Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Indonesia, merupakan salah satu negara dengan kondisi geologis yang secara tektonik

sangat labil, karena merupakan daerah pertemuan Lempeng Eurasia; Lempeng Indo-Australia;
Lempeng Pacifik; dan Lempeng Laut Filipina (Diposaptono dan Budiman, 2006). Kondisi ini
menyebabkan wilayah Indonesia memiliki tingkat kejadian gempa yang tinggi di dunia dan
sangat rawan mengalami Tsunami (BMG, 2007; Fauzi dan Wandono, 2005; Diposaptono dan
Budiman, 2006. Hampir 90% kejadian Tsunami di Indonesia disebabkan oleh gempa tektonik
dan sekitar 85% dari kejadian Tsunami tersebut terjadi di wilayah Indonesia Timur, termasuk
daerah Flores, NTT. (Diposaptono dan Budiman; 2006). Daerah Flores, khususnya Maumere,
merupakan kawasan dengan tingkat resiko Tsunami yang cukup tinggi. Hal tersebut karena
Maumere berada dekat zona Subduksi Lempeng Tektonik Australia dan Eurasia serta
dipengaruhi oleh sesar-sesar aktif di sepanjang Pulau Flores (Fauzi, 2006; Wah, 2006). Secara
geografis, Pulau Flores terletak di perbatasan zona konvergensi antara 2 mega-plates, yakni
lempeng Hindia-Australia dan lempeng Eurasia. Dengan demikian, bukanlah hal luar biasa
pabila terjadi gempa pada wilayah tersebut.
Dilihat dari struktur tanahnya, tanah pulau Flores tergolong landai dan berpotensi
landslide (longsor), khususnya di bagian central dan bagian Timur pulau tersebut. Menurut
professor Immamura yang melakukan study pada tahun 1992 pada daerah Teluk Hading dan
Riangkroko, tanah di daerah tersebut (di Flores Timur) sangat rentan terhadap longsor, dan tanah
Longsor di bagian selatan teluk Hading dapat menghasilkan Tsunami Lokal lebih dari 10m.
Selain itu, propagasi gelombang proses pada dasar laut dengan kemiringan yang curam juga
mungkin menjadi penyebab amplifikasi tsunami di Flores (imamura; 1995 at journal pure and
applied geophysic, vol.144).
1.2.

Rumusan Masalah
1. Bagaimana gambaran umum dan masyarakat di Pulau Flores ?

1.3.

Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui dan memahami gambaran umum dan masyarakat di Pulau Flores.
BAB II
1

LETAK GEOGRAFIS DAN GAMBARAN BENCANA DI FLORES


2.1

Gambaran Pulau Flores


Pulau Flores adalah pulau utama di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ia dikelilingi oleh

puluhan pulau-pulau kecil dari ujung barat hingga ujung timur. Pulau Flores didiami oleh hampir
tiga puluh suku kecil dan besar. Setiap suku mempunyai bahasa daerah dan dialeknya masingmasing yang sangat sulit diucapkan dan dipelajari bagi para pendatang, meski bertahun-tahun
telah menetap. Diantara beberapa suku-suku dominan, di bagian barat pulau menyebar orang
Manggarai, di bagian tengah tinggal orang Ngada, Riung dan Nage Keo, sedangkan di bagian
timur berdiam orang Ende. Terus ke timur menetap orang Lio, Sikka dan Larantuka. Sejak negeri
ini merdeka, masing-masing suku yang awalnya merupakan kerajaan-kerajaan lokal itu
2.1.1. Letak Dan Kondisi Geografis
Secara Geografis Kabupaten Flores Timur terletak antara 0804 LS - 0840 LS dan
antara 12238 - 12357 BT. Secara administratif Kabupaten Flores Timur dibatasi oleh :

Sebelah Utara

Laut Flores

Sebelah Selatan :

Laut Sawu

Sebelah Timur :

