Anda di halaman 1dari 7

STRATEGI KOMUNIKASI MEMBANGUN

KEMANDIRIAN PANGAN
Parlaungan Adil Rangkuti
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Kotak Pos 220 Bogor 16002
Telp.(0251) 8621210, Faks.(0251) 8623203, E-mail: fateta@fateta-ipb-ac-id
Diajukan: 7 April 2009; Diterima: 8 Mei 2009

ABSTRAK
Peran komunikasi pembangunan pertanian makin penting dalam mewujudkan swasembada pangan dan diversifikasi
pangan sebagai landasan terciptanya kemandirian pangan dan ketahanan pangan yang andal. Kemandirian pangan
hanya dapat terwujud jika pembangunan dilaksanakan atas prakarsa masyarakat sebagai bentuk kesadaran untuk
membangun usaha tani modern dengan didukung strategi komunikasi yang efektif dan efisien. Adopsi inovasi
teknologi akan meningkatkan produktivitas dan kualitas produk, menekan susut, meningkatkan nilai tambah
dengan pendekatan pemberdayaan dan partisipasi petani serta memperkokoh kelembagaan dan daya saing. Dalam
pemberdayaan petani, pengembangan koperasi agribisnis komoditas tunggal seperti koperasi agribisnis padi atau
jagung akan mempermudah transformasi informasi paket teknologi dan manajemen usaha tani dari berbagai
sumber ke petani. Untuk membangun kemandirian pangan berbasis produksi lokal dan diversifikasi pangan dengan
dukungan sistem komunikasi yang efektif diperlukan kebijakan pemerintah dengan mengembangkan pusat-pusat
informasi pertanian pada sentra produksi sebagai kawasan pengembangan agribisnis (KPA). Sistem informasi
komunikasi berbasis koperasi dan modal sosial dengan pendekatan kemitraan dari semua stakeholders (pemerintah,
pengusaha, perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga sosial kemasyarakatan dan sebagainya)
akan mempercepat terwujudnya kemandirian pangan daerah.
Kata kunci: Kemandirian pangan, keberdayaan petani, komunikasi pertanian

ABSTRACT
Communication strategy in developing food independency
Role of agricultural development communication is important to build food self-suffiency and diversification as
the main base of food independency and food security. Food independency will be accomplished if its development
comes from people initiative as an awareness to build modern farm industry with effective and efficient
communication strategy support. Adoption of innovation technology by means of communication will boost
productivity and product quality, decrease loss of production, increase value added of production with farmer
empowerment and participation approach, and strengthen farmers' institutions and competitiveness. To empower
the farmers, development of single commodity agribusiness cooperation such as rice or maize will facilitate
transformation of information on technology and farm management from variety of sources for the farmers.
Government policy to develop centers of agricultural information at production centers as agribusiness development
area is required to build food independency and food diversification based on local production with effective
communication system support. Communication information system based on cooperation and social capital with
stakeholders partnership approaches (government, businessmen, university, research and development institutions,
social institutions, etc) will accelerate accomplishment of food independency in suburb areas.
Keywords: Food independency, farmers empowerment, agriculture communication

ecukupan beras sebagai bahan


pangan pokok selalu menjadi isu
politik dalam mendukung kebijakan
pemerintah sejak awal kemerdekaan.
Presiden Pertama RI Soekarno memberi
perhatian besar dalam pembangunan
pertanian, dan menyatakan bahwa pertanian merupakan soal hidup atau mati dari
bangsa dan negara Indonesia karena
Jurnal Litbang Pertanian, 28(2), 2009

menyangkut makanan rakyat. Pernyataan


tersebut disampaikan pada acara peletakan batu pertama pembangunan gedung
Fakultas Pertanian Universitas Indonesia
(yang pada tahun 1964 menjadi Institut
Pertanian Bogor) pada tanggal 27 April
1952 (Pakpahan 2004). Organisasi pangan
dunia Food and Agriculture Organization
(FAO) juga memberi perhatian terhadap

pangan dengan menggalang komitmen


politik masyarakat internasional untuk
mengatasi kelaparan dan mengentaskan
kemiskinan melalui Konferensi Tingkat
Tinggi World Food Summit: five years
later pada bulan Juni 2002 di Roma, ltalia
(FAO 2003).
Era komunikasi yang ditandai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan
39

teknologi (iptek), termasuk teknologi


komunikasi dan informasi, telah menciptakan masyarakat informasi dan pengetahuan yang berpengaruh pada pembangunan ekonomi dan sosial. Pertemuan
ke-9 PBB pada tanggal 69 September 2004
di Roma, Italia menetapkan pentingnya
komunikasi pembangunan berkelanjutan
berkaitan dengan tiga isu penting, yakni:
1) komunikasi dan sumber daya alam, 2)
komunikasi untuk penelitian, penyuluhan
dan pendidikan, serta 3) komunikasi untuk
daerah yang terisolir dan kelompok terabaikan. Pertemuan tersebut merekomendasikan beberapa aspek yang terkait
dengan peningkatan peran komunikasi
pembangunan, antara lain pemberdayaan
dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, adopsi inovasi teknologi, dan
perubahan sosial yang terkait dengan
globalisasi dan kultur lokal.
Kemandirian pangan dapat diartikan
sebagai kemampuan dalam menjamin
seluruh penduduk untuk memperoleh
pangan yang cukup dengan mutu yang
layak dan aman. Untuk mewujudkannya
diperlukan dukungan kebijakan untuk
mempercepat pembangunan usaha tani
tanaman pangan khususnya padi. Usaha
tani tanaman pangan dilaksanakan oleh
sekitar 21 juta rumah tangga petani
berlahan sempit dengan aksesibilitas pada
sumber permodalan, teknologi, dan sarana
produksi yang terbatas. Tanpa fasilitasi
pemerintah, sulit bagi usaha tani tersebut
untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitasnya (Alimoeso 2008).
Salah satu masalah yang dihadapi
petani di pedesaan adalah rendahnya
akses dan kemampuan dalam memperoleh
informasi untuk mengembangkan usaha
tani padi dalam upaya meningkatkan
produktivitas, kualitas poduk, daya saing,
dan nilai tambah. Petani membutuhkan
informasi secara tepat, cepat, dan mudah
agar usaha tani padi makin maju seiring
dengan perkembangan teknologi dan
manajemen agribisnis padi yang makin
kompetitif.

