Proses masuknya para pengusaha perkebunan Barat ke Sumatera Utara ini tidak terlepas dari
munculnya sistim dan situasi kolonial pada akhir abad XIX di tanah-tanah koloni Eropa. Dalam
sistem dan situasi kolonial ini muncul hubungan kolonial (ketundukan) antara penguasa kolonial
dan penduduk jajahannya. Di samping itu juga terdapat hubungan serupa antara tanah jajahan di
Asia dengan negara induknya di Eropa yang bertumpu pada prinsip dominasi politik, eksploitasi
ekonomi dan penetrasi kebudayaan yang dipaksakan. Bentuk penjajahan yang diterapkan oleh
penguasa Eropa pada akhir abad XIX ini mengalami pergeseran dari sistem lama. Dalam gaya
penguasaan lama negara induk dianggap sebagai lahan eksploitasi yang wajib menyetorkan hasilhasilnya demi kejayaan negara penjajahnya di Eropa, sementara itu dalam bentuk penjajahan baru
tanah koloni dianggap juga sebagai tempat proses produksi berlangsung, tempat pencarian tenaga
kerja dan sekaligus sebagai lahan penjualan barang-barang hasil produksi di Eropa. Tentang
perluasan kolonialisme ini periksa Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di
Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi (Aditya Media, Yogyakarta, 1991), hal. 5 dan 13.
Yang dimaksud adat di sini adalah seperangkat aturan dan kebiasaan tak tertulis yang menentukan
dan mengatur cara hidup penduduk pribumi serta yang muncul dari konsep orang pribumi tentang
manusia dan kehidupan sosialnya. Adat mewarnai semua kehidupan sosial termasuk bidang yang
sakral yang dalam hal ini mencakup juga penguasaan tanah. Periksa Franz von Benda-Beckmann,
Property in Social Continuity (The Hague, Martinus Nijhoff, 1979) hal. 113-114.
Hal ini dimungkinkan bagi Belanda karena para raja Melayu saat itu berada dalam posisi yang
terpecah-pecah dan saling bersaing, sehingga para raja yang secara ekonomi dan militer sangat
lemah bergantung pada bantuan dan sekutu mereka. Untuk menghadapi ancaman dari musuhmusuhnya termasuk kaum pendatang Batak Toba yang mulai banyak memasuki wilayah Melayu,
para sultan ini memerlukan sekutu baru yang bisa melindungi struktur dan keberadaan
Kesultanannya. Tanpa menggunakan kekuatan militer yang tinggi, Belanda berhasil lewat jalur
diplomasi menyatukan para sultan bersama para kepala adat Melayu, Batak Toba dan Batak Karo
tunduk pada sistem baru yang dibentuk oleh pemerintah kolonial. Periksa Anthony Reid, The
Blood of the People: Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra (Perjuangan
Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera) terjemahan Muchsin Zain (Jakarta, Sinar
Harapan, 1987) hal. 26.
Periksa R. Soepardi, Beberapa Hal Tentang Hukum Agraria, dalam Madjalah Perkebunan, edisi
Maret 1959, tahun IX, hal. 50. Hal ini sangat rawan mengingat struktur penguasaan yang ada
selama sebelum dan sesudah kemedekaan jauh berbeda, khususnya menyangkut pihak yang
memegang hak penguasaan tanah: sebelum kemerdekaan, para penguasa swatantra pribumi
(zelfbestuurder) menjadi pemegang hak penguasaan dengan mengeluarkan grant (karunia) sebagai
bukti pemilikan tanah kepada warganya. Setelah kemerdekaan dengan dihapuskannya bentuk
kekuasaan kesultanan, semua grant ini tidak lagi berlaku.
penelitian lewat sebuah tim yang khusus dibentuk untuk itu, pemerintah mulai
menyusun bentuk perundangan baru yang diharapkan bisa menggantikan
Agrarische Wet lama produk hukum kolonial. Dengan perundangan baru ini,
negara mengambil alih semua hak penguasaan atas tanah dan menegaskan
berbagai macam bentuk kepemilikan tanah secara jelas melalui diterbitkannya
sertifikat oleh lembaga hukum yang berwenang.
UUPA No.5 Tahun 1960 sebagai bentuk UU baru tentang ketentuan pokok
agraria yang dikenal dengan UUPA, berlaku sebagai induk dari segenap peraturan
pertanahan di Indonesia. UUPA ini mengandung asas (prinsip) bahwa semua hak
atas tanah dikuasi oleh negara, dan asas bahwa hak milik atas tanah dapat
dicabut untuk kepentingan umum. Kedua prinsip tersebut dengan tegas telah
dituangkan dalam pasal 2 dan pasal 18 UUPA.
Berdasarkan pasal 2 UUPA ini negara menjadi pengganti semua pihak
yang mengaku sebagai penguasa tanah yang sah. Negara dalam hal ini
merupakan lembaga hukum sebagai organisasi
seluruh rakyat Indonesia.
Pemerintah sebagai lembaga pelaksana UU negara dalam proses ini bertindak
sebagai pihak yang melaksanakan dan menerapkan ketentuan yang terdapat
dalam pasal 2 UUPA tersebut.
Adapun kekuasaan negara yang dimaksud itu mengenai semua bumi, air
dan ruang angkasa, baik sudah yang dihakki oleh seseorang maupun tidak.
Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan suatu hak
dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa negara memberi
kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan haknya, sampai di
situlah batas kekuasaan negara.5
Dengan demikian pemerintah menjadi pihak yang wajib dan berwenang
mengatasi dan menengahi sengketa hak penguasaan atas tanah yang muncul
sekaligus menjadi fasilitator bagi pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa.
Berbagai kasus sering terjadi dalam masyarakat dengan berbagai
masalah, diantaranya yang paling menonjol adalah persoalan sengketa
pertanahan antara masyarakat versus perkebunan yaitu tentang penggarapan
baik yang mempunyai izin maupun penggarapan secara liar oleh masyarakat.
Disamping itu penggusuran masyarakat di atas tanah sengketa baik oleh
pemerintah maupun oleh pihak perkebunan baik secara paksa maupun ganti rugi
tetapi bentuk dan besarnya ganti rugi yang diberikan oleh perkebunan kepada
rakyat dinilai tidak layak. Bahkan proses ini banyak yang menjadikan rakyat lebih
miskin dari sebelumnya, karena uang ganti rugi itu tidak cukup untuk membeli
lahan baru atau untuk mencari nafkah sesuai dengan keadaan semula. Dengan
demikian dari sudut ekonomi tindakan tersebut sangat merugikan bagi rakyat.
Rakyat terpaksa menyingkir dari lahan yang telah dibebaskan untuk kepentingan
tanaman perkebunan dan harus mencari lahan baru yang tidak sesuai dengan
tuntutan penanaman tanaman pangan mereka.
Konflik terjadi sejak dari konsesi perkebunan yang diberikan oleh
kesultanan/swapraja dan pemerintah kolonial pada persusahaan perkebunan.
Tanah konsesi tersebut pada dasarnya menyangkut hak ulayat masyarakat.
Pemberian konsesi kepada pengusaha perkebunan telah terjadi pada masa
kesultanan dan masa kolonial ini berlanjut dengan modifikasi hak konsesi
5
menjadi hak erfacht. Kondisi demikian diteruskan pula pada masa kemerdekaan,
di mana tanah konsesi maupun hak erfacht yang diberikan pada perkebunan
yang berakhir masa berlakunya dimodifikasi menjadi Hak Guna Usaha (HGU).
Dalam tiga periode tersebut sengketa pertanahan masih berlangsung diantara
pihak pengusaha perkebunan dengan masyarakat penunggu maupun masyarakat
penggarap.
Pola sengketa berkisar antara rakyat dan pemerintah atau rakyat dan
perkebunan (yang didukung oleh orang-orang pemerintah) mengenai
penguasaan atas tanah; antara rakyat dengan pihak perkebunan serta
kehutanan mengenai tanah garapan antara rakyat dengan rakyat itu sendiri
mengenai masalah kepemilikan, penggarapan, warisan dan sewa menyewa.
Sengketa tersebut diantaranya karena manipulasi pejabat atau perantaraperantara yang menjadi kaki-tangan perusahaan perkebunan sejak zaman
kolonial.
Dalam praktek, penyelesaian masalah perkebunan itu ada yang
diupayakan dengan pemberian ganti rugi lahan oleh pihak perkebunan pada
petani penggarap, rakyat penunggu, maupun penggarap liar. Oleh pihak
pemerintah ditempuh penyelesaian dengan jalan melepaskan hak atas tanah
atau membebaskan areal perkebunan yang yang telah dikuasai penggarap
dengan mengeluarkannya dari Hak Guna Usaha atau terhadap Hak Guna Usaha
yang telah habis masa waktunya tidak diberikan perpanjangan lagi, kemudian
lahan tersebut dibagi-bagikan oleh panitia kepada masyarakat penggarap.
Namun hal ini, tidak membawa hasil yang memuaskan bahkan sengketa tanah
antara pihak perkebunan versus rakyat penggarap terus berlanjut sampai saat
ini.
Khusus di Sumatera Utara, berdasarkan pemantauan, yang paling
besar presentasinya adalah sengketa masalah tanah. Tuntutan ini demikian
derasnya, dimana-mana, di wilayah Sumatera Utara, terutama di sektor
perkebunan, lahan perkebunan menjadi ajang dan tumpuan penjarahan dan
pendudukan dari para penggarap yang mengaku dirinya petani. Ini dimulai
dari Kotamadya Medan, Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Langkat
yang menjadi korban adalah PTPN II dan PTPN III, sebagian besar areal HGU
nya jatuh dan diduduki oleh rakyat penggarap. Tuntutan masyarakat
penggarap berdalih demi reformasi dan atau karena reformasi, tanpa
mendalami dengan benar maksud dan cita-cita s reformasi itu sendiri. Secara
internal, pelanggaran hukum, pelanggaran HAM, telah berlangsung dimana,
para aparat penegak hukum, tidak mampu berbuat banyak.
