Anda di halaman 1dari 16

DERMATITIS ATOPIK

1.1 Defenisi
Dermatitis atopik (D.A.) ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif,
disertai gatal. yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering
berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada
keluarga atau penderita (D.A., rinitis alergik, dan atau asma bronkial). Kelainan kulit
berupa papul gatal, yang kemudian mengalami ekskoriasi dan likenifikasi,
distribusinya di lipatan (fleksural).1
Kata 'atopi' pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah yang
dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan
dalam keluarganya. Misalnya: asma bronkial, rinitis alergik, dermatitis atopik, dan
konjungtivitis alergik.1,2
Banyak istilah lain dipakai sebagai sinonim DA ialah ekzema atopik, ekzema
konstitusional, ekzema fleksural, neurodermitis diseminata, prurigo Besnier. Tetapi, yang
paling sering digunakan alah dermatitis atopik.1,2,3

1.2Epidemiologi
Di Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Australia, dan negara industri lain,
prevalensi D.A. pada anak mencapai 10 sampai 20 persen, sedangkan pada dewasa
kira-kira 1 sampai 3 persen. Di negara agraris, misalnya Cina, Eropa Timur, Asia
tengah, prevalensi DA jauh lebih rendah. Wanita lebih banyak menderita DA daripada
pria dengan rasio 1,3:1. Berbagai faktor lingkungan berpengaruh terhadap prevalensi
DA, misalnya jumlah keluarga kecil, pendidikan ibu makin tinggi, penghasilan
meningkat, migrasi dari desa ke kota, dan meningkatnya penggunaan antibiotik,
berpotensi menaikkan jumlah penderita DA. Sedangkan rumah yang berpenghuni
banyak, meningkatnya jumlah keluarga, urutan lahir makin belakang, sering mengaiami
infeksi sewaktu kecil, akan melindungi kemungkninan timbulnya DA, pada kemudian
hari.1
DA. cenderung diturunkan. Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang
menderita atopi akan mengalami DA pada masa kehidupan 3 bulan pertama. Bila
salah satu orang tua menderita atopi, lebih separuh jumlah anak akan mengaiami

gejala alergi sampai usia 2 tahun, dan meningkat sampai 79% bila kedua orang tua
menderita atopi. Risiko mewarisi D.A tinggi bila ibu yang menderita D.A
dibandingkan dengan ayah. Tetapi, bila D.A. yang dialami berlanjut hingga masa
dewasa, maka resiko untuk mewariskan kepada anaknya sama saja yaitu kira-kira
50%.1

1.3 ETIOPATOGENESIS
Berbagai faktor ikut berinteraksi dalam patogenesis DA, misalnya faktor
genetik, lingkungan, sawar kulit, farmakologik, dan imunologik. Konsep dasar
terjadinya D.A. adalah melalui reaksi imunologik, yang diperantarai oleh sel-sel yang
berasal dari sumsum tulang.1
Patogenesa dari terjadinya dermatitis atopi belum diketahui secara pasti. Pada
sebagian besar penderita (80%) penderita dermatitis atopi ditemukan peningkatan
jumlah Ig E dalam serum, terutama bila terjadi bersamaan dengan asma bronkhiale
dan

rhinitis

alergika

karena

deffisiensi

sel

supressor.4

Pada temuan laboratorium penderita dermatitis atopi terdapat abnormalitas


dari sel T helper (TH2) yang menginduksi peningkatan produksi interleukin 4 (IL-4)
dan berujung pada peningkatan IgE. Kelebihan produksi IL-4 mengakibatkan
penurunan level interferon gamma. Sel-sel dapat bereaksi dengan antigen lingkungan
untuk memproduksi peningkatan level dari Ig E. Histamin serum dan pengeluaran sel
histamin meningkat, dimana dianggap menimbulkan pengeluaran sel mastt dari
reaksi antigen-antibodi.1,3

1.3.1. Genetik
Kromosom 5q31 -33 mengandung kumpulan famili gen sitokin IL-3, IL-4, IL13, dan GM-CSF, yang diekspresikan oleh sel TH2. Ekspres; gen IL-4 memainkan
peranan penting dalam ekspresi D.A. Perbedaan genetk aktivitas transkripsi gen IL-4
mempengaruhi predisposisi D.A. Ada hubungan yang erat antara polimorfisme
spesifik gen kimase sel mast dan DA, tetapi tidak dengan asma bronkial atau rhinitis
alergik. Varian genetik kimase sel mast, yaitu serine protease yang disekresi oleh sel
mast di kulit, mempunyai efek spesifik pada organ, dan berperan dalam timbulnya
D.A.1

