Anda di halaman 1dari 29

1

REFERAT
SINDROM NEUROLEPTIK MALIGNA

PEMBIMBING:
dr. Mintarti, Sp.S
dr. Dyah, Sp.S
PENULIS:
Teresa Shinta P
030.09.252
Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf
RSUD Kota Semarang
Periode 9 Juli 2014 16 Agustus 2014
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

BAB I
PENDAHULUAN
Pengenalan obat antipsikotik di pertengahan 1950-an merevolusi pengobatan
skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya. Efek samping obat anti-psikosis sangat
penting kita ketahui, mengingat penggunaan obat ini mungkin dapat diberikan dalam
jangka panjang. 1
Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) adalah suatu sindrom yang terjadi
akibat komplikasi serius dari penggunaan obat anti psikotik. Karakteristik dari
Sindrom Neuroleptik Maligna adalah hipertermi, rigiditas, disregulasi otonom dan
perubahan kesadaran.
Morbiditas dan mortalitas pada Sindrom Neuroleptik Maligna terjadi akibat dari
komplikasi kardio, pulmo dan ginjal. Frekuensi Sindrom Neuroleptik Maligna secara
internasional bersamaan dengan penggunaan antipsikotik, khususnya neuroleptik.
Dari yang data dikumpulkan kejadian Sindrom Neuroleptik Maligna berkisar antara
0,2% - 3,2% dari pasien jiwa pada rawat inap yang menerima antipsikotik, namun
karena adanya kesadaran sebagai dokter terhadap pengetahuan tentang Sindrom
Neuroleptik Maligna ini, kejadian telah menurun menjadi sekitar 0,01% - 0,02%
pada pasien gangguan jiwa yang diobati dengan antipsikotik.
Pentingnya deteksi awal dan penegakan diagnosis yang cepat pada Sindrom
Neuroleptik Maligna karena komplikasi dari keadaan ini adalah kematian. Kematian

telah menurun dari laporan awal pada tahun 1960 dari 76% menjadi diperkirakan
antara 10 dan 20%.2,3,4
Sindrom Neuroleptik Maligna masih berpotensi mengancam kehidupan
apabila masih kurangnya kesadaran mengenai sindrom ini. Dibutuhkan kecurigaan
klinis yang tinggi untuk diagnosis dan pengobatan pada Sindrom Neuroleptik
Maligna. Sindrom Neuroleptik Maligna lebih sering dianggap sindrom daripada
diagnosis, sehingga referat ini dibuat untuk meningkatkan kesadaran diagnosis dan
manajemen reaksi obat secara serius.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Sindrom Neuroleptik Maligna merupakan komplikasi yang mengancam jiwa
yang dapat terjadi kapan saja selama pengobatan antipsikotik. Gejala motorik dan
gejala perilaku meliputi kekakuan otot, distonia, akinesia, bisu, dan agitasi. Gejala
otonom termasuk demam tinggi, berkeringat, dan peningkatan denyut nadi serta
tekanan darah. Hasil laboratorium yang bermakna meliputi peningkatan jumlah sel
darah putih, meningkatkan kadar kreatinin phosphokinase, enzim hati, mioglobin
plasma, dan myoglobinuria, kadang-kadang dikaitkan dengan gagal ginjal.5
DSM IV mendefiniskan sebagai gangguan rigiditas otot berat, peningkatan
temperatur dan gejala lainnya yang terkait (misalnya diaphoresis, disfagia,
inkontinensia, perubahan tingkat kesadaran dari konfusi sampai dengan koma,
mutisme, tekanan darah meningkat atau tidak stabil, peningkatan kreatin
phosphokinase (CPK) yang berkaitan dengan pengunaan pengobatan antipsikotik.5
Semua antipsikotik dianggap bertanggung jawab untuk menyebabkan
Sindrom Neuroleptik Maligna. Meskipun antipsikotik (Haloperidol, Fluphenazin)
lebih sering menyebabkan Sindrom Neuroleptik Maligna, semua obat anti psikotik
tipikal maupun atipikal dapat menyebabkan sindrom ini. Obat-obatan tersebut adalah
Prochlorperazine (Compazine), Promethazine (Phenergan), Clozapine (Clozaril), dan

