Oleh:
MUHAMMAD LUTHFI
Pendamping Internsip :
dr. Yuni Rahmadewi
PUSKESMAS MEUREUDU
KECAMATAN MEUREUDU
PIDIE JAYA
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas cahaya ilmu dan kemudahan yang
dikaruniakan-Nya sehingga laporan penelitian berjudul “Evaluasi Angka Keberhasilan
Pengobatan Pasien TB di Puskesmas Meureudu Tahun 2018” ini dapat diselesaikan.
Rasa terimakasih juga kami sampaikan pada pihak-pihak yang berperan dalam
penyelesaian karya tulis ini, diantaranya:
1. dr. Yuni Rahmadewi, selaku pendamping program internsip di Puskesmas Meureudu yang
telah membimbing penulisan karya tulis ini hingga selesai.
2. dr. Misrawati Sofyan, selaku kepala Puskesmas Meureudu yang telah memberi izin dan
kesempatan bagi kami untuk melakukan penelitian.
3. Dokter-dokter dan seluruh pegawai Puskesmas Meureudu, yang telah membantu dan
memberikan kemudahan bagi kami untuk menyelesaikan penelitian.
Penulis meyakini bahwa hasil laporan penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk
itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan guna proses penyempurnaannya.
Semoga karya tulis ini dapat memberikan sumbangan bagi keilmuan khususnya bidang kesehatan
hingga pada akhirnya dapat turut berkonstribusi bagi kemajuan Indonesia.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .............................................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................................. ii
DAFTAR TABEL..................................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................ v
Tabel 2.1. Kisaran dosis OAT lini I bagi pasien dewasa ......................................................... 18
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian ............................................................................... 30
v
BAB 1
PENDAHULUAN
1
2
urutan kedua tertinggi di dunia untuk insidensi TB paru.1 Oleh karena itu perlu dilakukan penilaian
terhadap keberhasilan program nasional pengendalian TB di Indonesia untuk mengetahui sejauh
mana program tersebut sudah mencapai target dan berdampak positif bagi upaya pengendalian
kasus TB paru.
Terdapat 2 indikator utama yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan program
pengendalian TB yaitu Angka Notifikasi Kasus TB (Case Notification Rate = CNR) dan Angka
Keberhasilan Pengobatan TB (Treatment Success Rate = TSR). Pada tugas mini project ini peneliti
tertarik untuk melakukan penilaian terhadap keberhasilan program nasional pengendalian TB
menggunakan indikator berupa Angka Keberhasilan Pengobatan TB (Treatment Success Rate =
TSR) untuk mengetahui secara langsung mengenai persentase pasien baru TB Paru Terkonfirmasi
Bakteriologis yang menyelesaikan pengobatan (baik yang sembuh maupun pengobatan lengkap)
diantara pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang tercatat yang pada penelitian ini
akan dilakukan di Puskesmas Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh.2
2.1. Definisi TB
Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri dari
kelompok Mycobacterium yaitu Mycobacterium tuberculosis.2 Penyakit ini dapat menyerang
berbagai organ terutama paru-paru.5
2.2. Epidemiologi TB
TB sampai dengan saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di
dunia walaupun upaya pengendalian dengan strategi DOTS telah diterapkan di banyak negara
sejak tahun 1995.2 Pada tahun 2016, TB diketahui termasuk ke dalam 10 besar penyakit penyebab
kematian terbanyak dengan 1,7 juta kematian dari 10,4 juta penderita di seluruh dunia. 95% dari
kasus kematian ini terjadi di negara-negara dengan pendapatan rendah dan menengah, seperti
India, Indonesia, Cina, Filipina, Pakistan, Nigeria, dan Afrika Selatan.3
Indonesia sendiri kini menempati urutan kedua dalam hal jumlah angka insidensi TB
setelah India di posisi pertama. Data di Indonesia per tahun 2018 diketahui terdapat lebih dari
500.000 temuan kasus TB (baru maupun relaps) dengan penderita yang didominasi oleh jenis
kelamin laki-laki kelompok usia 45-54 tahun, dan 8.145 kasus dari angka tersebut terdapat di
provinsi Aceh.4
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok produktif secara ekonomis (15-50 tahun).
Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4
bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-
30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatan sekitar 15 tahun. Selain
merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara social, seperti
stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat.3
2.3. Etiologi TB
Penyebab tuberculosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis bakteri berbentuk
batang dengan ukuran panjang 1-10 mikron, lebar 0,2-0,6 mikron.3 Bakteri ini memerlukan media
khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein Jensen, Ogawa. Dengan pewarnaan Ziehl Neelsen,
4
5
bakteri tampak berbentuk batang berwarna merah saat dilakukan pemeriksaan di bawah
mikroskop.3
Di dalam jaringan bakteri hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam sitoplasma
makrofag. Makrofag yang semula memfagosit malah kemudian disenanginya karena banyak
mengandung lipid. Sifat lain bakteri ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa bakteri lebih
menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada
bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari bagian lain sehingga bagian apikal ini merupakan tempat
predileksi penyakit tuberkulosis.6
sumber di rumah tangga, sedangkan anak-anak berusia di atas 2 tahun mendapatkan infeksi di
masyarakat.
4) Diabetes
Sebuah tinjauan sistematis yang membandingkan 13 penelitian yang meneliti hubungan antara
diabetes dan TB menekankan bahwa pasien diabetes memiliki sekitar tiga kali lipat
peningkatan risio berkembangnya penyakit TB bila dibandingkan dengan mereka yang tidak
menderita diabetes. Bukti biologis mendukung teori bahwa diabetes secara langsung
mengganggu respon imun bawaan dan adaptif, sehingga mempercepat proliferasi bakteri TB.
5) Petugas Kesehatan
Petugas kesehatan berisiko tinggi untuk terpapar infeksi TB. Studi menunjukkan bahwa
insidensi dan prevalensi infeksi TB laten diantara petugas kesehatan di negara-negara engan
pendapatan rendah mencapai 55% per tahunnya.
6) Sosial Ekonomi dan Faktor Perilaku
Beban TB mengikuti gradien sosio-ekonomi yang kuat antara dan di dalam negara-negara
yang mana negara termiskin memiliki risiko tertinggi. Orang dengan sosioekonomi rendah
terpapar pada beberapa faktor risiko TB (kekurangan gizi, polusi udara dalam ruangan,
alkohol, dll) yang meningkatkan risiko mereka terinfeksi TB. Orang dengan sosioekonomi
yang lebih rendah memiliki kemungkinan lebih tinggi tinggal di tempat yang padat, kurang
berventilasi dan memiliki fasilitas memasak yang tidak sehat. Populasi marjinal seperti
narapidana memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk terinfeksi TB karena kondisi kehidupan
yang padat dan koinfeksi dengan HIV dan penyalahgunaan obat injeksi.
7) Merokok
Dalam meta-analisis terhadap 24 penelitian tentang efek merokok terhadap TB, menunjukkan
bahwa risiko relatif penyakit TB (RR = 2,3-2,7) tinggi di antara perokok dibandingkan dengan
bukan perokok dan ada bukti nyata bahwa merokok tetap merupakan faktor risiko untuk
infeksi dan penyakit TB, dengan risiko kematian yang tinggi pada orang dengan TB aktif.
8) Polusi Udara Dalam Ruangan
Di negara berkembang, persentase penggunaan bahan bakar padat untuk memasak lebih dari
80%. Asap kayu bakar atau biomassa sebelumnya telah dikenal sebagai faktor risiko
independen untuk penyakit TB dalam kasus studi kontrol yang dilakukan di India dan Brazil.
7
2.5.2. Patogenesis TB
a) Tuberkulosis Primer
Penularan TB paru terjadi karena bakteri dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi
droplet nuklei dalam udara di sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas
selama 1 – 2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk, dan
kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap bakteri dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-
bulan. Bila partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas atau
jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran parikel <5 μm. Bakteri pertama kali
akan menghadapi neutrofil, kemudian baru oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau
dibersihkan oleh makrofag dan keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia
dengan sekretnya.6
Bila bakteri menetap di jaringan paru, bakteri akan berkembang biak di dalam sitoplasma
makrofag. Di sini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Bakteri yang bersarang di
8
jaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau
afek primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan
paru. Bila sarang ini menjalar sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleuara. Bakteri ini dapat
juga masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi
limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ
seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke
seluruh bagian paru menjadi TB milier.6
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran bening menuju hilus (limfangitis
lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional). Sarang
primer limfangitis lokal + limfadenitis regional = kompleks primer (Ranke). Semua proses ini
memakan waktu 3 – 8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi:6
1. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak terjadi.
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi di hilus.
Keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya > 5 mm dan ± 10 % di antarnya dapat
terjadi reaktivasi lagi karena bakteri yang dormant.
3. Berkomplikasi dan menyebar secara:
a. Per kontinuitatum yakni menyebar ke sekitarnya.
b. Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru di sebelahnya. Bakteri
dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus.
c. Secara limfogen, ke organ tubuh lain-lainnya.
d. Secara hematogen, ke organ tubuh lainnya.
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3 – 10 minggu
sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granulama yang terdiri dari sel-sel histiosit dan sel Datia
Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan
ikat.6 TB paska primer juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda menjadi TB usia tua
(eldery tuberculosis). Tergantung dari jumlah bakteri, virulensinya dan imunitas pasien, sarang
dini ini dapat menjadi:6
a. Direabsorbsi kembali dan sumbuh tanpa meninggalkan cacat.
b. Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan serbukan jaringan fibrosis.
Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan pengapuran. Sarang dini yang
meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian
tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju
dibatukkan keluar akan terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lama-lama
dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan fibroblas dalam jumlah besar, sehingga menjadi
kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya perkejuan dan akvitas disebabkan hidrolisis proterin
lipid dan asam nukleat oleh enzim yang diproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan
sitokin dengan TNF-nya.
2.6. Diagnosis TB
Diagnosis tuberkulosis (TB) dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan bakteriologik, pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan penunjang lainnya.9
o Sesak napas
o Nyeri dada
Gejala Sistemik2
o Demam
o Berat badan menurun
o Keringat malam
o Malaise
Gejala Tuberkulosis Ekstra Paru
Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis
tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening,
pada meningitis tuberkulosis akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis
tuberkulosis terdapat gejala sesak napas.2
o Mycodot
o Uji peroksidase ante peroksidase (PAP)
o Uji serologi yang baru / IgG TB
Dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para klinisi harus hati-
hati karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi. Saat ini
pemeriksaan serologi belum bisa dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis.
2.7. Tatalaksana TB
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.9
Kategori II
TB Paru kasus kambuh
Pada TB paru kasus kambuh minimal menggunakan 4 macam OAT pada fase intensif
selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat sesuai hasil uji resistensi).
Lama pengobatan fase lanjutan 6 bulan atau lebih lama dari pengobatan sebelumnya,
sehingga paduan obat yang diberikan : 3 RHZE / 6 RH. Bila tidak ada / tidak dilakukan
uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3
(Program Pengendalian TB) .
TB Paru kasus gagal pengobatan
Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi, dengan minimal menggunakan 4 -
5 OAT dengan minimal 2 OAT yang masih sensitif ( seandainya H resisten, tetap
diberikan). Dengan lama pengobatan minimal selama 1 - 2 tahun . Menunggu hasil uji
16
resistensi dapat diberikan dahulu 2 RHZES , untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji
resistensi. Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan
obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (Program P2TB). Dapat pula dipertimbangkan
tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal. Sebaiknya kasus gagal
pengobatan dirujuk ke ahli paru
TB Paru kasus lalai berobat
Penderita TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan
kriteria sebagai berikut.
a. Penderita yang menghentikan pengobatannya < 2 minggu, pengobatan OAT
dilanjutkan sesuai jadwal.
b. Penderita menghentikan pengobatannya ≥ 2 minggu
Berobat ≥ 4 bulan , BTA negatif dan klinik, radiologik negatif, hentikan
pengobatan OAT.
Berobat > 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan
obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.
Berobat < 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan
obat yang sama.
Berobat < 4 bulan , berhenti berobat > 1 bulan , BTA negatif, akan tetapi klinik
dan atau radiologik positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat
yang sama.
Berobat < 4 bulan, BTA negatif, berhenti berobat 2-4 minggu pengobatan
diteruskan kembali sesuai jadwal.
digunakan dalam pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek samping pada pengobatan
dengan OAT KDT sebelumnya.
c. Paduan OAT Kategori Anak disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap
(OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 3 jenis obat dalam satu tablet.
Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk
satu pasien.
Dosis
OAT Harian 3x/Seminggu
Kisaran dosis Maksimum (mg) Kisaran dosis Maksimum / hari
(mg/kb BB) (mg/kb BB) (mg)
Isoniazid 5 (4 - 6) 300 10 (8 - 12) 900
Rifampisin 10 (8 - 12) 600 10 (8 - 12) 600
Pirazinamid 25 (20 - 30) - 35 (35 – 40) -
Etambutol 15 (15 - 20) - 30 (25 – 35) -
Streptomisin 15 (12 - 18) - 15 (12 – 18) 1000
Putus berobat (loss Pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau yang pengobatannya
to follow up) terputus selama 2 bulan terus menerus atau lebih.
Tidak dievaluasi Pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir pengobatannya.
Termasuk dalam kriteria ini adalah ”pasien pindah (transfer out)” ke
kabupaten/kota lain dimana hasil akhir pengobatannya tidak diketahui
oleh kabupaten/kota yang ditinggalkan.
fase sistolik dan diastolic ventrikel kanan yang akan berujung pada gagal jantung kanan yang
secara klinis yang dikenal sebagai CPC
f. Efusi pleura
Inflamasi pada infeksi TB dapat meningkatakn permebilitas vascular pada pleura parietal dan
visceral sehingga terjadi transudasi cairan secara massif dan lokal sekitar focus infeksi
melebihi kemampuan reabsrobsi pleura dan jaringan limfatik.
tahun. Pelaksanaan Monev merupakan tanggung jawab masing-masing tingkat pelaksana program,
mulai dari Fasilitas kesehatan, Kabupaten/Kota, Provinsi hingga Pusat. Seluruh kegiatan program
harus dimonitor dan dievaluasi dari aspek masukan (input), proses, maupun keluaran (output)
dengan cara menelaah laporan, pengamatan langsung dan wawancara ke petugas kesehatan
maupun masyarakat sasaran. Komponen utama untuk melakukan monev adalah: pencatatan
pelaporan, analisis indikator dan hasil dari supervisi.
2.11.1. Pencatatan dan Pelaporan Program TB
Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi dan kegiatan surveilans, diperlukan suatu
sistem pencatatan dan pelaporan baku yang dilaksanakan dengan baik dan benar, dengan maksud
mendapatkan data yang valid untuk diolah, dianalisis, diinterpretasi, disajikan dan disebarluaskan
untuk dimanfaatkan sebagai dasar perbaikan program. Data yang dikumpulkan harus memenuhi
standar yang meliputi:
a. Lengkap, tepat waktu dan akurat.
b. Data sesuai dengan indikator program
c. Jenis, sifat, format, basis data yang dapat dengan mudah diintegrasikan dengan sistem
informasi kesehatan yang generik.
Data untuk program pengendalian TB diperoleh dari sistem pencatatan-pelaporan TB. Pencatatan
menggunakan formulir standar secara manual didukung dengan sistem informasi secara
elektronik, sedangkan pelaporan TB menggunakan sistem informasi elektronik. Penerapan sistem
informasi TB secara elektronik di semua faskes dilaksanakan secara bertahap dengan
memperhatikan ketersediaan sumber daya di wilayah tersebut. Sistem pencatatan-pelaporan TB
secara elektronik menggunakan Sistem Informasi TB Terpadu (SITT) yang berbasis web dan
terintegrasi dengan sistem informasi kesehatan secara Nasional. Pencatatan dan pelaporan TB
diatur berdasarkan fungsi dari masing-masing tingkatan pelaksana, sebagai berikut:
a. Pencatatan di Fasilitas Kesehatan
FKTP dan FKRTL dalam melaksanakan pencatatan menggunakan format:
1) Daftar terduga TB yang diperiksa dahak (TB.06).
2) Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak (TB.05).
3) Kartu pengobatan pasien TB (TB.01).
4) Kartu identitas pasien TB (TB.02).
5) Register TB fasilitas kesehatan (TB.03 faskes)
26
TB digunakan beberapa indikator. Indikator utama program pengendalian TB secara Nasional ada
2, yaitu:
Angka Notifikasi Kasus TB (Case Notification Rate = CNR) dan
Angka Keberhasilan Pengobatan TB (Treatment Success Rate = TSR).
Disamping itu ada beberapa indikator proses untuk mencapai indikator Nasional tersebut di atas,
yaitu:
a. Indikator Penemuan TB
1) Proporsi pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis di antara terduga TB
2) Proporsi pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis di antara semua TB paru diobati.
3) Proporsi pasien TB terkonfirmasi bakteriologis yang diobati di antara pasien TB terkonfirmasi
bakteriologis.