KEMANDIRIAN PANGAN
Kebijakan yang berkaitan dengan kemandirian pangan telah mewarnai kebijakan
pemerintah di bidang pertanian dan
pangan sejak tahun 1970-an dan menjadi
sorotan sejak Kongres XI Perhimpunan
Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi)
dan Kongres Asian Society of Agri40

cultural Economist (ASAE) di Bali pada


tahun 1986. Perhatian pemerintah terhadap
kemandirian pangan yang makin besar ditandai antara lain dengan tema Hari
Pangan se-Dunia tahun 2006 yaitu
Membangun Kemandirian Pangan Berbasis Pedesaan, mengiringi tema Hari
Pangan Dunia yakni Investing in Agriculture for Food Security. Kemandirian
pangan dapat ditelaah melalui empat
aspek, yaitu kebijakan pangan nasional,
swasembada beras, ketergantungan
pangan impor, dan pemberdayaan petani
(Suryana 2008).

Kebijakan Pangan Nasional


Jumlah penduduk dunia yang bertambah
sekitar 3075 juta/tahun pada tahun 2000
2030, diperkirakan akan membutuhkan
tambahan serealia 1 miliar ton per tahun
pada 2030, atau meningkat 59% dibandingkan dengan produksi serealia tahun
2000 (Nainggolan 2007). Untuk memenuhi
kebutuhan pangan dalam negeri perlu
dioptimalkan kinerja sistem ekonomi
pangan, yang meliputi subsistem produksi, distribusi, dan konsumsi. Ketiga
subsistem tersebut merupakan satu
kesatuan dan saling berinteraksi secara
berkesinambungan dengan didukung
oleh input sumber daya alam, kelembagaan, budaya, dan teknologi. Proses ini
akan berjalan efisien jika didukung oleh
partisipasi masyarakat dan sistem informasi komunikasi pertanian yang efektif.
Telah lama disadari bahwa pangan
bukan saja berperan sebagai komoditas
ekonomi, tetapi juga menjadi komoditas
sosial dan bahkan politik. Kondisi kritis
akibat kekurangan pangan dan gizi dapat
membahayakan stabilitas nasional dan
meruntuhkan pemerintah yang sedang
berkuasa. Oleh karena itu, pangan sebagai
kebutuhan dasar harus dapat dipenuhi
setiap saat. Secara konstitusional, pangan
diartikan lebih mendasar yakni sebagai
salah satu hak asasi manusia sesuai
dengan pasal 27 UUD 1945 dan UU No.7
tahun 1996 tentang Pangan. Dalam
mewujudkan ketahanan pangan, aspek
keamanan, mutu, dan keragaman pangan
merupakan kondisi yang harus terpenuhi
dalam pemenuhan kebutuhan pangan
secara cukup, merata, dan terjangkau.
Komitmen untuk mewujudkan kemandirian
pangan sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005
2025.

Swasembada Beras
Pemenuhan kebutuhan pangan nasional
terutama beras telah menjadi perhatian
pemerintah sejak tahun 1950 dengan
digulirkannya program Rencana Kesejahteraan Istimewa. Program tersebut diikuti
dengan gerakan massal pada tahun 1960an dengan memperkenalkan Gerakan
Swasembada Beras (SSB). Gerakan SSB
dilaksanakan hingga tahun 1963 dilanjutkan dengan program Swasembada
Bahan Makanan (SSBM) dan Bimbingan
Massal (Bimas) atas dasar hasil penelitian
Institut Pertanian Bogor di Karawang,
Jawa Barat (Adjid 1998).
Usaha keras berbagai pihak tersebut
mengantarkan Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 1984. Namun,
sejak tahun 1988 Indonesia kembali mengimpor beras bahkan menjadi negara
pengimpor beras terbesar di dunia pada
tahun 1998, yakni mencapai 5,40 juta ton
(Yudhohusodo 2004). Menurut Presiden
RI Susilo Bambang Yudhoyono, swasembada beras dapat dicapai kembali pada
tahun 2008 dengan produksi padi sekitar
60,28 juta ton. Selama periode 20032008,
produksi padi meningkat secara signifikan
yakni 2,97%, dari 52,13 juta ton pada tahun
2003 menjadi 60,28 juta ton pada tahun
2008 (BPS 2008).
Kondisi ini perlu dievaluasi dan diwaspadai karena keberhasilan swasembada beras dipengaruhi berbagai faktor,
yakni penggunaan teknologi untuk
meningkatkan produktivitas dan kualitas
produk, pengembangan manajemen usaha
tani untuk meningkatkan nilai tambah dan
daya saing, serta jaminan harga dasar.
Karena banyak faktor yang mempengaruhi
pencapaian swasembada beras, kondisi ini
akan selalu dibayangi oleh kekurangan
beras setiap waktu. Pencukupan pangan
setiap daerah sesuai dengan karakteristik
wilayah merupakan pendekatan pembangunan swasembada beras yang perlu
dipertimbangkan pemerintah terkait
dengan pelaksanaan otonomi daerah.