Disamping itu juga, penguasaan tanah dilakukan oleh rakyat tanpa alas
hak yang sah dan dokumen kepemilikan tanah yang tidak lengkap. Maka dalam
posisi yang demikian pemerintah dihadapkan pada suatu keadaan yang
dilematis. Keadaan ini dapat melemahkan posisi pihak perkebunan yang
membutuhkan tanah dan berpotensi menimbulkan masalah, yaitu rakyat tidak
memilik bukti yang lengkap dan cukup atas tanah yang dimilikinya. Hal ini
terutama terjadi pada tanah-tanah yang belum bersertifikat, yang disebabkan
oleh pandangan adat yang masih melekat pada rakyat bahwa tanah merupakan
hak milik komunal (hak ulayat), sehingga mereka menganggap hak penguasaan
otomatis melekat pada hak penghunian atas tanah tersebut secara turuntemurun.
Keadaan itu bukannya tidak diketahui oleh pihak yang memerlukan tanah
dalam hal ini perkebunan, tetapi dengan berbagai alasan untuk melaksanakan
usaha yang telah direncanakan tetap dilakukan penguasaan lahan. Akibatnya
sulit bagi pihak yang membutuhkan tanah untuk menentukan tentang keabsahan
pemegang hak penguasaan lahan yang diakui oleh rakyat.
Konflik juga terjadi antara pemerintah dengan rakyat atau antara rakyat
dengan pihak perkebunan yang membutuhkan tanah,
karena kurangnya
koordinasi antar instansi yang terkait di bidang pertanahan. Misalnya, tidak
adanya sinkronisasi antara suatu sektor dengan sektor lainnya. Banyak sekali
peraturan-peraturan yang tidak berjalan, ataupun saling bertabrakan dengan
peraturan lain. Sebagai contoh dapat kita ajukan Undang-Undang Darurat
Nomor 8 Tahun 1954 yang mengatur tentang penyelesaian soal pemakaian tanah
perkebunan oleh rakyat, UU Darurat Nomor 1 Tahun 1956 tentang perubahan
dan tambahan atas perubahan UU Darurat Nomor 8 Tahun 1954 mengenai
penyelesaian soal pemakaian tanah perkebunan oleh rakyat, UU Nomor 28 Tahun
1956 tentang pengawasan terhadap pemindahan hak atas tanah-tanah
perkebunan, UU Nomor 29 Tahun 1956 tentang peraturan-peraturan dan
tindakan-tindakan mengenai tanah-tanah perkebunan, UU Nomor 76 Tahun 1957
tentang perubahan UU Nomor 24 Tahun 1954 dan UU Nomor 28 Tahun 1956, UU
Nomor 51 Prp Tahun 1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa ijin yang
berhak atau kuasanya, dan UU Nomor 20 Tahun 1961 tentang pencabutan hakhak atas tanah dan benda-benda yang terletak di atasnya, dll.
Namun keberadaan dari semua peraturan tersebut di atas, ternyata tidak
dapat meredam terjadinya kasus pertanahan yang menimbulkan kegoncangan
dalam masyarakat. Dalam realita banyak terjadi konflik antara pemerintah dan
rakyat atau antara rakyat dengan pihak badan usaha perkebunan yang masingmasing pihak membutuhkan tanah. Sengketa pertanahan ini kita jumpai hampir
pada setiap daerah perkebunan yang ada di Indonesia.
Kecenderungan pemerintah mengabaikan faktor-faktor juridis dalam
pembebasan atau pelepasan hak-hak atas tanah masyarakat, disebabkan
instansi pemerintah tersebut lebih mementingkan target pemasukan produksi
ekonomi sesuai dengan tahap-tahapnya. Oleh karena kuota produksi yang lebih
diutamakan, maka pemerintah cenderung tidak teliti dalam memeriksa dokumendokumen kepemilikan dan hak-hak rakyat yang memiliki tanah, misalnya bukti
kepemilikan. Disamping itu selalu terjadi pemaksaan kehendak, sehingga
musyawarah tidak berjalan dan bentuk penyelesaian sengketa hanya ditetapkan
secara sepihak oleh pemerintah dengan pendekatan politik dan kekuasaan.
Dengan adanya berbagai peraturan dan kebijakan mengenai tanah yang
telah dikemukakan di atas, seharusnya dapat dijadikan patokan dalam dua hal
yaitu : di satu pihak peraturan itu merupakan landasan bagi pihak pemerintah
untuk membuat larangan pemakaian tanah tanpa ijin yang berhak, sedangkan di
lain pihak ia merupakan suatu jaminan hukum bagi rakyat agar tidak
diperlakukan sewenang-wenang oleh pemerintah atau penguasa. Tetapi ternyata
keberadaan peraturan itu tidak dapat menjamin adanya perlindungan bagi rakyat
dari tindakan sewenang-wenang oleh pihak pemerintah.
Berdasarkan penjelasan yang dipaparkan di atas, sungguh menarik bila sejauh
ini belum banyak kajian yang khusus menyoroti permasalahan konflik dalam
sengketa pemilikan tanah antara rakyat dan penyewa tanah di wilayah Sumatera
Timur dari sisi ilmu hukum. Berbagai karya telah ditulis tentang Sumatera Timur,
namun sebagian besar berdasarkan perspektif dan pendekatan historis dengan
kurang menekankan prioritas pada aspek pendekatan ilmu hukum. Dalam
sejumlah karya ilmiah yang telah dihasilkan tentang penguasaan wilayah di
Sumatera Timur,6 lebih banyak diberikan penekanan pada aspek politik sebagai
faktor penentu perubahan yang terjadi. Sementara itu menurut penulis sisi
penguasaan tanah dari aspek hukum sangat menentukan perubahan yang terjadi
dalam perkembangan sejarah politik dan ekonomi wilayah Sumatera Timur.
Dalam hal ini penulis akan berusaha menggali beberapa pokok permasalahan
yang terdapat dalam proses konflik dalam penguasaan tanah, bagaimana
benturan prinsip yang terjadi dan sejauh mana proses tersebut menentukan
bentuk perubahan baru yang menghasilkan pergantian kebijakan dan keputusan
lembaga kekuasaan pada periode yang terkait.
Perbedaan Persepsi Tentang Hak Penguasaan Tanah di Sumatera Timur
Setiap negara mempunyai aturan tentang hak-hak penguasaan dan
pemilikan tanah, yang didasari atas konsep dan teori hukum tertentu yang
dimodifikasi dengan kondisi yang dihadapi dan kebutuhan yang harus dipenuhi.
Pada dasarnya pengaturan hukum tentang hak-hak penguasaan atas tanah itu
berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemegang
haknya untuk berbuat sesuatu dengan tanah yang sudah dihakki. Kewenangan
ini berbeda dari suatu negara dengan negara lain. Di Indonesia sebagai bekas
negara jajahan Belanda mempunyai pengalaman sejarah dalam menentukan
penguasaan atas tanah, ada yang bersumber dari hukum adat, hukum barat dan
hukum nasional.
Pada zaman penjajahan, fungsi hukum tanah mengabdikan pada
kepentingan Pemerintah Hindia Belanda, tanpa memperdulikan kepentingan
rakyat Indonesia. Akibatnya fungsi tanah yang semula sebagai sumber
kesejahteraan dan kemakmuran yang merupakan karunia Illahi, setelah
kedatangan penjajah berubah menjadi sumber penindasan, sumber malapetaka
dan sumber ketidakadilan.
Dalam kerangka teori yang digunakan, penulis membatasi beberapa
aktivitas yang akan sangat menentukan dalam penjelasan dan pembuatan
analisis atas disertasi yang dipaparkan. Sejumlah kerangka pemikiran ini
bersumber dari beberapa teori yang dapat mendukung tulisan ini.
Dalam tema ini, perlu dijelaskan tentang teori penguasaan tanah dan
kaitannya dengan persewaan tanah. Teori penguasaan tanah dalam sejarah
6
Beberapa karya ilmiah tentang Sumatra Timur ditulis baik oleh para ilmuwan asing maupun
ilmuwan Indonesia di antaranya adalah Karl. J. Pelzer, Toean Kebon dan Petani (Jakarta, Sinar
Harapan, 1978); Karl J. Pelzer, Sengketa Agraria: Pengusaha Perkebunan Melawan Petani
(Jakarta, Sinar Harapan, 1982); Anthony Reid, Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya
Kerajaan di Sumatra (Jakarta, Sinar Harapan, 1987); Suprayitno, Mencoba (Lagi) Menjadi
Indonesia (Yogyakarta, Tarawang Press, 2001); Tengku Lukman Sinar, Sari Sejarah Serdang
(Medan, tanpa penerbit, 1971). Semua karya ini cenderung menegaskan pada peristiwa-peristiwa
politis dan perubahan kekuasaan yang mempengaruhi perubahan sosial dalam hubungan ekonomi
dan kehidupan masyarakat di Sumatra Timur. Semua karya ini ditulis oleh para sejarawan
profesional dengan melakukan pendekatan historis yang berlandaskan pada kajian politik untuk
mendekati permasalahan yang berlaku di Sumatra Timur masa itu. Dengan demikian unsur kajian
dari sisi hukum kurang begitu menonjol dalam eksplanasinya.
