Hemiparese N.fasialis Pada Neonatus Dana Akalasia Esofagus
Hemiparese N.fasialis Pada Neonatus Dana Akalasia Esofagus
Tutorial Respirologi
Disusun Oleh:
Radhiyana Putri
1310029036
Desire B. Palada
1310029046
Pembimbing:
dr. Hj.Sukartini, Sp.A
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB 2 STATUS PASIEN........................................................................................5
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................22
BAB 4 PEMBAHASAN........................................................................................44
BAB 5 PENUTUP.................................................................................................52
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................53
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kelumpuhan (parese) nervus fasialis merupakan kelumpuhan yang
meliputi otot-otot wajah. Parese nervus fasialis dapat terjadi sentral dan perifer.
Nervus fasialis memiliki anatomi yang sangat komplek dan terdiri dari 7000 serat
masing-masing berfungsi membawa impuls listrik ke otot-otot wajah. Informasi
yang disampaikan akan menimbulkan ekspresi fasial seperti tertawa, menangis,
tersenyum dan berbagai ekspresi fasial lainnya. Nervus fasial tidak hanya
membawa impuls ke otot-otot wajah tetapi juga ke glandula lakrimal, glandula
saliva, dan ke otot dekat tulang pendengaran (stapes) serta menstransmisikan rasa
dari bagian depan lidah. Oleh karena itu, bila terjadi kerusakan setengah atau lebih
dari serat-serat saraf ini maka akan timbul gejala lumpuh atau paralysis pada
wajah, kekeringan pada mata atau mulut, gangguan dalam pengecapan.1,2,3
Foester melaporkan bahwa kerusakan nervus fasialis sebanyak 120 dari
3907 kasus (3%) dari seluruh trauma kepala saat Perang Dunia I. Friedman dan
Merit menemukan sekitar 7 dari 430 kasus trauma kepala. Adapun parese nervus
fasialis yang tidak diketahui penyebabnya (Bells Palsy) sekitar 20-30 kasus per
100.000 penduduk pertahun, sekitar 60-75% dari semua kasus merupakan
paralysis nervus fasialis unilateral. Insiden pada laki-laki dan perempuan sama,
namun rata-rata muncul pada usia 40 tahun meskipun penyakit ini dapat timbul di
semua umur. Insiden terendah adalah pada anak di bawah 10 tahun, meningkat
pada umur di atas 70 tahun. Frekuensi parese nervus fasialis kanan dan kiri sama.
Kausa tumor merupakan hal yang jarang, hanya sekitar 5% dari semua kasus
parese nervus fasialis.3
Parese nervus fasialis memberikan dampak yang besar bagi kehidupan
seseorang dimana pasien tidak dapat atau kurang dapat menggerakkan otot wajah
sehingga tampak wajah pasien tidak simetris. Dalam menggerakkan otot ketika
menggembungkan pipi dan mengerutkan dahi akan tampak sekali wajah pasien
tidak simetris. Hal ini menimbulkan suatu deformitas kosmetik dan fungsional
yang berat.1
2
`
dilatasi dengan kateter balon. Pada tahun 1913, Heller melakukan pembedahan
dengan cara miotomi, cara yang terus dianut sampai sekarang4.
Insiden 6/100.000 orang/tahun dan terlihat pada wanita muda dan pria
paruh baya dan begitu juga wanita. Patogenesisnya diduga idiopatik atau
degenerasi neurogenik. Beberapa stres emosional, trauma, penurunan berat badan
yang drastis, dan penyakit Chagas (infeksi parasit dengan Trypanosoma cruzi)
dapat juga menyebabkan terjadinya akalasia esofagus. Tanpa memandang
penyebab, otot dari esofagus dan Sfingter esophagus bawah (SEB) terkena. Teori
yang paling mendukung bahwa destruksi saraf terhadap SEB adalah patologi
primer dan degenerasi sekunder dari fungsi neuromuskular dari korpus esofagus.
Degenerasi ini mengakibatkan hipertensi dari SEB dan kegagalan SEB untuk
relaksasi pada penelanan faring, sebaik tekanan dari esofagus, pelebaran esofagus,
dan kehilangan resultan dari peristalsis yang progresif 5.
Semua terapi akalasia bersifat paliatif karena proses peristaltik tidak dapat
kembali. Tujuan utama penatalaksanaannya adalah menurunkan tahanan sfingter
esofagus bagian bawah, sehingga bolus makanan dapat turun ke dalam lambung
karena gravitasi. Penurunan tahanan sfingter dapat dicapai dengan dilatasi balon
dan bedah esofagotomi 4.
3
`
1.2
Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah agar dokter muda mampu memahami
4
`
BAB 2
STATUS PASIEN
Identitas pasien
-
Nama
: By. Ny. J
Jenis kelamin
: Laki-laki
Lahir
: 2 Maret 2016
Alamat
Anak ke
: 3 dari 3 bersaudara
MRS
: 24 Maret 2016
Nama Ayah
: Tn. A
Umur
: 33 tahun
Alamat
Pekerjaan
: Satpam
Ayah perkawinan ke : I
Nama Ibu
: Ny. J
Umur
: 29 tahun
Alamat
Pekerjaan
Ibu perkawinan ke
:I
Anamnesa
Anamnesa dilakukan pada tanggal 8 April 2016 pukul 14.00 WITA, di ruang
PICU RSUD AW. Sjahranie Samarinda. Alloanamnesa oleh ibu kandung pasien
Keluhan Utama
Muntah
Riwayat Penyakit Sekarang
5
`
Muntah dialami sejak 1 minggu SMRS. Ibu pasien mengaku, pasien muntah
setiap kali setelah meminum ASI. Isi muntahan berupa ASI yang diminum
Biasanya ibu pasien memberikan ASI setiap 2 jam dengan lama pemberian ASI
selama 30 menit. Selama 10 hari pertama kehidupan pasien, ibu mengaku pasien
tidak mengalami muntah selama minum ASI. Ibu pasien mengaku, pasien tidak
mengalami muntah hijau. Banyaknya tiap kali muntah gelas aqua. Muntah
yang dialami tidak menyemprot. Pasien mengalami muntah tanpa didahului batuk.