Kabupaten Lembata

Sebelah Barat

Kabupaten Sikka

Wilayah Kabupaten Flores Timur memiliki daratan seluas 1.812,85 Km2 tersebar di 17
Pulau, 3 Pulau yang dihuni dan 14 Pulau yang tidak dihuni.
2.1.2 Iklim & Curah Hujan
Seperti halnya di wilayah lain di Indonesia, Kabupaten Flores Timur juga hanya dikenal 2
musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Pada bulan Juni September arus angin berasal
dari Australia dan tidak banyak mengandung uap air sehingga mengakibatkan musim kemarau.
Sebaliknya pada bulan Desember Maret arus angin banyak mengandung uap air yang berasal
dari Asia dan Samudera Pasifik hingga terjadi musim hujan. Keadaan seperti ini berganti setiap
setengah tahun setelah melewati masa peralihan pada bulan April Mei dan Oktober
Nopember. Hal ini menjadikan Flores Timur sebagai wilayah yang tergolong kering, dimana
hanya 4 bulan (Januari, Pebruari, Maret dan Desember) yang keadaannya relative basah serta 8
2

bulan sisanya relative kering.


2.1.3 Wilayah Sungai
Berdasarkan Permen PU No 11 Tahun 2006 tentang Kriteria dan Penetapan Wilayah
Sungai, penetapan wilayah sungai didasarkan pada pertimbangan dan kriteria sebagai berikut :
1. Efektivitas pengelolaan Sumber daya air
-

Pengelolaan sumber daya air pada wilayah tersebut memnuhi kebutuhan konservasi
sumber daya air dan pendayagunaan sumber daya air ; dan/atau

Keberadaan prasarana sumber daya air yang menghubungkan daerah aliran sungai
yang satu dengan daerah aliran sungai yang lain.

2. Efisiensi pengelolaan sumber daya air; dan


3. Tercukupinya hak setiap orang untuk mendapatkan air guna memnuhi kehidupan yang
sehat, bersih dan produktif.
Wilayah Sungai adalah kesatuan wilayah tata pengairan sebagai hasil pengembangan satu
atau lebih daerah pengaliran sungai. Penetapan dan pembagian wilayah sungai dimaksudkan
untuk menjamin terselenggaranya usaha-usaha perlindungan, pengembangan air secara
menyeluruh dan terpadu pada satu daerah pengaliran sungai atau lebih, dengan tujuan untuk
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat di segala bidang
kehidupan dan penghidupan.
2.1.4 Perekonomian
Kegiatan perekonomian Kabupaten Flores Timur dapat ditinjau dari beberapa sektor yaitu
sektor pertanian, sektor peternakan, perkebunan dan perikanan. Masing-masing sektor
mempunyai peranan yang cukup penting dalam pembangunan Kabupaten Flores Timur karena
produk dari setiap sektor dapat menambah dan meningkatkan pendapatan masyarakat.

Sektor Pertanian :
Sebagian besar lahan pertanian di Kabupaten Flores Timur terdiri dari lahan kering, yaitu
sebesar

98,14%. Sisanya, 1,86% merupakan lahan sawah. Komoditi tanaman pangan

dengan produksi terbesar adalah ubi kayu C2 951 ton), jagung _ 041 ton), padi ladang _
818 ton) Padi sawah hanya sebesar 602,27 ton. Kacang tanah, ubi jalar dan kacang hijau
masing-masing sebesar 1 818 ton, 293 ton dan 584 ton dan juga kacang tanah sebesar 533
ton. Adapun ubi kayu terbanyak dihasilkan di Kecamatan Wulan Gitang, Jagung di
3

Kecamatan Titehena, Ubi jalar di kecamatan Ilebura, sedangkan Kecamatan Witihana


merupakan penghasil kacang hijau dan kacang tanah terbanyak.

Sektor Peternakan :
Ternak besar belum diusahakan secara maksimal di Flores Timur. Hanya sapi dan kuda
yang cukup menonjol, jumlahnya masing-masing mencapai 1.788 ekor dan 1128 ekor.
Ternak kecil terutama babi dan kambing cukup besar populasinya

mengingat

erat

kaitannya denga budaya setempat. Babi tercatat sebanyak 73.188 ekor dan kambing
sebanyak 56.038 ekor.

Sektor Perkebunan :
Beberapa komoditi perkebunan yang menonjol di Flores Timur adalah kelapa, jambu mete,
kemiri, pinang dan kakao. Produksinya masing-masing 9.507 ton, 10.431 ton, 854 ton, 80
ton dan 688 ton. Beberapa jenis rempah seperti lada, vanili dan pala, produksinya belum
cukup banyak. Demikian pula dengan jarak pagar dan kapuk.