1.3.2 Respons imun pada kulit

Sitokin TH2 dan TH1 berperan dalam pantogenesis peradangan kulit D.A.
Jumlah TH2 lebih banyak pada penderita atopi. sebaliknya TH1 menurun. Pada kulit
'normal' (tidak ada kelainan kulitnya) penderita D.A. bila dibandingkan dengan kulit
normal orang yang bukan penderita DA, ditemukan lebih banyak sel-sel yang
mengekspresikan mRNA IL-4 dan IL-13, tetapi bukan IL-5, IL-12, atau IFN-y. Pada
lesi akut dan kronis bila dibandingkan dengan kulit normal atau kulit yang tidak ada
lesinya penderita DA, menunjukkan jumlah yang lebih besar sel-sel yang mengekspresikan mRNA IL-4, IL-5, dan IL-13. Tetapi pada lesi akut tidak banyak mengandung sel yang mengeksprersikan mRA IFN-y atau IL-12. Lesi kronis D.A.
mengandung sangat sedikit sel yang mengekspresikan mRNA IL-4 dan IL-13, tetapi
jumlah sel yang mengekpresikan mRNA IL-5, GM-CSF.IL-12, dan IFN-y meningkat
bila dibandingkan dengan yang akut. Peningkatan IL-12 pada lesi kronis D.A.
berperan dalam perkembanganTHI.1
Sel T yang teraktifasi di kulit juga akan menginduksi apoptosis keratinosit,
sehingga terjadi spongiosis. Proses ini diperantaral oteh IFN-Y yang dilepaskan sel T
teraktivasi dan meningkatkan Fas dalam keratinosit.1
Berbagai kemokin ditemukan pada lesi kulit D.A. yang dapat menarik sel-sel,
mlsalnya eosinofil, llmfosit T, dan monosit, masuk ke dalam kulit.1
Pada D.A. kronis, ekspresi IL-5 akan mempertahankan eosinofil hidup lebih
lama dan menggiatkan fungsinya, sedangkan peningkatan ekspresi GM-SCF
mempertahankan hidup dan fungsi monosit, sel Langerhans, dan eosinofil. Produksi
TNF-a dan IFN-y pada DA memicu kronisitas dan keparahan dermatitis. Stimulasi
TNF-a dan IFN-y pada keratinosit.epidermal akan meningkatkan jumlah RANTES
(regulated on activation, normal T cell expressed and secreted). Garukan kronis dapat
menginduksi terlepasnya TNF-a dan sitokin proinflamasi yang lain dari epidermis,
sehingga mempercepat timbulnya peradangan di kulit D.A.1
IL-4 meningkatkan perkembangan TH2, sedangkan IL-12 yang diproduksi
oleh makrofag, sel berdendrit.atau eosinofil, menginduksi TH1. Subunit reseptor IL12RP2 diekpresi pada TH1 tidak pada TH2. Sedangkan ekspresi IL-12Rf32 dihambat
oleh IL-4, tetapi sebaliknya diinduksi oleh IL-12, IFN-a, dan IFN-y. IL-4 juga
menghambat produksi IFN-Y dan menekan deferensiasi sel TH1. Sel mast dan basofil
juga merupakan sumber sitokin tipe TH2, sehingga ekspresi IL-4 oleh sel T, sel
mast/basofil pada D.A. akan merangsang perkembangan sel TH2.1

Sel mononuklear penderita D.A. meningkatkan aktivitas enzim cyclic-adenosine


monophosphate (CAMP) - phosphodiesterase (PDE), yang akan meningkatkan
sintesis IgE oleh sel B dan produksi IL-4 oleh sel T. Produksi IgE dan IL-4 secara
in vitro dapat diturunkan oleh penghambat PDE (PDEinhibitor). Sekresi IL-10 dan
PGE2 dari monosit juga meningkat; kedua produk ini menghambat IFN-Y yang
dihasilkan oleh sel T.1
Sel Langerhans (SL) pada kulit penderita D.A. adalah abnormal, dapat secara
langsung menstimulasi sel TH tanpa adanya antigen; secara selektif dapat
mengaktivasi sel TH menjadi fenotip TH2. SL yang mengandung IgE meningkat;sel
ini mampu mempresentasikan alergen tungau debu rumah (D. pteronyssinus) kepada
sel T. SL yang mengandung IgE setelah menangkap allergen akan mengaktifkan sel
TH2 memori di kulit atopi, juga bermigrasi ke kelenjar getah bening setempat untuk
menstimulasi sel T nalve sehingga jumlah sel TH2 bertambah banyak.1
SL pada kulit normal mempunyai tiga macam reseptor untuk IgE, yaitu FceRI,
FceRII (CD23), dan IgE'blnding protein. Reseptor FceRI mempunyai afinitas kuat
untuk mengikat IgE. IgE terikat pada SL melalul reseptor spesifik FCERI pada
permukaan SL. Pada orang normal dan penderita alergi saluran napas kadar ekpres
FCERI di permukaan SLnya rendah, sedangkan lesi di ekzematosa D.A. tinggi. Ada
korelasi antara ekspresi permukaan FCERI dan kadar IgE dalarr serum. Selain pada
SL, reseptor IgE dengan afinitas tinggi (FCERI) juga ditemukan pada permukaan sel
mast dan monosit.1
Kadar seramid pada kulit penderita D.A berkurang sehingga kehilangan air
{transepidenva water loss = TEWL) melalui epidermis di permudar Hal ini
mempercepat absorbsi antigen ke dalam kulit. Sebagaimana diketahui bahwa
sensitisasi epikutan terhadap alergen menimbulkan respons TH2 yang lebih tinggi
daripada melalui sistemik atau jalan udara, maka kulit yang terganggu fungsi
sawarnya merupakan tempat yang sensitif.