Ketergantungan Pangan Impor


Pusat Data dan Informasi Pertanian (2007)
melaporkan, produktivitas rata-rata padi
nasional masih rendah yakni 4,62 t/ha.
Sementara itu, impor bahan pangan lainnya, terutama gandum makin meningkat,
dari 3,52 juta ton pada tahun 2003 menjadi
4,49 juta ton pada tahun 2006. KecenJurnal Litbang Pertanian, 28(2), 2009

derungan peningkatan impor bahan


pangan nonberas menunjukkan kondisi
ketidakmandirian pangan nasional atau
ketahanan pangan makin bergantung
pada bahan pangan impor.

Produksi padi
Revolusi hijau pada era 1960-an berhasil
meningkatkan produktivitas padi secara
spektakuler, luas panen bertambah, dan
kehilangan hasil menurun sehingga berdampak terhadap kecukupan pangan
dunia. Revolusi hijau berhasil mengembangkan berbagai teknologi, baik teknologi budi daya, teknologi kimiawi maupun
mekanisasi pertanian.
Diketahui bahwa rata-rata produktivitas padi nasional masih rendah yakni
4,40 t/ha, sedangkan di beberapa negara
seperti Australia telah mencapai 9,50 t/ha,
Jepang 6,65 t/ha, dan Cina 6,35 t/ha.
Rendahnya produktivitas padi nasional
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: 1)
alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian
(perumahan, industri), 2) peningkatan
produktivitas mengalami stagnasi, 3)
fragmentasi lahan sehingga meningkatkan
jumlah petani gurem, 4) tenaga kerja usia
muda makin enggan bekerja di sektor
pertanian, dan 5) adopsi inovasi teknologi
pertanian dan manajemen agribisnis
berjalan lambat.
Potensi sumber daya pertanian Indonesia sangat besar sehingga terbuka
peluang yang sangat luas untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas
produk dengan memperhatikan karakteristik daerah, baik fisik maupun sosial
budaya. Beberapa faktor kunci yang
berperan dalam mengembangkan usaha
tani tanaman pangan khususnya padi
adalah: 1) menjadikan pertanian sebagai
basis pembangunan ekonomi pedesaan,
2) membangun usaha tani modern berbasis
agribisnis, koperasi, dan karakteristik
potensi sumber daya lokal atau daerah,
dan 3) mengembangkan sistem komunikasi pembangunan pertanian untuk meningkatkan akses petani terhadap sumber
informasi. Usaha tani tradisional dengan
berbagai kelemahannya perlu ditingkatkan
dengan mengoptimalkan pendayagunaan
potensi sumber daya alam dan pemberdayaan petani dengan memanfaatkan
informasi teknologi tepat guna dan
manajemen profesional secara efektif.

Jurnal Litbang Pertanian, 28(2), 2009

Kehilangan hasil

Pola makan

Salah satu faktor yang mempengaruhi


peningkatan produksi pangan, terutama
padi, adalah adopsi inovasi teknologi.
Penerapan teknologi pascapanen telah
berhasil menekan kehilangan hasil dari
20,51% pada tahun 1995/1996 menjadi
10,82% pada tahun 20052007. Menurut
BPS (2008), susut saat panen yang semula
mencapai 10,12%, saat ini hanya 1,20%,
terdiri atas susut panen 1,05% dan susut
penumpukan sementara 0,15%. Susut saat
perontokan menurun dari 4,78% pada
tahun 1995/1996 menjadi 0,18% pada
tahun 20052007. Namun, rendemen penggilingan gabah menjadi beras menurun
menjadi 62,74% pada periode 20052007,
lebih rendah dibandingkan dengan tahun
1995/1996 yang mencapai 63,20%. Perbandingan susut panen dan konversi gabah/
beras pada tahun 1995/1996 dan 20052007
menurut kegiatan pascapanen disajikan
pada Tabel 1.
Susut pengeringan mengalami peningkatan 1,14% dan konversi gabah
kering panen menjadi gabah kering giling
menurun 0,49%. Hal ini disebabkan
sebagian besar petani masih melakukan
pengeringan gabah dengan sinar matahari
(dijemur) dan hanya sedikit yang
menggunakan mesin pengering. Susut
penggilingan meningkat 1,06% dan
rendemen penggilingan menurun 0,46%
karena mesin penggilingan relatif telah
tua. Menurut BPS (2008), 32% penggilingan padi kecil (PPK) berumur lebih dari 15
tahun dan masih menggunakan konfigurasi sederhana dengan sistem satu fase
atau satu kali penyosohan.