Sektor Perikanan dan Kelautan :


Provinsi NTT sebagai wilayah kepulauan mempunyai potensi kekayaan laut yang cukup
besar. Laut Yang luas menyimpan berbagai jenis biota, seperti ikan, udang, cumi-cumi,
teripang, rumput laut dan biota laut lainnya. Di tahun 2012 produksi Perikanan laut
mencapai 13.715 ton. Jenis Ikan terbanyak adalah tembang, selar, tongkol, layang, dan
lencam dengan produksi masing-masing sebanyak 3.167 ton, 1.637 ton, 1.651 ton, 1.569
ton dan 1.078 ton.

Sektor Industri :
Industri yang mendominasi di Kabupaten Flores Timur adalah industry Kerajinan rumah
tangga Q,15%). Sedangkan industri kecil dan industry besar/sedang masing-masing hanya
0,81% dan 0,04%. Umumnya industri tersebut terkonsentrasi di Kecamatan Larantuka
91%) dan Kecamatan Adonara Timur A7,71%). Sedangkan 62,38% Sisanya menyebar di
16 Kecamatan lain dengan persentase antara 0,58% sampai dengan 7,37%.

Sektor Kehutanan :
Luas hutan yang menutupi daratan Flores Timur berkisar 39% dari total luas daratan
Flores Timur. Sebagian besar 2,91%) dari wilayah tersebut merupakan hutan lindung.
Luas hutan produksi terbatas hanya 31,01%, maka tidak mengherankan Jika hasil hutan,
4

terutama kayu di kabupaten ini tergolong rendah.


2.2

Gambaran Bencana Gempa dan Tsunami

2.2.1

Gempa Flores, 12 Desember 1992


Tsunami yang memporak-porandakan pulau Flores pada tanggal 12 Desember 1992

terjadi karena adanya Gempa di laut Flores, sebelah utara pulau tersebut. Gempa tersebut
tercatat pada tanggal 12 Desember 1992, dengan Origin Time 05:29:28,6 UTC. Epicenter
gempa: -8,50 LS dan 121,84 BT ; Kedalaman:33 Km, Skala Magnitudo mb=6,7. Ms=7,5.
Mw=7.7, Skala Intensitas, dirasakan (V) di Larantuka, Flores Timur; (IV) di Waingapu, Sumba
dan Ujung Pandang, Sulawesi; dan (II) di Kupang, Timor.

Origin Time:
Epicenter :
Kedalaman :
Magnitudo :

GEMPA FLORES, 12 DESEMBER 1992


05:29:28,6 UTC
8,50 LS dan 121,84 BT
33 Km
mb=6,7
Ms=7,5
Mw=7.7
dirasakan (V)di Larantuka, Flores
Timur; (IV) di Waingapu, Sumba
dan Ujung Pandang, Sulawesi; dan

Intensitas :

(II) di Kupang, Timor.

Epicenter dari gempa tersebut terletak di 35 Km arah Barat Laut dari kota Maumere,
satu-satunya kota Pelabuhan Central di pulau Flores, karena letaknya di daerah pesisir,
berhadapan langsung dengan Laut Flores di bagian Utara pulau tersebut. Patahan atau sesar yang
menyebabkan terjadinya Gempa tersebut terdapat di daerah sekitar Tanjung Batumanuk dan
Tanjung Bunga (Cape of batumanuk and cape of Bunga), di bagian Timur Laut di bagian
kabupaten Flores Timur.Panjang dari sesar tersebut kira-kira 110 Km dan lebarnya 35 Km.
Berdasarkan survey lapangan yang dilakukan oleh Tim survey dari Jepang, 1.000 gempa
susulan (aftershock) yang terekam dalam periode 1 minggu, dari 30 Desember sampai 5 Januari.
Daerah pantai di bagian barat cape of batumanuk mengalami pengangkatan (uplifted), dengan
kisaran displacement 0.5-1.1 m. Penurunan (subsidence) terjadi di bagian Timur, dengan kisaran
hingga 1.6 m di kampung Kolisia (25 Km Barat laut Maumere).
5