Lihat pasal 1 Agrarisch Besluit dan hubungkan dengan pasal 519 dan pasal 520 BW.
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang undang Pokok Agraria,
Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I, Hukum Tanah Nasional. (Jakarta : Djambatan, , 1999, hal. 43).
Periksa Kenneth P. Davis, Land Use, (New York : McGraw-Hill Book Company, 1976) hal.13-14.
Kenneth P. Davis, ibid., hal. 14.
Periksa A.W.B. Simpson, A History of the Land Law (Oxford : Clarendon Press, 1986) hal. 47.
Periksa Gaetano Mosca, The Ruling Class (New York : McGraw Hill Book Company, 1939) hal.
51. Mosca adalah seorang sosiolog politik yang melontarkan teori dan konsep mengenai elite serta
posisinya dalam struktur kekuasaan dan birokrasi. Dalam pandangan Mosca, elite merupakan
kelompok yang menduduki jabatan strategis. Namun Mosca menyoroti elite dari perspektif
monarki feodalistis yang lebih cenderung membatasi jangkauannya pada lingkup feodalisme di
Eropa. Dalam sorotannya dia menyebut bahwa elite selalu berkaitan dengan kelompok yang
memegang kendali kekuasaan dan menentukan segala dinamika kehidupan suatu negara dan
warganya, termasuk dalam penguasaan lahan pertanahan.
14
15
Periksa Mr. B. Ter Haar, Azas-Azas dan Susunan Hukum Adat, terjemahan K. Ng. Soebakti
Poesponoto (Jakarta : Prajnya Paramita, 1958) hal. 91.
Periksa Soerojo Wignjodipoero, S.H., Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat (Jakarta: PT.
Gunung Agung , 1984) hal. 201-202.
Periksa Erman Rajagukguk, Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup.
(Jakarta : Chandra Pratama, 1995 hal. 28). Selanjutnya dikatakan bahwa apabila mengikuti
pendapat Trenite tidak cuku menghentikan sewa atas tanah bebas apabila penduduk satu desa atau
desa yang lain menyatakan tanah bersangkutan di bawah kekuasaan mereka. Pernyataan ini tidak
dapat ditolak. Namun mengikuti kenyataan bahwa tanah seperti itu selain perlu dibuktikan menjadi
10
11
21
22
Ketentuan dalam UUPA Nomor 5 tahun 1960 ini sebenarnya kurang memberikan gambaran yang
jelas sehingga mudah mengalami penyimpangan dan penyelewengan atau penyalahgunaan
sehubungan dengan pelaksanaan hak menguasai tanah oleh negara tersebut. Sebagai contoh
pengambilalihan hak ulayat atas tanah adat yang digunakan untuk pembangunan demi kepentingan
negara.
Keberadaan hukum yang demikian menunjukkan kekuasaan hukum pemerintah yang bersifat
represif dengan memberikan tekanan kepada mereka yang diperintah, yakni ketika masyarakat
12
23
24
25
26
mengeluarkan
undang-undang
dan
membuat
aturan
mengabaikan kepentingan atau menolak legitimasinya. Akibatnya posisi subjek menjadi peka dan
rawan, tindakan pemerintah atau keputusan atas hukuman menuntut penyisihan suatu kepentingan
bagi kepentingan yang lain dan tidak setiap tuntutan bisa dikabulkan juga tidak setiap kepentingan
harus diberikan pengakuan yang sama. Philip Selznick, Law and Society in Transition, (New
York : Harper & Row Publisher, 1978), hal. 30.
Lawrence Friedman, 1984, American Law, W.W. Norton & Company, London, hal 9.
Donald Black, The Behavior of Law, Academic Press, New York, San Fransisco, London, 1976,
hal 2.
Lawrence Friedmann, Loc cit, hal 3.
Ibid.
13
mengenai Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya.27
Dan peraturan lain sebagai peraturan pelaksanaan. Untuk menertibkan
penggarap di areal perkebunan dan atau menentukan batas-batas tertentu yang
merupakan hak perkebunan. Tetapi apabila rekayasa sosial itu terlalu dipaksakan
maka akan terkesan sistem hukum itu terus-menerus memperbaharui dan
memperbaiki. Sering sekali alokasi hukum berjalan sangat berlawanan, selain
merubah sesuatu, alokasi hukum bertindak sedemikian rupa menjaga atau
berupaya menjaga status quo agar tetap utuh. Jika para penggarap tanah di
areal dihukum, pada saat yang sama berarti melindungi pihak perkebunan
dengan demikian pemerintah memelihara struktur ekonomi dan sosial
masyarakat. Ini memberi kesan bahwa hukum cenderung mendukung hak dan
kepentingan pihak perkebunan, melawan hak dan kepentingan masyarakat
penggarap petani miskin yang lemah.
Sejalan
dengan
pendapat
Friedmann
tersebut
maka,
aturan
mengenai larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak, seyogyanya
dapat merubah
perilaku masyarakat untuk tidak melakukan perbuatan
melanggar hukum, dalam hal menggarap tanah perkebunan. Dengan demikian,
jika dianalisa dalam praktek pelaksanaannya, dapat dikatakan bahwa hukum
yang telah ada itu merupakan peraturan yang tidak dapat diterapkan, atau
merupakan dead letter (aturan yang tidak diterapkan lagi, tetapi belum dicabut).
Sementara dikalangan masyarakat, ada aturan berupa hukum yang hidup (living
law) dalam sistem hukum yang hidup seperti misalnya hukum adat.
Sistem hukum lebih dari struktur dan aturan, meskipun demikian aturan
harus diikuti setidak-tidaknya pada masanya. Prilaku merupakan unsur pokok
sistem hukum, tentang apa sesungguhnya dijalankan orang. Jika tidak dijalankan
aturan itu hanya tulisan belaka dan struktur itu seperti kota mati. Tidak ada cara
lain untuk memahami sistem hukum selain melihat prilaku hukum (legal
behavior). Istilah prilaku hukum di sini adalah prilaku yang dipengaruhi oleh
aturan, keputusan, pemerintah atau uudang-undang yang dikeluarkan oleh
pejabat dengan wewenang hukum.28 Dalam hal ini jika seseorang berprilaku
secara khusus atau untuk merubah prilaku secara khusus adalah karena
diperintahkan hukum atau karena tindakan pemerintah atau pejabat lainnya atau
dari sistem hukum. Dengan demikian, jelas ada undang-undang yang sebagian
besar dipatuhi dan ada undang-undang yang sebagian besar tidak dipatuhi.
Mengapa orang patuh pada aturan tertentu dan tidak patuh pada aturan lainnya.
Menurut Lawrence M. Friedman prilaku hukum lebih dari soal patuh atau tidak
patuh, tetapi prilaku hukum lebih pada soal menggunakan atau tidak
menggunakan daripada soal mematuhi dan tidak mematuhi. Ini bukan berarti
bahwa patuh dan tidak patuh itu tidak penting. Sistem hukum jelas akan runtuh
jika setiap orang tidak mematuhi undang-undang.29 Dalam hal ini jika dikaitkan
dengan ketidakpatuhan masyarakat terhadap undang-undang yang menyangkut
kebijakan mengenai larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau
kuasanya, maka hukum akan benar-benar kehilangan tujuannya.
27
Larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak semula diatur dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1954 kemudian dilanjutkan dengan Undang-Undang Nomor 51 Prp Tahun 1960.
28
Ibid.
29
Ibid, hal.200.
14
Ibid.
Ibid.
32
Ibid , hal 4
31
15
1. Hukum mencakup aturan universal saja dan sistim hukum masih agak kabur
16
Periksa Robert B. Seldman, The State, Law and Development (New York : St. Martins Press,1978)
hal. 74-75.
34
Periksa Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung : Penerbit Alumni,1986), hal. 22-23.
35
Ibid.
36
Salmond mengatakan bahwa keadilan adalah tujuan hukum dan selayaknya bahwa alat seharusnya
dibatasi oleh gambaran-gambaran tujuan yang menjadi raison detre, hal ini menimbulkan masalah
mengenai hubungan hukum dan keadilan. Satu teori mensifatkan hukum dalam hubungannya
17
37
dengan keadilan, tetapi defenisi ini menimbulkan akibat bahwa tidak mungkin terdapat hukum
yang tidak adil, karena seandainya ada, maka dalam premis-premis itu akan terdapat selfcontradiction yang merusak. Dalam George Whitecross Paton, A Text Book of Jurisprudence,
(Oxford : at The Clarendon Press, 1951), hal 69.
Lihat dan bandingkan dengan sistem manajemen pembagunan nasional (SISNAS) yang
dikemukakan oleh Solly Lubis, 1996, dalam bukunya, Dimensi-Dimensi Manajemen
Pembangunan, (Bandung : Mandar Maju, 1996), hal 24.
18
Bagan 1 :
POTNAS
SUMBER DAYA ALAM
SUMBER DAYA MANUSIA
ILMU PENGETAHUAN
DAN TEKNOLOGI DI
BIDANG PERTANAHAN
PEMERINTAH
KONSEP
DASAR
PANCASILA
UUD 1945
MENGENAI
SUMBER DAYA
ALAM
INTERAKSI
WAWASAN
PROGRAM
PEMBANGUNAN
NASIONAL
DI BIDANG
PERTANAHAN
SWASTA
SIKON :
NASIONAL
REGIONAL
GLOBAL
DI BIDANG
PEREKONOMIAN
YANG TERKAIT
DENGAN
PERTANAHAN
PERUNDANG
UNDANGAN
TENTANG
PERTANAHAN
TERMASUK,
PELEPASAN
HAK ATAS
TANAH
UU
KEPPRES
PERMEN
PERDA
DLL
PENEGAKAN
HUKUM
PERTANAHAN
YANG
BERKEADILAN
MELALUI
MASYARA
KAT
ADIL
MAKMUR
SECARA
UMUM
DAN
KHUSUSN
YA DI
BIDANG
PERTANA
HAN
19
HASIL PENELITIAN
I.