Pola makan masyarakat berubah secara


cepat dengan meningkatnya konsumsi
bahan pangan impor seperti gandum (mi
instan), buah-buahan, dan daging.
Menurut Pusat Data dan Informasi
Pertanian (2007), pada tahun 1999 konsumsi beras nasional sekitar 111,49 kg/
kapita/tahun dan menurun menjadi 96,67
kg/kapita/tahun pada tahun 2006 atau
turun 4,82 kg/kapita/tahun. Konsumsi
jagung, ubi kayu, dan ubi jalar meningkat
pada tahun 2005, yakni masing-masing
menjadi 4; 9,10; dan 3,60 kg/kapita/tahun.
Konsumsi daging sapi baru mencapai 0,42
kg, daging ayam 3,79 kg, dan telur 5,15 kg/
kapita/tahun.
Peningkatan konsumsi pangan nonberas dengan pola makan berimbang
dengan bahan pangan dari dalam negeri
akan mendorong pengembangan komoditas hortikultura, perikanan, dan peternakan. Di samping mempercepat adopsi
inovasi teknologi dan manajemen agribisnis, pengembangan diversifikasi
pangan dan dukungan etika pola pangan
merupakan faktor penting dalam membangun kemandirian pangan berbasis
pemberdayaan petani. Perkembangan
konsumsi beberapa bahan pangan tahun
1996 dan 2005 disajikan pada Tabel 2.

Pemberdayaan Petani
Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin bergantung pada program yang besifat pemberian
(charity) karena tujuan akhirnya adalah

Tabel 1. Perbandingan susut dan konversi gabah/beras tahun 1995/1996


dan 20052007.
Susut dan konversi (%)
1995/1996

20052007

Perubahan
(%)

Pemanenan
Perontokan
Pengeringan
Konversi GKP dan GKG
Penggilingan
Konversi GKP dan GKG (rendemen)
Penyimpanan
Pengangkutan

9,52 1
4,78 1
2,13 1
86,51
2,19 2
63,20
1,61
0,19

1,20 1
0,18 1
3,27 2
86,02
3,25 2
62,74
1,39
1,53

-3,20
-4,60
+1,14
-0,49
+1,06
-0,46
-0,22
+1,34

Total

20,42

10,82

9,60

Kegiatan pascapanen

Persentase terhadap GKP, Persentase terhadap GKG.


Sumber: BPS (2008).
1

41

Tabel 2. Konsumsi bahan pangan,


1996 dan 2005.
Bahan pangan
Beras
Jagung
Ubi kayu
Ubi jalar
Kacang tanah
Kacang kedelai
Telur
Susu murni
Daging ayam
Daging sapi

Konsumsi (kg/kapita/tahun)
1996

2005

111,49
3,74
7,96
2,96
1,14
0,10
4,71
0,26
1,25
0,62

96,67
4
9,10
3,80
0,99
0,05
5,15
0,10
3,79
0,42

Sumber: Pusat Data dan Informasi Pertanian


(2007).

memandirikan masyarakat dan membangun kemampuannya untuk memajukan


diri ke arah kehidupan yang lebih baik
secara sinambung. Konsep pemberdayaan
muncul pada dekade 1970-an dan berkembang terus sehingga menjadi alternatif
konsep pembangunan terutama di negaranegara berkembang.
Konsep pemberdayaan dalam wacana
pembangunan masyarakat selalu dikaitkan dengan konsep mandiri, partisipasi,
jaringan kerja, dan keadilan. Kemandirian
pangan hanya dapat terwujud jika pembangunan dilaksanakan atas prakarsa masyarakat sebagai bentuk kesadaran untuk
membangun ketahanan pangan yang
andal. Petani padi yang umumnya berskala
kecil (gurem) hanya akan mempunyai daya
saing jika mereka berada dalam suatu
wadah atau lembaga ekonomi yang kuat
dan mampu memadukan potensi kapital
fisik dan sosial yang dimiliki (Soekartawi
1993).

Peran kelembagaan petani


Sumber daya pertanian mencakup sumber
daya alam, sumber daya manusia, kapital
fisik dan teknologi, modal sosial dan
kelembagaan. Sumber daya tersebut dapat
dikembangkan sebagai kegiatan agribisnis
untuk meningkatkan keberdayaan, kemandirian, dan kesejahteraan petani. Dalam era
milinium ketiga atau globalisasi, yang
ditandai adanya perubahan struktural
masyarakat yang sangat mendasar terutama keterkaitan antarbangsa yang
penuh dengan persaingan kompetitif,
bangsa Indonesia perlu memiliki keunggulan bersaing (competitive advantage).
42

Prinsip usaha tani ke depan harus didasarkan pada efisiensi dan daya saing
berdasarkan keunggulan kompetitif yang
layak dan menguntungkan. Namun,
proses perubahan tersebut harus didukung oleh kesiapan sosial setiap pelaku
ekonomi dan kegiatan ekonomi. Pembangunan pertanian modern sebagai
tuntutan perkembangan iptek dan
globalisasi harus dipadukan dengan
konsepsi dasar pembangunan ekonomi
kerakyatan sebagai amanah konstitusi
(UUD 1945), dan kelembagaan yang tepat
bagi petani adalah koperasi. Keberadaan
koperasi unit desa (KUD) perlu ditata ulang
dengan pendekatan agribisnis dan sistem
ekonomi kerakyatan (kebersamaan/
kekeluargaan) sesuai dengan kepentingan
usaha ekonomi petani. Koperasi komoditas tunggal seperti koperasi agribisnis
padi, kedelai atau jagung berpeluang
untuk bangkit mandiri berbasis pada
kepentingan dan kekuatan anggota.

