Anda di halaman 1dari 3

Hanung Yudha Febrianto/16811043/A

SKENARIO 2
Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan
multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme
karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat
disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas,
atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin(1).
Berdasarkan etiologinya, Diabetes Mellitus dapat diklasifikasikan kedalam beberapa golongan
diantaranya : a. Diabetes Mellitus Tipe 1 (destruksi sel umumnya menjurus ke arah defisiensi insulin absolut)
melalui proses imunologik (autoimunologik) ataupun Idiopatik; b. Diabetes Mellitus Tipe 2 (bervariasi, mulai
yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi
insulin bersama resistensi insulin); c. Diabetes Mellitus tipe lain, ex: defek genetik fungsi sel , defek genetik
kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, diabetes karena obat/zat kimia (glukokortikoid, hormon
tiroid, asam nikotinat, pentamidin, vacor, tiazid, dilantin, interferon), diabetes karena infeksi; d. Diabetes Mellitus
Gestasional merupakan diabetes mellitus yang muncul pada masa kehamilan, umumnya bersifat sementara,
tetapi merupakan faktor risiko untuk DM Tipe 2; e. Pra-diabetes: IFG (Impaired Fasting Glucose) = GPT
(Glukosa Puasa Terganggu) dan IGT (Impaired Glucose Tolerance) = TGT (Toleransi Glukosa Terganggu)(1).
Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya terungkap dengan jelas. Faktor
genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas,
diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan. Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu
faktor pradisposisi utama. Patofisiologi terjadinya diabetes mellitus diawalai dari sel-sel kelenjar pankreas
yang mensekresikan insulin dalam dua fase. Fase pertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau
rangsangan glukosa yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua
terjadi sekitar 20 menit sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel menunjukkan gangguan
pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin Apabila tidak
ditangani dengan baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan mengalami
kerusakan sel-sel pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan mengakibatkan defisiensi
insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa
pada penderita DM Tipe 2 umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi
insulin. Beberapa faktor risiko untuk diabetes melitus, terutama untuk DM Tipe 2 adalah, riwayat (diabetes
dalam keluarga, diabetes gestasional, melahirkan bayi dengan berat badan >4 kg, kista ovarium (Polycystic
ovary syndrome), IFG (Impaired Fasting Glucose) atau IGT (Impaired Glucose Tolerance)); obesitas (>120%
berat badan ideal); umur (20-59 tahun : 8,7%, >65 tahun : 18%); etnik/ras; hipertensi (>140/90mmHg);
hiperlipidemia (kadar HDL rendah <35mg/dl, Kadar lipid darah tinggi >250mg/dl); kurang olah raga dan pola
makan rendah serat(1).
Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas DM,
yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2 target utama, yaitu: 1. Menjaga agar kadar glukosa plasma
berada dalam kisaran normal; 2. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes.
The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa parameter yang dapat digunakan
untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan diabetes yaitu : Kadar Glukosa Darah Puasa 80120mg/dl; Kadar
Glukosa Plasma Puasa 90130mg/dl; Kadar Glukosa Darah Saat Tidur (Bedtime blood glucose) 100140mg/dl;
Kadar Glukosa Plasma Saat Tidur (Bedtime plasma glucose) 110150mg/dl; Kadar Insulin <7 %; Kadar HbA1c
<7mg/dl; Kadar Kolesterol HDL >45mg/dl (pria) dan >55mg/dl (wanita); Kadar Trigliserida <200mg/dl; Tekanan
Darah <130/80mmHg. Dalam penatalaksanaan DM, langkah pertama yang harus dilakukan adalah
penatalaksanaan tanpa obat berupa pengaturan diet dan olah raga. Apabila dengan langkah pertama ini tujuan
penatalaksanaan belum tercapai, dapat dikombinasikan dengan langkah farmakologis berupa terapi insulin
atau terapi obat hipoglikemik oral, atau kombinasi keduanya. Terapi non farmakologis berupa : pengaturan diet
adapun dietyang dianjurkan adalah makanan dengankomposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat,protein
dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut: Karbohidrat 60-70%, Protein 10-15%, Lemak
20-25%. olah raga secara teratur adapun olahraga yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous,
Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Training). Untuk terapi farmakologi berupa insulin terdapat
berbagai jenis sediaan insulin yang tersedia, yang terutama berbeda dalam hal mula kerja (onset) dan masa
kerjanya (duration). Sediaan insulin untuk terapi dapat digolongkan menjadi 4 kelompok, yaitu: 1. Insulin masa
kerja singkat (Short-acting), disebut juga insulin reguler(onset 0,5 jam, puncak 1-4 jam, masa kerja 6-8 jam); 2.
Insulin masa kerja sedang (Intermediate-acting) (onset 1-2 jam, puncak 6-12 jam, masa kerja 18-24 jam); 3.
Insulin masa kerja sedang dengan mula kerja cepat (onset 0,5 jam, puncak 4-15 jam, masa kerja 18-24 ja/m);
4. Insulin masa kerja panjang (Long-acting insulin) (onset 4-6 jam, puncak 14-20 jam, masa kerja 24-36 jam).