Pasien tidak mengalami sesak, demam, maupun batuk. BAB tiap 2 hari sekali.
BAK dalam batas normal.
Selain itu, Ibu pasien mengeluhkan wajah pasien sebelah kanan yang miring
saat pasien menangis. Ibu pasien mengaku mata kanan pasien terbuka sebelah dan
bibir pasien sebelah kanan miring saat pasien menangis. Sedangkan mata kiri dan
bibir sebelah kiri pasien normal. Ibu mengaku hal ini telah terjadi sejak pasien
lahir. Pasien tidak pernah mengalami kejang sebelumnya, riwayat trauma lahir
disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan berupa muntah sebelumnya. Pasien tidak
mengalami kejang sebelumnya. Riwat alergi dan asma disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
- Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan serupa dengan pasien
- Riwayat alergi disangkal.
- Riwayat Hipertensi, DM, dan penyakit jantung disangkal.
Riwayat Ibu :
Hamil ini adalah hamil ketiga dari ibu pasien. Anak pertama lahir pada tahun
2010. Selama kehamilan ibu rutin kontrol ke praktek bidan swasta, tidak ada
penyakit yang dialami selama kehamilan. Namun ibu pasien mengaku pada dua
kehamilan sebelumnya, ibu mengalami tekanan darah tinggi. Ibu mengaku berat
badan selama hamil naik sekitar 10 kg. selama hamil obat-obat yang dikonsumsi
hanya vitamin penambah darah. Pasien merupakan anak ketiga, lahir dengan
operasi seksio sesarea karena ibu pasien bekas dilakukan operasi seksio sesarea
6
`
: 39 minggu
Letak bayi
: Presentasi kepala
Hamil
Kondisi
Jenis
Usia
Sehat/tidak
Usia
ke1
saat lahir
Aterm
persalinan
Spontan
6 tahun
Sehat
meninggal
-
Aterm
Spontan
6 bulan karena
Pasien
Aterm
Spontan
1 bulan 11
Sehat
kejang
hari
: 3000 gr
: 48 cm
: 3050 gr
: 49cm
Gigi keluar
:-
Tersenyum
:-
Miring
:-
Tengkurap
:-
Duduk
: -
Merangkak
: -
Berdiri
:-
Berjalan
:-
Berbicara 2 kata
:-
Susu formula/sapi
:-
Pemeriksaan Prenatal
Periksa di
Penyakit kehamilan
:-
Riwayat Kelahiran
Lahir di
: RS
Ditolong oleh
: 9 bulan
Jenis partus
Riwayat kelahiran
Keluarga Berencana
Keluarga Berencana
: Ya
Memakai sistem
: Steril
Riwayat Imunisasi
Imunisasi
II
III
IV
Booster I
Booster II
BCG
(-)
////////////
////////////
////////////
////////////
////////////
Polio
(+)
(-)
(-)
(-)
Campak
////////////
////////////
////////////
////////////
DPT
(-)
(-)
(-)
////////////
Hepatitis B (+)
(-)
(-)
//////////
PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 8 April 2016
Kesan umum
Kesadaran
: Composmentis
Tanda Vital
Frekuensi Nadi
: 147 x/menit
Frekuensi Napas
: 36 x/menit
9
Temperatur
Sp02
: 97 %
Antropometri
Berat badan
: 3.050 gr
Panjang Badan
: 49 cm
Lingkar kepala
: 32 cm
: 8,2 cm
Status Gizi
10
`
Kepala
Rambut
Mata
Hidung
Mulut
Leher
Thoraks
Pulmo
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Cor:
11
`
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: Batas jantung
Kanan : ICS III right parasternal line
Kiri
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: Timpani
Auskultasi
Ekstremitas
Status Neurologis
Kesadaran
GCS E4V5M6
o Meningeal Sign
Kaku kuduk (-)
Kernig sign (-)
Laseque (-)
Brudinzky I (-)
Brudzinsky II (-)
Nilai
Sela mata
SDE
Strabismus
(-)
12
`
Troklearis (IV)
SDE
Trigeminus (V)
Membuka mulut
Normal
Mengunyah
Normal
Menggigit
Abdusens (VI)
SDE
Normal
Menutup mata
(-/+)
Memperlihatkan gigi
SDE
Sudut bibir
Vestibulokoklearis (VIII)
Vagus (X)
SDE
Menelan
Assesorius (XI)
Normal
Memalingkan kepala
Hipoglossus (XII)
SDE
Bicara
Pergerakan lidah
SDE
Motorik
Pergerakan
Kekuatan
Refleks fisiologis
Biseps
Triceps
Refleks patologis
Kanan
Kiri
SDE
SDE
SDE
SDE
Tromner
(-)
(-)
Hoffman
(-)
(-)
13
Motorik
Pergerakan
Kekuatan
Refleks fisiologis
Patella
Achilles
Refleks patologis
Kanan
Kiri
SDE
SDE
SDE
SDE
Babinski
(-)
(-)
Chaddock
(-)
(-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Leukosit
Hb
Hct
Plt
GDS
Na
K
Cl
Leukosit
Hb
Hct
Plt
GDS
Na
K
Cl
Ureum
Kreatinin
Leukosit
24/03/2016
12.700
14,7
44,4
358.000
66
136
6,4
108
29/03/2016
8.950
12,8
39,3
342.000
78
144
5,2
116
20,0
0,7
4/4/2016
11.400
14
Hb
Hct
Plt
SGOT
SGPT
Albumin
Albumin
Leukosit
Hb
Ht
Plt
11,6
37,4
228.000
32
21
3,1
6/3/2016
2,6
7/3/2016
16.350
12,2
35,5
279.000
PemeriksaanRadiologis
Interpretasi :
15
`
Interpretasi :
Diagnosis Utama
: Akalasia Esofagus
Diagnosis lain
- Puasa
- Konsul bedah anak
- Foto barium meal
- Pasang OGT dan DC
Prognosa
: ad Malam
17
`
Follow Up Ruangan
Tanggal
Usia :
Observasi
vomiting ec
diberikan ASI,
HR. 143 x/menit, RR. 38 x/menit
Obstruksi
kembung (-),
K/L : Ane (-/-), ikt (-/-), RC (+/+), Farese setinggi
demam (-), sesak (-) N. fasial dextra
gastric outlet
obstruksi +
Thorax : S1S2 tunggal reguler
Hiperkalemia
+ parese N.
vesikuler(+/+),whz(-/-),rhonki(-/-)
facial D
24 hari
GCS : E4V5M6
P
- Inf. KAEN 4A + D40% 1 flash
450 cc/24 jam
- Inj. Ranitidin 2 x 3mg
- Inf Aminosteril 6% 50 cc /24 jam
- Foto barium meal
- Pasang OGT dan DC
Abd:soefl,distended(-), Bu(+)N
Ekst:akral hangat
hijau(+), demam
(-), sesak (-)
GCS : E4V5M6
Observasi
vomiting ec
HR. 140 x/menit, RR. 42 x/menit
Obstruksi
K/L : Ane (-/-), ikt (-/-), RC (+/+), Parese setinggi
gastric outlet
N. Facialis D
obstruksi +
Hiperkalemia
18
`
28 hari
+ Farese N. - Puasa
facialis D
GCS : E4V5M6
Akalasia
+ - Inf. KAEN 4A 500 cc/24 jam
Parese
N.
- Inf Aminosteril 6% 20 cc /24 jam
HR. 128 x/menit, RR. 48 x/menit
Facialis D +
- Inj. Ampisilin 2 x 150 mg
K/L : Ane (-/-), ikt (-/-), RC (+/+), Parese Edema
cerebri
N. Facialis D
- Inf. Ivelip 20% 20 cc/24 jam
Thorax : S1S2 tunggal reguler
- ASI 6 x 10 cc
vesikuler(+/+),whz(-/-),rhonki(-/-)
Abd:soefl,distended(-), Bu(+)N
Ekst:akral hangat
06-04-2016 Luka post op (+),
(hari12)
PICU
GCS : E4V5M6
Post
op
myotomi
HR. 134 x/menit, RR. 52 x/menit
heller
a/I
K/L : Ane (-/-), ikt (-/-), RC (+/+), Parese Akalasia H-0
+ Parese N.
N. facialis D
Fasialis D +
minimal
Edema
cerebri
- Cefotaxiem 2 x150 mg
- Paracetamol 3 x 30mg
- Albumin 20% 2 x 10cc
Ekst:akral hangat
06-04-2016 Luka post op (+),
(hari 12)
PICU
GCS : E3V4M6
Post
op
myotomi
HR. 134 x/menit, RR. 52 x/menit
heller
a/i
K/L : Ane (-/-), ikt (-/-), RC (+/+), Parese Akalasia H-1
+ Parese N.
N. fasialis D
Facialis D +
Thorax : S1S2 tunggal reguler
Edema
cerebri
vesikuler(+/+),whz(-/-),rhonki(-/-)
Ekst:akral hangat
08-04-2016 Luka post op (+),
(hari14)
GCS : E4V5M6
Post
op - Inf. D10 0,18 NS 225 cc/24 jam
myotomi
- Inf. Ivelip 20% 15 cc/ 24 jam
HR. 116 x/menit, RR. 48 x/menit
heller
a/i
K/L : Ane (-/-), ikt (-/-), RC (+/+), Parese Akalasia H-2
20
PICU
N. facialis D
Thorax : S1S2 tunggal reguler
vesikuler(+/+),whz(-/-),rhonki(-/-)
Abd:luka post op (+), soefl,distended(-),
Bu(+)N
Ekst:akral hangat
21
`
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1
3.1.1
Definisi
Kelumpuhan saraf fasialis (N VII) merupakan kelumpuhan otot-otot wajah
dimana pasien tidak atau kurang dapat menggerakkan otot wajah, sehingga wajah
pasien tidak simetris. Hal ini tampak sekali ketika pasien diminta untuk
menggembungkan pipi dan mengerutkan dahi.1
3.1.2
Epidemiologi
Foester melaporkan bahwa kerusakan saraf fasialis sebanyak 120 dari
3907 kasus (3%) dari seluruh trauma kepala saat Perang Dunia I. Friedman dan
Merit menemukan sekitar 7 dari 430 kasus trauma kepala. Adapun kelumpuhan
saraf fasialis yang tidak diketahui penyebabnya (Bells Palsy) sekitar 20-30 kasus
per 100.000 penduduk pertahun, sekitar 60-75% dari semua kasus merupakan
paralysis nervus fasialis unilateral.3
Insiden pada laki-laki dan perempuan sama, namun rata-rata muncul pada
usia 40 tahun meskipun penyakit ini dapat timbul di semua umur. Insiden terendah
adalah pada anak di bawah 10 tahun, meningkat pada umur di atas 70 tahun.
Frekuensi kelumpuhan saraf fasialis kanan dan kiri sama. Kausa tumor merupakan
hal yang jarang, hanya sekitar 5% dari semua kasus kelumpuhan saraf fasialis.3
3.1.3. Etiologi
Penyebab kelumpuhan saraf fasialis bisa disebabkan oleh kelainan
congenital, infeksi, tumor, trauma, gangguan pembuluh darah, idiopatik, dan
penyakit-penyakit tertentu.1,3
1.
Kongenital
Kelumpuhan yang didapat sejak lahir ( congenital ) bersifat irreversible
dan terdapat bersamaan dengan anomaly pada telinga dan tulang pendengaran.1
Pada kelumpuhan saraf fasialis bilateral dapat terjadi karena adanya gangguan
perkembangan saraf fasialis dan seringkali bersamaan dengan kelemahan okular
(sindrom Moibeus).3
2.
Infeksi
22
Tumor
Tumor yang bermetastasis ke tulang temporal merupakan penyebab yang
paling sering ditemukan. Biasanya berasal dari tumor payudara, paru-paru, dan
prostat. Juga dilaporkan bahwa penyebaran langsung dari tumor regional dan sel
schwann, kista dan tumor ganas maupun jinak dari kelenjar parotis bisa
menginvasi cabang akhir dari saraf fasialis yang berdampak sebagai bermacammacam tingkat kelumpuhan. Pada kasus yang sangat jarang, karena pelebaran
aneurisma arteri karotis dapat mengganggu fungsi motorik saraf fasialis secara
ipsilateral.2
4.
Trauma
Kelumpuhan saraf fasialis bisa terjadi karena trauma kepala, terutama jika
terjadi fraktur basis cranii, khususnya bila terjadi fraktur longitudinal. Selain itu
luka tusuk, luka tembak serta penekanan forsep saat lahir juga bisa menjadi
penyebab. Saraf fasialis pun dapat cedera pada operasi mastoid, operasi neuroma
akustik/neuralgia trigeminal dan operasi kelenjar parotis.2
5.
fasialis diantaranya thrombosis arteri karotis, arteri maksilaris dan arteri serebri
media.1
6.
penyebabnya atau tidak menyertai penyakit lain. Pada parese Bell terjadi edema
fasialis. Karena terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan
kelumpuhan tipe LMN yang disebut sebagai Bells Palsy.3
7.
Penyakit-penyakit tertentu
23
`
kapsula interna, talamus, mesensefalon dan pons di atas inti saraf VII. Dalam hal
demikian pengecapan dan salivasi tidak terganggu. Kelumpuhan saraf VII
supranuklir pada kedua sisi dapat dijumpai pada paralisis pseudobulber. 6
24
`
Gambar 1 Persarafan Otot Wajah , Perasat Otot wajah disebabkan oleh lesi UMN
dan LMN nervus VII.
Gejala dan tanda klinik yang berhubungan dengan lokasi lesi . (Lihat gambar 2) 3,7
1. Lesi di luar foramen stilomastoideus
Mulut tertarik kearah sisi mulut yang sehat, makan terkumpul di antara pipi
dan gusi. Lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak
ditutup atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus.
2. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)
Gejala dan tanda klinik seperti pada (1), ditambah dengan hilangnya
ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang
terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan
terlibatnya saraf intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di antara pons dan
titik dimana korda timpani bergabung dengan saraf fasialis di kanalis
fasialis.
3.
individualnya
26
`
Penjelasan
Normal
II
Karakteristik
Fungsi fasial normal
III
Disfungsi
sedang
pergerakan
Terlihat tapi tidak tampak adanya perbedaan antara
kedua sisi
Adanya sinkinesis ringan
Dapat ditemukam spasme atau kontraktur hemifasial
Pada istirahat simetris dan selaras
Pergerakan dahi ringan sampai sedang
Menutup mata dengan usaha
Mulut sedikit lemah dengan pergerakan yang
IV
Disfungsi
sedang berat
maksimum
Tampak kelemahan bagian wajah yang jelas dan
asimetri
Kemampuan menggerakkan dahi tidak ada
Tidak dapat menutup mata dengan sempurna
Disfungsi berat
VI
Total parese
27
`
3.1.6.
Uji Diagnostik
terciptanya mimik dan ekspresi wajah seseorang. Adapun urutan ke-10 otot-otot
tersebut dari sisi superior adalah sebagai berikut :
a.
b.
c.
M. Frontalis
M. Sourcilier
M. Piramidalis
d.
e.
kuat-kuat
M. Zigomatikus
f.
memperlihatkan gigi
M. Relever Komunis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut
g.
h.
i.
j.
bawah
M. Mentalis
diperiksa
dengan
cara
tertawa
lebar
sambil
Untuk gerakan yang normal dan simetris dinilai dengan angka tiga ( 3 )
Sedikit ada gerakan dinilai dengan angka satu ( 1 )
Diantaranya dinilai dengan angka dua ( 2 )
Tidak ada gerakan sama sekali dinilai dengan angka nol ( 0 )
Seluruh otot ekspresi tiap sisi muka dalam keadaan normal akan
Tonus
Pada keadaan istirahat tanpa kontraksi maka tonus otot menentukan
muka, bukan pada setiap otot. Cawthorne mengemukakan bahwa tonus yang jelek
memberikan gambaran prognosis yang jelek. Penilaian tonus seluruhnya
berjumlah lima belas (15) yaitu seluruhnya terdapat lima tingkatan dikalikan tiga
untuk setiap tingkatan. Apabila terdapat hipotonus maka nilai tersebut dikurangi
satu (-1) sampai minus dua (-2) pada setiap tingkatan tergantung dari gradasinya.1
3.
Gustometri
Sistem pengecapan pada 2/3 anterior lidah dipersarafi oleh n. Korda
timpani, salah satu cabang saraf fasialis. 1 Kerusakan pada N VII sebelum
percabangan korda timpani dapat menyebabkan ageusi (hilangnya pengecapan).2
Pemeriksaan dilakukan dengan cara penderita disuruh menjulurkan lidah,
kemudian pemeriksa menaruh bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam pada lidah
penderita. Hali ini dilakukan secara bergiliran dan diselingi istirahat. Bila bubuk
ditaruh, penderita tidak boleh menarik lidahnya ke dalam mulut, sebab bubuk
akan tersebar melalui ludah ke sisis lidah lainnya atau ke bagian belakang lidah
yang persarafannya diurus oleh saraf lain. Penderita disuruh untuk menyatakan
pengecapan yang dirasakannya dengan isyarat, misalnya 1 untuk rasa manis, 2
untuk rasa pahit, 3 untuk rasa asin, dan 4 untuk rasa asam.2
Pada pemeriksaan fungsi korda timpani adalah perbedaan ambang
rangsang antara kanan dan kiri. Freyss menetapkan bahwa beda 50% antara kedua
sisi adalah patologis.1
4.
Salivasi
Pemeriksaan uji salivasi dapat dilakukan dengan melakukan kanulasi
serabut pada simpatis dari saraf fasialis yang disalurkan melalui saraf petrosus
29
`
Refleks Stapedius
Untuk menilai reflex stapedius digunakan elektoakustik impedans meter,
yaitu dengan cara memberikan ransangan pada muskulus stapedius yang bertujuan
untuk mengetahui fungsi N. stapedius cabang N.VII.1
7.
Uji audiologik
Setiap pasien yang menderita paralisis saraf fasialis perlu menjalani
Sinkinesis
Sinkinesis menetukan suatu komplikasi dari kelumpuhan saraf fasialis
yang sering kita jumpai. Cara mengetahui ada tidaknya sinkinesis adalah sebagai
berikut :1
30
`
a.
b.
nilainya dikurangi satu (-1) atau dua (-2), tergantung dari gradasinya.
Penderita diminta untuk tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi,
kemudian kita melihat pergerakan otot-otot pada sudut mata bawah.
c.
9.
simetris.
Hemispasme
Hemispasme merupakan suatu komplikasi yang sering dijumpai pada
Elektromiografi (EMG)
EMG sering kali dilakukan oleh bagian neurologi. Pemeriksaan ini
suatu pola yang kacau yang mengesankan suatu miopati atau neuropati. Namun,
nilai suatu EMG sangat terbatas kurang dari 21 hari setelah paralisis akut.
Sebelum 21 hari, jika wajah tidak bergerak, EMG akan memperlihatkan potensial
denervasi. Potensial fibrilasi merupakan suatu tanda positif yang menunjukkan
kepulihan sebagian serabut. Potensial ini terlihat sebelum 21 hari.2
2.
Elektroneuronografi (ENOG)
ENOG memberi informasi lebih awal dibandingkan dengan EMG. ENOG
melakukan stimulasi pada satu titik dan pengukuran EMG pada satu titik yang
lebih distal dari saraf. Kecepatan hantaran saraf dapat diperhitungkan. Bila
terdapat reduksi 90% pada ENOG bila dibandingkan dengan sisi lainnya dalam
sepuluh hari, maka kemungkinan sembuh juga berkurang secara bermakna. Fisch
Eselin melaporkan bahwa suatu penurunan sebesar 25 persen berakibat
penyembuhan tidak lengkap pada 88 persen pasien mereka, sementara 77 persen
pasien yang mampu mempertahankan respons di atas angka tersebut mengalami
penyembuhan normal saraf fasialis.2
3.
32
`
mengerutkan
hidung,
bersiul,
menggembungkan
pipi
dan
Electrical Stimulation
Stimulasi energi listrik dengan aliran galvanic berenergi lemah.2 Tindakan
ini bertujuan untuk memicu kontraksi buatan pada otot-otot yang lumpuh dan juga
berfungsi untuk mempertahankan aliran darah serta tonus otot.9
B.
Farmakologi
Obat-obatan yang dapat diberikan dalam penatalaksanaan kelumpuhan
1.
Asam Nikotinik
Pada kelumpuhan saraf fasialis yang dikarenakan iskemiaAsam nikotinik
Vasokonstriktor, Antimikroba
Obat ini diberikan pada kelumpuhan saraf fasialis yang disebabkan oleh
kompresi saraf fasialis pada kanal falopi. Obat ini bekerja mengurangi bendungan,
pembengkakkan, dan inflamasi pada keadaan diatas.
3.
Steroid
Obat ini diberikan untuk mengurangi proses inflamasi yang menyebabkan
Bells Palsy.
4.
Sodium Kromoglikat
Diberikan pada kelumpuhan saraf fasialis jika dipikirkan adanya reaksi
alergi.
5.
Antivirus
Baru-baru ini antivirus diberikan dengan atau tanpa penggunaan
Pengobatan Psikofisikal
Akupuntur, biofeedback, dan electromyographic feedback dilaporkan
2.
A.
Depresi
Pasien dengan kelumpuhan saraf fasialis memiliki ketakutan bahwa
34
`
B.
Nyeri
Sebagian pasien dengan Bells Palsy dan hampir seluruh pasien dengan
Herpes Zooster Cephalic merasakan nyeri. Nyeri ini dapat diatasi dengan
analgesic non-narkotik. Dapat diberikan steroid dengan dosis awal 1 mg/ kg BB/
hari dan tapering off setelah 10 hari penggunaan.
C.
Perawatan Mata
Secara umum, Perawatan mata ditujukan untuk menjaga kelembaban mata
agar tidak terjadi keratitis dan kerusakan kornea. Pasien diminta untuk
mengedipkan mata 2 sampai 4 kali permenit disamping penggunaan obat tetes
mata.
3.
total, tindakan operatif segera harus dilakukan dengan teknik dekompresi saraf
fasialis transmastoid.1
3.1.9. Komplikasi
Setelah kelumpuhan fasial perifer, regenerasi saraf yang rusak, terutama
serat otonom dapat sebagian atau pada arah yang salah. Serat yang terlindung
mungkin memberikan akson baru yang tumbuh ke dalam bagian yang rusak.
Persarafan baru yang abnormal ini, dapat menjelaskan kontraktur atau sinkinesis
(gerakan yang berhubungan) dalam otot-otot mimik wajah6.
Sindrom air mata buaya (refleks gastrolakrimalis paradoksikal) tampaknya
didasarkan oleh persarafan baru yang salah. Di perkirakan bahwa serat sekretoris
untuk kelenjar air liur tumbuh ke dalam selubung Schwann dari serat yang cedera
yang berdegenerasi dan pada asalnya serat tersebut bertanggung jawab untuk
glandula lakrimalis7.
3.2
AKALASIA ESOFAGUS
3.2.1
Definisi
Akalasia adalah gangguan motilitas berupa hilangnya peristalis esofagus
35
`
3.2.2
Etiologi
Dasar penyebab akalasia adalah tidak efektifnya peristalsis esofagus
Patogenesis
36
`
Gambaran Klinis
37
`
Akalasia biasanya dimulai pada dewasa muda walaupun ada juga yang
ditemukan pada bayi dan sangat jarang pada usia lanjut. Gejala utama akalasia
adalah disfagia, regurgitasi, rasa nyeri atau tidak enak di belakang sternum dan
berat badan menurun. Lama timbulnya gejala sangat bervariasi, dari beberapa hari
sampai bertahun-tahun, dan gejala lambat laun semakin berat 4.
Trias klasik dari gejala-gejala yang tampak terdiri atas disfagia,
regurgitasi, dan penurunan berat badan. Meskipun demikian, heartburn, tersedak
setelah makan (postprandial choking), dan batuk nokturnal adalah umum terlihat.
Disfagia yang pasien alami mulai dengan cairan dan berlanjut ke padat.
Kebanyakan pasien menggambarkan makan sebagai sebuah proses yang
membutuhkan banyak tenaga. Mereka makan secara perlahan dan menggunakan
volume air yang besar untuk membantu menghempaskan makanan ke bawah
dalam lambung. Saat air memperkuat tekanan, nyeri dada retrosternal dialami dan
dapat memberat sampai LES terbuka, yang mana memberika rasa lega yang cepat.
Regurgutasi makanan-makanan yang tak tercerna, dan berbau busuk adalah umum
dan dengan progresifnya penyakit, aspirasi dapat menjadi mengancam jiwa.
Pneumonia, abscess paru, dan bronchiectasis sering merupakan hasil dari long
standing achalasia. Disfagia berlanjut secara perlahan bertahun-tahun dan pasien
beradaptasi pada pola hidupnya untuk mengakomodasi ketidaknyamanan yang
menyertai penyakit ini. Pasien sering tidak mencari perhatian medis sampai
gejala-gejala mereka berlanjut dan akan hadir dengan peregangan yang nyata dari
esofagus5.
Disfagia adalah gejala utama yang mula-mula dirasakan sebagai rasa
penuh atau rasa mengganjal di daerah esofagus distal, hilang timbul, dan semakin
lama semakin berat. Pasien akan makan secara perlahan-lahan dan selalu disertai
minum yang banyak. Regurgitasi terjadi bila penyakit sudah lanjut dan sudah
terjadi dilatasi esofagus bagian proksimal. Regurgitasi biasanya dirasakan pada
waktu malam sehingga pasien terbangun dari tidurnya. Makanan yang mengalir
balik belum dicerna, tidak asam,ldan baunya manis karena pengaruh ludah.
Keadaan ini berbahaya karena dapat menimbulkan pneumonia aspirasi. Keluhan
nyeri umumnya tidak dominan. Mula-mula keadaan gizi baik dan baru menurun
pada tahap lanjut 4.
38
`
3.2.5
Diagnosis
Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan yang berarti. Dengan
.
Diagnosis dari achalasia biasanya dibuat dari esofagogram dan studi
motilitas. Penemuan tersebut dapat beraneka ragam, tergantung pada sifat alami
yang berkelanjutan dari penyakit. Esofagogram akan menunjukkan esofagus yang
berdilatasi dengan penyempitan distal yang disebut sebagai gambaran paruh
burung klasik (classic birds beak) dari esofagus yang terisi barium
39
`
mengijinkan udara untuk melewati dengan mudah ke dalam lambung. Pada tahap
yang lebih lanjut dari penyakit, dilatasi esofagus yang masif, kelokan, dan
esofagus sigmoidal (megaesophagus) terlihat 5
tetapi, lebih penting lagi, akan gagal untuk relaksasi dengan deglutisi (menelan).
Corpus esofagus akan memiliki tekanan diatas dasar (penekanan pada esofagus)
dari evakuasi undara yang tidak sempurna, simultaneous mirrored contraction
dengan tidak ada bukti dari peristalsis yang progresif, dan bentuk gelombang
beramplitudo rendah mengindikasikan kurangnya tonus otot. Lima penemuan ini
memberikan diagnosis akalasia. Endoskopi dilakukan untuk mengevaluasi
mukosa sebagai bukti dari esofagus atau kanker. Jika tidak endoskopi akan
berkontribusi kecil pada diagnosis akalasia 5.
3.2.6
Penatalaksanaan
Ada pilihan pengobatan bedah dan non bedah untuk pasien dengan
akalasia; semua diarahkan pada penurunan obstruksi yang disebabkan oleh LES.
Karena tidak dari mereka menyatakan hasil dari penurunan motilitas pada corpus
esofagus, mereka seluruhnya merupakan pengobatan paliatif 5.
Diet dan obat-obatan untuk menghilangkan atau mengurangi kontraksi
sfingter esofagus dan otot polos dinding esofagus dianjurkan pada tahap awal
penyakit. Tindakan ini biasanya disertai dengan dilatasi yang bertujuan membuat
sfingter esofagus bagian bawah terbuka sehingga otot-ototnya rusak 4. Pilihan
pengobatan non bedah meliputi obat-obatan dan intervensi endoskopi tetapi
biasanya hanya merupakan solusi jangka pendek untuk sebuah masalah yang
abadi. Pada tahap awal dari penyakit, pengobatan medis dengan nitrogliserin
sublingual, nitrat, atau calcium channel blockers (CCB) dapat menawarkan
berjam-jam pengurangan tekanan dada sebelum atau setelah makan. Bougie
dilation sampai 54 Fr dapat menawarkan beberapa bulan sebagai pereda tetapi
memerlukan dilatasi berulang untuk dapat bertahan 5.
Injeksi botulinum toxin (Botox) secara langsung ke dalam LES mengeblok
pelepasan asetilkolin, mencegah kontraksi otot halus, dan secara efektif
merelaksasikan LES. Dengan pengobatan berulang, Botox dapat menawarkan
pereda gejala selama bertahun-tahun, tetapi gejala-gejala timbul lagi lebih dari
50% dalam waktu enam bulan 5. Toksin botulinum yang disuntikkan dengan
bantuan endoskop adalah toksin yang bekerja menghambat pengeluaran
asetilkolin di prasinaps pada serabut syaraf sehingga dapat menurunkan tonus
41
`
sfingter esofagus. Meskipun demikian, terapi ini hanya berhasil pada dua pertiga
pasien. Selain itu pula, boyulinum hanya efektif untuk jangka pendek sehingga
harus dilakukan penyuntikan ulang 4.
Dilatasi dengan Gruntzig-type balloon (volume terbatas, kontrol tekanan)
adalah efektif pada 60% pasien dan memiliki sebuah risiko perforasi kurang dari
4%; meskipun demikian, perforasi mengancam jiwa dan harus dititikberatkan
secara hati-hati pada pasien yang tidak sehat 5.Dilatasi yang dilakukan dengan
dilator yang terdiri atas sonde dengan balon yang dapat diisi dengan udara atau air
bertekanan tinggi sehingga otot sirkuler teregang dan robek. Dilatasi ini harus
diulang sewaktu timbul gejala kembali. Angka keberhasilan cara dilatasi 70%
dengan komplikasi perforasi 1.4% dan kematian 0.3%. massalah yang sering
timbul adalah refluks, yang terjadi pada 22% kasus 4.
Bedah esofagotomi terdiri atas memotong otot esofagus pada arah sumbu
esofagus sepanjang sfingter bawah, di luar mukosa. Tindakan ini dapat dikerjakan
secara terbuka (torakotomi atau laparotomi), torakoskopik, atau laparoskopik.
Hasil operasi ini cukup memuaskan. Tingkat keberhasilannya dikatakan mencapai
80-90%, bergantung pada keterampilan operator. Bukti penelitian yang kuat
menyimpulkan bahwa indikasi esofagomiotomi adalah pasien yang (1) masih
berusia muda, (2) mengalami kegagalan terapi farmakologis atau dilatasi balon,
(3) berisiko tinggi mengalami perforasi pada teknik dilatasi, yaitu pasien dengan
esofagus yang berkelok-kelok atau divertikula, atau telah menjalani pembedahan
untuk kelainan lain sebelumnya, dan (4) ingin menghindari prosedur terapi
berulang. Esofagomiotomi memberikan hasil yang memuaskan pada 95% kasus,
dengan lama perawatan rumah sakit hanya tiga hari bila dikerjakan secara
laparoskopik 4.
Bedah esofagotomi menawarkan hasil yang superior dan kurang membuat
trauma daripada dilatasi balon. Teknik saat ini merupakan modifikasi dari Heller
myotomy yang digambarkan secara original oleh sebuah laparotomi pada 1913.
Perubahan yang bervariasi telah dibuat untuk prosedur tersebut tetapi modified
laparoscopic Heller myotomy merupakan pilihan operasi saat ini. Hal tersebut
dikerjakan atau dengan video atau bantuan robot. Keputusan untuk melakukan
sebuah prosedur antirefluks menyisakan kontroversi. Kebanyakan pasien yang
42
`
bersihan esofagusnya
43
`
BAB 4
PEMBAHASAN
TEORI
KASUS
ANAMNESIS
Parese N. Facialis D
-
pasien
tidak
atau
2. Riw.
Kejang
disangkal,
infeksi,
tumor,
pembuluh
darah,
muntah
penyakit
tertentu
(Guillian
4. Sesak
1
(-),
minggu
Riw.
SMRS
Batuk
(-).
Adalah
gangguan
motalitas
berupa
hilangnya
peristaltic
berelaksasi
Penyebab
akibat
proses
dapat
menyebabkan
kelainan
PEMERIKSAAN FISIK
Parese N. Fasialis :
Pemeriksaan saat diruangan :
Diuji dengan pemeriksaan N. Fasialis :
1. Produksi OGT : jernih mininmal
- Pemeriksaan fungsi saraf motorik
M. Triangularis : mengangkat
2. Pemeriksaan Neurologis dalam
sudut bibir
- Gustometri : tes pengecapan
batas normal
3. Pemeriksaan saraf kranialis :
N. VII (Facialis ) :
Akalasia Esofagus :
keadaan normal
bibir
tidak
menyudut
Pemeriksaan esofagoskopi :
Menunjukkan
penyempitan
dengan
yang
berdilatasi
penyempitan
leukositosis
pemeriksaan
darah
pada
lengkap
(16.350/mm3)
b) Hipoalbumin (2,6)
a) Terjadi
distal
tampak
penyempitan
lumen
distal
esophagus
esophagus)
d) Pada CT Scan pasien tampak
(classic
birds
peak)
terisi
barium.
Heat
Theraphy,
Face
Facial Exercise
Electrical Stimulation
Massage,
Stimulasi energi listrik dengan aliran - Inf. KAEN 4A 500 cc/24 jam
galvanic berenergi lemah. Tindakan ini
bertujuan untuk memicu kontraksi buatan
- ASI 6 x 10 cc
Farmakologi
dengan
pemberian
asam
nikotinik,
Pengobatan Psikofisikal
- Paracetamol 3 x 30mg
Akupuntur,
biofeedback,
dan
dan
menghilangkan
obat-obatan
atau
untuk
mengurangi
46
bagian
bawah
terbuka
esofagotomi
terdiri
atas
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
47
`
Keluhan yang dialami pasien adalah muntah yang telah dialami sejak 10
hari SMRS setiap kali pasien minum susu tanpa disertai dengan batuk. Selain itu,
sepengakuan ibu pasien, setiap anak menangis, mata sebelah kanan pasien tetap
terbuka. Adapun hasil pemeriksaan fisik yang ditemukan adalah kesadaran
komposmentis pada pasien, suhu dan frekuensi pernapasan normal, tidak ada
distensi abdomen, bising usus normal, pada pemeriksaan neurologis dalam batas
normal, dan pemeriksaan saraf kranialis yang dilakukan didapatkan pada N. VII
(Fasialis) parese D pada mata sebelah kanan dan sudut bibir pasien tidak simestris.
Pada pemeriksaan penunjang, barium enema ditemukan adanya penyempitan
lumen distal esophagus (gangguan relaksasi sfingter distal esophagus) dan pada
CT-scan kepala yang dilakukan terdapat Tampak gambaran hipodens di parieto
temporal sinistra, curiga kromik subdural hematoma, dan sistem ventrikel
menyempit, oedem serebri. Pada pasien ini telah dilakukan myotomi heller untuk
akalasia esophagus yang diderita oleh pasien. Jika ditelaah berdasarkan anamnesis
hingga pemeriksaan penunjang, maka didapatkan kesimpulan bahwa telah sesuai
dari diagnosis dan penatalaksanaan pada pasien ini dengan literature yang kami
dapatkan.
48
`
DAFTAR PUSTAKA
Paralysis.
Diakses
dari
9. May, Mark and Barry M. Schaizkin. The Facial Nerve. New York : Thieme,
2000.
10. Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews JB,
Pollock RE. Schwartzs principles of surgery, 9th ed. USA: The McGraw-Hill
Companies, Inc. 2010.
49
`