Anda di halaman 1dari 78

PERBEDAAN PERSEPSI MENGENAI PENGUASAAN TANAH DAN

AKIBATNYA TERHADAP MASYARAKAT PETANI


DI SUMATERA TIMUR
Pada Masa Kolonial Yang Berlanjut Pada Masa Kemerdekaan, Orde Baru
dan Reformasi
SYAFRUDDIN KALO
Program Studi Hukum Pidana
Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Pengantar
Sejak masuknya perusahaan perkebunan (onderneming) di wilayah
Sumatera Utara, persoalan tanah telah menjadi pokok permasalahan utama
mengingat perusahaan perkebunan memerlukan lahan bagi pengembangan
usahanya dalam ukuran sangat luas dan tidak mungkin dipenuhi oleh penduduk
secara perorangan. Dengan kebutuhan tersebut, dan ditopang dengan
pandangan tentang hak penguasaan tanah di Eropa, pengusaha perkebunan ini
mendekati para raja yang dianggap sebagai penguasa seluruh tanah di Sumatera
Utara agar menyediakan tanah milik rakyat melalui jalur kontrak sewa
(conssesie).1
Dengan dimulainya eksploitasi dan investasi modal pengusaha
perkebunan swasta ini, maka sejak itu persoalan sengketa hak penguasaan atas
tanah selalu terjadi secara periodik dalam kehidupan di Sumatera Utara.
Sengketa ini berkisar tentang siapa yang berhak menyewakan, menggarap,
mengolah dan menentukan perpanjangan sewa dengan pihak perkebunan. Di
satu sisi terdapat rakyat yang memegang teguh prinsip adat2 dengan hak
ulayatnya, di sisi lain pengusaha perkebunan merasa berhak menguasai tanah
karena mereka telah membuat kontrak sewa dan menerima konsesi dari sultan
yang dianggap sebagai pemilik tanah yang sah.

Proses masuknya para pengusaha perkebunan Barat ke Sumatera Utara ini tidak terlepas dari
munculnya sistim dan situasi kolonial pada akhir abad XIX di tanah-tanah koloni Eropa. Dalam
sistem dan situasi kolonial ini muncul hubungan kolonial (ketundukan) antara penguasa kolonial
dan penduduk jajahannya. Di samping itu juga terdapat hubungan serupa antara tanah jajahan di
Asia dengan negara induknya di Eropa yang bertumpu pada prinsip dominasi politik, eksploitasi
ekonomi dan penetrasi kebudayaan yang dipaksakan. Bentuk penjajahan yang diterapkan oleh
penguasa Eropa pada akhir abad XIX ini mengalami pergeseran dari sistem lama. Dalam gaya
penguasaan lama negara induk dianggap sebagai lahan eksploitasi yang wajib menyetorkan hasilhasilnya demi kejayaan negara penjajahnya di Eropa, sementara itu dalam bentuk penjajahan baru
tanah koloni dianggap juga sebagai tempat proses produksi berlangsung, tempat pencarian tenaga
kerja dan sekaligus sebagai lahan penjualan barang-barang hasil produksi di Eropa. Tentang
perluasan kolonialisme ini periksa Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di
Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi (Aditya Media, Yogyakarta, 1991), hal. 5 dan 13.
Yang dimaksud adat di sini adalah seperangkat aturan dan kebiasaan tak tertulis yang menentukan
dan mengatur cara hidup penduduk pribumi serta yang muncul dari konsep orang pribumi tentang
manusia dan kehidupan sosialnya. Adat mewarnai semua kehidupan sosial termasuk bidang yang
sakral yang dalam hal ini mencakup juga penguasaan tanah. Periksa Franz von Benda-Beckmann,
Property in Social Continuity (The Hague, Martinus Nijhoff, 1979) hal. 113-114.

2004 Digitized by USU digital library

Pemerintah kolonial Belanda sebagai pihak fasilitator dan penjaga hukum


serta ketertiban segera terlibat dalam persoalan sengketa tanah ini. Ada dua
kepentingan utama yang mendorong keterlibatan pemerintah Belanda :
menegakkan keamanan dan ketertiban mengingat para Sultan Melayu dianggap
tidak mampu melaksanakannya, dan yang kedua sebagai peluang untuk
memperluas pengaruh politiknya di tanah Melayu yang dianggapnya
mengandung potensi luas bagi sumber produksi, sehingga akan menambah
pemasukan bagi devisa negara.3
Keterlibatan pemerintah Belanda dalam aktivitas yang dilakukan oleh para
pengusaha perkebunan swasta memaksa kalangan petinggi Belanda baik di Den
Haag maupun Batavia untuk memikirkan suatu hukum khusus yang mengatur
persoalan agraria dan diberlakukan di seluruh Hindia Belanda. Setelah melalui
perdebatan dan penelitian yang panjang, maka pada tahun 1870 dikeluarkannya
UU Agraria atau Agrarische Wet 1870. Dengan bertumpu pada dasar hukum ini,
pemerintah Belanda mempermudah penerapan kebijakan dalam kaitannya
dengan hak penguasaan atas tanah penduduk pribumi (domein).
Hukum dasar ini tetap dipergunakan dan dipertahankan oleh pemerintah
jajahan Belanda sampai akhir masa kekuasaannya, dan masih digunakan oleh
pemerintah Republik Indonesia pada masa awal kemerdekaan tanpa mengalami
banyak perubahan yang berarti.4 Sebagai akibatnya, berbagai bentuk sengketa
tanah yang muncul di Sumatera Utara menunjukkan pola yang hampir sama
meskipun dengan pelaku peran (occupant role) yang berbeda. Bila di masa
kolonial, sengketa muncul diantara pengusaha onderneming dengan rakyat saja,
maka pada masa kekuasaan Republik Indonesia di awal kemerdekaannya
persoalan ini diperparah lagi dengan munculnya partai-partai politik yang
memiliki kepentingan berbeda. Partai-partai ini memanfaatkan konflik sengketa
tanah di Sumatra Utara tersebut untuk mendapatkan dukungan dan pengaruh
dari rakyat serta menggunakannya sebagai sarana untuk mencapai tujuan
nasional mereka.
Pemerintah Indonesia segera memberikan perhatian serius pada
persoalan sengketa tanah yang selalu kembali muncul ini. Dengan mengadakan
3

Hal ini dimungkinkan bagi Belanda karena para raja Melayu saat itu berada dalam posisi yang
terpecah-pecah dan saling bersaing, sehingga para raja yang secara ekonomi dan militer sangat
lemah bergantung pada bantuan dan sekutu mereka. Untuk menghadapi ancaman dari musuhmusuhnya termasuk kaum pendatang Batak Toba yang mulai banyak memasuki wilayah Melayu,
para sultan ini memerlukan sekutu baru yang bisa melindungi struktur dan keberadaan
Kesultanannya. Tanpa menggunakan kekuatan militer yang tinggi, Belanda berhasil lewat jalur
diplomasi menyatukan para sultan bersama para kepala adat Melayu, Batak Toba dan Batak Karo
tunduk pada sistem baru yang dibentuk oleh pemerintah kolonial. Periksa Anthony Reid, The
Blood of the People: Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra (Perjuangan
Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera) terjemahan Muchsin Zain (Jakarta, Sinar
Harapan, 1987) hal. 26.
Periksa R. Soepardi, Beberapa Hal Tentang Hukum Agraria, dalam Madjalah Perkebunan, edisi
Maret 1959, tahun IX, hal. 50. Hal ini sangat rawan mengingat struktur penguasaan yang ada
selama sebelum dan sesudah kemedekaan jauh berbeda, khususnya menyangkut pihak yang
memegang hak penguasaan tanah: sebelum kemerdekaan, para penguasa swatantra pribumi
(zelfbestuurder) menjadi pemegang hak penguasaan dengan mengeluarkan grant (karunia) sebagai
bukti pemilikan tanah kepada warganya. Setelah kemerdekaan dengan dihapuskannya bentuk
kekuasaan kesultanan, semua grant ini tidak lagi berlaku.

2004 Digitized by USU digital library

penelitian lewat sebuah tim yang khusus dibentuk untuk itu, pemerintah mulai
menyusun bentuk perundangan baru yang diharapkan bisa menggantikan
Agrarische Wet lama produk hukum kolonial. Dengan perundangan baru ini,
negara mengambil alih semua hak penguasaan atas tanah dan menegaskan
berbagai macam bentuk kepemilikan tanah secara jelas melalui diterbitkannya
sertifikat oleh lembaga hukum yang berwenang.
UUPA No.5 Tahun 1960 sebagai bentuk UU baru tentang ketentuan pokok
agraria yang dikenal dengan UUPA, berlaku sebagai induk dari segenap peraturan
pertanahan di Indonesia. UUPA ini mengandung asas (prinsip) bahwa semua hak
atas tanah dikuasi oleh negara, dan asas bahwa hak milik atas tanah dapat
dicabut untuk kepentingan umum. Kedua prinsip tersebut dengan tegas telah
dituangkan dalam pasal 2 dan pasal 18 UUPA.
Berdasarkan pasal 2 UUPA ini negara menjadi pengganti semua pihak
yang mengaku sebagai penguasa tanah yang sah. Negara dalam hal ini
merupakan lembaga hukum sebagai organisasi
seluruh rakyat Indonesia.
Pemerintah sebagai lembaga pelaksana UU negara dalam proses ini bertindak
sebagai pihak yang melaksanakan dan menerapkan ketentuan yang terdapat
dalam pasal 2 UUPA tersebut.
Adapun kekuasaan negara yang dimaksud itu mengenai semua bumi, air
dan ruang angkasa, baik sudah yang dihakki oleh seseorang maupun tidak.
Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan suatu hak
dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa negara memberi
kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan haknya, sampai di
situlah batas kekuasaan negara.5
Dengan demikian pemerintah menjadi pihak yang wajib dan berwenang
mengatasi dan menengahi sengketa hak penguasaan atas tanah yang muncul
sekaligus menjadi fasilitator bagi pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa.
Berbagai kasus sering terjadi dalam masyarakat dengan berbagai
masalah, diantaranya yang paling menonjol adalah persoalan sengketa
pertanahan antara masyarakat versus perkebunan yaitu tentang penggarapan
baik yang mempunyai izin maupun penggarapan secara liar oleh masyarakat.
Disamping itu penggusuran masyarakat di atas tanah sengketa baik oleh
pemerintah maupun oleh pihak perkebunan baik secara paksa maupun ganti rugi
tetapi bentuk dan besarnya ganti rugi yang diberikan oleh perkebunan kepada
rakyat dinilai tidak layak. Bahkan proses ini banyak yang menjadikan rakyat lebih
miskin dari sebelumnya, karena uang ganti rugi itu tidak cukup untuk membeli
lahan baru atau untuk mencari nafkah sesuai dengan keadaan semula. Dengan
demikian dari sudut ekonomi tindakan tersebut sangat merugikan bagi rakyat.
Rakyat terpaksa menyingkir dari lahan yang telah dibebaskan untuk kepentingan
tanaman perkebunan dan harus mencari lahan baru yang tidak sesuai dengan
tuntutan penanaman tanaman pangan mereka.
Konflik terjadi sejak dari konsesi perkebunan yang diberikan oleh
kesultanan/swapraja dan pemerintah kolonial pada persusahaan perkebunan.
Tanah konsesi tersebut pada dasarnya menyangkut hak ulayat masyarakat.
Pemberian konsesi kepada pengusaha perkebunan telah terjadi pada masa
kesultanan dan masa kolonial ini berlanjut dengan modifikasi hak konsesi
5

Lihat penjelasan umum UUPA No.5 Tahun 1960, Bagian II.

2004 Digitized by USU digital library

menjadi hak erfacht. Kondisi demikian diteruskan pula pada masa kemerdekaan,
di mana tanah konsesi maupun hak erfacht yang diberikan pada perkebunan
yang berakhir masa berlakunya dimodifikasi menjadi Hak Guna Usaha (HGU).
Dalam tiga periode tersebut sengketa pertanahan masih berlangsung diantara
pihak pengusaha perkebunan dengan masyarakat penunggu maupun masyarakat
penggarap.
Pola sengketa berkisar antara rakyat dan pemerintah atau rakyat dan
perkebunan (yang didukung oleh orang-orang pemerintah) mengenai
penguasaan atas tanah; antara rakyat dengan pihak perkebunan serta
kehutanan mengenai tanah garapan antara rakyat dengan rakyat itu sendiri
mengenai masalah kepemilikan, penggarapan, warisan dan sewa menyewa.
Sengketa tersebut diantaranya karena manipulasi pejabat atau perantaraperantara yang menjadi kaki-tangan perusahaan perkebunan sejak zaman
kolonial.
Dalam praktek, penyelesaian masalah perkebunan itu ada yang
diupayakan dengan pemberian ganti rugi lahan oleh pihak perkebunan pada
petani penggarap, rakyat penunggu, maupun penggarap liar. Oleh pihak
pemerintah ditempuh penyelesaian dengan jalan melepaskan hak atas tanah
atau membebaskan areal perkebunan yang yang telah dikuasai penggarap
dengan mengeluarkannya dari Hak Guna Usaha atau terhadap Hak Guna Usaha
yang telah habis masa waktunya tidak diberikan perpanjangan lagi, kemudian
lahan tersebut dibagi-bagikan oleh panitia kepada masyarakat penggarap.
Namun hal ini, tidak membawa hasil yang memuaskan bahkan sengketa tanah
antara pihak perkebunan versus rakyat penggarap terus berlanjut sampai saat
ini.
Khusus di Sumatera Utara, berdasarkan pemantauan, yang paling
besar presentasinya adalah sengketa masalah tanah. Tuntutan ini demikian
derasnya, dimana-mana, di wilayah Sumatera Utara, terutama di sektor
perkebunan, lahan perkebunan menjadi ajang dan tumpuan penjarahan dan
pendudukan dari para penggarap yang mengaku dirinya petani. Ini dimulai
dari Kotamadya Medan, Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Langkat
yang menjadi korban adalah PTPN II dan PTPN III, sebagian besar areal HGU
nya jatuh dan diduduki oleh rakyat penggarap. Tuntutan masyarakat
penggarap berdalih demi reformasi dan atau karena reformasi, tanpa
mendalami dengan benar maksud dan cita-cita s reformasi itu sendiri. Secara
internal, pelanggaran hukum, pelanggaran HAM, telah berlangsung dimana,
para aparat penegak hukum, tidak mampu berbuat banyak.
Disamping itu juga, penguasaan tanah dilakukan oleh rakyat tanpa alas
hak yang sah dan dokumen kepemilikan tanah yang tidak lengkap. Maka dalam
posisi yang demikian pemerintah dihadapkan pada suatu keadaan yang
dilematis. Keadaan ini dapat melemahkan posisi pihak perkebunan yang
membutuhkan tanah dan berpotensi menimbulkan masalah, yaitu rakyat tidak
memilik bukti yang lengkap dan cukup atas tanah yang dimilikinya. Hal ini
terutama terjadi pada tanah-tanah yang belum bersertifikat, yang disebabkan
oleh pandangan adat yang masih melekat pada rakyat bahwa tanah merupakan
hak milik komunal (hak ulayat), sehingga mereka menganggap hak penguasaan
otomatis melekat pada hak penghunian atas tanah tersebut secara turuntemurun.

2004 Digitized by USU digital library

Keadaan itu bukannya tidak diketahui oleh pihak yang memerlukan tanah
dalam hal ini perkebunan, tetapi dengan berbagai alasan untuk melaksanakan
usaha yang telah direncanakan tetap dilakukan penguasaan lahan. Akibatnya
sulit bagi pihak yang membutuhkan tanah untuk menentukan tentang keabsahan
pemegang hak penguasaan lahan yang diakui oleh rakyat.
Konflik juga terjadi antara pemerintah dengan rakyat atau antara rakyat
dengan pihak perkebunan yang membutuhkan tanah,
karena kurangnya
koordinasi antar instansi yang terkait di bidang pertanahan. Misalnya, tidak
adanya sinkronisasi antara suatu sektor dengan sektor lainnya. Banyak sekali
peraturan-peraturan yang tidak berjalan, ataupun saling bertabrakan dengan
peraturan lain. Sebagai contoh dapat kita ajukan Undang-Undang Darurat
Nomor 8 Tahun 1954 yang mengatur tentang penyelesaian soal pemakaian tanah
perkebunan oleh rakyat, UU Darurat Nomor 1 Tahun 1956 tentang perubahan
dan tambahan atas perubahan UU Darurat Nomor 8 Tahun 1954 mengenai
penyelesaian soal pemakaian tanah perkebunan oleh rakyat, UU Nomor 28 Tahun
1956 tentang pengawasan terhadap pemindahan hak atas tanah-tanah
perkebunan, UU Nomor 29 Tahun 1956 tentang peraturan-peraturan dan
tindakan-tindakan mengenai tanah-tanah perkebunan, UU Nomor 76 Tahun 1957
tentang perubahan UU Nomor 24 Tahun 1954 dan UU Nomor 28 Tahun 1956, UU
Nomor 51 Prp Tahun 1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa ijin yang
berhak atau kuasanya, dan UU Nomor 20 Tahun 1961 tentang pencabutan hakhak atas tanah dan benda-benda yang terletak di atasnya, dll.
Namun keberadaan dari semua peraturan tersebut di atas, ternyata tidak
dapat meredam terjadinya kasus pertanahan yang menimbulkan kegoncangan
dalam masyarakat. Dalam realita banyak terjadi konflik antara pemerintah dan
rakyat atau antara rakyat dengan pihak badan usaha perkebunan yang masingmasing pihak membutuhkan tanah. Sengketa pertanahan ini kita jumpai hampir
pada setiap daerah perkebunan yang ada di Indonesia.
Kecenderungan pemerintah mengabaikan faktor-faktor juridis dalam
pembebasan atau pelepasan hak-hak atas tanah masyarakat, disebabkan
instansi pemerintah tersebut lebih mementingkan target pemasukan produksi
ekonomi sesuai dengan tahap-tahapnya. Oleh karena kuota produksi yang lebih
diutamakan, maka pemerintah cenderung tidak teliti dalam memeriksa dokumendokumen kepemilikan dan hak-hak rakyat yang memiliki tanah, misalnya bukti
kepemilikan. Disamping itu selalu terjadi pemaksaan kehendak, sehingga
musyawarah tidak berjalan dan bentuk penyelesaian sengketa hanya ditetapkan
secara sepihak oleh pemerintah dengan pendekatan politik dan kekuasaan.
Dengan adanya berbagai peraturan dan kebijakan mengenai tanah yang
telah dikemukakan di atas, seharusnya dapat dijadikan patokan dalam dua hal
yaitu : di satu pihak peraturan itu merupakan landasan bagi pihak pemerintah
untuk membuat larangan pemakaian tanah tanpa ijin yang berhak, sedangkan di
lain pihak ia merupakan suatu jaminan hukum bagi rakyat agar tidak
diperlakukan sewenang-wenang oleh pemerintah atau penguasa. Tetapi ternyata
keberadaan peraturan itu tidak dapat menjamin adanya perlindungan bagi rakyat
dari tindakan sewenang-wenang oleh pihak pemerintah.
Berdasarkan penjelasan yang dipaparkan di atas, sungguh menarik bila sejauh
ini belum banyak kajian yang khusus menyoroti permasalahan konflik dalam
sengketa pemilikan tanah antara rakyat dan penyewa tanah di wilayah Sumatera

2004 Digitized by USU digital library

Timur dari sisi ilmu hukum. Berbagai karya telah ditulis tentang Sumatera Timur,
namun sebagian besar berdasarkan perspektif dan pendekatan historis dengan
kurang menekankan prioritas pada aspek pendekatan ilmu hukum. Dalam
sejumlah karya ilmiah yang telah dihasilkan tentang penguasaan wilayah di
Sumatera Timur,6 lebih banyak diberikan penekanan pada aspek politik sebagai
faktor penentu perubahan yang terjadi. Sementara itu menurut penulis sisi
penguasaan tanah dari aspek hukum sangat menentukan perubahan yang terjadi
dalam perkembangan sejarah politik dan ekonomi wilayah Sumatera Timur.
Dalam hal ini penulis akan berusaha menggali beberapa pokok permasalahan
yang terdapat dalam proses konflik dalam penguasaan tanah, bagaimana
benturan prinsip yang terjadi dan sejauh mana proses tersebut menentukan
bentuk perubahan baru yang menghasilkan pergantian kebijakan dan keputusan
lembaga kekuasaan pada periode yang terkait.
Perbedaan Persepsi Tentang Hak Penguasaan Tanah di Sumatera Timur
Setiap negara mempunyai aturan tentang hak-hak penguasaan dan
pemilikan tanah, yang didasari atas konsep dan teori hukum tertentu yang
dimodifikasi dengan kondisi yang dihadapi dan kebutuhan yang harus dipenuhi.
Pada dasarnya pengaturan hukum tentang hak-hak penguasaan atas tanah itu
berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemegang
haknya untuk berbuat sesuatu dengan tanah yang sudah dihakki. Kewenangan
ini berbeda dari suatu negara dengan negara lain. Di Indonesia sebagai bekas
negara jajahan Belanda mempunyai pengalaman sejarah dalam menentukan
penguasaan atas tanah, ada yang bersumber dari hukum adat, hukum barat dan
hukum nasional.
Pada zaman penjajahan, fungsi hukum tanah mengabdikan pada
kepentingan Pemerintah Hindia Belanda, tanpa memperdulikan kepentingan
rakyat Indonesia. Akibatnya fungsi tanah yang semula sebagai sumber
kesejahteraan dan kemakmuran yang merupakan karunia Illahi, setelah
kedatangan penjajah berubah menjadi sumber penindasan, sumber malapetaka
dan sumber ketidakadilan.
Dalam kerangka teori yang digunakan, penulis membatasi beberapa
aktivitas yang akan sangat menentukan dalam penjelasan dan pembuatan
analisis atas disertasi yang dipaparkan. Sejumlah kerangka pemikiran ini
bersumber dari beberapa teori yang dapat mendukung tulisan ini.
Dalam tema ini, perlu dijelaskan tentang teori penguasaan tanah dan
kaitannya dengan persewaan tanah. Teori penguasaan tanah dalam sejarah
6

Beberapa karya ilmiah tentang Sumatra Timur ditulis baik oleh para ilmuwan asing maupun
ilmuwan Indonesia di antaranya adalah Karl. J. Pelzer, Toean Kebon dan Petani (Jakarta, Sinar
Harapan, 1978); Karl J. Pelzer, Sengketa Agraria: Pengusaha Perkebunan Melawan Petani
(Jakarta, Sinar Harapan, 1982); Anthony Reid, Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya
Kerajaan di Sumatra (Jakarta, Sinar Harapan, 1987); Suprayitno, Mencoba (Lagi) Menjadi
Indonesia (Yogyakarta, Tarawang Press, 2001); Tengku Lukman Sinar, Sari Sejarah Serdang
(Medan, tanpa penerbit, 1971). Semua karya ini cenderung menegaskan pada peristiwa-peristiwa
politis dan perubahan kekuasaan yang mempengaruhi perubahan sosial dalam hubungan ekonomi
dan kehidupan masyarakat di Sumatra Timur. Semua karya ini ditulis oleh para sejarawan
profesional dengan melakukan pendekatan historis yang berlandaskan pada kajian politik untuk
mendekati permasalahan yang berlaku di Sumatra Timur masa itu. Dengan demikian unsur kajian
dari sisi hukum kurang begitu menonjol dalam eksplanasinya.

2004 Digitized by USU digital library

hukum pertanahan di Indonesia sejak zaman kesultanan, zaman kolonial sampai


zaman kemerdekaan, dalam praktek diperlakukan teori penguasaan tanah
berdasarkan teori Eropa, adat dan hukum nasional.
Di Eropa sebelum masa Revolusi Perancis berlaku doktrin bahwa raja
adalah penguasa segala hal di negaranya dengan semboyan Letat cest Moi
atau Negara adalah Saya teori ini mencerminkan kekuasaan yang besar atas
tanah. Raja dianggap sebagai wakil negara dan pemilik tanah adalah negara.
Teori ini juga berlaku di Inggris dan Belanda. Indonesia sebagai negara jajahan
Belanda memberlakukan teori ini di Indonesia, yang berarti bahwa semua tanah
di Indonesia adalah milik raja dan dengan demikian oleh karena raja takluk
kepada pemerintahan kolonial, maka semua tanah di negara jajahan dikonversi
menjadi milik raja Belanda. Oleh karena itu pemerintah Kolonial menganggap
semua tanah yang ada di Indonesia adalah milik penguasa kolonial. Dengan
memberlakukan azas domein verklaring, dengan arti bahwa semua tanah-tanah
tidak dapat dibuktikan siapa pemiliknya adalah menjadi tanah negara.7 Atas
dasar teori ini maka pemerintah kolonial dapat menyewakan tanah-tanah kepada
perusahaan onderneming dengan skala besar.
Dengan diberlakukannya teori domein verklaring oleh pemerintah Hindia
Belanda di Indonesia, dapat diasumsikan bahwa kebijakan itu didasari atas
alasan-alasan karena pemerintah Belanda menganggap raja-raja di Indonesia
yang mempunyai kekuasaan hak domein atas tanah, maka dengan sendirinya
hak domein itu juga diambil over oleh Belanda karena Belanda memegang
kedaulatan di Indonesia.
Anggapan pemerintah Belanda yang demikian itu, pada dasarnya adalah
sangat keliru. Karena tidak semua raja-raja di Indonesia mempunyai hak domein
atas tanah, khususnya di Sumatera Timur raja-raja tidak menguasai semua
tanah di wilayah kerajaannya, tetapi di wilayah persekutuan hukum adat yang
berada di bawah kekuasaan kesultanan tanah adalah merupakan milik komunal
(beschikkingsrecht). Anggota persekutuan dari hukum adat itu dapat membuka
tanah dan memungut hasil hutan dengan seizin kepala persekutuan atau
pengetua adat, hak ini merupakan hak ulayat dalam masyarakat adat itu.
Dalam praktek fungsi domein verklaring dalam perundang-undangan
pertanahan pemerintah kolonial Belanda adalah :
a. Sebagai landasan hukum bagi Pemerintah yang mewakili Negara sebagai
pemilik tanah, untuk memberikan tanah dengan hak-hak barat yang diatur
dalam KUUHPdt, seperti hak erfacht, hak opstal dan lain-lainnya. Dalam
rangka domein verklaring, pemberian tanah dengan hak eigendom dilakukan
dengan cara pemindahan hak milik Negara kepada penerima tanah.
b. Bidang pembuktian pemilikan.8
Kutipan di atas, memberikan penjelasan bahwa negara bertindak sebagai
pemilik. Pemerintah memberikan hak-hak erfacht atau persewaan tanah jangka
panjang kepada perusahaan onderneming, dengan mengingkari hak-hak
masyarakat adat yang ada di atas tanah menjadi objek persewaan tersebut.
Kebijakan pemerintah Belanda dalam memperlakukan teori domein
7
8

Lihat pasal 1 Agrarisch Besluit dan hubungkan dengan pasal 519 dan pasal 520 BW.
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang undang Pokok Agraria,
Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I, Hukum Tanah Nasional. (Jakarta : Djambatan, , 1999, hal. 43).

2004 Digitized by USU digital library

verklaring ini adalah, sangat merugikan rakyat karena domein diperlakukan di


atas tanah rakyat dan memungkinkan tanah-tanah hak ulayat diberikan kepada
orang asing dengan hak sewa (erfacht).
Dalam hal ini, perlu dijelaskan apa yang disebut dengan persewaan tanah
(tenure), penyewa (tenant) dan pemilik tanah yang menyewakan (landowner)
khususnya yang muncul dalam sejarah persewaan dan penguasaan tanah di
Sumatera Timur. Pertama-tama kita akan membahas masalah persewaan tanah
(tenure).
Dalam hal ini, Kenneth P. Davis mengatakan sebagai berikut :
The basic concept of ownership is that of tenure. This means the right or capacity
to have and to hold land for certain uses. Historically,the concept of tenure long
preceded the idea of individual ownership. The word tenure means the holding
of property, especially real estate, of or by reference to a superior. Inherent in
the woed held is the idea of exclusion, that is to set aside and keep as ones
own by shutting out and excluding others. Another indispensable dimension of
tenure is the period time for which the property is held.9
Berdasarkan defenisi Davis ini bisa kita jelaskan bahwa sewa tanah
merupakan jenis bentuk pemilikan tanah dengan tujuan tertentu. Persewaan
tanah ini berarti penguasaan lahan perkebunan dan menjadi bagian dari
pemilikan. Perbedaan yang mendasari antara persewaan dengan pemilikan
adalah bahwa persewaan (tenure) yang dimaksudkan Davis merupakan
pemetikan hasilnya dari kerja tertentu, sehingga tanah ini diterima dari pihak lain
dalam bentuk pinjaman. Defenisi Davis ini bertolak dari sistem pemilikan tanah di
Inggris yang menyebutkan bahwa hanya raja Inggris yang menjadi pemilik
tanah, dan semua mereka yang menguasai serta menggarap tanah itu adalah
penyewa atau peminjam tanah.10
Defenisi David di atas ini bisa dikembangkan dengan konsep tujuan
persewaan yang muncul atas penguasaan tanah. Tentang ini A.W.B. Simpson
mengatakan:
An obvious consequence of the tenurial system is that a number persons have
interensts of some sort in the same parcel of land. Confining our attention for the
time being simply to freholders, at the bottom of the feudal ladder there will be a
tenant who has seisin of the land and is called the tenant in demesne, dan at the
top there is the king. In between there may be a string of mesne lords who are
lords and tenants at the same time. The tenant in demesne is conceived as the
owner of the land and to treat the interest of the lords in land as inra in re
aliena.11
Dengan melihat defenisi Simpson tersebut di atas, lebih tegas lagi bisa
kita ketahui bahwa persewaan tanah ini berasal dari pemilik tanah. Pemilik tanah
yang diakui menurut hukum adat Eropa adalah raja. Raja akan membagi-bagikan
tanah tersebut kepada para bangsawan dalam bentuk suatu struktur hirarkis,
dengan tujuan dua hal: menyerahkan sebagian hasilnya sebagai upeti
kepadanya, dan memelihara para bangsawan beserta keluarganya dengan sisa
hasil itu sebagai imbalan atas kepatuhan dan kesetiaannya kepadanya. Tentu
9
10
11

Periksa Kenneth P. Davis, Land Use, (New York : McGraw-Hill Book Company, 1976) hal.13-14.
Kenneth P. Davis, ibid., hal. 14.
Periksa A.W.B. Simpson, A History of the Land Law (Oxford : Clarendon Press, 1986) hal. 47.

2004 Digitized by USU digital library

saja bangsawan tidak menggarap sendiri tanah itu, namun membagi-bagikan


tanah itu kepada kelompok di bawahnya sebagai kelompok penggarap tanah.
Para penggarap tanah ini juga mengalami kewajiban yang sama sebagai suatu
bentuk perabdian feodal, dan mereka juga dianggap sebagai penyewa tanah itu.
Konsep persewaan dan penguasaan tanah tersebut di atas telah
menunjukan kepada kita bahwa sumber dari kepemilikan tanah terletak pada
pusat kekuasaan, dalam hal ini raja. Dengan demikian raja menjadi satu-satunya
pemilik tanah (vorstdomein). Namun pada penggarapan dan pengolahan tanahtanah itu, tentu saja raja tidak akan melakukannya sendiri. Hal ini bisa diketahui
dari apa yang dikatakan oleh Mosca sebagai berikut :
But the man who is at the head of the state would certainly not be able to govern
without the support of a numerous class to enforce respect for his orders and to
have them carried out; and granting that he can make one individual, or indeed
many individuals,in the ruling class feel the weight of his power, he certainly
cannot be at odds with the class as a whole or do away with it. Even if that were
possible, he would at once be forced to create another class, without the support
of which action on his past would be completely paralyzed. 0n the other hand,
granting that the discontent of the masses might succeed in deposing a ruling
class, inevitably as we shall later show, there would have to be another
organized minority within the masses themselves to discharge the functions of a
ruling class. 0therwise all organization, and the whole social structure, would be
destroyed.12
Dengan melihat kutipan di atas, Mosca menyebutkan bahwa raja dalam
hal ini tidak menggarap sendiri namun membagi-bagi tanah itu kepada para
pejabat dan bangsawan kecil bawahannya untuk digarap dan disetorkan sebagian
hasilnya kepadanya. Dengan demikian tanah ini merupakan semacam pinjaman
(leen) dalam pandangan raja-raja Eropa feodalis. Raja menjadi penentu dari
pemilikannya dan tidak akan bisa dilepaskan haknya tanpa merombak seluruh
sistem feodal yang menjadi kekuasaannya.
Teori pemilikan tanah berdasarkan hukum adat adalah tanah merupakan
milik komunal atau persekutuan hukum (beschikkingsrecht). Setiap anggota
persekutuan dapat mengerjakan tanah dengan jalan membuka tanah terlebih
dahulu dan jika mereka mengerjakan secara terus-menerus maka tanah tersebut
dapat menjadi hak milik secara individual.
Dalam hal ini bisa kita lihat penjelasan Ter Haar tentang pemilikan tanah
adat sebagai berikut :
Hukum adat memberikan hak terdahulu kepada orang yang dulu menaruh tanda
pelarangannya atau mula-mula membuka tanah; bilamana ia tidak mengerjakan
12

Periksa Gaetano Mosca, The Ruling Class (New York : McGraw Hill Book Company, 1939) hal.
51. Mosca adalah seorang sosiolog politik yang melontarkan teori dan konsep mengenai elite serta
posisinya dalam struktur kekuasaan dan birokrasi. Dalam pandangan Mosca, elite merupakan
kelompok yang menduduki jabatan strategis. Namun Mosca menyoroti elite dari perspektif
monarki feodalistis yang lebih cenderung membatasi jangkauannya pada lingkup feodalisme di
Eropa. Dalam sorotannya dia menyebut bahwa elite selalu berkaitan dengan kelompok yang
memegang kendali kekuasaan dan menentukan segala dinamika kehidupan suatu negara dan
warganya, termasuk dalam penguasaan lahan pertanahan.

