Anda di halaman 1dari 2

Metode Terbaik Dalam Berdakwah

Oleh : Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Pertanyaan:
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Ada dua surat yang menanyakan tentang metode terbaik untuk berdakwah
(mengajak manusia ke jalan Allah ) dan tentang metode terbaik untuk amar ma'ruf nahi mungkar. Disebutkan oleh para
penulis surat tersebut, bahwa mereka mendapatkan banyak kesalahan di kalangan kaum muslimin, mereka merasa iba
terhadap kondisi tersebut sehingga mendambakan sesuatu untuk merubah kemungkaran tersebut. Karena itu, mereka
mohon pengarahan.

Jawaban:
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjelaskan metode dakwah dan hal-hal yang harus dimiliki oleh seorang dai, Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Katakanlah, Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada
Allah dengan hujjah yang nyata'." [Yusuf : 108].
Jadi, seorang dai harus mengetahui (baca: menguasai) apa-apa yang diserukannya dan apa-apa yang dilarangnya
sehingga tidak berbicara atas nama Allah tanpa berdasarkan ilmu. Di samping itu, ia pun harus ikhlas karena Allah dalam
berdakwah, bukan untuk mengajak kepada suatu madzhab dan bukan pula kepada pendapat si fulan atau fulan, akan
tetapi mengajak kepada Allah untuk mendapatkan pahala dan ampunanNya serta mengharapkan baiknya manusia.
Karena itu, harus dilandasi dengan keikhlasan dan berdasarkan ilmu yang mapan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka
dengan cara yang lebih baik."[An-Nahl: 125].
Ayat ini menerangkan tentang metode berdakwah, yaitu dengan hikmah, yakni harus dengan ilmu. Allah dan
RasulNya menyebut ilmu itu dengan sebutan hikmah, karena ilmu itu menyangkal kebatilan dan membantu manusia
untuk mengikuti yang haq. Bersama ilmu itu harus pula disertai pelajaran (wejangan) yang baik dan bantahan yang lebih
baik saat diperlukan, karena sebagian orang cukup dengan penjelasan al-haq, maka tatkala kebenaran (al-haq) itu
tampak baginya, ia langsung menerimanya. Dalam kondisi begitu, tidak perlu lagi wejangan. Namun sebagian orang ada
yang polos (tidak bereaksi) dan ada yang keras sehingga perlu nasehat (wejangan) yang baik. Maka seorang dai, harus
memberikan wejangan dan mengingatkan kepada Allah saat itu dibutuhkan. Ini untuk kondisi yang berhadapan dengan
orang-orang jahil dan orang-orang lengah serta orang-orang yang suka bersikap menggampangkan (menganggap remeh),
untuk orang-orang semacam itu perlu diberikan wejangan agar mereka terbuka dan puas serta menerima kebenaran. Ada
pula orang yang telah diliputi keraguan, untuk yang semacam ini perlu didebat (dibantah) dengan tujuan untuk
membongkar keraguan tersebut. Maka sang dai dalam menghadapi situasi seperti ini perlu menerangkan kebenaran
disertai dalil-dalilnya serta membantah keraguan tersebut dengan cara yang lebih baik, hal ini tidak menghilangkan
keraguan tersebut dengan dalil-dalil syari'at. Perlu diingat, bahwa dalam hal ini harus dengan perkataan yang baik, tutur
kata yang halus dan lembut, tidak kasar dan tidak keras agar orang yang didakwahinya tidak antipati terhadap al-haq dan
tetap bertahan pada kebatilannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu." [Ali Imran: 159]
Ketika Allah memerintahkan Musa dan Harun untuk menemui Fir'aun, Allah berfirman.
"Artinya : Maka berbicalah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat
atau takut." [Thaha: 44].
Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Sesungguhnya, tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu kecuali ia akan membaguskannya, dan tidaklah
(kelembutan) itu tercabut dari sesuatu, kecuali akan memburukkannya." [HR. Muslim dalam Al-Birr wash Shilah (2594).]
Dalam hadits lain beliau bersabda.
"Artinya : Barangsiapa yang tidak terdapat kelembutan padanya, maka tidak ada kebaikan padanya." [HR. Muslim
dalam Al-Birr wash Shilah (2592).]
Dari itu, seorang dai hendaknya memelihara al-haq, bersikap lembut terhadap mad'u (orang yang didakwahinya),
berusaha untuk senantiasa ikhlas karena Allah dan mengatasi berbagai perkara dengan cara yang telah digariskan oleh
Allah, yaitu ber-dakwah dengan hikmah (ilmu), nasehat/wejangan yang baik dan bantahan yang lebih baik. Semua ini
harus berdasarkan ilmu sehingga sasarannya merasa puas untuk menerima al-haq dan agar menghilangkan keraguan dari
orang yang telah diliputi keraguan serta agar hati orang yang keras dan membatu pun menjadi luluh, karena hati manusia
itu bisa luluh dengan seruan dakwah, wejangan yang baik dan penjelasan tentang kebaikan di sisi Allah bagi yang mau
menerima al-haq serta tentang bahaya besar bagi yang menolak al-haq setelah al-haq itu datang menghampirinya, dan
nasehat-nasehat hal yang senada.