Berdirinya Perkebunan
Pertanahan.
A. Kondisi
Asing.
di
Sumatera
Asing
Timur
di
Sumatera
Sebelum
Berdirinya
Perkebunan
20
B.
Timur.
1. Daerah yang diperintah langsung oleh Sultan Deli dengan kampung Kota
21
Kejuruan dan gelarnya juga disandang oleh kepala tanah Percut. Lima kepala
adat ini bersama-sama kemudian membentuk Dewan Bangsawan. Di daerah
Padang-Bedagei Sultan Deli memiliki wakil juga di Labuhan Deli.
Di bawah kekuasaan langsung sultan hanya para kepala dari empat urung di
Kejuruan Percut yang masih ada. Mengenai ahli warisnya sebagai aturan umum
bisa diterima bahwa putera sulung harus menggantikan ayahnya dan kebiasaan
ini juga diberlakukan bagi kepala adat yang lebih rendah. Datuk dianggap oleh
sultan setelah berunding dengan Asisten Residen Deli dan Serdang serta dengan
persetujuan Gubernur, dan penyimpangan baru bisa dilakukan apabila sistim ahli
waris ini tidak memiliki syarat. Juga para kepala adat yang kurang cocok yang
hanya memikirkan martabatnya sendiri masih terdapat diantara keturunan
bangsawan itu.
Di daerah Batak dari empat urung itu ada kebiasaan bahwa kepala dusun
diangkat dan dipecat oleh kerapatan, para pejabat tinggi di kerapatan dusun dan
para pejabat rendah oleh kerapatan urung.38
Keadaan pemerintahan di Kesultanan Deli sebagaimana disebut di atas
dari sumber lain dapat diperjelas, seperti yang diberitakan dalam Pewarta Deli
tahun 1933 sebagai berikut :
Afdeeling Boven Deli terbagi 4 District, jaitoe :
I - XII Kota (oeroeng XII kota) dikepalai oleh Datoek Hamparan Perak,
berkedoedoekan di Hamparan Perak.
II
Oeroeng Serbajaman, dikepalai oleh Datoek berkedoedoekan di
Soenggal.
III
Oeroeng Soekapiring dikepalai oleh Datoek Soeka Piring
berkedoedoekan di Kp. Baroe.
IV
Oeroeng Senembah, dikepalai oleh Kedjoeroean, berkedoedoekan
di Patoembak.
Maka keempat District (Oeroeng) jang tsb. Ini taloek dan dikoeasai poela
oleh Spd. Toeankoe Sulthan Deli. Pada tiap-tiap Oeroeng terbagi poela atas
doea nama :
a. Sinoean boenga, jaitoelah arah kesebelah hilir.
b. Sinoean gambir, arah kesebelah selatan berwatas dengan tanah Karo
(Karolanden).
Masing-masing oeroeng diangkat doea orang jg berpangkat Hoofd
perbapaan, satoe di Sinoean boenga dan satoe di Sinoean gambir.
Kedoedoekan Hoofd perbapaan itoe masing masing Oeroeng, jaitoe: di
Oeroeng XII kota, ialah kampoeng I
Lau Tjih II Radja Berneh, di
Oeroeng Serbajaman, I Koeta Mbaroe II, Goenoeng Merlawan di
Oeroeng Soeka Piring, I Namo Rambei, II Sala Boelan di Oeroeng
Senembah, I Namo Soero II Basoekoem.
Dibawah Hoofd perbapaan jang delapan orang itoe terdiri poela 27 orang
Hoofd penghoeloe dan dibawah Hoofd penghoeloe ada 300 penghoeloe kitik,
dibawah penghoeloe kitik jang 300 orang itoe, (menoeroet perhitoengan
tjahtjah djiwa jang paling achir) ada sedjoemlah ralat laki laki perempoean
24,000 orang (hitoengan ini diambil riboe sadja).
Maka pemerentahan dari pehak Zelfbestuur ini dibantoe dan dikepalai poela
oleh seorang Eropeesch Bestuur ialah Controleur jang berkedoedoekan di
38
Memorie van Overgave, W.P.F.L. Winckel, Opcit Hal.71-73. Periksa juga Gouvernement Besluit
tanggal 30 Nopember 1920 nomer 42.
22
Arnhemia.
Sebagai pembantoe pada toean controleur diangkat seorang mantri Cultures
(dahoeloe Controle Mantri) dan bagian Landbouw seorang Mantri sawah,
ditambah 4 orang penghoeloe Balei ialah penghoeloe Balai dari masingmasing Oeroeng .39
Ketika datuk-datuk kepala suku Batak Karo tidak diajak berunding oleh
sultan untuk menyerahkan konsesi-konsesi tanah di wilayah mereka, maka
datuk-datuk ini menentang dan menuduh bahwa pemberian konsesi ini telah
melanggar hukum adat yang sudah ada sebelum kedatangan Belanda. Dengan
menyerang onderneming-onderneming itu, orang Batak Karo berharap akan
mengakhiri perampasan hak-hak mereka dan meyakinkan pengusaha
onderneming bahwa mereka harus merundingkan kontrak-kontrak tanah di
wilayah Batak Karo dengan kepala suku masing-masing dan bukan dengan
sultan.40
Residen Belanda menyelesaikan pertentangan langsung antara sultan dan
kepala-kepala suku Batak Karo itu, dengan menetapkan bahwa : pembayaran
untuk konsesi-konsesi di wilayah Karo harus dibagi tiga bagian yang sama,
sepertiga untuk sultan, sepertiga untuk Datuk Batak Karo, dan diberikan
sepertiga untuk kepala-kepala desa dalam lingkungan konsesi.
D. Sengketa Pertanahan Antara Masyarakat dan Perkebunan Pada
Masa Konsesi di Sumatera Timur.
Sengketa pertanahan antara masyarakat dan perkebunan pada masa
konsesi di Sumatera Timur terjadi karena disebabkan adanya perbedaan
persepsi antara unsur-unsur yang berkepentingan dengan tanah yaitu
sultan, perusahaan perkebunan (onderneming) dalam menentukan siapa
yang berhak terhadap hak menguasai tanah di Sumatera Timur. Sultan
Melayu menganggap bahwa tanah adalah dikuasai oleh raja, dan raja adalah
pemilik semua tanah (vorstdomein), dan berhak memberikan tanah kepada
yang dianggapnya layak dan mampu menggarapnya dengan menyerahkan
upeti dari sebagian hasilnya kepada sultan. Pada sisi lain rakyat sebagai
kawula raja mempunyai prinsip bahwa tanah adalah milik adat yang
bersifat komunal (ulayat), sementara raja dalam hal ini memegang status
sebagai pemimpin adat, bukan sebagai penguasa/pemilik tanah.
39
40
Pewarta Deli, Boven Deli dalam Zaman Ciris, 10 Januari 1933, hal.2 kol.2-3. Koleksi
Perpustakaan Nasional Microfilm rol No.429/ PN. Periksa juga Gouvernement Besluit tanggal 30
Nopember 1920 nomer 42, bundel Algemeen Secretarie, koleksi ANRI Jakarta.
E.A. Halewijn, Geographische en ethnographische gegevens betreffendehet Rijk van Deli ,
Tijdschrift voor Indische Taal-, land-, en Volkenkunde, 23 (1876), hal. 147-152.
23
42
Periksa Suprayitno, Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia (Yogyakarta : Tarawang Press, 2001) hal.
57-58.
Keterlambatan proklamasi kemerdekaan RI di Sumatera Utara yang dilakukan pada tanggal 6
0ktober 1945 secara resmi ini disebabkan oleh sulitnya hubungan dengan Jawa dan berbagai
persiapan darurat yang harus dilakukan di Sumatera Utara. Tumbuhnya berbagai golongan yang
berkepentingan terhadap revolusi juga sangat mempengaruhi nuansa revolusioner dalam
pengumuman proklamasi itu.
24
Justus M. van der Kroef, Penguasaan Tanah dan Struktur Sosial di Pedesaan Jawa, dalam Sediono
M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan
Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa (Jakarta: Gramedia, 1984), hal. 163. Pada masa awal
berdirinya Republik, partai-partai politik banyak mencari pendukung di kalangan petani miskin
dan pemberian tanah menjadi senjata ampuh untuk menarik pengikut.
44
Pada mulanya delegasi Belanda menghendaki agar RI hanya berkuasa atas Jawa sementara luar
Jawa seluruhnya diletakan di bawah wewenang Belanda, dengan alasan RI tidak mampu mengatasi
revolusi sosial yang terjadi di Sumatera Timur. Namun di balik itu pemerintah Belanda bermaksud
menyerahkan kembali daerah perkebunan Sumatera Timur itu kepada para pengusaha perkebunan
lama yang berkepentingan dengan investasi modalnya di sana. Periksa Suprayitno, ibid., hal. 80.
45
Campur tangan PBB dalam persoalan Indonesia-Belanda ini menunjukan adanya pengakuan hukum
internasional terhadap keberadaan RI baik secara de facto. Periksa J.G. Starke, Pengantar Hukum
Internasional, terjemahan Bambang Iriana Djajaatmadja, edisi X (Jakarta: Sinar Grafika, 1995) hal. 173.