Risperidone (Risperdal). Selain itu obat-obat non antipsikotik yang dapat memblok
dopamin dapat menyebabkan Sindrom Neuroleptik Maligna juga, obat-obat tersebut
adalah Metoclopramide, Amoxapine, and Lithium.6
2.2. Epidemiologi
Pria lebih sering terkena daripada wanita, dan pasien muda lebih sering
terkena daripada pasien lansia. Angka kematian bisa mencapai 10% - 20% atau
bahkan lebih tinggi ketika obat antipsikotik terlibat. Prevalensi sindrom diperkirakan
0,02% - 2,4% pada pasien yang menggunakan obat golongan Dopamin antagonis.
Laki-laki dewasa muda, anak-anak, dan remaja beresiko untuk Sindrom Neuroleptik
Maligna.1,5
Insiden untuk sindrom Sindrom Neuroleptik Maligna berkisar 0,02% - 3% di
antara pasien yang memakai agen antipsikotik. Survei terpusat melaporkan frekuensi
3 kasus Sindrom Neuroleptik Maligna (0,24%) dari 1.250 pasien yang menerima
Clozapine, dan Williams dan MacPherson memperkirakan kejadian dari Sindrom
Neuroleptik Maligna menjadi (0,10%) pada 9.000 pasien yang diobati Clozapine.
Dalam percobaan pra-pemasaran, produsen Quetiapine melaporkan 2 kasus mungkin
Sindrom Neuroleptik Maligna (0,08%) pada 2.387 pasien. Angka-angka yang hampir
sama pada kejadian Sindrom Neuroleptik Maligna diperkirakan terjadi antara
populasi pasien dengan gangguan jiwa. Perbedaan mungkin terjadi dalam populasi

sampel, antara pasien rawat inap dibandingkan rawat jalan, serta perbedaan dalam
metode pengawasan dan definisi penyakit digunakan.1,7
2.3. Etiologi
1.

Semua kelas anti psikotik dapat menimbulkan Sindrom Neuroleptik

Maligna baik itu neuroleptik potensi rendah, neuroleptik potensi tinggi


maupun antipsikotik atipikal. Sindrom Neuroleptik Maligna sering terjadi
pada pasien yang mengkonsumsi Haloperidol dan Chlorpromazine.
2.
Penggunaan obat antipsikotik dosis tinggi (terutama neuroleptic
potensi tinggi), antipsikotik aksi cepat dengan dosis tinggi dan penggunaan
antipsikotik injeksi long acting.
3.
Faktor lain berhubungan dengan farmakoterapi. Penggunaan
neuroleptik yang tidak konsisten dan penggunaaan obat psikotropik lainnya,
terutama lithium, dan juga terapi kejang
2.4. Faktor Resiko
A. Usia, jenis kelamin bukan merupakan faktor risiko yang bermakna bagi
Sindrom Neuroleptik Maligna. Studi melaporkan Sindrom Neuroleptik
Maligna ditemukan lebih banyak pada pria daripada wanita meskipun
Sindrom Neuroleptik Maligna dilaporkan sering terjadi pada dewasa muda
dan setengah baya yang menggunakan dosis tinggi antipsikotik. Usia rata-rata
pasien dengan Sindrom Neuroleptik Maligna diperkirakan sekitar 40 tahun.1

B. Faktor psikologi yang menjadi faktor predisposisi terhadap Sindrom


Neuroleptik Maligna adalah kondisi panas dan lembab, agitasi, dehidrasi,
kelelahan dan malnutrisi.1
C. Pada studi kasus-kontrol juga menunjukkan bahwa kondisi tertentu dari
gangguan kejiwaan (Skizofrenia), akut katatonia, dan agitasi ekstrim pada
pasien menyebabkan terjadinya Sindrom Neuroleptik Maligna.1,9
D. Penggunaan antipsikotik potensi tinggi, dosis tinggi, dosis antipsikotik di
naikan dengan cepat, penggunaan antipsikotik injeksi. Beberapa studi
termasuk studi kontrol tentang faktor risiko, telah mendukung kemungkinan
bahwa dosis tinggi pada antipsikotik dan diberikan pada tingkat yang cepat,
terutama dalam bentuk parenteral, mungkin terkait dengan peningkatan risiko
Sindrom Neuroleptik Maligna.1,8
E. Faktor lain yang berpotensial untuk Sindrom Neuroleptik Maligna mungkin
berhubungan dengan pergantian obat, penghentian, atau mengulang
pengobatan antipsikotik .1,8
F. Pasien dengan riwayat episode Sindrom Neuroleptik Maligna sebelumnya
berisiko menjadi rekuren. Resiko rekurensi tersebut berhubungan dengan
jarak waktu antara episode Sindrom Neuroleptik Maligna dan penggunaan
antipsikotik. Apabila pasien diberikan anti psikotik dalam 2 minggu episode
Sindrom Neuroleptik Maligna 63% akan terjadi rekurensi. Jika lebih dari 2
minggu, persentasenya hanya 30% .8
2.5. Patofisiologi