Peran modal sosial


Negara-negara yang berhasil dalam pembangunan ternyata memberikan perhatian
yang besar terhadap pembangunan di
bidang sosial. Menurut Mubyarto (2004),
seorang pakar Bank Dunia menyatakan
secara tegas bahwa pembangunan sosial
merupakan pembangunan ekonomi, yang
berarti pembangunan di bidang sosial
memiliki posisi sama penting dengan
pembangunan ekonomi. Kartasasmita
(1996) mengemukakan bahwa pendekatan
pemberdayaan masyarakat harus dimulai
dengan menciptakan suasana atau iklim
yang memungkinkan berkembangnya
potensi sumber daya sebagai modal sosial
yang ada di masyarakat. Menurut Putnam
et al. (1993), ada tiga elemen utama dalam
modal sosial, yaitu rasa saling percaya
(trust), norma yang disepakati dan ditaati
(social norms), dan jaringan hubungan
sosial (social network). Ketiga aspek ini
penting artinya dalam membangun
komunikasi partisipatif dalam upaya
mempercepat pemberdayaan masyarakat.
Bangsa Indonesia sebagai masyarakat
yang majemuk terkandung makna kesatuan di antara kebinekaan (diversity) dan
kekhasan (uniqueness) sehingga kebinekaan dalam persatuan menjadi tuntutan
karakter komunitas yang dinamis untuk
mewujudkan kepentingan bersama dengan
tidak mengorbankan kepentingan individu. Oleh karena itu, apa yang menjadi

kesamaan (what is common to all)


merupakan aspek yang mendasar dalam
menjalin saling ketergantungan yang
menguntungkan sehingga tercipta kekuatan yang bersifat sinergis sebagai energi
sosial masyarakat. Perpaduan potensi
kapital fisik dan kapital sosial yang dimiliki
masyarakat merupakan kekuatan atau
energi yang besar dalam pembangunan
(Lawang 2005). Energi sosial masyarakat
terdapat di antara unit-unit sosial yang ada
di masyarakat, keluarga, rukun tetangga,
himpunan, kelompok, asosiasi, atau unit
sosial lain. Energi sosial itu meliputi
seluruh elemen sosial, potensi kreatif
masyarakat, serta prakarsa dan gagasan
yang berkembang di masyarakat, yang
semuanya itu bisa digalang sebagai
kekuatan pembangunan pertanian.

STRATEGI KOMUNIKASI
Strategi komunikasi mendapat perhatian
yang besar dalam rangka mendorong
pembangunan nasional di banyak negara.
Strategi adalah cara atau taktik untuk
mencapai tujuan atau suatu perencanaan
dan manajemen untuk mencapai tujuan,
termasuk taktik operasionalnya. Secara
sederhana, strategi komunikasi dapat
dirumuskan dengan mengkaji secara
mendalam teori Lasswell yang mencakup:
Who? Says what? ln which channel? To
whom? With what effect? Untuk berkomunikasi secara tepat sesuai dengan
media yang ada, dapat digunakan komunikasi tatap muka dan komunikasi dengan
media. Komunikasi tatap muka berperan
dalam mengubah tingkah laku, dan
komunikasi bermedia untuk komunikasi
informatif (Muhammad 2004).

Peran Komunikasi Pertanian


Revolusi teknologi informasi yang dimulai
sejak peluncuran satelit komunikasi pada
akhir tahun 1960-an, telah mendorong
pergerakan yang sinergis antara teknologi
telekomunikasi dengan teknologi komputer dan internet. Perkembangan tersebut selanjutnya mempengaruhi orang
dalam berkomunikasi, bertukar informasi
maupun beraktivitas ekonomi sebagai
bagian dari perubahan peradaban dunia.
Teknologi komunikasi modern seperti
surat kabar, radio, televisi, video, komputer, dan satelit menawarkan berbagai
kelebihan untuk mengatasi hambatan
Jurnal Litbang Pertanian, 28(2), 2009

transformasi informasi yang dibutuhkan


petani. Karena itu, teknologi komunikasi
menjadi suatu kebutuhan dalam menyampaikan informasi yang bermanfaat bagi
petani.
Teknologi komunikasi tidak hanya
membuat sesuatu menjadi lebih mudah
dan lebih cepat, atau lebih efisien, tetapi
juga membangun wawasan dan pengetahuan global petani tentang perkembangan
pertanian, baik lokal, nasional maupun
internasional. Menurut Soekartawi (1988),
pesan dalam komunikasi pertanian dapat
berupa informasi tentang: 1) peningkatan produksi, 2) pemeliharaan kondisi
lahan, 3) penanganan pascapanen, 4)
adopsi teknologi baru, 5) kerja sama
kelompok, 6) peningkatan pendapatan
rumah tangga, dan 7) partisipasi dalam
kegiatan pedesaan. Komunikasi pertanian
bukan saja bertujuan untuk mempengaruhi
sikap dan perilaku komunikan seperti
yang sering ditemui dalam penyuluhan
pertanian yang lebih banyak dikuasai oleh
kekuatan komunikator (komunikasi satu
arah), tetapi juga perlu memperhatikan
peran komunikan baik sebagai individu
maupun anggota masyarakat yang dikenal
dengan komunikasi dua arah.
Menurut Kaye (1997), setiap manusia
akan mampu mengenali inti permasalahan
yang dihadapi bila memiliki informasi yang
memadai, dan untuk memperolehnya dibutuhkan sumber daya dan akses terhadap
sumber informasi. Faktor-faktor yang perlu
diperhatikan dalam penyediaan informasi
adalah relevansi, akurasi, kelengkapan,
ketajaman, ketepatan waktu, dan keterwakilan. Perkembangan peran komunikasi
dalam pembangunan pertanian telah
menimbulkan pergeseran paradigma, yakni
dari komunikasi satu arah menjadi dua arah
di mana komunikan dan komunikator
saling menghargai aspirasi dan kepentingannya dalam proses komunikasi
tersebut.
Menurut Melkote (2007), pakar komunikasi Rogers memberikan kontribusi yang
besar dalam pengembangan komunikasi
pembangunan pertanian melalui berbagai
penelitian tentang difusi inovasi, partisipasi, pemberdayaan, dan perubahan
sosial masyarakat. Pemberdayaan petani
dan masyarakat pada lingkungan sosial,
ekonomi, dan realitas politik berkaitan
dengan pendidikan keahlian untuk
mengembangkan komunikasi antarpekerja
atau petani. Jika pengembangan komunikasi berlanjut secara efektif dalam proses
perubahan sosial, peneliti dan partisipan
Jurnal Litbang Pertanian, 28(2), 2009

