Anda di halaman 1dari 17

1

Marwan
Batubara,
Resources Studies, IRESS

Indonesian

Kontrak Kerja Sama (KKS) Blok


Mahakam
ditandatangani
oleh
pemerintah dengan Total (Prancis,
50%) dan Inpex (Jepang, 50%)
pertama kali pada 31 maret 1967,
untuk jangka waktu 30 tahun, dan
telah berakhir pada 31 Maret 1997.
Pada
awal
2007,
KKS
kembali
diperpanjang selama 20 tahun, sampai
31 Maret 2017. Sesuai ayat 1 Pasal 28
PP No.35/2004, 10 tahun sebelum
kontrak berakhir, kontraktor dapat
kembali
mengajukan
permohonan
perpanjangan kontrak untuk masa
waktu 20 tahun berikutnya. Namun di
sisi lain, sesuai ayat 4 dan 8 PP Pasal
28 No. 35/2004 pemerintah dapat pula
menolak atau menyetujui permohonan
tersebut.
Pada Juni 2007, Executive Vice
President Exploration & Production
Total SA, Christophe de Margerie, telah
mengajukan
perpanjangan
kedua
kontrak Blok Mahakam kepada Menteri
ESDM, Purnomo Yusgiantoro. Saat itu
Purnomo menyatakan terlalu dini
untuk
membahas
perpanjangan
kontrak. Purnomo pun menyampaikan
pemerintah
ingin
memberi
kesempatan kepada Pertamina dan
perusahaan
daerah
memiliki
participating interest (PI) di Blok
Mahakam. Pada waktu itu pemerintah
belum memberikan jawaban spesifik,
namun
menyatakan
siap
memperpanjang kontrak sepanjang
blok tersebut dikelola bersama dengan
pihak Indonesia.
Sesuai ayat 9 Pasal 28 PP No.35/2004,
Pertamina dapat pula mengajukan

permohonan mengelola Wilayah Kerja


yang
habis
masa
kontraknya.
Sedangkan ayat 10 Pasal 28 PP
No.35/2004
menyatakan
Menteri
ESDM dapat menyetujui atau menolak
permohonan
tersebut
sepanjang
Pertamina 100% masih milik negara.
Berdasar ketentuan ini, Pertamina pun
telah menyatakan minatnya pada
2008 untuk menjadi pengelola Blok
Mahakam. Bahkan Pertamina telah
mengungkapkan keinginan tersebut
berulang kali setiap tahun, sampai
September 2012! Sesuai konstitusi
dan kepentingan strategis bangsa,
jelas
kita
mendukung
keinginan
Pertamina tersebut.
Hingga saat ini pemerintah belum
mengambil
keputusan.
Namun
kecenderungan sikap pemerintah yang
memihak Total & Inpex telah mulai
terlihat. Menteri ESDM Jero Wacik
mengatakan pada November 2012
bahwa karena membutuhkan teknologi
yang tinggi dan dana yang besar,
perpanjangan kepada kontraktor akan
diberikan. Sebaliknya, jika diberikan
kepada Pertamina, Jero mengatakan
Pertamina bisa bangkrut karena modal
yang dimiliki Pertamina terbatas, dan
akan terserap hampir seluruhnya
untuk mengelola Mahakam. Jero pun
telah mengancam Pertamina untuk
tidak
pernah
lagi
menyatakan
keinginan
untuk mengelola Blok
Mahakam!
Karena
besarnya
penolakan
masyarakat, pemerintah tak kunjung
mengeluarkan
keputusan
resmi
Mahakam. Namun sepak terjang dan
manipulasi sikapnya perlu dicermati.
Setiap keputusan yang pragmatis,

2
berburu
rente
dan
perolehan
dukungan politk dari asing, sekaligus
menunjukkan
sikap
ketundukan
kepada
perampok
asing
dan
pengabaian martabat bangsa harus
dilawan. Itulah salah satu alasan
artikel ini ditulis.
Potensi Cadangan Mahakam
Berdasarkan penjelasan BP Migas
pada Seminar di MPR pada 2010,
cadangan tersisa Blok Mahakam pada
2010 adalah sebesar 13,7 tcf (triliun
cubic feet). Dengan asumsi laju
ekstraksi gas sekitar 0,6 tcf/tahun
(sesuai data produksi Mahakam BP
Migas, 2000 MMSCFD per 9/2012),
maka pada 2012 cadangan gas yang
tersisa menjadi [13,7 tcf - (2 tahun x
0,6 tcf/tahun)] = 12,5 tcf. Oleh sebab
itu, jika tingkat ekstraksi/pengurasan
gas dipertahankan pada level 2000
MMSCFD, maka pada awal tahun
2017, cadangan yang tersisa adalah:
[12,5 tcf 4 tahun x 0,6 tcf/tahun)] =
10,1
tcf.
Dengan
demikian,
berdasarkan informasi BP Migas yang
diperoleh IRESS tersebut, cadangan
Blok Mahakam yang tersisa pada 2017
adalah 10,1 tcf.
Jika diasumsikan harga jual gas adalah
US$ 12/MMBtu, maka nilai ekonomis
Blok
Mahakam
(diluar
biaya
eksploitasi)
pada
2017
adalah
US$(10,1 x 1012 x 1000 Btu x $12/106
Btu) = US$ 121,2 miliar. Namun, jika
cadangan minyak 192 juta barel
seperti perkiraan sebuah sumber di
Pertamina juga diperhitungkan, maka
dengan asumsi harga rata-rata minyak
US$ 95/barel, potensi pendapatan dari
minyak Blok Mahakam adalah US$
(192 x 95) = US$ 18,24 miliar. Dengan

demikian, potensi total pendapatan


kotor migas Blok Mahakam pada saat
kontrak berakhir Maret 2017 adalah
US$ (121, 1 + 18,24) miliar = US$
139,34 miliar, atau lebih dari Rp 1300
triliun!
Kelicikan Asing
IRESS perlu mengingatkan sejarah
jatuhnya sejumlah SDA strategis dan
bernilai ribuan triliun Rp kepada asing
pada awal orde baru Pemerintahan
Soeharto.
Konspirasi
asing
menjatuhkan
Soekarno
dan
mendukung
Soeharto
berhasil
membuat jatuhnya tambang emas &
tembaga Erstberg di Timika kepada
Freeport McMoran saat terjadinya
krisis pergantian kekuasaan pada
1967.
Kontrak Karya ini merupakan konsesi
yang diserahkan Soeharto kepada
Freeport
sebagai
kompensasi
dukungan politik Amerika. Selain
Freeport, sejumlah perusahaan asing
dari Amerika, Eropa dan Jepang/Korea
juga
memperoleh
konsesi
tambang/migas dari Soeharto, seperti
Newmont di NTB, Exxon di Badak dan
Arun, Rio Tinto di Kalimantan, Kodeco
di West Madura, dsb.
Pada era transisi dari orla ke orba
1967 tersebut, perusahaan Prancis
(Total) dan Jepang (Inpex) pun
memperoleh konsesi dari Soeharto
untuk mengelola Blok Mahakam yang
mempunyai cadangan 27 tcf! Disini
Prancis dan Jepang telah dengan licik
memanfaatkan
masa
transisi
pemerintahan
Indonesia
untuk
menguasai Mahakam yang bernilai
lebih dari Rp 2000 triliun. Namun hal