2.2.2

Tsunami Akibat Gempa Flores, 12 Desember 1992


Adanya gempa akibat patahan dengan hipocenter gempa di wilayah Barat Laut 35 Km

kota Maumere tersebut membangkitkan gelombang air laut raksasa, atau yang kita kenal sebagai
Tsunami. Tsunami tersebut menempuh jarak 300m sebelum mencapai pesisir pantai utara Flores,
dengan tinggi gelombang mencapai 29 m. Gelombang laut raksasa tesebut menyapu bersih
wilayah yang dilaluinya, khususnya daratan pantai utara maumere dan sekitarnya. Pada
kampung wuring, yang terletak sekitar 3 m arah Barat Daya kota Maumere, tinggi gelombang
yang mencapai daratan 2.9 m di atas MSL; padahal tinggi daerah tersebut (ground height)
hanya 1.8- 2.1 mdi atas MSL, sehingga air dari gelombang Tsunami tersebut menggenangi
seluruh kampung tersebut. Kecepatan gelombang tersebut diperkirakan = 2.7-3.6 m/s oleh
Matsutomi (1993). Kebanyakan rumah hancur berantakan, namun ada beberapa yang masih
tersisa, yakni di daerah Barat daya, sehingga hal ini mengindikasikan sapuan gelombang air
tersebut dari Barat Laut. Kira-kira ada 1.400 orang yang tersapu gelombang tersebut, dan 87 di
antaranya wafat dalam hempasan gelombang tersebut. tinggi runup tersebut meningkat di
sepanjang pesisir pantai Wuring dari epicenter, yang bervariasi dari 2-5.2 m, dengan puncaknya
di kampung Kolisia, yang merupakan salah satu lokasi yang juga mengalami subsidence /
amblasan maksimum.
Kerusakan parah akibat Tsunami juga terjadi di Pulau Babi, sebuah pulau yang berlokasi
40 Km arah Timur Laut dari Kota Maumere. Pulau babi merupakan sebuah pulau yang
berbentuk lingkaran dengan diameter 2.5Km, yang dikelilingi oleh terumbu karang dan terdapat
sebuah gunung di tengah pulau tersebut dengan elevasi 351m. Di Pulau ini, hanya terdapat satu
tanah datar saja yang memungkinkan untuk dijadikan tempat berdomisili / perkampungan, yakni
di wilayah pesisir pantai selatan pulau ini,yang berhadapan langsung dengan pulau Flores, 5
Km di arah selatan. Hanya ada 2 kampung saja di pulau ini, yakni perkampungan masyarakat
muslim di wilayah barat dan perkampungan kristen di wilayah Timur. Populasi penduduk pulau
ini sebesar 1.093 jiwa, di mana 700 jiwa menjadi korban Tsunami. Maksimum runup di pulau
ini terukur di wilayah pesisir timur, dengan ketinggian 5.6m. Menurut para saksi mata, Tsunami
mencapai pulau tersebut 3 menit setelah terjadinya gempa. Beberapa saksi juga mengatakan,
Gelombang tersebut datang dari arah selatan, yakni dari Pulau Flores tentunya. Kerusakan di