Dalam hal ini pengakuan atas RI didasarkan pada urgentie diplomatik, yakni bahwa justifikasi hukum
digunakan untuk menyebut status pengakuan ini meskipun secara fisik negara itu belum terbentuk.
25
47
48
26
perekonomian,
yang
terjadi
karena penyerahan
kedaulatan, dengan
persetujuan sebagai berikut : Bahwa hak konsesi dan izin yang diberikan
dengan sah, menurut hukum Hindia Belanda (Indonesia), yang pada waktu
penyerahan kedaulatan masih berlaku, maka Republik Indonesia Serikat (RIS),
mengakui Konsesi dan izin tersebut.
Dalam Persetujuan Keuangan dan Perekonomian Republik Indonesia
Serikat (RIS) dan Kerajaan Nederland, telah
memutuskan mengadakan
persetujuan antara lain sebagai berikut : Pada Bagian A tentang Hak,
Konsesi, Ijin dan Menjalankan Perusahaan, pasal 1 ayat (3) menyatakan :
a. Bahwa selama pendudukan Jepang dan kemudian selama masa revolusi telah
49
50
Lihat Rancangan Persetujuan Keuangan dan Perekonomian, yang telah disyahkan, dalam akta
Pernyerahan dan Pengakuan Kedaulatan, yang telah ditandatangani oleh Ratu Juliana di
Amsterdam tanggal 27 Desember 1949 . Dari pihak Indonesia Drs. Mohammad Hatta, ketua
Delegasi Republik Indonesia Serikat, bersama anggota-anggota delegasi, Dr.Mr. Supomo,
Sultan Hamid, Dr. Suparno, Dr. Mr. Kusumaatmaja, Dr. Sukiman Wiryosanjoyo, Mr. Suyono
Hadinoto, menyatakan atas nama Republik Indonesia Serikat, telah menerima penyerahan
kedaulatan, sesuai dengan akta penyerahan dam pengakuan kedaulatan .
Muhammad Tauchid, op cit, hal 34 .
27
51
52
53
28
54
55
56
57
tahun yang telah dibuat dan perlunya produk tanaman karet dan tembakau yang ditanam para
pengusaha sebagai sarana pemasukan devisa negara.
Periksa harian Perdamaian, Jakarta, 21 Juli 1951.
Tanah seluas 125 ribu hektar ini merupakan hasil kesepakatan antara Gubernur dengan pihak DPV
(Deli Plantation Vereeniging). Sebelumnya pihak DPV hanya mengusulkan 86 ribu hektar yang
akan diberikan kepada petani. Juga perlu dilakukan seleksi atas tanah-tanah yang diberikan sesuai
dengan kelayakan tanah untuk ditanami padi dan tanah yang ditanami tembakau. Periksa artikel
Tanah di Sumatera Timur akan Diseleksi dalam harian Waspada, Medan, tanggal 21 0ktober
1950.
Langkah Menteri Dalam Negeri ini bertujuan untuk sedikit demi sedikit menghapuskan bentuk
konsesi kepada perkebunan onderneming dengan batasan maksimal sewa tanah selama 30 tahun.
Begitu juga luas tanah yang disewa oleh onderneming dikurangi sampai separuh. Namun dengan
diterapkannya sistim baru ini semua aturan sewa tanah lama lenyap, termasuk sistim jaluran yang
sering diterapkan oleh onderneming bagi rakyat untuk menanam padi dan jagung. Periksa Harian
Rakyat tanggal 6 Agustus 1951.
Menurut desas-desus yang beredar oleh unsur-unsur komunis, 20 ribu orang petani kecil yang
menempati lahan perkebunan seluas 130 ribu hektar itu sejak jaman Jepang akan diusir dan
penempatan ke tempat lain oleh pemerintah dianggap sebagai perampasan lahan tidak sah
(onwettig) Berita ini dibantah oleh Sekdjen Departmen Dalam Negeri Mr. Sumarman. Periksa
Berita Indonesia Nomor 53/PN/M, tanggal 9 Mei 1953.
29
seperti dimaksud sub (a) yang oleh Perusahaan Perkebunan tembakau akan
diserahkan kembali kepada negara.
SK Gubernur No. 36/K/Agr, tanggal 28 September 1951 tersebut diatas
memutuskan antara lain sebagai berikut : 58
I. Tentang tanah-tanah ditepi jalan
Tanah-tanah ditepi jalan umum kiri kanan antara kota-kota Tanjung
Pura - Binjai;
dan Medan - Pancur Batu; selebar 250 meter dari tepi
jalan masuk ke dalam, dikembalikan kepada pemerintah.
tanah-tanah
Tanah-tanah perkampungan
sekarang
dan perluasannya,
buat
dikemudian hari selama 30 tahun, akan ditentukan dan diserahkan
kepada pemerintah.
58
59
Periksa SK. Gubernur Sumatera Utara tanggal 28 September 1952 Nomor 36/K/Agr.
Margo L. Lyon, Dasar-Dasar Konflik Di Daerah Pedesaan Jawa, Dalam Dua Abad Penguasaan
Tanah Pola Penguasaan Tanah di Jawa Dari Masa Ke Masa, di Sunting oleh Sediono MP.
Tjondronegoro, Gunawan Wiradi, (Jakarta : Gramedia, , 1984), hal 202-203 . Pada tahun 1950, di
Jawa dan daerah-daerah lainnya di Indonesia muncul persfekif lain mengenai masyarakat pedesaan
disuarakan dengan tajam dalam kampanye-kampanye PKI dan organisasi taninya yaitu : BTI yang
bertujuan membuat petani lebih sadar akan kedudukan material dan sosialnya. Untuk
mengorganisir mereka mengadakan aksi. PKI dalam program umum membuat resolusi yang
menyangkut masalah kaum tani. Salah satu masalah pertama yang dikemukakan adalah tanah
untuk petani kemudian dijadikan landasan program reformasi. Program ini dimulai dengan adanya
tekanan-tekanan untuk mendapatkan dukungan hukum atas hak penduduk liar diatas tanah
perkebunan.
30
sedikitnya suatu hektar sawah atau dua hektar tanah ladang, seperti
direncanakan oleh pemerintah buat sementara bisa diterima
mengingat alat-alat yang ada pada petani waktu ini.
2. kalau untuk mencapai maksud minimum seperti tersebut di atas
mengakibatkan perpindahan, harus diadakan persiapan yang
saksama.
3. tanah gantinya harus sudah disediakan lebih dahulu dengan
ketentuan:
a. tanah yang baik untuk pertanian dan kediaman, mengingat kesuburan
dan kesehatan;
b. cukup luasnya untuk pertanian dan perumahan;
c. tanah itu sudah dapat segera mulai dikerjakan (ditanami) pada waktu
orang ini pindah;
4. untuk keperluan kepindahan dan keperluan selanjutnya supaya
pemerintah membantu:
a. biaya untuk pindah/angkutan dll.;
b. biaya mendirikan rumah, hingga dapat mempunyai rumah kembali
sepadan dengan rumahnya yang lama;
c. biaya hidup selama menunggu hasil tanahnya yang baru;
d. alat-alat yang diperlukan; alat-alat mendirikan rumah kembali, alatalat pengangkutan dan perhubungan, alat-alat mengerjakan tanah,
pinjaman lembu dll.;
e. kredit, tidak berbunga untuk modal mengusahakan tanahnya;
5. DPV yang 125.000 ha dengan memperpendek waktu rotasi (dengan
rotasi 5 tahun cukup dijamin tanah 75.000 ha);
tempat yang baru harus mewujudkan desa yang baru dan sempurna
perlengkapannya dengan disediakan tanah untuk penggembalaan, ibadat,
sekolah, rumah, pengobatan, lapangan olahraga dsb.60
60
31
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
menuntut
KPPT menolak usul tersebut karena jika diwujudkan, akan menjadi preseden
jelek yang akan menghancurkan program pemukiman kembali.
Sekretariat bersama, mempersoalkan kasus hukum dari peristiwa ini.
Koran-koran Medan memperoleh kesempatan meningkatkan kampanye melawan
Gubernur Hakim dan KPPT, dengan memutarbalikkan fakta bahwa insiden
tersebut disebabkan campur tangan
asing yang menolak untuk mematuhi
pemerintah, dan dengan demikian menghalangi kerja Dinas Pertanian Provinsi.
Unsur-unsur sayap kiri dalam tubuh PNI dan Komunis khususnya,
mempergunakan kasus peristiwa Tanjung Morawa sebagai alasan untuk
menyerang seluruh kebijaksanaan agraria pemerintah pusat.65
61
62
63
64
32
Terhadap serangan ini, Mohammad Roem membela diri dengan mengatakan bahwa pemerintah
tidak terkait langsung dengan peristiwa Tanjung Morawa karena tanah-tanah yang disengketakan
secara yuridis masih di bawah penguasaan hak bangsa asing dan serangan yang ditujukan melalui
alasan peristiwa ini mengandung tendensi menentang kebijakan pemerintah atas tanah di Sumatera
Timur. Roem menyatakan bahwa pemerintah telah mengambil langkah yang sesuai dengan
prosedur hukum, yakni dengan menempuh jalur kekeluargaan melalui pengutamaan asas
musyawarah mencapai mufakat. Namun cara tersebut ditolak oleh para penghuni liar, sehingga
pemerintah segera mengambil tindakan hukum yang sah. Periksa Roem bela keganasan di Tg.
Morawa, dalam Sinpo, tanggal 10 April 1953, koleksi Perpustakaan Nasional RI.
