Anda di halaman 1dari 8

2.1.

Konsep Teori Community As Partner (konsep dasar)


2.2. Masalah ISPA di masyarakat (tinjauan konsep ISPA ilihat dari konsep paradigm
sehat blum
(Preventif Primer, sekunder, tersier dari konsep Anderson : dimasukkan
pembahasan hasil jurnal disesuaikan apakah masuk primer, sekunder atau tertier)
2.1.1 Core
2.1.1.1 Demografi
Menurut Dharmage (2009), ada beberapa faktor dari demografi yang menjadi
faktor risiko ISPA, antara lain :
1) Jenis kelamin
Bila dibandingkan antara orang laki-laki dan perempuan, laki-laki lah yang banyak
terserang penyakit ISPA karena mayoritas orang laki-laki merupakan perokok dan
sering berkendaraan, sehingga mereka sering terkena polusi udara.
2) Usia
Anak balita dan ibu rumah tangga yang lebih banyak terserang penyakit ISPA. Hal
ini disebabkan karena banyaknmya ibu rumah tangga yang memasak sambil
menggendong anaknya.
3) Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam
kesehatan, karena lemahnya manajemen kasus oleh petugas kesehatan serta
pengetahuan

yang

kurang

di

masyarakat

akan

gejala

dan

upaya

penanggulangannya, sehingga banyak kasus ISPA yang datang kesarana


pelayanan kesehatan sudah dalam keadaan berat karena kurang mengerti
bagaimana cara serta pencegahan agar tidak mudah terserang penyakit ISPA.
2.1.1.2 Beliefs & Values
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah infeksi saluran pernafasan akut yang
menyerang tenggorokan, hidung dan paru-paru yang berlangsung kurang lebih 14
hari, ISPA mengenai struktur saluran di atas laring, tetapi kebanyakan penyakit ini
mengenai bagian saluran atas dan bawah secara stimulan atau berurutan (Muttaqin,
2008). ISPA adalah penyakit yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari
saluran pernafasan mulai dari hidung hingga alveoli termasuk jaringan adneksanya
seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Nelson, 2003). Jadi disimpulkan
bahwa ISPA adalah suatu tanda dan gejala akut akibat infeksi yang terjadi disetiap
bagian saluran pernafasan atau struktur yang berhubungan dengan pernafasan yang
berlangsung tidak lebih dari 14 hari.
a. Klasifikasi ISPA menurut Depkes RI (2002) adalah :
ISPA ringan
Seseorang yang menderita ISPA ringan apabila ditemukan gejala batuk,
pilek dan sesak.

ISPA sedang

ISPA sedang apabila timbul gejala sesak nafas, suhu tubuh lebih dari 390 C
dan bila bernafas mengeluarkan suara seperti mengorok.

ISPA berat
Gejala meliputi: kesadaran menurun, nadi cepat atau tidak teraba, nafsu
makan menurun, bibir dan ujung nadi membiru (sianosis) dan gelisah

2.1.1.3 History
ISPA merupakan proses inflamasi yang terjadi pada setiap bagian saluran
pernafasan atas maupun bawah, yang meliputi infiltrat peradangan dan edema
mukosa, kongestif vaskuler, bertambahnya sekresi mukus serta perubahan struktur
fungsi siliare (Muttaqin, 2008). Tanda dan gejala ISPA banyak bervariasi antara lain
demam, pusing, malaise (lemas), anoreksia (tidak nafsu makan), vomitus (muntah),
photophobia (takut cahaya), gelisah, batuk, keluar sekret, stridor (suara nafas),
dyspnea (kesakitan bernafas), retraksi suprasternal (adanya tarikan dada), hipoksia
(kurang oksigen), dan dapat berlanjut pada gagal nafas apabila tidak mendapat
pertolongan dan mengakibatkan kematian (Nelson, 2003).
Sedangkan tanda gejala ISPA menurut Depkes RI (2002) adalah :
a. ISPA Ringan
Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu atau lebih
gejala-gejala sebagai berikut:
1) Batuk
2) Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misal pada
waktu berbicara atau menangis).
3) Pilek, yaitu mengeluarkan lender atau ingus dari hidung.
4) Panas atau demam, suhu badan lebih dari 370 C atau jika dahi anak diraba.
b. ISPA Sedang
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala dari ISPA
ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:
1) Pernafasan lebih dari 50 kali per menit pada anak yang berumur kurang dari
satu tahun atau lebih dari 40 kali per menit pada anak yang berumur satu tahun
atau lebih. Cara menghitung pernafasan ialah dengan menghitung jumlah
tarikan nafas dalam satu menit. Untuk menghitung dapat digunakan arloji.
2) Suhu lebih dari 390 C (diukur dengan termometer).
3) Tenggorokan berwarna merah.
4) Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak.
5) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga.
6) Pernafasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur).
7) Pernafasan berbunyi menciut-ciut.
c. ISPA Berat
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai ejala-gejala ISPA
ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:
1) Bibir atau kulit membiru.
2) Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu bernafas.