1.3.3 Respons sistemik

Jumlah IFN-Y yang dihasilkan oleh sel mononuklear darah tepi penderita D.A.
menurun, sedangkan konsentrasi IgE dalam serum meningkat. IFN-y menghambat
sintesis IgE, proliferasi sel TH2 dan ekspresi reseptor IL-4 pada sel T. Sel T spesifik
untuk alergen di darah tepi meningkat dan memproduksi IL-4, IL-5, IL-13 dan sedikit
IFN-y. IL-4 dan IL-13 merupakan sitokin yang menginduksi transkripsi pada ekson
Ce sehingga terjadi pembentukan IgE. IL-4 dan IL-13 juga menginduksi ekspresi
molekul adesi permukaan pembuluh darah, misalnya VCAM-1 (vascular cell
adhesion molecular-1), infiltrasi eosinofil, dan menurunkan fungsi sel TH1.1
Sel monosit di darah tepi penderita D.A. diaktivasi, mempunyai insidens
apoptosis spontan rendah, tidak responsif terhadap induksi apoptosis JL-4. Hambatan
apoptosis ini disebabkan oleh meningkatnya produksi GM-CSF oleh monosit yang
beredar pada D.A.1
Perubahan sistemik pada DA adalah sebagai berikut:
- Sintesis IgE meningkat.
- IgE spesifik terhadap alergen ganda meningkat, termasuk terhadap makanan, alergen,
- mikroorganisme, toksin bakteri, dan aeroalergen.
- Ekspresi CD23 (reseptor IgE berafinltas rendah) pada sel B dan monosit
meningkat,
- Pelepasan histamin dari basofil meningkat.
- Respons hipersensitivitas lambat terganggu.
- Eosinofilia.
- Sekresi IL-4, IL-5, dan IL-13 oleh sal TH2 meningkat.
- S-ekresi IFN-y oleh sel TH1 menurun.
- Kadar reseptor IL-2 yang dapat larut meningkat.
Kadar CAMP-phosphodiesterase monosit meningkat, disertai peningkatan IL-10 dan
PGE2 .

