Anda di halaman 1dari 21

Paper Neurologi

Sindroma Guillain-Barr (SGB)

Oleh:
Muhammad Luthfi
120100145

Pembimbing
dr. Alfansuri Kadri, Sp.S

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN NEUROLOGI
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala Rahmat-Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Penulisan makalah ini adalah
salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program
Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Neurologi, Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
Tidak lupa penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada
pembimbing, dr. Alfansuri Kadri, Sp.S yang telah meluangkan waktunya untuk
membimbing penulis dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena ini penulis dengan
tangan terbuka menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar dapat
memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata penulis berharap semoga makalah ilmiah tentang Sindroma
Guillain-Barre (SGB) ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap
pembaca.

Medan, 18 April 2016


Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
Kata
Pengantar

..........................................................................................................i

Daftar

Isi

..................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang

......................................................................................1

1.2. Tujuan ...................................................................................................2


1.3. Manfaat .................................................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Etiologi

dan
.............................................................................3

2.2. Epidemiologi ........................................................................................4


2.3. Klasifikasi .............................................................................................4
2.4.
Patofisiologi
2.5. Gejala
Diagnosa

..........................................................................................6
Klinis

dan

Kriteria

......................................................7

2.6. Diagnosis
Banding

..............................................................................10

2.7. Penatalaksanaan ..................................................................................11


2.8. Komplikasi dan Prognosis ..................................................................14

BAB

KESIMPULAN

........................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................17

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Sindroma Guillain-Barre

(SGB)

adalah

polineuropati

demielinasi

inflamatorik akut (acute inflammatory demyelinating polyneuropathy/AIDP),


suatu penyakit autoimun yang menyerang sistem saraf perifer dan biasanya dipicu
oleh suatu proses infeksi akut. SGB adalah kelainan inflamasi dari saraf tepi.
Sistem saraf tepi membawa informasi sensorik (mis., nyeri, suhu) dari bagian
perifer ke otak dan motorik (mis., pergerakan) dari otak ke bagian perifer. SGB
memiliki karakteristik kelemahan dan kebas atau sensasi rasa geli di tungkai dan
lengan dan kemungkinan hilangnya fungsi pergerakan dan fungsi sensorik dari
tungkai, lengan, tubuh bagian atas, dan wajah. Gejalanya sering dilaporkan berat
dan biasanya muncul dengan ciri khas ascending paralysis, ditandai dengan
kelemahan yang dimulai dari tungkai dan selanjutnya menyebar ke ekstremitas
atas hingga mencapai wajah bersamaan dengan hilangnya refleks tendon dalam
secara komplit. Penyebab pasti dari SGB masih belum diketahui, tetapi sering
dipicu oleh infeksi saluran pernapasan atau infeksi pencernaan yang
mendahuluinya. Sindroma yang dapat menyebabkan kematian ini relatif jarang
dilaporkan, dengan 1 atau 2 per 100.000 penduduk dimana jumlah penderita lakilaki sedikit lebih banyak dibandingkan wanita. Semua kelompok usia memiliki
faktor risiko yang sama, walaupun sedikit lebih tinggi pada kelompok usia dewasa
muda.1
Hingga sekarang belum ada pengobatan spesifik untuk sindroma ini,
namun beberapa tindakan penanganan dapat mengurangi gejala dan menurunkan
durasi perjalanan penyakit. Banyak orang dapat pulih secara sempurna bahkan
dari tipe SGB yang paling parah. Hubungan antara SGB dengan infeksi dan
statusnya sebagai suatu penyakit autoimun telah memicu dilakukannya banyak
penelitian selama bertahun-tahun, yang telah menghasilkan penemuan antibodi
antigangliosida pada setidaknya sepertiga dari pasien SGB. Antibodi ini
tampaknya memiliki reaksi silang dengan antigen pada lipopolisakarida dari agen

infeksi yang menyerang sebelumnya. Penemuan ini diaharapkan dapat


memberikan titik terang untuk memahami mekanisme sindroma ini.1
1.2.

Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk menguraikan teori-teori

tentang sindroma Guillain-Barre, mulai dari definisi sampai diagnosis,


penatalaksanaan, dan prognosisnya. Penyusunan makalah ini sekaligus untuk
memenuhi persyaratan pelakasanaan kegiatan Program Pendidikan Profesi Dokter
(P3D) di Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
1.3.

Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan

pemahaman penulis serta pembaca khususnya peserta P3D untuk lebih memahami
tentang Sindroma Guillain-Barre ini, dan mampu melaksanakan diagnosis serta
pengobata terhadap sindroma ini sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter
Indonesia.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Definisi dan Etiologi

2.1.1. Definisi
Sindrom Guillain-Barre (Poliradikuloneuropati demielinasi inflamatorik
akut) merupakan paralisis asendens yang dapat membawa kematian dan disertai
dengan kelemahan yang dimulai pada ekstremitas distal tapi kemudian dengan
cepat menjalar ke otot-otot proksimal. Terjadi demielinasi segmental dan sel-sel
inflamasi kronik yang mengenai radiks saraf serta saraf perifer. Kelainan ini
dimediasi oleh imun dan sering terjadi sesudah infeksi virus (sitomegalovirus,
virus Epstein Barr) atau Campylobacter jejuni.2
2.1.2. Etiologi
Etiologi SGB masih belum diketahui secara pasti. Teori yang dianut
sekarang adalah suatu kelainan imunologik, baik secara primary immune response
maupun immune mediated response. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului
ini mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB antara lain :3
1. Infeksi
SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Infeksi akut
yang sering berhubungan dengan SGB adalah infeksi dari virus
(Cytomegalovirus/CMV, Epstein-Barr Virus/EBV, Human Immunodeficiency
Virus/HIV, varicella) dan bakteri (Campilobacter jejuni, Mycoplasma
pneumonia). Dua pertiga penderita berhubungan dengan penyakit infeksi.
Interval antara penyakit yang mendahului dengan awitan biasanya 2-3
minggu. Pada umumnya sindrom ini sering didahului oleh influenza, infeksi
2.
3.
4.
5.
2.2.

saluran nafas bagian atas, atau saluran pencernaan.4


Vaksinasi.
Pembedahan.
Penyakit sistemik seperti keganasan, SLE, tiroiditis, penyakit Addison.
Kehamilan/dalam masa nifas.
Epidemiologi
Kasus SGB telah dilaporkan di seluruh dunia. Hampir seluruh penelitian

menunjukkan angka kejadian per tahun yang mirip dengan angka kejadian di
Amerika Serikat, tanpa ada pengelompokan geografis yang spesifik. Varian

AMAN (Acute Motor Axonal Neuropathy) dan AMSAN (Acute Motor Sensory
Axonal Neuropathy) terdapat utamanya di Tiongkok utara, Jepang, dan Meksiko.
Varian AIDP (Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy)
menyumbang hingga 90% kasus di Eropa, Amerika Utara, dan negara-negara
maju.5
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa di Jepang, sebagian besar kasus
SGB berhubungan dengan infeksi C. jejuni dan sejumlah kecil terkait dengan
infeksi CMV. Demikian pula dilaporkan bahwa 69% dari kasus SGB di Dhaka,
Bangladesh, memiliki keterkaitan dengan infeksi C. jejuni.5
Perbandingan kasus SGB antara pria dan wanita adalah 3:2, dengan
dominasi pasien pria terutama terlihat pada tingkat usia yang lebih tua. Tidak ada
ras dominan untuk penderita SGB ini. SGB juga dilaporkan pada semua kelompok
usia. Di Amerika Serikat, kelompok usia dengan angka kejadian tertinggi berapa
pada rentang 15-35 tahun dan 50-75 tahun. Kelompok usia bayi memiliki risiko
terendah terkena SGB.5
2.3.