3) Anak tidak sadar atau kesadaran menurun.


4) Pernafasan berbunyi seperti orang mengorok dan anak tampak gelisah.
5) Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernafas.
6) Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba.
7) Tenggorokan berwarna merah.
2.1.2 Subsistem
2.1.2.1 Physical Environment
2.1.2.2 Keamanan dan Transportasi
Transportasi umum merupakan salah satu yang sangat dibutuhkan oleh
masyarakat karena dapat membantu mereka untuk cepat sampai menuju tempat
tujuan. Tapi nyatanya saat ini semakin banyak pula masyarakat yang menggunakan
kendaraan pribadi untuk pergi ke mana mana. Hal itu disebabkan karena semakin
pelayanan yang di berikan oleh angkutan kota (angkot) sudah tidak seperti yang
diharapkan oleh masyarakat. Fasilitas transportasi yang mudah dan nyaman,
diharapkan memudahkan masyarakat menuju ke tempat pelayanan kesehatan.
Tingginya jumlah pengguna kendaraan pribadi maupun umum dijalanan
pemukiman penduduk, meningkatkan kadar polusi udara di wilayah pemukiman
penduduk tersebut. Kadar polusi di udara yang terlalu tinggi meningkatkan risiko
terjadinya ISPA.
2.1.2.3 Kesehatan dan Pelayanan Sosial
A. Perawatan di Rumah
Beberapa hal yang perlu dikerjakan seorang ibu untuk mengatasi anaknya yang
menderita ISPA.
Mengatasi panas (demam) Untuk anak usia 2 bulan sampai 5 tahun demam
diatasi dengan memberikan parasetamol atau dengan kompres, bayi dibawah
2 bulan dengan demam harus segera dirujuk. Parasetamol diberikan 4 kali
tiap 6 jam untuk waktu 2 hari. Cara pemberiannya, tablet dibagi sesuai
dengan dosisnya, kemudian digerus dan diminumkan. Memberikan kompres,

dengan menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak perlu air es).
Mengatasi batuk
Dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu ramuan tradisional yaitu
jeruk nipis sendok teh dicampur dengan kecap atau madu sendok teh ,

diberikan tiga kali sehari.


Pemberian makanan
Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi berulang-ulang yaitu
lebih sering dari biasanya, lebih-lebih jika muntah. Pemberian ASI pada bayi

yang menyusu tetap diteruskan.


Pemberian minuman

Usahakan pemberian cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih banyak
dari biasanya. Ini akan membantu mengencerkan dahak, kekurangan cairan

akan menambah parah sakit yang diderita.


Lain-lain
Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal dan
rapat, lebih-lebih pada anak dengan demam. Jika pilek, bersihkan hidung
yang berguna untuk mempercepat kesembuhan dan menghindari komplikasi
yang lebih parah. Usahakan lingkungan tempat tinggal yang sehat yaitu yang
berventilasi cukup dan tidak berasap. Apabila selama perawatan dirumah
keadaan anak memburuk maka dianjurkan untuk membawa ke dokter atau
petugas kesehatan. Untuk penderita yang mendapat obat antibiotik, selain
tindakan diatas usahakan agar obat yang diperoleh tersebut diberikan
dengan benar selama 5 hari penuh. Dan untuk penderita yang mendapatkan
antibiotik, usahakan agar setelah 2 hari anak dibawa kembali kepetugas

kesehatan untuk pemeriksaan ulang.