2004 Digitized by USU digital library

pekerjaan-pekerjaan penebangan dan pembakaran menurut musimnya, maka


orang lain bisa mendesaknya supaya memilih: mengerjakan terus atau
menyerahkan tanahnya kepadanya. Jadi tuntutan pemilikan hak milik ini lenyap
sama sekali bilamana ada lain orang sesama anggota yang menginginkannya dan
mendesak dia memilih satu antara kedua pilihan itu.13
Bertolak dari pandangan Ter Haar ini bisa diketahui, bahwa seseorang
akan diakui kepemilikannya sebagai hak milik individu, apabila dia sudah
membuka terlebih dahulu tanah itu dan menggarapnya atau merubahnya dari
kondisi hutan menjadi tanah sawah atau ladang. Selama dia masih mengerjakan
tanah itu, maka dia dianggap sebagai pemiliknya. Jadi dalam hal ini, tekanan
diberikan pada hasil produksi dari tanah yang bisa dipetiknya, sebab apabila dia
tidak lagi mengerjakannya maka tanah itu bisa diambil oleh orang lain yang akan
menggarapnya.
Konsep Ter Haar tersebut bisa diperjelas lagi dengan apa yang dikatakan
sebagai hak ulayat. Soerojo Wignjodipoero mengatakan berikut ini:
Sebagai seorang warga persekutuan (komunal) maka tiap individu
mempunyai hak untuk :
a. mengumpulkan hasil-hasil hutan, seperti rotan dan sebagainya.
b. memburu hewan liar yang hidup di wilayah wewenang komunal.
c. mengambil hasil dari pohon-pohon yang tumbuh liar.
d. membuka tanah dan kemudian mengerjakan tanah itu terus-menerus
e. mengusahakan untuk diurus kolam ikan di atasnya14
Dengan mengungkapkan sejumlah hasil yang bisa dipetik ini, Soerojo
menyebutkan bahwa hak ulayat yang diakui oleh masyarakat adat ini merupakan
hak pakai tanah oleh individu, namun kepemilikan ini diakui sebagai milik
bersama seluruh anggota masyarakat (komunal). Anggota masyarakat tidak bisa
mengalihhakan atau melepaskan haknya atas tanah yang dibuka ini kepada
anggota dari masyarakat lain atau pendatang dari luar masyarakat tersebut,
kecuali dengan syarat-syarat tertentu yang disepakati bersama semua anggota
komunal tersebut.
Semua tanah, hutan, jika perlu sampai ke puncak gunung, jika penduduk
mempunyai hak baik yang nyata maupun hak yang secara diam-diam diakui,
tanah itu bukan tanah negara. Menurut hukum adat, desa mempunyai hak untuk
menguasai tanah di luar perbatasan desa, penduduk desa mempunyai hak untuk
menggarap atau mencari nafkah dari hutan dengan izin kepala desa. Menurut
penafsiran Trenite, tanah tersebut milik negara, namun menurut pandangan Van
Volenhoven, Logeman dan Ter Haar tanah tersebut tidak di bawah kekuasaan
negara.15 Sistem hukum yang melandasi pemilikan tanah komunal dalam ulayat
13

14

15

Periksa Mr. B. Ter Haar, Azas-Azas dan Susunan Hukum Adat, terjemahan K. Ng. Soebakti
Poesponoto (Jakarta : Prajnya Paramita, 1958) hal. 91.
Periksa Soerojo Wignjodipoero, S.H., Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat (Jakarta: PT.
Gunung Agung , 1984) hal. 201-202.
Periksa Erman Rajagukguk, Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup.
(Jakarta : Chandra Pratama, 1995 hal. 28). Selanjutnya dikatakan bahwa apabila mengikuti
pendapat Trenite tidak cuku menghentikan sewa atas tanah bebas apabila penduduk satu desa atau
desa yang lain menyatakan tanah bersangkutan di bawah kekuasaan mereka. Pernyataan ini tidak
dapat ditolak. Namun mengikuti kenyataan bahwa tanah seperti itu selain perlu dibuktikan menjadi

2004 Digitized by USU digital library

10

ini adalah pandangan tentang kehidupan sosial dari masyarakat tradisional


sendiri.
Menurut Unger16, hubungan yang berlaku antar-individu dilandasi dengan
ikatan kekerabatan kolektif. Keanggotaan mereka ditetapkan oleh ikatan
kekerabatan nyata, namun tentang kepemilikan tanah hal ini diatur terlepas dari
kelompok keluarga. Sebagai akibat dari ketatnya ikatan komunal yang berlaku
dalam masyarakat ini, perbedaan antara anggota masyarakat dan orang luar
sangat jelas. Orang luar yang masuk ke dalam lingkaran komunal ini dianggap
asing dan tidak boleh merampas hak atas penguasaan tanah oleh para anggota
komunal.
Hal ini dapat disesuaikan dengan pandangan masyarakat Sumatera Timur
yang mengakui pemilikan tanah sebagai milik komunal atau, dalam pandangan
lain, milik raja.17 Sebagai akibatnya para pengusaha perkebunan asing
(onderneming) dianggap oleh mereka telah merampas hak yang telah ada sejak
turun-temurun atau hak yang diberikan oleh sultan kepada mereka. Dengan
menanami dan menyewa tanah-tanah yang ada tanpa sepengetahuan atau tanpa
berunding terlebih dahulu dengan penduduk, maka terjadi ketegangan sosial
dengan tuduhan sebagai perampasan hak milik18. Sebagai ungkapan lahir dari
gejolak psikis sosial yang disertai dengan tekanan beban ekonomi, maka terjadi
konflik di sini.
Dalam hak pemilikan tanah yang berlaku secara yuridis di Indonesia,
konsep ini tertuang dalam UUPA Nomor 5 Tahun 1960 pasal 2 yang berbunyi:
I. Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 UUD dan hal-hal sebagai
yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu, pada tingkatan
tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi seluruh rakyat.
II. Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi
wewenang untuk:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
III.Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut
pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar
suatu bagian yang tidak terpisahkan dari bagian teritorial desa, harus juga terdapat bukti tanah
tersebut dimanfaatkan. Desa dapat menggunakan tanah sedemikian rupa, baik sebagai padang
rumput pengembalaan milik bersama atau untuk maksud-maksud lain.
16
Periksa Roberto Mangabeira Unger, Law in Modern Society: Toward a Criticism of Social Theory
(New York : The Free Press, 1977) hal. 140-141.
17
Dikatakan seperti semua wilayah yang berada di bawah pemerintahan para Sultan, Raja
menganggap dirinya sebagai pemilik tanah yang nampaknya bertentangan dengan seluruh
adat yang diakui secara resmi oleh masyarakat sebagai pemiliknya . Tetapi raja berusaha
keras agar semua tanah bisa memberikan pemasukan bagi kas kerajaannya, tanpa adanya
gangguan yang muncul bagi pelaksanaan hak itu . Kondisi ini menimbulkan konflik antara
masyarakat dan pengusaha Onderneming , sehingga pemerintah kolonial perlu mengamankan
kondisi tersebut . Periksa Memorie van Overgave L. Kapoort, Asisten Residen van
Afdeeling, Asahan, 4 Mei 1903.
18
Ibid

2004 Digitized by USU digital library

11

kemakmuran rakyat, dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan


kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang
merdeka, berdaulat, adil dan makmur;
IV.Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat
dikuasakan kepada Daerah-Daerah swatantra dan masyarakatmasyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan
Pemerintah.
Hak menguasai negara yang dimaksudkan dalam pasal 2 UUPA tersebut di
atas adalah meliputi semua bumi, air dan ruang angkasa, baik yang sudah
dihakki oleh seorang maupun tidak. Kekuasaan tanah terhadap tanah yang
sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya
sampai seberapa negara memberikan kekuasaan kepada seorang yang
mempunyainya untuk menggunakan haknya. Sedangkan kekuasaan negara atas
tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lain
adalah sangat luas dan penuh. Misalnya negara dapat memberikan tanah yang
sedemikian itu kepada seseorang atau badan hukum dengan suatu hak menurut
peruntukkannya dan keperluannya, misalnya Hak Milik dan Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan atau Hak Pakai ataupun dengan memberikan hak pengelolaan
pada suatu badan penguasa. Dalam pada itu kekuasaan negara atas tanah-tanah
ini pun sedikit atau banyak dibatasi pula oleh hak ulayat dari kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum sepanjang kenyataan hak ulayat itu masih ada.19 Pengertian
penguasaan dan menguasai di atas adalah merupakan aspek publik.
Bertolak dari ketentuan dalam pasal 2 UUPA Nomor 5 Tahun 1960
tersebut bisa diketahui bahwa yang menguasai semua tanah adalah Negara.20
Namun meskipun demikian Negara tidak sewenang-wenang dalam pemilikannya,
melainkan mengusahakan dan mengolahnya demi kepentingan umum seluruh
warga negara. Negara menjadi pengganti raja dalam masa pemerintahan feodal,
dan negara bisa menjadi suatu lembaga hukum yang berwenang untuk
melepaskan tanah dalam bentuk peralihan hak (jual-beli, hibah, warisan).21
Substansi norma hukum dalam pasal 2 UUPA Nomor 5 Tahun 1960
tersebut, merupakan upaya pengontrolan perilaku masyarakat dalam sistem
hukum yang berlaku. Demikian juga sistem hukum agraria merupakan suatu
perintah, tentang apa yang harus dan jangan dilakukan, dan menjunjung
perintah-perintah itu dengan paksa.22 Artinya, keberadaan hukum agraria
19
20

21

22

Lihat penjelasan umum UUPA Nomor 5 tahun 1960 Bagian II.


Menarik dalam hal ini membandingkan pengertian negara di sini dengan negara menurut Hans Kelsen. Kelsen
menyebutkan bahwa negara dalam hal ini memiliki sejumlah fungsi yakni sebagai struktur hukum atau
organisasi politik yang memiliki baas-batas wilayah tertentu; negara sebagai lembaga hukum yakni pemegang
hak dan kewajiban tertinggi sebagai suatu lembaga; negara sebagai subyek, yakni berhak mengambil tindakan
atas persoalan tertentu yang menyangkut penanganan hak-hak legal. Periksa Hans Kelsen, Pure Theory of
Law (Berkeley; University of California Press, 1978) hal. 286-291.

Ketentuan dalam UUPA Nomor 5 tahun 1960 ini sebenarnya kurang memberikan gambaran yang
jelas sehingga mudah mengalami penyimpangan dan penyelewengan atau penyalahgunaan
sehubungan dengan pelaksanaan hak menguasai tanah oleh negara tersebut. Sebagai contoh
pengambilalihan hak ulayat atas tanah adat yang digunakan untuk pembangunan demi kepentingan
negara.
Keberadaan hukum yang demikian menunjukkan kekuasaan hukum pemerintah yang bersifat
represif dengan memberikan tekanan kepada mereka yang diperintah, yakni ketika masyarakat

2004 Digitized by USU digital library

12

tersebut tidak akan menjamin keterbukaan, sehingga tidak tercapai keadilan


yang substansif. Pada akhirnya fungsi hukum agraria itu tidak dapat digunakan
sebagai alat penyelesaian sengketa pertanahan.
Kajian Yuridis Terhadap UUPA
Menurut Lawrence Friedman, bahwa dalam sistem hukum itu terdapat tiga
elemen yang perlu diperhatikan yaitu : Structure; Substance; dan Culture.
Struktur dalam suatu sistem hukum, misalnya mengenai kedudukan dari
peradilan, eksekutif, yudikatif. Sedangkan substansi dari sistem hukum adalah,
mengenai norma, peraturan maupun undang-undang, tetapi lebih manarik dari
ketiga elemen itu adalah mengenai budaya hukum yang berarti pandangan,
kebiasaan maupun prilaku dari masyarakat mengenai pemikiran nilai-nilai dan
pengharapan dari sistem hukum yang berlaku, dengan perkataan lain, budaya
hukum itu adalah iklim dari pemikiran sosial tentang bagaimana hukum itu
diaplikasikan, dilanggar atau dilaksanakan oleh masyarakat.23
Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat kita katakan bahwa UUPA
tidak memperhatikan pandangan, kebiasaan maupun perilaku masyarakat
mengenai pemikiran, nilai-nilai dan pengharapan yang merupakan budaya
hukum dalam masyarakat. Seharusnya UUPA dapat berfungsi sebagai
pengontrolan perilaku masyarakat dalam sistem hukum yang berlaku. Bahkan
fungsi hukum merupakan
fungsi redistribusi
(redistributive function) atau
fungsi rekayasa sosial (social engineering function) yang mengarah pada
penggunaan hukum untuk mengadakan perubahan sosial yang berencana,
dan ditentukan dari atas yaitu oleh pemerintah, dengan memperhatikan
budaya hukum yang hidup dalam masyarakat.
Donald Black dalam bukunya The Behavior of Law, mengatakan
bahwa hukum adalah kontrol sosial dari pemerintah (law is governmental
social control).24 Black mengartikan kontrol sosial ini sebagai aturan dan
proses sosial yang mencoba mendorong prilaku, baik yang berguna atau
mencegah prilaku yang buruk.25 Sedangkan Lawrence Friedmann mengatakan,
bahwa kontrol sosial adalah jaringan aturan dan proses yang menyeluruh
yang membawa akibat hukum terhadap prilaku tertentu (social control in a
broader sense it must mean the whole network of rules and processes
which attach legal consequences to particular bits of behavior).26 Misalnya
aturan umum mengenai hukum perbuatan melanggar hukum.
Pemerintah

23
24

25
26

mengeluarkan

undang-undang

dan

membuat

aturan

mengabaikan kepentingan atau menolak legitimasinya. Akibatnya posisi subjek menjadi peka dan
rawan, tindakan pemerintah atau keputusan atas hukuman menuntut penyisihan suatu kepentingan
bagi kepentingan yang lain dan tidak setiap tuntutan bisa dikabulkan juga tidak setiap kepentingan
harus diberikan pengakuan yang sama. Philip Selznick, Law and Society in Transition, (New
York : Harper & Row Publisher, 1978), hal. 30.
Lawrence Friedman, 1984, American Law, W.W. Norton & Company, London, hal 9.
Donald Black, The Behavior of Law, Academic Press, New York, San Fransisco, London, 1976,
hal 2.
Lawrence Friedmann, Loc cit, hal 3.
Ibid.

2004 Digitized by USU digital library

13

mengenai Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya.27
Dan peraturan lain sebagai peraturan pelaksanaan. Untuk menertibkan
penggarap di areal perkebunan dan atau menentukan batas-batas tertentu yang
merupakan hak perkebunan. Tetapi apabila rekayasa sosial itu terlalu dipaksakan
maka akan terkesan sistem hukum itu terus-menerus memperbaharui dan
memperbaiki. Sering sekali alokasi hukum berjalan sangat berlawanan, selain
merubah sesuatu, alokasi hukum bertindak sedemikian rupa menjaga atau
berupaya menjaga status quo agar tetap utuh. Jika para penggarap tanah di
areal dihukum, pada saat yang sama berarti melindungi pihak perkebunan
dengan demikian pemerintah memelihara struktur ekonomi dan sosial
masyarakat. Ini memberi kesan bahwa hukum cenderung mendukung hak dan
kepentingan pihak perkebunan, melawan hak dan kepentingan masyarakat
penggarap petani miskin yang lemah.
Sejalan
dengan
pendapat
Friedmann
tersebut
maka,
aturan
mengenai larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak, seyogyanya
dapat merubah
perilaku masyarakat untuk tidak melakukan perbuatan
melanggar hukum, dalam hal menggarap tanah perkebunan. Dengan demikian,
jika dianalisa dalam praktek pelaksanaannya, dapat dikatakan bahwa hukum
yang telah ada itu merupakan peraturan yang tidak dapat diterapkan, atau
merupakan dead letter (aturan yang tidak diterapkan lagi, tetapi belum dicabut).
Sementara dikalangan masyarakat, ada aturan berupa hukum yang hidup (living
law) dalam sistem hukum yang hidup seperti misalnya hukum adat.
Sistem hukum lebih dari struktur dan aturan, meskipun demikian aturan
harus diikuti setidak-tidaknya pada masanya. Prilaku merupakan unsur pokok
sistem hukum, tentang apa sesungguhnya dijalankan orang. Jika tidak dijalankan
aturan itu hanya tulisan belaka dan struktur itu seperti kota mati. Tidak ada cara
lain untuk memahami sistem hukum selain melihat prilaku hukum (legal
behavior). Istilah prilaku hukum di sini adalah prilaku yang dipengaruhi oleh
aturan, keputusan, pemerintah atau uudang-undang yang dikeluarkan oleh
pejabat dengan wewenang hukum.28 Dalam hal ini jika seseorang berprilaku
secara khusus atau untuk merubah prilaku secara khusus adalah karena
diperintahkan hukum atau karena tindakan pemerintah atau pejabat lainnya atau
dari sistem hukum. Dengan demikian, jelas ada undang-undang yang sebagian
besar dipatuhi dan ada undang-undang yang sebagian besar tidak dipatuhi.
Mengapa orang patuh pada aturan tertentu dan tidak patuh pada aturan lainnya.
Menurut Lawrence M. Friedman prilaku hukum lebih dari soal patuh atau tidak
patuh, tetapi prilaku hukum lebih pada soal menggunakan atau tidak
menggunakan daripada soal mematuhi dan tidak mematuhi. Ini bukan berarti
bahwa patuh dan tidak patuh itu tidak penting. Sistem hukum jelas akan runtuh
jika setiap orang tidak mematuhi undang-undang.29 Dalam hal ini jika dikaitkan
dengan ketidakpatuhan masyarakat terhadap undang-undang yang menyangkut
kebijakan mengenai larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau
kuasanya, maka hukum akan benar-benar kehilangan tujuannya.

27

Larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak semula diatur dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1954 kemudian dilanjutkan dengan Undang-Undang Nomor 51 Prp Tahun 1960.
28
Ibid.
29
Ibid, hal.200.

2004 Digitized by USU digital library

14

Ketidak efektifan undang-undang larangan pemakaian tanah tanpa izin


yang berhak atau kuasanya, menimbulkan perbuatan okupasi ilegal terhadap di
areal tanah perkebunan. Menurut Friedman, bahwa ilegalitas cenderung
mempengaruhi waktu, sikap dan kuantitas ketidakpatuhan, jadi undang-undang
mempunyai efek riil pada prilaku termasuk prilaku pelanggar.30
Faktor yang mempengaruhi prilaku hukum adalah komunikasi hukum dan
pengetahuan hukum.31 Aneh bila seseorang mematuhi aturan, menggunakan
aturan atau menghindari aturan tanpa mengetahui aturan yang sebenarnya. Oleh
karena itu aturan harus dikomunikasikan dan seseorang harus mengetahui
tentang isi aturan itu. Dalam hal ini di setiap peraturan perlu dikomunikasikan
dan disosialisasikan pada masyarakat.
Sehubungan dengan itu, dapat dianalisa bahwa berbagai peraturan
perundang-undangan yang dikeluarkan untuk mencegah terjadinya konflik
dan sengketa, serta melarang pemakaian tanah tanpa izin dari yang
berhak, dan adanya polisi serta hakim yang berusaha menegakkannya adalah
merupakan
contoh kontrol sosial dari pemerintah untuk menyelesaikan
sengketa pertanahan di Sumatera Utara.
Dalam larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak, masyarakat
penunggu dan petani penggarap dilarang untuk menggarap tanah di areal
perkebunan. Aturan ini merupakan aturan yang sah. Namun hukum yang
hidup dalam masyarakat, membenarkan mereka untuk menggarap tanah di
areal perkebunan, berdasarkan ketentuan hukum adat mereka,
yang
memberikan kewenangan bagi mereka untuk memungut hasil hutan dan
bercocok tanam di daerah persekutuan hukum, yang dikenal dengan hak
ulayat.
Peristiwa ini menimbulkan interaksi tertentu diantara berbagai unsur
sistem hukum yang ada.32 Unsur-unsur sistem hukum itu, sebagaimana yang
dikatakan oleh Friedmann, adalah meliputi struktur, substansi dan budaya
hukum. Yang berarti sistem hukum itu tidak hanya meliputi undang-undang yang
diciptakan oleh Badan Legislatif, dan penegakkannya dilakukan Eksekutif, tetapi
juga meliputi substansi atau norma hukum itu sendiri, dan meliputi sikap serta
prilakunya.
Berdasarkan
pendapat
Lawrence
Friedmann
tersebut,
maka
konteksnya dengan konflik dan sengketa pertanahan di areal perkebunan,
dengan peristiwa penggarapan tanah yang dilakukan oleh rakyat penunggu
dan petani penggarap, menimbulkan interaksi tertentu diantara berbagai
sistem hukum, tidak hanya undang-undang, peraturan, dan lembagalembaga yang termasuk dalam struktur hukum, tetapi yang terpenting
adalah mengenai prilaku dan budaya hukum dari masyarakat. Apakah itu
prilaku pengusaha-pengusaha
perkebunan, dan masyarakat itu sendiri
terhadap hukum dan sistem hukum yang ada.
Struktur dan sistem hukum adalah meliputi Pengadilan, Yurisdiksinya
dan Badan Legislatif serta Eksekutif, yang berlaku pada masa penjajahan
Kolonial Belanda adalah sesuai dengan, prilaku dan alam pikiran hukum
30

Ibid.
Ibid.
32
Ibid , hal 4
31

2004 Digitized by USU digital library

15

Barat. Dalam kenyataannya sama sekali mengenyampingkan hukum yang


hidup (living law) dalam masyarakat. Oleh karena itu, penyelesaian
sengketa ketika itu dilakukan oleh penegak hukum, pada dasarnya dilakukan
berdasarkan
substansi hukum Barat, yang berorientasi pada kepentingan
kolonial. Sehingga filosofi hukum adat yang berlaku dihancurkan, yang
akhirnya menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat. Keadaan ini terus
berlanjut sampai Indonesia merdeka, bahkan UUPA secara filosofis juga telah
dihancurkan oleh para penegak hukum di masa kemerdekaan, karena mereka
pada dasarnya menempatkan diri sebagai lawan dari masyarakat, bukan
sebagai fasilitator atas aspirasi rakyat, tetapi cenderung bertindak sebagai
mediator atau sebagai partisipan dalam penyelesaian konflik dan sengketa
dalam masyarakat, maka terjadilah konflik yang berkepanjangan yang sukar
dicari penyelesaiannya.
Analisa secara substansi hukum, maka sejak zaman kolonial, bahkan
sampai ke alam kemerdekaan, norma-norma hukum dan pola prilakunya
masyarakat dalam sistem hukum, dan produk yang dihasilkan oleh orang
yang berada dalam sistem hukum itu, adalah tidak terlepas dari pengaruh
hukum kolonial, dan segala modifikasinya. Kenyataannya para penegak
hukum hanya menerapkan substansi norma-norma hukum yang ada dalam
undang-undang saja (law in book). Dan undang-undang itu pun bersumber
dari hukum Barat yang kolonialis. Kenyataan ini jelas mengenyampingkan
hukum yang hidup (living law) yang ada dalam masyarakat, yaitu hukum
adat. Begitu juga budaya hukum yang ada di dalam masyarakat turut
dikesampingkan, yaitu tentang sikap mereka terhadap hukum, sistem hukum
yang berlaku, kepercayaan, nilai,
pemikiran
dan harapan
masyarakat,
khususnya petani dan rakyat penunggu.
Masyarakat mempercayai bahwa tanah yang dipersengketakan adalah
merupakan hak ulayat mereka dan menjunjung tinggi nilai-nilai yang hidup,
serta mempunyai kepercayaan terhadap ketentuan hukum adat, mereka
patuh dan taat walaupun normanya tidak tertulis. Sebaliknya
budaya
hukum yang berlaku bagi para penegak hukum, mereka hanya meyakini
norma-norma hukum positif yang berasal dari hukum Barat. Interaksi
dalam sistem hukum itu jelas mengarah kepada konflik yang terus-menerus
tanpa dapat diselesaikan secara tuntas.
Dengan adanya teori dan konsep penguasaan tanah, serta larangan
pemakian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya. Berlaku di Indonesia baik
secara yuridis maupun hukum yang hidup dalam masyarakat (living law),
berakibat cenderung menimbulkan konflik pertanahan dalam masyarakat,
bahkan konflik tersebut cenderung sulit untuk diselesaikan. Kesulitan dalam
penyelesaian konflik sengketa atas tanah ini sangat rumit. Dalam hal ini penulis
menggunakan teori Kelsen tentang hubungan antara aturan hukum dan peran.
Ada lima alasan yang menyebabkan kesulitan dalam penyelesaian konflik :

1. Hukum mencakup aturan universal saja dan sistim hukum masih agak kabur

dari pengertian masyarakat sendiri.


2. Model ini hanya bermaksud mengungkapkan hukum yang diberikan oleh
pembuat UU kepada pemegang peran atas pelanggaran yang terkena sanksi.
3. UU yang disahkan berubah sejak saat pengundangannya baik melalui
amandemen formal maupun karena kepentingan birokrasi.

2004 Digitized by USU digital library

16

4. UU tidak dibuat oleh seorang penyusun UU namun berasal dari proses

pembuatan hukum yang melibatkan banyak peran dalam hubungan yang


kompleks.
5. Langkah-langkah untuk mencapai musyawarah bisa langsung ditujukan pada
pemegang peran dengan merubah batasan dan sumber daya lingkungan atau
persepsi pemegang peran tersebut, sehingga sanksi menjadi terlalu
terbatas.33

Melihat kendala-kendala dalam penyelesaian konflik di atas, William


Chambliss dan Robert B. Seidman mengajukan suatu perspektif bagi penerapan
hukum dalam mengatasi masalah. Menurut Seidman peran kekuatan sosial
bukan hanya berpengaruh pada rakyat sebagai pemegang peran yang tunduk
kepada hukum, namun juga terhadap lembaga pembuat dan pelaksana hukum
tersebut. Dengan demikian hasil akhir dari proses pelaksanaan hukum atas
masyarakat bukan hanya ditentukan oleh hukum, namun perlu juga
dipertimbangkan kekuatan sosial dan pribadi yang muncul di sana.34
Dengan melihat uraian tersebut, bisa ditarik kesimpulan bahwa ada tiga
jalur utama bagi penyelesaian konflik sengketa yang dilandasi dengan budaya
hukum : musyawarah, penerapan sanksi dan proses pengadilan. Pengertian
musyawarah harus dipisahkan dengan pengertian dari mufakat. Musyawarah
menunjuk kepada pembentukan kehendak bersama dalam urusan mengenai
kepentingan hidup bersama, dalam masyarakat yang bersangkutan sebagai
keseluruhan, sedangkan mufakat menunjuk kepada pembentukan kehendak
bersama antara dua orang atau lebih, dimana masing-masing berpangkal dari
perhitungan untuk melindungi kepentingan masing-masing sejauh mungkin.35
Seperti misalnya sengketa antara masyarakat adat versus perkebunan,
yang saling memperebutkan hak atas tanah dalam lokasi yang sama. Masingmasing mempertahankan haknya berdasarkan landasan hukum masing-masing.
Bagi masyarakat adat mempertahankan haknya berdasarkan hukum adat,
sedangkan pengusaha perkebunan mempertahankan haknya berdasarkan UUPA.
Atau antara masyarakat penggarap versus perkebunan dan pengusaha
perkebunan berusaha untuk mengusir para penggarap di areal perkebunan.
Semua ini adalah sengketa tuntutan yang tidak selaras terhadap sesuatu yang
tidak ternilai.
Berdasarkan teori tersebut di atas, penyelesaian persoalan dalam
sengketa masyarakat versus perkebunan, pemerintah dalam melakukan
penyelesaian sengketa pertanahan khususnya di areal PTPN-II dan PTPN-III
Sumatera Utara, tidak semata-mata harus bersandar pada aturan tertulis saja.
Tetapi harus lebih komprehensip menyangkut sistem hukum, prilaku hukum yang
berlaku dalam masyarakat.
Disamping itu penguasa harus sama-sama memperhatikan rasa keadilan
dalam masyarakat.36 Dan masyarakat juga harus bertindak sesuai dengan
33

Periksa Robert B. Seldman, The State, Law and Development (New York : St. Martins Press,1978)
hal. 74-75.
34
Periksa Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung : Penerbit Alumni,1986), hal. 22-23.
35
Ibid.
36
Salmond mengatakan bahwa keadilan adalah tujuan hukum dan selayaknya bahwa alat seharusnya
dibatasi oleh gambaran-gambaran tujuan yang menjadi raison detre, hal ini menimbulkan masalah
mengenai hubungan hukum dan keadilan. Satu teori mensifatkan hukum dalam hubungannya

2004 Digitized by USU digital library

17

ketentuan hukum dan kenyataan hukum yang berlaku dalam masyarakat,


yang pada akhirnya akan menimbulkan kedamaian dan ketertiban dalam
masyarakat.
Pemberian tanah bagi hak sewa (erfacht) dan konsesi perkebunan yang
dilakukan oleh pemerintah serta larangan pemakian tanah tanpa izin dari yang
berhak atau kuasanya. Secara teoritis harus mengacu kepada konsep dasar yaitu
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kemudian dilakukan perkiraan
mengenai potensi nasional dan situasi kondisi. Potensi Nasional (POTNAS) itu
meliputi Sumber Daya Alam (SDA), Sumber Daya Manusia (SDM), Ilmu
Pengetahuan dan Tekhnologi (IPTEK).
Situasi dan kondisi meliputi skala nasional, skala regional dan skala
global. Konsep dasar dan potensi nasional serta situasi kondisi tersebut
berinteraksi, sehingga menimbulkan wawasan yang dalam bidang ekonomi
berfungsi untuk melangsungkan pembangunan nasional. Oleh karenanya
dibentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Peraturan
Daerah dan lain-lain.
Situasi kondisi dalam semua bidangnya, memberi pengaruh kepada
sistem penyelesaian sengketa hak tanah antara masyarakat versus perkebunan,
baik pengaruh negatif-destruktif, maupun yang positif-konstruktif yang
semuanya itu harus diantisipasi dan diwaspadai.37 Oleh karena itu pelaksanaan
penguasaan hak-hak atas tanah masyarakat dilakukan berdasarkan undangundang dan penegakkan hukum. Sehingga penyelesaian sengketa pertanahan
dapat diselesaikan sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.
Untuk menjelaskan teori yang dikemukakan di atas, di bawah ini dibuat
bagan berikut ini:

37

dengan keadilan, tetapi defenisi ini menimbulkan akibat bahwa tidak mungkin terdapat hukum
yang tidak adil, karena seandainya ada, maka dalam premis-premis itu akan terdapat selfcontradiction yang merusak. Dalam George Whitecross Paton, A Text Book of Jurisprudence,
(Oxford : at The Clarendon Press, 1951), hal 69.
Lihat dan bandingkan dengan sistem manajemen pembagunan nasional (SISNAS) yang
dikemukakan oleh Solly Lubis, 1996, dalam bukunya, Dimensi-Dimensi Manajemen
Pembangunan, (Bandung : Mandar Maju, 1996), hal 24.

2004 Digitized by USU digital library

18

Bagan 1 :

Tentang Kerangka pemikiran mengenai sengketa pertanahan


antara masyarakat dan perkebunan.

POTNAS
SUMBER DAYA ALAM
SUMBER DAYA MANUSIA
ILMU PENGETAHUAN
DAN TEKNOLOGI DI
BIDANG PERTANAHAN
PEMERINTAH

KONSEP
DASAR
PANCASILA
UUD 1945
MENGENAI
SUMBER DAYA
ALAM

INTERAKSI

WAWASAN
PROGRAM
PEMBANGUNAN
NASIONAL
DI BIDANG
PERTANAHAN

SWASTA
SIKON :
NASIONAL
REGIONAL
GLOBAL
DI BIDANG
PEREKONOMIAN
YANG TERKAIT
DENGAN
PERTANAHAN

PERUNDANG
UNDANGAN
TENTANG
PERTANAHAN
TERMASUK,
PELEPASAN
HAK ATAS

TANAH
UU
KEPPRES
PERMEN
PERDA
DLL

PENEGAKAN
HUKUM
PERTANAHAN
YANG
BERKEADILAN
MELALUI

MASYARA
KAT
ADIL
MAKMUR
SECARA
UMUM
DAN
KHUSUSN
YA DI
BIDANG
PERTANA
HAN

FEED BACK (UMPAN BALIK)

Sumber : Derivasi Dari Sistem Manajemen Kehidupan Nasional ( SISNAS),


Oleh: M. Solly Lubis

2004 Digitized by USU digital library

19

HASIL PENELITIAN

I.

Berdirinya Perkebunan
Pertanahan.

A. Kondisi
Asing.

di

Sumatera

Asing

Timur

di

Sumatera

Sebelum

Timur dan Masalah

Berdirinya

Perkebunan

Dalam perjalanan sejarah, Sumatera Timur telah menjadi perebutan


kekuasaan antara Aceh dan Siak. Pada
abad ke-17 sampai abad ke-19,
Aceh dan Siak merupakan dua kerajaan besar yang berpengaruh di
Sumatera Timur. Dua kerajaan ini juga secara silih berganti telah
menguasai kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur. Sebelum tahun 1820, tak
satupun negara Eropa yang menaruh perhatian terhadap kerajaan-kerajaan
yang ada di pantai Timur Sumatera ini. Hanya Inggris yang pertama sekali
menaruh perhatian serius terhadap Sumatera Timur sebagai pasar barangbarang ekspor maupun sumber dari barang-barang impor, terutama lada ke
Penang. Sumatera Timur merupakan tanah yang subur menghasilkan lada
dan tembakau yang ditanami oleh petani-petani suku Melayu dan Batak
Karo secara tradisional. Dalam dekade ini terjadi persaingan dagang antara
Belanda dan Iggris dalam memperebutkan kekuasaan dan pengaruh di
Sumatera Timur. Pada tanggal
17 Maret 1824, Inggris dan Belanda
mengadakan perjanjian yang dikenal dengan Traktaat London yang berisi
untuk mengakhiri persaingan antara Inggris dan Belanda di Asia Tenggara.
Berdasarkan perjanjian ini, Inggris menyerahkan Bengkulu dengan segala
milik perusahaan Hindia Timur lainnya kepada Belanda, sedangkan Belanda
menyerahkan
Malaka beserta kantor-kantor dagang di Hindia Belanda
kepada Inggris. Dalam sejarah selanjutnya Traktaat London tidak membawa
hasil yang sempurna karena Inggris maupun Belanda tetap melakukan
persaingan dan saling menanamkan pengaruh di kerajaan Sumatera Timur
demi kepentingan dagang masing-masing.
Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, kerajaan Siak telah membuat
kontrak politik dengan Belanda, yang dikenal dengan Traktaat Siak , Dengan
perjanjian perdamaian bahwa Siak mengakui kedaulatan Belanda, dan oleh
karena itu, segala kerajaan-kerajaan yang berada di bawah taklukannya,
juga termasuk takluk di bawah kekuasaan Belanda, akibatnya kerajaan Deli
dan Serdang yang dianggap kerajaan Siak sebagai taklukkannya ditentang
oleh Aceh, dan Aceh menyatakan bahwa kedua kerajaan itu berada di
bawah taklukkannya. Dalam kondisi demikian, Belanda membuat perjanjian
perdamaian dengan Aceh yang telah disahkan di Parlemen Belanda pada
tahun 1858 sebagai suatu verdrag antar dua bangsa yang merdeka,
namun akhirnya, dengan Traktaat Siak Belanda menguasai Sumatera
Timur sepenuhnya
pada tahun 1865, dan berhasil mambuat kontrak
politik dengan kerajaan Deli dan Serdang, dan kedua kerajaan ini mengakui
kedaulatan Belanda di Sumatera Timur, dalam periode inilah lahirnya
perkebunan-perkebunan (onderneming ) di Sumatera Timur.

2004 Digitized by USU digital library

20

B.

Lahirnya Agrarische Wet

Lahirnya Agrarische Wet


tidak dapat dilepaskan dari proses
terjadinya sebagai bagian dari sejarah perkembangan kekuasaan kolonial
dan kebijakan mengenai tanah di Jawa. Agrarische Wet lahir atas desakan
modal besar swasta, sejalan dengan politik monopoli pemerintah dalam
bidang
pertanahan
dimana
pihak
pengusaha
perkebunan
terbatas
kemungkinannya untuk memperoleh tanah-tanah yang luas. Agrarische Wet
dijalankan dalam Agrarische Besluit (S.1870 No. 118) yang dikenal dengan
Domein Verklaring sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1 Agrarische
Besluit yang menyatakan bahwa semua tanah yang tidak ada bukti hak
eigendumnya adalah dinyatakan sebagai kepunyaan negara. Teori Domein
ini telah menciptakan hak-hak tertentu berdasarkan hukum barat seperti
eigendum, opstal dan hak erfacht. Tanah-tanah yang disewakan untuk hak
erfacht, adalah tanah Woeste Gronden atau tanah-tanah hutan yang tidak
dapat dibuktikan hak miliknya.
C.

Konsesi Tanah Perkebunan di Sumatera

Timur.

Sejak tahun 1862, raja-raja Sumatera Timur telah memberikan hak


konsesi kepada perusahaan-perusahaan onderneming Eropa. Konsesi yang
diberikan pada dasarnya dalam jangka waktu yang cukup lama (99 tahun),
tanpa batas-batas yang jelas. Tindakan dari Sultan Deli yang telah
menyewakan tanah dengan hak konsesi kepada perusahaan onderneming
telah melanggar hak-hak masyarakat adat, suku Batak Karo, yang berada
di wilayah kesultanan Deli. Pelanggaran hak-hak ulayat masyarakat adat
Batak Karo ini, telah memicu pemberontakan orang-orang Karo terhadap
onderneming dan menyerang bangsal-bangsal tembakau yang menimbulkan
kerugian yang besar bagi pengusaha onderneming.
Pemerintah
Belanda
sangat berkepentingan untuk menghentikan
pemberontakan
bagi
orang
Batak
Karo
demi
perlindungan
pihak
Onderneming maupun kepentingan
pihak
Belanda
sendiri, untuk itu
pemerintah Belanda meneliti daerah-daerah yang termasuk kekuasaan
sultan. Setelah dilakukan penelitian, maka terungkap kerajaan Deli itu,
sebagaimana yang telah dilaporkan oleh W.P.F.L. Winckle adalah terdiri dari :

1. Daerah yang diperintah langsung oleh Sultan Deli dengan kampung Kota

Maksum, Kota Maimun, Sukarame, Pulau Brayan, Glugur, Tanjung Mulia,


Kampung Besar, Labuhan, Belawan, Mabar, Titipapan, Martubung dan Tanah
Anam Ratus.
2. Empat urung atau suku yakni, Serbanyaman, Sepuluhdua Kuta, Sukapiring
dan Senembah.
3. Daerah Percut dengan sebagai bagiannya distrik Sungai Tuan.
4. Wilayah Padang-Bedagei.
Empat urung ini dibagi menjadi daerah Melayu dan Batak, sementara daerah
Batak dibagi lagi menjadi daerah hilir dan hulu atau yang oleh penduduk disebut
Sinuan Bungo dan Sinuan Gambir. Mengenai pemerintahan atas bagian
kesultanan ini berikut perlu disampaikan. Urung atau suku berada di bawah
pimpinan yang menyandang gelar Datuk, kecuali kepala sinembah yang disebut

2004 Digitized by USU digital library

21

Kejuruan dan gelarnya juga disandang oleh kepala tanah Percut. Lima kepala
adat ini bersama-sama kemudian membentuk Dewan Bangsawan. Di daerah
Padang-Bedagei Sultan Deli memiliki wakil juga di Labuhan Deli.
Di bawah kekuasaan langsung sultan hanya para kepala dari empat urung di
Kejuruan Percut yang masih ada. Mengenai ahli warisnya sebagai aturan umum
bisa diterima bahwa putera sulung harus menggantikan ayahnya dan kebiasaan
ini juga diberlakukan bagi kepala adat yang lebih rendah. Datuk dianggap oleh
sultan setelah berunding dengan Asisten Residen Deli dan Serdang serta dengan
persetujuan Gubernur, dan penyimpangan baru bisa dilakukan apabila sistim ahli
waris ini tidak memiliki syarat. Juga para kepala adat yang kurang cocok yang
hanya memikirkan martabatnya sendiri masih terdapat diantara keturunan
bangsawan itu.
Di daerah Batak dari empat urung itu ada kebiasaan bahwa kepala dusun
diangkat dan dipecat oleh kerapatan, para pejabat tinggi di kerapatan dusun dan
para pejabat rendah oleh kerapatan urung.38
Keadaan pemerintahan di Kesultanan Deli sebagaimana disebut di atas
dari sumber lain dapat diperjelas, seperti yang diberitakan dalam Pewarta Deli
tahun 1933 sebagai berikut :
Afdeeling Boven Deli terbagi 4 District, jaitoe :
I - XII Kota (oeroeng XII kota) dikepalai oleh Datoek Hamparan Perak,
berkedoedoekan di Hamparan Perak.
II
Oeroeng Serbajaman, dikepalai oleh Datoek berkedoedoekan di
Soenggal.
III
Oeroeng Soekapiring dikepalai oleh Datoek Soeka Piring
berkedoedoekan di Kp. Baroe.
IV
Oeroeng Senembah, dikepalai oleh Kedjoeroean, berkedoedoekan
di Patoembak.
Maka keempat District (Oeroeng) jang tsb. Ini taloek dan dikoeasai poela
oleh Spd. Toeankoe Sulthan Deli. Pada tiap-tiap Oeroeng terbagi poela atas
doea nama :
a. Sinoean boenga, jaitoelah arah kesebelah hilir.
b. Sinoean gambir, arah kesebelah selatan berwatas dengan tanah Karo
(Karolanden).
Masing-masing oeroeng diangkat doea orang jg berpangkat Hoofd
perbapaan, satoe di Sinoean boenga dan satoe di Sinoean gambir.
Kedoedoekan Hoofd perbapaan itoe masing masing Oeroeng, jaitoe: di
Oeroeng XII kota, ialah kampoeng I
Lau Tjih II Radja Berneh, di
Oeroeng Serbajaman, I Koeta Mbaroe II, Goenoeng Merlawan di
Oeroeng Soeka Piring, I Namo Rambei, II Sala Boelan di Oeroeng
Senembah, I Namo Soero II Basoekoem.
Dibawah Hoofd perbapaan jang delapan orang itoe terdiri poela 27 orang
Hoofd penghoeloe dan dibawah Hoofd penghoeloe ada 300 penghoeloe kitik,
dibawah penghoeloe kitik jang 300 orang itoe, (menoeroet perhitoengan
tjahtjah djiwa jang paling achir) ada sedjoemlah ralat laki laki perempoean
24,000 orang (hitoengan ini diambil riboe sadja).
Maka pemerentahan dari pehak Zelfbestuur ini dibantoe dan dikepalai poela
oleh seorang Eropeesch Bestuur ialah Controleur jang berkedoedoekan di
38

Memorie van Overgave, W.P.F.L. Winckel, Opcit Hal.71-73. Periksa juga Gouvernement Besluit
tanggal 30 Nopember 1920 nomer 42.

2004 Digitized by USU digital library

22

Arnhemia.
Sebagai pembantoe pada toean controleur diangkat seorang mantri Cultures
(dahoeloe Controle Mantri) dan bagian Landbouw seorang Mantri sawah,
ditambah 4 orang penghoeloe Balei ialah penghoeloe Balai dari masingmasing Oeroeng .39
Ketika datuk-datuk kepala suku Batak Karo tidak diajak berunding oleh
sultan untuk menyerahkan konsesi-konsesi tanah di wilayah mereka, maka
datuk-datuk ini menentang dan menuduh bahwa pemberian konsesi ini telah
melanggar hukum adat yang sudah ada sebelum kedatangan Belanda. Dengan
menyerang onderneming-onderneming itu, orang Batak Karo berharap akan
mengakhiri perampasan hak-hak mereka dan meyakinkan pengusaha
onderneming bahwa mereka harus merundingkan kontrak-kontrak tanah di
wilayah Batak Karo dengan kepala suku masing-masing dan bukan dengan
sultan.40
Residen Belanda menyelesaikan pertentangan langsung antara sultan dan
kepala-kepala suku Batak Karo itu, dengan menetapkan bahwa : pembayaran
untuk konsesi-konsesi di wilayah Karo harus dibagi tiga bagian yang sama,
sepertiga untuk sultan, sepertiga untuk Datuk Batak Karo, dan diberikan
sepertiga untuk kepala-kepala desa dalam lingkungan konsesi.
D. Sengketa Pertanahan Antara Masyarakat dan Perkebunan Pada
Masa Konsesi di Sumatera Timur.
Sengketa pertanahan antara masyarakat dan perkebunan pada masa
konsesi di Sumatera Timur terjadi karena disebabkan adanya perbedaan
persepsi antara unsur-unsur yang berkepentingan dengan tanah yaitu
sultan, perusahaan perkebunan (onderneming) dalam menentukan siapa
yang berhak terhadap hak menguasai tanah di Sumatera Timur. Sultan
Melayu menganggap bahwa tanah adalah dikuasai oleh raja, dan raja adalah
pemilik semua tanah (vorstdomein), dan berhak memberikan tanah kepada
yang dianggapnya layak dan mampu menggarapnya dengan menyerahkan
upeti dari sebagian hasilnya kepada sultan. Pada sisi lain rakyat sebagai
kawula raja mempunyai prinsip bahwa tanah adalah milik adat yang
bersifat komunal (ulayat), sementara raja dalam hal ini memegang status
sebagai pemimpin adat, bukan sebagai penguasa/pemilik tanah.

39

40

Pewarta Deli, Boven Deli dalam Zaman Ciris, 10 Januari 1933, hal.2 kol.2-3. Koleksi
Perpustakaan Nasional Microfilm rol No.429/ PN. Periksa juga Gouvernement Besluit tanggal 30
Nopember 1920 nomer 42, bundel Algemeen Secretarie, koleksi ANRI Jakarta.
E.A. Halewijn, Geographische en ethnographische gegevens betreffendehet Rijk van Deli ,
Tijdschrift voor Indische Taal-, land-, en Volkenkunde, 23 (1876), hal. 147-152.

2004 Digitized by USU digital library

23

II. Konflik Tanah Perkebunan PTPN-II dan PTPN-III Versus Masyarakat


Setelah Indonesia Merdeka.

A. Revolusi dan Dampaknya Atas Tanah-Tanah Perkebunan (19451949).

Pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945 masa


ini merupakan pancaroba, dimana keadaan masyarakat serba belum menentu,
sehingga sambil mempertahankan kemerdekaan, juga menata perekonomian,
dan menegakkan ketertiban hukum. Pemerintahan Indonesia yang baru belum
bisa segera mengambil alih semua kekuasaan daerah dan menegakkan kontrol
pusat secara mapan di daerah, melainkan masih terpusat di Jawa dan Madura.
Sebagai akibatnya berbagai gejolak sosial meledak yang bersumber pada
sengketa dan konflik lama baik yang bernuansa etnis, pelapisan sosial maupun
sumber kehidupan ekonomi agraria khususnya yang menyangkut penguasaan
tanah.
Sekutu yang menerima kekalahan perang pemerintah militer Jepang,
bertekad untuk memulihkan kondisi lama sebelum perang (status quo) untuk
ditata kembali lebih lanjut di masa mendatang. Berdasarkan keputusan tinggi
militer Sekutu, tugas memulihkan kondisi di Indonesia diserahkan kepada
pasukan Inggris di India yang tergabung dalam South East Asia Command.
Untuk melaksanakan tugas pasukan Sekutu di Sumatera, SEAC membentuk
Allied Forces Nedherlands Indies (AFNEI) yang terdiri atas Divisi ke-26 India di
bawah Mayor Jenderal T.E.D Kelly untuk wilayah perang Sumatera. Pasukan ini
mendarat di Belawan pada tanggal 10 0ktober 1945.41
Keputusan Sekutu untuk memulihkan Status Quo setelah pemulangan
pasukan Jepang ini dijadikan dasar hukum oleh Belanda untuk kembali ke bekas
tanah jajahannya yang ditinggalkan pada tahun 1942. Perangkat militer dan
pemerintahan sipil Belanda mengikuti kedatangan pasukan Sekutu ke Sumatera
Utara. Keterlambatan pemakluman proklamasi RI di Medan menjadi peluang
yang dimanfaatkan oleh penguasa kolonial Belanda untuk memperkuat
kedudukannya di Sumatera Utara. Hal ini dilakukan dengan kembali mendekati
para penguasa tradisional kerajaan Melayu yang mengharapkan kembalinya
kekuasaan feodalisme lama di Sumatera Utara.42
Di lain sisi kondisi politik di Sumatera Utara pada masa proklamasi
diwarnai dengan gejolak revolusi yang mengarah pada pergolakan sosial. Ini
dipicu dengan pembentukan laskar-laskar yang bernuansa ideologis politik dan
berbasiskan pada masa buruh di perkebunan. Langkah-langkah radikal yang
diambil oleh para kelompok revolusioner ini adalah mengambil alih tanah-tanah
41

42

Periksa Suprayitno, Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia (Yogyakarta : Tarawang Press, 2001) hal.
57-58.
Keterlambatan proklamasi kemerdekaan RI di Sumatera Utara yang dilakukan pada tanggal 6
0ktober 1945 secara resmi ini disebabkan oleh sulitnya hubungan dengan Jawa dan berbagai
persiapan darurat yang harus dilakukan di Sumatera Utara. Tumbuhnya berbagai golongan yang
berkepentingan terhadap revolusi juga sangat mempengaruhi nuansa revolusioner dalam
pengumuman proklamasi itu.

2004 Digitized by USU digital library

24

bekas milik onderneming dan membagi-bagikan kepada para anggota laskarnya


yang terdiri atas berbagai etnis.43
Terutama dari gerombolan sayap kiri sangat aktif melancarkan tindakantindakan agresif terhadap posisi modal asing di Sumatera Timur. Pengaruh
sayap kiri ini nampak sejak tanggal 1 Mei 1947 di mana mereka membentuk
Barisan Arit Soematra yang kemudian melebur dalam Barisan Tani Indonesia
dengan tujuan untuk membagi-bagi tanah-tanah perkebunan Sumatera Timur.
Pemerintah Republik di Sumatera juga dipaksa untuk melepas pemilikan
atas tanah-tanah perkebunan dan dibagi-bagikan kepada para bekas kuli dan
buruh perkebunan yang telah menggarapnya.
Puncak dari ketegangan yang ada ini adalah meledaknya revolusi sosial di
Sumatera Timur dengan korban utama para raja dan bangsawan Melayu yang
dibunuh dan harta kekayaan mereka dijarah oleh para penyerang yang terdiri
atas laskar-laskar dan organisasi politik. Tanah-tanah kekuasaan para raja
Melayu ini kemudian dibagi-bagi dan dikuasai oleh gerakan politik yang ada di
Sumatera Timur tanpa aturan hukum yang jelas. Tanah sebagai suatu komoditi
digunakan oleh gerakan politik dan kelaskaran sebagai sarana untuk menarik
pengikut dengan jaminan politik yang kabur.
Para pengusaha Belanda,
yang
ingin
mendapatkan
kembali
perkebunannya
di Indonesia, terutama
di Sumatera
Utara sangat
berkepentingan bagi negeri Belanda. Mereka segera mendesak pemerintah Den
Haag agar segera mengambil tindakan tegas untuk memulihkan kondisi di
Sumatera. Langkah politik pertama yang bisa dijadikan sebagai dasar hukum
adalah dicapainya Persetujuan Linggarjati antara pihak Belanda dan Indonesia, di
mana Belanda mengakui kekuasaan RI secara de facto di Jawa dan Sumatera
dan bertanggungjawab penuh atas keamanan di wilayah tersebut.44
Namun mengingat hasil yang dicapai di Linggarjati menurut Belanda
kurang memuaskan, tindakan lain harus dipertimbangkan. Karena itu segala
upaya militer (Agresi I dan Agresi II) Belanda diambil, yang akhirnya mengarah
pada diadakannya Konperensi Meja Bundar atas campur tangan PBB yang
mengakhiri konflik antara Indonesia dan Belanda.45 Begitu pula dengan hasilhasil Konferensi Meja Bundar, menegaskan eksistensi dan pengakuan milik
(asset) Belanda yang ada di Indonesia.
43

Justus M. van der Kroef, Penguasaan Tanah dan Struktur Sosial di Pedesaan Jawa, dalam Sediono
M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan
Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa (Jakarta: Gramedia, 1984), hal. 163. Pada masa awal
berdirinya Republik, partai-partai politik banyak mencari pendukung di kalangan petani miskin
dan pemberian tanah menjadi senjata ampuh untuk menarik pengikut.
44
Pada mulanya delegasi Belanda menghendaki agar RI hanya berkuasa atas Jawa sementara luar
Jawa seluruhnya diletakan di bawah wewenang Belanda, dengan alasan RI tidak mampu mengatasi
revolusi sosial yang terjadi di Sumatera Timur. Namun di balik itu pemerintah Belanda bermaksud
menyerahkan kembali daerah perkebunan Sumatera Timur itu kepada para pengusaha perkebunan
lama yang berkepentingan dengan investasi modalnya di sana. Periksa Suprayitno, ibid., hal. 80.
45

Campur tangan PBB dalam persoalan Indonesia-Belanda ini menunjukan adanya pengakuan hukum
internasional terhadap keberadaan RI baik secara de facto. Periksa J.G. Starke, Pengantar Hukum
Internasional, terjemahan Bambang Iriana Djajaatmadja, edisi X (Jakarta: Sinar Grafika, 1995) hal. 173.
Dalam hal ini pengakuan atas RI didasarkan pada urgentie diplomatik, yakni bahwa justifikasi hukum
digunakan untuk menyebut status pengakuan ini meskipun secara fisik negara itu belum terbentuk.

2004 Digitized by USU digital library

25

Agresi Militer Belanda I pada Juli 1947 ditujukan pertama-tama ke


daerah pusat
onderneming di Sumatera Timur, dan daerah onderneming
lainnnya di Indonesia. Demikian pula Agresi II pada Desember 1948,
sasarannya selain ibukota RI di Yogyakarta adalah daerah Onderneming seperti
Asahan, Malang Selatan dan Kediri.46
Sementara itu para pemimpin setempat yang anti Republik mulai
menghasut untuk memperoleh otonomi bagi Sumatera Timur. Komisaris urusan
administratif Hindia-Belanda, J.J van de Velde, panglima militer di Sumatera
Timur Kolonel P. Scholten dari Brigade Z, dan kepala Dinas Administratif
sementara J.Gerritsen secara resmi diundang meninjau sebuah demonstrasi
yang menuntut pemerintahan otonomi untuk Sumatera Timur, diselenggarakan
di Medan pada tanggal 31 Juli 1947.
Kemenangan diperoleh para pejuang daerah otonomi itu ketika pada
tanggal 8 Oktober 1947 diumumkan sebuah keputusan oleh pemerintah HindiaBelanda yang memberikan pengakuan sementara kepada Daerah Istimewa
Sumatera Timur, dan mengalihkan kepada anggota-anggota komite Medan
sebagai Dewan Perwakilan Sementara. Dewan itu diberi tugas menyusun sebuah
Undang-Undang Dasar. Sebuah Keputusan secara resmi yang melahirkan negara
Sumatera Timur ditandatangani pada tanggal 25 Desember 1947 oleh Van
Mook.47
Pemindahan kekuasaan secara resmi kepada negara Sumatera Timur
dilakukan tergesa-gesa tanpa persiapan yang memadai. Sebagai akibatnya
pemindahan-pemindahan administratif yang sebenarnya menyangkut urusan
agraria, pertanian, kehutanan, kesehatan masyarakat, dan pekerjaan umum
masih dilakukan berbulan-bulan kemudian. Jabatan tinggi tetap dipegang oleh
pejabat Belanda, walaupun secara teoritis hanya bertanggung jawab kepada
kepala negara Sumatera Timur.

B. KMB (1950-1956) dan Masalah Tanah Perkebunan.


Setelah Konferensi Meja Bundar (KMB), dan penyerahan kedaulatan
pada tanggal 27 Desember 1949, Ratu Juliana menandatangani akte
penyerahan dan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS). Dan
sesuai
dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Induk Persetujuan
dengan Rancangan Penyerahan Kedaulatan yang terlampir, dinyatakan sah
menurut hukum.48
Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) dan kerajaan Belanda,
berkeinginan mengatur perhubungan baru, di lapangan keuangan
dan
46

47

48

Muhammad Tauchid, Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan Dan Kemakmuran


Rakyat, (Jakarta: Cakrawala, 1983), hal 14 - 115.
Van Mook mengembangkan federalisme, yang oleh rakyat Indonesia dipandang sebagai adik
kandung kolonialisme, lihat K.M.L .Tobing, Perjuangan Politik Bangsa Indonesia K.M.B ,
C.V. Haji Mas Agung, (Jakarta: 1987, hal 248 . Periksa juga Suprayitno, op.cit., hal. 84-85.
Sebagian dari para tokoh pendukung ini adalah para anggota bangsawan feodal Sumatera Timur
yang lolos dari revolusi sosial Maret 1946.
K.M.L. Tobing, Perjuangan Politik Bangsa Indonesia K.M.B . (Jakarta : C.V. Haji Mas
Agung, 1988), hal 236 .

2004 Digitized by USU digital library

26

perekonomian,
yang
terjadi
karena penyerahan
kedaulatan, dengan
persetujuan sebagai berikut : Bahwa hak konsesi dan izin yang diberikan
dengan sah, menurut hukum Hindia Belanda (Indonesia), yang pada waktu
penyerahan kedaulatan masih berlaku, maka Republik Indonesia Serikat (RIS),
mengakui Konsesi dan izin tersebut.
Dalam Persetujuan Keuangan dan Perekonomian Republik Indonesia
Serikat (RIS) dan Kerajaan Nederland, telah
memutuskan mengadakan
persetujuan antara lain sebagai berikut : Pada Bagian A tentang Hak,
Konsesi, Ijin dan Menjalankan Perusahaan, pasal 1 ayat (3) menyatakan :

a. Bahwa selama pendudukan Jepang dan kemudian selama masa revolusi telah

terjadi bahwa tanah-tanah 0nderneming yang sudah dibongkar tanamannya


untuk dipergunakan akan pertanian atau pekarangan, telah diduduki rakyat
selama masa pendudukan Jepang dengan ijin pembesar-pembesar Jepang dan
bahwa pada hal-hal yang tertentu, jika tanah itu dicabut kembali daripada
tangan rakyat yang berkepentingan dengan begitu saja, lalu dikembalikan
kepada 0nderneming yang bersangkutan, akan timbul kegelisahan yang amat
sangat sehingga pengembalian tanah itu pada kebanyakan hal tidak mungkin
terjadi. Tiap-tiap keadaan akan dipertimbangkan tersendiri dan akan
diusahakan penyelesaian yang dapat diterima oleh segala pihak.
b. Bahwa pemilik partikelir yang tertentu perlulah terus dipergunakan (diambil)
secara paksa buat sementara, ialah untuk keperluan negara guna sesuatu
jabatan pemerintah dengan mengganti kerugian49.
Berdasarkan ayat tersebut bisa dikatakan bahwa keberadaan onderneming
khususnya di Sumatera Timur telah dijamin oleh pemerintah RIS, dan apabila
ada infrastruktur mereka yang diambil oleh pemerintah baik untuk kepentingan
pusat maupun kepentingan negara bagian, para pengusaha ini berhak menuntut
dan menerima ganti rugi.
Pendirian Pemerintah RIS yang lebih tegas lagi dikemukakan oleh
Menteri Dalam Negeri RIS (29 Juli 1950), yang menyatakan antara lain : (a)
Bilamana Onderneming tidak dapat dapat dibangun kembali, maka tanah
tinggal
tetap
seperti keadaan sekarang,
yaitu
rakyat
dibolehkan
mengerjakan sebagai tanah pertanian.
Bilamana Onderneming dapat dibangun kembali, maka rakyat yang
menduduki tanah-tanahnya tidak akan diusir begitu saja, akan ditinjau
tanah mana yang akan dipergunakan lagi oleh Onderneming. Tanah-tanah
yang tersebut di belakang akan dikembalikan kepada Onderneming dengan
cara yang tidak merugikan
rakyat
yang mendudukinya. Misalnya,
penduduknya diberi tanah lain atau diberi kerugian uang dan sebagainya.50

49

50

Lihat Rancangan Persetujuan Keuangan dan Perekonomian, yang telah disyahkan, dalam akta
Pernyerahan dan Pengakuan Kedaulatan, yang telah ditandatangani oleh Ratu Juliana di
Amsterdam tanggal 27 Desember 1949 . Dari pihak Indonesia Drs. Mohammad Hatta, ketua
Delegasi Republik Indonesia Serikat, bersama anggota-anggota delegasi, Dr.Mr. Supomo,
Sultan Hamid, Dr. Suparno, Dr. Mr. Kusumaatmaja, Dr. Sukiman Wiryosanjoyo, Mr. Suyono
Hadinoto, menyatakan atas nama Republik Indonesia Serikat, telah menerima penyerahan
kedaulatan, sesuai dengan akta penyerahan dam pengakuan kedaulatan .
Muhammad Tauchid, op cit, hal 34 .

2004 Digitized by USU digital library

27

Para pengusaha perkebunan bersandar pada jaminan yang diberikan oleh


Republik. Jaminan yang diberikan dengan berdasarkan Konperensi Meja Bundar
(KMB), menyangkut pengakuan dan pemulihan semua hak konsesi, dan lisensi
yang benar-benar diserahkan di bawah Undang-Undang Hindia-Belanda, dan
kelangsungan syarat-syarat
yang memungkinkan penanaman modal yang
diperoleh untuk kegiatan jangka panjang yang biasa, dan setiap pengecualian
harus diperlakukan sesuai dengan prosedur yang ditentukan oleh hukum.51
Dalam perjalanan sejarahnya, RIS sebagai hasil utama dari KMB tidak
mampu bertahan. Satu per satu negara federal yang dibentuk sebagai bagian
dari RIS meleburkan diri dengan pemerintah RI di Yogyakarta hingga pada
akhirnya hanya NST dan NIT yang masih tersisa di luar RI. Namun setelah
melalui berbagai perundingan dan usaha, dan mengingat kondisi intern NST,
akhirnya pada tanggal 13 Agustus berdasarkan UU yang disahkan oleh Dewan
NST negara federal ini bergabung dengan negara kesatuan RI dan dijadikan
sebagai Provinsi Sumatera
Utara yang wilayahnya mencakup Aceh, bekas
karesidenan Sumatera Timur dan bekas karesidenan Tapanuli.
Perubahan dalam bidang tata kenegaraan ini sebaliknya tidak memberikan
pengaruh yang besar pada kondisi pemilikan tanah oleh perusahaan-perusahaan
perkebunan asing di wilayah Sumatera Timur. Para pengusaha onderneming
tetap memiliki hak-haknya atas tanah dan mereka masih bisa mengelola
usahanya dengan tenang.
Kembalinya NST ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,
menimbulkan akibat langsung bagi perjuangan agraria. Akibat yang paling dalam
berasal dari prinsip sosial dan ekonomi dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang
diambil alih oleh Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950.52
Sehubungan dengan hal tersebut, situasi Agraria menghendaki
perumusan prinsip-prinsip baru untuk penentuan penggunaan tanah yang
optimum yang didasarkan pada prinsip-prinsip ini guna realokasi tanah-tanah
perkebunan yang dikembalikan pada negara. Pada akhir tahun 1950, dibentuk
Panitia Pusat Urusan Tanah Pertanian (PPUTP) menghasilkan persetujuan umum
antara penguasa sementara dan pengusaha perkebunan, bahwa perkebunan
Tembakau harus mengembalikan sekitar 130.000 Ha. tanah, dari seluruh lahan
perkebunan seluas 255.000 Ha. kepada pemerintah provinsi. Sisanya seluas
125.000 Ha, diberikan kepada Deli Planters Vereniging ( DPV) , dengan hak
sewa selama 30 tahun. Dari luas tanah yang 130.000 Ha. ini, 90.000 Ha.
diserahkan kepada rakyat sebagai hak milik.53

51
52

53

K.M.L. Tobing, loc.cit, hal 40.


Lihat pasal-pasal 27, 29 dan 33 dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang berturut-turut menjadi
pasal 7,18 dan 38 dalam Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950. Dua pasal yang pertama
( 27 dan 29 UUD 1945 ) mengalami sedikit perubahan yaitu bahwa dalam pasal 27 UUD 1945
dirumuskan sebagai berikut. 1. Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum
dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya . 2. Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan . Sedangkan yang ketiga ( pasal 33 UUD 1945 ) tidak mengalami perubahan.
Periksa harian Indonesia Raya tanggal 9 Agustus 1951; periksa juga Ikhtisar Gerakan Tani, JuliAgustus 1951 hal. 50, koleksi Perpustakaan Nasional RI. Perusahaan perkebunan ini masih belum
bisa dihapuskan sama sekali mengingat masih berlakunya kontrak jangka panjang selama 75-99

2004 Digitized by USU digital library

28

Gubernur Sumatera Utara Abdul Hakim54 sedang mempertimbangkan


undang-undang yang memberikan kekuasaan kepada pemerintah pusat untuk
mengeluarkan hak agraria baru atas lahan seluas 125.000 Ha,55 yang tidak boleh
diduduki oleh penduduk liar dan penduduk liar yang sudah lama menyerobot
tanah itu, akan dimukimkan kembali. Dengan demikian, selain mendapat
jaminan dari pemerintah pusat, perusahaan tembakau siap untuk menanam
modal baru. Tetapi undang-undang yang diusulkan tidak dapat diharapkan dalam
waktu dekat. Sedangkan industri tembakau sangat membutuhkan landasan baru
untuk kegiatannya.
Usulan ini diajukan kepada Menteri Dalam Negeri Iskaq Tjokrodisurjo
tanggal 28 Juni 1951. Menurut rencananya tanah 125.000 Ha, ini akan dibagibagikan kepada para petani untuk digarap oleh mereka dalam jangka waktu
maksimal 30 tahun, selain untuk pemukiman. Tanah ini hanya bersifat hak pakai
dan tidak bisa diwariskan. Setelah masa garap tanah-tanah itu berakhir maka
semua lahan harus dikembalikan kepada pemerintah. Untuk mengatasi keadaan
itu keluar Keputusan Menteri Dalam Negeri,56 pada tanggal 28 Juni 1951, yang
mengesahkan peraturan sementara sambil menunggu diumumkan UndangUndang Agraria baru. Keputusan tersebut menyetujui usul bahwa perusahaan
tembakau mempertahankan 125.000 hektar untuk jangka waktu maksimum 30
tahun dengan syarat yang ditentukan kemudian, dan 130.000 hektar
dikembalikan kepada Pemerintah.57
Untuk menindaklanjuti Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 28
Juni 1951 No. Agr.12/5/14 Gubernur Sumatera Utara mengeluarkan keputusan
No. 36/K/Agr, tanggal 28 September 1951 tentang penghunjukan dari tanahtanah negara yang sekarang dikuasai dengan hak konsesi oleh perusahaan
perkebunan tembakau di Sumatera Timur : (a) tanah seluas maximum
125.000 Ha, yang akan dibenarkan pemakaiannya dengan hak benda, untuk
waktu paling luas 30 tahun dan dengan syarat-syarat lain yang akan
ditetapkan oleh Pemerintah dikemudian hari. (b) Selebihnya, dari 125.000 Ha,

54
55

56

57

tahun yang telah dibuat dan perlunya produk tanaman karet dan tembakau yang ditanam para
pengusaha sebagai sarana pemasukan devisa negara.
Periksa harian Perdamaian, Jakarta, 21 Juli 1951.
Tanah seluas 125 ribu hektar ini merupakan hasil kesepakatan antara Gubernur dengan pihak DPV
(Deli Plantation Vereeniging). Sebelumnya pihak DPV hanya mengusulkan 86 ribu hektar yang
akan diberikan kepada petani. Juga perlu dilakukan seleksi atas tanah-tanah yang diberikan sesuai
dengan kelayakan tanah untuk ditanami padi dan tanah yang ditanami tembakau. Periksa artikel
Tanah di Sumatera Timur akan Diseleksi dalam harian Waspada, Medan, tanggal 21 0ktober
1950.
Langkah Menteri Dalam Negeri ini bertujuan untuk sedikit demi sedikit menghapuskan bentuk
konsesi kepada perkebunan onderneming dengan batasan maksimal sewa tanah selama 30 tahun.
Begitu juga luas tanah yang disewa oleh onderneming dikurangi sampai separuh. Namun dengan
diterapkannya sistim baru ini semua aturan sewa tanah lama lenyap, termasuk sistim jaluran yang
sering diterapkan oleh onderneming bagi rakyat untuk menanam padi dan jagung. Periksa Harian
Rakyat tanggal 6 Agustus 1951.
Menurut desas-desus yang beredar oleh unsur-unsur komunis, 20 ribu orang petani kecil yang
menempati lahan perkebunan seluas 130 ribu hektar itu sejak jaman Jepang akan diusir dan
penempatan ke tempat lain oleh pemerintah dianggap sebagai perampasan lahan tidak sah
(onwettig) Berita ini dibantah oleh Sekdjen Departmen Dalam Negeri Mr. Sumarman. Periksa
Berita Indonesia Nomor 53/PN/M, tanggal 9 Mei 1953.

2004 Digitized by USU digital library

29

seperti dimaksud sub (a) yang oleh Perusahaan Perkebunan tembakau akan
diserahkan kembali kepada negara.
SK Gubernur No. 36/K/Agr, tanggal 28 September 1951 tersebut diatas
memutuskan antara lain sebagai berikut : 58
I. Tentang tanah-tanah ditepi jalan
Tanah-tanah ditepi jalan umum kiri kanan antara kota-kota Tanjung
Pura - Binjai;
dan Medan - Pancur Batu; selebar 250 meter dari tepi
jalan masuk ke dalam, dikembalikan kepada pemerintah.

II. Tentang tanah-tanah persawahan.


Tanah-tanah persawahan yang sudah ada, diserahkan kembali kepada
perusahaan perkebunan kepada pemerintah.
III. Tentang tanah-tanah perkampungan dan kota, serta
yang dipergunakan untuk perluasan-perluasan.

tanah-tanah

Tanah-tanah perkampungan
sekarang
dan perluasannya,
buat
dikemudian hari selama 30 tahun, akan ditentukan dan diserahkan
kepada pemerintah.