Sesuai dengan istilahnya, Sindrom Neuroleptik Maligna berkaitan dengan pemberian


pengobatan neuroleptik. Mekanisme pastinya belum diketahui, tetapi terdapat
hipotesis yang menyatakan bahwa defisiensi dopamin atau blokade dopamin yang
menyebabkan SNM. Pengurangan aktivitas dopamin di area otak (hipothalamus,
sistem nigrostartial, traktus kortikolimbik) dapat menerangkan terjadinya gejala klinis
SNM.(3,8)
Pengurangan dopamin di hipothalamus dapat menyebabkan terjadinya peningkatan
pengaturan

suhu

sehingga

terjadi

demam

dan

juga

dapat

menyebabkan

ketidakstabilan saraf otonom. Di sistem nigrostratial dapat menyebabkan rigiditas, di


sistem traktus kortiko limbik dapat menyebabkan perubahan kesadaran. Perubahan
status mental disebabkan karena blokade reseptor dopamin di sistem nigrostartial dan

mesokortikal.(3,8)

10

2.6. Gambaran Klinis


2.6.1. Klinis
16% dari pasien dengan pengobatan antipsikotik dapat muncul tanda-tanda
Sindrom Neuroleptik Maligna dalam waktu 24 jam, 66% dalam 1 minggu dan 96%
dalam waktu 30 hari. Tanda-tanda Sindrom Neuroleptik Maligna juga dapat terjadi
dalam hitungan jam setelah pemberian antipsikotik.1
2.6. Gejala

11

Gejala khas dari Sindrom Neuroleptik Maligna adalah kekakuan otot dan
kenaikan suhu (lebih dari 38 C) pada pasien dengan penggunaan obat antipsikotik.

Perubahan status mental merupakan gejala awal pada 82% pasien. Hal ini
terjadi mengingat komorbiditas yang khas pada pasien psikiatri yaitu delirium,
gelisah pada psikosis. Tanda-tanda katatonik dan bisu dapat menonjol.1,7,12

Meningkatnya kekakuan otot dapat ditunjukkan dengan adanya gerakan kaki


dan ditandai dengan Lead pipe" yaitu kekakuan seperti pipa atau perlawanan
terhadap semua rentang gerakan. Gejala motorik lainnya termasuk tremor dan
fenomena cogwheel serta dystonia, opisthotonus, trismus, chorea, dan
dyskinesias. Sialorrhea, dysarthria, dan disfagia juga dapat terjadi.1,5,9

Hipertermia pada Sindrom Neuroleptik Maligna terjadi karena adanya


hambatan pada pusat dopaminergic, akibat induksi antipsikotik yang
meningkatkan termoregulasi yang memediasi kehilangan panas dan
meningkatkan produksi panas yang berasal dari efek antipsikotik pada otot
skeletal dan metabolisme. Hipertermia berhubungan dengan keringat yang
banyak terjadi pada 98% , Ciri yang khas adalah suhu dapat lebih dari 38 C,
namun temperatur yang lebih tinggi, lebih besar dari 40 C, dapat pula terjadi.
Hipertermia yang ekstrim mungkin menjadi faktor predisposisi untuk
terjadinya komplikasi, termasuk kerusakan otak ireversibel jika tidak
diturunkan segera.1,5,9

12

Ketidakstabilan otonom biasanya menyebabkan takikardia (88 %), atau


tekanan darah tinggi (61-77%), dan takipnea (73 %), disritmia juga dapat
terjadi.1,5,9.

Tanda-tanda klinis dari sindrom Neuroleptik maligna

Hipertermia
Kekakuan Otot
Lead pape, plastic, cogwheel
Disfungsi otonom:
o Pernapasan - tachypena, dyspnea
o Kardiovaskular - aritmia, takikardia, tekanan darah yang tidak stabil,
hipotensi, hipertensi
o Lain-lain ; diaphoresis, pucat, kemerahan pada kulit, inkontinensia,

dysuria
Perubahan status mental :
o Agitasi, lesu, kebisuan, kebingungan, delirium, katatonia, pingsan,
koma
Gangguan gerak:
o Akinesia, bradikinesia, tremor, distonia, chorea, mioklonus
Tanda-tanda neurologis lainnya:
o Kejang, ataksia, nistagmus, tatapan paresis, mata berkibar, perubahan
refleks, Babinski positif
Tanda atau gejala tersebut dapat terjadi pada dosis tunggal antipsikotik