B. Pencegahan dan Pemberantasan
Pencegahan dapat dilakukan dengan :

Menjaga keadaan gizi agar tetap baik.


Immunisasi.
Menjaga kebersihan prorangan dan lingkungan.
Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA.

Pemberantasan yang dilakukan adalah :

Penyuluhan kesehatan yang terutama ditujukan pada para ibu.


Pengelolaan kasus yang disempurnakan.
Immunisasi
Pelaksana Pemberantasan
Tugas pemberatasan penyakit ISPA merupakan tanggung jawab
bersama.

Kepala

Puskesmas

bertanggung

jawab

bagi

keberhasilan

pemberantasan di wilayah kerjanya.


Sebagian besar kematiaan akibat penyakit pneumonia terjadi sebelum
penderita mendapat pengobatan petugas Puskesmas. Karena itu peran serta
aktif masyarakat melalui aktifitas kader akan sangat membantu menemukan
kasus-kasus pneumonia yang perlu mendapat pengobatan antibiotik
(kotrimoksasol) dan kasus-kasus pneumonia berat yang perlusegera dirujuk
ke rumah sakit. Dokter puskesmas mempunyai tugas sebagai berikut :
Membuat rencana aktifitas pemberantasan ISPA sesuai dengan dana

atau sarana dan tenaga yang tersedia.


Melakukan supervisi dan memberikan bimbingan penatalaksanaan
standar kasus-kasus ISPA kepada perawat atau paramedis.

Melakukan pemeriksaan pengobatan kasus- kasus pneumonia


berat/penyakit dengan tanda-tanda bahaya yang dirujuk oleh
perawat/paramedis dan merujuknya ke rumah sakit bila dianggap

perlu.
Memberikan pengobatan kasus pneumonia berat yang tidak bisa

dirujuk ke rumah sakit.


Bersama dengan staff puskesmas memberi kan penyuluhan kepada
ibu-ibu yang mempunyai anak balita. perihal pengenalan tanda-tanda

penyakit pneumonia serta tindakan penunjang di rumah.


Melatih semua petugas kesehatan di wilayah puskesmas yang di beri

wewenang mengobati penderita penyakit ISPA.


Melatih kader untuk bisa, mengenal kasus pneumonia serta dapat

memberikan penyuluhan terhadap ibu-ibu tentang penyaki ISPA.


Memantau aktifitas pemberantasan dan melakukan evaluasi
keberhasilan pemberantasan penyakit ISPA. menditeksi hambatan
yang ada serta menanggulanginya termasuk aktifitas pencatatan dan
pelaporan serta pencapaian target.

Paramedis Puskesmas Puskesmas pembantu


Melakukan penatalaksanaan standar kasus-kasus ISPA sesuai

petunjuk yang ada.


Melakukan konsultasi kepada dokter Puskesmas untuk kasus-kasus
ISPA tertentu seperti pneumoni berat, penderita dengan weezhing dan

stridor.
Bersama dokter atau dibawah, petunjuk dokter melatih kader.
Memberi penyuluhan terutama kepada ibu-ibu.
Melakukan tugas-tugas lain yang diberikan oleh pimpinan Puskesmas
sehubungan dengan pelaksanaan program pemberantasan penyakit
ISPA.

Kader kesehatan
Dilatih untuk bisa membedakan kasus pneumonia (pneumonia berat

dan pneumonia tidak berat) dari kasus-kasus bukan pneumonia.


Memberikan penjelasan dan komunikasi perihal penyakit batuk pilek
biasa (bukan pneumonia) serta penyakit pneumonia kepada ibu-ibu
serta perihal tindakan yang perlu dilakukan oleh ibu yang anaknya

menderita penyakit
Memberikan pengobatan sederhana untuk kasus-kasus batuk pilek
(bukan pneumonia) dengan tablet parasetamol dan obat batuk

tradisional obat batuk putih.