1.3.4 Berbagai Faktor Pemicu

Pada anak kecil, makanan dapat berperan dalam patogenesis D.A., tetapi tidak
biasa terjadi pada penderita D.A. yang lebih tua. Makanan yang paling sering ialah
tejur, susu, gandum, kedele, dan kacang tanah. Reaksi yang terjadi pada penderita
D.A. karena induksi alergen makanan dapat berupa dermatitis ekzematosa, urtikaria,
kontak urtikaria, atau kelainan mukokutan yang lain. Hasil pemeriksaan laboratorium
dari bayi dan anak-anak kecil dengan D.A. sedang atau berat, menunjukkan reaksi
positif terhadap tes kulit dadakan (immediate skin test) dengan berbagai jenis
makanan. Reaksi positif ini diikuti kenaikan mencolok histamin dalam plasma dan
aktivasi eosinofil. Sel T spesifik untuk alergen makanan juga berhasil diklon dari lesi
penderita D.A.1
Dari percobaan buta ganda dengan plasebo dan tungau debu rumah (TDR),
ditemukan penderita D.A. setelah menghirup TDR mengalami ekserbasi ditempat lesi
lama, dan timbul pula lesi baru. Demikian pula setelah aplikasi epikutan dengan
aeroalergen (TDR, bulu binatang, kapang) melalui uji tempel pada kulit penderita
atopi tanpa lesi, terjadi reaksi ekzematosa pada 30 - 50 persen penderita DA,
sedangkan pada penderita alergi saluran napas dan relawan sehat jarang yang
menunjukkan hasil positif. Hasil pemeriksaan laboratorium ditemukan pada sebagian
besar penderita D.A. IgE spesifik untuk alergen hirup. Juga pada 95% penderita D.A.
mempunyai IgE spesifik terhadap TDR, sedangkan pada penderita asma bronkial
hanya 42%. Derajat sensitisasi terhadap aeroalergen berhubungan langsung dengan
tingkat keparahan D.A.1
Penderita DA cenderung mudah terinfeksi oleh bakteri, virus, dan jamur,
karena imunitas selular menurun (aktlvitas TH1 berkurang). Pada lebih dari 90% lesi
kulit penderita D.A. ditemukan S. aereu, Sedangkan pada orang normal hanya 5%.
Jumlah kolonl S.aereus pada lesi Inflamasi kulit penderita D.A, dapat mencapal 107
per cm2, namun tidak ada tanda klinis superinfeksi. Akan tetapi bila diobati dengan
kombinasi antibiotika dan kortikosteroid topikal, hasilnya lebih baik dibandingkan
kalau hanya dengan kortikosteroid topikal saja. S.aureus melepaskan toksin yang
bertindak sebagai superantigen (misalnya: enterotoksin A, B, dan toxic shock
syndrome toxine-1) yang menstimulasi aktifasi sel T dan makrofag. Sebagian besar
penderita D.A. membuat antibodi IgE spesifik terhadap superantigen stafilokokus
yang ada di kulit. Apabila ada superantigen menembus sawar kulit yang terganggu,
akan menginduksi IgE spesifik, dan degranulasi sel mast, kejadian ini akan memicu
siklus gatal-garuk yang akan menimbulkan lesi di kulit penderita D.A. Superantigen

juga

meningkatkan

sintesis

IgE

spesifik

dan

menginduksi

resistensi

kortikosteroid,sehingga memperparah D.A.1

1.4 GAMBARAN KLINIS


Kulit penderita D.A, umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid di epidermis
berkurang, dan kehilangan air tewat epidermis meningkat. Jari tangan teraba dingin.
Penderita D.A. cenderung tipe astenik, dengan intelegensia di atas rata-rata, sering
merasa cemas, egois, frustrasi, agresif, atau merasa tertekan.1
Gejala utama D.A. ialah (pruritus), dapat hilang timbul sepanjang hari, tetapi
umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita akan menggaruk sehingga
timbul bermacam-macam kelainan di kulit berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi,
ekskoriasi, eksudasi, dan krusta.1
D.A. dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu: D.A Infantil (terjadi pada usia 2
bulan sampai 2 tahun; D.A. anak (2 sampai 10 tahun); dan D.A. pada remaja dan
dewasa.1,2,3,4,5
Bentuk Infantil (2 bulan 2 tahun)
Paling sering terjadi pada umur 2 6 bulan. Lesi mulai timbul di muka (pipi
dan dahi) dan skalp, dapat pula mengenai tempat lain yaitu badan leher, lengan dan
tungkai. Lesi yang timbul berupa eritem dan papulovesikuler miliar yang sangat gatal,
berbatas tegas. Karena garukan akan menjadi erosi, eksoriasi dan krusta. Tempat
predileksi yaitu pada kedua pipi (milk eksema), lipatan siku, lipatan lutut dan
biasanya simetris.

Bentuk Anak (3 tahun 10 tahun)

Dapat merupakan kelanjutan dari bentuk infantil atau timbul sendiri. Lesi
biasanya kering (tidak eksudatif), batas tegas, karena garukan timbul eksoriasi
memanjang, hiperkeratosis, hiperpigmentasi dan kadang hipopigmentasi. Tempat
predileksi yaitu pada tengkuk, lipatan siku dan paha, pergelangan tangan dan kaki,
jarang mengenai muka.

Bentuk Dewasa( 13 30 tahun)


Lesi kulit selalu kering, sukar berkeringat, ambang rasa gatal sangat rendah
sehingga bila penderita berkeringat merasa sangat gatal. Kelainan kulit berupa
likenifikasi, papul, eksoriasi dan krusta. Tempat predileksi dimuka (dahi, kelopak
mata dan perioral), leher, dada bagian atas, lipatan siku dan lutut, punggung tangan,
biasanya simetris. Kelainan lain yang biasanya menyertai dermatitis atopi adalah
xerosis kutis, iktiosis, hiperlinearis palmaris et plantaris, pomfoliks, pitriasis alba,
keratosis pilaris, lipatan Dennie Morgan, penipisan alis bagian luar, katarak sub
kapsularis anterior, lidah geografik, liken spinularis dan keratokonus.