3
ini tak lepas dari sikap Soeharto yang
pragmatis, membutuhkan dukungan
politik asing dan tidak menjaga
martabat bangsa.
Ternyata kelicikan asing kembali
terjadi pada masa transisi dari era
orba ke era reformasi pada 1997. Total
dan Inpex bersama pemerintahnya
telah dengan licik dan berhasil
memanfaatkan pergolakan politik dan
krisis
ekonomi
1997,
menjelang
kejatuhan
Soeharto,
untuk
memperoleh perpanjangan kontrak
Blok Mahakam. Dengan perpanjangan
kontrak tersebut, Total dan Inpex
memperoleh
konsesi
mengelola
Mahakam hingga 2017, sehingga akan
menggenapkan dominasi asing Prancis
dan Jepang di blok migas tersebut
menjadi setengah abad!
Saat ini upaya licik asing untuk tetap
mencengkeram
Mahakam
sedang
berlangsung.
Total
menyatakan
komitmen
rencana
investasi
pengembangan miliaran US$ untuk
eksplorasi,
menandatangani
kesepakatan
kerjasama jual beli
liquefied natural gas (LNG) dengan
Perusahaan Gas Negara (PGN), PLN
dan Pertamina. Selain itu, dalam
beberapa tahun terakhir, pemerintah
dan/atau perusahaan Prancis cukup
aktif memberikan beasiswa kepada
sejumlah mahasiswa dari berbagai
universitas
di
Indonesia
untuk
mengikuti program S1, S2 dan S3 di
Prancis.
Kita sangat khawatir kontraktor juga
memberi dukungan finansial dan/atau
politik kepada oknum pengambil
keputusan
agar
memperoleh
perpanjangan kontrak. Selain itu, kita

mengkhawatirkan adanya intervensi


kepada
sejumlah
pejabat
agar
memperlambat
pengambilan
keputusan, sambil terus melakukan
lobi tingkat tinggi dan menekan.
Intervensi dapat pula dilakukan oknum
kontraktor diiringi dengan ancaman
pembatalan
kerja
sama
atau
komitmen di sektor lain. Penyebaran
informasi
tentang
prestasi/keberhasilan kontraktor yang
telah memproduksi gas hingga 13 tcf
dapat pula menjadi senjata untuk
mempengaruhi
pengambilan
keputusan. Padahal sebenarnya justru
mereka
pun
sudah
mendapat
keuntungan yang sangat banyak.
Segala upaya yang dilakukan Total
untuk tetap menguasai Blok Mahakam
merupakan hal yang wajar secara
binis.
Namun,
merujuk
kepada
konstitusi dan maksimalisasi aset
negara
untuk
sebesar-besar
kemakmuran rakyat, maka tidak ada
alternatif lain bahwa sejak 2017 Blok
Mahakam
harus
dikuasai
negara/Pertamina. Bukan hanya oleh
Total, tetapi Pertamina pun dapat
melakukan investasi dan eksploitasi
cadangan baru. Penjualan gas untuk
domestik bukan pula prestasi khusus
milik Total, karena hal tersebut
merupakan kewajiban bagi seluruh
kontraktor migas. Kita pun harus
cerdas dan waspada untuk tidak
terpengaruh oleh berbagai program
gula-gula
beasiswa
atau
CSR,
sehingga terhindar dari kehilangan
aset Mahakam yang sangat berharga.
Disamping upaya di atas, sejumlah
pejabat Prancis pun telah melakukan
berbagai misi khusus. Perdana Menteri

4
Perancis,
Francois
Fillon,
telah
berkunjung ke Jakarta pada Juli 2011.
Disamping
untuk
kepentingan
ekonomi dan hubungan bilateral, Fillon
juga
menyinggung
tetang
perpanjangan kontrak Mahakam. Fillon
memang
menjanjikan
akan
mendukung proyek-proyek infrastrukur
dan teknologi tinggi di Indonesia,
namun Fillon diyakini jauh lebih
berkepentingan untuk mengamankan
kepentingan Total tetap menguasai
Mahakam. Selain Fillon, beberapa
menteri Prancis dan President Director
Total, Elizabeth Proust, juga telah
berulang
kali
menemui
pejabat
pemerintah, dari Wamen hingga
Presiden, untuk mencapai tujuannya.
Hal yang sama dilakukan oleh Jepang
melalui PM dan menteri-menterinya.
Semua
hal
tersebut
merupakan
langkah-langkah
yang
lumrah
dilakukan asing yang sudah biasa
menjajah. Yang jadi masalah adalah,
apakah pejabat negara Indonesia bisa
tetap konsisten dengan kepentingan
bangsa
atau
berubah
menjadi
pragmatis atau komprador.
Sikap Pemerintah
Soeharto telah mengorbankan SDA
Indonesia demi dukungan politik asing
dan perolehan rente. Sejumlah oknum
pejabat,
para
komprador,
juga
melakukan hal sama pada masa
transisi 1997/1998. Ternyata SBY pun
melakukan hal yang sama pada saat
menyerahkan Blok Cepu kepada Exxon
pada Maret 2006. Sebelum keputusan
itu,
berulangkali
Presiden
Bush
meminta
Indonesia
untuk
menyerahkan Cepu kepada Exxon,
meskipun hak Exxon di Cepu diperoleh

melalui
transaksi
illegal
dengan
Tommy Soeharto pada tahun 1998,
dan
hal
ini
telah
dinyatakan
melanggar hukum oleh Tim Audit yang
dibentuk
pemerintah.
Apakah
komprador akan kembali berkhianat
untuk kasus perpanjangan Mahakam?
Tak sulit ditebak...
Selama ini kita menyatat pemerintah
sering meminta BUMN untuk memiliki
atau meningkatkan pemilikan saham
pada perusahaan-perusahaan PMA,
baik di sektor migas maupun di sektor
minerba. Namun dalam prakteknya
sikap tersebut tidak diiringi dan
didukung dengan berbagai kebijakan
dan langkah yang dibutuhkan. Di
belakang layar manajemen BUMN
sering dibiarkan berjuang sendiri atau
bahkan diperingatkan untuk bertindak
berlawanan seperti ancaman Jero
Wacik kepada Pertamina yang ingin
mengelola Mahakam. Sandiwara
seperti ini terjadi karena dominannya
kepentingan oknum-oknum penguasa
untuk
mendapatkan
rente
dan
dukungan politik asing serta maraknya
praktik KKN.
Wamen
ESDM
almarhum
Prof.
Widjajono
Partowidagno
telah
menyatakan (Februari 2012) tidak
akan
memperpanjang
kontrak
Mahakam kepada Total dan akan
menyerahkannya kepada Pertamina.
Namun
penerusnya,
Prof.
Rudi
Rubiandini, mengakatakan (September
2012)
bahwa
untuk
mengelola
Mahakam perlu kemampuan teknologi
tinggi dan dana yang besar, dan
Pertamina tidak akan sanggup. Untuk
itu Rudi meminta agar mengelola blokblok lain saja yang belum digarap