harus mengutamakan pemecahan masalah


hubungan kemampuan yang tidak seimbang.

untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja


di pedesaan.

Adopsi Inovasi Teknologi

Sistem Informasi Komunikasi


Pertanian

Berbagai teknologi dan inovasi pertanian


telah dihasilkan dan layak secara teknis
dan ekonomis, namun belum tentu
teknologi dan inovasi tersebut diterima
dan diterapkan oleh petani. Oleh karena
itu, perlu pengkajian tentang adopsi
inovasi untuk merancang strategi yang
efektif agar target sasaran dapat menerapkan inovasi baru yang memiliki prospek
lebih baik. Adopsi inovasi pertanian pada
dasarnya menyangkut proses pengambilan keputusan oleh pengguna teknologi
atau ide-ide baru untuk menerima atau
menolaknya untuk mengembangkan
usaha taninya (Soekartawi 1993).
Rogers dan Schoemaker (1971) menyatakan bahwa adopsi merupakan upaya
menyampaikan secara bertahap ide,
praktek atau objek yang dapat dirasakan
sebagai sesuatu yang baru oleh individu
atau masyarakat tani. Secara sederhana,
adopsi inovasi terjadi melalui proses yakni:
kesadaran, tumbuh minat, evaluasi,
mencoba, dan adopsi. Kecepatan proses
adopsi inovasi bervariasi, yaitu sangat
cepat, lambat, atau menolak, dan dapat
dikategorikan menjadi kelompok pengadopsi berdasarkan status sosial, status
ekonomi, perilaku komunikasi, pendidikan,
dan umur. Berdasarkan kecepatan adopsi,
kelompok pengadopsi dapat dibedakan
sebagai perintis (innovators), pengetrap
dini (early adopters), pengetrap majoritas
awal (early majority), pengetrap majoritas
akhir (late majority), dan penolak atau
kaum kolot (laggard).
Beberapa faktor produksi yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas
komoditas pangan meliputi varietas
unggul, lahan, teknik budi daya (ketersediaan pupuk/pestisida serta alat dan
mesin pertanian), dan teknologi pascapanen. Untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas bahan pangan, petani
sebagai tulang punggung pertanian
Indonesia membutuhkan teknologi yang
sederhana, murah, dan efisien. Namun,
kemampuan petani untuk mengakses
teknologi alat dan mesin pertanian
(alsintan) seperti traktor roda dua dan
empat, pompa air, alat tanam padi, pengering, dan alat perbengkelan masih
terbatas. Di sisi lain, alsintan dibutuhkan

Beberapa negara di Asia telah berhasil


mengembangkan sistem informasi komunikasi pertanian sebagai manifestasi
kemajuan iptek yang bersumber pada
kreativitas inovatif suatu bangsa, misalnya program Thalad Thai di Thailand,
gerakan Semaul Undong di Korea Selatan,
dan pembangunan pertanian modern
pascaperang dunia kedua di Jepang. Di
Indonesia, sejak tahun 2004 Departemen
Pertanian mengembangkan Program
Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan
Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani).
Program ini dilaksanakan secara partisipatif oleh semua pemangku kepentingan
(stakeholders) pembangunan pertanian
dalam bentuk laboratorium agribisnis.
Prima Tani bersifat integratif secara vertikal
dan horizontal, dan diharapkan dapat
menghasilkan keluaran yang bermuara
pada ketahanan pangan, daya saing
melalui peningkatan nilai tambah, dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dari berbagai gerakan pembaharuan usaha
tani tersebut, terlihat bahwa komunikasi
berperan sebagai salah satu program
pendukung yang penting (Suryana 2008).
Setiap program pembangunan yang
terkait dengan pembangunan pertanian
memerlukan perencanaan yang komprehensif dengan koordinasi semua pihak
melalui sistem informasi yang efektif dan
efisien. Informasi bagi pengembangan
usaha tani modern merupakan sumber
daya penting dalam kegiatan produksi dan
manajemen agribisnis untuk meningkatkan daya saing. Informasi yang dibutuhkan petani dapat disalurkan melalui sistem
informasi dengan mengacu pada computer-based system untuk mendukung
operasi, manajemen, dan fungsi keputusan
dalam organisasi. Akses petani terhadap
sumber informasi perlu ditingkatkan
sehingga petani dapat mengambil keputusan secara tepat.
Sistem informasi komunikasi pertanian
berperan untuk mengumpulkan, mengirimkan, memproses, dan menyimpan data
tentang sumber daya organisasi, program,
dan pencapaian kinerja atau prestasi.
Informasi merupakan data yang memiliki
makna dan berguna, serta dapat dikomunikasikan kepada penerima atau pengguna
43