Merujuk kasus pneumonia berat ke Puskesmas/Rumah Sakit terdekat.

Atas pertimbangan dokter Puskesmas maka bagi kader-kader di


daerah-daerah yang terpencil (atau bila cakupan layanan Puskesmas
tidak menjangkau daerah tersebut) dapat diberi wewenang mengobati
kasus-kasus

pneumonia

(tidak

berat)

dengan

antibiotik

kontrimoksasol.
Mencatat kasus yang ditolong dan dirujuk

2.1.2.4 Ekonomi
Biasanya dilihat dari : pertama pendapatan keluarga dan kedua kepemilikan
barang. Meskipun demikian, keduanya mempengaruhi kemampuan keluarga dalam
merawat bayi, bila ditinjau dari aspek finansial. Keadaan ekonomi keluarga lebih
menggambarkan kemampuan keluarga tersebut untuk berupaya mewujudkan
kesejahteraannya termasuk di dalamnya mewujudkan derajat kesehatannya. Sebuah
penelitian telah dilakukan di Filipina, membuktikan bahwa sosial ekonomi orang tua
yang rendah akan meningkatkan risiko ISPA pada anak umur kurang dari 1 tahun
(Tupasi et al, 1988; Deb, 1998). Berdasarkan studi di dunia maju menunjukan suatu
hubungan yang jelas antara satatus ekonomi yang diukur dengan besarnya rumah
tangga, banyaknya kamar dan banyaknya orang yang menghuni kamar dengan
terjadinya infeksi saluran pernafasan. Status ekonomi yang rendah dan kesesakan
rumah meningkatkan frekuensi kejadian ISPA (Moesley, 1984; Singarimbun, 1988;
Biddulph, 1999; Lubis, 2003).
2.1.2.5 Pendidikan
Ibu dengan pendidikan yang baik akan memiliki akses informasi yang lebih
luas sehingga berdampak positif terhadap cara merawat bayi. Kemampuan
merawat bayi oleh seorang ibu ada hubungannya dengan tingkat kemajuan
masyarakat. Itulah sebabnya IMR (Infant Mortality Rate) suatu negara dijadikan
sebagai parameter terhadap kemajuan negara tersebut. Menurut Soekanto (1993),
pendidikan akan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk membuka jalan
pikiran dalam menerima ide-ide atau nilai-nilai baru. Hubungan pendidikan ibu
dengan kejadian ISPA memiliki hubungan yang signifikan (Herrero, 1983;
Sumargono,1989; Sukar et al, 1950).
Peranan pengetahuan ibu terhadap risiko terjadinya ISPA terkait dengan
motivasi seseorang merawat bayinya. Pengetahuan seorang ibu mengenai ISPA
diperoleh dari pengalamannya atau dari informasi yang lain. Dengan pengetahuan
yang dimilikinya, diharapkan dapt dipraktikkan dalam merawat bayinya. Hubungan
antara pengetahuan ibu dan kejadian ISPA memiliki hubungan yang signifiikan
(Rosmayadi, 1984; Sumargono, 1989).