IV. Tanah-tanah dipinggir sungai dan dikelilingi mata air.


Tanah-tanah dipinggir sungai wajib dipertahankan sebagai lahan
penyangga sungai selebar 50 meter, dan lahan diatas radius 100
meter dari sumber air.
Keputusan ini merupakan tonggak penting dalam sejarah agraria sesudah
perang yang disambut hangat oleh pemerintah dan perusahan perkebunan,
maupun oleh organisai buruh dan petani yang moderat, karena memberikan
dasar. Namun mendapat perlawanan keras dari organisasi-organisasi yang
radikal seperti BTI yang digerakkan oleh PKI.59
Dengan mengikuti perkembangan yang terjadi di Jawa, di Sumatera
Timur berdiri pula partai-partai politik beserta ormas-ormasnya. Kehadiran partai
politik berserta ormasnya ikut mewarnai masalah pertanahan di Sumatera Timur
khususnya masalah tanah perkebunan. Sejalan dengan mekarnya organisasi
petani diikuti pula dengan kaum pendatang yang bukan penduduk asli (rakyat
penunggu) yang mendatangi daerah perkebunan dari berbagai dareah terus

58

59

Periksa SK. Gubernur Sumatera Utara tanggal 28 September 1952 Nomor 36/K/Agr.
Margo L. Lyon, Dasar-Dasar Konflik Di Daerah Pedesaan Jawa, Dalam Dua Abad Penguasaan
Tanah Pola Penguasaan Tanah di Jawa Dari Masa Ke Masa, di Sunting oleh Sediono MP.
Tjondronegoro, Gunawan Wiradi, (Jakarta : Gramedia, , 1984), hal 202-203 . Pada tahun 1950, di
Jawa dan daerah-daerah lainnya di Indonesia muncul persfekif lain mengenai masyarakat pedesaan
disuarakan dengan tajam dalam kampanye-kampanye PKI dan organisasi taninya yaitu : BTI yang
bertujuan membuat petani lebih sadar akan kedudukan material dan sosialnya. Untuk
mengorganisir mereka mengadakan aksi. PKI dalam program umum membuat resolusi yang
menyangkut masalah kaum tani. Salah satu masalah pertama yang dikemukakan adalah tanah
untuk petani kemudian dijadikan landasan program reformasi. Program ini dimulai dengan adanya
tekanan-tekanan untuk mendapatkan dukungan hukum atas hak penduduk liar diatas tanah
perkebunan.

2004 Digitized by USU digital library

30

meningkat. Kaum pendatang menduduki tanah-tanah perkebunan dan kehadiran


mereka dibela oleh partai politik.
Pada dekade 1950-an, serikat petani yang paling agresif di Sumatera
Timur ialah BTI dan RTI. Dibandingkan keduanya, STII dan BPRP bersifat sangat
moderat dan relatif mematuhi hukum, sehingga dikatakan oleh lawan-lawannya
dengan sebutan kaki tangan pengusaha perkebunan. Orang-orang militan
pimpinan dari BTI dan RTI mempengaruhi jalannya peristiwa di Sumatera Timur
dengan cara melakukan sabotase setiap usaha pemerintah provinsi.
Politik non koperasi dan pelanggaran hukum secara sengaja mereka
terapkan, sehingga mekanisme pelaksanaan hukum pada waktu itu terhenti.
Setiap pejabat yang berusaha menjalankan hukum, dituduh bersikap kolonial
karena bertindak melawan petani atas dasar hukum yang dikeluarkan selama
masa kolonial, untuk melindungi hak dan modal asing. Ini berdasarkan pada hasil
keputusan dari DPP BTI dalam rapat plenonya tanggal 16 dan 17 Mei 1953 di
Jogyakarta, diantaranya :

1. Petani harus mendapat bagian tanah untuk hidup yang layak

sedikitnya suatu hektar sawah atau dua hektar tanah ladang, seperti
direncanakan oleh pemerintah buat sementara bisa diterima
mengingat alat-alat yang ada pada petani waktu ini.
2. kalau untuk mencapai maksud minimum seperti tersebut di atas
mengakibatkan perpindahan, harus diadakan persiapan yang
saksama.
3. tanah gantinya harus sudah disediakan lebih dahulu dengan
ketentuan:
a. tanah yang baik untuk pertanian dan kediaman, mengingat kesuburan
dan kesehatan;
b. cukup luasnya untuk pertanian dan perumahan;
c. tanah itu sudah dapat segera mulai dikerjakan (ditanami) pada waktu
orang ini pindah;
4. untuk keperluan kepindahan dan keperluan selanjutnya supaya
pemerintah membantu:
a. biaya untuk pindah/angkutan dll.;
b. biaya mendirikan rumah, hingga dapat mempunyai rumah kembali
sepadan dengan rumahnya yang lama;
c. biaya hidup selama menunggu hasil tanahnya yang baru;
d. alat-alat yang diperlukan; alat-alat mendirikan rumah kembali, alatalat pengangkutan dan perhubungan, alat-alat mengerjakan tanah,
pinjaman lembu dll.;
e. kredit, tidak berbunga untuk modal mengusahakan tanahnya;
5. DPV yang 125.000 ha dengan memperpendek waktu rotasi (dengan
rotasi 5 tahun cukup dijamin tanah 75.000 ha);
tempat yang baru harus mewujudkan desa yang baru dan sempurna
perlengkapannya dengan disediakan tanah untuk penggembalaan, ibadat,
sekolah, rumah, pengobatan, lapangan olahraga dsb.60

60

Periksa Antara, harian Jogjakarta, tanggal 21 Mei 1953.

2004 Digitized by USU digital library

31

Kabinet Wilopo mulai berkuasa sejak tanggal 3 April 1952. Programnya


adalah pemulihan produksi perkebunan, sampai taraf sebelum perang, dan
penyelesaian pertikaian agraria tanpa merugikan kepentingan negara.61 Kabinet
Wilopo mulai berkuasa sejak tanggal 3 April 1952. Programnya adalah pemulihan
produksi perkebunan, sampai taraf sebelum perang, dan penyelesaian pertikaian
agraria tanpa merugikan kepentingan negara.62 Wilopo mendesak agar
pemerintah pusat memberi kekuasaan yang lebih besar kepada pemerintahan
provinsi, untuk menyelesaikan pertikaian agraris, namun Gubernur Hakim dan
KPPT terhambat oleh dukungan pemerintah pusat yang ragu-ragu terhadap
tindakan mereka menghadapi tekanan politik, dan dan terbatasnya kekuasaan
mereka untuk menentukan suatu penyelesian.63
Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi beberapa peristiwa sengketa
pertanahan antara pihak perkebunan versus petani penggarap, yang terjadi
sejak peristiwa Tanjung Morawa sampai saat ini. Dalam peristiwa Tanjung
Morawa, ada anggapan keliru yang beredar di kalangan para pengamat Indonesia
dan asing bahwa insiden di Tanjung Morawa terjadi antara petani Indonesia
dengan pengusaha perkebunan Barat. Sebetulnya peristiwa itu berkisar pada
sekelompok penduduk liar keturunan Cina yang sukar diatur, dan merupakan
pertikaian antara Serikat Tani dan pengusaha Indonesia.
agar :

Penduduk liar bersedia dimukimkan kembali, tetapi mereka

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

menuntut

Lahan baru mereka cocok untuk sawah dan penanaman sayur-sayuran ;


Lahan tersebut berada dalam jarak lima Kilometer dari kota dan pasar ;
Lahan tersebut siap untuk ditanam ;
Setiap warga minimal mendapat satu hektar lahan yang dapat diairi ;
Pemerintah menyediakan sebuah sekolah dan rumah tinggal ;
Diberi waktu untuk memungut hasil panen Tanjung Morawa ;
Pemerintah membayar biaya pemukiman kembali ;
Langsung makanan dibagikan untuk masing-masing keluarga, selama
tiga bulan pertama.64

KPPT menolak usul tersebut karena jika diwujudkan, akan menjadi preseden
jelek yang akan menghancurkan program pemukiman kembali.
Sekretariat bersama, mempersoalkan kasus hukum dari peristiwa ini.
Koran-koran Medan memperoleh kesempatan meningkatkan kampanye melawan
Gubernur Hakim dan KPPT, dengan memutarbalikkan fakta bahwa insiden
tersebut disebabkan campur tangan
asing yang menolak untuk mematuhi
pemerintah, dan dengan demikian menghalangi kerja Dinas Pertanian Provinsi.
Unsur-unsur sayap kiri dalam tubuh PNI dan Komunis khususnya,
mempergunakan kasus peristiwa Tanjung Morawa sebagai alasan untuk
menyerang seluruh kebijaksanaan agraria pemerintah pusat.65

61
62
63

64

Ichtisar Rakjat, Jakarta, tahun 1952, hal 249 - 251.


Ibid, hal 249 - 251.
Lihat surat No. 22063/3/6 dan instruksi No. Agr. 12/4/16 tanggal 28 Mei 1952 yang dikeluarkan
oleh Kementrian Dalam Negeri untuk Gubernur Hakim.
Karl Pelzer Op cit, hal 100.

2004 Digitized by USU digital library

32

C. Nasionalisasi dan Masalah Tanah-Tanah eks-Perkebunan Belanda


(1956-1960).

Pendudukan tanah perkebunan oleh rakyat sebenarnya bukanlah


merupakan kejadian yang baru dijumpai sesudah terjadinya perang dunia II.
Sebelum itu perusahaan perkebunan besar sudah mengalami masalah tersebut.
Hal ini dapat kita ketahui dalam ordonantie tahun 1937 yang dimuat dalam
Stbd. 1937 No. 560 tentang Nadere regeling van de rechtsvoerdering tot
ontruiming van onrechtmatig door Indonesiers in gebruik genomen erfachts
parcelen. Dalam ordonantie itu dimuat ketentuan-ketentuan yang mewajibkan
para pemegang hak erfacht untuk mengajukan tuntutan pengusiran pada
pengadilan perdata terhadap rakyat yang menduduki tanah perkebunannya. Jika
ia
menghendaki agar haknya atas tanah yang bersangkutan tetap
berlangsung.66
Pemerintah dan pengusaha perkebunan mengakui bahwa dilema yang
ditimbulkan oleh para penghuni liar/penggarap adalah okupasi oleh mereka atas
lahan perkebunan yang mempunyai dasar hukum semu, yang didasari oleh
Ordonantie Penanaman Wajib tahun 1939, bermacam-macam dekrit pemerintah
militer Jepang atau perintah Residen kepada Dinas Pertanian Republik tanggal; 1
Mei 1947.67
Dalam hal soal pemakaian tanah perkebunan oleh rakyat pada waktu itu
di berbagai daerah, telah menimbulkan keadaan yang sedemikian rupa, sehingga
untuk kepentingan umum dan kepentingan negara perlu segera diselesaikan.
Usaha penyelesaian yang dilakukan pada saat itu dengan cara mencari kata
sepakat namun ternyata usaha tersebut tidak memberikan hasil yang
memuaskan di antara para pihak.68
Untuk mengatasi situasi yang demikian itu, maka akhirnya pemerintah
Hindia Belanda mengeluarkan ordonantie onrechtmatige occupatie van gronden
65

Terhadap serangan ini, Mohammad Roem membela diri dengan mengatakan bahwa pemerintah
tidak terkait langsung dengan peristiwa Tanjung Morawa karena tanah-tanah yang disengketakan
secara yuridis masih di bawah penguasaan hak bangsa asing dan serangan yang ditujukan melalui
alasan peristiwa ini mengandung tendensi menentang kebijakan pemerintah atas tanah di Sumatera
Timur. Roem menyatakan bahwa pemerintah telah mengambil langkah yang sesuai dengan
prosedur hukum, yakni dengan menempuh jalur kekeluargaan melalui pengutamaan asas
musyawarah mencapai mufakat. Namun cara tersebut ditolak oleh para penghuni liar, sehingga
pemerintah segera mengambil tindakan hukum yang sah. Periksa Roem bela keganasan di Tg.
Morawa, dalam Sinpo, tanggal 10 April 1953, koleksi Perpustakaan Nasional RI.
66
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria
Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan ; Jakarta, 1999, hal. 112.
67
Karl. J. Pelzer, Palnters agaiants peasents Teh Agrarian Struggle in East Sumatera, 1947-1959,
diterjemahkan oleh Bosco Carvallo, Sengketa Agraria Pengusaha Perkebunan Melawan Petani,
Sinar Harapan, Jakarta, 1991, hal. 27.
68
Tindakan pengusiran dilakukan terhadap para petani penggarap tanah-tanah milik perkebunan
tembakau di Asahan, Serdang, Langkat dan Semulujun menurut laporan dari Front Tani Indonesia.
Pengusiran dilakukan oleh aparat pemerintah dengan alasan tanah tersebut dikembalikan kepada
para pengusaha perkebunan yang telah mencapai kesepakatan untuk meneruskan usahanya
berdasarkan perjanjian KMB. Periksa 20.000 Petani diusir dari perkebunan2, dalam harian
Berita Indonesia, tanggal 8 Mei 1952 koleksi Perpustakaan Nasional Nomor 53/PN/M.

2004 Digitized by USU digital library

33

Stbd.1948 No. 110. Ordonantie ini melarang pemakaian tanah tanpa izin yang
berhak dengan memberikan ancaman hukuman pidana.
Setelah Indonesia kembali kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan UUDS 1950, Negara Sumatera Timur dibubarkan dan dirubah
menjadi Provinsi Sumatera Utara. Keadaan ini membuat penghuni liar/penggarap
tanah perkebunan semakin bertambah dengan ditegakkannya prinsip equality
before Teh law yang berarti adanya persamaan hak terhadap semua warga
negara dengan tidak membedakan penduduk asli, imigran, dan penggarap liar.
Meskipun ada ketentuan Undang-Undang Darurat No 8 tahun 1954
tersebut diatas, dalam pelaksanaannya ternyata tidak dapat menyelesaikan
masalah pemakaian tanah perkebunan tanpa izin yang berhak. Bahkan
penggarapan tanah perkebunan oleh rakyat semakin banyak.69
Pada tahun 1957 dengan maksud yang sama dengan undang-undang
tersebut di atas, mengenai tanah yang bukan perkebunan dikeluarkan oleh
Kepala Staf Angkatan Darat selaku penguasa militer atas daerah di seluruh
wilayah Republik Indonesia. Hal ini didasari oleh Peraturan Penguasa Militer No.
Prt/PM/014/1957. Peraturan ini dikeluarkan berdasarkan Regeling op de Staat
van Oorlogen van Beleg yang diatur dalam Stbd. 1939 No. 582, disamping mulai
berlakunya Undang-Undang Keadaan Bahaya Tahun 1957 (LN 1957 No. 160),
namun peraturan tersebut diganti dengan Peraturan Penguasa Perang Pusat No.
Prt/Perppu/041/1958 tentang larangan pemakaian tanah tanpa izin pemiliknya
atau kuasanya.70
Sebagai akibat dari kegagalan perundingan antara pemerintah RI dengan
pihak Belanda mengenai sengketa masalah Irian Barat, pemerintah Indonesia
mengambil tindakan dengan menasionalisasi semua aset ekonomi dan usaha
warga Belanda di wilayah Indonesia termasuk tanah-tanah perkebunan di Pantai
Beberapa organisasi massa khususnya yang berafiliasi
Timur Sumatera.71

69

Kasus ini terjadi antara tanggal 23 dan 24 Mei 1956 ketika para petani sebanyak 17 orang dari
Bangunsari, Kecamatan Sunggal dituntut oleh pengadilankarena melanggar UU Darurat Nomor 8
tahun 1954 pasal 13, yakni menggarap tanah perkebunan Timbang Langkat tanpa seijin dari
pemerintah. Sebanyak 14 orang dijatuhi hukuman denda masing-masing Rp 50 atau kurungan
selama 5 hari. Mereka yang tidak hadir dalam sidang dijatuhi hukuman denda Rp 75 dan kurungan
selama 7 hari. Periksa artikel Banjak Petani2 jang mengambil tanah dihukum di Bindjai dalam
harian Waspada, 26 Mei 1956, koleksi Perpustakaan Nasional RI.

70

Boedi Harsono, Loc.cit., hal. 113 Dasar dari dikeluarkannya peraturan ini salah satunya adalah maklumat
bersama yang dikeluarkan oleh Kolonel Simbolon sebagai panglima Daerah Militer I Sumatera dan Dr.
Mansur Wali Negara Sumatera Timur tanggal 22 Mei 1950 Nomor 248/1950 yang di antaranya melarang
penghunian secara tidak sah atas tanah-tanah bekas milik onderneming dan meletakan tanah-tanah ini di
bawah perlindungan militer. Periksa harian Waspada, 22 Mei 1950.

71

Seperti yang telah diketahui, bahwa salah satu klausule yang dimuat dalam perjanjian KMB adalah
bahwa pemerintah Indonesia wajib menanggung semua beban hutang milik bekas pemerintah
Hindia Belanda dan wajib melindungi semua aset ekonomi warga Belanda yang telah ditanamkan
berdasarkan kontrak sewa jangka panjang sejak sebelum perang, hingga masa sewa tersebut
berakhir. Hal ini akan diatur kembali setelah adanya infrastruktur yang akan mengatur masalah itu
termasuk tentang hak sewa turun-temurun (erfacht). Periksa Ichtisar Mingguan KMB, dalam
harian Waspada, Medan, 9 Januari 1950.

2004 Digitized by USU digital library

34

dengan golongan sayap kiri memelopori tuntutan-tuntutan bagi nasionalisasi


tanah-tanah perkebunan tersebut.72
Kondisi di Sumatera Timur sendiri menjadi semakin genting dengan
meletusnya pemberontakan PRRI yang disusul oleh pembelotan beberapa
perwira militer setempat pimpinan Kolonel Simbolon. Dengan mengobarkan
semangat pembagian hasil pembangunan yang merata antara Jawa dan luar
Jawa, Simbolon mendorong para perwira stafnya untuk membentuk suatu
pemerintahan sementara yang bertujuan untuk mengambil langkah-langkah
revolusioner dalam mewujudkan cita-cita Proklamasi 1945 secepat mungkin.73
Dengan langkah tersebut, Simbolon mengeluarkan instruksi untuk mengambil
alih penguasaan atas lahan perkebunan Sumatera Timur dari ancaman para
penggarap liar yang berafiliasi dengan komunis dan menyuruh para petani Toba
untuk menggarapnya.74
Dalam periode yang bersamaan, kehidupan sosial ekonomi Indonesia
mengalami perubahan sebagai akibat dari tindakan politik yang diambil oleh
pemerintah RI. Tindakan ini adalah melakukan nasionalisasi atas semua badan
usaha asing khususnya milik warga Belanda.75 Pengambilalihan semua badanbadan
organisasi-organisasi, lembaga-lembaga,
perkebunan
Belanda dan
campuran Belanda - warga negara Indonesia, telah dilakukan sejak tanggal 2
Desember 1957, oleh pemerintah RI berdasarkan dekrit Penguasa Militer
Pusat/ Menteri Pertanahan Nomor 1063/ PMT/1957.76
Sasaran utama program nasionalisasi ini adalah 227 perusahaan
perkebunan yang termasuk 38 perusahaan perkebunan tembakau dan 117
perkebunan karet. Program ini akan berlangsung sampai tanggal 3 Maret 1959
dan segera diikuti dengan sejumlah besar perusahaan lain di sektor industri milik
72

73

74

75

76

Tuntutan ini dimunculkan dalam kongres Sarbupri-Sobsi ke-4 di Malang tanggal 6-9 Juni 1956
yang mendesak kepada pemerintah agar segera menguasai perkebunan-perkebunan Belanda setelah
habis masa sewanya dan mencegah perpanjangannya sekaligus menyita seluruh milik Belanda
sebagai imbangan atas penguasaan Belanda di Irian Barat. Periksa artikel Kuasai Kebun2 Belanda
jang Habis Erfachtnja dalam harian Waspada, Medan, tanggal 14 Juni 1956, koleksi Perpustakaan
Nasional RI
Ini dimulai dalam pertemuan para perwira Simbolon di Medan pada tanggal 4 Desember yang
diikuti dengan pengambilan sumpah 48 perwiranya terhadap tujuan Simbolon tanggal 16 Dsember
1956. Tujuan utama Simbolon di samping menuntut perhatian pusat bagi pengolahan kekayaan
daerah adalah juga untuk menyelamatkan pemerintahan dari ancaman pengaruh komunis yang
mulai terasa, khususnya di Sumatera Utara. Periksa Herbert Feith, op.cit., hal. 526.
Kelompok penggarap tanah liar yang tersusupi komunis ini mendukung perwira bawahan Simbolon
Letnan Kolonel Wahab Macmour yang bermarkas di Siantar untuk meninggalkan Simbolon dan
mengambil alih kekuasaan militer di Sumatera Utara. Dengan demikian pada masa ini terjadi
konflik politik yang diwarnai dengan pertentangan etnis dan kepentingan ekonomi sebagai akibat
dari kelemahan pusat atas semua pelaksanaan program pemerintah di Sumatera Utara. Periksa,
Herbert Feith, ibid., hal. 529.
Nasionalisasi tersebut dilakukan oleh pemerintah Indonesia sebagai reaksi dari gagalnya
perundingan antara pemerintah RI dan pemerintah Belanda tentang penyelesaian masalah Irian
Barat, di mana pemerintah Belanda tidak bersedia melepaskan wilayah Irian Barat dan
menjadikannya sebagai lahan kolonisasi. Periksa Herbert Feith, op.cit., hal. 450.
Periksa Majalah Menara Perkebunan th ke-27 Nomor 1 - Jakarta, diterbitkan oleh
Perkumpulan Organisasi-Organisasi
Perkebunan dan Balai Penyelidikan Perkebunan di
Indonesia, Januari 1958, hal 18.

2004 Digitized by USU digital library

35

Belanda.77
D. Tanah Negara Versus Tanah Adat
Dalam konsepsi hukum tanah nasional sebagaimana diatur dalam pasal 1
ayat 1 UUPA Nomor 5 tahun 1960 yang menyatakan:
Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat
Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
Dan dalam pasal 1 ayat 2 dinyatakan pula dengan tegas:
Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia
Tuhan yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa
Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
Pada pasal 2 ayat 1 ditegaskan pula bahwa semua bumi, air, dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi
dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat. Dalam hal ini negara
sebagai lembaga hukum menerima wewenang dari hukum dasar tertinggi untuk
melaksanakan hak penguasaan atas tanah (medebewind). Semua tindakan yang
diambil oleh negara diarahkan bagi kepentingan negara dan tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan nasional. Wewenang ini juga bisa dijadikan
sebagai sumber penghasilan negara tersebut.348
Dalam pasal 2 ayat 2 dikatakan bahwa hak penguasaan oleh negara
dimaksud mencakup wewenang untuk mengatur dan menyelenggarakan
peruntukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang
angkasa tersebut. Kemudian negara berwenang juga mengatur dan menentukan
hubungan hukum antara manusia dengan air, bumi dan ruang angkasa itu.
Negara juga berwenang untuk menentukan dan mengatur hubungan antara
orang dan tindakan hukum yang menyangkut bumi, air dan ruang angkasa di
wilayah hukumnya.78
Semua wewenang yang diberikan oleh perundangan ini kepada negara
dilaksanakan dalam hubungan hukum yang bersifat publik semata-mata
(publiekrechtelijk). Hak ini dijalankan oleh negara tanpa dapat ditafsirkan lain
dan digunakan untuk kepentingan nasional bangsanya. Karena menyangkut
kehidupan berbangsa dan bernegara, maka wewenang yang bersifat publik ini
tidak bisa dilimpahkan kepada kekuasaan di luar negara.79

77

348

78
79

Periksa Pelaksana Undang-Undang Nasionalisasi, dalam Menara Perkebunan, Nomor 4, April


1959 hal. 65.
Periksa penjelasan pasal 2 dari UUPA Nomor 5 tahun 1960. Dalam hal ini yang dimaksud negara
adalah sebagai suatu organisasi hukum tertinggi di suatu wilayah yang mewakili dan mengontrol
seluruh rakyat.
Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960.
Dalam penjelasan umum II, dikatakan bahwa berdasarkan wewenang hukum publik ini negara
menjadi lembaga hukum tertinggi yang sah dalam menunjukan hak milik, hak guna bangunan atau
hak pakai. Semua penunjukan hak ini dikeluarkan dalam bentuk yuridis formal, yakni melalui
pembuktian dan pengukuran lewat prosedur hukum dan dibuktikan dengan sebuah dokumen yang

2004 Digitized by USU digital library

36

Menurut pasal 2 ayat 3 UU tersebut disebutkan bahwa wewenang


penguasaan tanah oleh negara ini digunakan untuk mencapai kemakmuran
rakyat
sebesar-besarnya
dalam
arti kebangsaan,
kesejahteraan
dan
kemerdekaan masyarakat dan negara hukum Indonesia yang berdaulat, adil dan
makmur. Dalam ketentuan pasal perundangan ini wewenang yang dimiliki oleh
negara harus disesuaikan dengan aturan-aturan hukum adat yang sejauh itu
masih berlaku. Dalam hak penguasaan atas tanah ini negara juga harus
menghormati hak adat tradisional (ulayat) masyarakat yang telah digarap dan
dikuasai mereka, sejauh hak tradisional ini sepanjang masih ada.80
Penghormatan terhadap hak ulayat dengan menggantungkan pada syarat
sepanjang kenyataannya masih ada ini mengandung penafsiran yang berbedabeda antara satu dengan yang lain, sehingga ada peluang bagi kemunculan
konflik tentang status tanah ulayat tersebut.
Hal ini berkaitan erat dengan pasal 3 yang menyebutkan bahwa
sepanjang kenyataan masih ada hak-hak hukum adat tradisional ini, harus
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan
peraturan-peraturan yang lebih tinggi.81 Yang dimaksud dengan hak ulayat dan
hak-hak serupa itu ialah apa yang dalam kepustakaan adat disebut
beschikingrecht.
Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari
masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang
berdasarkan atas persatuan bangsa. Dengan demikian negara memberikan
pengakuan (recognitie) atas keberadaan hak ulayat kepada mereka yang
memang berhak menerimanya selaku pemegang ulayat itu. Pemegang hak
ulayat ini wajib dimintai pendapat dalam proses pengalihan hak penguasaan atas
tanah ini oleh negara, namun pemegang hak tidak boleh merintangi pemberian
hak apabila pemberian hak penguasaan itu dipandang perlu untuk kepentingan
yang lebih luas (dalam hal ini adalah hak guna usaha atau erfacht).82
Dengan ketentuan hukum yang dimuat dalam perundangan ini status hak
ulayat ini di satu sisi masih diakui keberadaannya sepanjang masih bisa
dibuktikan keberadaannya, namun pada sisi lain hak ulayat tersebut harus
tunduk pada kepentingan nasional yang peringkatnya lebih tinggi. Dalam
pembatasan yang kabur ini sering muncul perbedaan penafsiran sejauh mana
hak ulayat ini bisa diperhitungkan dan dihormati dalam proses pelimpahan hak
penguasaan atas tanah, khususnya yang melibatkan kepentingan negara atau
kepentingan lain yang disahkan oleh negara. Negara bisa menjelaskan hak
penguasaannya berdasarkan segi yuridis dengan perundangan yang ada, namun
hak ulayat ini tidak memiliki ukuran keabsahan hukum yang jelas sejauh tidak
bisa dibuktikan melalui fakta tertulis yang dianggap sah.
Sistem penguasaan tanah menurut hukum adat ini berbeda prinsipnya

dibuat sah menurut hukum atau dikeluarkan oleh lembaga hukum yang diberi wewenang oleh
negara untuk itu.
80
Periksa pasal 2 ayat 3 UUPA Nomor 5 tahun 1960; Periksa juga penjelasan umum II nomor 3. Hak
ulayat ini tidak memiliki bukti yuridis formal yang sering menimbulkan kesulitan dalam
penyesuaian penerapan hukum nasional tentang agraria tersebut.
81
Pasal 3 UUPA Nomor 5 tahun 1960.
82
Periksa penjelasan umum II nomor 3 UUPA Nomor 5 tahun 1960.

2004 Digitized by USU digital library

37

dengan hukum agraria nasional yang digunakan oleh negara. Menurut hukum
adat, tanah sangat penting kedudukannya dalam kehidupan masyarakat baik
secara sifat maupun fakta yang ada. Menurut sifatnya, tanah merupakan satusatunya benda kekayaan yang bersifat tetap atau menguntungkan.
Sistem pemilikan penguasaan tanah berdasarkan hukum adat sangat
berbeda dengan hukum agraria nasional. Menurut hukum adat tanah merupakan
satu-satunya benda kekayaan yang bersifat tetap atau menguntungkan.
Masyarakat adat menganggap tanah sebagai suatu kekayaan bersifat sakral
dengan demikian masyarakat memberikan sifat religius magis dalam hak
penguasaan tanah ini. Di sisi lain, bahwa hak ulayat itu mempunyai bentuk yang
bermacam-macam, tergantung berlakunya hukum adat di seluruh wilayah
Indonesia. Hukum adat berlaku keluar dan ke dalam. Berlaku keluar, pada
prinsipnya yang bukan warga persekutuan tidak diperbolehkan menggarap tanah
dan memungut hasil hutan yang merupakan hak persekutuan yang
bersangkutan. Berlaku ke dalam, hak ulayat itu mempebolehkan semua anggota
persekutuan untuk menggarap dan memungut hasil dari tanah ulayat tersebut.
Hak ulayat mengenal hak turun temurun bagi anggota persekutuan yang
telah mengerjakan/ menggarap tanah ulayat itu secara terus menerus. Tetapi
hak ini akan hilang bila anggota persekutuan itu telah meninggalkan
(salipinatartar) atau mentelantarkan tanah yang telah digarapnya itu, maka
anggota persekutuan yang lain dapat mengerjakan tanah tersebut dengan seizin
pengetua adat.
Dalam sistem hukum tanah nasional, seseorang dapat memperoleh hak
milik yang juga dapat diwarisi secara turun temurun. Namun pada dasarnya
pemberian hak milik itu, berlaku untuk seluruh bangsa Indonesia yang tidak
tergantung pada anggota persekutuan atau tidak. Disamping itu prosedur
pemberian dan peralihan haknya dilakukan berdasarkan sistem hukum barat,
misalnya berdasarkan BW/ KUH Perdata, dengan demikian dalam prakteknya
selalu dapat dipertentangkan antara hak penguasaan tanah berdasarkan hulum
adat dengan hak penguasaan tanah berdasarkan hukum agraria nasional atau
dapat dipertentangkan antara tanah yang dikuasai negara dengan tanah adat.
III. Sengketa Tanah Perkebunan PTPN-II dan PTPN-III Sumatera Utara
Versus Masyarakat.
Dalam rentang waktu 1960 - 2002 dapat ditemukan beberapa kasus
sengketa pertanahan antara masyarakat penggarap versus perkebunan
didasarkan atas sumber dari masmedia83 dan sumber dari PTPN II, PTPN III, BPN
Kanwil Tk.I Sumatera Utara sebagai berikut :

A. Sengketa Karena Tuntuan Masyarakat Penggarap (Occupatie) Versus


PTPN-II dan PTPN-III di Sumatera Utara.

Kasus 1 : Okupasi tanah perkebunan oleh masyarakat di PTPN-II.


83

Waspasa, Medan, 1 Juni 1977; Sinar Harapan, Jakarta, 3 Juli 1979; Waspada, Medan, 2 September
1979, 3 September 1979, 5 September 1979; Kompas, Jakarta, 8 Oktober 1979; Waspada, 2
Januari 1980; 2 Juli 1982 dan Kompas, Jakarta, 24 September 1995.

2004 Digitized by USU digital library

38

Masyarakat Penggarap Versus PTP-IX di Perkebunan Hamparan


Perak, Sunggal, Pancurbatu, Batang Kuis, Percut, Stabat dan
Medan Denai (Tahun 1979).
Kasus 2 : Okupasi tanah perkebunan oleh masyarakat di PTPN-III.
Sengketa Kebun Bandar Betsy PTPN-III
Versus Masyarakat
Penggarap (1965 - 2000).

B. Sengketa Karena Tuntutan Hak Ulayat Masyarakat Penunggu


(BPRPI) Versus PTPN-II Sumatera Utara.

Kasus1 : BPRPI, Kampung Patumbak, Mariendal, Sungai Semayang, Paya


Bakung, Medan Estate dan Sempali Versus PNP-IX Yang Terdaftar
Dalam Perkara Pidana No. 402/1968/K. (Tahun 1968).
Kasus 2 : BPRPI Sumatera Utara, Kampung Tanjung Mulia Versus PTPN-II
(Tahun 1999).

C. Sengketa Karena Tuntutan Perumahan dan Perkarangan EksKaryawan Pensiunan Perkebunan Versus PTPN-II Sumatera Utara.

Kasus : Tuntutan Eks-Karyawan Pensiunan PTPN-II, Kabupaten Deli


Serdang, Kabupaten Langkat dan Kotamadya Binjai Terhadap
Rumah dan Perkarangan Tempat Tinggal Mereka.

IV. Pencetus Timbulnya Sengketa Tanah PTPN-II dan PTPN-III Versus


Masyarakat.

A. Konflik Kepentingan.
Konflik kepentingan antara pemerintah, perkebunan dan rakyat atas
tanah berdasarkan historis terjadi karena adanya kompleksitas persoalan
pertanahan yang disebabkan oleh adanya penduduk yang heterogen, yaitu yang
terdiri atas suku Melayu, Batak Karo dan Simalungun. Disamping itu ada suku
Jawa, bekas kuli kontrak dan golongan Cina.
Konflik kepentingan muncul antara penduduk Melayu, Batak Karo dan
Batak Toba terhadap tanah diaareal perkebunan, dimana masing-masing
bertindak sebagai petani penggarap (konflik horizontal) dan adanya kepentingan
pihak pengusaha perkebunan untuk mempertahankan areal konsesi atau hak
Erfacht/ HGU mereka, yang bernuansa ekonomi untuk memperoleh keuntungan
(konflik vertikal). Disamping itu muncul kepentingan pengusaha untuk
menertibkan para penggarap diatas tanah perkebunan. dalam rangka
membangun perekonomian sebagai negara yang baru merdeka, pemerintah
cenderung untuk melindungi pihak pengusaha perkebunan daripada rakyat
penggarap. kenyataan ini akhirnya menimbulkan sengketa diantara pihak rakyat
penggarap, pemerintah dan pengusaha perkebunan.
Konflik antara rakyat penggarap dengan pengusaha perkebunan juga
tidak terlepas dari akibat pendudukan Jepang yang memberikan izin kepada
rakyat untuk menggarap tanah perkebunan.

2004 Digitized by USU digital library

39

Dilain pihak sengketa pertanahan terjadi karena adanya rivalitas politik di


Sumatera Timur sebagai dampak pendudukan Belanda pada masa RIS (19471949) dan
pembentukan negara bagian Sumatera Timur sehingga terjadi
pertentangan antara kaum Republik dengan kaum Federalis.
Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, konflik antara pemerintah,
pengusaha perkebunan dan rakyat berlangsung sampai pemerintahan Orde Baru
dan berlanjut sampai adanya reformasi.

B.

Sulitnya Penyelesaian Sengketa dan Munculnya Sengketa Baru.