66
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria
Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan ; Jakarta, 1999, hal. 112.
67
Karl. J. Pelzer, Palnters agaiants peasents Teh Agrarian Struggle in East Sumatera, 1947-1959,
diterjemahkan oleh Bosco Carvallo, Sengketa Agraria Pengusaha Perkebunan Melawan Petani,
Sinar Harapan, Jakarta, 1991, hal. 27.
68
Tindakan pengusiran dilakukan terhadap para petani penggarap tanah-tanah milik perkebunan
tembakau di Asahan, Serdang, Langkat dan Semulujun menurut laporan dari Front Tani Indonesia.
Pengusiran dilakukan oleh aparat pemerintah dengan alasan tanah tersebut dikembalikan kepada
para pengusaha perkebunan yang telah mencapai kesepakatan untuk meneruskan usahanya
berdasarkan perjanjian KMB. Periksa 20.000 Petani diusir dari perkebunan2, dalam harian
Berita Indonesia, tanggal 8 Mei 1952 koleksi Perpustakaan Nasional Nomor 53/PN/M.
33
Stbd.1948 No. 110. Ordonantie ini melarang pemakaian tanah tanpa izin yang
berhak dengan memberikan ancaman hukuman pidana.
Setelah Indonesia kembali kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan UUDS 1950, Negara Sumatera Timur dibubarkan dan dirubah
menjadi Provinsi Sumatera Utara. Keadaan ini membuat penghuni liar/penggarap
tanah perkebunan semakin bertambah dengan ditegakkannya prinsip equality
before Teh law yang berarti adanya persamaan hak terhadap semua warga
negara dengan tidak membedakan penduduk asli, imigran, dan penggarap liar.
Meskipun ada ketentuan Undang-Undang Darurat No 8 tahun 1954
tersebut diatas, dalam pelaksanaannya ternyata tidak dapat menyelesaikan
masalah pemakaian tanah perkebunan tanpa izin yang berhak. Bahkan
penggarapan tanah perkebunan oleh rakyat semakin banyak.69
Pada tahun 1957 dengan maksud yang sama dengan undang-undang
tersebut di atas, mengenai tanah yang bukan perkebunan dikeluarkan oleh
Kepala Staf Angkatan Darat selaku penguasa militer atas daerah di seluruh
wilayah Republik Indonesia. Hal ini didasari oleh Peraturan Penguasa Militer No.
Prt/PM/014/1957. Peraturan ini dikeluarkan berdasarkan Regeling op de Staat
van Oorlogen van Beleg yang diatur dalam Stbd. 1939 No. 582, disamping mulai
berlakunya Undang-Undang Keadaan Bahaya Tahun 1957 (LN 1957 No. 160),
namun peraturan tersebut diganti dengan Peraturan Penguasa Perang Pusat No.
Prt/Perppu/041/1958 tentang larangan pemakaian tanah tanpa izin pemiliknya
atau kuasanya.70
Sebagai akibat dari kegagalan perundingan antara pemerintah RI dengan
pihak Belanda mengenai sengketa masalah Irian Barat, pemerintah Indonesia
mengambil tindakan dengan menasionalisasi semua aset ekonomi dan usaha
warga Belanda di wilayah Indonesia termasuk tanah-tanah perkebunan di Pantai
Beberapa organisasi massa khususnya yang berafiliasi
Timur Sumatera.71
69
Kasus ini terjadi antara tanggal 23 dan 24 Mei 1956 ketika para petani sebanyak 17 orang dari
Bangunsari, Kecamatan Sunggal dituntut oleh pengadilankarena melanggar UU Darurat Nomor 8
tahun 1954 pasal 13, yakni menggarap tanah perkebunan Timbang Langkat tanpa seijin dari
pemerintah. Sebanyak 14 orang dijatuhi hukuman denda masing-masing Rp 50 atau kurungan
selama 5 hari. Mereka yang tidak hadir dalam sidang dijatuhi hukuman denda Rp 75 dan kurungan
selama 7 hari. Periksa artikel Banjak Petani2 jang mengambil tanah dihukum di Bindjai dalam
harian Waspada, 26 Mei 1956, koleksi Perpustakaan Nasional RI.
70
Boedi Harsono, Loc.cit., hal. 113 Dasar dari dikeluarkannya peraturan ini salah satunya adalah maklumat
bersama yang dikeluarkan oleh Kolonel Simbolon sebagai panglima Daerah Militer I Sumatera dan Dr.
Mansur Wali Negara Sumatera Timur tanggal 22 Mei 1950 Nomor 248/1950 yang di antaranya melarang
penghunian secara tidak sah atas tanah-tanah bekas milik onderneming dan meletakan tanah-tanah ini di
bawah perlindungan militer. Periksa harian Waspada, 22 Mei 1950.
71
Seperti yang telah diketahui, bahwa salah satu klausule yang dimuat dalam perjanjian KMB adalah
bahwa pemerintah Indonesia wajib menanggung semua beban hutang milik bekas pemerintah
Hindia Belanda dan wajib melindungi semua aset ekonomi warga Belanda yang telah ditanamkan
berdasarkan kontrak sewa jangka panjang sejak sebelum perang, hingga masa sewa tersebut
berakhir. Hal ini akan diatur kembali setelah adanya infrastruktur yang akan mengatur masalah itu
termasuk tentang hak sewa turun-temurun (erfacht). Periksa Ichtisar Mingguan KMB, dalam
harian Waspada, Medan, 9 Januari 1950.
34
73
74
75
76
Tuntutan ini dimunculkan dalam kongres Sarbupri-Sobsi ke-4 di Malang tanggal 6-9 Juni 1956
yang mendesak kepada pemerintah agar segera menguasai perkebunan-perkebunan Belanda setelah
habis masa sewanya dan mencegah perpanjangannya sekaligus menyita seluruh milik Belanda
sebagai imbangan atas penguasaan Belanda di Irian Barat. Periksa artikel Kuasai Kebun2 Belanda
jang Habis Erfachtnja dalam harian Waspada, Medan, tanggal 14 Juni 1956, koleksi Perpustakaan
Nasional RI
Ini dimulai dalam pertemuan para perwira Simbolon di Medan pada tanggal 4 Desember yang
diikuti dengan pengambilan sumpah 48 perwiranya terhadap tujuan Simbolon tanggal 16 Dsember
1956. Tujuan utama Simbolon di samping menuntut perhatian pusat bagi pengolahan kekayaan
daerah adalah juga untuk menyelamatkan pemerintahan dari ancaman pengaruh komunis yang
mulai terasa, khususnya di Sumatera Utara. Periksa Herbert Feith, op.cit., hal. 526.
Kelompok penggarap tanah liar yang tersusupi komunis ini mendukung perwira bawahan Simbolon
Letnan Kolonel Wahab Macmour yang bermarkas di Siantar untuk meninggalkan Simbolon dan
mengambil alih kekuasaan militer di Sumatera Utara. Dengan demikian pada masa ini terjadi
konflik politik yang diwarnai dengan pertentangan etnis dan kepentingan ekonomi sebagai akibat
dari kelemahan pusat atas semua pelaksanaan program pemerintah di Sumatera Utara. Periksa,
Herbert Feith, ibid., hal. 529.
Nasionalisasi tersebut dilakukan oleh pemerintah Indonesia sebagai reaksi dari gagalnya
perundingan antara pemerintah RI dan pemerintah Belanda tentang penyelesaian masalah Irian
Barat, di mana pemerintah Belanda tidak bersedia melepaskan wilayah Irian Barat dan
menjadikannya sebagai lahan kolonisasi. Periksa Herbert Feith, op.cit., hal. 450.
Periksa Majalah Menara Perkebunan th ke-27 Nomor 1 - Jakarta, diterbitkan oleh
Perkumpulan Organisasi-Organisasi
Perkebunan dan Balai Penyelidikan Perkebunan di
Indonesia, Januari 1958, hal 18.
35
Belanda.77
D. Tanah Negara Versus Tanah Adat
Dalam konsepsi hukum tanah nasional sebagaimana diatur dalam pasal 1
ayat 1 UUPA Nomor 5 tahun 1960 yang menyatakan:
Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat
Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
Dan dalam pasal 1 ayat 2 dinyatakan pula dengan tegas:
Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia
Tuhan yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa
Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
Pada pasal 2 ayat 1 ditegaskan pula bahwa semua bumi, air, dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi
dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat. Dalam hal ini negara
sebagai lembaga hukum menerima wewenang dari hukum dasar tertinggi untuk
melaksanakan hak penguasaan atas tanah (medebewind). Semua tindakan yang
diambil oleh negara diarahkan bagi kepentingan negara dan tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan nasional. Wewenang ini juga bisa dijadikan
sebagai sumber penghasilan negara tersebut.348
Dalam pasal 2 ayat 2 dikatakan bahwa hak penguasaan oleh negara
dimaksud mencakup wewenang untuk mengatur dan menyelenggarakan
peruntukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang
angkasa tersebut. Kemudian negara berwenang juga mengatur dan menentukan
hubungan hukum antara manusia dengan air, bumi dan ruang angkasa itu.
Negara juga berwenang untuk menentukan dan mengatur hubungan antara
orang dan tindakan hukum yang menyangkut bumi, air dan ruang angkasa di
wilayah hukumnya.78
Semua wewenang yang diberikan oleh perundangan ini kepada negara
dilaksanakan dalam hubungan hukum yang bersifat publik semata-mata
(publiekrechtelijk). Hak ini dijalankan oleh negara tanpa dapat ditafsirkan lain
dan digunakan untuk kepentingan nasional bangsanya. Karena menyangkut
kehidupan berbangsa dan bernegara, maka wewenang yang bersifat publik ini
tidak bisa dilimpahkan kepada kekuasaan di luar negara.79
77
348
78
79
36
dibuat sah menurut hukum atau dikeluarkan oleh lembaga hukum yang diberi wewenang oleh
negara untuk itu.