Pandangan seseorang mengenai suatu hal atau objek yang sebelumnya telah
dilihat atau didapatkan informasi merupakan istilah dari sikap (Notoatmodjo,
1993). Sikap yang baik terhadap kesehatan khususnya yang berkaitan dengan
ISPA, diharapkan bias dilaksanakan ibu yang mempunyai bayi dan balita sehingga
dapat mencegah atau mencari pengobatan dengan cepat dan tepat.
2.1.2.6 Politik dan Kebijakan
Program Pemberantasan Penyakit (P2) ISPA membagi penyakit ISPA dalam 2
golongan yaitu pneumonia dan yang bukan pneumonia. Pneumonia dibagi atas
derajat beratnya penyakit yaitu pneumonia berat dan pneumonia tidak berat.
Penyakit batuk pilek seperti rinitis, faringitis, tonsilitis dan penyakit jalan napas
bagian atas lainnya digolongkan sebagai bukan pneumonia. Etiologi dari sebagian
besar penyakit jalan napas bagian atas ini ialah virus dan tidak dibutuhkan terapi
antibiotik. Faringitis oleh kuman Streptococcus jarang ditemukan pada balita. Bila
ditemukan harus diobati dengan antibiotik penisilin, semua radang telinga akut
harus mendapat antibiotik.
Penemuan dini penderita pneumonia dengan penatalaksanaan kasus yang
benar merupakan strategi untuk mencapai dua dari tiga tujuan program (turunnya
kematian karena pneumonia dan turunnya penggunaan antibiotik dan obat batuk
yang kurang tepat pada pengobatan penyakit ISPA).
Pedoman penatalaksanaan kasus ISPA akan memberikan petunjuk standar
pengobatan penyakit ISPA yang akan berdampak mengurangi penggunaan
antibiotik untuk kasus-kasus batuk pilek biasa, serta mengurangi penggunaan obat
batuk yang kurang bermanfaat.
Untuk mencapai tujuan pengendalian pneumonia dan influenza maka
ditetapkan kebijakan operasional sebagai berikut :
1. Advokasi kepada pemangku kepentingan di semua tingkat untuk membangun
komitmendalam pencapaian tujuan pengendalian ISPA.
2. Pengendalian ISPA dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku.
3. Peningkatan penemuan kasus dan tatalaksana pneumonia Balita sesuai
dengan standar di semua fasilitas pelayanan kesehatan.
4. KIE pengendalian ISPA melalui berbagai media sesuai dengan kondisi sosial
dan budaya setempat.
5. Ketersediaan logistik pengendalian ISPA menjadi tanggung jawab pusat dan
daerah.
6. Pengendalian ISPA dilaksanakan melalui kerjasama dan jejaring dengan lintas
program lintas sektor, swasta, perguruan tinggi dan organisasi non pemerintah
baik nasional maupun internasional.

7. Meningkatkan kualitas pelayanan melalui peningkatan kemampuan sumber


daya, pembinaan/supervisi, sistem pemantauan dan evaluasi program serta
sosialisasi dan pemberdayaan masyarakat.
8. Autopsi verbal dilakukan dalam rangka menentukan penyebab kematian Balita.
9. Penyusunan rencana kontinjensi kesiapsiagaan dan respon pandemi influenza
disemua tingkat.
10. Rencana pengendalian pneumonia disusun berbasis bukti (evidence based)
2.1.2.7 Komunikasi
Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang berkumpul dan tinggal
dalam suatu rumah tangga, satu dengan lainnya saling tergantung dan berinteraksi.
Bila salah satu atau beberapa anggota keluarga mempunyai masalah kesehatan,
maka akan berpengaruh terhadap anggota keluarga lainnya. Mengingat ISPA
menular melalui komunikasi secara langsung atau droplet.
2.1.2.8 Rekreasi
Bermain sangatlah penting untuk perkembangan fisik dan psikologis sehingga
anak diberi waktu dan kesempatan untuk bermain dan juga didorong untuk bermain,
tanpa memperdulikan status sosial ekonomi keluarga. Membahas tentang akibat
sosialisasi

bermain,

(Lever)

mengatakan

selama

bermain

anak

dapat

mengembangkan berbagai keterampilan sosial sehingga memungkinkannya untuk


menikmati keanggotaan dengan teman-temannya. (Hurlock, 1990) Setelah masuk
sekolah, jenis permainan mereka sangat beragam. Selain itu mereka merasa tertarik
dengan permainan olahraga, hobi dan dan bentuk permainan matang lainnya
(Hurlock, 1990). Pada masa ini, anak mudah sekali terkena penyakit infeksi saluran
pernapasan akut akibat buruknya sanitasi, keamanan pangan dan hygiene
perorangan, dan paparan dari patogen yang ada.

Anda mungkin juga menyukai