(Phenotiazine, Thioxanthene, atau antipsikotikal atipikal), biasanya berkembang


dalam 4 minggu pertama setelah dimulainya pengobatan dengan antipsikotik.
Sindrom Neuroleptik Maligna sebagian besar berkembang dalam 24-72 jam setelah
pemberian obat atau perubahan dosis (biasanya dosis ditingkatkan). Tetapi yang lebih

13

umum, Sindrom Neuroleptik Maligna berkembang secara diam-diam selama


beberapa hari dan didahului oleh tanda-tanda neurologis dan tanda-tanda otonom
yang sukar disembuhkan dengan tindakan konvensional. Sindroma Neuroleptik
maligna dapat menunjukkan gambaran klinis yang luas dari yang ringan sampai
dengan yang berat.1,13
2.6.3. Kasus atipikal
Ada perdebatan dalam literatur tentang kasus ringan atau atipikal Sindrom
Neuroleptik Maligna. Hal terjadi pada kasus-kasus ringan, yang berhubungan dengan
agen potensi yang lebih rendah, atau pasien yang didiagnosis sejak dini. Secara
khusus, kekakuan mungkin lebih ringan dan bahkan mungkin tidak ada. Walau
banyak yang menganggap demam menjadi fitur penting dari diagnosis, tetapi ada
kasus yang dilaporkan tidak terjadi demam. Rumitnya masalah ini adalah bahwa pada
kenyataannya gejala hipertermia, kekakuan Parkinsonian, dan hasil creatine kinase
(CK) semua meningkat dengan terapi antipsikotik. Namun terkadang tidak selalu
muncul menjadi pertanda Sindrom Neuroleptik Maligna.1,9,11
2.7. Pemeriksaan Laboratorium
Serum CK - Temuan laboratorium seringkali mencerminkan manifestasi
klinis Sindrom Neuroleptik Maligna dengan kekakuan yang lebih parah yang
mengarah ke elevasi creatine kinase (CK). Dalam Sindrom Neuroleptik
Maligna, kenaikan CK biasanya lebih dari 1000 IU /L dan dapat setinggi

14

100.000 IU/L . CPK elevasi pada Sindrom Neuroleptik Maligna mungkin


terjadi pada sampai 95% kasus, dan dapat mencapai 2.000 kali dari nilai
normal dalam beberapa kasus. Tingkat CK lebih besar dari 1000 IU/L, sangat
mungkin spesifik untuk Sindrom Neuroleptik Maligna, dan tingkat elevasi CK
berkorelasi dengan keparahan penyakit, prognosis dan risiko gagal ginjal.1,5,9,10
Kelainan laboratorium lainnya biasanya umum terjadi namun spesifik.
Leukositosis, dengan jumlah sel darah putih biasanya 10.000 sampai 40.000/
mm3.1,10
Peningkatan ringan dari laktat dehidrogenase, alkaline phosphatase, dan
transaminase hati.1,10
Kelainan elektrolit : hipokalsemia, hipomagnesemia, hipo dan hipernatremia,
hiperkalemia, dan asidosis metabolik.1,10
Myoglobinuric gagal ginjal akut dapat hasil dari rhabdomyolysis.1,9,10
Kadar besi serum yang rendah (rata-rata 5,71 umol/L; biasa 11-32 umol/
L) yang sering terlihat pada pasien Sindrom Neuroleptik Maligna dan
merupakan hasil lab yang sensitif (92-100%) tetapi bukan tanda yang spesifik
untuk Sindrom Neuroleptik Maligna pada pasien ganguan jiwan akut.1,9,10
2.8. Diagnosis