Dari uraian beberapa kasus tersebut di atas, dapat kita kategorikan


karakteristik sengketa pertanahan di areal perkebunan PTPN-II dan PTN-III
adalah adanya berbagai tuntutan masyarakat antara lain :
I. Tuntutan Badan Rakyat Penunggu Republik Indonesia (BPRPI), terhadap
areal PTPN-II, agar diberikan lahan tanah jaluran, berdasarkan hak ulayat
masyarakat adat Melayu .
II. Tuntutan masyarakat penggarap terhadap tanah di areal perkebunan
PTPN di Sumatera Utara .
III.Tuntutan karyawan eks PTPN-II, terhadap areal perkebunan tentang tapak
perumahan dan lahan pertanian, yang digugat untuk dilepaskan dari areal
HGU dan dibagikan kepada eks karyawan.
IV.Dan lain-lain .
Sedangkan kasus sengketa Hak Guna Usaha PTPN-III di Kabupaten Deli
Serdang Perkebunan Bandar Betsy, Perkebunan Sei Putih, Perkebunan Silau
Dunia, Perkebunan Rambutan, Perkebunan Gunung Pamela dan di Kabupaten
Labuhan Batu seperti Perkebunan Rantau Prapat, Perkebunan Aek Torop dan
Perkebunan Aek Nabara adalah :
I.

Tuntutan para penggarap terhadap areal


Perkebunan berdasarkan
Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954 dan SK Landreform No.
4/II/10/LR/PP, No.2/II/ LR/ 65/ PP.
II. Tuntutan para penggarap berdasarkan Undang-Undang Darurat No. 8
Tahun 1954, Undang-Undang No 51 Prp Tahun 1960.
III. Tuntutan para penggarap Kartu Pendaftaran Tanah dikeluarkan Assisten
Wedana 1 Desember 1954.
IV. Tuntutan
para
penggarap Kelompok
Reformasi
berdasarkan
telah
menggarap sejak tahun 1942. Tuntutan ini tidak didasari oleh undangundang atau tanpa alas hak yang sah.
V. Tuntutan para penggarap berdasarkan telah menggarap tahun 1942 atas
perintah militer Jepang. Tuntutan ini tidak didasari oleh undang-undang
atau tanpa alas hak yang sah.
Secara umum dari beberapa kasus tersebut diatas dapat dianalisa, bahwa
tindakan penggarapan yang dilakukan oleh masyarakat diatas tanah perkebunan,
terjadi karena adanya perbedaan persepsi tentang hak menguasai negara
dengan hak ulayat masyarakat adat. Dalam pasal 2 UUPA ditegaskan bahwa
bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung
didalamnya pada tingkatan tertinggi di kuasai oleh negara, tetapi disisi lain
dalam pasal 3 menegaskan, bahwa hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari

2004 Digitized by USU digital library

40

masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada tetap diakui.


Dari kedua ketentuan tersebut di atas, berarti didalam UUPA terdapat dua
sistim hukum yang berbeda mengenai hak menguasai terhadap tanah. Keadaan
ini menimbulkan terjadinya conflicten recht/perselisihan hukum, maka dalam hal
ini perlu ditegaskan tentang apa yang menjadi peraturan hukum atau hukum
mana yang berlaku mengenai suatu hubungan hukum yang terjadi dalam suatu
peristiwa hukum yang memuat unsur-unsur yang dapat menyangkutkan dua
atau lebih sistim hukum yang berlaku. Contohnya kasus antara BPRPI versus
PTPN-II, BPRPI menggugat tanah jaluran yang bersumber dari hukum adat
diatas areal PTPN-II, sedangkan PTPN-II mempertahankan haknya berdasarkan
HGU yang dikeluarkan Menteri Agraria berdasarkan UUPA. Pemberian HGU
kepada PTPN-II oleh negara didasarkan atas pasal 2 UUPA, tetapi secara yuridis
tindakan ini harus memperhatikan pasal 3 dan pasal 5 UUPA. Namun dalam
pelaksanaannya ternyata hak ulayat masyarakat adat diabaikan sama sekali.
Pemerintah dan PTPN-II tidak melakukan musyawarah dengan masyarakat adat
setempat, ataupun tidak memberikan recognitie sebagai konstribusi kepada
masyarakat, dengan adanya HGU di atas tanah ulayat mereka. Dari kasus ini
Pemerintah hanya menentukan hukum yang berlaku dalam konflik tersebut,
hanya bersandar pada pasal 2 UUPA, sedangkan pasal 3 dan pasal 5 UUPA
dikesampingkan.
Konflik antara hukum negara (UUPA) dan hukum adat/tradisi tak tertulis,
terjadi karena hukum negara yang tertulis dan disistematisasi dalam UUPA, tidak
melestarikan tatanan tradisi masyarakat adat/lokal yang lama, dengan cara
mengakomodasi tradisi dan hukum adat lokal ke dalam UUPA. Tetapi hanya
mendekonstruksi serta merekonstruksi tatanan-tatanan institusional yang ada
atau bahkan untuk menggantikannya dengan yang baru dalam rangka
mengupayakan unifikasi hukum tanah. Maka dalam praktek penegakan UUPA
terdapat selisih paham mengenai keberadaan hukum itu legal gaps, yaitu selisih
pahaman dan atau keyakinan masyarakat antara apa yang dikehendaki oleh
pelaksana administratur negara agar dipatuhi dengan apa yang masih diyakini
dan dipatuhi oleh masyarakat, sebagai tradisi sehari-hari oleh masyarakat
setempat. Legal gaps terjadi karena substansi pasal 2 UUPA, mengenai hak
menguasai negara, tidak ada membatasi secara tegas tentang sejauh mana hak
menguasai negara itu dapat berlangsung. Apabila dikaitkan dengan pasal 3 UUPA
yang mengakui hak ulayat sepanjang kenyataannya masih ada, juga tidak
dirumuskan persyaratan-persyaratan yang konkrit sebagai elemen-elemen untuk
menentukan ada tidaknya hak ulayat.
Disamping itu pasal 5 UUPA hanya merumuskan hukum adat secara
umum dan abstrak, dengan menyebutkan hukum adat sebagai hukum asli
yang sesuai dengan kesadaran hukum rakyat banyak dan yang sesuai dengan
Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Perumusan ini
menimbulkan legal gaps antara keyakinan masyarakat dengan apa yang
dikehendaki oleh pemerintah. Keyakinan hukum masyarakat adat lokal tidak
sama dengan keyakinan dan kehendak pemerintah. Kondisi inilah yang
menyebabkan sengketa pertanahan sulit diselesaikan, walaupun ada kalanya
dapat diselesaikan dengan pemaksaan kehendak namun sengketa cenderung
akan muncul kembali.
Pelaksanaan UUPA dalam prakteknya dilakukan secara universal, tanpa
memperhatikan hukum yang hidup (Living law) dalam masyarakat tertentu.

2004 Digitized by USU digital library

41

Sehingga pada masyarakat Sumatera Timur yang masih mengakui adanya hak
ulayat, penerapan dan pengertian dari sistim hukum tersebut, di kalangan
masyarakat adat masih kabur. Disamping itu model dalam penerapan UUPA dan
kebijakan-kebijakan pemerintah, hanya diberikan oleh pembuat undang-undang
kepada pelaksana hukum, dengan mekanisme kontrol penerapan sanksi, atas
pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat. Tanpa mempertimbangkan
kenyataan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Ternyata sanksi hukum tidak
dapat menghentikan sengketa pertanahan, baik tuntutan berdasarkan hak
ulayat, maupun tuntutan berdasarkan okupasi tanah yang telah dilakukan secara
terus-menerus dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama.
Penggarapan di atas tanah perkebunan oleh masyarakat adat maupun
oleh petani penggarap terus berlangsung, walaupun sudah banyak peraturanperaturan dan kebijakan pemerintah yang dikeluarkan untuk mengantisipasi agar
tidak terjadinya tindakan penggarapan, baik dari BPRPI maupun dari para petani
penggarap. Sengketa pertanahan di Sumatera Utara sampai sekarang belum
dapat diselesaikan secara tuntas karena permasalahan yang dihadapi sangat
rumit sehubungan dengan sejarah keberadaan peraturan perundang-undangan
dan kebijakan yang berlaku di Sumatera Utara khususnya mengenai sengketa
tanah perkebunan yang antara lain sebagai berikut :
1. Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954 Tentang Soal Pemakian
Tanah Oleh Rakyat.
2. Undang-Undang No. 51 Prp Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian
Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya.
Kedua
peraturan
perundang-undangan dan kebijakan pemerintah
tersebut, silih berganti telah terjadi perubahan Perundang-undangan dan
kebijakan mengenai tanah perkebunan, baik yang dilakukan secara fundamental
maupun secara tambal sulam.
Menurut Solly Lubis, bahwa konseptualisasi yang tidak mendasar dan
tanpa perkiraan strategis, dapat menimbulkan perundang-undangan yang
bersifat tambal sulam dengan daya atur yang kurang tahan lama. Sebagai
contoh, undang-undang agraria bukan sekedar fenomena hukum dan produk
politik pertanahan, tetapi juga mempunyai dimensi ekonomis, sekaligus
dimensi budaya seperti misalnya tanah ulayat dan tanah jaluran. Dimensi
politik penataan pendidikan dan penggunaan tanah sebagai jawaban terhadap
politik pertanahan di masa kolonial yang melihat tanah sebagai penguasa dan
ekonomi kuat. Melalui pendekatan kultural pembinaan hukum dilihat bukan
sekedar pergeseran waktu dari zaman kolonial ke zaman kemerdekaan,
tetapi adalah juga pergeseran nilai yang kita anut kedalam kontstruksi hukum
nasional.84
Sehubungan dengan pendapat tersebut diatas, pelaksanaan UUPA
No. 5 Tahun 1960. Khusus mengenai keberadaan hukum adat tentang hak
ulayat dan tanah jaluran di areal perkebunan PTPN Sumatera Utara, ternyata
tidak taat azas, bahkan bertentangan dengan filosofi hukumnya. Pemahaman
atas unsur filosofis UUPA No. 5 Tahun 1960, memegang peranan sentral
sebagai pemahaman dan penilaian yang benar atas semua peraturan
hukum yang bersangkutan dengan tanah. Selama pemahaman atas filosofis
84

Solly Lubis, Serba-Serbi Politik dan Hukum, (Bandung : Mandar Madju, 1989), hal 48-49 .

2004 Digitized by USU digital library

42

UUPA yang bersumber pada filosofis adat, tidak dipahami dengan baik, maka
kerancuan dan pertentangan norma dalam penerapan hukumnya akan terus
berlangsung. Kerancuan ini berdampak pada sistem administrasi dan sistem
pertanahan yang akhirnya akan menimbulkan rasa tidak puas dari masyarakat,
karena bertentangan dengan rasa keadilan.
Kenyataan ini berlangsung sampai saat sekarang, karena para penegak
hukum mengabaikan pemahaman tentang filosofis hukum adat tanah, sebagai
dasar UUPA No. 5 Tahun 1960. Dalam praktek, penafsiran atas norma hukum
UUPA sering dilandaskan hanya pada Hukum Barat (BW/KUHPerdata). Oleh
karena itu, ketika berhadapan dengan persoalan tanah, maka sumber
jawaban selalu dicari pada BW/KUHPerdata, dengan prakyek Administrasi
Kolonial Belanda yang Kolonialis. Jika berpegang pada filosofis Hukum Barat,
maka jiwa UUPA telah dihancurkan, dimana penegak hukum menempatkan
dirinya sebagai lawan, dan bukan fasilitator
atas aspirasi rakyat. Hal ini
berdampak pada pertentangan antara masyarakat dengan penguasa yang sukar
mencari penyelesaiannya. Sebabnya adalah karena adanya perbedaan sumber
inspirasi norma hukum yang berbeda dan saling bertentangan antara sumber
yang digunakan, antara sumber yang digunakan para penegak hukum yaitu
hanya sebatas hukum positif (ius constitutum ) dengan persepsi dan aspirasi
masyarakat, tentang bagaimana seharusnya hukum tanah itu harus dilakukan
(ius constituendum) diterapkan.
Seyogyanya, beberapa peraturan yang terkait mengenai penyelesaian
sengketa pertanahan, yang diterbitkan sebagai peraturan pelaksanaan dari
UUPA. Untuk menyelesaikan sengketa antara masyarakat adat dan petani
penggarap dengan PTPN, harus dibuat sesuai dengan jiwa/filosofis dari UUPA
secara mendasar dan menyeluruh. Tidak dilakukan hanya secara praktis dan
pragmatis yang hanya mendahulukan bidang-bidang yang paling mendesak,
sesuai dengan tuntutan yang terjadi pada suatu saat tertentu, misalnya hanya
memandang kepentingan pembangunan ekonomis dan kepentingan pengusaha
besar, yakni misalnya kepentingan pengusaha perkebunan PTPN.
Keberadaan peraturan
yang
dibuat
atas dasar kepentingan yang
mendesak/darurat, misalnya Undang-Undang Darurat Prp. No.56 Tahun 1951
dan beberapa peraturan lainnya yang terkait, sudah barang tentu sukar
untuk diterapkan, bahkan
selalu
menimbulkan ketidakpuasan masyarakat
(penggarap) karena bertentangan dengan rasa keadilan.Tetapi dengan
berlakunya peraturan tersebut, yang masing-masing telah menimbulkan akibat
hukum dan menimbulkan
hak tertentu bagi masyarakat maupun
pihak
perkebunan. Akibat hukum yang ditimbulkan, dengan sendirinya hapus,
walaupun telah terjadi perubahan perundang-undangan maupun kebijakan.
Oleh karena itu, hak-hak masyarakat yang telah ada akibat dari undangundang yang terdahulu masih tetap melekat, sepanjang undang-undang yang
baru belum dapat menyelesaikannya sesuai dengan aturan peralihan yang ada
dalam undang-undang tersebut.
3. Pedoman Menteri Agraria No.1 Tahun 1960, Tentang Penyelesaian
Sengketa Pemakaian Tanah Perkebunan di Sumatera Timur.
Berdasarkan Pedoman Menteri Agraria No.1 Tahun 1960, Tentang
Penyelesaian Sengketa Pemakaian Tanah Perkebunan di Sumatera Timur,
antara lain mengatur bagi orang-orang pemakai tanah perkebunan yang

2004 Digitized by USU digital library

43

termasuk golongan
yang dilindungi oleh Undang-Undang Darurat No. 8
Tahun 1954, dipindahkan ke tempat-tempat penampungan
yang telah
disediakan bagi mereka.
Penampungan bagi orang-orang tersebut
diusahakan sedemikian
rupa, sehingga mereka ditempat yang baru itu mendapatkan mata pencaharian,
sebagai buruh perkebunan atau petani
untuk kepentingan hidupnya dan
tempat
pekarangan yang
cukup luas. Tiap-tiap keluarga
petani
yang
dipindahkan
mendapat
pembagian
tanah
pertanian, yang
menjamin
hidupnya secara layak. 85
Berdasarkan ketentuan tersebut, jelas bahwa bagi penggarap tanah
perkebunan tetap dilindungi, dan tidak dapat digusur dengan begitu saja
oleh pihak perkebunan. Namun dalam pelaksanaannya, ternyata masyarakat
adat dengan tuntutan hak ulayatnya dan petani penggarap, yang dilindungi
dengan Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954, banyak yang tergusur,
bahkan mengalami intimidasi dari penguasa perang ketika itu. Misalnya
penguasa pelaksana DWIKORA daerah Sumatera Utara.
Di samping itu, Pedoman Menteri Agraria tersebut menegaskan bahwa,
untuk tanah jaluran yang menimbulkan persengketaan yang tak habis-habisnya
antara rakyat penunggu, buruh/tani dan Perkebunan.
Mengingat
makin
bertambah kecilnya tanah jaluran, berhubung adanya
wens-areal, maka
adanya persediaan
tanah itu tidak cukup lagi untuk dibagi diantara
mereka yang menghendakinya. Oleh karena itu, pembagian tanah jaluran
harus segera dihapuskan86. Ketentuan tersebut dilanjutkan dengan Pedoman
Menteri Pertanian dan Agraria No. II Tahun 1963, yang menegaskan bahwa :
tanah-tanah jaluran yang ada setelah wens-areal perkebunan-perkebunan yang
bersangkutan, ditetapkan tidak boleh dibagi lagi menurut cara yang lama.
4. Pedoman
Tentang.

Menteri

Pertanian dan

Agraria

No. II

Tahun

1963

Menurut Pedoman Menteri Pertanian dan Agraria No. II Tahun 1963,


yang mendapatkan tanah jaluran adalah sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.

Yang berhak adalah rakyat petani saja, tidak termasuk buruh


perkebunan.
Harus digarap sendiri.
Izin penggarapan hanya berlaku untuk satu tahun panen.
Penyelenggaraan pembagiannya, misalnya penentuan siapa rakyat
petani,
luas tanah, letak tanah dilakukan oleh Panitia Landreform
daerah tingkat II.

Dengan keluarnya Peraturan Menteri Agararia No.1 Tahun 1960 jo.


Pedoman Menteri Pertanian dan Agraria No. II Tahun 1963, maka dengan
tegas keberadaan tanah jaluran sudah dihapus atau tidak boleh lagi dibagi
menurut cara yang lama. Ketentuan ini menimbulkan penafsiran yang
berbeda dari kalangan masyarakat, ada yang berpendapat tanah jaluran
sudah dihapuskan dan ada yang berpendapat bahwa tanah jaluran masih

85
86

Lihat Pedoman Menteri Agraria No. 1 Tahun 1960, bahagian II angka 2 .


Ibid bagian V.

2004 Digitized by USU digital library

44

tetap ada, cuma saja pembagiannya


menurut cara yang lama.

harus dirubah, dan tidak dibenarkan

Menurut Mariam Darus, isi Pedoman Menteri Pertanian dan Agraria


No. II Tahun 1963 itu dapat diketahui, bahwa tanah jaluran
bukan
dihapuskan, tetapi yang menggunakannya atau yang berhak menggarapnya
bukan saja rakyat penunggu, tetapi rakyat petani. Dengan perluasan itu
maka tidaklah dapat disimpulkan bahwa pedoman itu meniadakan rakyat
petani
penunggu, tetapi malahan
menegaskan,
bahwa
rakyat
petani
inklusief, rakyat petani penunggu berhak memakai tanah jaluran87. Berdasarkan
pendapat Mariam Darus tersebut, dapat disimpulkan bahwa materi/objek tanah
jaluran tetap ada, tetapi hanya materi subjeknya ( penggarap) yang berubah.
Pedoman Menteri Pertanian dan Agraria No. II Tahun 1963 tersebut,
kemudian dilanjutkan dengan Surat Keputusan Panitia Landreform Daerah Tk.
I. Provinsi Sumatera Utara, tanggal 19 Februari 1964 No. SK I/LR/1964,
Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah Bekas Tanaman Tembakau/ Tanah
Jaluran . Pedoman pelaksanaan itu menentukan dengan singkat adalah :
1.
2.
3.
4.

Petani ialah orang baik yang mempunyai tanah sendiri, yang mata
pencaharian pokoknya adalah mengusahakan tanah pertanian.
Petani itu bertempat tinggal di desa yang terdekat dengan perkebunan
tembakau dan dalam satu kecamatan dengan kebun yang bersangkutan.
Luas tiap bagian adalah 1/2 Ha.
Pengusahaan tanah oleh petani berlaku untuk selama 6 bulan.88

Perkembangan selanjutnya berdasarkan SK Panitia Landreform Provinsi


Sumatera Utara No.961/LR/I/1969, tanggal 26 September 1969, tentang
Pedoman
Pengosongan Tanah Garapan Rakyat dalam areal perkebunan.
Ditentukan
dengan
tegas
bahwa pengosongan harus terlebih dahulu
dimusyawarahkan dengan
pihak
rakyat penggarap yang bersangkutan.
Kepada
penggarap diberitahukan
semua
fasilitas
ganti
rugi
dan
penampungan sesuai dengan Ketentuan Peraturan-Peraturan yang ada yang
akan diterima mereka akibat pengosongan.89
Ketentuan dari Panitia
Landreform
tersebut diatas dengan jelas
menegaskan bahwa pengosongan tanah garapan rakyat di areal perkebunan
harus dilakukan dengan musyawarah dan bagi mereka yang terkena
pengosongan harus diberi ganti rugi dan penampungan. Namun dalam praktek,
ketentuan ini tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan, sehingga
menimbulkan sengketa antara penggarap dengan pihak Perkebunan.

5. Keputusan Menteri Agraria No: SK.24/HGU/1965 Tentang Pemberian


Hak Guna Usaha Pada PPN Tembakau Deli Sumatera Timur.

Dalam Konsideran keputusan tersebut, menunjukkan bahwa PPN


Tembakau Deli Sumatera Timur, Daerah Tingkat I Sumatera Utara yang
semula mempunyai areal keseluruhan seluas 250.000 Ha, telah
87

Mariam Darus, Dalam Mahadi, Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-Hak Suku Melayu Atas
Tanah di Sumatera Timur Tahun 1800-1975 , (Bandung Alumni, 1976),hal 166 .
88
Lihat Mahadi, Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-Hak Suku Melayu Atas Tanah di Sumatera
Timur ( Tahun 1800 - 1975 ) , Alumni, Bandung, 1976, hal 169
89
Lihat SK Panitia Landreform Provinsi Sumatera Utara, No.961/LR/1969, bagian I dan II

2004 Digitized by USU digital library

45

dipersempit menjadi 59.000 Ha, yang disebabkan antara


pendudukan/ penggarapan oleh rakyat diatas areal tersebut.

lain,

adanya

Dalam pertimbangannya juga menyebutkan bahwa, Surat Keputusan


itu adalah merupakan landasan
hukum berupa
pemberian Hak Guna
Usaha atas wens-areal seluas 59.000 Ha, kepada PPN Tembakau Deli
Sumatera Timur, Daerah Tingkat I Sumatera Utara, dan menegaskan bahwa
sisa tanah seluas 191.000 Ha, dijadikan sebagai objek Landreform, dengan
tidak mengurangi kepentingan PPN Tembakau Deli.
Dalam Diktum keputusan tersebut pada Penetapan Ketiga Bagian VI
dan VII, menegaskan bahwa tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha ini
harus diusahakan secara layak menurut norma-norma yang berlaku, dan harus
diusahakan sendiri oleh pemegang haknya dan dilarang untuk
diserahkan
kepada pihak lain baik secara persewaan ataupun bentuk serah pakai lainnya.
Dalam Ketentuan ini, tidak dijumpai lagi istilah tanah jaluran.
Mahadi menafsirkan bahwa istilah tanah jaluran, termasuk kedalam
pengertian
serah pakai
dalam ketentuan tersebut, namun dipertanyakan
bagaimana dari segi hukumnya? Menurut Mahadi, hak tanah jaluran yang
merupakan penjelmaan hak ulayat, telah dipraktekkan oleh pihak perkebunan
asing selama 100 tahun, dan telah mendapat pengakuan dalam perundangundangan. Tentu tidak dengan begitu saja hak tanah jaluran dapat hapus
dengan suatu perumusan umum dalam suatu SK Hak Guna Usaha.90
Kebijakan pemerintah Sumatera Utara mengenai status tanah jaluran di
areal perkebunan tembakau Deli, Sumatera Timur, setelah keluarnya SK Menteri
Agraria No. 24/HGU/1965 mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Sumatera
Utara No.370/III/SU/1968 menyatakan, sambil menunggu pengesahan Menteri
Dalam Negeri ditetapkan Pertama, penggarapan tanah jaluran ditiadakan. Kedua,
mewajibkan PNP-IX menanami tanah jaluran dengan padi.
Menteri Dalam Negeri dengan suratnya tanggal 20 Oktober 1968 No. S.D.
16/3/8 menyetujui surat keputusan Gubernur Sumatera Utara tersebut, dengan
catatan bahwa untuk petani penggarap/penunggu yang mata pencahariannya
pokoknya adalah mengusahakan tanah pertanian dapat disediakan tempat
penampungan.
Berdasarkan surat Menteri Dalam Negeri tersebut dapat ditafsirkan bahwa
tempat penampungan bagi para petani penggarap digantungkan kepada syarat
bagi mereka yang mata pencaharian pokoknya adalah mengusahakan tanah
pertanian, bukan didasarkan atas hak ulayat masyarakat penunggu. Maka
dengan demikian hak adat dijadikan hak ekonomis. Hal ini berarti menampikkan
keberadaan hukum adat, sehingga menimbulkan persengketaan diantara
masyarakat penunggu dengan pihak perkebunan.
6. Surat Keputusan Gubernur No. 370/ III/ SU/ 1968.
Keputusan Gubernur Sumatera Utara antara lain :
1). Penggarapan tanah jaluran dalam areal Perusahaan Negara Perkebunan
IX (Sekarang PTPN-II) di daerah Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten

90

Mahadi op cit , hal 169.

2004 Digitized by USU digital library

46

Langkat, baik oleh rakyat petani maupun rakyat petani bersama-sama


dengan karyawan PNP, ABRI, Pegawai Negeri ditiadakan.
2). Mewajibkan PNP-IX (PTPN-II) untuk mengolah dan menanami tanah
kosong bekas tanaman tembakau yang sedianya diperuntukkan buat
tanah jaluran di dalam PNP itu dengan tanaman padi, dengan ketentuan
:
a. Teknik dan cara pengolahan dan tanamannya dilakukan oleh PNP-IX
(PTPN-II) dengan memakai peralatan dan tenaga karyawannya
sendiri;
b. Hasil padi yang diperoleh dari penanaman itu diperhitungkan dengan
jatah beras buat PNP-IX (PTPN-II) dan tidak diperkenankan
diperjualbelikan kepada atau oleh pihak lain;
c. Apabila mendapat kelebihan setelah dikurangi jumlah jatah beras PNP
IX (PTPN-II) buat setahun, maka kelebihan itu akan diatur
penggunaannya oleh Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara,
Sejak keluarnya Surat Keputusan Gubernur No. 370/III/SU/1968 telah
banyak menimbulkan perdebatan pro dan kontra mengenai keberadaan tanah
jaluran di areal perkebunan, antara lain dapat dicatat perdebatan antara Mariam
Darus Badrulzaman, S.H dengan Sarbaini Ghazaly, S.H.91 Menurut Mariam Darus,
tanah jaluran adalah hak rakyat berdasarkan hukum adat dan merupakan
manifestasi dari hak ulayat, sedangkan menurut Sarbaini tanah jaluran itu lahir
dari goodwill konsesionaris.
Lembaga Hak Asasi Manusia Sumatera Utara menolak Keputusan
Gubernur Sumatera Utara yang menghapuskan tanah jaluran. Keputusan itu
dinyatakan tidak sah dan bertentangan dengan peraturan-peraturan yang
berlaku. Penangkapan-penangkapan terhadap 200 orang petani penggarap yang
dilakukan oleh alat negara supaya dihentikan.92 BPRPI Sumatera Utara, juga
menentang Keputusan Gubernur tersebut, dengan mengatakan suatu perkosaan
terhadap hak adat dan hukum adat dari rakyat setempat dan untuk kesalahan ini
mendesak pemerintah agar Gubernur diturunkan dari jabatannya.93 Protes
terhadap Keputusan Gubernur terus berkembang dalam masyarakat Sumatera
Utara.
Pada tanggal 21 dan 22 September 1968, Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara mengadakan seminar tanah jaluran . Dengan tujuan :
1. Menghidangkan uraian ilmiah
tentang pertanyaan Apa sebenarnya
tanah jaluran itu?.
2. Berusaha dalam batas-batas
kemungkinan, untuk menentukan sifat
tanah jaluran dalam rangka :
a. Tertib hukum sebelum Perang Dunia Kedua.
b. Tertib hukum sesudah tanggal 17 - 8 - 1945, hingga sampai saat
berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria.

91

Lihat Pajakun Nawi, Sejarah Tembakau Deli, Skripsi Fakultas Hukum USU, Medan,1972.
Periksa, arktikel Putusan Gubernur Sumatera Utara Ditolak?, dalam harian Duta Masyarakat,
13 Agustus 1968.
93
Periksa, artikel Tanah Sumatera Bagian Timur Gubernur Didesak Turun, dalam harian Duta
Masyarakat, 26 Juli 1968.
92

2004 Digitized by USU digital library

47

c. Undang-Undang Pokok Agraria 1960, sampai tanggal dikeluarkannya

surat Hak Guna Usaha untuk P.P.N. Tembakau Deli ( Keputusan


Menteri Agraria 10 - 6 - 1965 No. SK 24/ H.G.U./65).
3. Sampai dimana tanah jaluran dapat dipertahankan dalam kepentingan
nasional dan Rencana Pembangunan Lima Tahun.
4. Seandainya tanah jaluran perlu ditiadakan, maka hendaknya disarankan
:
a. Siapa yang berhak meniadakannya.
b. Cara meniadakannya.
c. Dimana perlu mencadangkan syarat-syarat.94
Menurut A. P. Parlindungan menyatakan bahwa, hukum adat yang berlaku bagi
tanah jaluran adalah hukum yang berurat berakar dalam kehidupan rakyat dan
setiap tekanan atau penghapusan akan dirasakan oleh rakyat sebagai perkosaan
hak-hak mereka dan mereka akan merasa ketidakadilan yang tidak
berkeputusan. Penghapusan dapat dilakukan dengan musyawarah dengan pihakpihak yang bersangkutan.95
Disisi lain Mariam Darus juga mengatakan bahwa tanah jaluran adalah
lembaga adat dan secara deklaratif ditegaskan dalam akta-akta konsesi, tanah
jaluran sebagai lembaga adat mendapat tempat dalam UUPA No. 5/ 1960 dan
penghapusan tanah jaluran hanya sah apabila :

a. Ditinjau dari aturan-aturan negara bertentangan dengan kepentingan nasional


dan yang berhak menentukan apakah lembaga adat ini bertentangan dengan
kepentingan nasional ialah rakyat melalui undang-undang (DPR).
b. Ditinjau dari hukum adat hanya sah apabila ditetapkan oleh masyarakat
hukum itu sendiri.96

Hasil keputusan seminar tanah jaluran tersebut, yang direkomendasikan


kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dapat dicatat antara lain
sebagai berikut :
1.

2.

3.

Surat Keputusan Menteri Agraria No. 24/ HGU/ 65 adalah ketetapan yang
dalam hukum Administratif mengatur hubungan hukum antara negara dan
P.P.N Tembakau Deli, jadi tidak mengatur hak orang lain, sehingga dengan
demikian surat keputusan itu tidak mungkin menghapuskan hak rakyat
penunggu sebagai pihak ketiga, apalagi hak rakyat penunggu itu
berdasarkan hukum adat.
Keputusan Gubernur Sumatera Utara No. 370/ III/ GSU tanggal 16 Juli 1968
tidak mempunyai akibat hukum. Pemakaian tanah jaluran dapat
dilangsungkan tanpa merugikan perkebunan, asal diatur secara khusus
dengan peraturan yang khusus.
Seandainya ada kepentingan yang lebih tinggi/nasional hak rakyat penunggu
sebagai lembaga hukum adat, perlu dihapuskan maka jalannya ialah :
a. Masyarakat hukum adat itu sendiri menghapuskannya.

94

Mahadi, Op cit, hal 172 - 173 .