4) Proporsi pasien TB anak di antara seluruh pasien TB
5) Angka penemuan kasus TB (Case Detection Rate=CDR)
6) Proposi pasien TB yang dites HIV
7) Proporsi pasien TB yang dites HIV dan hasil tesnya Positif
8) Proporsi pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dibanding perkiraan kasus TB RR/MDR
yang ada.
9) Proporsi pasien terbukti TB RR/MDR yang dilakukan konfirmasi pemeriksaan uji kepekaan
OAT lini kedua.
10) Proporsi pengobatan pasien TB RR/MDR diobati di antara pasien TB RR/MDR ditemukan.
b. Indikator Pengobatan TB
1) Angka konversi (Conversion Rate)
2) Angka kesembuhan (Cure Rate)
3) Angka putus berobat
4) Angka keberhasilan pengobatan TB anak
5) Proporsi anak yang menyelesaikan PP INH di antara seluruh anak yang mendapatkan PP INH
6) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK
7) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang mendapat ART
8) Angka keberhasilan pengobatan TB MDR atau Treatment Success Rate
28
c. Indikator Penunjang TB
1) Proporsi laboratorium yang mengikuti pemantapan mutu eksternal (PME) uji silang untuk
pemeriksaan mikroskopis
2) Proporsi laboratorium dengan kinerja pembacaan mikroskopis baik di antara peserta PME uji
silang
3) Proporsi laboratorium yang mengikuti kegiatan PME empat kali setahun.
4) Jumlah kabupaten/kota melaporkan terjadinya kekosongan OAT lini
Angka ini sekitar 5-15%. Bila angka ini terlalu kecil (<5%) kemungkinan disebabkan:
Penjaringan terduga TB terlalu longgar. Banyak orang yang tidak memenuhi kriteria
terduga TB, atau
Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (negatif palsu)
Bila angka ini terlalu besar (>15%) kemungkinan disebabkan:
Penjaringan terlalu ketat atau
Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (positif palsu)
Rumus:
Jumlah pasien TB terkonfirmasi bakteriologis
yang diobati
x 100%
Jumlah seluruh pasien TB terkonfirmasi
bakteriologis
Angka Keberhasilan
Pasien TB Paru sembuh dan Pengobatan TB
pengobatan lengkap
(Treatment Success Rate
= TSR)
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian
30
31
Hasil ukur:
a. Pasien TB yang mendapatkan pengobatan, apabila pasien terdaftar dalam form
TB. 01
b. Pasien TB yang tidak mendapatkan pengobatan, apabila pasien tidak terdaftar
dalam form TB. 01
Skala ukur: nominal.
3.2.4. Pasien TB Pengobatan Lengkap
Definisi operasional: pasien TB pengobatan lengkap adalah pasien TB yang telah
menyelesaikan pengobatan secara lengkap dimana pada salah satu pemeriksaan
sebelum akhir pengobatan hasilnya negatif namun tanpa ada bukti hasil pemeriksaan
bakteriologis pada akhir pengobatan.
Cara ukur: analisa form TB. 01
Alat ukur: form TB. 01
Hasil ukur:
a. Pengobatan lengkap, apabila pasien telah menyelesaikan pengobatan dengan
lengkap disertai satu hasil pemeriksaan dengan hasil negatif sebelum akhir
pengobatan.
b. Pengobatan tidak lengkap, apabila pasien belum menyelesaikan pengobatan
dengan lengkap atau tidak terdapat satu hasil pemeriksaan dengan hasil negatif
sebelum akhir pengobatan.
Skala ukur: nominal
3.2.5. Pasien TB Sembuh
Definisi operasional: pasien TB sembuh adalah pasien TB dengan hasil pemeriksaan
bakteriologis positif pada awal pengobatan yang hasil pemeriksaan bakteriologis
pada akhir pengobatan dan pada salah satu pemeriksaan sebelumnya menjadi negatif.
Cara ukur: analisa form TB. 01
Alat ukur: form TB. 01
Hasil ukur:
a. Sembuh, apabila terdapat hasil pemeriksaan bakteriologis yang negatif pada
akhir pengobatan dan pada salah satu pemeriksaan sebelumnya.
33
b. Analisis Data
1) Analisis Univariat
Setelah seluruh data yang diperlukan didapat, maka data diperiksa kelengkapan dan
ketepatannya. Kemudian untuk analisa data, dilakukan dengan menggunakan SPSS. Analisa
data yang akan digunakan yaitu analisa univariat.
Proses pengolahan data penelitian dilakukan dengan menggunakan program komputer
SPSS 22 (Statistic Package for Social Science) dengan proses sebagai berikut :
a. Editing
Dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan data.
b. Coding
Selanjutnya dilakukan pengkodean atau coding, yakni mengubah data berbentuk angka
atau bilangan menjadi bentuk huruf atau kalimat.
c. Entry
Kemudian data dimasukkan ke dalam program komputer SPSS.
d. Cleaning
Apabila semua data dari setiap formulir selesai dimasukkan, dicek kembali untuk melihat
kemungkinan-kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan dan
sebagainya, kemudian dilakukan pembenaran atau koreksi.
e. Saving
Data yang telah dimasukkan dan telah diperiksa disimpan dalam folder.
f. Data Analysis
Data kemudian disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi, yang terdiri beberapa
tabel sebagai berikut.
a. Tabel distribusi frekuensi karakteristik pasien TB
b. Tabel distribusi frekuensi pasien TB terkonfirmasi bakteriologis di antara terduga TB
c. Tabel distribusi frekuensi pasien TB terkonfirmasi bakteriologis yang diobati di antara
pasien TB terkonfirmasi bakteriologis
d. Tabel distribusi frekuensi hasil akhir pengobatan pada pasien TB terkonfirmasi
bakteriologis
37
Dari tabel 4.1. diketahui bahwa terdapat 163 pasien TB yang terdaftar di Puskesmas
Meureudu pada tahun 2018 baik yang masih terduga maupun yang sudah terkonfirmasi
bakteriologis. Perempuan mendominasi dengan persentase sebesar 57,1% berbanding laki-laki
dengan persentase 42,9%. Sementara untuk kategori usia, kelompok usia 60-69 tahun memiliki
jumlah pasien terbanyak (22,7%) dibandingkan kelompok usia lainnya. Dari total 163 pasien TB
38
39
yang menjadi sampel penelitian, sebanyak 10 (6,1%) pasien terkonfirmasi bakteriologis berupa
hasil pemeriksaan BTA 0 yang positif sementara sisanya (93,9%) menunjukkan hasil negatif. Dari
total keseluruhan, 13 (8,0%) pasien mendapatkan pengobatan TB.
Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Pasien TB Terkonfirmasi Bakteriologis yang Diobati di antara
Pasien TB Terkonfirmasi Bakteriologis Tahun 2018.
Jumlah (orang)
Tidak
Terdaftar
Terkonfirmasi Terdaftar Persentase
dalam Persentase Persentase Total
Bakteriologis dalam (%)
Form TB. (%) (%)
Form TB.
06
06
Diobati
Ya 10 100 0 0 10 6,1
Tidak 153 0 0 0 153 93,9
Total 163 100 0 0 163 100
40
Dari tabel 4.1. dan 4.3. diketahui bahwa terdapat 13 orang pasien TB yang diobati di
Puskesmas Meureudu yang mana 10 di antaranya terkonfirmasi bakteriologis (BTA 0 positif) di
antara terduga TB. Sementara sisanya diobati atas dasar selain hasil pemeriksaan bakteriologis
(hasil foto rontgen thorax) seperti yang disajikan dalam tabel berikut.
Dari tabel 4.4. diketahui bahwa sebanyak 3 (23,1%) pasien TB yang diobati memiliki
hasil pemeriksaan BTA 0 negatif namun rontgen thorax menunjukkan hasil positif (mengarah pada
diagnosis TB) yang kemudian menjadi dasar pengobatan pada pasien-pasien tersebut.
Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Hasil Akhir Pengobatan pada Pasien TB Terkonfirmasi
Bakteriologis Tahun 2018.
Jumlah Pasien Persentase
Hasil Akhir Pengobatan TB
(orang) (%)
Sembuh 10 100
Total 10 100
Dari tabel 4.5. dapat diketahui bahwa dari total 10 pasien terkonfirmasi bakteriologis yang
diobati, sebanyak 10 (100%) orang pasien TB atau seluruhnya dinyatakan sembuh.
10 orang
x 100% = 6,13%
163 orang
Dari perhitungan di atas diperoleh hasil 8,13% yang mana angka tersebut tergolong dalam angka
yang sesuai dengan target dari strategi nasional (5-15%).
10 orang
x 100% = 100,00%
10 orang
10 orang
x 100% = 100,0%
10 orang
Dari perhitungan di atas diperoleh angka 100,00% yang mana angka tersebut melebihi target 85%
sehingga dapat diartikan bahwa angka keberhasilan pengobatan melewati target yang telah
ditetapkan.
42
4.3. Pembahasan
Sebagai unit pelayanan kesehatan tingkat pertama, puskesmas berkewajiban menjalankan
program pengendalian TB yang meliputi penemuan dan pengobatan TB. Untuk menilai
keberhasilan program tersebut diperlukan suatu monitoring dan evaluasi menggunakan beberapa
indikator yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Beberapa indikator yang dapat digunakan ialah
proporsi pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis di antara terduga TB, proporsi pasien TB
terkonfirmasi bakteriologis yang diobati di antara pasien TB terkonfirmasi bakteriologis dan angka
keberhasilan pengobatan TB (Treatment Success Rate = TSR) yang merupakan salah satu indikator
utama.
Pada penelitian ini dilakukan perhitungan ketiga indikator tersebut untuk menilai
keberhasilan program pengendalian TB pada tahun 2018 di Puskesmas Meureudu. Namun dalam
prosesnya peneliti menemukan bahwa data-data yang terdapat pada masing-masing form TB tidak
tercatat dengan lengkap sehingga perhitungan indikator-indikator tersebut pada dasarnya tidak
mampu menggambarkan tingkat keberhasilan program pengendalian TB di Puskesmas Meureudu.
Seperti proporsi pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis di antara terduga TB. Angka ini
menggambarkan mutu dari proses penemuan sampai diagnosis pasien, serta kepekaan menetapkan
kriteria terduga. Pada penelitian ini didapatkan angka 5-15% berdasarkan panduan P2TB 2014.
Walaupun angka ini sesuai dengan target yang ditetapkan, namun validitas dari hasil ini tidak dapat
dipastikan dikarenakan kurangnya pencatatan pada kasus-kasus baik temuan positif atau negatif,
atau terdapat masalah dalam pemeriksaan laboratorium (positif maupun negatif palsu). Selain itu,
secara umum juga angka yang diperoleh mendekati batas bawah dari target, sehingga walaupun
masih dalam batas yang diaharapkan tetapi menunjukkan kriteria penetapan terduga pasien TB
yang rendah. Untuk keseluruhan daerah di Indonesia, proporsi pasien TB terkonfirmasi
bakteriologis di antara terduga TB mengalami peningkatan signifikan dari tahun 1999 sampai
dengan tahun 2003 dari 7% menjadi 13%. Indikator ini cenderung menurun dari tahun 2003 sampai
dengan tahun 2004. Pada tahun 2015 indikator ini kembali meningkat menjadi 14%.5
Proporsi pasien TB terkonfirmasi bakteriologis yang diobati di antara pasien TB
terkonfirmasi bakteriologis pada penelitian ini menunjukkan hasil yang sempurna, yaitu 100%.
Angka ini menunjukkan seberapa besar pasien yang telah terdiagnosis TB yang kemudian berhasil
difasilitasi puskesmas untuk mengikuti program pengobatan TB. Namun target keberhasilan untuk
indikator ini tidak tercantum pada panduan P2TB 2014 sehingga peneliti belum dapat
43
menginterpretasikan angka yang telah diperoleh, walaupun angka 100% sendiri berarti bahwa
seluruh pasien yang terdiagnosis TB mendapat pengobatan dari Puskesmas Meureudu, yang
merupakan hasil terbaik. Namun demikian, angka ini tidak berhubungan langsung dengan proporsi
pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis di antara terduga TB karena seluruh pasien
terkonfirmasi bakteriologis baik yang terdaftar sebagai terduga TB maupun tidak dimasukkan
sebagai penyebut dalam rumus indikator ini sehingga antar kedua indikator tidak berkorelasi
secara langsung karena menggunakan data yang tidak sepenuhnya berasal dari data pada indikator
pertama.
Sementara untuk angka keberhasilan pengobatan TB (Treatment Success Rate = TSR)
diperoleh angka sempurna yaitu 100%. Angka yang diperoleh menunjukkan bahwa target dalam
hal keberhasilan pengobatan TB sudah tercapai sesuai dengan target yang telah ditetapkan dalam
panduan P2TB 2014. Sama halnya pada perhitungan proporsi pasien TB terkonfirmasi
bakteriologis yang diobati di antara pasien TB terkonfirmasi bakteriologis, perhitungan angka ini
menjadikan seluruh pasien terkonfirmasi bakteriologis yang diobati baik yang terdaftar sebagai
terduga TB maupun tidak sebagai penyebut. Sehingga angka ini berkorelasi langsung dengan
proporsi tersebut.
Secara nasional, angka keberhasilan pengobatan di Indonesia sebesar 81,88%. Sulawesi
Barat memiliki capaian tertinggi sebesar 92,37%, sedangkan capaian terendah berada di Provinsi
Papua Barat sebesar 35,88% (data per 31 Januari 2019).4 Untuk Provinsi Aceh, berdasarkan Profil
44
Kesehatan Indonesia tahun 2018, angka keberhasilan pengobatan rata-rata di tingkat provinsi
mencapai 81,09% dengan perincian persentase kesembuhan 66,40% dan persentase pengobatan
lengkap 14,69%. Angka keberhasilan pengobatan pada tahun 2018 ini belum mampu melampaui
target nasional yaitu 85%. Dari 23 Kab/Kota, terdapat 14 Kab/Kota yang belum mampu mencapai
angka keberhasilan pengobatan 85%.4,11
BAB 5
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
1. Proporsi pasien TB terkonfirmasi bakteriologis di antara terduga TB di Puskesmas
Meureudu pada tahun 2018 adalah 6,13% yang mana kedua angka tersebut tergolong
dalam angka yang sesuai target (5-15%) yang menunjukkan penjaringan kasus terduga
TB yang cukup bagus walaupun tidak menutup adanya kemungkinan ada masalah dalam
pemeriksaan laboratorium (positif maupun negatif palsu).
2. Proporsi pasien TB terkonfirmasi bakteriologis yang diobati di antara pasien TB
terkonfirmasi bakteriologis di Puskesmas Meureudu pada tahun 2018 adalah 100,00%.
3. Angka keberhasilan pengobatan TB di Puskesmas Meureudu pada tahun 2018 adalah
100,00% yang mana angka tersebut telah mencapai target keberhasilan (85%).
5.2. Saran
1. Setiap unit fasilitas kesehatan yang melaksanakan program pengendalian TB harus
memiliki sistem pencatatan yang baik sehingga setiap form TB memiliki data yang
lengkap dan memiliki nilai informasi yang baik.
2. Setiap unit fasilitas kesehatan yang melaksanakan program pengendalian TB harus
melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala untuk menilai keberhasilan program
pengendalian TB yang telah dijalankan.
45
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Global Tuberculosis Report. 2017 [diakses pada 6 Oktober
2019]. Tersedia di: http://www.who.int/tb/publications/global_report/en/.
2. Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan
RI; 2014.
3. World Health Organization. Tuberculosis. 2017. [diakses pada 6 Oktober 2019]. Tersedia
di: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs104/en/
4. Pusat Data dan Informasi, Kementerian Kesehatan RI. Data dan Informasi Profil Kesehatan
Indonesia 2018. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia;2019.
5. Pusat Data dan Informasi, Kementerian Kesehatan RI. Infodatin tuberkulosis. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia;2017.
6. Amin, Z, Bahar, A. Tuberkulosis. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed 7. Jakarta:
InternaPublishing, 2014; hal 864-5.
7. Centers for Disease Control and Prevention (CDC), Division of Tuberculosis Elimination.
TB risk factors. 2016. [diakses pada 6 Oktober 2019]. Tersedia di:
https://www.cdc.gov/tb/topic/basics/risk.htm
8. Narasimhan, P, Wood, J, MacIntyre, C R, Mathai, D. Risk factors for tuberculosis [serial
online]. Pulmonary Medicine. 2013. [diakses pada 6 Oktober 2019] Tersedia di:
https://www.hindawi.com/journals/pm/2013/828939/cta/
9. Isbaniyah, F. et al. Tuberkulosis: pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di indonesia.
Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011.
10. Tuberculosis (TB) treatment and management. 2017 [diakses pada: 6 Oktober 2019]
Tersedia di: https//emedicine.medscape.com/article/230802-treatment
11. Database Kesehatan Per Kabupaten. 2009. [diakses pada: 6 Oktober 2019]
Tersedia di: http://www.bankdata.depkes.go.id/propinsi/public/report/createtablepti
46