NSAID sistemik memberikan penurunan angka rekuren.

KESIMPULAN
Celecoxib jauh lebih dapat ditolerir daripada Diflunisal, meskipun efek terapi
yang diperoleh oleh masing-masing adalah sama.
Tergantung kepatuhan pasien.
Risiko gastrointestinal serius, seperti ulkus lambung dan perforasi duodenum
serta perdarahan berikutnya, berhubungan dengan NSAID nonselektif seperti
diflunisal.
Celecoxib COX-2 inhibitor selektif telah dikaitkan dengan risiko kardiovaskular
yang serius seperti infark miokard dan stroke tergantung dosis dan durasi.
Para pasien dalam penelitian ini tidak mengalami salah satu dari efek samping
yang serius yang dijelaskan di atas.
Meskipun demikian, penelitian ini tidak dirancang untuk menilai keamanan
jangka panjang penggunaan NSAID.

TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai