Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN KASUS

HIPERTENSI URGENSI

Oleh:
dr. Muhammad Luthfi

Pendamping:
dr. Fakhrurrazi
dr. Darmawan

RSUD PIDIE JAYA


KABUPATEN PIDIE JAA
2019
BORANG PORTOFOLIO

Nama Peserta : dr. Muhammad Luthfi


Nama Wahana : RSUD Pidie Jaya
Tanggal (Kasus) : 24 Februari 2019
Nama Pasien : Tn. YP
Tanggal Presentasi : 5 Maret 2019
Nama Pendamping : dr. Fakhrurrazi, dr. Darmawan
Tempat Presentasi : Ruang Aula RSUD Pidie Jaya
Objektif Presentasi : - Keilmuan
- Diagnostik
- Kasus Emergensi
Bahan Bahasan : Kasus
Cara Membahas : Presentasi dan diskusi
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1. IDENTITAS PASIEN


Nama Pasien : Tn. YP
Umur : 65 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Lueng Bimba, Meurah Dua
Agama : Islam
Tanggal Masuk : 24 Februari 2019
Nomor RM : 103232

1.2. ANAMNESIS (Autoanamnesis)


o Keluhan Utama
Sakit kepala.
o Riwayat Penyakit Sekarang
• Sakit kepala awalnya dirasakan sejak dua hari yang lalu, namun semakin
meningkat sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit. Sakit dirasakan terutama
dibagian belakang kepala dan tengkuk.
• Nyeri dada disangkal.
• Sesak nafas saat ini disangkal. Riwayat sering sesak nafas dijumpai sejak 2 tahun
terakhir.
• Mual dijumpai. Muntah disangkal. Keluar keringat dingin disangkal.
• Keluhan penurunan kesadaran tidak dijumpai, pasien dapat diajak berkomunikasi
dengan baik.
• Keluhan bicara pelo tidak dijumpai.
• Keluhan kelemahan anggota gerak disangkal.
• Keluhan pandangan kabur disangkal.
• Keluhan gangguan pendengaran disangkal.
• Pasien juga mengeluhkan demam sejak 4 hari ini, namun tidak terlalu tinggi dan
bersifat hilang timbul.
• Batuk (+), sudah dialami pasien sejak 2 tahun terakhir, namun dirasa lebih
memberat dalam 4 hari ini. Batuk berdahak (+), dahak berwarna kuning
kehijauan. Batuk berdarah disangkal.
• Riwayat merokok (+).

o Riwayat Penyakit Dahulu


• Hipertensi (+) sejak 7 tahun yang lalu. Riwayat TDS tertinggi 180 mmHg.
Riwayat pengobatan (+), tetapi tidak rutin.
• Diabetes melitus dan riwayat penyakit jantung disangkal.
• Pasien didiagnosis PPOK sejak 2 tahun lalu, namun tidak rutin berobat.

o Riwayat Penyakit Keluarga


• Tidak ada anggota keluarga yang menderita kelainan seperti ini sebelumnya.

1.3. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum dan Tanda Vital (24 Februari 2019)
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Komposmentis Kooperatif
Tekanan darah : 210/120 mmHg
Nadi : 98 kali permenit, reguler.
Nafas : 20 kali permenit
Suhu : 37,8˚C
Tinggi Badan : 165 cm
Berat Badan : 56 kg
BMI : 20,57 kg/m2 (normoweight)

Status Generalis
o Kepala : bentuk dan ukuran normal
o Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat, isokor, Ø 3
mm/3 mm, refleks cahaya (+/+) normal
o KGB : tidak teraba pembesaran KGB.
o T/H/M : dalam batas normal.
o Thoraks
Pulmo : Inspeksi : simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri, kesan meningkat.
Perkusi : kesan hipersonor pada seluruh lapangan paru
Auskultasi : suara napas bronchial, ronkhi -/-, wheezing +/+ di
lapangan tengah dan bawah kedua paru.
Cor : Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba 1 jari lateral LMCS ICS VI
Perkusi : batas jantung kiri 1 jari lateral LMCS ICS VI
Auskultasi : bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
o Abdomen : Inspeksi : distensi (-)
Palpasi : supel, bising usus (+) normal, nyeri tekan (-) pada
seluruh lapangan abdomen.
Perkusi : timpani pada seluruh lapangan abdomen
o Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan.
o Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik

1.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium (24 Februari 2019)
Hemoglobin : 12,5 mg/dl
Leukosit : 16.500 mm3
Trombosit : 167.000 mm3
Hematokrit : 32 %
KGDs : 112 mg/dl
Widal : O : 1/80 H : 1/80
AO : 1/80 AH : 1/80
BO : 1/80 BH : 1/80
CO : 1/80 CH : 1/80
EKG

Kesan : RVH

Rontgen Thoraks

Kesan : Kardiomegali (CTR : 55%), RVH, Hipertensi kronis

1.5. DIAGNOSIS
Hipertensi Urgensi + PPOK
1.6. PENATALAKSANAAN
- O2 2 liter/menit
- IVFD Ringer Laktat 10 tetes/menit
- Amlodipin 1 x 5mg PO
- Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam
- Inj. Ceftriaxone 1 g/12 jam
- Ambroxol 3 x 30 mg PO
- Cetirizin 1 x 10 mg PO
- Paracetamol 500 mg PO (k/p)

1.7. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

FOLLOW UP
Waktu Subjective Objective Assessment Planning
KU: baik - O2 2 liter/menit
Kes: GCS 15 - IVFD Ringer Laktat 10
( E4M6V5) tetes/menit
TD: 210/120 - Amlodipin 1 x 5mg PO
24-02- Pusing,
mmHg Hipertensi - Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam
2019 demam,
N:98 kali/ Urgensi - Inj. Ceftriaxone 1 g/12 jam
20:15 batuk
menit - Ambroxol 3 x 30 mg PO
RR:20 kali/ - Cetirizin 1 x 10 mg PO
menit - Paracetamol 500 mg PO (k/p)
T: 37,8 ºC
KU: baik - O2 2 liter/menit
Kes: GCS 15 - IVFD Ringer Laktat 10
( E4M6V5) tetes/menit
24-02- TD: 180/120 Hipertensi - Amlodipin 1 x 5mg PO
Pusing,
2019 mmHg Urgensi + - Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam
batuk
21:15 N:92 kali/ PPOK - Inj. Ceftriaxone 1 g/12 jam
menit - Ambroxol 3 x 30 mg PO
RR:20 kali/ - Cetirizin 1 x 10 mg PO
menit - Paracetamol 500 mg PO (k/p)
T: 37,4 ºC

KU: baik
- O2 2 liter/menit
Kes: GCS 15
- IVFD Ringer Laktat 10
( E4M6V5)
tetes/menit
TD: 170/120
- Amlodipin 1 x 5mg PO
24-02- mmHg Hipertensi
Pusing, - Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam
2019 N:92 kali/ Urgensi +
batuk - Inj. Ceftriaxone 1 g/12 jam
22:15 menit PPOK
- Ambroxol 3 x 30 mg PO
RR:20 kali/
- Cetirizin 1 x 10 mg PO
menit
- Paracetamol 500 mg PO (k/p)
T: 37,1 ºC

KU: baik
- O2 2 liter/menit
Kes: GCS 15
- IVFD Ringer Laktat 10
( E4M6V5)
tetes/menit
TD: 170/120
- Amlodipin 1 x 5mg PO
24-02- mmHg Hipertensi
- Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam
2019 batuk N:92 kali/ Urgensi +
- Inj. Ceftriaxone 1 g/12 jam
23:15 menit PPOK
- Ambroxol 3 x 30 mg PO
RR:20 kali/
- Cetirizin 1 x 10 mg PO
menit
- Paracetamol 500 mg PO (k/p)
T: 37,1 ºC

KU: baik
Kes: GCS 15
( E4M6V5)
TD: 160/120
25-02- mmHg Hipertensi
ACC Rawat Jalan, namun tetap
2019 batuk N:88 kali/ Urgensi +
dirawat inap dengan alasan sosial.
00:15 menit PPOK
RR:20 kali/
menit
T: 37,1 ºC
Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio
1. Subjektif :
Pasien, Tn. YP, 65 tahun, datang dengan keluhan sakit kepala. Sakit kepala
awalnya dirasakan sejak dua hari yang lalu, namun semakin meningkat sejak 2
jam sebelum masuk rumah sakit. Sakit dirasakan terutama dibagian belakang
kepala dan tengkuk. Nyeri dada disangkal. Sesak nafas saat ini disangkal.
Riwayat sering sesak nafas dijumpai sejak 2 tahun terakhir. Mual dijumpai.
Muntah disangkal. Keluar keringat dingin disangkal. Keluhan penurunan
kesadaran tidak dijumpai, pasien dapat diajak berkomunikasi dengan baik.
Keluhan bicara pelo tidak dijumpai. Keluhan kelemahan anggota gerak disangkal.
Keluhan pandangan kabur disangkal. Keluhan gangguan pendengaran disangkal.
Pasien juga mengeluhkan demam sejak 4 hari ini, namun tidak terlalu tinggi dan
bersifat hilang timbul. Batuk (+), sudah dialami pasien sejak 2 tahun terakhir,
namun dirasa lebih memberat dalam 4 hari ini. Batuk berdahak (+), dahak
berwarna kuning kehijauan. Batuk berdarah disangkal. Riwayat merokok (+).
Pasien diketahui sudah menderita hipertensi (+) sejak 7 tahun yang lalu.
Riwayat TDS tertinggi 180 mmHg. Riwayat pengobatan (+), tetapi tidak rutin.
Riwayat penyakit diabetes melitus dan riwayat penyakit jantung disangkal. Pasien
didiagnosis PPOK sejak 2 tahun lalu, namun tidak rutin berobat.

2. Objektif :
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran komposmentis kooperatif, tekanan darah 210/120 mmHg, frekuensi
nadi 92 kali/ menit, nafas 20 kali/menit, suhu 37,80C.
Pada pemeriksaan jantung, ictus teraba 1 jari lateral LMCS ICS VI, dengan
auskultasi BJ I dan II reguler, tidak ada bising. Pada pemeriksaan sistem organ
lainnya didapatkan hasil dalam batas normal.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan nilai leukosit
(16.500 mm3). Pada pemeriksaan EKG di IGD didapatkan kesan RVH. Pada
pemeriksaan rontgen thoraks didapatkan kesan kardiomegali, RVH, dan hipertensi
kronis.
3. Assesment (penalaran klinis) :
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
yang telah dilakukan, ditegakkan diagnosis hipertensi urgensi + PPOK
Diagnosis hipertensi urgensi ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
tekanan darah 210/120 mmHg tanpa target organ damage. Pada hipertensi
urgensi, penurunan tekanan darah dilakukan secara perlahan. Pendekatan yang
dilakukan adalah dengan membiarkan pasien beristirahat selama minimal 30 menit
dengan pemantauan, dan pemberian obat antihipertensi oral dengan dosis rendah
karena sebelumnya pasien tidak rutin mengonsumsi obat antihipertensi. Pada
pasien ini obat yang digunakan adalah amlodipine, yang merupakan obat anti
hipertensi golongan calcium channel blocker dihydropyridines short acting. Dosis
inisial amlodipine yaitu 5 mg/hari. Pemantauan dilakukan hingga 4 jam sebelum
pasien diputuskan untuk ACC rawat jalan.
4. Plan :
Diagnosis klinis : Hipertensi urgensi + PPOK.
Tatalaksana :
- O2 2 liter/menit
- IVFD Ringer Laktat 10 tetes/menit
- Amlodipin 1 x 5mg PO
- Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam
- Inj. Ceftriaxone 1 g/12 jam
- Ambroxol 3 x 30 mg PO
- Cetirizin 1 x 10 mg PO
- Paracetamol 500 mg PO (k/p)
Edukasi:
Edukasi yang dapat diberikan antara lain:
• Menjelaskan pada pasien dan keluarga tentang kondisinya saat ini.
• Menjelaskan tentang komplikasi yang bisa terjadi
• Menjelaskan prognosis penyakitnya.
• Menjelaskan tata laksana pnyakit dan pentingnya kepatuhan pasien dalam
meminum obat hipertensi.
• Menganjurkan pasien untuk control ke poliklinik untuk pemberian obat rutin
terhadap penyakit hipertensi dan PPOK yang dideritanya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Krisis hipertensi adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan peningkatan
tekanan darah secara akut dengan atau tanpa kelainan organ target.
Krisis hipertensi meliputi dua kelompok yaitu:1,2,3
a. Hipertensi emergensi (darurat) adalah peningkatan tekanan darah sistolik (TDS) >
180 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik (TDD) > 120 mmHg dengan disertai
adanya bukti kerusakan organ target.
b. Hipertensi urgensi (mendesak) adalah peningkatan TDS > 180 mmHg dan/atau
TDD >120 mmHg tetapi tidak disertai kelainan/kerusakan organ target yang
progresif, sehingga penurunan tekanan darah dapat dilaksanakan lebih lambat
(dalam hitungan jam sampai hari).

2.2. Epidemiologi
Hipertensi merupakan penyakit kronis dengan prevalensi lebih dari 1 milyar di dunia,
Hipertensi menjadi penyebab 7,1 juta kematian di dunia per tahunnya.4 Krisis hipertensi baik
hipertensi emergensi maupun urgensi merupakan kasus yang sering dijumpai di unit gawat
darurat maupun kasus rawat jalan.5
Di Amerika Serikat, dari sekitar 65 juta penderita hipertensi, 1% setidaknya pernah
sekali mengalami hipertensi urgensi. Di unit gawat darurat, prevalensi kasus hipertensi
urgensi diperkirakan sekitar 3-5%. Menurut sebuah penelitian kohort yang dilakukan
beberapa waktu terakhir, kejadian kardiovaskuler setelah episode hipertensi urgensi hanya
ditemukan pada kurang dari 1% kasus dalam jangka waktu 6 bulan pasca admisi.6
Pada kasus krisis hipertensi yang dicurigai sebagai hipertensi urgensi, tetap perlu
diperhatikan adanya kemungkinan terjadinya kerusakan organ target sebelum kemungkinan
hipertensi emergensi sepenuhnya disingkirkan. Prevalensi kerusakan organ target yang sering
ditemukan pada hipertensi emergensi dapat dilihat pada gambar 1 di bawah.1

2.3. Patofisiologi
Patifisiologi pasti dari krisis hipertensi masih belum jelas. Namun demikian, dua
mekanisme yang berbeda namun masih bersinggungan mungkin memiliki peran penting
Gambar 1. Prevalensi kerusakan organ target yang sering ditemukan pada hipertensi
emergensi.1

dalam patofisiologi krisis hipertensi. Yang pertama adalah kegagalan dari mekanisme
autoregulasi pembuluh darah. Sistem autoregulasi pembuluh darah adalah faktor kunci pada
patofisiologi hipertensi dan krisis hipertensi. Autoregulasi didefinisikan sebagai kemampuan
organ (otak, jantung, dan ginjal) untuk mempertahankan aliran darah stabil meskipun terdapat
perubahan tekanan perfusi. Apabila tekanan perfusi turun, aliran darah ke organ-organ
tersebut akan ikut menurun untuk sementara waktu, namun akan kembali normal dalam
hitungan menit. Pada kasus malfungsi sistem autoregulasi, apabila tekanan perfusi turun, hal
ini akan berlanjut pada penurunan aliran darah dan peningkatan resistensi vaskuler. Pada
krisis hipertensi, terjadi kegagalan sistem autoregulasi pada pembuluh darah dan
mengganggu aliran darah, sehingga terjadi peningkatan tekanan darah dan resistensi vaskuler
secara mendadak, yang pada kebanyakan kasus berujung pada stres mekanis dan kerusakan
endotel.4
Mekanisme kedua adalah pengaktifan sistem renin-angiotensin, menyebabkan
terjadinya vasokonstriksi yang lebih meluas dan memunculkan lingkaran setan yang akhirnya
mengakibatkan iskemik. Disamping mekanisme tersebut, keadaan protrombotik mungkin
memiliki peran penting dalam krisis hipertensi; penelitian kecil yang dilakukan baru-baru ini
menunjukkan bahwa sP-selectin ditemukan lebih tinggi secara signifikan pada pasien dengan
krisis hipertensi dibandingkan dengan kelompok kontrol yang memiliki tensi normal tanpa
memperhatikan adanya retinopati, yang menunjukkan bahwa aktivasi platelet merupakan
temuan yang relatif awal pada sekuel patofisiologi dari krisis hipertensi.4
Diagram patofisiologi krisis hipertensi dapat dilihat pada gambar 2 di bawah ini.

Gambar 2. Patofisiologi dari krisis hipertensi.4

2.4. Diagnosis
Evaluasi awal terhadap kasus krisis hipertensi meliputi anamnesis yang mendetail.
Lebih spesifiknya, hal-hal yang harus ditanyakan antara lain mengenai:4
• lamanya menderita hipertensi.
• riwayat tekanan darah yang tidak terkontrol pada masa lalu.
• penggunaan obat-obatan yang berpotensi meningkatkan tekanan darah (mis.
OAINS).
• riwayat gangguan sindroma obstructive sleep apnea
• evaluasi faktor risiko kardiovaskuler dan komorbid lainnya.

Selanjutnya, pemeriksaan fisik harus meliputi:4


• auskultasi bunyi jantung/murmur, arteri karotis, dan murmur abdomen.
• defisit neurologis.
• funduskopi untuk menilai adanya retinopati.
• hilangnya, adanya penurunan, atau adanya ketidaksimetrisan pulsasi arteri pada
ekstremitas bawah.
• pemeriksaan abdomen.

Selain itu, pemeriksaan tanda-tanda vital harus dilakukan secara teliti pada pasien
dengan krisis hipertensi, misalnya tekanan darah, saturasi oksigen, dan denyut jantung. Lebih
spesifiknya, tekanan darah harus diukur pada kedua lengan untuk mendeteksi adanya potensi
perbedaan. Pada penelitian baru-baru ini terhadap 189 pasien, frekuensi denyut jantung
normal dihubungkan dengan hipertensi urgensi, sementara pasien dengan hipertensi
emergensi memiliki rerata frekuensi denyut jantung yang lebih cepat. Takikardia paling
sering diasosiasikan dengan gagal jantung kanan akibat hipertensi seiring dengan aktivasi
sistem saraf simpatis. Lebih lanjut, frekuensi denyut jantung dibawah 100 kali/menit
memiliki nilai spesifisitas yang tinggi untuk mengklasifikasikan pasien sebagai penderita
hipertensi urgensi. Namun demikian secara umum, parameter hemodinamik seperti tekanan
darah sistol maupun diastol serta tekanan pulsasi tidak dapat digunakan sebagai acuan
penegakan diagnosis kasus hipertensi emergensi daripada urgensi. Tanda-tanda vital ini
mungkin dapat berguna pada setting gawat darurat untuk membedakan secara cepat antara
kasus hipertensi emergensi dengan urgensi.4

Analisis laboratorium awal harus dilakukan segera setelah evaluasi inisial terhadap
pasien.7

Gambar 3. Pemeriksaan laboratorium pada kasus krisis hipertensi.7


2.5. Penatalaksanaan
Berikut merupakan alur penatalaksanaan krisis hipertensi:2

Gambar 4. Alur penatalaksanaan krisis hipertensi.2

Berbeda dengan kasus hipertensi emergensi, panduan manajemen akut terhadap kasus
hipertensi urgensi masih belum jelas, dikarenakan masih belum ada konsensus mengenai
target optimal penurunan tekanan darah maupun waktu target tercapainya tekanan darah
normal.6 Secara umum, pasien dengan hipertensi urgensi tidak membutuhkan penurunan
tekanan darah dengan segera. Panduan dari American College of Cardiology/American Heart
Association Guideline for the Prevention, Detection, Evaluation, and Management of High
Blood Pressure in Adults menyebutkan bahwa tidak ada indikasi perawatan maupun tindakan
penurunan tekanan darah secara cepat di unit gawat darurat bagi pasien dengan hipertensi
urgensi.2 Senada dengan pernyataan tersebut, Guideline ESC/ESH juga menyatakan bahwa
walaupun tetap membutuhkan penurunan tekanan darah, pasien dengan hipertensi urgensi
tidak membutuhkan perawatan lebih lanjut di rumah sakit, dan penurunan tekanan darah lebih
baik dilakukan dengan agen antihipertensi oral sesuai dengan algoritma yang digunakan.7
Setelah dikonfirmasi bahwa pasien tidak menderita kerusakan organ target,
kemungkinan penyebab peningkatan tekanan darah harus ditelusuri, diantaranya kepatuhan
minum obat antihipertensi selama ini, adanya nyeri, mual, sindroma withdrawal alkohol
dan/atau benzodiazepin, dan riwayat sindroma obstructive sleep apnea. Apabila tidak ada
penyebab yang dapat diidentifikasi, pasien disarankan untuk beristirahat selama setidaknya
30 menit tanpa pemberian agen anithipertensi tambahan. Setelah itu pengukuran tekanan
darah harus diulangi kembali dengan menggunakan metode yang benar. Penelitian telah
menunjukkan bahwa beristirahat adalah metode yang efektif untuk menurunkan MAP (mean
arterial pressure) pada pasien dengan hipertensi urgensi hingga 10-30%. Apabila tekanan
darah tetap tinggi, peningkatan dosis antihipertensi oral rutin dapat dipertimbangkan.
Walaupun tidak terlalu direkomendasikan, perawatan sementara pasien hipertensi urgensi di
rumah sakit dapat memberikan kesempatan untuk memodifikasi dan memantau reaksi
pengobatan antihipertensi terhadap pasien dengan hipertensi kronis.5
Berikut adalah beberapa agen antihipertensi oral yang umum digunakan di Indonesia.

Gambar 5. Obat hipertensi oral yang dipakai di Indonesia.3

Penelitian oleh Grassi, dkk menunjukkan bahwa penggunaan agen antihipertensi kerja
lama seperti amlodipine (long-acting dihydropyridine calcium channel blocker) dan
perindropril (ACE Inhibitor) untuk secara lambat menurunkan tekanan darah sesuai dengan
target pada pasien hipertensi urgensi menunjukkan manfaat yang bermakna baik secara
morbiditas maupun mortalitas.8 Sedangkan penelitian oleh Shirley, dkk menyimpulkan bahwa
amlodipine merupakan obat pilihan pertama untuk menurunkan tekanan darah pada pasien
dengan hipertensi urgensi, walaupun terdapat variasi perbedaan yang luas mengenai pilihan
pertama secara empiris di rumah sakit yang berbeda.9 Namun sangat tidak disarankan untuk
menggunakan agen antihipertensi intravena maupun agen kerja-segera untuk menurunkan
tekanan darah secara cepat, untuk menghindari efek samping iskemi yang dapat muncul dan
hanya akan menambah biaya perawatan tanpa manfaat yang berarti.5,6

2.6. Prognosis
Krisis hipertensi berpotensi menimbulkan kerusakan organ target, dan memiliki
dampak yang signifikan terhadap prognosis pasien. Mortalitas pada hipertensi emergensi
lebih tinggi (4,6%) dibanding hipertensi urgensi (0,8%).4
DAFTAR PUSTAKA
1. Benken ST. Hipertensive Emergencies. CCSAP Book. 2018;7-30
2. Whelton PK, Carey RM, Aronow WS, Casey DE, Collins KJ, Himmelfarb CD dkk. 2017
Guideline for the prevention, detection, evaluation, and management of high blood
pressure in adults. A report of the American College of Cardiology/American Heart
Association Task Force on Clinical Practice Guidelines. 2017; 137-42.
3. Roesma J. Krisis Hipertensi. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M,
Setiyohadi B, Syam AF, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-6. Jakarta:
Interna Publishing; 2014. p. 2300-1.
4. Varounis C, Katsi V, Nihoyannopoulos P, Lekakis J, Tousoulis D. Cardiovascular
Hypertensive Crisis: Recent evidence and review of the literature. Frontiers in
Cardiovascular Medicine. 2017: 1-5.
5. Breu AC, Axon RN. Acute Treatment of Hypertensive Urgency. Journal of Hospital
Medicine. 2018. 13(12):860-2.
6. Campos CL, Herring CT, Ali AN, Jones DN, Wofford JL, Caine AL, dkk.
Pharmacologic Treatment of Hypertensive Urgency in the Outpatient Setting: A
Systematic Review. JGIM. 2018. 539-50.
7. Williams B, Mancia G, Spiering W, Rosei EA, Azizi M, Burnier M, dkk. 2018 ESC/ESH
Guidelines for the Management of Arterial Hypertension. Jurnal of Hypertension. 2018.
39;3021-104.
8. Grassi D, O'Flaherty M, Pellizzari M, dkk. Hypertensive urgencies in the emergency
department: evaluating blood pressure response to rest and to antihypertensive drugs
with different profiles. J Clin Hypertens. 2008;10:662–7.
9. Shirley CB, Khamba G. Management of Hypertensive Urgency and Emergency: An
Audit of Local Practice at a District Hospital. Journal of Hypertension. 2017. 35:e340.

Anda mungkin juga menyukai