5
Pertamina. Rudi juga mengatakan
bahwa tidak perlu bagi Pertamina
untuk mengelola Mahakam karena
pada saat kontrak berakhir di 2017,
gas yang tersisa tidak sampai 2 tcf.
Menteri ESDM Jero Wacik bahkan
tampaknya
telah
membuat
kesepakatan dengan Total untuk tetap
mengelola Mahakam sesudah 2017,
saat berkunjung ke Prancis pada Juli
2012. Faktanya, Jero menyatakan pada
Septemebr 2012 bahwa Pertamina
tidak
mau
dan
tidak
mampu
mengelola Blok Mahakam. Terakhir,
pada 19 Januari 2013, Wamen ESDM
yang
baru,
Susilo
Siswoutomo,
meragukan kemampuan Pertamina
karena resiko dan
dana
untuk
mengelola Mahakam sangat besar,
serta hal ini akan mengancam
tercapainya lifting migas.
Perlu diingatkan bahwa jika kontrak
Mahakam berakhir pada Maret 2017,
maka tidak ada kewajiban bagi negara
untuk
memperpanjang
kontrak.
Seluruh aset yang digunakan selama
eksploitasi menjadi milik negara,
karena
telah
dibayar
melalui
mekanisme cost recovery. Oleh sebab
itu, jika Pertamina menyatakan mau
dan mampu mengelola, mestinya
tidak ada masalah dengan kontraktor,
jika pemerintah menjalankan fungsi
sebagai negara berdaulat. Karena itu
pula, tidak dibutuhkan kajian dan juga
waktu yang lama bagi pemerintah
untuk
mengambil
keputusan.
Sehingga pernyataan Prof Rudi yang
mengatakan
perlu
waktu
untuk
memutus kasus Mahakam adalah
bentuk kebohongan publik yang nyata.

Rudi mengatakan pada 2017 gas


tersisa di Mahakam kurang dari 2 tcf,
sehingga
tidak
prioritas
untuk
diputuskan. Jika hal ini benar, tidak
mungkin PM dan sejumlah menteri
Prancis serta Dirut Total demikian
antusias
meminta
perpanjangan
kontrak. Namun, walaupun tinggal 1
tcf, apa masalahnya jika hal itu
dikelola
Pertamina
yang
telah
berulang menyatakan kesanggupan?
Bagi kami, pernyataan-pernyataan
Jero, Rudi dan terakhir Susilo di atas,
hanya menunjukkan bahwa mereka
adalah
orang-orang
yang
lebih
memihak kepentingan asing dibanding
kepentingan nasional. Tidak salah jika
ada
yang
menganggap
mereka
sebagai komprador, yang tidak segansegan bekerja untuk asing, terus
mengulur waktu dan melakukan
kebohongan publik, untuk nantinya
kembali memberikan posisi operator
Blok Mahakam kepada Total.
Kita pun sangat prihatin dengan sikap
Presiden SBY yang tetap diam sambil
membiarkan
para
pejabat
Kementerian ESDM yang berada di
bawah kendalinya untuk menyuarakan
kepentingan asing dibanding membela
BUMN milik negara sendiri. Padahal
penolakan
masyarakat
sudah
berlangsung lama, termasuk telah
disampaikannya Petisi Blok Mahakam
kepada Presiden pada November 2012
yang lalu. Dalam hal ini, banyak pula
kalangan yang menilai bahwa SBY pun
bersikap
seperti
komprador,
sebagimana sikapnya yang telah
tunduk
kepada
Amerika
untuk
menyerahkan Blok Cepu kepada
ExxonMobil pada Maret 2006.

6
Penutup
Ke depan, faktor-faktor politik dan
perburuan rente tampaknya semakin
rawan dan mengkhawatirkan karena
kepentingan
pemenangan
Pemilu
2014, seperti halnya terjadi pada
masa transisi 1967 dan 1997. Di sisi
lain, para kontraktor asing pun sangat
berkepentingan
memperoleh
perpanjangan
kontrak
dan
memanfaatkan
setiap
peluang,
termasuk dengan melakukan bribery.
Konspirasi sangat potensial untuk
kembali terulang, dan rakyat kembali
dikhianati. Hal ini harus dihindari! Oleh
sebab itu kita mengingatkan, agar
para
penguasa,
terutama
SBY,
Menteri-menteri
dan
jajaran
pejabatnya untuk menjaga martabat
bangsa dan tidak lagi menggadaikan
SDA negara, termasuk Blok Mahakam,
kepada kontraktor asing. Kita pun
mengingatkan
DPR
agar
tidak
membiarkan komprador pengkhianat
negara
memihak
asing
demi
kekuasaan dan rente. Blok Mahakam
hanya untuk dikelola Pertamina demi
sebesar-besar kemakmuran rakyat
-----------------------------------------------------------

Menanggapi beberapa berita yang


terus dihembuskan oleh beberapa
pengamat
terkait
dengan
perpanjangan Blok Mahakam maka
dirasakan perlu meluruskan data dan
fakta
yang
ada,
demikian
disampaikan oleh Gde Pradnyana,
Sekretaris Satuan Kerja Khusus Migas
(SKKMIGAS). Sebagaimana diketahui,
kontrak bagi hasil blok Mahakam

ditandatangani tahun 1967, kemudian


diperpanjang pada tahun 1997 untuk
jangka waktu 20 tahun sampai tahun
2017.
Kegiatan
eksplorasi
yang
dilakukan
pada
tahun
1967
menemukan cadangan minyak dan
gas bumi di Blok Mahakam tahun 1972
dalam jumlah yang cukup besar.
Cadangan
(gabungan
cadangan
terbukti dan cadangan potensial atau
dikenal dengan istilah 2P) awal yang
ditemukan saat itu sebesar 1,68 miliar
barel minyak dan gas bumi sebesar
21,2 triliun kaki kubik (TCF). Dari
penemuan itu maka blok tersebut
mulai diproduksikan dari lapangan
Bekapai pada tahun 1974
Produksi dan pengurasan secara
besar-besaran cadangan tersebut di
masa lalu membuat Indonesia menjadi
eksportir LNG terbesar di dunia pada
tahun
1980-2000.
Kini,
setelah
pengurasan selama 40 tahun, maka
sisa cadangan 2P minyak saat ini
sebesar 185 juta barel dan cadangan
2P gas sebesar 5,7 TCF. Pada akhir
maka kontrak tahun 2017 diperkirakan
masih menyisakan cadangan 2P
minyak sebesar 131 juta barel dan
cadangan 2P gas sebanyak 3,8 TCF
pada tahun 2017. Dari jumlah tersebut
diperkirakan sisa cadangan terbukti
(P1) gas kurang dari 2 TCF. Jadi
informasi yang disampaikan seolaholah
sisa
cadangan
gas
pada
tahun2017 sebesar 10,1 TCF dan sisa
cadangan minyak sebesar 192 juta
barel jelas tidak mempunyai dasar,
jelas Gde Pradnyana.
Sebagaimana diketahui, Kontraktor
Kontrak Kerja Sama yang bekerja
disana saat ini di Blok Mahakam, yaitu