Kemudian tentang mereka yang melaksanakan amar ma'ruf nahi mungkar, hendaknya berperilaku dengan adab-adab
yang syar'i, ikhlas karena Allah dalam beraktifitas, berakhlaq dengan akhlaq para dai, yaitu lembut dan tidak kasar kecuali
jika itu memang diperlukan, misalnya saat menghadapi kezhaliman, kesombongan dan penentangan, maka saat itu perlu
menggunakan kekuatan, sebagaimana ditunjukkan oleh firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan
orang-orang zhalim di antara mereka." [Al-Ankabut: 46]
Dan sabda Nabi Shallalahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan
tangannya, jika tidak bisa maka dengan lisannya, dan jika tidak bisa juga maka dengan hatinya, itulah selemah-lemahnya
iman." [Dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya, kitab Al-lman (49).]
Adapun untuk selain mereka, dalam rangka menegakkan amar ma'ruf nahi mungkar, hendaknya menggunakan
metode para dai, yaitu mengingkari kemungkaran dengan halus dan disertai hikmah, mengungkapkan hujjahnya agar
pelaku kemungkaran bisa menerima al-haq dan menghentikan kebatilannya. Ini pun dilakukan sesuai kesanggupan,
sebagaimana firman Allah.
"Artinya : Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu." [At-Taghabun: 16]
Dan sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran."
Ayat yang menghimpun itu terdapat pada firmanNya.
"Artinya : Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong
sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang mungkar." [At-Taubah: 71]
Dan ayat.
"Artinya : Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan
mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah." [Ali Imran: 110]
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengancam dan melaknat orang-orang yang tidak menegakkan amar ma'ruf nahi
mungkar melalui lisan Dawud dan Isa bin Maryam, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Ma'idah,
"Artinya : Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan 'Isa putera Maryam. Yang demikian
itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan
mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu."[Al-Ma'idah: 78-79]
Jadi, perkara ini sangat agung dan tanggung jawabnya pun besar, maka wajib atas ahli iman, para penguasa, ulama
dan kaum muslimin lainnya yang memiliki kemampuan, kesanggupan dan ilmu, untuk mencegah kemungkaran dan
mengajak kepada kebaikan. Kewajiban ini bukan untuk suatu golongan saja, walaupun memang ada golongan yang lebih
wajib dan lebih bertanggung jawab, tapi keberadaan golongan tersebut tidak begitu saja menggugurkan kewajiban ini dari
yang lainnya, bahkan golongan lain itu wajib membantu golongan tersebut agar tercipta kondisi yang saling mendukung
dalam rangka mencegah kemungkaran dan mengajak kepada kebaikan, sehingga kebaikan semakin marak, sementara
keburukan semakin berkurang. Lebih-lebih lagi jika golongan tersebut (yang paling bertanggung jawab) tidak mampu
melaksanakan dengan sempurna dan belum mencapai maksud yang diharapkan, kendati wejangan dan ajakan telah
banyak di-sampaikan, namun keburukan tetap bertebaran, maka wajib bagi yang mampu untuk ikut membantu.
Jika golongan tersebut telah melaksanakannya, maka kewajiban ini telah gugur dari golongan lainnya di tempat
tersebut atau di negeri tersebut, karena amar ma'ruf nahi mungkar itu hukumnya fardhu kifayah. Jika orang-orang yang
bertugas atau orang-orang shalih telah melaksanakannya untuk menghilangkan kemungkaran dan mengajak kepada
kebaikan, maka bagi golongan lainnya hukumnya sunnah. Adapun kemungkaran yang tidak dapat dihilangkan oleh orang
yang selain anda, umpamanya, karena anda berada di desa tersebut atau kabilah atau perkampungan tersebut, dan di
sana tidak ada orang yang mengajak kepada kebaikan, maka anda harus menegakkan amar ma'ruf nahi mungkar selama
anda mengetahuinya, karena anda bisa mencegahnya, maka hukumnya wajib atas anda. Jika ada orang lain bersama
anda, maka hukumnya menjadi fardhu kifayah. Jika salah seorang dari anda telah melaksanakan, maka tercapailah
maksudnya. Tapi jika anda semua tidak melaksanakannya, maka anda semuanya berdosa.
Kesimpulannya, bahwa hukumnya adalah fardhu kifayah, jika telah ada yang melaksanakan dari antara masyarakat
atau kabilahnya dan mencapai tujuannya, maka kewajiban ini gugur dari yang lainnya (dalam masyarakat tersebut).
Demikian juga dakwah, jika semua meninggalkannya, maka semuanya berdosa. Tapi jika telah ada orang yang
mapan dalam berdakwah, memberi wejangan dan mencegah kemungkaran, maka bagi yang lainnya sunnah saja, karena
ini merupakan kerjasama dalam kebaikan dan saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan.
[Majmu' fatawa Syaikh Ibnu Baz, juz 4, hal. 24O]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syariyyah Fi Al-Masail Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi
Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, Darul Haq]

Anda mungkin juga menyukai