1.5 IMUNOHISTOLOGI
Gambaran histopatologi D.A. tidak spesifik. Lesi akut atau awal ditandai
dengan spongiosis, eksositosis limfosit T, jumlah SL meningkat. Dermis: edema,
bersebukan sel radang terutama limfosit T, makrofag, sel mast jumlahnya masih
dalam batas normal, tetapi dalam keadaan degranulasi. Sebagian besar limfosit adalah
sel T-CD4+, dan hanya sedikit sel T-CD8+. Kebanyakan sel T di kulit mengekspresi
CLA (cutaneous lymphocyte-associated antigen), penting untuk 'homing sel T di kulit.

Sebagian besar sel T pada kulit D.A. juga mengekpresi CD45RO pada permukaannya,
menandakan bahwa sel tesebut adalah sel memori yang sebelumnya pernah bertemu
antigen. Pembuluh darah kulit pada D.A. menunjukkan peningkatan ekspresi molekui
adesi E-selektin, VCAM-1 (vascular cell adhesion molecule-1), dan ICAM-1
(intercellular adhesion molecule-1) pada sel endotel. Molekui ini penting untuk
memfasilitasi masuknya sel radang yang berasal dari sumsum tulang di dalam
sirkulasi masuk ke kulit.1
Lesi kronis D.A. menunjukkan hiperkeratosis dan akantosis. Dermis
bersebukan sel radang, terutama makrofag dan eosinofil. Eosinofil melepaskan mojor
basic ptotein dan eosinofil cationic protein ke dalam kulit dan sirkulasi.1

1.6 DIAGNOSIS
Untuk dapat menegakkan diagnosa dermatitis atopi secara praktis dapat
dilakukan hanya berdasarkan anamnesa dan gejala klinis. Namun demikian terdapat
kriteria dermatitis atopi menurut Hanifin dan Lobitz yaitu :1,3,5
Harus terdapat
1.Pruritus
2.Morfologi dan distribusi khas
3.Cenderung kronis dan kambuh
Ditambah 2 atau lebih (kriteria mayor) :
1.Riwayat atopi pada keluarga
2.Tes kulit tipe cepat reaktif
3.Dermatografisme putih (+)
4.Katarak subkapsular anterior
Ditambah 4 atau lebih (kriteria minor) :
1.Xerosis /iktiosis/hiperlinier Palmaris
2.Pitriasis alba
3.Keratosis piliaris
4.epucatan fasial
5.Tanda Dennie Morgan
6.Peningkatan Ig E
7.Keratokonus
8.Kecenderungan mendapat dermatitis non spesifik di tangan

9.Kecenderungan infeksi kulit berulang

1.7 DIAGNOSIS BANDING


Sebagai diagnosis banding D.A. ialah: dermatitis seboreik (terutama pada bayi),
dermatitis kontak, dermatitis numularis, skabies, iktiosis. psoriasis (terutama di
daerah palmoplantar), dermatitis herpetiformis, sindrom Sezary, dan penyakit
Letterer-Siwe. Pada bayi juga sindrom imunodefisiensi, misalnya sindrom WiskottAldrich, dan sindrom hiper IgE.1,3

1.8 PENATALAKSANAAN UMUM


Menyingkirkan faktor yang memperberat dan memicu siklus 'gatal-garuk',
misalnya sabun dan deterjen; kontak dengan bahan kimia, pakaian kasar pajanan
terhadap panas atau dingin yang ekstrim. Bila memakai sabun hendaknya yang
berdaya larut minimal terhadap lemak dan mempunyai pH netral. Pakaian baru
sebaiknya dicuci terlebih dahulu sebelum dipakai untuk membersihkan formaldehid
atau bahan kima tambahan. Mencuci pakaian dengan deterjen harus dibilas dengan
baik, sebab sisa deterjen dapat bersifat iritan. Kalau selesai berenang harus segera
mandi untuk membilas klorin yang biasanya digunakan pada kolam renang. Stres
psikik juga dapat menyebabkan eksaserbasi DA.1
Seringkali serangan dermatitis pada bayi dan anak dipicu oleh iritasi dari luar,
misalnya terlalu sering dimandikan; menggosok terlalu kuat; pakaian terlalu tebal,
ketat atau kotor; kebersihan kurang terutama di daerah popok; infeksi lokal; iritasi
oleh kencing atau feses; bahkan juga medicated baby oil. Pada bayi penting
diperhatikan kebersihan daerah bokong dan genitalia; popok segera diganti, bila basah
atau kotor. Upaya pertama adalah melindungi daerah yang terkena terhadap garukan
agar tidak memperparah penyakitnya. Usahakan tidak memakai pakaian yang bersifat
iritan (misainya wol, atau sintetik), bahan katun iebih baik. Kulit anak/bayi dijaga
tetap tertutup pakaian untuk menghindari pajanan iritan atau trauma garukan. Mandi
dengan pembersih yang mengandung pelembab; hindari pembersih antibakterial
karena berisiko menginduksi resistensi.1