Pulau Babi cukuplah lumayan. Berdasarkan survey lapangan pasca bencana, sempat terjadi jiga
Liquifaksi, yang membelah lantai masjid di pulau tersebut.
Selain itu, kerusakan akibat Tsunami juga terbilang parah, di wilayah kampung Nebe,
sebuah kampung di Pulau Flores yang berhadapan dengan pulau Babi. Area yang berpenduduk
terletak di tengah - tengah kebun kelapa sawit. Ketinggian tanah di daerah ini dari 1.7 2.6 m,
sedangkan tinggi Tsunami yang terukur adalah 4.0-4.6 m. Banyak rumah yang retak dan hanya
beberapa yang rusak parah. Mengenai korban jiwa, Tsunami hanya menelan 2 korban jiwa dari
total penduduk kampung 150 jiwa. Hal ini dikarenakan adanya kebun kelapa sawit yang
melindungi kampung Nebe ini yang mampu mengurangi energi tsunami.
Tsunami juga menghantam kampung Riang-Kroko, yang berlokasi di Tanjung
Watupayung (cape of watupajung). Kampung ini berada di ujung pulau Florres bagian Timur
laut. Daerah Pantainya menghadap ke Barat. Tinggi Maksimum Tsunami yang menyapu wilayah
kampung ini mencapai 26.2 m di atas MSL. Pada daerah pemukiman penduduk, elevasinya =
3.6m. Di kampung ini,tercatat ada 69 KK (kepala keluarga) dengan penduduk sebanyak 406
jiwa dengan jumlah rumah +200 rumah. Setelah disapu gelombang Tsunami, tak ada lagi tandatanda kehidupan yang tersisa. Tercatat, 137 jiwa yang meninggal. Tingginya gelombang Tsunami
yang begitu extreme di daerah ini menunjukkan bahwa ini juga dikarenakan adanya kontribusi
dari Landslide / longsoran disekitar wilayah Riang-kroko tersebut.
Setidaknya 2.500 orang tewas atau hilang di wilayah Flores, termasuk 1.490 di Maumere
dan 700 Pulau Babi. Lebih dari 500 orang terluka dan 90.000 orang kehilangan tempat tinggal.
Sembilan belas orang tewas dan 130 rumah hancur di Kalaotoa. Kerusakan parah, dengan sekitar
90 persen bangunan hancur di Maumere oleh gempa dan tsunami, 50 sampai 80 persen dari
struktur di Flores rusak atau hancur. Kerusakan juga terjadi pada Sumba dan Alor. Tsunami di
Flores berlari daratan sebanyak 300 meter dengan ketinggian gelombang 25 meter. Tanah longsor
dan retakan tanah yang dilaporkan di beberapa lokasi di pulau. Merasa di Larantuka, Flores,
Waingapu, Sumba, dan Ujung Pandang, Sulawesi,Kupang, Timor.Serta listrik di wilayah umum
dan pelabuhan Maumere ditutup.rumah sakit Maumere itu benar-benar hancur, dan pasien
dirawat di tenda. Kerusakan juga terjadi pada Sumba dan Alor .
2.3. Kondisi Sosial Budaya
2.3.1 Pola Kampung Dan Desa

Desa-desa di Flores (Beo di Manggarai), dulu biasanya dibangun di atas bukit, untuk
keperluan pertahanan. Pola perkampungan dari desa-desa kuno itu biasanya merupakan satu
bagian linggkaran dengan tiga bagian, yaitu depan, tengah dan belakang. Walaupun pada masa
sekarang susunan kuno tersebut sering sudah tidak diperhatikan lagi, namun sisa-sisa bangunan
kuno tersebut masih dapat dijumpai pada desa-desa Flores pada zaman sekarang juga.
Di Manggarai misalnya masih ada sebutan khusus untuk bagian depan dari
desa ialah paang, bagian tengah ialah beo (dalam arti khusus) 192 dapur, dan tempat untuk
berkumpul bagi keluarga. Bagian yang kedua dan bagian belakang ialah ngaung. Dulu di tiap
bagian dari rumah ada tempat-tempat keramat, yang berupa timbunan batu-batu besar dan yang
dianggap tempat roh-roh penjaga desa dapat turun. Pada massa sekarang, biasanya masih ada
paling sedikit satu tempat keramat serupa itu di tengah-tengah lapangan tengah dari desa. Tempat
keramat itu biasanya berupa suatu timbunan batu-batu besar yang disusun seperti piramida
bertangga dengan beberapa batu pipih tersusun seperti meja di puncaknya. Seluruh timbunan itu
yang disebut kota, dinaungi oleh suatu pohon waringin yang besar. Di hadapan himpunan batu
itu biasanya ada bangunan balai desa Yang juga bersifat keramat dan yang disebut mbaru
gendang, karena di dalamnya disimpan sebuah genderang yang keramat. Desa-desa kuno dari
orang Ngada, biasanya juga mernpunyai lapangan pusat dengan di tengah-tengahnya timbunan
batu-batu berupa suatu, panggung dari batu yang disebut terse. Di atas panggung itu ada
beberapa batu pipih yang juga disusun seperti meja, atau seperti sandaran (watu lewa). Di bagian
depan dari desa-desa Ngada, seringkali ada tiang pemujaan nenek moyang dari batu (ngadhu)
sedangkan di hadapan tiang batu itu biasanya ada sebuah rumah pemujaan kecil (bhaga). Desadesa di Flores pada zaman dahulunya juga selalu dikelilingi dengan sebuah pagar dari bambu
yang tingginya dua sampai tiga meter, sedangkan pagar itu seringkali dikelilingi lagi secara padat
dengan tumbuh-tumbuhan belukar yang berduri.
Di sebagian besar bangunan budaya Flores, rumah tinggal merupakan bangunan yang
paling menonjol di sebuah desa. Meskipun setiap rumah dibangun mengikuti prinsip-prinsip
konstruksi yang berbeda sesuai dengan tradisi bangunan masing-masing, rumah-rumah di Flores
masih memilik ciri-ciri umum yang sama. Rumah secara tradisional dibangun dari kayu dan
bambu. Untuk membuat lantai terangkat dari tanah, rumah didirikan di atas penyangga. Atap
rumah biasanya menjadi bagian paling menonjol dari keseluruhan bangunan, dan dibuat secara
8