7
TOTAL yang berpartner dengan INPEX
50%-50%, telah menginvestasikan
setidaknya US$ 27 miliar atau sekitar
Rp 250 triliun sejak masa eksplorasi
dan
pengembangannya
telah
memberikan
penerimaan
Negara
sebesar US$ 83 miliar atau sekitar
Rp.750 triliun.
Masalah perpanjangan blok Mahakam
sangat erat kaitannya dengan upaya
untuk menjamin dan memaksimalkan
penerimaan
Negara.
Seandainya
pemerintah
bermaksud
memperpanjang
kontrak
blok
Mahakam, maka pemerintah pasti
akan meminta kenaikan bagi hasil
yang lebih banyak lagi dari kontrak
sebelumnya. Sisa cadangan yang ada
plus fasilitas produksi yang sudah
sepenuh diberikan cost recovery harus
dianggap sebagai equity pemerintah
sehingga split bagi hasil yang semula
70:30 untuk gas dan 85:15 untuk
minyak
harus
dinaikkan
secara
signifikan
untuk
mengkompensasi
equity pemerintah tersebut, imbuh
Gde. Sebagaimana diketahui, saat ini
Pemerintah
masih
menimbangnimbang siapa yang akan ditunjuk
sebagai operator blok tersebut, baik
opsi memperpanjang kontrak dengan
perubahan
split
dan
perubahan
komposisi
participating
interest,
maupun
opsi
menyerahkan
operatorship ke perusahaan Nasional,
yaitu Pertamina. Gde menegaskan
bahwa: Menteri Jero Wacik adalah
orang yang sangat nasionalis, beliau
pasti memperhitungkan agar opsi
yang
dipilih
dapat
memberikan
manfaat
yang
terbesar
bagi
kepentingan bangsa dan Negara.

-------------------------------------------------------

Kontrak Kerja Sama (KKS) Blok


Mahakam antara pemerintah dengan
Total E&P Indonesie (Total SA, Prancis
50% dan Inpex Corporation Jepang,
50%) akan berakhir pada tanggal 31
Maret
2017.
Karena
potensi
kandungan gas yang sangat besar
(sekitar 13 trillion cubic feet, TCF),
Total
E&P
telah
mengajukan
perpanjangan
kontrak
kepada
pemerintah pada tahun 2007 dan
kembali diajukan pada tahun 2009.
Pemerintah
memang
belum
memberikan
jawaban
atau
persetujuan perpanjangan, namun
bukan berarti permintaan tersebut
ditolak. Di sisi lain, jika kontrak tidak
diperpanjang, maka blok tersebut
dapat dikelola Pertamina. Prospek
pengelolaan blok Mahakam ke depan
akan dibahas dalam tulisan ini.
Dengan kandungan sekitar 13 TCF dan
tingkat produksi rata-rata 26 miliar
kaki kubik per hari (mmscfd), operasi
blok
Mahakam
masih
dapat
berlangsung sekitar 20 tahun ke
depan. Hal ini lebih lama sekitar 13
tahun dibanding masa kontrak yang
akan berakhir pada tahun 2017.
Jika harga rata-rata minyak selama
periode
produksi
diasumsikan
(moderat) sebesar US$ 80/barel dan 1
barel oil equivalent, boe = 5,487 cubic
feet (CF), maka potensi keseluruhan
blok adalah sekitar US$ 190 miliar
atau Rp 1800 triliun. Besarnya potensi

8
pendapatan
inilah
yang
melatarbelakangi mengapa Total E&P
begitu bernafsu untuk memperoleh ijin
perpanjangan. Untuk mempengaruhi
sikap pemerintah, Total E&P telah
mengambil berbagai langkah seperti
menambah
investasi,
membuat
komitmen kouta produksi dan kontrak
gas untuk konsumsi domestik, dsb.
Dalam merespon permohonan Total
E&P, pada tahun 2009 Menteri ESDM
Purnomo Yusgiantoro menyatakan siap
memperpanjang
kontrak
dengan
syarat pola bagi hasil ditingkatkan
(untuk keuntungan pemerintah) dan
blok tersebut harus dikelola bersama
dengan wakil pemerintah.
Seperti diketahui, pola bagi hasil yang
berlaku pada KKS adalah 70%
(pemerintah)
berbanding
30%
(kontraktor). Sedangkan keinginan
pemerintah memiliki saham akan
diwujudkan
melalui
pembelian
sebagian saham Total E&P oleh
Pertamina. Sejauh ini belum ada
tanda-tanda kedua hal pokok tersebut
akan segera disepakati.
Seriuskah Pemerintah?
Kita berharap pemerintah bersikap
konsisten dan tegas dengan sikap
yang telah dinyatakan oleh Purnomo
di
atas.
Malah
dengan
telah
bergantinya pimpinan D-ESDM, sikap
tersebut diharapkan diperbaiki dan
bisa lebih baik dari sebelumnya.
Namun
perlu
disadari
bahwa
mengingat strategis dan pentingnya
masalah blok Mahakam ini, keputusan
yang diambil jelas akan melibatkan
Presiden.

Oleh sebab itu, meskipun menteri


ESDM telah berganti, Presiden-lah
yang akan menentukan. Kita berharap
untuk blok Mahakam ini keputusan
pemerintah
atau
Presiden,
bisa
independen dan berbeda dengan yang
terjadi pada blok Cepu, tambang
Newmont Nusa Tenggara, blok Semai
V, dsb., yang tidak memihak kepada
kepentingan rakyat.
Selama ini kita menyatat bahwa di
hadapan publik pemerintah sering
meminta direksi berbagai BUMN untuk
memiliki atau meningkatkan pemilikan
saham pada perusahaan-perusahaan
PMA, baik di sektor migas maupun di
sektor minerba. Dengan sikap ini ingin
digambarkan
bahwa
pemerintah
konsisten dengan konstitusi pasal 33
dan mendukung penguasaan sumber
daya alam oleh BUMN.
Namun
dalam
prakteknya
sikap
tersebut tidak diiringi dan didukung
dengan
berbagai
kebijakan
dan
langkah
implementatif
yang
dibutuhkan.
Di
belakang
layar
manajemen BUMN justru dibiarkan
berjuang
sendiri
atau
bahkan
diperingatkan untuk bersikap pasif
tanpa aksi, atau kalau tidak, sewaktuwaktu harus siap dilengserkan.
Sandiwara seperti ini dapat terjadi
karena
dominannya
kepentingan
oknum-oknum penguasa dan masih
maraknya praktik KKN. Para direksi
BUMN berperan tak lebih dari sekedar
pion-pion yang tidak akan berani
menentang
keputusan
oknum
penguasa,
meskipun
keputusan
tersebut merugikan negara.

9
Kami menyatat cukup banyak direksi
BUMN yang berkemampuan dan
profesional
yang
tidak
berani
berinisiatif atau berbuat yang terbaik
bagi perusahaan karena takut kepada
atasan atau telah diintervensi oknumoknum
eksekutif.
Sandiwara
ini
biasanya juga diikuti dengan proses
pengambilan keputusan yang tertutup
dan bertentangan dengan prinsipprinsip good corporate governance
(GCG).
Kali ini, untuk blok Mahakam, kita
harapkan sandiwara tersebut tidak
terjadi. Jika pemerintah menyatakan
ingin merubah pola bagi hasil dan
memiliki saham Total E&P, maka
keinginan tersebut sangat kita hargai
dan
harus
didukung.
Namun
pernyataan tersebut harus diwujudkan
dengan
berbagai
kebijakan
dan
program pendukung yang nyata dan
konkrit.
Pemerintah harus memulai dengan
menyusun rencana, membentuk tim
negosiasi lintas departemen dan
menjalankan proses tersebut secara
transparan dan mengikuti prinsip GCG.
Di lain pihak, kita berharap DPR pun
ikut mendukung dan mengawasi
jalannya negosiasi tanpa terpengaruh
godaan berbagai pihak, termasuk
pihak kontraktor.
Peran Pemerintah terhadap Pertamina

Kita
menyambut
baik
komitmen
Pertamina
yang
telah
siap
mengakuisisi sebagian (sekitar 15%25%) saham Total E&P sejak sekarang.
Namun selain itu, kita ingin agar

Pertamina juga siap dan harus menjadi


operator
(pemegang
saham
mayoritas) blok Mahakam sejak tahun
2017. Hal ini bukan mengada-ada atau
tanpa alasan, karena posisi sebagai
operator ini memang sesuai dengan
amanat konstitusi dan kepentingan
kita sebagai bangsa.
Pertamina harus berubah menjadi
tuan di negara sendiri dan menjelma
menjadi penghasil lebih dari 50%
produksi migas nasional, dibanding
hanya sekitar 13% pada saat ini.
Untuk
itulah
peran
pemerintah
menjadi sangat penting sebagai
pendukung dan bagian dari national
oil company (NOC).
Kita dan banyak negara maju di dunia
belakangan ini belajar dan terobsesi
untuk dapat maju seperti dialami oleh
China. Namun perlu dicatat bahwa
kemajuan tersebut terutama ditopang
oleh besarnya peran dan kemajuan
BUMN-BUMN China di segala sektor,
yang mendapat dukungan penuh
pemerintah.
Dengan
sikap
pemerintah
yang
demikian, maka tidak mengherankan
kalau China telah menempatkan
sekitar 37 BUMN-nya dalam daftar
Fortune 500. Indonesia belum mampu
membesarkan satu BUMN-pun untuk
masuk dalam daftar Fortune 500
(kecuali
Fortune
1000),
padahal
langkah reformasi BUMN di kedua
negara dimulai pada waktu yang
hampir bersamaan.
Beberapa BUMN China yang masuk
dalam Fortune 500 bergerak di bidang
migas,
seperti
CNOOC
atau
PetroChina. Dukungan pemerintah

10
China kepada NOC (BUMN migas-nya)
ini demikian besar dan kuat sehingga
tidak ada wilayah potensial migas di
muka bumi yang luput dari pantauan
atau akuisisinya jika memungkinkan.
Bahkan NOC China telah mengakuisisi
sejumlah perusahaan migas milik
Amerika, Kanada, Eropa dan Asia.
Agresifitas NOC China sejak 10 tahun
terakhir tergambar pada penguasaan
mereka pada blok-blok migas di
Australia, Kanada, Ekuador, Nigeria,
Sudan, Angola, Siria, Kazaktan dan di
sejumlah tempat di Indonesia.
Saat ini, sekitar 77% cadangan migas
di seluruh dunia dikuasai oleh NOCs,
dibanding
23%
oleh
swasta.
Disamping itu ada sejumlah NOCs
yang cadangan migasnya justru lebih
besar dibanding cadangan migas
negaranya. NOCs China misalnya
mempunyai cadangan sekitar 18
miliar barel dibanding cadangan
nasional sekitar 17 miliar barel.
Petronas, NOC Malaysia, mempunyai
cadangan di seluruh dunia sekitar 7
miliar barel, padahal negaranya hanya
mempunyai reserve sekitar 3,1 miliar
barel. Pertamina? Oh, NOC Indonesia
ini hanya memiliki cadangan sekitar
2,6 miliar barel, dibanding cadangan
terbukti nasional sekitar 8 miliar
barel
Padahal
Pertamina
telah
beroperasi sejak sekitar 40 tahun yang
lalu!
Ke depan, NOCs akan terus merambah
ladang-ladang migas di seluruh dunia
karena
semakin
strategis
dan
langkanya
cadangan,
ditengah
permintaan yang terus meningkat.
Namun ternyata Indonesia merupakan

salah satu negara tujuan tempat


berlangsungnya
akuisisi
dan
penguasaan cadangan oleh NOCs
asing.
Sedangkan Pertamina sebagai NOC
Indonesia dibiarkan bertarung sendiri
tanpa dukungan pemerintah sehingga
tetap kerdil dibanding raksasa migas
dari Amerika dan China, bahkan
dibanding Petronas dari Malaysia.
Kondisi ini terjadi, terutama sejak
diberlakukannya
UU
Migas
No.22/2001. Hal ini harus diakhiri dan
Pertamina harus didukung dan diberi
hak istimewa.
Berakhirnya masa kontrak (KPS)
sekitar 24 blok migas dalam 8 tahun
ke depan merupakan momentum yang
tepat
bagi
Indonesia
untuk
memberdayakan dan memperbesar
Pertamina. KPS-KPS dimaksud antara
lain mencakup blok-blok Bawean,
Pase, West Madura, Tuban, Siak, Jambi
Merang, East Kalimantan, Mahakam,
Sumatra Utara, dll. Sebagai NOC,
Pertamina seharusnya secara otomatis
mendapat
kesempatan
untuk
menguasai blok-blok tersebut. Dalam
hal ini, blok Mahakam merupakan blok
potensial
yang
harus
mendapat
prioritas untuk dikuasai.
Kita sebagai bangsa seharusnya
sangat berkepentingan untuk memiliki
NOC yang besar, kuat dan menjadi
dominan di negara sendiri. Selama ini,
Pertamina
telah
terpinggirkan
terutama akibat kebijakan yang salah,
prilaku KKN dan kuatnya pengaruh
asing. Disamping itu, sebagaimana
umumnya
BUMN
di
Indonesia,
Pertamina
juga
tak
lepas
dari
intervensi
oknum
pemegang

11
kekuasaan, selain prilaku KKN oknum
manajemennya
sendiri.
Dengan
menguasai blok Mahakam sebagai
penghasil gas terbesar di Indonesia,
serta blok-blok lain yang potensial,
Pertamina akan dominan di dalam
negeri, tumbuh menjadi global player
dan mampu mengamankan kebutuhan
energi nasional.