80
Periksa pasal 2 ayat 3 UUPA Nomor 5 tahun 1960; Periksa juga penjelasan umum II nomor 3. Hak
ulayat ini tidak memiliki bukti yuridis formal yang sering menimbulkan kesulitan dalam
penyesuaian penerapan hukum nasional tentang agraria tersebut.
81
Pasal 3 UUPA Nomor 5 tahun 1960.
82
Periksa penjelasan umum II nomor 3 UUPA Nomor 5 tahun 1960.
37
dengan hukum agraria nasional yang digunakan oleh negara. Menurut hukum
adat, tanah sangat penting kedudukannya dalam kehidupan masyarakat baik
secara sifat maupun fakta yang ada. Menurut sifatnya, tanah merupakan satusatunya benda kekayaan yang bersifat tetap atau menguntungkan.
Sistem pemilikan penguasaan tanah berdasarkan hukum adat sangat
berbeda dengan hukum agraria nasional. Menurut hukum adat tanah merupakan
satu-satunya benda kekayaan yang bersifat tetap atau menguntungkan.
Masyarakat adat menganggap tanah sebagai suatu kekayaan bersifat sakral
dengan demikian masyarakat memberikan sifat religius magis dalam hak
penguasaan tanah ini. Di sisi lain, bahwa hak ulayat itu mempunyai bentuk yang
bermacam-macam, tergantung berlakunya hukum adat di seluruh wilayah
Indonesia. Hukum adat berlaku keluar dan ke dalam. Berlaku keluar, pada
prinsipnya yang bukan warga persekutuan tidak diperbolehkan menggarap tanah
dan memungut hasil hutan yang merupakan hak persekutuan yang
bersangkutan. Berlaku ke dalam, hak ulayat itu mempebolehkan semua anggota
persekutuan untuk menggarap dan memungut hasil dari tanah ulayat tersebut.
Hak ulayat mengenal hak turun temurun bagi anggota persekutuan yang
telah mengerjakan/ menggarap tanah ulayat itu secara terus menerus. Tetapi
hak ini akan hilang bila anggota persekutuan itu telah meninggalkan
(salipinatartar) atau mentelantarkan tanah yang telah digarapnya itu, maka
anggota persekutuan yang lain dapat mengerjakan tanah tersebut dengan seizin
pengetua adat.
Dalam sistem hukum tanah nasional, seseorang dapat memperoleh hak
milik yang juga dapat diwarisi secara turun temurun. Namun pada dasarnya
pemberian hak milik itu, berlaku untuk seluruh bangsa Indonesia yang tidak
tergantung pada anggota persekutuan atau tidak. Disamping itu prosedur
pemberian dan peralihan haknya dilakukan berdasarkan sistem hukum barat,
misalnya berdasarkan BW/ KUH Perdata, dengan demikian dalam prakteknya
selalu dapat dipertentangkan antara hak penguasaan tanah berdasarkan hulum
adat dengan hak penguasaan tanah berdasarkan hukum agraria nasional atau
dapat dipertentangkan antara tanah yang dikuasai negara dengan tanah adat.
III. Sengketa Tanah Perkebunan PTPN-II dan PTPN-III Sumatera Utara
Versus Masyarakat.
Dalam rentang waktu 1960 - 2002 dapat ditemukan beberapa kasus
sengketa pertanahan antara masyarakat penggarap versus perkebunan
didasarkan atas sumber dari masmedia83 dan sumber dari PTPN II, PTPN III, BPN
Kanwil Tk.I Sumatera Utara sebagai berikut :
Waspasa, Medan, 1 Juni 1977; Sinar Harapan, Jakarta, 3 Juli 1979; Waspada, Medan, 2 September
1979, 3 September 1979, 5 September 1979; Kompas, Jakarta, 8 Oktober 1979; Waspada, 2
Januari 1980; 2 Juli 1982 dan Kompas, Jakarta, 24 September 1995.
38
C. Sengketa Karena Tuntutan Perumahan dan Perkarangan EksKaryawan Pensiunan Perkebunan Versus PTPN-II Sumatera Utara.
A. Konflik Kepentingan.
Konflik kepentingan antara pemerintah, perkebunan dan rakyat atas
tanah berdasarkan historis terjadi karena adanya kompleksitas persoalan
pertanahan yang disebabkan oleh adanya penduduk yang heterogen, yaitu yang
terdiri atas suku Melayu, Batak Karo dan Simalungun. Disamping itu ada suku
Jawa, bekas kuli kontrak dan golongan Cina.
Konflik kepentingan muncul antara penduduk Melayu, Batak Karo dan
Batak Toba terhadap tanah diaareal perkebunan, dimana masing-masing
bertindak sebagai petani penggarap (konflik horizontal) dan adanya kepentingan
pihak pengusaha perkebunan untuk mempertahankan areal konsesi atau hak
Erfacht/ HGU mereka, yang bernuansa ekonomi untuk memperoleh keuntungan
(konflik vertikal). Disamping itu muncul kepentingan pengusaha untuk
menertibkan para penggarap diatas tanah perkebunan. dalam rangka
membangun perekonomian sebagai negara yang baru merdeka, pemerintah
cenderung untuk melindungi pihak pengusaha perkebunan daripada rakyat
penggarap. kenyataan ini akhirnya menimbulkan sengketa diantara pihak rakyat
penggarap, pemerintah dan pengusaha perkebunan.
Konflik antara rakyat penggarap dengan pengusaha perkebunan juga
tidak terlepas dari akibat pendudukan Jepang yang memberikan izin kepada
rakyat untuk menggarap tanah perkebunan.
39
B.
40
41
Sehingga pada masyarakat Sumatera Timur yang masih mengakui adanya hak
ulayat, penerapan dan pengertian dari sistim hukum tersebut, di kalangan
masyarakat adat masih kabur. Disamping itu model dalam penerapan UUPA dan
kebijakan-kebijakan pemerintah, hanya diberikan oleh pembuat undang-undang
kepada pelaksana hukum, dengan mekanisme kontrol penerapan sanksi, atas
pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat. Tanpa mempertimbangkan
kenyataan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Ternyata sanksi hukum tidak
dapat menghentikan sengketa pertanahan, baik tuntutan berdasarkan hak
ulayat, maupun tuntutan berdasarkan okupasi tanah yang telah dilakukan secara
terus-menerus dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama.
Penggarapan di atas tanah perkebunan oleh masyarakat adat maupun
oleh petani penggarap terus berlangsung, walaupun sudah banyak peraturanperaturan dan kebijakan pemerintah yang dikeluarkan untuk mengantisipasi agar
tidak terjadinya tindakan penggarapan, baik dari BPRPI maupun dari para petani
penggarap. Sengketa pertanahan di Sumatera Utara sampai sekarang belum
dapat diselesaikan secara tuntas karena permasalahan yang dihadapi sangat
rumit sehubungan dengan sejarah keberadaan peraturan perundang-undangan
dan kebijakan yang berlaku di Sumatera Utara khususnya mengenai sengketa
tanah perkebunan yang antara lain sebagai berikut :
1. Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954 Tentang Soal Pemakian
Tanah Oleh Rakyat.
2. Undang-Undang No. 51 Prp Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian
Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya.
Kedua
peraturan
perundang-undangan dan kebijakan pemerintah
tersebut, silih berganti telah terjadi perubahan Perundang-undangan dan
kebijakan mengenai tanah perkebunan, baik yang dilakukan secara fundamental
maupun secara tambal sulam.
Menurut Solly Lubis, bahwa konseptualisasi yang tidak mendasar dan
tanpa perkiraan strategis, dapat menimbulkan perundang-undangan yang
bersifat tambal sulam dengan daya atur yang kurang tahan lama. Sebagai
contoh, undang-undang agraria bukan sekedar fenomena hukum dan produk
politik pertanahan, tetapi juga mempunyai dimensi ekonomis, sekaligus
dimensi budaya seperti misalnya tanah ulayat dan tanah jaluran. Dimensi
politik penataan pendidikan dan penggunaan tanah sebagai jawaban terhadap
politik pertanahan di masa kolonial yang melihat tanah sebagai penguasa dan
ekonomi kuat. Melalui pendekatan kultural pembinaan hukum dilihat bukan
sekedar pergeseran waktu dari zaman kolonial ke zaman kemerdekaan,
tetapi adalah juga pergeseran nilai yang kita anut kedalam kontstruksi hukum
nasional.84
Sehubungan dengan pendapat tersebut diatas, pelaksanaan UUPA
No. 5 Tahun 1960. Khusus mengenai keberadaan hukum adat tentang hak
ulayat dan tanah jaluran di areal perkebunan PTPN Sumatera Utara, ternyata
tidak taat azas, bahkan bertentangan dengan filosofi hukumnya. Pemahaman
atas unsur filosofis UUPA No. 5 Tahun 1960, memegang peranan sentral
sebagai pemahaman dan penilaian yang benar atas semua peraturan
hukum yang bersangkutan dengan tanah. Selama pemahaman atas filosofis
84
Solly Lubis, Serba-Serbi Politik dan Hukum, (Bandung : Mandar Madju, 1989), hal 48-49 .