Pendapat A.P Parlindungan disampaikan pada Seminar Tanah Jaluran tanggal 21 dan 22 September
1968 di Fakultas Hukum USU Medan.
96
Disampaikan Mariam Darus dalam Seminar Tanah Jaluran, tanggal 21-22 September 1968 di
Fakultas Hukum USU, Medan.
95

2004 Digitized by USU digital library

48

b. Undang-undang dengan mengadakan masa peralihan dan pengaturan


terhadap

akibat-akibat dari penghapusan itu.97

Kenyataannya dalam praktek, walaupun


sudah ada hasil seminar
mengenai tanah jaluran yang telah direkomendasikan kepada pemerintah pusat
maupun daerah, sengketa pertanahan mengenai hak ulayat/ tanah jaluran di
areal perkebunan di Sumatera Utara, masih terus berlanjut, terbukti dengan
adanya Perkara Pidana No.402/1968/K 98. Dan sampai sekarang, sengketa
pertanahan mengenai hak ulayat/ tanah jaluran, masih terus berlangsung,
dengan segala aspek dan perkembangannya.
Penyelesaian sengketa pertanahan di areal perkebunan yang dilakukan
berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, sampai sekarang belum
dapat
diselesaikan
secara tuntas oleh pemerintah daerah Sumetara
Utara99, bahkan situasinya sejak adanya reformasi tahun 1998, sampai
sekarang, sengketa tanah perkebunan di Sumatera Utara semakin runyam,
karena munculnya penggarap-penggarap baru yang berdalih demi refomasi
menduduki areal perkebunan.100
Analisa dan evaluasi dari uraian masalah terjadinya konflik dan
sengketa pertanahan yang terjadi di Sumatera Utara, dari catatan sejarah,
dapat dilihat sebagai suatu bukti bahwa permasalahan hak penguasaan atas
tanah tidak bisa begitu saja diatasi dan diselesaikan. Konflik yang muncul dari
sengketa ini secara periodik akan muncul sebagai akibat adanya benturan
kepentingan yang terjadi antara pihak-pihak yang menghendaki penguasaan
lahan. Konflik ini bisa bersifat vertikal maupun horizontal. Namun dalam disertasi
ini pola yang nampak sejak masa kolonial hingga pemerintahan Orde Baru,
konflik yang paling banyak terjadi adalah konflik vertikal, khususnya antara pihak
petani penggarap tanah dan pihak perusahaan perkebunan. Dalam bab-bab
sebelumnya telah diungkapkan bagaimana proses dan pola konflik vertikal
tersebut terjadi sejak zaman kolonial (masa berlakunya Agrarische Wet 1870)
hingga munculnya UUPA Nomor 5 Tahun 1960.
Namun kesemua peraturan itu tidak berjalan secara efektif, disebabkan
fakta yang disebutkan di atas. Kondisi ini cenderung telah membentuk perilaku
hukum masyarakat baik BPRPI, Petani penggarap maupun pihak pengusaha
perkebunan menjadi sama-sama tidak mematuhi hukum.
Ketidakpatuhan masyarakat terhadap hukum yang berlaku adalah karena
adanya legal gaps. Meskipun adanya penerapan sanksi-sanksi hukum secara
formal, masyarakat dan perkebunan ternyata tidak mematuhi, karena masingmasing pihak bertahan dengan keyakinan hukum mereka masing-masing.
Perbuatan hukum yang ilegal itu terus berlangsung, sepanjang pemerintah tidak
mengupayakan informasi hukum dan penyuluhan hukum kepada masyarakat.
Ilegalitas perbuatan yang dilakukan masyarakat terus berlangsung dalam
97

Lihat keputusan Seminar Tanah Jaluran, tanggal 22 September 1968, pada point IV, V, VI dan VII.
Mengenai kasus tersebut, telah diuraikan dalam diskripsi kasus.
99
Periksa kasus areal Perkebunan PTPN-II, III dan IV, Mengenai Penggarapan yang dilakukan
oleh petani penggarap, BPRPI , dan ex-karyawan perkebunan, yang sampai sekarang belum
dapat diselesaikan .
100
Tuntutan rakyat penggarap yang mengakui sebagai petani berdasarkan reformasi 1998, yang
saat ini semakin marak terjadi di beberapa areal perkebunan.
98

2004 Digitized by USU digital library

49

waktu yang cukup panjang sampai saat ini. Akibatnya mempengaruhi sikap
perilaku masyarakat (legal behavior) yang tidak mematuhi hukum dan
bertambahnya kuantitas masyarakat penggarap dari waktu ke waktu, disebabkan
karena tidak efektifnya hukum yang berlaku. Hukum telah kehilangan fungsi
sebagai alat kontrol sosial dari pemerintah dan tidak berhasil untuk mendorong
prilaku yang berguna, atau mencegah terjadinya penggarapan tanah tanpa izin
yang berhak atau kuasanya. Pada kasus-kasus yang dikemukakan di atas,
menunjukkan bahwa semua peraturan dan kebijakan pemerintah yang telah ada
tidak dapat dilaksanakan atau telah menjadi peraturan hukum yang mati (dead
letter).
Perubahan peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh
pemerintah secara tambal sulam, cenderung hanya untuk kepentingan birokrasi
dan kepentingan pengusaha perkebunan. Musyawarah yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum, pihak perkebunan dan masyarakat hanya bergantung
pada persepsi penguasa hingga penerapan sanksi menjadi terbatas pada
masyarakat sebagai petani penggarap.
Faktor politik dan ekonomi merupakan salah satu faktor terjadinya
sengketa pertanahan di Sumatera Utara dan merupakan salah satu faktor
sulitnya menemukan penyelesaian sengketa tersebut, dimana sengketa lama
belum dapat diselesaikan, tetapi sengketa baru selalu muncul kembali. Adanya
persaingan politik (rivalitas politik) sejak zaman kesultanan dan zaman kolonial
sampai sekarang, merupakan salah satu penyebab timbulnya sengketa yang sulit
diselesaikan. Pada masa kesultanan adanya persaingan antara sultan dan
pemerintah kolonial dalam mempengaruhi masyarakat khususnya, mengenai
perlindungan hak ulayat masyarakat yang berada di areal konsesi onderneming.
Pada mulanya sultan dan pengusaha onderneming mewujudkan hak ulayat
masyarakat di atas areal konsesi dengan memberikan tanah jaluran kepada
masyarakat penunggu. Tetapi dalam pelaksanaan pembagian tanah jaluran,
ternyata sultan dan pihak onderneming telah berkoalisi ikut memanfaatkan tanah
jaluran. Sultan mengambil jatah tanah jaluran buat kerabat kerajaan dan juga
memberikannya kepada petani-petani pendatang yang membayar sewa baik
berupa hasil panen maupun uang. Sedangkan pihak onderneming memanfaatkan
tanah jaluran untuk diberikan kepada kuli kontrak suku Jawa dan China, dengan
mendapat imbalan dan membeli hasil panen dengan harga murah untuk
kepentingan kuli perkebunan serta menyewakan tanah jaluran kepada orang
China untuk kedai-kedai.
Akibat kondisi ini, posisi rakyat penunggu dari sudut ekonomi semakin
terjepit, karena tanah jaluran sebagai lahan pertanian untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka, semakin berkurang. Disamping itu pemerintah kolonial
mempunyai kepentingan politik untuk menanamkan kekuasaannya dan
menghancurkan hegomoni Sultan Deli, yaitu dengan membiarkan orang-orang
Imigran dari Batak Toba, suku Karo yang berasal dari pegunungan untuk
menggarap tanah jaluran, sehingga terjadi konflik antara para pendatang dengan
rakyat penunggu.
Situasi dan kondisi demikian itu, dalam pelaksanaannya pemerintah
kesultanan (Zelfbestuur) dan pemerintahan kolonial selalu bertindak mendua
terhadap rakyat penunggu, misalnya sultan di satu sisi melindungi hak ulayat
masyarakat, tapi di sisi lain dia juga melindungi kepentingan onderneming
sebagai pemasuk devisa bagi pemerintahan sultan, begitu juga sebaliknya yang

2004 Digitized by USU digital library

50

dilakukan oleh pemerintah kolonial. Fakta ini menunjukkan bahwa sengketa


pertanahan atas dasar hak ulayat dan dasar penggarapan sulit untuk
diselesaikan, bahkan selalu muncul sengketa baru.
Pada masa kemerdekaan sengketa pertanahan di Sumatera Utara, terus
bertambah disebabkan karena adanya faktor politik yaitu persaingan antara
pemerintah RIS dengan pemerintah NST yang sama-sama mempengaruhi rakyat
penggarap untuk kepentingan politik. Pemerintah RIS membiarkan penggarapan
terjadi di areal perkebunan, bahkan memprovokasi agar buruh perkebunan dan
penggarap-penggarap untuk memberontak. Pemerintah RIS memanfaatkan
rakyat penggarap agar mendukung pemerintahan Republik. Sedangkan
pemerintah NST, walaupun pada hakekatnya pemerintah NST akan
membersihkan penggarap dari areal perkebunan, tetapi terpaksa melakukan
kompromi dengan rakyat dan membiarkan rakyat menggarap di atas areal
perkebunan. Pemerintah NST membutuhkan dukungan rakyat untuk
kelangsungan pemerintahannya. Situasi dan kondisi politik pada saat itu,
membuat pemerintah RIS dan NST selalu bersikap mendua dalam melaksanakan
kebijakan mengenai penyelesaian sengketa pertanahan. Akibatnya sengketa
pertanahan tidak pernah selesai dan selalu muncul penggarap-penggarap baru
yang memanfaatkan situasi politik demikian.
Penggarapan tanah di areal perkebunan semakin bertambah banyak
akibat provokasi dari partai politik, salah satu yang sangat berperan ketika itu
adalah PKI dengan ormas BTI nya menghasut rakyat untuk melakukan
penggarapan-penggarapan dengan slogan rakyat untuk petani.
Kondisi perkebunan di Sumatera Timur mengalami kerugian dan
penyusutan areal HGU nya dari 125.000 Ha telah menyusut menjadi 59.000 Ha,
selebihnya tanah kembali dikuasai oleh negara dan dibagi-bagikan kepada
rakyat. Proses pelaksanaan pembagian tidak berjalan akibat situasi politik ketika
itu. Program pemerintah telah mendata dan akan mendistribusikan tanah untuk
petani, tetapi sebelum dilaksanakan pembagian sesuai dengan data-data yang
ada, muncul ribuan lagi penggarap-penggarap baru, sehingga pembagian tanah
tidak berjalan. Rakyat petani yang menerima pembagian tanah ada yang
menolak, karena tanah yang dibagi dianggap tidak layak tanam atau berada jauh
di pedalaman. Mereka-mereka yang telah menerima surat pembagian tanah
berdasarkan Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954, Kartu Pendaftaran
Tanah, Surat Izin Menggarap dan lain-lain tidak mau menguasai tanah tersebut,
kemudian menggarap tanah perkebunan yang berada dalam areal 59.000 Ha.
Padahal pembagian tanah buat mereka sudah berada di luar areal tersebut.
Dalam kenyataannya pihak PPN/PTP/PTPN-II belum memanfaatkan semua
areal seluas 59.000 Ha, dengan telantarnya tanah tersebut, masyarakat kembali
menggarap, tidak saja penggarap-penggarap lama melainkan juga muncul
penggarap-penggarap baru. Pemerintah tidak mengambil tindakan-tindakan,
sehingga penggarapan berlangsung dalam waktu yang cukup lama tanpa
penyelesaian.
Penyelesaian yang dilakukan oleh pemerintah sejak pemerintahan orde
baru dilakukan dengan tindakan melalui pendekatan militer yang dikenal dengan
operasi sadar. Tindakan ini hanya menyelesaikan sengketa pertanahan sesaat
dan tidak dapat menyelesaikan secara tuntas. Di era reformasi penggarapan
muncul kembali, hampir di seluruh wilayah perkebunan PTPN-II, mulai dari

2004 Digitized by USU digital library

51

Sungai Ular Kabupaten Deli Serdang sampai Sungai Wampu Kabupaten Langkat.
Silih berganti penyelesaian telah dilakukan, tetapi bermunculan pula penggarappenggarap baru, disebabkan tidak adanya kepastian hukum dalam penyelesaian
sengketa tersebut.

C. Melemahnya Kedudukan Hak Ulayat.


Kedudukan hukum adat di Sumatera Utara khususnya di areal PTPN-II
dan PTPN-III, sejak zaman pemerintahan kesultanan hukum adat yang
menyangkut mengenai hak atas tanah atau yang disebut sebagai hak ulayat,
hidup dan berkembang dalam masyarakat adat. Masyarakat adat Sumatera Utara
pada mulanya mengenal cara bertani berpindah-pindah atau disebut sebagai
berladang reba. Masyarakat bebas membuka hutan, bercocok tanam dan
memungut hasil hutan. Masuknya pengusaha perkebunan Belanda ke Sumatera
Timur, yang mendapatkan tanah dengan hak sewa jangka panjang dari sultan.
Keadaan ini mulai menggeser kedudukan hak ulayat, karena tanah hak ulayat
mereka telah disewakan oleh sultan kepada pihak perkebunan. Tanah yang biasa
dipergunakan oleh masyarakat untuk berladang, bertani dan memungut hasil
hutan ketika itu telah menjadi perkebunan. Kemudian masyarakat mengenal cara
bertani menetap, di atas tanah jaluran yang disediakan oleh pihak onderneming
dan dijamin dalam akte konsesi.
Pelaksanaan pembagian tanah jaluran telah menimbulkan konflik antara
masyarakat dan pihak onderneming, karena pihak onderneming tidak mentaati
ketentuan dari akte konsesi. Mereka membagikan tanah jaluran kepada pihak
pendatang dan buruh perkebunan. Masyarakat penunggu yang berhak atas
tanah jaluran menjadi resah dan sejak saat itu pula terjadi konflik dan
kedudukan hak ulayat semakin menipis. Sementara itu sultan tidak dapat
berbuat banyak untuk melindungi hak ulayat masyarakat, bahkan sultan dan
para kerabatnya ikut berkoalisi dengan pihak onderneming, dalam rangka
memanfaatkan tanah jaluran.
Kedudukan hak ulayat di Sumatera Timur pada masa itu tetap ada,
walaupun mengalami rongrongan dari kebijakan-kebijakan pemerinah Belanda,
pihak onderneming. Sampai 1933 keluarnya Undang-Undang Hak Erfacht yang
mulai berlaku efektif pada tahun 1937, dengan menghapuskan hak ulayat di atas
tanah hak erfach, dan memberikan hak kontrol sepenuhnya kepada perkebunan
tanpa ada tanah jaluran. Pada saat ini kedudukan hak ulayat di Kesultanan Deli
telah kehilangan makna dan menimbulkan protes dari kalangan rakyat
penunggu. Pada tahun 1942 kedudukan hak ulayat telah menjadi
termajinalisasikan, karena Pemerintah Militer Jepang telah menyuruh rakyat
untuk menggarap tanah perkebunan, termasuk rakyat pendatang dan bekas
buruh perkebunan. Komunitas Melayu telah bercampur baur dengan kaum
pendatang, sehingga kehidupan persekutuan hukum tidak lagi tampak sebagai
suatu kesatuan hidup yang masih terikat oleh tatanan hukum adatnya. Situasi ini
terus berlanjut sampai revolusi kemerdekaan, NST, KMB dan masa NKRI,
keberadaan hak ulayat sudah semakin tidak jelas. Tetapi kelompok rakyat
penunggu terus berjuang sampai saat ini, menuntut hak ulayat mereka di bekas
areal konsesi. Konflik mengenai hak ulayat ini terus berlangsung dan tidak dapat
diselesaikan secara tuntas, sehingga untuk mengantisipasi tersebut pemerintah
mengeluarkan Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999, Tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

2004 Digitized by USU digital library

52

Menurut Pemda Tingkat I Sumatera Utara, Peraturan Menteri


Agraria/Kepala BPN No.5 Tahun 1999, seyogyanya dapat dijadikan sebagai
dasar/tolak ukur untuk berbuat sesuatu dalam penyelesaian masalah tanah hak
Konsekwensi dari pernyataan ini
ulayat khususnya di Sumatera Utara.101
berarti bahwa, apabila di areal PTPN dalam kenyataannya masih terdapat
hak ulayat, maka kepada masyarakat adatnya harus diberikan recognitie, dan
apabila HGU dari PTPN itu sudah berakhir, maka untuk memperpanjang
harus terlebih dahulu dimusyawarahkan kepada masyarakat adat setempat,
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Begitu juga sebaliknya, jika
dalam kenyataannya hak ulayat sudah tidak ada lagi, maka pemerintah harus
menolak dengan tegas segala bentuk gugatan masyarakat yang mengatasnamakan hak ulayat.
Dalam praktek, Pemerintah banyak memberikan hak kepada pengusaha
perkebunan besar, dimana areal hak guna usaha tersebut diberikan di atas hak
ulayat masyarakat yang pelaksanaannya tidak sesuai dengan prosedur yang
diatur oleh UUPA dan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN No.5 Tahun
1999, yakni masyarakat hukum yang bersangkutan tidak didengar pendapatnya
dan tidak diberi recognitie. Kenyataan ini jelas bertentangan dengan rasa
keadilan dan kepastian hukum.
Jika kita kaitkan dengan Teori Keadilan menurut Aristoteles yaitu
distributive and corrective justice dan corrective or remedial justice, yang pada
dasarnya dalam masyarakat harus dijamin adanya keseimbangan mengenai hak
dan kewajiban dan tanggung jawab, dan mengoreksi setiap ketidakseimbangan
dalam komunitas dengan pemulihan kesamaan dalam hal apapun yang ada,
sebelum kekeliriuan berlangsung. UUPA dan Peraturan Menteri Negara Agraria/
Kepala BPN No.5 Tahun 1999 pada prinsipnya telah memenuhi keadilan dan
kepastian
hukum,
karena
peraturan
tersebut pada
dasarnya
telah
mengupayakan keseimbangan antara hak ulayat dengan kepentingan
nasional, di mana di satu sisi hak ulayat itu diakui, sepanjang dalam
kenyataannya masih ada. Di sisi lain negara dapat memberikan hak
pengelolaan terhadap perseorangan atau badan hukum, baik yang berasal
dari dalam, maupun dari luar masyarakat adat itu sendiri. Ini terjadi dengan
ketentuan negara harus memberikan recognitie kepada masyarakat adat itu,
dan masyarakat adat harus rela melepaskan hak ulayatnya.

D. Mencari Penyelesaian.
Masa pemerintahan Suharto yang dikenal dengan rejim Orde Baru
melandaskan semua pelaksanaan kebijakannya pada pilar birokrasi sipil dan
kekuatan militer. Aparat birokrasi dan pasukan militer menjadi para pelaku
utama kebijakan pemerintah yang diterapkan sebagai demi kepentingan negara.
Berdasarkan konsep bahwa ABRI adalah Bhayangkari negara yang siap
mengamankan semua kepentingan pemerintah dari segala ancaman, militer
memiliki peluang untuk terlibat dalam segala urusan yang menyangkut
101

Pemerintah Daerah Sumatera Utara, Kebijakan Pemerintah Sumatera Utara Untuk Mengatasi
Penyelesaian Konflik Pertanahan Di Sumatera Utara (Klaim Masyarakat Hak Ulayat, Masyarakat
Hukum Adat) Disampaikan pada acara Seminar Keberadaan Hak Ulayat Melayu di Sumatera
Utara, di Gedung Bina Graha Sumatera Utara, tanggal 2 Februray 2002, hal. 6.

2004 Digitized by USU digital library

53

pemerintah atau lembaga-lembaga negara. Dengan tujuan mengamankan


kepentingan negara, militer segera mengambil tindakan tegas untuk
memudahkan penyelesaian persoalan lewat pendekatan kekuasaan.
Hal tersebut terjadi dalam kasus-kasus sengketa tanah di wilayah
Sumatera Utara, khususnya mengenai sengketa bekas tanah-tanah perkebunan
milik Belanda yang siap diambil alih dan diolah oleh perkebunan negara (PTP).
Pimpinan ABRI setempat sebagai panglima teritorial juga diberi wewenang untuk
ikut mengontrol dan mengarahkan segala tindakan beberapa tim yang dibentuk
untuk menangani tanah di Sumatra Utara. Hal ini nampak dari apa yang
disampaikan oleh Pangdam II/BB Brigjen TNI Ismail selaku Laksus
Pangkopkamtibda (Panglima Komando Operasional Keamanan dan Ketertiban
Daerah) dalam penutupan Secaba Wamil (Sekolah Calon Bintara Wajib Militer) di
Kodiklat Dam II/BB Pematang Siantar :
Saya percaya kalau masyarakat itu cepat diberikan penjelasan/cepat ditanggapi,
tentunya mereka akan mengerti, walaupun kepuasan bagi mereka belum
diperoleh. Mereka sudah puas betul-betul secara tepat bila mendapatkan
ketegasan umpamanya sertifikatnya atau keputusan hukum atas tanahnya.102
Dengan menyebut bahwa persoalan tanah merupakan salah satu persoalan
rawan karena melibatkan kepentingan rakyat banyak, maka militer perlu ikut
terlibat dalam penyelesaian sengketa tanah itu. Persoalan tanah ini kemudian
dijadikan alasan untuk mencari kesalahan pada pihak atau kelompok tertentu
yang sering dituduh melakukan provokasi atau menghasut kepada petani untuk
menguasai lahan dan menggarapnya secara liar dan sepihak.103
Alasan bahwa para petani liar yang menggarap dan menguasai lahan
perkebunan ini telah ditunggangi oleh kekuatan tertentu memberikan dasar
kepada militer untuk mengambil tindakan tegas dengan mendukung kepentingan
perkebunan.104 Langkah tegas yang diambil melalui cara pentraktoran atas lahan
garapan dan pemukiman petani serta intimidasi dan pemisahan dalam bentuk
larangan memasuki lahan tertentu sering digunakan untuk memaksakan cara
penyelesaian yang akan dicapai. Hal ini nampak jelas dalam pelaksanaan Operasi
Sadar dalam rangka membebaskan lahan milik perkebunan PTP-IX dari para
penghuni liar. Operasi ini dipimpin oleh Kolonel Moechtar selaku Komandan
Korem 023/DT. Setelah dua hari diterapkan operasi ini, para petani penggarap

102

Periksa Brigjen Ismail: Dalam dekade 80-an masalah tanah sangat rawan dalam harian Waspada
tanggal 30 Januari 1980.
103
Meskipun penyebutan kelompok atau golongan atau pihak tertentu ini tidak memiliki definisi yang
jelas, namun konotasi umum pada saat itu mengarah pada kekuatan kiri atau eks-PKI yang
bergerak di bawah tanah sebagai bahaya laten dengan tujuan untuk menghambat pembangunan dan
bergerak di kalangan massa rakyat petani. Konotasi umum yang berlaku ini sangat berpengaruh
pada opini masyarakat bahwa mereka yang melakukan penyerobotan tanah ini bisa disamakan
dengan aksi-aksi sepihak oleh PKI sebelum tahun 1965. Periksa Hindari Kekerasan dalam Soal
Tanah dalam harian Sinar Indonesia Baru, tanggal8 Agustus 1979.
104
Menarik untuk disimak dalam hal ini tulisan dalam harian Analisa tanggal 3 September 1979
dengan judul 0perasi Sadar Berjalan Baik, yang menulis:Penyerobotan secara liar ini disinyalir
ada yang digerakan kelompok orang-orang tertentu untuk kepentingan ambisi politiknya.
Penyerobotan tanah secara masal ini bukan saja mengganggu kamtibmas tetapi juga berakibat
mengaburkan hak-hak petani penggarap lama yang sebenarnya sudah dilindungi UU.

2004 Digitized by USU digital library

54

segera meninggalkan tanah garapannya itu.105


Langkah berikutnya bagi penyelesaian sengketa ini adalah pembentukan
Tim Penyelesaian Tanah Garapan di Areal PTP-IX yang bertugas menampung
semua keluhan dari para petani untuk dipertimbangkan dan diteruskan kepada
pihak manager PTP-IX. Namun dalam pelaksanaannya lebih lanjut, nampak
bahwa lembaga ini tidak bisa memenuhi harapan rakyat mengingat sering
terdapat perbedaan persepsi dan informasi antara para petugas Tim ini dengan
rakyat di lapangan.
Hal ini mendorong Pangdam II/BB saat itu Brigadir Jenderal Ismail untuk
mengingatkan para anggota tim agar tidak semata-mata menyelesaikan
keputusan tanah saja secara cepat namun juga harus cepat terjun ke
masyarakat guna menanggapi reaksi masyarakat itu sendiri.
Untuk mendapatkan kepercayaan rakyat, maka atas usul-usul dari
tim tersebut Kantor Agraria setempat mengeluarkan Surat Izin Menggarap (SIM)
yang diberikan kepada petani yang mendaftarkan diri untuk didata di kantor
itu. Dengan SIM ini petani diharapkan bisa memperoleh jaminan dalam
mengerjakan tanah garapan yang telah ditetapkan baginya tanpa melakukan
pelanggaran lahan dan tidak ditekan oleh pihak lain. Hal ini juga memudahkan
bagi Kantor Agraria untuk melakukan pengukuran dalam pemilikan lahan
oleh para petani dan menarik garis batas antara lahan milik perkebunan dan
milik petani.
Namun dikeluarkannya SIM ini juga tidak bisa menyelesaikan masalah,
sebaliknya persoalan baru muncul. Hal ini disebabkan karena pengeluaran SIM
juga tidak berjalan secara teratur. Ada suatu keluarga yang bisa memperoleh
lebih dari satu SIM dengan cara di atas namakan istri dan anak-anaknya.
Sebagai akibatnya sering terjadi ada keluarga yang tidak bisa memperoleh SIM,
sementara pada keluarga yang lain terdapat jumlah SIM berlebih tanpa
digunakan. Kondisi ini tentu saja menimbulkan kerawanan di lapangan
mengingat sering terjadi konflik yang mengarah pada perkelahian antara mereka
yang memiliki SIM dan yang tidak memiliki SIM.106
Pelanggaran lain yang terjadi dengan penggunaan SIM ini adalah adanya
jual-beli SIM yang berdampak pada penyewaan tanah kepada warga lain.
Diketahui pada saat itu sehektar tanah disewakan senilai Rp 100.000,- per
tahun. Dengan demikian nama orang yang tertera pada SIM tidak akan sama
dengan penggarap tanah yang disewanya itu. Hal tersebut tentu saja
105

106

Menurut keterangan dari harian Analisa tanggal 16 Agustus 1979, dengan judul BPRPI Tepung
Tawari Dan 0perasi Sadar , perwakilan para petani penggarap menyatakan mendukung usaha
operasi ini dan akan meninggalkan tanah-tanah garapan yang mereka garap. Sementara itu dari
pihak pelaksana, Kolonel Muchtar menyebutkan ada tiga tahap dalam operasi ini yakni operasi
Kamtibmas dan penindakan, operasi intelijen dan penerangan, kemudian operasi konsolidasi dan
stabilisasi.
Periksa Sering Terjadi Perkelahian antara Pemegang SIM dan yang tidak Mempunyai SIM,
dalam harian Sinar Indonesia Baru tanggal 23 September 1981. Hal ini terbukti dengan 11
keluarga desa Gunung Tinggi, Kecamatan Pancur Batu yang datang menghadap kepada bupati Deli
Serdang untuk mengadukan nasibnya sehubungan pembagian SIM bagi mereka yang ditampung di
lahan penampungan Glugur Rimbun Kecamatan Kutalimbaru, Deli Serdang yang berlangsung
tidak merata. Pada saat protes ini diajukan, tidak ada pejabat berwenang di kabupaten itu yang
bersedia menemui para petani desa ini.

2004 Digitized by USU digital library

55

mempersulit pendataan yang terjadi. Akhirnya semua penyelesaian tergantung


pada para pejabat setempat.
Kebijakan para pejabat daerah setempat ternyata juga tidak mampu
menyelesaikan persoalan yang ada. Ini disebabkan oleh kepentingan pribadi para
pejabat itu terlibat dalam proses pembuatan SIM ini. Dalam tulisan pada Sinar
Indonesia Baru 9 0knum yang diduga memperjualbelikan SIM di Sei Bingai
Langkat diperiksa Laksusda Sumut, beberapa pejabat daerah telah menjual SIM
kepada para pemohon seharga antara Rp 400-800 ribu per lembarnya kepada
setiap keluarga. Sebagai akibatnya para petani penggarap yang miskin tidak
mampu memperoleh SIM ini, sementara mereka yang menerima SIM adalah
kerabat dan keluarga para pejabat pemerintah daerah.107
Jadi dari proses perkembangan yang nampak dalam hal usaha
penyelesaian sengketa penguasaan tanah, berbagai cara telah ditempuh untuk
mengatasinya. Akan tetapi dalam kenyataannya semua cara ini tidak mampu
menyelesaikan masalah, melainkan justru menimbulkan persoalan baru yakni
semakin merebaknya kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) yang terutama terjadi
pada aparat pemerintah di Sumatera Utara. Keterlibatan pihak penguasa militer
dalam hal penyelesaian tanah baik dari tingkat daerah maupun di tingkat
nasional semakin memperumit penyelesaian persoalan dalam jangka panjang.108
Dalam konteks jangka pendek kondisi memang bisa teredam untuk sementara,
namun persoalan ini akan kembali muncul dalam jangka panjang.
Sumber persoalan yang bisa diketahui dari semua kasus ini adalah
penerapan UUPA nomor 5 Tahun 1960 yang tidak konsekwen. Beberapa pasal
dalam UUPA ini sering tidak diterapkan dengan sesuai atau bahkan sengaja
diselewengkan. Hal yang nampak di sini adalah ketidaktegasan peraturan dalam
UUPA Nomor 5 Tahun 1960 tentang hak ulayat. Beberapa kalimat dalam UUPA
seperti sepanjang kenyataan masih ada jelas menimbulkan penafsiran yang
berbeda-beda. Kata-kata demikian menciptakan ketidakpastian hukum di dalam
hukum itu sendiri.109
Pemerintah Orde Baru yang berkuasa selama tiga dekade tidak melakukan
perubahan atas UUPA Nomor 5 Tahun 1960. Beberapa pasal dalam UUPA ini
digunakan sebagai kesempatan untuk memperjuangkan kepentingan penguasa
107

Mereka yang diperiksa karena terlibat dalam kasus ini adalah camat Sei Bingai, kepala desa Pasar
IV dan beberapa aparat kecamatan serta pedesaan yang lain di lahan tanah perkebunan PTP IX di
Pasar Pinter Desa Purwobinangun, Kecamatan Sei Bingai, Kabupaten Langkat. Periksa 9 0knom
yang Diduga Memperjualbelikan SIM di Sei Bingei Langkat Diperiksa Laksusda Sumut dalam
Sinar Indonesia Baru, tanggal 28 Januari 1981.

108

Hal ini bisa dicermati dengan pernyataan Pangkopkamtib Laksamana Sudomo waktu itu yang menjelaskan
tentang masalah tanah warga desa Siriaria di Kecamatan Dolok Sanggul, Tapanuli Utara. Komentar pejabat
setingkat panglima nasional terhadap persoalan tanah di suatu desa menunjukan bahwa kepentingan pusat atas
persoalan agraria di wilayah ini ikut terlibat. Persoalan tanah-tanah di Sumatra Utara juga sering menjadi
bahan perbincangan di kalangan DPR RI meskipun ini hanya terjadi pada tingkat desa. Periksa Pengacara
Harus Kembalikan Uang Penduduk Siria-ria, dalam Sinar Indonesia Baru, tanggal 8 Agustus 1979.
Menurut teori hukum, ada dua macam kepastian hukum. Yang pertama adalah kepastian hukum dalam hukum
itu sendiri, dan yang kedua kepatian hukum karena hukum tersebut. Ketidakpastian hukum dalam hukum
disebabkan oleh ketidakjelasan kalimat yang ada dalam hukum itu sendiri, yang mengandung penafsiran
berbeda-beda antara orang yang satu dan yang lainnya. Sebagai akibatnya orang menerapkannya menurut
arah penafsiran dan selera kepentingannya masing-masing. Dari sini akan terjadi konflik yang masing-masing
merasa sudah dilandasi dengan hukum.

109

2004 Digitized by USU digital library

56

dan pengusaha perkebunan, yang sering dicapai dengan mengorbankan


kepentingan petani penggarap. Konsep pendekatan kekuasaan dan politik banyak
digunakan dalam menyelesaikan kasus sengketa pertanahan. Hal ini terbukti
dengan dijadikannya tindakan penguasaan tanah secara tidak sah, sebagai suatu
tindak pidana atau dikatakan sebagai kejahatan subersive, yang diancam dengan
hukuman peradilan.
Penggunaan hukuman subersive bagi pelanggaran atas tanah, ini tidak
bisa dilepaskan dari tuduhan bahwa kasus-kasus yang menyangkut penguasaan
tanah pasti
dituduh telah digerakkan, ditunggangi atau dipengaruhi oleh
kekuatan, kelompok dan aliran tertentu yang mengancam kesatuan dan
persatuan negara. Di lain sisi, para petani penggarap sendiri dalam kondisi
ekonominya yang marginal (tersisihkan), kurang memahami peraturan-peraturan
yang telah dibuat oleh pemerintah baik pusat maupun daerah. Dengan tingkat
pendidikan yang rendah, para petani ini mudah terprovokasi atau terpengaruh
oleh kepentingan lain, yang akan memanfaatkan mereka demi tujuan tertentu.110
Pola Penyelesaian Sengketa Pertanahan di Sumatera Utara dapat
diteliti berdasarkan konflik dan sengketa (dispute) pertanahan yang terjadi di
Sumatera Utara, dalam penelitian ini yang paling menonjol adalah konflik
(conflicts)
dan sengketa (dispute) di areal konsesi perkebunan, yaitu antara
penguasa, pengusaha onderneming perkebunan, dengan rakyat penunggu dan
para petani penggarap.
Jika kita analisa dengan sistem hukum yang berlaku, penyelesaian
sengketa yang terjadi dalam masyarakat, maka hukumlah yang dapat
dijadikan
sebagai
alat
untuk
menyelesaikan
konflik
dan
sengketa.
Sehubungan dengan ini, pengadilan adalah sebagai lembaga yang khusus
untuk membantu penyelesaian atau mengakhiri konflik yang terjadi.
Disamping itu juga, tidak terlepas
peran
lembaga
legislatif
untuk
merencanakan
perangkat hukum, yang dapat berfungsi sebagai pencegah
konflik dan sengketa. Atau setidak-tidaknya peraturan hukum yang diciptakan,
dapat meminimalisasikan terjadinya konflik dan sengketa dalam masyarakat
pada bidang-bidang tertentu. Yang dalam hal ini penggarapan tanah di areal
perkebunan oleh masyarakat. Atau setidak-tidaknya badan legislatif dapat
menciptakan
perangkat
peraturan
sebagai
rekayasa
sosial (social
engineering), yang sesuai dengan pilihan masyarakat.
Namun rekayasa sosial ini tidak harus dipaksakan, karena akan terkesan
bahwa sistem hukum itu memperbaharui dan memperbaiki, sehingga alokasi
hukum berjalan sangat berlawanan, yang berupaya untuk mempertahankan
status
quo. Fungsi ini dapat disebut sebagai pemeliharaan sosial (social
maintenance).111 Maka oleh karena itu, peraturan yang diciptakan oleh badan

110

111

Pengerahan massa sebagai suatu mobilisasi sering terjadi dalam kaitannya dengan sengketa
penguasaan lahan, khususnya di antara lapisan rakyat bawah petani yang tidak memiliki tanah
(petani penggarap atau petani buruh). Hal ini bisa dibuktikan dalam uraian Bab III sub 4 di mana
PKI sering menggunakan alasan demi perjuangan rakyat untuk mencapai kepentingannya, yang
terkenal dengan slogan tanah untuk rakyat.
Rekayasa social yang dipaksakan atau social maintenance menurut Friedmann dijelaskan
sebagai berikut : We should not push the term social engineering too far . This gives the
legal system too much of an active . Refeorming flavor . Most of the time, legal allocations

2004 Digitized by USU digital library

57

Legislatif sebagai rekayasa sosial, harusnya tidak mempertahankan status


quo yang berorientasi untuk melindungi pihak pengusaha perkebunan,
misalnya
untuk
mempertahankan
kepentingan
penanaman
modal
(perkebunan),
pemerintah
dan kepentingan
pembangunan
ekonomi
pemerintah dengan mengorbankan kepentingan rakyat.
Pola penyelesaian sengketa pertanahan di areal perkebunan Sumatera
Utara telah direkayasa, berdasarkan Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun
1954 Tentang Penyelesaian Soal Pemakaian Tanah Perkebunan Oleh Rakyat.
Dalam konsiderannya antara lain menimbang karena keadaan mendesak
perlu
diatur
dengan
segera. Substansi
norma
pengaturan
tentang
pemakaian
tanah perkebunan dalam undang-undang ini, secara normatif
terdapat keseimbangan antara pihak perkebunan dan
pihak petani
penggarap, yaitu penyelesaian sengketa dilakukan dengan musyawarah,
rakyat diwakili oleh beberapa orang dari kalangannya sendiri. Jika tidak
terdapat kesepakatan, maka penyelesaian ditetapkan oleh Menteri Agraria,
Menteri Pertanian, Menteri Perekonomian, Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Kehakiman, dengan suatu Surat Keputusan Bersama .112
Dalam mengambil keputusan bersama itu, harus memperhatikan
kepentingan penduduk, kepentingan perkebunan dan perekonomian negara
ketentuan
ini,
secara normatif terdapat
pada
umumnya.113 Dengan
perlindungan bagi pengusaha perkebunan dan para penggarap untuk tidak
diperlakukan secara semena-mena.
Tanah perkebunan yang telah dilepaskan dari hak konsesi berdasarkan
keputusan bersama adalah menjadi tanah negara bebas dari segala hak
yang membebaninya. Tanah perkebunan yang telah menjadi tanah negara,
dapat
diberikan dengan suatu hak kepada rakyat dan
penduduk yang
memenuhi syarat, menurut ketentuan yang diadakan oleh Menteri
Agraria.114 Dengan kebijakan ini bahwa tanah perkebunan sebagian akan
dikeluarkan dari hak konsesi dan rakyat penggarap, akan memperoleh
sesuatu hak di atas tanah yang telah dikeluarkan dari areal konsesi tersebut.
Sebagai konsekwensi logis, diharapkan tidak ada lagi penggarapan tanah di
atas areal konsesi yang telah diperbaharui menurut Undang-Undang Darurat
No. 8 Tahun 1954.
Pola penyelesaian sengketa sebagaimana yang diatur dalam UndangUndang Darurat No. 8 Tahun 1954, dalam praktek pelaksanaannya lebih
lanjut harus mengacu kepada Keputusan Bersama, Menteri Agraria, Menteri
Pertanian,
Menteri
Perekonomian,
Menteri
Dalam
Negeri dan Menteri
Kehakiman. No. 1 Tahun 1955, antara lain menentukan penyelesaiannya
harus dilaksanakan secara berangsur-angsur dengan mengingat kepentingan
rakyat
dan perusahaan.115 Terhadap tanah perkebunan yang telah
do exactly the opposite : rather than change things , they tend to keep the status quo intact
, This function can be callled social maintenance
112
Lihat Pasal 4 Undang-Undang Darurat No.8 Tahun 1954. Tentang Penyelesaian Soal
Pemakaian Tanah Perkebunan oleh rakyat.
113
Ibid, Pasal 6.
114
Ibid, Pasal 11.
115
Lihat Pasal 1 Keputusan Bersama, Menteri Agraria, Menteri Pertanian, Menteri Perekonomian,
Menteri Dalam Negeri;, dan Menteri Kehakiman. No. 1 Tahun 1955.