Klasifikasi
Beberapa varian dari Sindroma Guillain Barre dapat diklasifikasikan

sebagai berikut.2,6,7
1. Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP)
Varian yang paling sering dilaporkan. Disebabkan oleh respon autoimun yang
menyerang membran sel Schwann sehingga menyebabkan terjadinya
kelemahan progresif, hiporefleks/arefleks, dan perubahan sensori ringan
(penurunan sensibilitas yang ringan). Respon autoimun ini dipicu oleh infeksi
virus atau bakteri sebelumnya. Gambaran elektrofisiologi berupa demielinasi.
Proses remielinisasi muncul setelah reaksi imun berakhir.7
2. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN)
Merupakan bentuk murni dari neuropathy axonal, dimana terjadi degenerasi
dari akson motorik, tanpa adanya demielinasi. Gejala biasanya ditandai
dengan adanya kelemahan otot bagian distal, terkadang dapat disertai
paralisis otot pernapasan. Sensorik tidak mengalami gangguan. Dari

pemeriksaan laboratorium ditemukan peningkatan protein pada cairan


serebrospinal, sementara dari pemeriksaan elektrofisiologi menunjukkan
absen/turunnya saraf motorik dan saraf sensorik. Proses penyembuhan varian
ini lebih cepat, sering terjadi pada anak-anak dan merupakan tipe SGB yang
sering dilaporkan di Tiongkok dan Jepang.7,8
3. Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
Terjadi degenerasi pada akson sensorik dan motorik, sehingga manifestasi
klinisnya berupa kelemahan motorik dan sensorik, terkadang dapat
menyebabkan paralisis otot pernapasan. Kebanyakan pasien menjadi
tetraplegi dan kesulitan bernapas hanya dalam waktu singkat.8
4. Miller Fishers Syndrome
Merupakan kelainan yang jarang dijumpai, berupa trias ataksia, arefleksia,
dan oftalmoplegia. Dapat terjadi gangguan proprioseptif, resolusi dalam
waktu 1-3 bulan.7
5. Acute Pandysautonomia
Varian SGB yang paling jarang dilaporkan. Mempengaruhi sistem simpatis
dan parasimpatis, gangguan kardiovaskular (hipotensi, takikardi, hipertensi,
disaritmia), gangguan penglihatan berupa pandangan kabur, kekeringan pada
mata, dan anhidrosis. Penyembuhan bertahap dan tidak sempurna dan sering
dijumpai juga gangguan sensorik.7
6. Ensefalitis Batang Otak Bickerstaffs (BBE)
Tipe ini adalah varian lebih lanjut dari SGB. Hal ini ditandai dengan onset
akut oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran, hiperrefleks, atau babinsky
sign. Perjalanan penyakit dapat monofasik atau terutama di otak tengah, pons,
dan medula. BBE meskipun presentasi awal parah biasanya memiliki
prognosis baik. MRI memainakan peran penting dalam diagnosis BBE.
Sebagian besar pasien BBE telah dikaitkan dengan SGB aksonal, dengan
indikasi bahwa ua gangguan yang erat terkait dan membentu spektrum
lanjutan.
2.4.

Patofisiologi
Beberapa studi pada pasien dan hewan percobaan menunjukkan bukti

bahwa SGB disebabkan oleh infeksi yang memicu respon imun menyimpang yang

merusak saraf perifer. Terdapat faktor-faktor penting yang mengendalikan proses


ini.
1. Antibodi antiganglionsida
Sekitar separuh dari keseluruhan pasien SGB, antibodi serum terhadap
berbagai ganglionsida telah ditemukan pada saraf perifer, termasuk LM1,
GM1, GM1b, GM2, GD1a, GD2, GD3, GQ1b. Ganglionsida ini memiliki
distribusi spesifik pada saraf perifer dan berperan dalam mempertahankan
struktur membran. Sebagian besar antibodi ini spesifik untuk subgrup SGB.
Antibodi terhadap GM1, GM1b, GD1a dan Ga1Nac-GD1a berhubungan
dengan varian aksonal atau motorik murni, sedangkan antibodi terhadap GD3,
GT1a dan GQ1b berkaitan dengan ophtalmoplegia dan MFS.
2. Molecular mimicry dan reaksi silang
Autoantibodi disebutkan menjadi komponen patogenik yang memicu SGB
karena plasma exchange telah terbukti sebagai terapi yang efektif pada SGB.
Bakteri gram negatif C. jejuni, penyebab utama gastroenteritis akut, adalah
mikroorganisme yang memiliki epitop pada permukaannya yang menyerupai
epitop pada permukaan saraf perifer (yaitu gangliosida, glikolipid)
menyebabkan saraf perifer menjadi molecular mimic dari agen infeksius. C.
jejuni yang diisolasi dari pasien mengekspresikan lipooligosakarida (LOS)
yang menyerupai karbohidrat dari gangliosida. Tipe dari mimikri gangliosida
pada C. jejuni menunjuukan spesifisitas dari antibodi antigangliosida dan
varian dari SGB. Antibodi pada pasien ini biasanya mengadakan reaksi silang
dan mengenali LOS dan gangliosida atau kompleks gangliosida.
3. Aktivasi komplemen
Pada studi post-mortem ditemukan bahwa aktivasi komplemen lokal terjadi
pada lokasi kerusakan saraf, seperti aksolemma pada pasien dengan AMAN
dan membran Sel Schwann pada AIDP. Studi SGB pada mencit menemukan
bahwa beberapa antibodi antigangliosida bersifat toksik terhadap saraf tepi
dan dapat menyebabkan blokade dari transmisi saraf dan paralisis otot. Selain
ini, saraf terminal dan Sel Schwann perisinaptik juga hancur. Antibodi
terhadap GM1 mempengaruhi kanal natrium pada nodus ranvier saraf tepi.

Seluruh

efek

ini

bergantung

pada

aktivasi

komplemen

dan

pembentukan membrane attack complex.


Kelainan patologis SGB teridentifikasi berupa area inflamasi multifokal dan
demielinasi dengan infiltrasi seluler berupa makrofag dan limfosit. Pada daerah
demielinasi, penetrasi makrofag hingga ke basal membran Sel Schwann sehingga
selubung mielin menjadi rusak dan meninggalkan akson terpapar tanpa selubung
mielin. Demielinasi fokal menyebabkan konduksi saraf menjadi terhambat.
Inflamasi yang lebih parah terjadi pada daerah perbatasan tempat
masuknya akar dorsal dan ventral dengan duramater, sehingga sawar darah otak
menjadi longgar dan terjadi transudasi protein plasma ke dalam cairan
serebrospinal. Hasil dari proses ini ditunjukkan dengan karakteristik SGB yaitu
disosiasi sitoalbumin.
2.5.

Gejala Klinis dan Kriteria Diagnosa


SGB ditandai dengan timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai

hilangnya refleks-refleks tendon dan didahului parestesi dua atau tiga minggu
setelah mengalami demam disertai disosiasi sitoalbumin pada likuor dan
gangguan sensorik dan motorik perifer.4 Parestesi dan hilang rasa pada jari-jari
kaki dan tangan merupakan gejala yang paling awal terjadi. Manifestasi klinik
mayor berupa kelemahan pada anggota gerak dalam 1 sampai 2 minggu atau bisa
lebih lama. Biasanya mengenai ekstremitas bawah terlebih dahulu dibanding
ekstremitas atas. Manifestasi klasik dari SGB ditandai dengan adanya kelemahan
yang terjadi secara akut progresif, simetris, dan dimulai dari bawah ke atas,
arefleksia, dan abnormalitas sensorik.8,9 Kasus yang mengenai nervus kranialis
terjadi pada 45 % sampai 70 % kasus. Defisit nervus kranial yang sering terkena
adalah nervus III, IV, VI, VII, IX, X. Paresis nervus VII biasanya bilateral, terjadi
hampir pada sebagian pasien.10 Kegagalan otot pernafasan dapat terjadi rata-rata
dalam 1 minggu setelah awitan parestesi.11
Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National
Institute of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS),
yaitu :3,4

1. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis :


a. Terjadinya kelemahan yang progresif.
b. Hiporefleksi.
2. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB :
a. Ciri-ciri klinis :
Progresifitas : gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal
dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam

3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.3,4


Relatif simetris.
Gejala gangguan sensibilitas ringan, hipotoni, dan hiporefleksi selalu

ditemukan.
Gejala saraf kranial 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral.
Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan
otot-otot menelan, kadang < 5% kasus neuropati dimulai dari otot

ekstraokuler atau saraf otak lain.


Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat

memanjang sampai beberapa bulan.


Disfungsi otonom. Takikardi, aritmia, hipotensi postural, hipertensi

dan gejala vasomotor.


Tidak ada demam saat onset gejala neurologis.
b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa :
Protein CSS meningkat setelah gejala 1 minggu atau terjadi

peningkatan pada LP serial.


Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3.

3. Varian
a. Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala.
b. Jumlah sel CS S: 11-50 MN/mm3.
Pada gangguan neurogenik dengan demielinasi sering terjadi kehilangan
refleks fisiologi pada tahap awal penyakit, seperti yang terjadi pada SGB. Hal ini
terjadi karena adanya blok dan ketidaksesuaian serabut saraf aferen dan eferen. 10
Fase progresif dari SGB berlangsung dalam beberapa hari hingga empat minggu
dan diikuti dengan fase plateau, saat gejala berada dalam keadaan persisten
sebelum diakhiri dengan masa resolusi dari gejala yang lamanya bervariasi.7

Sementara kriteria diagnostik Sindrom Guillain Barre yang diadaptasi


dari Assessment of Current Diagnostic Criteria for Guillain Barre Syndrome
tahun 1990 dibagi menjadi tiga kriteria yaitu :10
1. Manifestasi klinis yang diperlukan untuk diagnosis yaitu kelemahan progresif
pada kedua ektremitas dan arefleksia.
2. Manifestasi klinis yang mendukung diagnosis yaitu :
a. Progresivitas dalam beberapa hari sampai 4 minggu.
b. Relatif simetris, dapat mengenai sistem sensorik.
c. Kelumpuhan kedua otot wajah (bifacial palsies).
d. Disfungsi otonom.
e. Periode recovery 2-4 minggu setelah periode progresif.
3. Pemeriksaan laboratorium yang mendukung diagnosis :
a. Gambaran elektrodiagnostik pada konduksi nervus lambat atau terhambat
Derajat penyakit SGB didasarkan pada skala disabilitas dari Hughes. Pada SGB
berat, pasien memiliki skala 4.7
Tabel 1. Skala disabilitas Sindrom Guillain Barre menurut Hughes.7
0
1
2
3
4
5
6
2.6.

Sehat
Gejala minor dari neuropati, namun dapat melakukan pekerjaan manual
Dapat berjalan tanpa bantuan tongkat, namun tidak dapat melakukan
pekerjaan manual
Dapat berjalan dengan bantuan tongkat atau alat penunjang
Kegiatan terbatas di tempat tidur/kursi (bed/chair bound)
Membutuhkan bantuan ventilasi
Kematian
Diagnosis Banding
Gejala klinis SGB biasanya jelas dan mudah dikenal sesuai dengan kriteria

diagnostik dari NINCDS, tetapi pada stadium awal kadang-kadang harus


dibedakan dengan keadaan lain. Penyakit lain yang mungkin dapat menyebabkan
kelemahan yang cepat dan progresif harus disingkirkan dan dibedakan. Penyakitpenyakit tersebut diantaranya adalah :12
1. Gangguan elektrolit.
a. Hypophosphatemia.
b. Hyperkalemia.
2. Porphyria.
3. Polymyositis atau Necrotising Myopathies.
4. Myasthenia Gravis.

10

5. Poliomyelitis.
6. Lyme Borreoliosis.
7. Mielitis Skuta.
8. Poliomyelitis Anterior Akuta.
9. Porphyria Intermitten Akuta.
10. Polineuropati Post Difteri.
Sindroma Guillain Barre harus dibedakan dari kondisi medis lainnyadengan gejala
kelemahan motorik subakut lainnya, antara lain sebagai berikut :13,14
1. Miastenia Gravis Akut, tidak muncul sebagai paralisis asendens, meskipun
terdapat ptosis dan kelemahan okulomotor. Otot mandibula penderita
SGB tetap kuat. Sedangkan pada Miastenia, otot mandibula akan melemah
setelah beraktivitas. Selain itu tidak didapati defisit sensorik ataupun
arefleksia.
2. Thrombosis Arteri Basilaris, dibedakan dari SGB dimana pada SGB, pupil
masih reaktif, adanya arefleksia dan abnormalitas gelombang F. Sedangkan
pada infark batang otak terdapat hiperefleks serta refleks patologis Babinski.
3. Paralisis Periodik, ditandai oleh paralisis umum mendadak tanpa keterlibatan
otot pernafasan dan hipo atau hiperkalemia.
4. Botulisme, didapati pada penderita dengan riwayat paparan makanan kaleng
yang terinfeksi. Gejala dimulai dengan diplopia disertai dengan pupil yang
non-reaktif pada fase awal, serta adanya bradikardia yang jarang terjadi
pada pasien SGB.12
5. Tick Paralysis, paralisis flasid tanpa keterlibatan otot pernafasan; umumnya
terjadi pada anak-anak dengan didapatinya kutu (tick) yang menempel pada
kulit.
6. Porfiria Intermiten Akut, terdapat paralisis respiratorik akut dan mendadak,
namun pada pemeriksaan urin didapati porfobilinogen dan peningkatan serum
asam aminolevulinik delta.
7. Neuropati akibat logam berat. Umumnya terjadi pada pekerja industri dengan
riwayat kontak dengan logam berat. Awitan gejala lebih lambat daripada
SGB.
8. Cedera medulla spinalis, ditandai oleh paralisis sensorimotor di bawah tingkat
lesi dan paralisis sfingter. Gejala hampir sama yakni pada fase syok spinal,
dimana refleks tendon akan menghilang.

11

9. Poliomyelitis, didapati demam pada fase awal, mialgia berat, gejala


meningeal, yang diikuti oleh paralisis flasid asimetrik.
10. Mielopati servikalis. Pada SGB, terdapat keterlibatan otot wajah dan
pernafasan jika muncul paralisis. Defisit sensorik pada tangan atau kaki
jarang muncul pada awal penyakit, serta refleks tendon akan hilang dalam 24
jam pada anggota gerak yang sangat lemah dalam melawan gaya gravitasi.
2.7.

Penatalaksanaan
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara

umum bersifat simptomatik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat


sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka
kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan.
Tujuan

terapi

khusus

adalah

mengurangi

beratnya

penyakit

dan

mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi).13


Perawatan intensif di rumah sakit dengan fasilitas yang memadai adalah
hal yang paling penting. Selain pencegahan dan pengobatan terhadap komplikasi
umum, diperlukan juga perawatan aktif.13
Sebuah ulasan dari database Cochrane menunjukkan bahwa Plasma
Exchange (PE) atau pengobatan dengan immunoglobulin intravena (IVIg)
memiliki efektifitas yang ekuivalen dalam upaya penyembuhan pasien SGB jika
pengobatan diberikan dalam 2 minggu setelah awitan kelemahan. Sekitar 10%
pasien membutuhkan pemberian pengobatan ulangan karena mereka mengalami
kelemahan sekunder setelah keadaan membaik setelah pemberian terapi dengan
Plasma Exchange (PE) atau IVIg yang pertama.13
Dalam banyak kasus karena alasan praktis (misalnya karena resiko yang
rendah dan aplikasi yang mudah), pengobatan dengan IVIg saat ini menjadi terapi
lini pertama pada pasien SGB.13
Hal lain yang penting adalah memulai fisioterapi pada fase awal untuk
mencegah berbagai permasalahan sekunder seperti kekakuan sendi. Rehabilitasi
adalah hal yang sangat penting dan harus dilakukan setelah pasien stabil dan