tradisional dari jerami atau bilah-bilah bambu. Jerami dari rumput ilalang yang tebal sangat
cocok untuk kondisi iklim di Flores karena mampu mengisolalsi panas dan dingin, juga meredam
suara hujan lebat hal ini memberikan ruang interior yang nyaman. Manfaat ini hilang ketika atap
rumah diganti menggunakan seng, yang kian menjadi popular sebagai simbol status modern
selain karena seng merupakan bahan yang mudah untuk digunakan.
Pada masa sekarang sudah banyak desa-desa yang dibangun di daerah tanah datar di kaki
bukit. Sifatnya lebih terbuka, pagar sering tidak ada lagi, sedangkan pola perkampungan
berbentuk lingkaran-lingkaran di banyak tempat juga sudah ditinggalkan. Hal ini tentu saja
mempunyai suatu keterkaitan dengan penyesuaian keadaan zaman. Uniknya lagi hal tersebut
dilaksanakan secara bersama sehingga membentuk suatu bukti-bukti social. Tidak hanya desa di
Pulau Flores, desa-desa di seluruh Nusantara juga mengalami berbagai penyesuaian lingkungan
seiring perkembangan zaman. Solusinya, mungkin saja perubahan mampu memecahkan masalah
yang terjadi. Karena, walau bagaimanapun juga, suatu sistem adat yang tidak sesuai dengan
perkembangan zaman, akan menjadi masalah dimana hal tersebut muncul menjadi penghambat
upaya-upaya manusia dalam mempertahankan generasinya. Jadi, perubahan suatu kebiasaan juga
tidak ada ruginya apabila perubahan tersebut tetap mampu menyimpan dalam-dalam nilai-nilai
dari suatu kebiasaan adat masa lalu sekalipun bentuk-bentuk fakta ataupun objeknya sosialnya
sudah mengalami perubahan.
2.3.2 Sistem Mata Pencaharian
Mata pencaharian hidup yang utama dari orang Flores adalah bercocok tanam di ladang.
Para warga laki-laki dari sejumlah keluarga luas biasanya bekerja sama dalam hal membuka
ladang di dalam hutan. Aktivitas itu terdiri dari memotong dan membersihkan belukar bawah,
menebang pohon-pohon dan membakar daun-daunan, batang-batang dan cabang-cabang yang
telah dipotong dan ditebang. Kemudian bagian hutan yang dibuka dengan cara tersebut dibagi
antara berbagai keluarga luas, yang telah bersama-sama membuka hutan tadi. Dari
atas 'sekelompok ladang-ladang serupa itu akan tampak seperti suatu jaringan sarang laba-laba.
Tanaman pokok yang ditanam di ladang-ladang adalah jagung dan padi.

2.3.3 Sarana dan Prasarana


Serupa dengan banyak daerah lain di Nusatenggara Timur, pembangunan Flores,
mempunyai beberapa faktor penghambat yang amat penting, ialah: (1) Tanah dari pulau Flores,
tidak subur, miskin akan sumber-sumber alam lainnya dan iklimnya amat kering; (2) Daerah
Flores, kecuali mungkin bagian barat daya, ialah Manggarai, belum lama keluar dari keadaan
isolasinya, tertutup dari perhubungan masyarakat dan kebudayaan manusia (3) penduduk Flores,
terdiri dari aneka-warna suku-bangsa dengan bahasa-bahasa yang berbeda-beda; (4) Sikap
mental dari penduduk masih terlampau terpengaruh oleh adat-istiadat kuno yang feodal dan yang
menghambat pembangunan.