2004 Digitized by USU digital library

58

dibebaskan dari areal perkebunan, pemerintah memberi ganti kerugian


kepada pihak perkebunan, dan diberikan hak erfacht selam 30 tahun,
paling lama 50 tahun.
Sedangkan tanah bekas perkebunan yang telah ditetapkan menjadi
tanah negara, harus segera dikosongkan . Rakyat yang masih berada di
atas tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah perkebunan, harus pindah
dan
segala
kerugian
rakyat
akibat
perpindahan
itu diganti
oleh
3
pemerintah.116 Pemerintah menggolongkan rakyat penggarap menjadi
golongan yakni : Golongan I, rakyat yang ingin bertani diberikan masingmasing 2 Ha. Sedangkan golongan II dan III, yang ingin pindah ke pinggir
jalan dan ke kota diberikan pembagian tanah masing-masing 0,5 Ha, dan
400 m2.117 Untuk rakyat penunggu sebagaimana yang disebut sebagai akte
konsesi diberi pembagian tanah, tiap-tiap warga 2 Ha. Dan bagi mereka
yang dapat pembagian tanah diberikan hak milik atas tanah bagiannya.118
Namun dalam pelaksanaannya, keputusan bersama dan segala aspek
hukumnya, tidak berjalan sesuai dengan apa yang diaturnya dan juga tidak
sesuai dengan Undang-Undang Darurat
No. 8 Tahun 1954, karena
pembagian tanah untuk rakyat petani dan rakyat penunggu yang telah
ditetapkan berdasarkan Keputusan Bersama, tidak dapat diterima oleh
rakyat, terutama tentang penggolongan atas tiga kelompok petani tersebut.
Pembagian tanah dilakukan secara undian, sehingga lahan yang mereka
terima ada yang tidak layak untuk dimanfaatkan oleh petani (daerah rawa,
berbukit). Sehingga dengan demikian timbul perlawanan-perlawanan dari
rakyat, didukung oleh organisasi serikat petani antara lain BTI dan RTI
underbouw PKI.
Dalam kondisi seperti tersebut, maka penyelesaian sengketa tidak
dapat berjalan sebagaimana mestinya, walaupun telah ada perangkat
peraturan dan kebijakan yang telah memenuhi unsur struktur hukum dan
substansi hukum berdasarkan sistem hukum yang berlaku. Tetapi nilai dan
budaya hukum masyarakat, ketika itu terabaikan. Kegagalan Undang-Undang
Darurat No.8 Tahun 1954 dalam menyelesaikan sengketa pertanahan di
Sumatera Utara, kemudian diterbitkan Undang-Undang Darurat No.1 Tahun 1956
dan selanjutnya dikeluarkan pula Undang-Undang No.51 Prp Tahun 1960 dan
akhirnya keluar UUPA No.5 Tahun 1960. Tetapi keseluruhan peraturan ini
ternyata tidak dapat menyelesaikan sengketa pertanahan secara tuntas, bahkan
berlanjut sampai saat ini.
Pola penyelesaian sengketa yang diterapkan adalah dengan jalan
musyawarah dengan memperhatikan kepentingan rakyat, pengusaha dan
kepentingan ekonomi nasional. Tetapi perilaku hukum ataupun budaya
hukum dari penguasa ketika itu, hanya bersandar pada ketentuan formal
yang terdapat dalam kitab hukum (law in book) dan masih terpengaruh pada
faham legisme yang dianut dalam sistem hukum kolonial, yaitu tidak
memperhatikan hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat dan budaya
hukum
yang
ada, berupa
sikap masyarakat terhadap
hukum
itu,
116

Lihat Pasal 3 Keputusan Bersama, Menteri Agraria, Menteri Pertanian,


Perekonomian, Menteri Dalam Negeri;, dan Menteri Kehakiman. No. 1 Tahun 1955
117
Ibid Pasal 8.
118
Ibid Pasal 10.

2004 Digitized by USU digital library

Menteri

59

kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapan yang hidup dalam masyarakat,


khususnya terhadap tanah yang digarap.
Kalau kita melihat kembali ke belakang dalam akte konsesi,
penyelesaian sengketa yang terjadi di areal perkebunan dilakukan dengan
cara perdamaian berdasarkan musyawarah. Bahkan dalam akte konsesi
jelas disebutkan
bahwa, penyelesaian sengketa yang menyangkut areal
konsesi diselesaikan oleh tiga orang penengah 119, yang terdiri dari wakil,
pengusaha, rakyat
dan
orang
yang ditunjuk
oleh
Residen
ataupun
pemerintah Swapraja. Dari fakta ini, dapat diketahui bahwa penyelesaian
sengketa melalui proses yudisial di pengadilan tidak diprioritaskan tetapi
hanya merupakan upaya terakhir.
Penyelesaian sengketa pertanahan dalam areal konsesi perkebunan,
yang dilakukan oleh tiga orang penengah, pada dasarnya cukup ideal, jika
dibandingkan dengan penyelesaian melalui proses yudisial atau pengadilan
secara legitasi. Proses legitasi baru dipergunakan apabila telah dilakukan
penyelesaian melalui tiga orang penengah, atau sudah diupayakan
negosiasi tetapi gagal, dan para pihak yang bersengketa telah mengabaikan
atau menolak negosiasi, maka proses penyelesaian melalui pengadilan
adalah
jalan
yang
harus
ditempuh. Meskipun
demikian, tetap
ada
kemungkinan untuk mengadakan perdamaian, sebelum maupun sesudah
adanya keputusan hakim (vonis).
Negosiasi dalam penyelesaian sengketa pertanahan di Sumatera
Utara, berdasarkan penelitian dari kasus-kasus yang ada dapat disimpulkan,
bahwa salah satu pihak menganggap, bahwa mereka mempunyai hak yang
sah terhadap tanah sengketa,
misalnya pihak pengusaha perkebunan
menganggap bahwa mereka mempunyai hak yang sah berupa HGU di atas
tanah perkebunan. Sedangkan pihak masyarakat menganggap bahwa mereka
juga mempunyai hak yang sah terhadap tanah sengketa, berdasarkan hak
ulayat mereka. Karena itu ada pemikiran bagi para pihak untuk membawa
penyelesaian sengketa melalui pengadilan, dengan harapan bahwa mereka
akan mendapatkan hasil yang lebih baik melalui proses pengadilan, daripada
negosiasi ataupun musyawarah.
Mengajukan suatu penyelesaian sengketa pertanahan melalui proses
pengadilan, adalah awal suatu proses pengalihan sengketa aktual, ke dalam
suatu kontes perlawanan yang dapat diselesaikan melalui sistem hukum.120
Hal ini berarti proses pengadilan (legitasi), secara formal melakukan legalisasi
sengketa, dengan
pengertian
membuat
kerangka
konsep, bukti
dan
argumentasi legal, yang dapat diproses oleh sistem hukum, melalui struktur
dan substansi hukum, dalam sistem hukum tersebut.
Jika proses ini dilakukan dalam
upaya penyelesaian sengketa
pertanahan di Sumetera Utara, maka secara Yuridis formal, posisi pihak
perkebunan lebih kuat, daripada posisi pihak petani penggarap. Karena
secara Yuridis formal, pihak perkebunan dapat mengajukan bukti-bukti HGU
yang sah . Sedangkan masyarakat hanya mempunyai bukti-bukti berupa
119
120

Lihat akta konsesi 1877, 1878, 1884, dan 1892.


Lihat Gary goodpaster, Seri Dasar Hukum Ekonomi 9, Panduan Negosiasi dan Mediasi,
ELIPS, Jakarta,1999, hal 219.

2004 Digitized by USU digital library

60

hukum yang tidak tertulis (hukum adat). Terlebih lagi, apabila hakim ataupun
penegak hukum yang mengadili, hanya berorientasi pada aliran positivisme
yang legalistik, yang ditafsirkan sering berdasarkan Hukum Barat (BW-KUH
Perdata ), yang pada dasarnya sangat bertentangan dengan sistem hukum
adat yang hidup dalam masyarakat.
Dengan kata lain, proses legitasi secara formal, melakukan legalisasi
sengketa, artinya
membuat
kerangka dalam
arti
konsep, bukti
dan
argumentasi legal yang dapat diproses oleh sistem hukum.121 Bukti-bukti dan
argumentasi legal yang diproses, tentunya dalam hal ini, bersandar pada
konsep hukum Barat. Di lain pihak, bukti-bukti dan argumentasi masyarakat,
hanya berdasarkan hukum adat . Kedua fakta ini menunjukkan adanya
perselisihan hukum yang menyangkut dua sistem hukum yang berbeda.
Sudah selayaknya hakim yang mengadili harus dapat menentukan, hukum
apa
dan hukum
mana yang
dapat
dijalankan dengan memperhatikan
kepentingan kedua belah pihak . Atau setidak-tidaknya, hakim harus dapat
menemukan
hukum (rechtsvinding), dan melakukan penafsiran-penafsiran
hukum, sesuai dengan kenyataan hukum yang berlaku.
Jika para hakim hanya terfokus pada sistem hukum Barat, sudah
tentu sangat merugikan masyarakat yang secara filosofis menghilangkan
rasa keadilan dalam masyarakat. Akibatnya banyak keputusan pengadilan
yang tidak dapat dijalankan. Walaupun ada yang dapat dijalankan tetapi
masyarakat dengan segala daya upaya
mereka, tetap menduduki dan
menggarap tanah yang dipersengketakan. Masyarakat menganggap bahwa
keputusan pengadilan tersebut, sangat bertentangan dengan keyakinan
hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.
Dalam penyelesaian
sengketa
pertanahan
melalui
pengadilan,
seyogyanya hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti
dan
memahami, nilai-nilai
hukum
yang
hidup dalam
masyarakat.122 Dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak
tertulis serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan. Oleh karena itu,
hakim merupakan perumus, dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam
kalangan rakyat. Khusus mengenai masalah pertanahan di Sumatera Utara
sesuai dengan undang-undang tersebut, hakim harus terjun ke tengahtengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami
perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan
demikian, hakim baru dapat memberikan putusan yang sesuai dengan
hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Jika hakim hanya bersandar kepada hukum tertulis saja apalagi hanya
berorientasi pada sistem hukum barat, maka keputusannya sudah tentu
akan merugikan masyarakat
penggarap, sebaliknya, keputusan
akan
cenderung menguntungkan pihak pengusaha perkebunan. Sebaiknya, hakim
dalam penyelesaian sengketa pertanahan di Sumatera Utara, harus dapat
menentukan mana yang hukum dan mana yang tidak, bilamana undangundang yang dihadapkan dengan peristiwa konkrit tidak dapat dilaksanakan.
Dengan inisiatifnya sendiri, hakim harus dapat menemukan hukum dan
121
122

Ibid,
Lihat pasal 27 (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.

2004 Digitized by USU digital library

61

bertindak sebagai pembentuk hukum guna memenuhi rasa keadilan dalam


masyarakat . Pendapat yang mengatakan Hakim hanya sebagai la bouche
qui prononce les paroles de la loi123, atau yang mengatakan hakim sebagai
corong undang-undang sudah tidak berlaku lagi.
Bagi hakim, dalam
mengadili suatu
perkara,
terutama
yang
dipentingkan
adalah
fakta
atau
peristiwanya dan bukan hukumnya.124
Peraturan hukum yang berlaku mengenai larangan pemakaian tanah tanpa
izin
yang
berhak, hanyalah
sebagai alat. Sedangkan
yang
bersifat
menentukan adalah peristiwanya, yang dalam hal ini adalah penggarapan
tanah oleh masyarakat di atas areal perkebunan. Peristiwa ini, kemungkinan
tidak dapat diselesaikan menurut peraturan yang telah ada. Maka untuk
dapat menyelesaikan sengketa setepat-tepatnya, hakim harus terlebih dahulu
mengetahui secara objektif, tentang duduk perkara yang sebenarnya, untuk
dijadikan dasar keputusannya. Hakim harus dapat menentukan peraturan
hukum yang menguasai sengketa antara kedua belah pihak . Untuk itu
hakim harus menemukan hukumnya sesuai dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat.
Berdasarkan fakta-fakta yang dikemukakan tersebut, penyelesaian
sengketa pertanahan melalui pengadilan, apabila hakim bersifat pasif, maka
keadilan dan kepastian hukum tidak dapat terwujud sebagaimana mestinya.
Oleh karena itu penyelesaian
sengketa, lebih baik dilakukan secara
negosiasi dan musyawarah untuk memenuhi rasa keadilan di antara para
pihak yang bertikai.
William Chambliss dan Robert B. Seidman dalam tulisannya, membagi
mekanisme penyelesaian sengketa dalam masyarakat, terdiri dari dua model.
Model pertama, penyelesaian sengketa yang berwujud kompromi, yang
disebut give a little take a little, dimana masing-masing pihak memberi
dan menerima sedikit . Model kedua the winner take all , siapa yang
menjadi pemenang menerima seluruhnya.125 Penyelesaian sengketa dalam
model pertama dapat dikatakan penyelesaian sengketa dengan musyawarah,
yang berakhir dengan win-win solution, berarti tidak ada yang kalah dan
tidak ada yang menang. Sedangkan penyelesaian sengketa yang dilakukan
berdasarkan model kedua, akan berakhir dengan adanya pihak yang kalah
dan yang menang.
Kedua model penyelesaian sengketa tersebut di atas, ternyata sesuai
dengan substansi norma hukum
yang diatur dalam Undang-Undang
Darurat No. 8 Tahun 1954, jo Undang-Undang
No. 51 Prp Tahun 1960,
beserta segala peraturan pelaksanaannya. Jika dianalisa, ketentuan-ketentuan
norma hukum yang terdapat di dalam peraturan
tersebut di atas, dapat
ditemukan bahwa penyelesaian sengketa dilakukan dengan dua cara, yaitu
pertama, dengan penerapan sanksi hukum, dimana pemerintah dapat
mengosongkan tanah yang dipersengketakan dari para petani penggarap
ataupun
pemilik
tanah
yang
tanahnya
dibebaskan
untuk
proyek
pembangunan . Cara kedua, sengketa diselesaikan melalui musyawarah,
123

Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, PT. Penerbit dan Balai Buku Ichtiar, Jakarta,
1961, hal 230.
124
Lihat Sudikno Mertokusumo, Op cit , hal 32.
125

William Chambliss dan Robert B.Seidman, dalam Muhammad Bakri dkk,Op.cit, hal. 23.

2004 Digitized by USU digital library

62

dengan memperhatikan kepentingan para petani penggarap, pemilik tanah


yang tanahnya akan dibebaskan, dan pihak-pihak lainnya . Apabila kedua
cara ini gagal dilaksanakan, maka barulah diproses melalui Lembaga
Pengadilan.126
Kedua cara penyelesaian sengketa pertanahan yang terdapat dalam
substansi norma hukum, pada ketentuan perundang-undangan tersebut
diatas, ternyata ada kesamaan dengan dua model penyelesaian sengketa,
yang dikemukakan oleh Willam Chambliss, dan Robert B. Seidman tersebut
di atas.
Substansi
norma hukum pada dasarnya adalah bersifat abstrak,
ketika dihadapkan dengan peristiwa hukum yang terjadi, baru dapat
berlaku secara konkrit. Tetapi tidak jarang, substansi norma hukum, jika
dihadapkan dengan peristiwanya tidak dapat berlaku secara
konkrit.
Apabila
hakim tidak dapat menemukan hukum (Rechtsvinding) untuk
menyelesaikan perkara yang dihadapinya, maka peraturan hukum itu tidak
dapat berlaku secara efektif.
Robert
B. Seidman
dalam
bukunya, The
State,
Law
And
Development, telah memperinci faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas
suatu peraturan, yaitu ditentukan/ dipengaruhi oleh kekuatan sosial dan
individu yang mempengaruhi tiga komponen, yaitu pertama, komponen
lembaga pembentukan hukum (law making procces). Kedua, komponen
pelaksana hukum atau lembaga penerap sanksi (law implementing procces).
Ketiga, komponen pemakai hukum atau rakyat (rule occupant).127 Begitu
juga sebaliknya, masing-masing komponen saling mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh kekuatan sosial dan individu dalam masyarakat.
Berdasarkan pendapat di atas dapat dianalisa, bahwa bekerjanya
hukum bukan hanya merupakan satu konsep yang tunggal dari norma
hukum saja . Tetapi adalah bersifat majemuk karena banyak dipengaruhi
oleh kekuatan sosial dan individu, yang didukung lebih dari satu macam
tatanan hukum.128 Jadi efektivitas bekerjanya norma hukum tidak hanya
dilihat dari segi peraturan hukum, sehingga untuk menilai ukuran dan
tingkah laku serta hubungan antara orang-orang, tidak hanya dilihat dari
norma
hukum
yang
berlaku
secara
formal
saja.
Tetapi harus
memperhatikan norma dan pola perilaku konkrit dari manusia yang ada
dalam sistem hukum itu.
Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954, Jo. Undang-Undang No. 51
Prp
Tahun
1960, dengan
segala
peraturan
pelaksanaannya, maka
pemahaman
terhadap
substansi
norma hukum
yang diaturnya, harus
ditafsirkan tidak hanya terbatas pada apa yang ada dalam peraturan
undang-undang
itu saja. Tetapi termasuk juga norma dan perilaku
masyarakat, yang dikenai oleh undang-undang itu, dalam arti kata materil.
Pengertian substansi norma hukum menurut Lawrence M. Friedman,129
126

Lihat Ketentuan 5 dan 6 Undang-Undang No. 51 Prp Tahun 1950.


Robert Seidman, The State, Law and Develompent, ST. Martins Press, New York, 1978, hal
75 .
128
Satjipto Rahadjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hal 22.
129
Lawrence M. Friedman, Op cit, hal 6.
127

2004 Digitized by USU digital library

63

tidak sama dengan pemikiran yang dikemukakan oleh para penegak hukum,
yang hanya bertitik tolak dari substansi norma hukum formil, yang ada
dalam undang-undang yang bersangkutan. Penekanannya disini harus bertitik
tolak pada hukum yang hidup (living law), bukan hanya pada peraturan
yang ada pada Kitab Hukum (law in books). Lebih jauh, untuk
memperjelas makna dari substansi hukum itu, harus diperhatikan budaya
hukum, dalam arti memahami sikap, kepercayaan, nilai dan harapan serta
pemikiran masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum yang berlaku.
Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954, jo. Undang-Undang No. 51
Prp Tahun 1960, dengan segala peraturan pelaksanaannya, tidak berlaku
secara efektif. Karena pelaksanaan dari undang-undang itu, ternyata tanpa
mempertimbangkan semua kekuatan sosial dan individu sebagai wujud dari
budaya hukum dalam masyarakat, maka hukum itu tidak akan berdaya.
Sebagaimana dikatakan
oleh Friedman Without legal culture, the legal
system is inert, a dead fish lying in a basket, not a living fish swimming in
its sea.130 Tanpa budaya hukum, maka hukum itu seperti ikan mati
terkapar di keranjang, bukan seperti ikan yang hidup di laut.
Seluruh peraturan undang-undang mengenai penyelesaian sengketa
pertanahan di Sumatera Utara, sebagaimana yang diuraikan di atas, jika
dianalisa berdasarkan pendapat Friedman tersebut, maka pelaksanaan dari
undang-undang itu, tidak dapat berlaku secara efektif atau tidak dapat
berfungsi untuk menyelesaikan sengketa pertanahan di Sumatera Utara,
khususnya di atas
areal perkebunan antara petani penggarap dengan
pengusaha perkebunan. Karena implementasi dari peraturan perundangundangan tersebut, sama sekali tidak memperhatikan budaya hukum dan
hukum yang hidup dalam masyarakat.
Bertitik tolak dari kajian atas dasar pendapat William Chambliss dan
Robert B. Seidman serta Lawrence Friedman yang dikemukakan di atas,
maka pola penyelesaian pertanahan di Sumatera Utara, harus terlebih
dahulu menginventarisasikan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
sengketa pertanahan di Sumatera Utara dan yang mempengaruhi tidak
berdayanya hukum, yaitu menyangkut kekuatan sosial ( social force ) dan
individu berupa budaya hukum dan hukum yang hidup dalam masyarakat
misalnya hukum adat dan peraturan perundang-undangan yang
terkait,
lembaga pembentuk undang-undang, lembaga penegak hukum, dan rakyat
sebagai pemakai hukum.
Berdasarkan penelitian B-Plus telah diperoleh data, bahwa PTPN-II telah
memohon perpanjangan HGUnya seluas 62.140,1800 Ha terdiri dari Eks. PTP-IX
seluas 43.607,4900 Ha dan Eks. PTP-II Seluas 18.532,6900. Tetapi di atas areal
tersebut telah digugat oleh masyarakat penggarap dari berbagai kelompok seluas
23.528,9937 Ha, maka areal PTPN-II yang dimohonkan perpanjangan HGUnya
yang bersih dari tuntutan para penggarap adalah 62.140,1800 Ha - 23.528,9937
Ha = 38.611,1863 Ha. Jumlah ini yang dinyatakan bersih, untuk dapat
dimajukan perpanjangan HGUnya. Sedangkan sisanya seluas 62.140,1800 Ha 38.611,1863 Ha = 23.528,9937 Ha ditangguhkan sementara perpanjangan
HGUnya, karena di atasnya terdapat tuntutan/garapan/permohonan rakyat.

130

Ibid, hal 7.

2004 Digitized by USU digital library

64

Terhadap areal seluas 38.611,1863 Ha telah diterbitkan HGUnya sesuai


dengan Surat Keputusan Kepala BPN No. :
a)
b)
c)
d)
e)

51/HGU/BPN/2000
52/HGU/BPN/2000
53/HGU/BPN/2000
57/HGU/BPN/2000
58/HGU/BPN/2000

tanggal
tanggal
tanggal
tanggal
tanggal

12 Oktober 2000.
12 Oktober 2000.
24 Oktober 2000.
6 Desember 2000.
6 Desember 2000.

Semua Surat Keputusan Pemberian HGU tersebut telah diserahkan kepada pihak
PTPN-II berdasarkan berita acara tanggal 6 February 2001.
Tuntutan masyarakat hukum adat, atas HGU perkebunan di Provinsi
Sumatera Utara, pada umumnya berasal dari badan-badan atau lembagalembaga tertentu yang mengatasnamakan kelompok masyarakat hukum
adat seperti :
1.

Tuntutan terhadap tanah ulayat seluas 250.000 Ha, meliputi


seluruh bekas areal konsesi yang terbentang antara Sungai Ular
(Kabupaten Deli Serdang), sampai dengan Sungai Wampu (Kabupaten
Langkat), yang dituntut oleh antara lain : 131
a) Badan Perjuangan Rakyat Pengunggu Indonesia (BPPRI).
b) Badan Kesejahteraan Masyarakat Adat Deli ( BKMAD).
c) Forum Pembela Tanah Ulayat Masyarakat Melayu Sumatera Timur
(Forum PETA UMAT).
d) Kesatuan Hukum Adat Serdang (KMHAS).
e) Kelompok-kelompok
masyarakat
yang
mengaku sebagai
keturunan, ahli waris, ataupun warga dari raja-raja/ pengetua
adat, yang
dulunya menguasai
wilayah, atau daerah-daerah
tertentu di Provinsi Sumatera Utara .

Khusus di areal HGU PTPN-II yang sebahagian besar berasal dari Eks
HGU PTP-IX, tuntutan masyarakat hukum adat yang berkaitan dengan tanah
ulayat pada dasarnya terdapat dua pola tuntutan yaitu tuntutan dengan latar
belakang tanah jaluran (BPRPI), dan tuntutan dengan latar belakang konsesi
(BKMAD).132
Tuntutan
atas HGU
Perkebunan
oleh
BPRPI,
terlihat
adanya
penafsiran bahwa pemberian tanah jaluran secara turun-temurun kepada
rakyat
penunggu
adalah
merupakan
suatu bentuk
pengakuan
dari
Perusahaan Perkebunan pada waktu itu, atas tanah ulayat mereka yang
telah diserahkan penguasaannya kepada perusahaan perkebunan melalui
pemberian hak konsesi oleh pihak Kesultanan (Sultan Deli, Sultan Serdang
dan Sultan Langkat).

131

Pemerintah Daerah Sumatera Utara, Kebijakan Untuk Mengatasi Penyelesaian Konflik (Klaim
Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat). Disampaikan dalam Seminar Keberadaan Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat Melayu di Sumatera Utara , Medan, 02 Februari 2002. Dan Hasil
Wawancara dengan Paniita B PLUS Sumatera Utara .
132
Berdasarkan hasil wawancara, dengan informan dan data dari PEMDASU dan ditambah
dengan data dari BPN Kanwil Provinsi Sumatera Utara dalam suratnya No.570.706/
Pan/BP/V/2001, tertanggal 2 Mei 2001, yang ditujukan kepada Gubernur Sumatera Utara, tentang
mohon petunjuk.

2004 Digitized by USU digital library

65

Sedangkan tuntutan oleh


BKMAD dilatarbelakangi, karena adanya
pemberian hak konsesi kepada Perusahaan-Perusahaan
Perkebunan di
Sumatera Utara, sejak
tahun 1870. Adanya pemberian hak konsesi ini
ditafsirkan sebagai hubungan sewa-menyewa antara pihak Perkebunan
dengan pihak Sultan Deli sebagai pemilik tanah. Sehingga dengan habisnya
jangka waktu sewa-menyewa selama 75
tahun,
maka
tanah
harus
dikembalikan kepada pihak Sultan Deli atau ahli waris dan keturunannya.
Atas dasar kedua penafsiran dari BPRPI dan BKMAD, maka tanah
areal Perusahaan Perkebunan yang diberikan Sultan Deli melalui Konsesi
adalah merupakan tanah ulayat yang harus dikembalikan kepada masyarakat
hukum adat, dalam hal ini adalah BPRPI, BKMAD dan lain-lain.
Gubernur
Sumatera
Utara
mengambil
suatu
kebijakan
untuk
menyelesaikan sengketa pertanahan di areal PTPN-II dengan menginveristasikan
HGU PTPN-II yang sudah berakhir haknya, dan tanah itu kembali pada negara
direncanakan pembahagian tanah-tanah tersebut kepada masyarakat yang
menuntut tanah garapan di areal PTPN-II.
Berdasarkan penelitian Panitia B PLUS, hingga saat ini dapat dilaporkan
masalah sengketa pertanahan yang terjadi di areal PTPN-II yaitu antara
masyarakat dengan Pengusaha Perkebunan, yang telah habis masa HGU-nya
dan memohon perpanjangan HGU Sebanyak 66 Kebun yang oleh Gubernur
Sumatera Utara diambil kebijakan dengan perincian sebagai berikut :

a. Untuk Kabupaten Deli Serdang ada 48 kebun yang mengajukan permohonan

untuk memperpanjang HGU. Pemerintah Daerah Sumatera Utara telah


menerbitkan perpanjang HGU dari 48 kebon tersebut seluas 20.467,3893 Ha
sedangkan luas yang ditangguhkan atau tidak diterbitkan HGU-nya seluas
20.287, 4800 Ha.
b. Untuk Daerah Kabupaten Langkat ada 12 kebun yang mengajukan
permohonan untuk memperpanjang HGU. Pemerintah Daerah Sumatera Utara
telah menerbitkan perpanjang HGU dari 12 kebon tersebut seluas
18.143,6720 Ha sedangkan luas yang ditangguhkan atau tidak diterbitkan
HGU-nya seluas 3.077,7280 Ha.
c. Untuk Kotamadya Binjai ada 6 kebun yang mengajukan permohonan untuk
memperpanjang HGU. Tetapi Pemerintah Daerah Sumatera Utara tidak
menerbitkan perpanjang HGU tersebut, sedangkan luas yang ditangguhkan
atau tidak diterbitkan HGU-nya seluas 238,5200 Ha. Berdasarkan data
tersebut dapat diolah dan ditabulasikan ke dalam tabel sebagai berikut :
Tabel.1
Kebijakan Gubernur Sumatera Utara Tentang Perpanjangan HGU
PTPN-II di Lokasi Deli Serdang, Langkat dan Binjai yang terdiri dari 66
kebun seluas areal 62.214,7900 Ha.
No

Kabupaten/
Kota Madya

1
2
3

Deli Serdang
Langkat
Binjai
JUMLAH

Permohonan
Perpanjangan
HGU
48 Kebun
12 Kebun
6 Kebun
66 Kebun

2004 Digitized by USU digital library

Luas HGU Yang


Diterbitkan

Luas HGU Yang


Ditangguhkan

20.467.3893 Ha
18.143,6720 Ha
38.611,0613 Ha

20.287,4800 Ha
3.077,7280 Ha
238,5200 Ha
23. 603,7280 Ha

66

Sumber : data diolah dari hasil wawancara dengan


.

Informan tahun 2000

Berdasarkan dari data dan tabel tersebut di atas, dapat disimpulkan


bahwa perpanjangan HGU PTPN-II yang terdiri dari 66 kebun yang masingmasing terletak di daerah Deli Serdang, Langkat dan Binjai adalah dari seluas
62.214,7900 Ha. yang diperpanjang hanya 38.611,0613 Ha sedangkan sisanya
23.603,7280 ditangguhkan atau tidak diperpanjang.
Penyelesaian terhadap areal perkebunan PTPN-II di daerah Deli Serdang
yang ditangguhkan penerbitan HGUnya seluas 20.287,4700 Ha kemudian
direkomendasikan untuk perpanjangan HGU seluas 15.863,8000 Ha sedangkan
yang tidak dapat diperpanjang HGU seluas 4.423,6700 Ha. Sisa dari areal
perkebunan Deli Serdang tersebut kemudian dibagikan oleh Gubernur Sumatera
Utara untuk didistribusikan kepada rakyat, masuk ke dalam RTRWK, untuk tapak
perumahan pensiunan karyawan dan untuk diberikan kepada masyarakat adat
Melayu serta untuk pengembangan kampus USU. Pembagian tanah tersebut
dapat ditabulasikan ke dalam tabel sebagai berikut :
Tabel.2
Areal PTPN-II Kabupaten Deli Serdang Yang
Ditangguhkan 4.423,6700 Ha Yang Dibagikan Kepada Masyarakat.
NO
PERUNTUKAN
JUMLAH AREAL
1
Tuntutan garapan rakyat untuk didistribusikan
1. 211,9800 Ha
kepada rakyat
2
Masuk dalam RUTRWK
2. 219,7000 Ha
3
Untuk tapak perumahan pensiunan karyawan
441,9900 Ha
4
Diberikan sebagai kompensasi kepada masyarakat
250,0000 Ha
adat Melayu
5
Areal untuk pengembangan Kampus USU
300,0000 Ha
Jumlah
4.423,6700 Ha
Sumber : data diolah dari hasil wawancara dengan Informan tahun 2002.
Berdasarkan data dalam tabel 2 di atas dapat disimpulkan, bahwa
Pemerintah Daerah Sumatera Utara mengambil suatu kebijakan terhadap areal
Perkebunan PTPN-II merekomendasikan areal perkebunan PTPN-II Kabupaten
Deli Serdang seluas 4.423,6700 dibagikan untuk :

1. Diberikan untuk tuntutan garapan rakyat dan didistribusikan kepada


2.
3.
4.
5.

rakyat seluas 1.211,9800 Ha.


Diperuntukkan untuk RUTRWK seluas 2.219,7000 Ha.
Untuk tapak perumahan pensiunan karyawan seluas 441,9900 Ha.
Diberikan sebagai kompensasi adat Melayu seluas 250,0000 Ha.
Diberikan untuk pengembangan Kampus Universitas Sumatera Utara
(USU) seluas 300,0000 Ha.133

Berdasarkan dari data tersebut di atas (tabel 1), dapat diketahui bahwa
Luas areal PTPN-II di
Kabupaten Langkat yang ditangguhkan untuk
perpanjangan HGUnya dari seluas 3.077,7300 Ha, penyelesaiannya hanya

133

Wawancara dengan informan pada tahun 2001.

2004 Digitized by USU digital library

67

dapat direkomendasikan perpanjangan HGU seluas 1.866,8600 Ha, sedangkan


yang
tidak
dapat
diperpanjang HGUnya
seluas 1.210,8700 Ha
yang
kemudian dibagikan kepada masyarakat. Dapat ditabulasikan ke dalam tabel
sebagai berikut :

Tabel.3
Areal PTPN-II Kabupaten Langkat Yang Seluas 1.210,8700 Ha
Didistribusikan Kepada Masyarakat.
NO
1

PERUNTUKAN
JUMLAH AREAL
Tuntutan garapan rakyat untuk didistribusikan
588,3600 Ha
kepada rakyat
2
Masuk dalam RUTRWK
308,4700 Ha
3
Untuk tapak perumahan pensiunan karyawan
114,0400 Ha
4
Diberikan sebagai kompensasi kepada masyarakat
200,0000 Ha
adat Melayu
Jumlah
1. 210,8700 Ha
Sumber data diolah dari data Kanwil BPN Sumatera Utara Tahun 2002.
Kemudian berdasarkan data tersebut di dalam (tabel 1) tersebut di atas,
dapat disimpulkan bahwa Luas areal PTPN-II di Kota Madya Binjai yang
ditangguhkan untuk perpanjangan HGUnya dari seluas 238,5200 Ha,
penyelesaiannya hanya dapat direkomendasikan perpanjangan HGU seluas 0 Ha,
sedangkan yang tidak dapat diperpanjang HGUnya seluas 238,5200 Ha kemudian
didistribusikan kepada masyarakat dengan perincian sebagai berikut :
Tabel.4
Areal PTPN-II Kotamadya Binjai Yang Ditangguhkan
Dari 238,5200 Ha Tidak Dapat Diperpanjang
Kemudian Didistribusikan
Kepada Masyarakat.
NO
1

PERUNTUKAN
JUMLAH AREAL
Tuntutan garapan rakyat untuk didistribusikan
122,9000 Ha
kepada rakyat
2
Masuk dalam RUTRWK
113,3000 Ha
3
Untuk tapak perumahan pensiunan karyawan
2,3200 Ha
4
Diberikan sebagai kompensasi kepada masyarakat
50,0000 Ha
adat Melayu
Jumlah
238,5200 Ha
Sumber : data diolah dari hasil wawancara dengan Informan tahun 2002.
Berdasarkan data dari tabel (4) tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
luas areal PTPN-II di Kota Madya Binjai dari areal seluas 238,5200 Ha yang
ditangguhkan perpanjangan HGUnya, ternyata dalam taraf penyelesian sama
sekali tidak direkomendasikan untuk diperpanjang, tetapi dibagikan kepada
masyarakat.