Kita berharap suatu saat Pertamina


bisa menjadi BUMN Indonesia pertama
yang masuk dalam Fortune 500
karena telah mendapat dukungan
penuh
dari
pemerintahan
SBY/Indonesia
dalam
setiap
kesempatan bisnis, sebagiaman yang
telah dilakukan pemerintah China
kapada BUMN-nya. Marwan Batubara

Penutup

"Dengan menguasai sendiri ladang


minyak, kita akan lebih terjamin," kata
Muslim Arbi yang juga Kepala Staf
Investigasi dan Advokasi Gerakan
Aliansi Laskar Anti Korupsi (GALAK).
Saat ini, kata Muslim Arbi, peralatan
pengeboran sudah terpasang,
sehingga Pertamina tak perlu
mengebor ladang minyak lagi. "Meski
keuntungan rendah, namun pajak,
deviden dan keuntungan nanti masuk
ke kas negara. Sehingga digantungnya
penghentian kontrak Total E&P di Blok
Mahakam oleh Menteri ESDM, sama
artinya tindakan pengkhianatan
terhadap bangsa dan negara",
pungkasnya.(tn01)

Kemajuan Pertamina dan ketahanan


energi nasional sangat tergantung
kepada
sikap
dan
komitmen
pemerintah apakah bersedia dan
konsisten untuk memberi dukungan,
memberi berbagai hak istimewa dan
menerbitkan berbagai aturan yang
konsisten dengan konstitusi.
Kita berharap pemerintah tidak lagi
bersandiwara dengan mengatakan
akan
mendorong
dan
memberi
kesempatan kepada BUMN untuk
menguasai saham atau blok tertentu,
namun yang terjadi di belakang
adalah sebaliknya. Pemerintah dan
Pertamina harus menjalankan seluruh
proses negosiasi secara transparan
dan akuntabel mengikuti GCG agar
terbebas dari upaya oknum-oknum
asing yang tidak akan segan-segan
menyuap siapapun, termasuk pejabatpejabat eksekutif dan legislatif.
Di sisi lain, kita juga sangat
mengharapkan peran DPR untuk
mengeluarkan berbagai aturan yang
relevan dan melakukan pengawasan
terhadap proses yang berlangsung.
Peran
masyarakat
untuk
turut
mengawasi dan melakukan advokasi,
seperti halnya maksud penulisan
artikel ini, sangat diharapkan.

Total
E&P
Indonesie
melalui
pernyataan Head Department of
Media Relations Total E&P, Kristianto
Hartadi di sebuah media pada 6
Oktober lalu, mengancam tidak akan
melanjutkan
lagi
proyek
pengembangan di Blok Mahakam
setelah tiga proyek yang baru mulai
dikembangkan saat ini, yaitu Sisi Nubi
2B, Peciko 7 B, dan South Mahakam 3.
Penghentian proyek pengembangan
ini dilakukan dengan alasan, karena
belum
adanya
kepastian
terkait
perpanjangan kontrak Total E&P di
Blok Mahakam setelah kontrak Total di

12
blok tersebut berakhir pada tahun
2017.
Saat ini di Blok Mahakam memang
masih ada beberapa reservoir yang
belum dibor oleh Total E&P. Dikatakan
Kristianto,
pihaknya
tidak
bisa
mengerjakan proyek pengembangan
seperti memasang platform dan
instalasi jaringan pipa di reservoir itu
karena pertimbangan keekonomian.
Jika
Total
E&P
mengembangkan
reservoir
tersebut,
kemungkinan
sumur-sumur di reservoir tersebut
baru bisa berproduksi menjelang atau
bahkan
setelah
habisnya
masa
kontrak Total E&P di Blok Mahakam
pada tahun 2017 nanti.
Lebih lanjut Kristianto katakan, jika
tidak ada proyek pengembangan lagi
di Blok Mahakam, produksi migas bisa
turun. Jika produksi turun, supply gas
dari Blok Mahakam kepada pembeli
tidak akan terpenuhi. Saat ini, Blok
Mahakam memproduksi 1,76 miliar
kaki kubik gas dan 66.400 barel
kondensat per hari. Pembeli gas dari
Blok
Mahakam
adalah
lima
perusahaan di Jepang dan Nusantara
Regas dengan kontrak hingga tahun
2022.
Gerakan Nasionalisasi Migas (GNM)
lagi-lagi mendapat dalih dan dalil baru
dari Total E&P, yang kali ini justru
bernada ancaman. Itulah sebabnya
GNM mengecam sikap Pemerintah
yang sampai saat ini belum juga
memutuskan
untuk
tidak
memperpanjang kontraknya Total E&P
di Blok Mahakam yang habis di tahun
2017, hanya karena takut dengan
ancaman korporasi migas asing asal
Prancis yang sudah melewati 46 tahun

menguras potensi sumber daya alam


migas di Blok Mahakam, Kalimantan
Timur itu, ujar Komandan GNM Binsar
Effendi
Hutabarat
dalam
keterangannya kepada pers, Selasa
(8/10/2013).
Padahal, menurut Binsar Effendi yang
Ketua Umum Solidaritas Pensiunan
Karyawan
Pertamina
(eSPeKaPe),
pihak PT Pertamina (Persero) tetap
berharap
Pemerintah
memberikan
Blok Mahakam kepada Pertamina
untuk dikelola secara mandiri. Di
Universitas Brawijaya Malang pada 7
Oktober
lalu,
Manajer
External
Communication
Pertamina
Jekson
Simanjuntak menyatakan Pertamina
mampu mengelolanya. Manajemen
Pertamina, kata Jekson, telah berkirim
surat ke Menteri Energi Sumber Daya
Mineral (ESDM) Jero Wacik untuk
mengelola Blok Mahakam.
Namun sejauh ini, ungkap Binsar
Effendi yang juga Wakil Ketua Umum
FKB KAPPI Angkatan 1966, ternyata
belum ada balasan dari Menteri ESDM.
Pertamina jelas khawatir jika tidak
segera ada jawaban dari pihak
Pemerintah. Sebab tidak tertutup
kemungkinan akan terjadi gesekan di
internal Pemerintah akibat lobi-lobi
berbagai pihak, seperti lobi-lobi yang
datang begitu agresif dari Pemerintah
Prancis
terhadap
Pemerintah
Indonesia terkait Blok Mahakam
ketusnya.
Kalau
untuk
Pertamina,
timpal
Koordinator Eksekutif GNM Muslim Arbi
yang Koordinator Eksekutif Gerakan
Perubahan
(GarpU),
Maka
keuntungan
jelas
untuk
negara,
karena Pertamina kan milik negara".