Sedangkan untuk terapi farmakologi berupa obat-obat hipoglikemik oral dapat dibagi menjadi 3 golongan,
yaitu obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin, meliputi obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea dan
glinida (meglitinida dan turunan fenilalanin); sensitiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas
sel terhadap insulin), meliputi obat-obat hipoglikemik golongan biguanida dan tiazolidindion yang bekerja
membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin secara lebih efektif; Inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain
inhibitor -glukosidase yang bekerja menghambat absorpsi glukosa dan umum digunakan untuk
mengendalikan hiperglikemia post-prandial (post-meal hyperglycemia), disebut juga starch-blocker(1).
Prinsip terapi insulin : 1. Penderita DM Tipe 2 tertentu kemungkinan juga membutuhkan terapi insulin
apabila terapi lain yang diberikan tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah; 2. Keadaan stres berat,
seperti pada infeksi berat, tindakan pembedahan, infark miokard akut atau stroke; 3. DM Gestasional dan
penderita DM yang hamil membutuhkan terapi insulin, apabila diet saja tidak dapat mengendalikan kadar
glukosa darah; 4. Ketoasidosis diabetik; 5. Insulin seringkali diperlukan pada pengobatan sindroma
hiperglikemia hiperosmolar non-ketotik; 6. Penderita DM yang mendapat nutrisi parenteral atau yang
memerlukan suplemen tinggi kalori untuk memenuhi kebutuhan energi yang meningkat, secara bertahap
memerlukan insulin eksogen untuk mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal selama periode
resistensi insulin atau ketika terjadi peningkatan kebutuhan insulin; 7. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang
berat(1).
Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan komplikasi akut dan kronis. Beberapa
komplikasi yang sering terjadi dan harus diwaspadai adalah: 1. Hipoglikemia; 2. Hiperglikemia; 3. Komplikasi
Makrovaskular (3 jenis komplikasi makrovaskular yang umum berkembang pada penderita diabetes adalah
penyakit jantung koroner (coronary heart disease/CAD), penyakit pembuluh darah otak, dan penyakit pembuluh
darah perifer (peripheral vascular disease/PVD)); 4. Komplikasi Mikrovaskular (antara lain retinopati, nefropati,
dan neuropati)(2).
Selulitis adalah peradangan akut terutama menyerang jaringan dermis dan subkutis. Faktor risiko untuk
terjadinya infeksi ini adalah trauma lokal (robekan kulit), luka terbuka di kulit atau gangguan pembuluh vena
maupun pembuluh getah bening. Penyakit ini biasanya didahului trauma, karena itu tempat predileksinya di
tungkai bawah(3). Gejala prodormal selulitis adalah demam dan malaise, kemudian diikuti tanda-tanda
peradangan yaitu bengkak (tumor), nyeri (dolor), kemerahan (rubor), dan teraba hangat (kalor) pada area
tersebut. Penyebab selulitis paling sering pada orang dewasa adalah Staphylococcus aureus dan
Streptokokus beta hemolitikus grup A sedangkan penyebab selulitis pada anak adalah Haemophilus influenza
tipe b (Hib), Streptokokus beta hemolitikus grup A, dan Staphylococcus aureus. Selulitis pada orang dewasa
imunokompeten banyak disebabkan oleh Streptococcus pyogenes dan Staphylococcus aureus sedangkan
pada ulkus diabetikum dan ulkus dekubitus biasanya disebabkan oleh organisme campuran antara kokus gram
positif dan gram negatif aerob maupun anaerob. Patofisiologi sellulitis dimulai dari bakteri patogen yang
menembus lapisan luar menimbulkan infeksi pada permukaan kulit atau menimbulkan peradangan. Setelah
menembus lapisan luar kulit, infeksi akan menyebar ke jaringan-jaringan dan menghancurkannya,
hyaluronidase memecah substansi polisakarida, fibrinolysin mencerna barrier fibrin, dan lecithinase
menghancurkan membran sel(4).
Berdasarkan Guideline On The Management Of Cellulitis In Adults terapi awal untuk selulitis tipe 1 adalah
flukloksasilin 500 mg per oral 4xsehari namun bila pasien alergi dapat menggunakan klaritomisin 500 mg per
oral 2xsehari untuk infeksi selulitis tipe 2 bisa menggunakan kombinasi flukloksasilin 2 gram IV 4xsehari atau
ceftriakson 1 gram IV sebagai lini pertama dan jika tidak bisa maka bisa menggunakan klaritomisin 500 mg bd
IV atau kindamisin 600 mg tds IV sedangkan untuk tipe 3 flukloksasilin 2 gram qds IV sebagai pilihan pertama
sedangkan bila tidak bisa menggunakan klaritomisin 500 mg bd IV atau Klindamisin 900 mg tds IV sedangkan
unuk tipe 4 bisa menggunakan benzilpenisilin 2,4 gram tiap 2-4 jam IV + siprofloksasin 400 mg bd IV +
Klindamisin 900 mg tds IV(5).
Adapun building database berdasarkan SOAP : Subjek : Tn. AT, masuk rumah sakit tanggal 9 April 2016.
Riwayat penyakit terdahulu DM tipe 2 yang telah diderita selama 5 tahun dan meminum obat rutin glikazid 1 x
80 mg. Pasien didiagnosa dokter mengalami DM dan infeksi selulitis, diresepkan oleh dokter Parasetamol 3 x
500 mg Metronidazol 3 x 500 mg, Pentoxifyllin 2 x 400 mg, Novorapid 2 x 12 UI, Lavemir dosis 1 x 12 UI,
Ranitidin 2x sehari 1 tablet Obyek : berusia 68 (TB/BB 165cm/50kg), HbA1c 8,5 mg/dl LED: 65 mm/jam,
GDS:awal :444 mg/dl akhir: 60 mg/dl, GD2 jam pp: 230 mg/dl, TD: 130/80 assessment : DRP - penggunaan
obat yang tidak tepat : ranitidine, pentoxypilin, metronidazol obat dosis berlebih: insulin novorapid, non DRP :- ,
Plan: menurunkan dosis insulin novorapid menjadi 1x12 UI, mengganti metronidazole dengan cefadroxil 500
mg 2x1, menggunakan PCT jika perlu ranitidine terapi non farmakologi makanan dengankomposisi yang
seimbang dalam hal karbohidrat,protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut:
Karbohidrat : 60-70% Protein :10-15% Lemak : 20-25% dan olah raga adapun Olahraga yang disarankan
adalah yang bersifat CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval, Progressive Endurance Training).

Daftar Pustaka :
1. Anonim, 2009, Pharmaceutical CareUntuk Penyakit Diabetes Mellitus, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
2. Dipiro, et al., 2009, Pharmacotherapy approach, 8th edition, Mc. GrawHill medical, New York.
3. Djuanda, A., 2008, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi Ketujuh, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.
4. Fitzpatrick, T. B., 2008, Dermatology in General Medicine, seventh edition. Mc. GrawHill, New York.
5. Fulton, R., et al., 2005, Guidelines On The Management Of Cellulitis In Adults, CREST Secretariat,
Belfast.

Anda mungkin juga menyukai