15

Berdasarkan gejala klinis tersebut, Sindrom Neuroleptik Maligna seharusnya


menjadi diagnosis banding pada pasien demam dengan pengobatan neuroleptik.
Sebelum diagnosis Sindrom Neuroleptik Maligna ditegakkan, semua kemungkinan
penyebab kenaikan suhu harus disingkirkan, dan demam harus disertai dengan gejala
klinis lain seperti rigiditas otot, perubahan status mental dan ketidakstabilan otonom.
Konsensus untuk diagnosis sindrom neuroleptik maligna tidak ada. Salah satu
kriteria berasal dari DSM IV-TR. Kriteria tersebut mencakup hiperpireksia dan
rigiditas otot, dengan satu atau lebih tanda-tanda penting seperti ketidak stabilan
otonom, perubahan sensorik, peningkatan kadar CK dan myoglobinuria.
Kriteria Diagnostik dan Riset untuk Sindrom Neuroleptik Maligna
Rigiditas otot yang parah, peningkatan temperatur tubuh, dan temuan lain yang
berhubungan (misalnya, diaforesis, disfagia, inkontinensia, perubahan tingkat
kesadaran mulai dari konfusi sampai koma, mutisme, peningkatan atau tekanan darah
labil, peningkatan kreatini fosfokinase (CPK) yang berkembang berhubungan dengan
pemakaian medikasi neuroleptik.
A.

Perkembangan rigiditas otot yang parah dan peningkatan temperatur yang

berhubungan dengan pemakaian medikasi neuroleptik


B.

Dua (atau lebih) berikut:

1)

Diaforesis

16

2)

Disfagia

3)

Tremor

4)

Inkontinensia

5)

Perubahan tingkat kesadaran mulai dari konfusi sampai koma

6)

Mutisme

7)

Takikardia

8)

Peningkatan atau takenan darah labil

9)

Lekositosis

10)

Tanda-tanda laboratorium kerusakan otot (misalnya, peninggian CPK)

C.

Gejala dalam kriteria A dan B bukan karna zat lain (misalnya, phenicyclidine)

atau suatu kondisi neurologis atau medis umum lain (misalnya, ensefalitis virus).
D.

Gejala dalam kriteria A dan B tidak diterangkan lebih baik oleh suatu

gangguan mental (misalnya, gangguan mood dengan ciri katatonik).


Kriteria Levensons untuk diagnosis Sindrom Neuroleptik Maligna.
Kriteria Major
Demam

17

Rigiditas
Peningkatan Ckreatin Kinase (CK)
Kriteria Minor
Takikardi
Tekanan darah abnormal
Kesadaran Berubah
Diaphoresis
Lekositosis
* 3 kriteria major, atau 2 kriteria major and 4 kriteria minor, yang diperlukan untuk
diagnosis

2.9. Diagnosis Banding


1.

Syndrome Serotonin

18

Sindrom serotonin adalah suatu keadaan yang berpotensi mengancam jiwa yang
berhubungan dengan peningkatan aktivitas serotogenik pada reseptor Sistem Saraf
Pusat dan reseptor serotogenik perifer. Dapat terjadi akibat adanya kombinasi obatobat yang dapat meningkatan neurotransmisi serotogenik (dua obat serotogenik).
Dapat terjadi juga setelah pemberian obat serotogenik atau peningkatan dosis obat
serotogenik. Pada orang-orang yang sensitive terhadap serotonin. Sindrom serotonin
sangat mirip SNM. Untuk membedakannya dengan menggali riwayat pengobatan
dengan perhatian pada perubahan dosis dan tidak adanya rigiditas berat.
2.

Hipertermia Maligna
Hipertermia Maligna adalah gangguan miopati dengan beberapa variasi (bentuk

dominan dan resesif autosomal dilaporkan). Hal ini biasanya terjadi segera setelah
terpapar, terhalogenasi agen anestesi inhalasi dan depolarisasi relaksan otot, seperti
suksinilkolin Dalam beberapa menit paparan, gejala hiperpireksia, kaku otot, dan ada
kenaikan kadar CK dan myoglobinurea. Gangguan tersebut juga dirasakan menjadi
penyakit sistem saraf perifer yang dihasilkan dar kelainan membran otot. MH sering
terjadi pada pasienyang memiliki gangguan miopati lain seperti distrofi otot,
myotonic,distrofi, dan miopati kongenital. Selain itu adanya riwayat keluarga terkait
HM pada saat anestesi dan mungkin kematian.
3.

Malignant Katatonia

19

Diferensial diagnosis Sindrom Neuroleptik Maligna yang sering adalah keganasan


katatonia. Gejala klinis hipertermia dan kekakuan ada dalam sindrom ini, biasanya
ada gejala prodromal dari perilaku dalam beberapa minggu yang ditandai dengan
psikosis, agitasi, dan kegembiraan katatonik. Gejala motorik juga ditandai dengan
fenomena yang lebih positif (sikap dystonia, fleksibilitas lilin, dan gerakan berulang
stereotip) yang juga ada dijelaskan dalam Sindrom Neuroleptik Maligna. Nilai
laboratorium biasanya normal. Kedua gangguan ini bisa sulit untuk dibedakan secara
klinis.
4.