12

memungkinkan

untuk

melakukan

berbagai

macam

gerakan

dan

mengikuti program latihan.13


1. Terapi Farmakologi
a. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid
tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.15
b. Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis

pada pasien

SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih
cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan
yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250
ml plasma/kgBB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila
diberikan saat awal awitan gejala (minggu pertama).15
c. Pengobatan imunosupresan :15
Imunoglobulin IV
Pengobatan
dengan
gamma
globulin
menguntungkan

dibandingkan

intervena

lebih

karena

efek

plasmaparesis

samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kgBB/hari


selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kgBB/hari
tiap 15 hari sampai sembuh.15
Namun demikian, pada penelitian tentang terapi immunoglobulin
intravena

kasus

SGB pada

anak yang dilakukan

oleh Korinthenberg, et al., ditemukan bahwa pengobatan dengan IVIg


pada kasus ringan tidak mengubah tingkat keparahan penyakit tetapi
memberikan peningkatan pada kecepatan awitan perbaikan klinis.16
Efek samping IVIg pada percobaan tersebut dikatakan ringan dan
tidak sering terjadi. Reaksi alergi, gangguan fungsi hati yang bersifat
sementara, hipertonik, meningitis aseptik, proteinuria, gangguan
fungsi ginjal, dan peningkatan viskositas serum dilaporkan pada orang

dewasa dan anak yang mendapat terapi dengan IVIg.16


Obat Sitotoksik
Pemberian obat sitotoksik yang dianjurkan adalah :
Merkaptopurin (6-MP)
Azathioprine

13

Cyclophosphamide
Efek samping dari obat-obat ini adalah : alopesia, muntah, mual dan
sakit kepala.16
Manajemen nyeri cukup sulit tapi karbamazepin atau gabapentin dapat
membantu. Dosis untuk karbamazepin yaitu 300mg/hari, dan untuk
gabapentin 15mg/kgBB/hari. Asetaminofen atau obat NSAID dapat
dicoba sebagai terapi pertama pada SGB tetapi biasanya kurang
efektif.14
2. Terapi Suportif
a. Monitor respirasi, bila perlu lakukan trakeostomi. Penggunaan ventilator
mekanik menjadi suatu keharusan apabila diduga telah terjadi paralisis
otot-otot respirasi. Diperlukan rawatan intensif apabila didapati keadaan
seperti ini.14
b. Pasang NGT
Apabila terjadi kelumpuhan otot-otot wajah dan menelan, maka perlu
dipasang pipa hidung-lambung (NGT) untuk dapat memenuhi kebutuhan
makanan dan cairan.14
c. Monitor EKG
d. Fisioterapi
Fisioterapi aktif menjelang masa penyembuhan untuk mengembalikan
fungsi alat gerak, menjaga fleksibilitas otot, berjalan, dan keseimbangan.
Fisioterapi pasif setelah terjadi masa penyembuhan untuk memulihkan
kekuatan otot.
2.8.

Komplikasi dan Prognosis

2.8.1. Komplikasi
SGB

merupakan

salah

satu

penyebab

terbanyak

dari

paralisis

neuromuskular. Kebanyakan pasien SGB meninggal dikarenakan gangguan


otonom. Henti jantung menjadi penyebab paling sering dan bertanggung jawab
pada 20-30% kematian.15,17
2.8.2. Prognosis
Pada umumnya prognosis relatif baik. 90-95% terjadi penyembuhan tanpa
gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan keadaan antara lain :3,4

14

1.
2.
3.
4.
5.

Pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal.


Mendapat terapa plamaparesis dalam 4 minggu mulai saat awitan.
Progresifitas penyakit lamban dan pendek.
Pada penderita berusia 30-60 tahun.
Tidak terjadi kelumpuhan total.

Angka kematian pada SGB 5%. Kebanyakan pasien membaik pada beberapa
bulan. Jika tanpa pengobatan, sekitar 35% dari pasien memiliki kelemahan
residual berupa atrofi, hiporefleksia, dan kelemahan otot wajah. Prognosis buruk
pada pasien dengan usia tua dan didahului penyakit GI tract.18

BAB 3
KESIMPULAN

15

Sindroma Guillain-Barre (SGB) merupakan suatu sindroma klinis yang


ditandai dengan adanya paralisis flaksid yang terjadi secara akut berhubungan
dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus
kranialis. Beberapa penelitian menunjukkan beberapa faktor pencetus yang
terlibat, diantaranya infeksi virus, vaksinasi, dan beberapa penyakit sistemik.
Manifestasi klinis berupa kelumpuhan, gangguan fungsi otonom, gangguan
sensibilitas,

dan

risiko

komplikasi

pencernaan.