1.9 PENGOBATAN TOPIKAL

Pengobatan topikal diberikan bila terdapat eksudatif berat atau stadium akut.
Pada bayi dapat diberikan kompres terbuka dengan menggunakan larutan asam salisil
1/1000 atau kalium permanganas 1/10.000. setelah kelainan kering dilanjutkan
dengan hidrokortison krim 1-2%. Pada anak dan dewasa tidak menggunakan kompres
karena kelinan kulit kering melainkan menggunakan salep karena daya penetrasi salep
lebih baik. Salep kortikosteroid dapat dipilih, dan untuk meningkatkan daya penetrasi
dapat ditambahkan dengan asam salisilat 3-5% pada kortikosteroid topikal. Obat lain
yang dapat digunakan adalah likuor karbonas detergen 2-5% atau ter, berkhasiat
vasokontriksi, desinfeksi, antipruritus dan memperbaiki keratinisasi abnomal dengan
cara mengurangi proliferasi epidermal dan infiltrasi dermal. Efek samping
penggunaan ter yang lama adalah folikulitis dan fotosensitisasi. Ter dapat dikombinasi
dengan kortikosteroid topikal. Obat lain juga bisa dengan urea 10% membuat kulit
lemas, hidrofilik, antibakterial dan dapat dikombinasi dengan kortikosteroid topikal.1
Korikosteroid Topikal berefek sebagai anti inflamasi, anti pruritus, anti
mitotik, anti alergi dan vasokontriksi. Ada 7 golongan berdasarkan daya anti inflamasi
dan anti mitotiknya, dimana golongan I sangat kuat dan golongan VII paling lemah.
Pemilihannya berdasarkan kesesuaian, aman, efek samping minimal, murah dan
disesuaikan faktor jenis penyakit kulit, luas lesi, dalamnya lesi, stadium lesi,
lokalisasi serta umur penderita. Sedangkan aplikasinya sebaiknya 2-3 kali/hari sampai
gejala sembuh dan hati-hati dengan gejala takifilaksis yaitu menurunnya respon kulit
terhadap glukokortikoid karena pemberian obat berulang-ulang berupa toleransi akut
yang berarti efek vasokontriksinya akan menghilang setelah diistirahatkan beberapa
hari efek vasokontriksinya akan timbul kembali dan akan menghilang bila obat tetap
dilanjutkan. Adapun lama penggunaan sebaiknya tidak boleh lebih dari 4-6 minggu
untuk yang lemah sedangkan untuk yang kuat tidak boleh lebih dari 2 minggu. Efek
samping terjadi bila digunakan lama dan berlebihan, serta menggunakan
kortikosteroid secara oklusif. Makin tinggi potensialnya makin cepat efek
sampingnya.

Gejala

dari

Strieatrofise,

Telangiektasis

efek

samping

Purpura,

yang

Dermatosis

terjadi
akneformis,

adalah

Atropi,

Hiperkeratosis

setempat, Hipopigmentasi, Dermatitis perioral, Menghambat penyembuhan ulkus


infeksi mudah terjadi dan meluas, Gambaran klinis penyakit infeksi menjadi kabur.1,5
Untuk mencegah efek samping tersebut dapat dimulai dengan dosis yang
dianjurkan tidak lebih dari 30 gram sehari tanpa oklusi, jika menggunakan cara oklusi
jangan lebih dari 12 jam. Pada bayi, mempunyai kulit tipis maka gunakan

kortikosteroid topilkal golongan lemah, begitu pula pada kasus akut. Pada sub akut
dipakai yang potensi sedang dan pada yang kronis dan tebal dipakai kortikosteroid
golongan kuat, dan bila telah membaik diturunkan frekuensinya menjadi 1 kali sehari
atau diganti potensi sedang/lemah. Pada wajah dan lipatan gunakan golongan
sedang/lemah, serta jangan digunakan pada infeksi bakterial, mikotik, virus dan
skabies. Hati-hati sekitar mata untuk mencegah katarak dan glaukoma. 1,7