Sindrom Obat lain yang berhubungan

Intoksikasi akut dengan obat narkoba, terutama kokain dan ekstasi (3,4methylenedioxymethamphetamine MDMA), bisa membingungkan dengan Sindrom
Neuroleptik Maligna. Obat-obatan ini sangat berpengaruh terhadap sistem saraf pusat,
agen ini menarik pelaku karena menghasilkan kewaspadaan, energi, dan euforia,
namun efek yang sama juga dapat bermanifestasi sebagai psikomotor agitasi,
delirium, dan bahkan psikosis. Hipertermia dan rhabdomyolysis dapat terjadi,
biasanya berkaitan dengan peningkatan aktivitas fisik dan suhu lingkungan.
Kekakuan tidak umum dalam kasus ini. Penggunaan MDMA juga dapat
menyebabkan sindrom serotonin. Sindrom ini dibahas secara rinci dan terpisah.

5.

Gangguan yang tidak berhubungan

20

Alternatif neurologis dan gangguan medis harus dipertimbangkan. Gejala klinis


gangguan ini dapat tumpang tindih dengan SNM, khususnya pada pasien yang
memiliki efek samping ekstrapiramidal dengan penggunaan antipsikotik secara
bersamaan. Diagnosa ini memiliki prognosis yang serius dan implikasi dalam
pengobatan dan tidak boleh diabaikan:

Infeksi sistem saraf pusat (misalnya, meningitis, ensefalitis)

Infeksi sistemik (misalnya, pneumonia, sepsis)

Kejang

Hidrosefalus akut

Cedera tulang belakang akut

Panas stroke (antipsikotik predisposisi panas stroke termoregulasi )

Akut distonia

Tetanus

Central sistem saraf vaskulitis

Tirotoksikosis

Pheochromocytoma

21

Intoksikasi obat, toksisitas (misalnya, phencyclidine, ekstasi, kokain,

amfetamin, lithium)

Porfiria akut

2.10. Penatalaksanaan
A. Terapi suportif
Penatalaksaan yang paling penting adalah menghentikan semua antipsikotik
dan melakukan terapi suportif. Pada sebagian besar kasus, gejala akan mereda
dalam 1-2 minggu. Sindrom Neuroleptik Maligna yang disebabkan oleh depot
injeksi anti psikotik long action dapat bertahan selama sebulan. Terapi suportif
bertujuan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut dan memelihara fungsi
organ.Sifat intensif pemantauan diperlukan dan terapi suportif yang sedemikian
rupa sehingga masuk ke unit perawatan intensif diperlukan. Pengobatan suportif
berikut harus disediakan:1,5,9,10

Hentikan agen antipsikotik atau obat pencetus.

Menjaga stabilitas kardiorespirasi. Mekanisme ventilasi, agen anti aritmia,


atau alat pacu jantung mungkin diperlukan.

Mempertahankan keadaan euvolemic menggunakan cairan infus. Kehilangan


cairan

insensible

dari

demam

dan

dari

diaforesis

juga

harus

dipertimbangkan. Jika CK sangat tinggi, volume cairan infus yang tinggi

22

dengan alkalinisasi urin dapat membantu mencegah atau mengurangi gagal


ginjal dari rhabdomyolysis.

Penggunaan asetaminofen atau aspirin mungkin memiliki peran dalam


menurunkan suhu dalam Sindrom Neuroleptik Maligna.

Meresepkan heparin untuk pencegahan trombosis vena

Gunakan Benzodiazepin (misalnya, Clonazepam , Lorazepam 0,5-1,0 mg)


untuk mengontrol agitasi, jika perlu.

B. Terapi farmakologik
Rekomendasi untuk perawatan medis tertentu dalam Sindrom Neuroleptik
Maligna didasarkan pada laporan kasus dan pengalaman klinis, bukan pada data
dari uji klinis. Keberhasilan pengobatan masih tidak jelas dan masih
diperdebatkan. Agen yang umum digunakan adalah Dantrolene, Bromocriptine,
dan Amantadine .1,5,9,10

Dantrolene adalah relaksan otot yang efektif dalam mengobati hipertermia


ganas. Dosis 1 sampai 2,5 mg/kg, iv biasanya digunakan pada orang dewasa
dan dapat diulang dengan dosis maksimal 10 mg/kg/hari. Efeknya berupa
pengurangan produksi panas serta kekakuan. Efeknya dilaporkan muncul
dalam beberapa menit setelah pemberian obat. Efek samping yang terkait
adalah hepatotoksisitas dan Dantrolene harus dihindari jika hasil tes fungsi

23

hati abnormal. Sementara beberapa merekomendasikan penghentian setelah


beberapa hari, ada pendapat lain yang menyarankan terus selama 10 hari.