44

KESIMPULAN DAN
IMPLIKASI KEBIJAKAN
Kesimpulan
Kemandirian pangan bergantung pada
keberdayaan petani dalam meningkatkan
produktivitas, kualitas produk, dan nilai
tambah sehingga mempunyai posisi tawar
dan daya saing yang tinggi. Untuk
mewujudkannya diperlukan dukungan
akselerasi adopsi inovasi teknologi pertanian. Pemberdayaan petani padi dapat

Peran institusi (litbang,


perguruan tinggi, swasta)
s

Koperasi
Agribisnis
Padi

Pusat
Informasi
Agribisnis
Pangan

Pemberdayaan &
partisipasi
masyarakat
s

s
t t

Sistem
kemitraan

s s

Sumber informasi
(pemerintah,
perguruan tinggi,
swasta, LSM, dll)

Uji coba
lapangan

s s

t t

Kebijakan pemerintah
(gerakan kemandirian
pangan)

Pewujudan sistem informasi dalam mendukung program kemandirian pangan


memerlukan pemberdayaan petani melalui
organisasi ekonomi yang mampu menggalang potensi faktor produksi yang
terbatas. Koperasi pertanian merupakan
lembaga ekonomi yang sesuai bagi petani
dan juga merupakan amanah konstitusi
UUD 1945 yang perlu ditata ulang seiring
dengan perkembangan iptek dan tantangan global yang makin kompleks.
Perpaduan prinsip agribisnis dan prinsip
ekonomi kerakyatan yang berbasis
kekeluargaan dan kebersamaan dapat
dikembangkan sebagai paradigma baru
dalam pengembangan koperasi yang
efektif dan efisien dan berpihak kepada
kepentingan anggota (petani).
Untuk membangun koperasi yang
efektif dan efisien, model koperasi pertanian komoditas tunggal merupakan
alternatif yang dapat dikembangkan untuk
mempercepat pembangunan usaha tani
modern dengan dukungan sistem informasi komunikasi pertanian. Koperasi
komoditas tunggal yang berorientasi pada
keberdayaan dan kesejahteraan petani
serta kemandirian pangan, akan mendorong munculnya koperasi pertanian
yang andal.
Komunikasi pertanian menjadi makin
penting untuk menghasilkan keseimbangan dalam perspektif pertukaran
informasi melalui jalur kelembagaan yang
mapan, didukung dengan komunikasi dua
arah, baik vertikal maupun horizontal dalam
sistem sosial pertanian. Interaksi horisontal harus dikembangkan menjadi
interaksi solidaritas dan kemitraan, yang
terkait dengan kehidupan antaranggota,
antarkelompok, atau antarlembaga dalam
masyarakat. Sinergi kapital masyarakat,
baik kapital fisik maupun kapital sosial dari
seluruh partisipan melalui sistem kemitraan perlu diintegrasikan menjadi kekuatan
yang lebih efektif.
Penguatan koperasi pertanian dapat
mengembangkan sistem kemitraan dengan

Sistem Kemitraan

dengan kebutuhan petani. Lembaga ini


mempunyai tiga kelompok kegiatan, yakni:
1) melakukan uji lapangan bersama lembaga penelitian, 2) melakukan penyuluhan
dua arah bersama dengan lembaga penelitian, dan 3) menyalurkan informasi yang
terkait langsung dengan kebutuhan petani melalui koperasi agribisnis. Dukungan
pemerintah dalam mewujudkan kemandirian pangan harus menjadi komitmen politik
sebagai gerakan nasional dengan sistem
kemitraan yang dilandasi kesadaran
pentingnya kemandirian pangan menuju
ketahanan pangan yang andal. Bagan
strategi komunikasi kemandirian pangan
dapat dilihat pada Gambar 1.

pelaku ekonomi pertanian lainnya dalam


posisi yang berimbang. Kemitraan juga
penting untuk membangun sistem agribisnis dengan posisi tawar dan daya saing
yang tinggi serta untuk memperoleh nilai
tambah yang wajar bagi petani. Untuk
membangun usaha tani padi dengan
dukungan koperasi pertanian, diperlukan
analisis potensi sumber daya lokal sebagai kawasan pengembangan agribisnis
yang didukung oleh studi kelayakan
secara sosial, teknis maupun ekonomi.
Pengembangan koperasi pertanian yang
kokoh dapat mengantisipasi kekuatan
ekonomi kapitalis yang bertentangan
dengan sistem ekonomi kerakyatan.
Potensi dan karakteristik masing-masing
daerah dapat diperoleh melalui analisis
berdasarkan kawasan pengembangan
agribisnis komoditas unggulan. Kemandirian pangan dapat dibangun berdasarkan Kawasan Pengembangan Agribisnis
(KPA) padi, dengan dukungan Koperasi
Agribisnis Padi, Pusat Informasi Agribisnis Padi, dan Sistem Kemitraan
Agribisnis Padi yang melibatkan seluruh
stakeholders secara terpadu.
Informasi dari lembaga formal dan
nonformal untuk membangun usaha tani
padi modern dapat disalurkan melalui
Pusat Informasi Agribisnis padi yang berfungsi sebagai penyaring informasi sesuai

(stakeholders) untuk membuat suatu


keputusan. Setiap manajer dan partisipan
yang terkait dalam pengembangan usaha
tani padi (koperasi, swasta, pemerintah,
perguruan tinggi, lembaga penelitian dan
pengembangan), pada berbagai level
memerlukan informasi yang relevan dalam
rangka membuat keputusan yang efektif.