1.10 Immodulator Topikal


Takrolimus (ointment). Takrolimus (FK-506), suatu peng-hambat calceuneurin,
dapat diberikan dalam bentuk salap 0,03% untuk anak usia 2-15 tahun; untuk dewasa
0.03% dan 0.1%. Takrolimus menghambat aktivasi sel yang terlibat dalam D.A. yaitu:
sel Langerhans, sel T, sel mast, dan keratinosit. Pada pengobatan jangka panjang
dengan salep takrolimus, koloni S. aureus me-nurun. Tidak ditemukan efek samping
kecuali rasa seperti terbakar setempat. Tidak menyebabkan atrofi kulit seperti pada
pemakaian kortikosteroid; dapat digunakan di muka dan kelopak mata.1,7
Pimekrolimus (Cream). Dikenal juga dengan ASM 81, suatu senyawa askomisin
yaitu imunomodulator golongan makrolaktam, yang pertama ditemukan dari hasil
fermentasi Streptomyces hygroscopicus var. ascomyceticus, Cara kerja sangat mirip
siklosporin dan takrolimus yang dihasilkan. dari Streptomyces tsuku-baensis,
walaupun ketiganya berbeda dalam strukrur kimianya, yaitu bekerja sebagai prodrug ,yang baru menjadi aktif bila terikat pada reseptor sitosolik imunofilin. Reseptor
imunofilin untuk askomisin ialah makrofilin-12. Ikatan askomisin pada makrofilin-12
dalam sitoplasma sel T, akan menghambat calcineurin (suatu molekul yang
dibutuhkan untuk inisiasi transkripsi gen sitokin), sehingga produksi sitokin TH1
( IFN-y dan IL-2) dan TH2 ( IL-4 dan IL-10) dihambat. Askomisin juga menghambat
aktivasi sel mast. Askomisin menghasilkan efek imunomodulator lebih selektif dalam
menghambat fase elisitasi dermatitis kontak alergik, tetapi respons imun primer tidak
terganggu bila diberikan secara sistemik, tidak seperti takrolimus dan siklosporin.1,7
Derivat askomisin yang digunakan ialah krim SD2 ASM 981 konsentrasi 1%,
mempunyai efektifitas sama dengan krim klobetasol-17-propionat 0.05% (steroid
superpoten), tidak menyebabkan atrofi kulit (setidaknya selama 4 minggu), aman
pada anak dan dapat dipakai pada kulit sensitif misalnya pada muka dan lipatan. Cara
pemakaian dioleskan 2 kali sehari.

Pimekrolimus dan takrolimus tidak dianjurkan pada anak usia kurang dari 2
tahun. Penderita yang diobati dengan pimekrolimus dan takrolimus dinasehati untuk
memakai pelindung matahari karena ada dugaan bahwa kedua obat tersebut
berpotensi menimbulkan kanker kulit.
Preparat ter. Preparat ter mempunyai efek antipruritus dan anti-inflamasi pada kulit.
Dipakai pada lesi kronis, jangan pada lesi akut. Sediaan dalam bentuk salap hidrofilik,
misalnya yang mengandung likuor karbonis detergen 5% sampai 10 %, atau crude coal
tar 1% sampai 5%.1
Antihistamin. Pengobatan DA dengan antihistamin topikal tidak dianjurkan karena
berpotensi kuat menimbulkan sensitisasi pada kulit. Dilaporkan bahwa aplikasi
topikal krim doksepin 5% dalam jangka pendek (satu minggu), dapat mengurangi
gatal tanpa terjadi sensitisasi. Tetapi perlu diperhatikan, bila dipakai pada area yang
luas akan menimbulkan efek samping sedatif.1

1.11 PENGOBATAN SISTEMIK


Pengobatan sistemik bertujuan untuk mengurangi rasa gatal dan mencegah
gelisah yaitu dengan memberikan antihistamin seperti Chlorpheniramine maleat,
prometazin, hydroxyzin. Jika sangat gatal dapat diberikan klorpromazin. Bila
mengalami

infeksi sekunder dapat diberikan antibiotik eritromisin. Untuk

kortikosteroid sistemik tidak di anjurkan kecuali bila kelainan luas atau hanya pada
kasus eksaserbasi akut dapat diberikan kortikosteroid jangka waktu pendek (7-10 hari)
mengingat efek samping osteoporosis dan katarak.1,4,6
Antihistamin. AH1 berefek menghambat efek histamin pada pembuluh darah,
bronkus dan bermacam otot polos, selain itu bermanfaat untuk mengobati reaksi
hipersensitivitas atau kelainan lain yang disertai pelepasan endogen berlebihan.
Efektivitas histamin melawan reaksi hipersensitivitas tergantung pada beratnya gejala
akibat histamin. Efek perangsangan histamin terhadap sekresi cairan lambung tidak
dapat dihambat oleh AH1, namun AH1 dapat menghambat sekresi saliva dan sekresi
kelenjar eksokrin lain akibat histamin. Terhadap susunan saraf pusat (SSP) AH1
mampu menghambat maupun merangsang. Efek perangsangan biasanya terjadi pada
keracunan AH1, efek perangsangan tersebut dapat berupa eksitasi dan gelisah.
Sedangkan efek penghambatan berupa rasa kantuk, namun kepekaan masing-masing
pasien berbeda-beda. AH1 terbaru yang tidak menembus sawar darah otak adalah