13
Menurut Muslim Arbi, Blok Mahakam
memiliki arti strategis karena total
cadangan minyak dan gasnya amat
tinggi.
Bahkan
pihak
Pertamina
menjamin ada total keuntungan senilai
Rp. 190 triliun, jika BUMN Migas atau
National
Oil
Company
ini
bisa
menguasai Blok Mahakam.
"Dengan menguasai sendiri ladang
minyak, kita akan lebih terjamin," kata
Muslim Arbi yang juga Kepala Staf
Investigasi dan Advokasi Gerakan
Aliansi Laskar Anti Korupsi (GALAK).
Saat ini, kata Muslim Arbi, peralatan
pengeboran
sudah
terpasang,
sehingga Pertamina
tak perlu
mengebor ladang minyak lagi. "Meski
keuntungan rendah, namun pajak,
deviden dan keuntungan nanti masuk
ke kas negara. Sehingga digantungnya
penghentian kontrak Total E&P di Blok
Mahakam oleh Menteri ESDM, sama
artinya
tindakan
pengkhianatan
terhadap bangsa dan negara",
Lokasi Delta Mahakam
Delta Mahakam merupakan suatu
kawasan delta yang terdiri dari
beberapa pulau yang terbentuk akbat
adanya
endapan
muara
Sungai
Mahakam dengan Selat Makassar,
Kalimantan
Timur.
Kawasan
ini
mempunyai luas sekitar 150.000 ha.
Secara administratif, kawasan Delta
Mahakam berada dalam wilayah
Kabupaten
Kartanegara,
tepatnya
berada di Kecamatan Anggana, Muara
Jawa, dan Sanga-Sanga.
Sejarah Pengelolaan Delta Mahakam
Kegiatan eksplorasi di Delta Mahakam
dimulai pada tahun 1967. Saat itu,

asing memperoleh kontrak berjangka


waktu 30 tahun. Perusahaan yang
mendapat
kontrak
adalah
Total
Indonesie
(Prancis)
dan
Inpex
(Jepang). Masing-masing memegang
saham 50 persen. Indonesia tidak ikut
dalam
kepemilikan
tetapi
tetap
mendapatkan hasil, dengan Production
Sharing Contract (PSC) minyak 15:85
dan gas 30:70. Artinya, apabila asing
mendapat
minyak,
mereka
memperoleh 15 persen sedangkan
Indonesia 85 persen. Dan ketika asing
mendapat gas, mereka memperoleh
30 persen dan Indonesia 70 persen.
Sikap Pemerintah
Mahakam

Terhadap

Blok

Melihat
fakta
bahwa
kontrak
pengelolaan blok Mahakam akan habis
ada tahun 2017, pemerintah mulai
bergerak untuk menentukan pengelola
Blok Mahakam ke depan. Pemerintah
sedang mempertimbangkan rencana
PT
Total
E&P
Indonesie
untuk
berinvestasi sebesar US$7,3 miliar di
Blok Mahakam.
Menteri BUMN Dahlan Iskan telah
memaksa Menteri ESDM Jero Wacik
untuk menyerahkan pengelolaan Blok
Mahakam
sepenuhnya
kepada
Pertamina. Namun, hingga saat ini
belum ada jawaban. Sementara itu
Pengelola / Kontraktor existing (Total)
diketahui sdh 4 kali mengirimkan surat
permohonan ke Men ESDM utk dapat
renewal. Menggantungnya keputusan
Men ESDM itu menimbulkan spekulasi
dan kontroversi yg kian meluas.
Rumors, isu, dugaan, tudingan, dan
anilisa liar mulai ramai disuarakan.
Para aktivis permigasan RI malah
menuduh pemerintah mau korupsi.

14
Masih belum hilang dari ingatan kita
saat kuasa hukum Judith J Navarro
Dipodiputro, OC Kaligis di sela-sela
sidang lanjutan yang ke-14 kalinya
digelar
di
Pengadilan
Hubungan
Industrial (PHI) Jakarta pada 1 Juli
2013
lalu
mengatakan
bahwa
pemberhentian secara sepihak yang
dilakukan Total E&P Indonesie asal
Prancis
terhadap
Judith
jelas
melanggar
hukum.
Sebab,
pemberhentian itu tanpa melalui SKK
Migas
(sebelumnya
BP
Migas).
Sementara sebelum mempekerjakan
Judith
sebagai
Vice
President
Corporate
Communication,
Government Relations and Corporate
Social Responsibility (SCR), Total lebih
dulu meminta izin kepada BP Migas,
sehingga Total terlihat sekali sangat
otoriter dalam kasus pemberhentian
Judith.
Vice
President
Human
Resorces
Communications and General Services
Total, Arividya Noviyanto saat bersaksi
dalam sidang sengketa perselisihan
pemutusan hubungan kerja, antara
Total sebagai penggugat dan Judith
sebagai tergugat, mengakui belum
minta izin dan persetujuan kepada
SKK Migas terkait rencana Total
memberhentikan Judith. Dikatakan
Kaligis, ada beberapa hal yang tidak
benar yang selama ini sudah dilakukan
Total. Salah satu kebobrokan itu
menurut Kaligis, adalah perjanjian
antara Total dan Pertamina yang
bersifat konfedensial serta masalah
keuangan. Kalau tidak karena itu
semua, perkara Judith ini tidak
mungkin sampai di PHI. Karena itulah
Total merasa ketakutan. Sebentar lagi,
ancam Kaligis, semua kecurangan

yang pernah dilakukan Total akan


terbongkar. Termasuk penggunaan
bahan bakar solar bagian negara
untuk
bunker
kapal-kapal
yang
dioperasikan mereka di perairan Blok
Mahakam, Kalimantan Timur, yang
tidak transparan.
Selanjutnya dari sumber Aliansi Rakyat
Kaltim untuk Blok Mahakam (ARKBM)
yang mendampingi tim investigasi dari
sebuah televisi swasta melalui pesan
pendek
ke
markas
Gerakan
Nasionalisasi
Migas
(GNM)
pada
28/9/2013
pukul
20.06
WIB
menginformasikan hasil investigasinya
selama lima hari disebutkan luar
biasa.
Banyak
sekali
ditemukan
kehidupan masyarakat Kaltim sangat
kontras dengan mega proyek Blok
Mahakam
yang
terus
menerus
diperebutkan
Total
dan
Inpex
Corporation
asal
Jepang
untuk
memperpanjang
kontraknya
yang
habis di tahun 2017 itu.
Di Bontang terjadi krisis listrik. Di
Muara Badak, masyarakat sekitar
miskin tanpa listrik. Di Sanipah,
masyarakat yang berdekatan dengan
onshore miskin dan tanpa listrik. Total
dan Inpex hanya mengeruk kekayaan
sumber daya alam migas Kalimantan
Timur tetapi tidak pernah mau
membangun daerah dan masyarakat
sekitar. Program CSR Total oleh ARKBM
dianggap sebagai euforia dan sekedar
mengangkat image Total semata,
bahkan terkesan charity.
Jalan banyak yang rusak, listrik dan
infrastruktur
yang
mestinya
diperhatikan, sama sekali tidak ada
andil sedikit pun yang diberikan Total
dan Inpex. Tidak ada legacy sedikit