Bromocriptine

merupakan

agonis

dopamin,

yang

berfungsi

untuk

mengembalikan dopaminergik yang hilang. Obat ini dapat ditoleransi dengan


baik pada pasien psikotik. Dosis 2,5mg (melalui selang nasogastrik) setiap 6
-8 jam yang dititrasi sampai dosis maksimum 40 mg/hari. Disarankan bahwa
penggunaan obat ini dilanjutkan selama 10 hari setelah Sindrom Neuroleptik
Maligna dikendalikan dan kemudian ditappering secara perlahan.

Amantadine memiliki efek dopaminergik dan antikolinergik dan digunakan


sebagai alternatif untuk Bromocriptine. Dosis awal adalah 100 mg per oral
atau melalui NGT dan dititrasi ke atas yang diperlukan untuk dosis maksimum
200 mg setiap 12 jam.

Obat lain yang digunakan adalah Levodopa, Apomorphine, Carbamazepine,


dan Benzodiazepin ( Lorazepam atau Klonazepam).

2.12

. KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling umum adalah rhabdomiolisis sebagai akibat dari
rigiditas otot terus menerus dan akhirnya terjadi kerusakan otot. Komplikasi
lainnya gagal ginjal, pneumonia aspirasi, emboli pulmo, edema pulmo, sindrom
distress respirasi, sepsis, diseminated intravascular coagulation, seizure, infark
miocardial.(7)

24

Menghindari antipsikotik dapat menyebabkan komplikasi karena dapat


menyebabkan psikotik yang tidak terkontrol. Sebagian besar pasien dengan
pengobatan anti psikotik karena menderita gangguan psikiatri berat atau persiten,
kemungkinan relaps tinggi jika anti pskotik di hentikan.(1)
2.12. Prognosis
Perbaikan gejala dapat terjadi dalam waktu dua minggu. Dilaporkan waktu
penyembuhan rata-rata adalah 7 sampai 11 hari. Beberapa laporan kasus gejala
bisa bertahan selama enam bulan dengan sisa katatonia dan tanda-tanda motorik.
Beberapa pasien sembuh tanpa gejala sisa neurologis kecuali jika ada hipoksia
berat atau suhu terlalu tinggi untuk jangka waktu yang lama.1,9,10
Keparahan penyakit dan terjadinya komplikasi medis adalah prediktor terkuat
kematian. Peninjauan sistematis mengungkapkan, kematian meningkat pada
pasien dengan myoglobinuria dan gagal ginjal dibandingkan dengan. Pasien
dengan penyakit otak organik termasuk pengguna alkohol dan kecanduan obat
memiliki angka kematian dari 38,5%. 4,9,10
Pasien dengan Sindrom Neuroleptik Maligna dapat kembali terjadi rekurensi.
Resiko terjadinya rekurensi berhubungan antara jeda waktu Sindrom Neuroleptik
Maligna dan dimulainya kembali pengobatan antipsikotik. 1,9,10

Tunggu setidaknya dua minggu sebelum melanjutkan terapi, waktu yang lebih
lama dilakukan jika adanya residual klinis.

25

Gunakan agen potensi yang lebih rendah daripada yang lebih tinggi.

Mulailah dengan dosis rendah dan titrasi ke atas perlahan-lahan.

Menghindari dehidrasi.

Hati-hati memantau gejala Sindrom Neuroleptik Maligna.

2.13.

PENCEGAHAN(8)
Pencegahan merupakan bagian penting dalam menghindari terjadinya sindrom

ini. Dosis terendah neuroleptik dianjurkan, dengan memonitor onset efek


samping ekstra piramidal. Deteksi awal dan memberikan terapi untuk
mengeliminasi efek samping ekstrapiramidal, terutama rigiditas otot dapat
mencegah perkembangan lebih lanjut Sindroma Neuroleptik Maligna dan
komplikasinya.