terfenadin, loratadin dan astemizol (golongan AH1 non sedatif). AH1 juga efektif
untuk mengatasi mual dan muntah akibat peradangan labirin atau sebab lain.1,6

1.12 TERAPI SINAR (phototherapy)


Untuk D.A. yang berat dan luas dapat digunakan PUVA (photochemotherapy)
seperti yang dipakai pada psoriasis. Terapi UVB, atau Goeckerman dengan UVB dan
ter juga efektif. Kombinasi UVB dan UVA lebih baik dari pada hanya UVB. UVA
bekerja pada sel Langerhans dan eosinofil, sedangkan UVB mempunyai efek
imunosupresif dengan cara memblokade fungsi sel Langerhans, dan mengubah
produksi sitokin keratinosit.1

1.13

PROGNOSIS
Prognosis lebih buruk bila kedua orang tuanya menderita DA. Ada

kecenderungan perbaikan spontan pada masa anak, dan sering ada yang kambuh pada
masa remaja. Sebagian kasus menetap pada usia di atas 30 tahun. Penyembuhan
spontan D.A. yang diderita sejak bayi pernah dilaporkan terjadi setelah umur 5 tahun
sebesar 40-60%, terutama kalau penyakitnya ringan. Sebelumnya juga ada yang
melaporkan bahwa 84% D.A. anak berlangsung sampai masa remaja. Ada pula
laporan, D.A. pada anak yang diikuti sejak bayi hingga remaja, 20% menghilang, dan
65 % berkurang gejalanya. Lebih dari separo D.A. remaja yang telah diobati kambuh
kembali setelah dewasa. Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik
D.A. yaitu : DA luas pada anak, menderita rinitis alergik dan asma bronchial, riwayat,
D.A. pada orang tua atau saudara kandung, awitan (onset) D.A. pada usia muda, anak
tunggal, kadar IgE serum sangat tinggi.1
Diperkirakan 30 hingga 50 persen D.A. infantil akan berkembang menjadi
asma bronkial atau hay fever. Penderita atopi mempunyai risiko menderita dermatitis
kontak iritan akibat kerja di tangan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda,dkk.2006.Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi ke IV. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

2. Hassan, Rusepno. Dermatitis Atopi dalam Buku Kuliah 1 Ilmu Kesehatan


Anak FKUI. Infomedika. Jakarta, 1998.
3. Lorraine M Wilson, Sylvia. Ekzema dan gangguan Vaskuler dalam
Patofisiologi Penyakit. EGC. Jakarta, 2006.
4. Mansjoer Arif. Dermatitis Atopi dalam Kapita Selekta Jilid 2 edisi III. Media
Aesculaplus. FKUI, Jakarta, 2001.
5. Siregar, RS. Pioderma dalam Saripati Penyakit Kulit Edisi II. EGC, Jakarta.
2005.
6. Ganiswara, Sulistia. Antihistamin dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi. IV.
FKUI, Jakarta, 2001.
7. Simpson EL, Hanifin JM. Atopic dermatitis. Periodic synopsis. J Am Acad
Dermatol. 2005 Jul;53(1):115-28 (www.visualdxhealth.com)

DAFTAR ISI
BAB I
Pendahuluan....................................................................................................................i
Kata Pengantar...............................................................................................................ii

BAB II
1.1 Defenisi....................................................................................................................1
1.2 Epidemiologi............................................................................................................1
1.3 Etiopatogenesis........................................................................................................2
1.4 Gambaran Klinis......................................................................................................7
1.5 Imunohistologi.........................................................................................................8
1.6 Diagnosis..................................................................................................................9
1.7 Diagnosis Banding.................................................................................................10
1.8 Penatalaksaan Umum.............................................................................................10
1.9 Pengobatan Topikal ...............................................................................................11
1.10 ImodulatorTopikal................................................................................................12
1.11 Pengobatan Sistemik............................................................................................13
1.12 Terapi Sinar..........................................................................................................14
1.13 Prognosis..............................................................................................................14
BAB III
Daftar Pustaka..............................................................................................................15

Anda mungkin juga menyukai