2004 Digitized by USU digital library

68

Dari uraian tabel 1 sampai 4 tersebut di atas, dapat disimpulkan, bahwa


dari keseluruhan pada 66 kebun PTPN-II Kabupaten Deli Serdang akhirnya dapat
diselesiaikan, bahwa dari jumlah areal seluas 23.603,7280 Ha yang ditangguhkan
perpanjangan HGUnya, kemudian dapat diselesaikan untuk memperpanjang
HGUnya seluas 17.730,6600 Ha. Sedangkan sisanya seluas 5.873,0600 Ha
didistribusikan untuk masyarakat dengan perincian: untuk daerah Deli Serdang
seluas 4.423,670 (lihat tabel 2), untuk daerah Langkat seluas 1.210,870 Ha
(Lihat tabel 3), sedangkan untuk Kotamadya Binjai seluas 238,5200 Ha (Lihat
tabel 4).
Kebijakan Pemerintah Daerah Sumatera Utara yang mendistribusikan
areal perkebunan PTPN-II Kabupaten Deli Serdang, Langkat dan Kotamadya
Binjai kepada masyarakat, tidak dapat diketahui dengan jelas apa yang menjadi
tolok ukur pembagian tanah bekas areal PTPN-II Deli Serdang kepada
masyarakat. Terutama tentang pembagian peruntukkan untuk masyarkat
sebagaimana yang ada dalam tabel-tabel tersebut di atas.
Pembagian tanah bekas areal PTPN-II yang tidak diperpanjang HGUnya
yang akan didistribusikan kepada masyarkat sesuai dengan data yang ada dalam
tabel (2, 3 dan 4) untuk Kabupaten Deli Serdang didisitribusikan kepada rakyat
penggarap untuk RUTRWK, untuk perumahan pensiunan karyawan
diberikan sebagai kompensasi kepada masyarakat adat Melayu yang
keseluruhannya seluas 4.423,6700 Ha, termasuk di dalamnya untuk
keperluan pengembangan kampus USU. Untuk Kabupaten Langkat
didistribuskikan kepada masyarakat dengan subjek dan objek yang sama seperti
Kabupaten Deli Serdang, seluas 1.210,8700 Ha. Begitu juga untuk Kotamadya
Binjai seluas 238,5200 Ha.
Gubernur Pemerintah Daerah Tk. I Sumatera Utara, dalam melaksanakan
pembagian tersebut terkesan tidak transfaran, yakni tentang dasar hukum
pembagian dan siapa, serta lembaga mana yang berhak untuk mendapatkan
pembagian tanah tersebut. Kondisi seperti ini cenderung menimbulkan KKN.
Akibatnya sengketa pertanahan tidak dapat diselesaikan secara tuntas dan
akhirnya akan muncul sengketa baru dengan tuntutan secara sporadis dalam
masyarakat dan dapat bernuansa politik, budaya dan ekonomi.
KKN bisa saja terjadi antara pihak PTPN-II dengan Pemerintah Daerah dan
dapat juga terjadi antara Pemerintah Daerah dengan masyarakat, dimana
kemungkinan tanah yang didistribusikan kepada masyarkat di dalamnya terdapat
bahagian tanah untuk para pejabat pemerintahan baik dalam tingkat Kelurahan,
Kecamatan, Kabupaten atau Kotamadya sampai ke tingkat Provinsi. Di samping
itu disinyalir adanya kolusi antara masyarakat penggarap dengan para
konglomerat/pengusaha khususnya pengusaha pengembang real estate, dimana
para pengembang memanfaatkan masyarakat untuk memperjuangkan tanah
garapan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada dengan tujuan agar mereka
dapat membeli tanah garapan dari masyarakat penggarap. Di satu sisi
masyarakat pun bersedia untuk menjual tanahnya kepada para pengembang
atau pengusaha real estate. Sedangkan disisi lain para pengembang dapat
membeli tanah dengan harga yang relatif murah.
Masyarakat petani penggarap yang benar-benar tidak sadar dengan apa
yang mereka lakukan dengan menjual tanah garapan bagian mereka, sehingga
mereka tidak lagi mempunyai lahan pertanian yang satu-satunya sebagai mata

2004 Digitized by USU digital library

69

pecaharian mereka. Dalam situasi dan kondisi ekonomi yang semakin tidak
kondusif, maka masyarakat yang sudah kehilangan lahan pertanian akan sulit
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, keadaan seperti ini mendorong
masyarakat akan kembali menggarap tanah areal perkebunan.

V. Kesimpulan dan Saran.

A. Kesimpulan.
Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, sengketa tanah di areal
perkebunan antara masyarakat petani penggarap dengan pengusaha perkebunan
PTPN-II dan PTPN-III, serta pemerintah, merupakan suatu peristiwa yang selalu
terjadi secara periodik. Hal ini khususnya menyangkut tentang hak konsesi yang
diberikan sultan, yang menyangkut hak ulayat masyarakat adat, mengenai
okupasi tanah perkebunan PTPN-II dan PTPN-III, mengenai tuntutan
berdasarkan hak ulayat masyarakat dari BPRPI dan tuntutan eks karyawan PTPNII terhadap perumahan dan perladangan mereka. Dapat disimpulkan sebagai
berikut :
Faktor-faktor penyebab timbulnya sengketa dalam penguasaan hak atas
tanah untuk kepentingan usaha perkebunan adalah :
Pertama, sengketa pertanahan yang terjadi tidak terlepas dari masa
pemerintahan kesultanan, yaitu tentang status pemilikan tanah dalam konsep
penguasaan yang berbeda. Menurut pandangan penguasa tradisional, sultan
adalah pemilik dari semua tanah di wilayah kesultanannya. Sementara itu
masyarakat adat mengakui bahwa tanah adalah milik adat yang bersifat komunal
sehingga diperuntukkan penggunaannya bagi semua warga masyarakat. Tanah
ini menjadi sumber penghidupan masyarakat, sehingga tidak bisa dialihkan
kepada warga lain di luar masyarakat tersebut. Dengan melihat konsep ini,
masyarakat memandang sultan sebagai pemangku adat yang dianggap wajib
berunding dengan para kepala adat dalam menyewakan tanah ulayat kepada
pihak konsesionaris.
Para pengusaha perkebunan Barat dan pemerintah Eropa, yang menganut
pandangan bahwa raja adalah pemilik semua tanah seperti di Barat,
menganggap sultan adalah penguasa semua tanah di kesultanannya. Oleh
karena itu mereka kemudian menghubungi sultan untuk meminta tanah konsesi.
Sultan Deli memberikan tanah konsesi kepada onderneming perkebunan swasta
Belanda dengan batas-batas yang tidak jelas, selama 99 tahun. Konsesi yang
diberikan oleh Sultan Deli tersebut, mencakup wilayah yang dikuasai para
Datuk, di wilayah Kesultanan Deli tanpa terlebih dahulu mendapat izin para
datuk-datuk. Akibatnya terjadi sengketa yang dikenal dengan perang Sunggal.
Kemudian setelah itu Pemerintah Belanda memerintahkan kepada sultan untuk
membagi tiga hasil uang sewa tanah konsesi, yaitu masing-masing untuk sultan,
datuk-datuk dan penghulu adat. Kepada masyarakat petani diberikan hak tanah
jaluran, tapi dalam pelaksanaannya tanah jaluran itu tidak dibagi seluruhnya

2004 Digitized by USU digital library

70

pada petani rakyat penunggu. Sultan dan pihak onderneming berkoalisi dan
berkolusi, membagi sebagian tanah jaluran untuk disewakan kepada kuli
perkebunan suku Jawa dan China serta kerabat sultan. Hal ini menyebabkan
terjadinya sengketa, dan pemberontakan dari petani. Kemudian dengan
keluarnya Undang-Undang Hak Erfacht pada tahun 1931, yang secara formal
menghapuskan tanah jaluran di dalam hak erfacht, menimbulkan kegelisahan
bagi para petani, dan akhirnya menimbulkan sengketa, antara rakyat penunggu
dengan pihak perkebunan.
Sengketa pertanahan terjadi karena adanya kompleksitas persoalan
tanah, yang disebabkan karena adanya penduduk yang heterogen, di Sumatera
Utara, terdiri dari Suku Melayu, Batak Karo dan Simalungun, dan Suku
Jawa bekas kuli kontrak, serta golongan China, yang sejak zaman Jepang, telah
melakukan penggarapan areal perkebunan Tembakau Deli, dan kemudian
diikuti pula pendatang baru atau imigran dari Tapanuli (Batak Toba). Akhirnya
tanah jaluran yang diperuntukkan untuk rakyat penunggu menjadi semakin
berkurang, mengakibatkan terjadi sengketa horizontal yaitu antara rakyat
penunggu dan kaum pendatang.
Untuk
menyelesaikan pendudukan tanah perkebunan oleh rakyat,
Belanda mengeluarkan Ordonansie Onrechtmatige Occupatie Van Dronden (Ord.
8 Juli 1948, S.1948-110). Kementrian Dalam Negeri juga mengeluarkan Surat
Edaran No.A.2.30/10/37 (Bijblad 15242). Kedua peraturan ini, bertujuan untuk
mengosongkan
tanah
perkebunan
dari
petani
penggarap
dan
memungkinkan kembali para pertani penggarap ke tempat baru yang
disediakan. Pemukiman kembali penghuni liar menimbulkan sengketa baru
antara pihak perkebunan dengan para petani penggarap.
Sengketa pertanahan antara petani penggarap atau pendudukan liar
oleh rakyat, atau tanah-tanah konsesi onderneming perkebunan tembakau,
yang dimukimkan kembali, sejak zaman Jepang sampai pendudukan
Belanda, dilanjutkan pada masa RIS, KMB, kembali ke Negara Kesatuan RI,
hingga nasionalisasi. Setelah periode itu bermunculan bermacam-macam
tuntutan masyarakat terhadap tanah perkebunan diantaranya : tuntutan rakyat
penunggu atas tanah jaluran, tuntutan petani penggarap, terhadap tanah
perkebunan yang telah digarapnya sejak zaman Jepang. Sengketa pertanahan di
Sumtera Utara juga terjadi karena adanya rivalitas politik di Sumatera Timur,
antara pemerintahan RIS dan NST, yang sengaja memanfaatkan ketegangan
sosial di sana, masing-masing mempengaruhi masyarakat penggarap untuk
memenuhi kepentingan politik mereka. Dalam menyelesaikan masalah sengketa
pertanahan antara masyarkat dan perkebunan, RIS dan NST selalu bersifat
mendua sehingga terjadi persengketaan yang tidak mudah diselesaikan.
Disamping itu adanya partai-partai politik, yang bersaing terdiri atas berbagai
kelompok politik dengan ideologi dan pandangan yang berbeda-beda dan sering
bertentangan untuk mencapai kemenangan Politik mereka. Mereka berusaha
menggalang dukungan dari rakyat yang tersingkir atau terdesak (marginal)
dalam persaingannya menghadapi para penguasa lahan yang baru. Perubahan
struktur politik dan kebijakan pusat yang bersifat mendua, yaitu satu sisi
berusaha untuk membela rakyat penggarap dan di sisi lain membela pihak
perkebunan sebagai penghasil devisa negara. Hal ini mempengaruhi
perkembangan dan penyelesaian sengketa yang ada. Dalam prakteknya tidak
pernah selesai dan selalu muncul penggarap-penggarap baru. Sengketa ini tidak

2004 Digitized by USU digital library

71

dapat diselesaikan secara tuntas. Keadaan ini terus berlangsung sampai


pemerintahan orde baru, dan berlanjut sampai adanya Reformasi tahun
1998.
Kedua, bahwa sulitnya penyelesaian sengketa antara masyarakat dan
perkebunan adalah disebabkan karena berdasarkan pengalaman historis,
pemberian hak konsesi kepada pengusaha onderneming pada dasarnya
dalam waktu yang cukup panjang (99 tahun), tanpa batas-batas yang
jelas. Begitu juga hak erfacht yang diberikan oleh pemerintah kolonial di
atas tanah hak ulayat masyarakat dilakukan berdasarkan Agrarische Wet
1870 dengan prinsip Domain Verklaring yang memperkosa hak-hak ulayat
masyarakat. Maksud pemerintah kolonial memperlakukan Agrarische Wet 1870
dengan harapan adanya kejelasan status bagi penguasaan hak atas tanah.
Namun untuk wilayah Sumatera Timur persoalan ini tidak bisa berjalan karena
terdapat empat pihak yang berkuasa dalam menentukan hak atas tanah namun
dengan kepentingan yang berbeda: Pemerintah Kolonial, Pengusaha Perkebunan
(onderneming), Sultan, dan rakyat pribumi. Masing-masing mereka menganut
konsep pandangan pemilikan tanahnya dan adanya kolusi yang menghambat
penyelesaian sengketa tanah demi kemakmuran rakyat.
Disamping itu banyak peraturan perundang-undangan yang juga
dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan
konflik
pertanahan, khususnya di Sumatera Timur antara lain, Undang-Undang Darurat
No. 8 Tahun 1954, Keputusan Bersama No.1 Tahun 1955, Undang-Undang No.
51 Prp Thn.1950, Keputusan Gubernur No.36/K/Agr. Tahun 1951,UU Nomor 1
Tahun 1956, UU Nomor 28 Tahun 1956, UU Nomor 29 Tahun 1956, UU Nomor 13
Tahun 1958 dan Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960
serta
Peraturan Pelaksanaannya. Di samping itu juga telah diterbitkan Keputusan
Bersama Nomor 1 Tahun 1955 Menteri Agraria, Menteri Pertanian, Menteri
Perekonomian, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kehakiman, Keputusan
Penguasa Perang Tertinggi Nomor 2 Tahun 1960, Pedoman Menteri Agraria
Nomor 1 Tahun 1960.
Semua peraturan tersebut dalam praktek tidak dapat berlaku secara
efektif, sehingga sengketa pertanahan di Sumatera Utara terus berlangsung
sampai saat ini. Hal ini disebabkan oleh kurang konsekwennya penerapan
peraturan perundangan yang dibuat, dan perbedaan kondisi pada saat peraturan
itu dibuat dengan penerapan dilapangan. Peraturan dan kebijakan pemerintah
cenderung membentuk prilaku hukum masyarakat menjadi prilaku yang tidak
mematuhi hukum. Sehingga hukum telah kehilangan fungsinya sebagai alat
kontrol sosial dalam masyarakat dan telah berubah menjadi aturan hukum yang
mati (dead letter). Rekayasa sosial yang dibentuk oleh peraturan dan kebijakan
pemerintah hanya merupakan untuk mempertahankan status quo.
Dengan berlakunya UUPA yang menyatakan bahwa undang-undang ini
didasarkan pada hukum adat (pasal 5) dan hak ulayat masih tetap diakui
sepanjang kenyataannya masih ada (pasal 3). Tetapi kenyataannya undangundang inipun mengampil langkah penting ke arah penghapusan hak-hak tanah
adat, sesuai dengan pejelasannya, hukum adat itu harus tunduk kepada
kepentingan nasional. Dengan demikian undang-undang tersebut mengabaikan
hak-hak adat yang khusus atau yang diyakini oleh masyarakat lokal, dengan
tujuan memberlakukan hukum pertanahan yang berlaku secara unifikasi. Hakhak baru yang diatur dalam UUPA, hanya sebagai terobosan gagasan persuasif,

2004 Digitized by USU digital library

72

peninggalan kolonial untuk menghapuskan dualisme hukum tanah, akan tetapi


hak-hak baru ini sebagian besar masih berpola hak-hak yang ada dalam BW,
meskipun terlihat samar. HGU yang diberikan kepada pengusaha perkebunan
besar baik swasta maupun BUMN atas dasar hak menguasai negara, pada
prinsipnya adalah sama dengan hak erfacht yang diberikan atas dasar domain
verklaring pada masa kolonial. Jadi hak-hak atas tanah yang ada dalam BW,
ternyata hanya berganti baju dengan Hak Guna Usaha.
Selama Pemerintahan orde baru, penyelesaian sengketa pertanahan
dilakukan pemerintah dengan memaksakan kehendaknya, dengan cara-cara
paksa, dan bersandar pada peraturan perundang-undangan, yang substansi
norma hukumnya, diatur sedemikian rupa walaupun secara substansi norma
hukum itu, memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat. Tetapi
dalam praktek, tidak dilaksanakan, sesuai dengan hakekat yang terkandung
dalam norma hukum tersebut. Pola penyelesaian sengketa dalam prakteknya
selalu dengan pendekatan Militer dan kekuasaan, seperti pola penyelesaian
dengan Operasi Sadar.
Faktor lain yang menghambat penyelesaian sengketa pertanahan di
Sumatera Utara adalah bahwa pendekatan yang digunakan oleh pemerintah
sejak masa lalu adalah pendekatan kekuasaan. Pemerintah selalu memandang
bahwa negara telah memberinya mandat untuk melasanakan kekuasaan tertinggi
termasuk membuat perundangan. Akibatnya pertimbangan politik selalu
digunakan oleh pemerintah untuk menyusun peraturan hukum, guna
menyelesaikan masalah pertanahan. Suatu sisi kelemahan dalam pertimbangan
politik adalah bahwa pemerintah lebih menekankan kepentingan penguasa
daripada adat tradisional yang ada. Setiap perubahan undang-undang yang
dilakukan oleh Pemerintah cenderung hanya untuk kepentingan birokrasi dan
pengusaha perkebunan dengan rekayasa sosial (law as/is a tool of social
engineering), yang secara implisit menciptakan legal gaps, terjadi celah
perselisihan faham atau keyakinan antara apa yang dikehendaki oleh pemerintah
agar dipatuhi dengan apa yang masih diyakini dan dipatuhi sebagai keyakinan
hukum masyarakat lokal dalam kehidupannya sehari-hari.
Kelemahan lain dari pertimbangan politik ini adalah bahwa tekanan utama
diberikan pada kebutuhan jangka pendek, dan bukan jangka panjang. Ini
mendasari cara penyelesaian yang diambil oleh pemerintah, yang lebih
mengutamakan bentuk penyelesaian represif dengan tujuan menegakan
keamanan dan ketertiban. Pemerintah dalam hal ini kurang memikirkan
kemungkinan jangka panjang tentang terulangnya kasus tersebut. Pendekatan
kekuasaan yang digunakan oleh pemerintah, memungkinkan pengerahan semua
aparatur negara untuk terlibat dalam persoalan sengketa tanah. Sebagai
akibatnya, muncul peluang bagi terjadinya penyelewengan dan penyimpangan
yang disebabkan oleh diutamakannya kepentingan pribadi para pelaksana
kekuasaan daripada tercapainya penyelesaian sengketa demi kepentingan
masyarakat. Musyawarah yang dilakukan hanya bergantung pada persepsi
penguasa dan pengusaha, akibatnya cukup merugikan masyarakat.
Tindakan pemerintah tersebut lebih didasarkan pada kepentingan
pendapatan negara yang salah satunya bersumber pada produksi perkebunan.
Oleh karena itu tindakan perkebunan yang sering melanggar ketentuan kontrak
dengan masyarakat seperti perluasan lahan tanpa musyawarah terlebih dahulu
mengakibatkan hilangnya hak-hak penduduk penggarap atas tanah-tanah yang

2004 Digitized by USU digital library

73

disediakan bagi mereka. Perkebunan dalam hal ini menganggap dirinya lebih
berwenang daripada petani karena merasa bahwa Perusahaan Perkebunan
adalah Perusahaan Negara (BUMN) sehingga memperoleh dukungan dan
pengakuan dari Aparat Pemerintah.
Hal ini tentu saja berakibat pada rusaknya sistem dan budaya hukum
yang berlaku, sebab dengan berlarut-larutnya pelanggaran yang terjadi tanpa
penanganan
yang tuntas, sehingga
membentuk
prilaku hukum dalam
masyarakat menjadi tidak lagi percaya pada aparat penegak hukum dan
penerapan sistem hukum yang sudah ada. Masyarakat cenderung bertindak
menurut keinginan dan kepentingannya sendiri tanpa mengindahkan semua
norma dan kaidah hukum yang telah ditetapkan oleh negara. Sebagai
kelanjutannya maka konflik antara masyarakat dan pihak perkebunan terus
berlangsung secara periodik tanpa adanya penyelesaian hukum yang tuntas,
mengingat sistem dan norma hukum yang dianutnya sebenarnya sudah tidak lagi
berlaku dalam masyarakat.
Ketiga, keberadaan hak ulayat di Sumatera Utara, telah mengalami
pasang surut khususnya hak ulayat yang berada di atas tanah perkebunan,
sejak zaman kolonial telah diakui oleh pemerintah Hindia Belanda . Terbukti
dalam
klausula
akte konsesi, yang diberikan kepada onderneming
perkebunan, hak ulayat masyarakat adat diakui dan dilindungi . Kepada
masyarakat diberikan hak atas tanah jaluran di areal perkebunan, untuk
ditanami tanaman semusim.
Tetapi dalam perkembagan selanjutnya mulai akan dihilangkan oleh
pemerintah kolonial dengan keluarnya ordonansi hak erfacht 1931. Dalam
ketentuan ini ditegaskan, bahwa hak ulayat yang berada di areal hak erfacht
dihapuskan. Dan pemerintah kolonial mengizinkan para Imigran, untuk
menggarap tanah di luar areal perkebunan. Hal ini menimbulkan kegelisahan
petani rakyat penunggu sehingga terjadi konflik horizontal.
Keberadaan hak ulayat ini, merupakan alasan yang kuat bagi para
petani penggarap, untuk menduduki tanah perkebunan yang diklaim sebagai
hak ulayat masyarakat adat . Atas dasar itu, masyarakat menggarap dan
menduduki tanah areal perkebunan . Keadaan ini menimbulkan konflik dan
sengketa antara masyarakat dengan pihak perkebunan.
Hak ulayat dalam Undang-Undang Pokok Agraria, diakui sepanjang dalam
kenyataannya hak itu masih ada. Pengakuan hak ulayat ini, hanya secara
formil tetapi, secara materil hukum adat hanya dirumuskan secara umum dan
abstrak. Keberadaan hak ulayat tidak terlindungi dalam UUPA karena, para
penegak hukum melaksanakan substansi norma hukum yang terdapat dalam
UUPA, hanya berorientasi pada sistem hukum barat yang menganut aliran
positivisme, yang bersifat legalistik . Pemahaman seperti ini, sudah barang
tentu mengenyampingkan keberadaan hak ulayat yang berdasarkan hukum
adat. Dalam hal ini ada dua sistim hukum yang berbeda, menimbulkan konflik
jika dihadapkan dengan suatu peristiwa hukum, maka harus dapat ditentukan
hukum mana dan hukum apa yang berlaku.
Dalam praktek penyelesaian
sengketa pertanahan di Sumatera
Utara, dari berbagai kasus yang terjadi misalnya kasus BPRPI versus PTPNII. Tuntutan para petani yang tergabung dalam BPRPI adalah mengenai
tanah hak ulayat mereka yang dikuasai oleh PTPN-II. Pihak Perkebunan tetap

2004 Digitized by USU digital library

74

bertahan bahwa mereka menguasai tanah sengketa adalah berdasarkan alas


hak yang
sah, berupa sertifikat HGU yang diterbitkan berdasarkan undangundang yang berlaku. Sedangkan masyarakat membuktikan hak ulayat mereka
hanya berdasarkan fakta sejarah dan hukum yang tidak tertulis. Akibat adanya
perselisihan hukum ini, penyelesaian sengketa menjadi lebih sulit, karena
hakim harus dapat menentukan, hukum apa yang berlaku . Jika
hakim
mengambil keputusan semata-mata berdasarkan hukum tertulis maka,
keputusannya cenderung akan merugikan masyarakat.
Gubernur Sumatera Utara dengan Keputusannya No. 370/3/SU/1968,
telah menghapuskan hak ulayat dalam hal ini tanah jaluran di areal PTP-IX yang
sekarang menjadi PTPN-II. Keputusan ini telah menimbulkan pro dan kontra
dalam masyarakat antara lain satu pihak masih mengakui adanya hak ulayat dan
di lain pihak menganggap hak ulayat sudah tidak ada lagi di Sumatera Utara
khususnya di areal PTPN-II.
Penyelesaian sengketa atas kasus tersebut, dilaksanakan oleh
pemerintah
hanya
berdasarkan
ketentuan
perundang-undangan
yang
berlaku secara formil, dimana pelaksanaannya hanya berdasarkan norma
hukum yang ada di dalam peraturan undang-undang tanpa melihat
kekuatan sosial, berupa hukum yang hidup dan budaya hukum yang ada
di dalam masyarakat . Akibat pelaksanaan
dan pemahaman hukum
sedemikian itu, keberadaan hak ulayat dalam masyarakat hukum adat tidak
diindahkan sama sekali. Disamping itu, ada pemikiran yang menganggap
bahwa dengan adanya Negara Republik Indonesia yang berlandaskan
Undang-Undang Dasar 1945, dan Pancasila, menganggap semua
tanah
adalah dikuasai oleh
negara . Oleh karena itu, hak ulayat dianggap sudah
tidak ada lagi. Pengertian dan pemahaman yang demikian itu sesungguhnya
tidak dapat dibenarkan.
Berdasarkan penjelasan umum bagian II dalam UUPA, penyelesaian
sengketa pertanahan yang menyangkut hak ulayat dilakukan dengan cara
musyawarah dan pemberian ganti rugi. Bagi masyarakat adat yang
hak
ulayatnya diambil untuk kepentingan pembangunan, maka bagi masyarakat
yang diambil hak ulayatnya untuk pembangunan harus diberikan ganti rugi
atau
recognitie. Tetapi dalam praktek, pelaksanaan musyawarah berubah
menjadi intimidasi dan juga pemberian ganti rugi dilakukan dengan pembayaran
yang tidak layak
sehingga, menjadikan masyarakat
lebih
miskin dari
sebelumnya . Begitu juga recognitie tidak pernah dilaksanakan sebagaimana
yang telah disyaratkan oleh undang-undang.
Setelah Reformasi, ada sedikit harapan bagi
masyarakat adat
tentang pengakuan keberadaan hak ulayat mereka yaitu dengan keluarnya
Keputusan
Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.5 Tahun 1999, tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Surat
Keputusan Menteri ini, bertujuan untuk memperjelas prinsip pengakuan hak
ulayat dan hak-hak yang serupa dengan itu.
Pengakuan hak ulayat yang tertuang dalam Keputusan Menteri tersebut
ternyata tidak akomodatif karena pelaksanaan hak ulayat tidak dapat lagi diakui
terhadap bidang-bidang tanah yang pada saat ditetapkannya Peraturan Daerah
mengenai ada tidaknya hak ulayat di suatu daerah, yaitu apabila tanah
yang sudah dipunyai perseorangan atau badan hukum dengan satu hak tanah

2004 Digitized by USU digital library

75

menurut Undang-Undang Pokok Agraria, dan bidang-bidang tanah yang sudah


diperoleh atau dibebaskan oleh Instansi pemerintah, badan hukum atau
perseorangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Berdasarkan
ketentuan
ini, tidak
mungkin
lagi rakyat
atau
masyarakat adat, dapat menuntut hak ulayat mereka khususnya di areal
perkebunan karena pihak perkebunan telah memperoleh HGU berdasarkan
ketentuan hukum yang berlaku kecuali, HGU itu sudah habis masa berlakunya
atau tidak diperpanjang lagi. Kebijakan ini sangat menjauhkan rakyat dari
hak ulayatnya.
Dari hasil penelitian, dapat ditemukan di beberapa areal perkebunan
PTPN II, yang sudah habis masa berlaku HGU-nya dan tidak diperpanjang
lagi . Berarti masih ada harapan bagi masyarakat adat untuk memperoleh
hak ulayatnya di areal bekas perkebunan kecuali Pemerintah
Daerah
menentukan
lain. Dalam praktek banyak HGU perkebunan yang dilepaskan
haknya karena habis masa berlakunya, diserahkan kepada pengusaha real
estate ataupun
pengusaha
lainnya . Hal
ini,
akan
menimbulkan
ketidakpercayaan masyarakat kepada kebijakan pemerintah pusat ataupun
daerah. Akibatnya konflik dan sengketa pertanahan di Sumatera Utara tetap
berlangsung.
Keempat, dengan melihat beberapa faktor yang menghambat
penyelesaian sengketa penguasaan atas tanah ini, maka perlu ditempuh
beberapa jalan untuk mengatasi kondisi tersebut. Dalam sistem perundangan
yang ada, pemerintah perlu memberikan perbaikan dengan memperjelas
beberapa hal yang vital namun sering menimbulkan perbedaan persepsi dan
menumbuhkan pengertian kabur, misalnya dalam pengertian mengenai hak
ulayat. Hal ini sangat penting mengingat semua produk peraturan hukum yang
dibuat negara akan dijadikan dasar bagi pengambilan keputusan lebih lanjut
dalam menangani sengketa itu.
Dalam
melakukan
pendekatan
terhadap
penyelesaian
sengketa
pemerintah mulai mempertimbangkan untuk meninggalkan pendekatan
kekuasaan,
tetapi
harus mengutamakan pendekatan musyawarah yang
melibatkan masyarakat (bottom-up) dan hukum. Alat-alat represif tidak lagi
digunakan untuk memaksakan kepentingan, namun lebih mendasarkan pada
pertimbangan yuridis formal yang netral dengan menekankan pada
kesejahteraan masyarakat. Untuk ini perlu bagi pemerintah agar lebih
memikirkan pandangan jangka panjang daripada penyelesaian sengketa jangka
pendek, yang lebih mengutamakan ditegakkannya keamanan dan ketertiban.
Pemerintah juga perlu meningkatkan program penerangan/komunikasi hukum
kepada masyarakat tentang pengertian hak-hak tanahnya dan sejauh mana
batas-batas penerapan hak tersebut bisa dilakukan.

B. Saran.
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat dipertimbangkan saransaran
yang didasarkan pada hasil analisa atas kajian kualitatif terhadap
fenomena yang muncul, sebagai berikut :
Pertama, berdasarkan

faktor-faktor

2004 Digitized by USU digital library

penyebab

terjadinya

sengketa

76

pertanahan di Sumatera Utara yang sampai saat ini tidak pernah selesai,
maka disarankan pada pemerintah untuk melakukan reformasi terhadap
UUPA. Sesuai dengan filosofi yang dianut oleh UUPA dengan berdasarkan
hukum adat, maka
seluruh
bentuk
peraturan pelaksanaannya
yang
menyangkut dengan pertanahan harus juga dibuat berdasarkan hukum adat,
misalnya tentang pemberian hak-hak atas tanah, perolehan hak atas tanah,
pendaftaran
tanah
dan
pembebasan
hak
atas
tanah, juga
dibuat
berdasarkan filosofi hukum adat.
Undang-undang juga perlu memberikan penjelasan yang lebih kontekstual
tentang batasan-batasan defenisi istilah dalam hukum adat, yang dimuat dalam
bentuk perundangan ini. Jika perlu, disusun bentuk perundangan baru yang
khusus mengatur persoalan ini dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat.
Pembentukan undang-undang tersebut, harus memperhatikan faktorfaktor kekuatan sosial
berupa budaya hukum dan hukum yang hidup
dalam masyarakat dengan umpan balik terhadap lembaga penegakan hukum
dan kondisi masyarakat yang akan dikenai dengan peraturan hukum itu.
Lembaga pembentuk hukum, lembaga penegak hukum dalam upaya untuk
memfungsikan atau bekerjanya hukum sebagai alat kontrol sosial, harus sesuai
dengan rasa keadilan masyarakat, maka faktor-faktor yang mempengaruhi
itu harus dilihat sebagai faktor yang saling mempengaruhi. Yang dapat
menimbulkan interaksi tertentu, meliputi struktur, substansi, budaya hukum
dalam masyarakat.
Kedua, untuk mencapai keseimbangan yang harmonis dalam penguasaan
hak atas tanah pemerintah harus lebih bersikap netral dalam menyelesaikan
sengketa, mengingat sejauh ini pemerintah cenderung bersikap represif terutama
dalam pengambilan keputusan akhir. Hal ini hanya bisa dicapai apabila
pemerintah lebih menggunakan pendekatan secara yuridis dan musyawarah
sehingga bisa tercapai jalan keluar yang bisa diterima oleh semua pihak.
Pemerintah jangan menggunakan sikap represif dan segera mengambil tindakan
tegas terhadap aparat negara yang terbukti melakukan penyelewengan dan
penyimpangan dari peraturan yang ada. Disarankan pula agar pemerintah daerah
atau instansi terkait harus bersikap proaktif terhadap adanya gerakan-gerakan
dalam penyerobotan tanah di areal perkebunan, yang mungkin dapat
diidentifikasi sebagai bahaya laten PKI. Pelaksanaan dan penegakan hukum
harus berjalan secara konsekwen.
Ketiga, untuk menentukan keberadaan hak ulayat dalam masyarakat,
disarankan agar pemerintah melakukan penelitian apakah hak ulayat itu
mengalami perubahan
dengan adanya perkembangan zaman, dalam arti
mengembang atau mengempisnya
hak ulayat dalam masyarakat, sesuai
dengan
sifat dinamisnya hukum adat itu. Peraturan itu harus dibuat
dalam bentuk undang-undang, bukan dalam bentuk Keputusan Menteri .
Peraturan itu harus akomodatif terhadap kepentingan masyarakat adat dan
kepentingan
nasional . Di samping
itu, pemerintah
harus
mengambil
kebijaksanaan yang tegas, tentang
apakah masih ada atau tidak hak
ulayat pada daerah tertentu
Keempat, penyelesaian sengketa antara masyarakat dan perkebunan
seharusnya dapat dilakukan dengan jalur penyelesaian secara yuridis formal
dengan pendekatan budaya hukum yang ditempuh dengan musyawarah dengan

2004 Digitized by USU digital library

77

melibatkan kelompok masyarakat terkait, disarankan pada pemerintah harus


melibatkan tenaga-tenaga ahli hukum yang benar-benar memahami persoalan
agraria khususnya yang menyangkut pemilikan tanah secara adat. Hal ini sangat
berguna untuk menjelaskan sejauh mana batas-batas kekuasaan tradisional
masih berlaku dalam hal penguasaan hak atas tanah, baik secara perorangan
maupun komunal. Perundang-undangan yang sejauh ini dibuat lebih
mencerminkan kondisi darurat pada saat pembuatannya dan masih banyak
dipengaruhi oleh aturan-aturan dalam hukum kolonial. Pemerintah hendaknya
membuat undang-undang baru yang bercorak nasional dengan mengutamakan
kepentingan masyarakat secara menyeluruh.
Cara penyelesaian sengketa pertanahan disarankan dilakukan dalam
dua
model, yaitu pertama, harus dilaksanakan dengan negosiasi dan
musyawarah
dengan
memperhatikan
kepentingan
masyarakat
dan
kepentingan lainnya . Musyawarah dilakukan oleh tiga orang penengah yaitu
masyarakat, pengusaha
dan
pihak
yang
netral
yang ditunjuk
oleh
pemerintah . Dalam hal ini, pemerintah harus bertindak sebagai fasilitator
bukan sebagai mediator, yang cenderung bersifat sebagai partisipan dalam
kelompok yang bertikai. Model kedua adalah penyelesaian melalui proses
Pengadilan sebagai upaya terakhir.

2004 Digitized by USU digital library

78

Anda mungkin juga menyukai