Tatalaksana

untuk

SGB diantaranya imunoterapi dan terapi supportif saja, dikarenakan etiologi dari
SGB yang belum jelas. Prognosis ditentukan berdasarkan usia dan derajat
kerusakan sel saraf tepi yang terkena serta penatalaksanaan yang segera.

DAFTAR PUSTAKA
1. Pithadia, A. B., Kakadia, N. 2010. Guillain-Barre syndrome (GBS).
Pharmacological Reports. 62. pp. 220-232.

16

2. Robbins, Cotran., 2010. Dasar Patologis Penyakit. Jakarta: Penerbit EGC.


3. Japardi, Iskandar. 2002. Sindroma Guillain Barre. Medan: USU.
4. PERDOSSI. 2008. Buku Ajar Neurologis Klinis. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
5. Andary, M. T. & Klain, M. J., 2016. Medscape. [Online]
Available at: http://emedicine.medscape.com/article/315632-overview#a5
[Diakses 15 April 2016].
6. Ropper, A. H., Sammuels, M. A., Klein, J. P., 2014. Adams and Victors
Principles of Neurology 10th Edition. New York: McGraw-Hill education.
7. Vimaladewi, L., Mangunatmadja, I., Pudjiadi, A. H. & Puspandjono, T, M.,
2010. Plasmaferesis Sebagai Terapi Sindrom Guillain-Barre Berat pada Anak.
Sari Pediatri, 11(6), pp. 448-455.
8. Feldman, E. L., Grisold, W., Russel, J. W., Loscher, W. M., 2005. Atlas of
Neuromuscular Disease. Vienna: Springer.
9. Rohkamm, R. 2004. Color Atlas of Neurology 2nd Edition. Stuttgard: Thieme.
10. Daroff, R. B., Fenichel, G. M., Jancovic, J., Mazziotta, J. C., 2012. Bradleys
Neurology in Clinical Practice 6th Edition Volume 1. Philadelphia: Elsevier.
11. Wijdicks, E. 2003. The Clinical Practice of Critical Care Neurology 2 nd
Edtion. New York: Oxford University Press.
12. Van Doorn, P. A., Ruts, L., Jacobs, B. C. 2008. Clinical features,
pathogenesis, and treatment of Guillain-Barre syndrome. The Lancet
Neurology. 7(10), pp. 939-950.
13. Burns, T. M. Guillain-Barre Syndrome. 2008. Thieme Medical Journal.
28(20), pp. 152-167.
14. Grabenstein, J. D. 2000. Guillain-Barre Syndrome and Vaccination: usually
unrelated. Hospital Pharmacy. 36(2),pp. 199-207.
15. McGrogan, A., Gemma, C. M., Helen, E. S., Corinne, S. V. 2009. The
epidemiology of guillain-barre syndrome worldwide. Neuroepidemiology. 32.
pp. 150-163.
16. Korinthenberg, R., Schessl, J., Kirschner, J., Monting, J. S. 2005.
Intravenously Administering Immunoglobulin in the Treatment of Childhood
Guiilain-Barre Syndrome: A Randomized Trial. Pediatric. 116. pp. 8-14.
17. Mantay, K. C., Armeau, E., Parish, T. 2007. Recognizing Guillain-Barre
Syndrome in the Primary Care Setting. The Internet Journal of Allied Health
Sciences and Practice. 5(1). pp. 1-8.

17

18. Gilman, S., Herdman, W. J., Connolly, S., Dorward, N., Kitchen, N., et al.
2010. Oxford American Handbook of Neurology. New York: Oxford
University Press.

Anda mungkin juga menyukai