26

BAB III
KESIMPULAN
Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) adalah suatu sindrom yang terjadi akibat
komplikasi serius dari penggunaan obat anti psikotik yang memiliki karekteristik
seperti hipertermi, rigiditas, disregulasi otonom dan perubahan kesadaran. Faktor
resiko dari Sindrom Neuroleptik Maligna antara lain : faktor lingkungan dan
psikologi, faktor genetik, pasien dengan riwayat episode Sindrom Neuroleptik
Maligna sebelumnya berisiko untuk rekuren, sindrom otak organik, gangguan mental
non skizophrenia, penggunaan lithium, riwayat ECT, penggunaan neuroleptik tidak
teratur, penggunaan neuroleptik potensi tinggi, neuroleptik dosis tinggi, dosis
neuroleptik di naikan dengan cepat, penggunaan neuroleptik injeksi. Gejalanya yaitu:
Gejala disregulasi otonom mencakup demam, diaphoresis, tachipnea, takikardi dan
tekanan darah meningkat atau labil. Gejala ekstrapiramidal meliputi rigiditas,
disfagia, tremor pada waktu tidur, distonia dan diskinesia. Penatalaksaan yang paling
penting adalah menghentikan semua anti psikotik dan terapi suportif. Terapi
farmakologik masih dalam perdebatan. Agonis dopamin seperti bromokriptin dan
amantadin diperkirakan berguna untuk mengobati Sindrom Neuroleptik Maligna
berdasarkan hipotesis defisiensi dopamin. Komplikasi yang paling umum adalah
rhabdomiolisis sebagai akibat dari rigiditas otot terus menerus dan akhirnya terjadi
kerusakan otot. Mortalitas sekitar 10-20%, sebagian besar pada pasien dengan
nekrosis berat otot yang menjadi rhabdomiolisis.

27

DAFTAR PUSTAKA
1.

Stanley N. Caroff, M.D, Stephan C. Mann, M.D, Paul E. Keck. Jr,. M.D,
Athur Lazarus, M.D., M.B.A. Neuroleptic Malignant Syndrome and
Related Conditions. 2ndedition : American Psychiatric Publishing, Inc;
2003.

2.

Brian D. Breman. Neuroleptic Malignant Syndrome : A Review for


Neurohospitalists.

2011.

Tersedia

dari:

http://nho.sagepub.com/content/1/1/41.
3.

Dallas P. Seitz, M.D, Sudeep S. Gill, M.SC., M.D., FRCPC. Neuroleptic


Malignant Syndrome Complicating Antipsychotic Treatment of Delirium
or Agitation in Medical and Surgical Patients: Case Reports and A
Review of the Literature: A Review Article. 2009. Tersedia dari :
http://psy.psychiatryonline.org

4.

Shalev A, Hermesh H, Munitz H. Mortality from neuroleptic malignant


syndrome. J Clin Psychiatry 1989; 50:18.

5.

Sadock BJ, Sadock VA.Kaplan & Sadocks Comprehensif Textbook of


Psychiatry. 10th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2007.

6.

Benzer, Theodore, Neuroleptic Malignan Syndrome, 2005. Tersedia


dari :http://www.emedicine.com.

7.

Velamoor VR. Neuroleptic malignant syndrome. Recognition, prevention


andmanagement. Drug Saf 1998; 19:73.

8.

David M. Gardner, Michael D. Teehan. Antipsychotic and Their Side


Effect. Cambridge Medicine. 2011.

28

9.

Eclo FM Wijdicks, M.D, Michael JA, M.D, Janet L, M.D. Neuroleptic


Malignat

Syndrome.

20013.

Tersedia

dari :http://www.update.com/content/neuroleptic.
10. Stewart A. Factor, DO, Anthony E. Lang, M.D, William J. Weiner, M.D.
Drug Induced Movement Disorders, 2nd edition. 2005 by Blackwell
Publishing.
11. Jeffrey R. Strawn, M.D, Paul E. Keck, Jr., M.D, Stanley N. Caroff, M.D.
Neuroleptic Malignant Syndrome. Am J Psychiatry. 2007.
12. Koch M, Chandragiri S, Rizvi S, et al. Catatonic signs in neuroleptic
malignant syndrome. Compr Psychiatry 2000; 41:73.
13. Hal, RCW., Chopman, M., 2006, Neuroleptic Malignant Syndrome in the
Elderly: Diagnostic Criteria, Incidence, Risk Factors, Pathophysiology,
and Treatment, Clinical geriatry Vol 14 No. 5, John Hopskins Medicine.
14. America Psychiatry Association, Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disoder, Fourht Edition (DSM-IV). Washington DC; 1994.

29

Anda mungkin juga menyukai