15
pun yang ditinggalkan mereka selain
kerusakan
alam,
pencemaran
lingkungan dengan biaya recoverynya
yang maha besar itu, ungkap sumber
dari
ARKBM
yang
tidak
mau
disebutkan namanya.
Jika saja saat Direktur Utama PT
Pertamina (Persero), Karen Agustiawan
dipanggil Wakil Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM) Susilo
Siswoutomo pada Kamis (26/9/2013)
benar-benar tidak mau mendengar
kesanggupan
Pertamina
untuk
mengelola sekaligus menjadi oprator
Blok Mahakam pasca 2017, kemudian
Pemerintah memutuskan Kontrak Kerja
Sama (KKS) Total dan Inpex di Blok
Mahakam
diperpanjang
dengan
memberi saham 30 persen kepada
Pertamina selama masa transisi 5
tahun (2017-2022) yang sama sekali
tidak pernah diminta Pertamina.
Komandan
GNM
Binsar
Effendi
Hutabarat
yang
Ketua
Umum
Solidaritas
Pensiunan
Karyawan
Pertamina (eSPeKaPe) menegaskan,
itu jelas, selain melukai bathin
Judith,juga
sangat
menyakitkan
masyarakat
Kaltim,
sekaligus
mengusik rasa keadilan bagi seluruh
rakyat Indonesia yang melalui petisi
17 Oktober 2012 sudah pernah
menuntut Blok Mahakam diserahkan
untuk negara kepada Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY).
Oleh sebab itu, GNM meminta Menteri
ESDM
Jero
Wacik
harus
bertanggungjawab
penuh
jika
memaksakan kontrak Total dan Inpex
diperpanjang di Blok Mahakam, lalu
rakyat Kaltim minta merdeka. Isu
untuk memisahkan diri dari NKRI ini

sudah pernah mengemuka tapi masih


belum perlu dikumandangkan, soalnya
Pemerintah masih beralasan sedang di
evaluasi. Jika hasil evaluasi akhirnya
memutuskan kontrak Total dan Inpex
diperpanjang, sangat mungkin isu
sensitif itu terpaksa dicetuskan oleh
masyarakat Kaltim, dan Jero Wacik
serta
Presiden
SBY
harus
bertanggungjawab,
Tahun depan adalah tahun Pemilu dan
Pilpres. Semua elit politik dan partai
dinilai
butuh
modal.
Ditakutkan,
mereka akan mencari uang dgn caracara haram dan rugikan Negara,
apalagi partai pemerintah atau elit
penguasa. Dicurigai punya agenda
busuk dibalik terkatung-katungnya
keputusan
pengelolaan
Blok
Mahakam.
kebutuhan Indonesia mencapai 1,4
juta barel per hari. Pertamina cuma
mengelola sekitar 230 ribu barel
perhari, perusahaan minyak asing
mengelola sebesar 840 ribu barel
perhari. Sisanya Indonesia mengimpor
untuk memenuhi kebutuhan minyak
dengan berbagai ruwetnya birokrasi
yang ada.
Dari
kebutuhan
minyak
yang
mencapai 1,4 juta barel perhari,
Pertamina hanya memiliki ruang untuk
mengelola sebesar 230 ribu barel per
hari, 840 ribu barel lainnya dikelola
oleh
perusahaan
asing.
Untuk
mewujudkan
ketahanan
energi,
Indonesia
harus
berusaha
mengembalikan
kepemilikan
dan
pengelolaan sumber-sumber minyak
yang ada. Salah satunya adalah blok
Mahakam yang telah dikuasai oleh

16
Total selama 46 tahun dan masa
kontrak akan berakhir pada tahun
2017 mendatang, ungkap Ugan.
Sebelumnya, Menteri BUMN Dahlan
Iskan,
selaku
pemegang
saham
Pertamina mendesak agar Menteri
ESDM, Jero Wacik memberikan hak
pengelolaan Blok Mahakam kepada
Pertamina. Namun, ada sebagian
pihak
yang
masih
meragukan
kemampuan Pertamina, karena dinilai
belum
mampu
mengelola
blok
tersebut,
bila
dilihat
dari
sisi
keuangan, peralatan, dan teknologi.
Mengutip
MigasReview.com,
sejak
masa
eksplorasi
hingga
pengembangannya, Total dan Inpex
telah menginvestasikan setidaknya
US$ 27 miliar atau sekitar Rp 250
triliun.
Sementara
pemerintah
memperoleh
penerimaan
negara
sebesar US$ 83 miliar atau sekitar Rp
750 triliun.
Adapun
cadangan
terbukti
blok
Mahakam saat kontrak berakhir 2017
diperkirakan 2 triliun kaki kubik
(trillion cubic feet/TCF). Dibutuhkan
investasi Rp 80 triliun untuk dapat
memproduksi gas dari blok tersebut
selama masa operasi 20 tahun.
Dengan
kata
lain,
kontraktor
(siapapun) yang akan mengelola blok
tersebut harus menyiapkan modal
yang besar.
Berdasarkan
sumber
dokumen
MigasReview.com,
Total
E&P
mengajukan
usulan
perpanjangan
kontrak
selama
15
tahun
(31
Desember 2017 31 Desember 2032)
dengan investasi sebesar US$ 16
miliar untuk periode 2010-2017, dan

selanjutnya
tambahan.

US$

miliar

sebagai

Berdasarkan studi dan informasi


bahwa keseluruhan cadangan yang
tersedia di Blok Mahakam sekitar 27
triliun cubik (tcf). Sekitar 50 persen
13,5 tcf) cadangan yang dieskploitasi,
dengan pendapatan kotor sekitar 100
miliar Dollar AS. Sedangkan cadangan
yang tersisa saat ini sekitar 12,5 tcf.
Dengan harga gas yang terus naik,
Blok
Mahakam
berpotensi
menghasilkan
pendapatan
kotor
sebesar 187 miliar Dollar AS atau
sekitar Rp. 1.700 triliun (Sumber :
berbagai media), sangat di sayangkan
apabila pengelolaan tersebut tidak
dipercayakan
oleh
anak
negeri
khususnya lembaga atau badan usaha
Migas Negara dalam hal ini Pertamina.
Terkait adanya kekhawatiran soal
kemampuan Pertamina untuk
mengelola lapangan itu, Kurtubi
menilai hal tersebut tidak menjadi
masalah. Pertamina bisa
mengambilalih seluruh karyawan Total
yang selama ini sudah bekerja dalam
pengoperasian lapangan itu.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources
Studies (IRESS), Marwan Batu Bara

Sebaliknya
lanjut
Marwan,
IRESS
menyayangkan sikap Menteri ESDM Jero
Wacik yang masih saja terus mencari-cari
alasan dan justifikasi guna memberi
kesempatan kepada Total untuk tetap
menjadi operatorBlok Mahakam. "Oleh sebab
itu, kami meminta Presiden SBY untuk segera
memutuskan dan membuat pernyataan resmi
bahwa sejak 2017 Pemerintah RI akan

17
menyerahkan pengelolaan Blok Mahakam

kepada perusahaan milik negara, Pertamina,"


harapnya.

Anda mungkin juga menyukai