10

BAB III
PEMBAHASAN
Pulau flores yaitu Lembata dan pulau-pulau sekitarnya merupakan jalur gunung api,
daerah patahan lempeng bumi (sering terjadi gempa), dengan ketersediaan air yang amat
terbatas, serta topografi yang umumnya terjal dengan luas pulau yang kecil, di bagian barat pulau
menyebar orang Manggarai, di bagian tengah tinggal orang Ngada, Riung dan Nage Keo,
sedangkan di bagian timur berdiam orang Ende. Terus ke timur menetap orang Lio, Sikka dan
Larantuka.
Secara Geografis Kabupaten Flores Timur terletak antara 0804 LS - 0840 LS dan
antara 12238 - 12357 BT. Secara administratif Kabupaten Flores Timur dibatasi oleh :

Sebelah Utara

Laut Flores

Sebelah Selatan :

Laut Sawu

Sebelah Timur :

Kabupaten Lembata

Sebelah Barat

Kabupaten Sikka

Wilayah Kabupaten Flores Timur memiliki daratan seluas 1.812,85 Km2 tersebar di 17
Pulau, 3 Pulau yang dihuni dan 14 Pulau yang tidak dihuni. Berdasarkan letak geografis tersebut,
menyebabkan flores adalah salah satu pulau yang sering terjadi bencana diantaranya gempa dan
tsunami yang terjadi pada tahun 1992.
Jika dikaitkan antara bencana dengan budaya masyarakat pulau flores dapat dijelaskan
sebagai berikut. Berdasarkan dari pola bangunan masyarakat flores, tempat tinggal masyarakat
flores secara tradisional terbuat dari kayu dan bambu. Untuk membuat lantai terangkat dari
tanah, rumah didirikan di atas penyangga. Atap rumah biasanya menjadi bagian paling menonjol
dari keseluruhan bangunan, dan dibuat secara tradisional dari jerami atau bilah-bilah bambu, oleh
sebab itu saat terjadi gempa dan tsunami lebih banyak memakan korban jiwa dan banyak
mengalami kerusakan karena pondasi rumah yang tidak kuat.
Jika ditinjau dari mata pencaharian masyarakat setempat orang Flores adalah bercocok
tanam di ladang. Para warga laki-laki dari sejumlah keluarga luas biasanya bekerja sama dalam
hal membuka ladang di dalam hutan. Aktivitas itu terdiri dari memotong dan membersihkan
belukar bawah, menebang pohon-pohon dan membakar daun-daunan, batang-batang dan cabang11

cabang yang telah dipotong dan ditebang, hal tersebut dapat menyebabkan kerusakan yang lebih
parah ketika terjadi bencana karena tidak ada hutan yang mampu menahan air sebelum mencapai
rumah warga selain itu juga mudah terjadi longsor akibat perubahan fungsi lahan.
Jika ditinjau dari sarana dan prasarana, masyarakat pulau flores seperti terisolasi dari
dunia luar karena mereka terkesan tertutup sehingga jika terjadi bencana, akses evakuasi
terhambat dikarenakan sarana dan prasarana yang kurang memadai. Dari bencana Tsunami
Flores yang terjadi, terdapat dua point penting yang ditarik sebagai kesimpulan yang khas untuk
kejadian ini, yaitu jumlah perbandingan korban wanita yang meninggal nampak lebih banyak
ketimbang yang lelaki, seperti yang nampak pada Pulau Babi. Pola seperti ini telah teramati, dan
bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwa ketika bencana datang, Pria terkesan lebih agresif dan
responsif

untuk

menyelamatkan

dirinya.

Sedangkan

wanita

lebih

cenderung

untuk

menyelamatkan kaum tetua dan anak-anak. Para wanita lebih bergerak berdasarkan emosi,
sehingga seringkali memilih untuk tetap bertahan walau tahu jiwanya terancam. Selanjutnya
nampak bahwa Vegetasi atau tanaman yang tumbuh atau ditanam di area pesisir (coastal area)
dapat secara efektif membantu mengurangi efek merusak akibat Tsunami atau istilahnya,
Greenbelt,dapat melindungi suatu pesisir dari bahaya Tsunami. Namun masih ada juga
perkampungan yang porak-poranda, padahal telah memiliki Greenbelt. Mengapa? karena yang
ditanam adalah pohon palem, yang notabenenya memiliki batang dan cabang yang rendah.
Sebaiknya, tanaman yang dianjurkan sebagai Green belt adalah tanaman Bakau, yang bisa sangat
efektif melindungi pesisir dari bahaya Tsunami.

12

Anda mungkin juga menyukai