Gambar 1. Bagan strategi komunikasi kemandirian pangan.


Jurnal Litbang Pertanian, 28(2), 2009

dilakukan melalui pengembangan koperasi


agribisnis dengan pendekatan kemandirian
dan daya saing melalui pengembangan
sentra-sentra produksi komoditas pangan
unggulan atau kawasan pengembangan
agribisnis pangan.
Peran komunikasi pembangunan
dalam transformasi teknologi dan manajemen agribisnis belum efektif dan efisien.
Masih terjadi kesenjangan antara kemajuan iptek di tingkat penelitian dan
aplikasinya di lapangan. Sinergi dari
partisipan dalam membangun kemandirian
pangan juga belum berkembang.

Implikasi Kebijakan
Swasembada beras dan diversifikasi
pangan sebagai basis kemandirian pangan
harus dikembangkan menjadi gerakan
masyarakat dengan mendayagunakan
secara optimal potensi sumber daya lokal
(fisik dan sosial) untuk menghindari
ketergantungan pada pangan impor.
Sistem agribisnis pangan (padi) dalam
wadah koperasi agribisnis padi perlu
dibangun sebagai bentuk pembangunan
kemandirian pangan yang berorientasi
pada peningkatan efisiensi dan efektivitas
serta pengembangan sistem ekonomi

kerakyatan untuk mengantisipasi perekonomian global yang cenderung kapitalis


(neoliberalisme).
Perlu dikembangkan strategi komunikasi pembangunan kemandirian pangan
dalam suatu sistem informasi komunikasi
pembangunan usaha tani padi dalam
setiap kawasan pengembangan agribisnis
padi. Pengembangannya dapat dilakukan
dengan pendekatan sistem kemitraan dan
pemberdayaan secara terpadu (pemerintah, swasta, koperasi, perguruan tinggi,
lembaga penelitian, LSM) berbasis
koperasi dan sumber daya lokal.

DAFTAR PUSTAKA
Adjid, D.A. 1998. Membangun Pertanian Modern.
Pengembangan Sinar Tani, Jakarta.
Alimoeso, S. 2008. Ketahanan pangan nasional:
Antara harapan dan kenyataan. Makalah
disampaikan pada Pameran Agrinex di
Jakarta, Maret 2008.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2008. Statistik Pertanian. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Food and Agriculture Organization (FAO). 2003.
Trade Reform and Food Security: Conceptualizing the Linkages. FAO, Rome.
Kartasasmita, G. 1996. Power and Empowerment: Sebuah telaahan mengenai konsep
pemberdayaan masyarakat. Badan Perencanaan Pembanguan Nasional, Jakarta.
Kaye, H. 1997. Mengambil Keputusan Penuh
Percaya Diri. Mitra Utama, Jakarta.
Lawang, R.M.Z. 2005. Kapital Sosial dalam
Perspektif Sosiologik. Cetakan Kedua. UI
Press, Jakarta.
Melkote, R.S. 2007. Everett M Rogers and his
contribution to the field of communication

Jurnal Litbang Pertanian, 28(2), 2009

and social change in developing countries.


Journal of Creative in Communication 1:1
2006. Sage Publication, New Delhi. Thousand Oaks, London.
Mubyarto. 2004. Kualitas manusia Indonesia.
Jurnal Ekonomi Rakyat. Edisi Agustus 2004.
Yayasan Agro Ekonomika, Bogor.
Muhammad, A. 2004. Komunikasi Organisasi.
Bumi Aksara, Jakarta.
Nainggolan, K. 2007. Perberasan sebagai bagian
dari ketahanan nasional di bidang pangan.
Seminar Sehari tentang Perberasan. Harian
Umum Sinar Harapan dengan Tabloid Agrina,
Jakarta.
Pakpahan, A. 2004. Petani Menggugat. Max
Havelaar Indonesia Foundation, Jakarta.
Pusat Data dan Informasi Pertanian. 2007.
Statistik Pertanian. Pusat Data dan Informasi Pertanian, Departemen Pertanian,
Jakarta.
Putnam, R.D., R. Leonardi, and R.Y. Nanetti.
1993. Making Democracy Work: Civic

Traditions in Modern Italy. Princeton


University Press. Princeton, USA.
Rogers, E.M. and F.F. Schoemaker. 1971.
Communication of Innovations, A CrossCultural Approach. The Free Press, New
York. 476 pp.
Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi
Pertanian. UI Press, Jakarta. hlm. 137.
Soekartawi. 1993. Peranan pengembangan
sumber daya manusia (PSDM) dalam proses
adopsi-inovasi untuk meningkatkan pendapatan petani. Agro-Ekonomika 23(1): 23
42.
Suryana, A. 2008. Penganekaragaman pangan
dan gizi: Faktor pendukung peningkatan
kualitas sumber daya manusia. Majalah
Pangan. Media Komunikasi dan Informasi.
No. 52/XVII/OktoberDesember 2008,
Jakarta.
Yudhohusodo, S. 2004. Membangun Kemandirian
Pangan. Yayasan Padamu Negeri, Jakarta.

45

Anda mungkin juga menyukai