Anda di halaman 1dari 3

MIMPI GERAKAN HEMAT ENERGI

H. Sri Sulistyanto1

Rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mencanangkan gerakan hemat


energi bulan April ini, kemudian dilanjutkan dengan implementasinya di seluruh instansi
pemerintah Mei mendatang, patut diacungi jempol. Masalahnya, apa memang semudah
itu?
Tentu tidak bermaksud skeptis. Tapi harus diakui gerakan hemat energi bukan
sekedar menekan atau mengurangi konsumsi energi. Apalagi memaksa orang mengubah
perilakunya dalam memanfaatkan energi. Baik dengan iming-iming reward maupun
ancaman punishment.
Ya. Gerakan hemat energi memang bukan sebatas meminta orang untuk
mengurangi penggunaan lampu dan AC. Mematikan komputer dan peralatan elektronik
lain saat tidak dipakai. Maupun membatasi penggunaan kendaraan dinas. Yang malahan
bisa mengganggu pekerjaan.
Padahal, menurut Badan Standar Nasional (BSN), mestinya sebaliknya. Pengaturan
dan pengelolaan energi harus dilakukan tanpa mengorbankan kenyamanan lingkungan

1 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Soegijapranata Semarang.


1

kerja. Apalagi sampai mengganggu aktivitas dan produktivitas individu maupun instansi
bersangkutan.
Itu sebabnya manajemen energi mesti dilakukan secara terencana, komprehensif,
dan terintegrasi dengan rutinitas organisasi. Bukan berlandaskan komitmen belaka.
Karenanya gerakan hemat energi bisa mahal. Bahkan dibandingkan dengan belanja energi
eksistingnya.
Bagaimana tidak, lihat saja, pertama, gerakan hemat energi harus dimulai dengan
audit energi, yang harus dilakukan orang yang kompeten. Untuk mengidentifikasi titik-titik
yang menjadi sumber pemborosan energi. Atau yang bisa dihemat energinya (energy
conservation opportunity).
Jadi memang tidak bisa di-gebyah uyah semua ditekan penggunan energinya. Tanpa
melihat kepentingan dan intensitas konsumsi energinya. Misalnya, jatah bahan bakar
kendaraan patroli tentu tidak bisa dikurangi, tanpa memperhitungkan area yang harus
dikontrolnya.
Kedua, menyiapkan cost-benefit analysis untuk mengetahui apakah manfaat
gerakan hemat energi sepadan dengan biaya, baik out of pocket maupun opportunity costnya. Jangan sampai sudah terlanjur banyak berkorban, tapi kenyamanan menjadi
terganggu.
Sebagai contoh, ruangan yang didesain ber-AC, tentu harus disesuaikan sedemikian
rupa jika ingin tanpa penyejuk ruangan lagi. Kecuali ingin orang-orang di dalamnya hanya
sibuk kipas-kipas dan mengeluh kepanasan. Demikian juga jika penggunaan lampu
dikurangi.
Ketiga, mengimplementasikan teknologi hemat energi yang tepat. Baik dengan
menambah atau mengganti yang ada. Agar bisa memberikan hasil optimal. Misalnya

mengganti lampu dengan yang hemat energi. Atau memasang sensor otomatis untuk
mematikan listrik jika ruangan kosong.
Cuma, teknologi hemat energi memang acap lebih mahal dibandingkan dengan
yang dipakai. Hingga, jika tidak berhati-hati, penghematan acap jadi tidak sepadan dengan
biayanya. Belum lagi kalau memperhitungkan biaya operation and maintenance, yang juga
tidak murah.
Maka memang tidak bisa dipungkiri jika hemat energi tidak bisa digerakkan dengan
instruksi belaka. Butuh orang yang komitmen, kompetensi, dan dana untuk mendorong
setiap instansi pemerintah, pusat maupun daerah, menjalankan program tersebut.

Catatan Penutup
Nah, pertanyaannya, siapkah pemerintah? Karena tanpa dukungan komitmen,
kompetensi, dan dana mustahil setiap instansi mampu melaksanakan instruksi presiden
tersebut dengan baik. Kecuali memaksakan diri dengan mengorbankan kenyamanan dan
kinerjanya.
Atau semata-mata membuat agar gerakan hemat energi yang dicanangkan presiden
tidak jadi slogan. Meski akan membuat SBY makin mengeluh kurang dari 50%
instruksinya yang dijalankan. Tapi, itu semua karena memang tidak mudah Bapak
Presiden

Anda mungkin juga menyukai