42
UUPA yang bersumber pada filosofis adat, tidak dipahami dengan baik, maka
kerancuan dan pertentangan norma dalam penerapan hukumnya akan terus
berlangsung. Kerancuan ini berdampak pada sistem administrasi dan sistem
pertanahan yang akhirnya akan menimbulkan rasa tidak puas dari masyarakat,
karena bertentangan dengan rasa keadilan.
Kenyataan ini berlangsung sampai saat sekarang, karena para penegak
hukum mengabaikan pemahaman tentang filosofis hukum adat tanah, sebagai
dasar UUPA No. 5 Tahun 1960. Dalam praktek, penafsiran atas norma hukum
UUPA sering dilandaskan hanya pada Hukum Barat (BW/KUHPerdata). Oleh
karena itu, ketika berhadapan dengan persoalan tanah, maka sumber
jawaban selalu dicari pada BW/KUHPerdata, dengan prakyek Administrasi
Kolonial Belanda yang Kolonialis. Jika berpegang pada filosofis Hukum Barat,
maka jiwa UUPA telah dihancurkan, dimana penegak hukum menempatkan
dirinya sebagai lawan, dan bukan fasilitator
atas aspirasi rakyat. Hal ini
berdampak pada pertentangan antara masyarakat dengan penguasa yang sukar
mencari penyelesaiannya. Sebabnya adalah karena adanya perbedaan sumber
inspirasi norma hukum yang berbeda dan saling bertentangan antara sumber
yang digunakan, antara sumber yang digunakan para penegak hukum yaitu
hanya sebatas hukum positif (ius constitutum ) dengan persepsi dan aspirasi
masyarakat, tentang bagaimana seharusnya hukum tanah itu harus dilakukan
(ius constituendum) diterapkan.
Seyogyanya, beberapa peraturan yang terkait mengenai penyelesaian
sengketa pertanahan, yang diterbitkan sebagai peraturan pelaksanaan dari
UUPA. Untuk menyelesaikan sengketa antara masyarakat adat dan petani
penggarap dengan PTPN, harus dibuat sesuai dengan jiwa/filosofis dari UUPA
secara mendasar dan menyeluruh. Tidak dilakukan hanya secara praktis dan
pragmatis yang hanya mendahulukan bidang-bidang yang paling mendesak,
sesuai dengan tuntutan yang terjadi pada suatu saat tertentu, misalnya hanya
memandang kepentingan pembangunan ekonomis dan kepentingan pengusaha
besar, yakni misalnya kepentingan pengusaha perkebunan PTPN.
Keberadaan peraturan
yang
dibuat
atas dasar kepentingan yang
mendesak/darurat, misalnya Undang-Undang Darurat Prp. No.56 Tahun 1951
dan beberapa peraturan lainnya yang terkait, sudah barang tentu sukar
untuk diterapkan, bahkan
selalu
menimbulkan ketidakpuasan masyarakat
(penggarap) karena bertentangan dengan rasa keadilan.Tetapi dengan
berlakunya peraturan tersebut, yang masing-masing telah menimbulkan akibat
hukum dan menimbulkan
hak tertentu bagi masyarakat maupun
pihak
perkebunan. Akibat hukum yang ditimbulkan, dengan sendirinya hapus,
walaupun telah terjadi perubahan perundang-undangan maupun kebijakan.
Oleh karena itu, hak-hak masyarakat yang telah ada akibat dari undangundang yang terdahulu masih tetap melekat, sepanjang undang-undang yang
baru belum dapat menyelesaikannya sesuai dengan aturan peralihan yang ada
dalam undang-undang tersebut.
3. Pedoman Menteri Agraria No.1 Tahun 1960, Tentang Penyelesaian
Sengketa Pemakaian Tanah Perkebunan di Sumatera Timur.
Berdasarkan Pedoman Menteri Agraria No.1 Tahun 1960, Tentang
Penyelesaian Sengketa Pemakaian Tanah Perkebunan di Sumatera Timur,
antara lain mengatur bagi orang-orang pemakai tanah perkebunan yang
43
termasuk golongan
yang dilindungi oleh Undang-Undang Darurat No. 8
Tahun 1954, dipindahkan ke tempat-tempat penampungan
yang telah
disediakan bagi mereka.
Penampungan bagi orang-orang tersebut
diusahakan sedemikian
rupa, sehingga mereka ditempat yang baru itu mendapatkan mata pencaharian,
sebagai buruh perkebunan atau petani
untuk kepentingan hidupnya dan
tempat
pekarangan yang
cukup luas. Tiap-tiap keluarga
petani
yang
dipindahkan
mendapat
pembagian
tanah
pertanian, yang
menjamin
hidupnya secara layak. 85
Berdasarkan ketentuan tersebut, jelas bahwa bagi penggarap tanah
perkebunan tetap dilindungi, dan tidak dapat digusur dengan begitu saja
oleh pihak perkebunan. Namun dalam pelaksanaannya, ternyata masyarakat
adat dengan tuntutan hak ulayatnya dan petani penggarap, yang dilindungi
dengan Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954, banyak yang tergusur,
bahkan mengalami intimidasi dari penguasa perang ketika itu. Misalnya
penguasa pelaksana DWIKORA daerah Sumatera Utara.
Di samping itu, Pedoman Menteri Agraria tersebut menegaskan bahwa,
untuk tanah jaluran yang menimbulkan persengketaan yang tak habis-habisnya
antara rakyat penunggu, buruh/tani dan Perkebunan.
Mengingat
makin
bertambah kecilnya tanah jaluran, berhubung adanya
wens-areal, maka
adanya persediaan
tanah itu tidak cukup lagi untuk dibagi diantara
mereka yang menghendakinya. Oleh karena itu, pembagian tanah jaluran
harus segera dihapuskan86. Ketentuan tersebut dilanjutkan dengan Pedoman
Menteri Pertanian dan Agraria No. II Tahun 1963, yang menegaskan bahwa :
tanah-tanah jaluran yang ada setelah wens-areal perkebunan-perkebunan yang
bersangkutan, ditetapkan tidak boleh dibagi lagi menurut cara yang lama.
4. Pedoman
Tentang.
Menteri
Pertanian dan
Agraria
No. II
Tahun
1963
85
86
44
Petani ialah orang baik yang mempunyai tanah sendiri, yang mata
pencaharian pokoknya adalah mengusahakan tanah pertanian.
Petani itu bertempat tinggal di desa yang terdekat dengan perkebunan
tembakau dan dalam satu kecamatan dengan kebun yang bersangkutan.
Luas tiap bagian adalah 1/2 Ha.
Pengusahaan tanah oleh petani berlaku untuk selama 6 bulan.88
Mariam Darus, Dalam Mahadi, Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-Hak Suku Melayu Atas
Tanah di Sumatera Timur Tahun 1800-1975 , (Bandung Alumni, 1976),hal 166 .
88
Lihat Mahadi, Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-Hak Suku Melayu Atas Tanah di Sumatera
Timur ( Tahun 1800 - 1975 ) , Alumni, Bandung, 1976, hal 169
89
Lihat SK Panitia Landreform Provinsi Sumatera Utara, No.961/LR/1969, bagian I dan II
45
lain,
adanya
90
46
91
Lihat Pajakun Nawi, Sejarah Tembakau Deli, Skripsi Fakultas Hukum USU, Medan,1972.
Periksa, arktikel Putusan Gubernur Sumatera Utara Ditolak?, dalam harian Duta Masyarakat,
13 Agustus 1968.
93
Periksa, artikel Tanah Sumatera Bagian Timur Gubernur Didesak Turun, dalam harian Duta
Masyarakat, 26 Juli 1968.
92
47
2.
3.
Surat Keputusan Menteri Agraria No. 24/ HGU/ 65 adalah ketetapan yang
dalam hukum Administratif mengatur hubungan hukum antara negara dan
P.P.N Tembakau Deli, jadi tidak mengatur hak orang lain, sehingga dengan
demikian surat keputusan itu tidak mungkin menghapuskan hak rakyat
penunggu sebagai pihak ketiga, apalagi hak rakyat penunggu itu
berdasarkan hukum adat.
Keputusan Gubernur Sumatera Utara No. 370/ III/ GSU tanggal 16 Juli 1968
tidak mempunyai akibat hukum. Pemakaian tanah jaluran dapat
dilangsungkan tanpa merugikan perkebunan, asal diatur secara khusus
dengan peraturan yang khusus.
Seandainya ada kepentingan yang lebih tinggi/nasional hak rakyat penunggu
sebagai lembaga hukum adat, perlu dihapuskan maka jalannya ialah :
a. Masyarakat hukum adat itu sendiri menghapuskannya.
94
48
Lihat keputusan Seminar Tanah Jaluran, tanggal 22 September 1968, pada point IV, V, VI dan VII.
Mengenai kasus tersebut, telah diuraikan dalam diskripsi kasus.
99
Periksa kasus areal Perkebunan PTPN-II, III dan IV, Mengenai Penggarapan yang dilakukan
oleh petani penggarap, BPRPI , dan ex-karyawan perkebunan, yang sampai sekarang belum
dapat diselesaikan .
100
Tuntutan rakyat penggarap yang mengakui sebagai petani berdasarkan reformasi 1998, yang
saat ini semakin marak terjadi di beberapa areal perkebunan.
98
49
waktu yang cukup panjang sampai saat ini. Akibatnya mempengaruhi sikap
perilaku masyarakat (legal behavior) yang tidak mematuhi hukum dan
bertambahnya kuantitas masyarakat penggarap dari waktu ke waktu, disebabkan
karena tidak efektifnya hukum yang berlaku. Hukum telah kehilangan fungsi
sebagai alat kontrol sosial dari pemerintah dan tidak berhasil untuk mendorong
prilaku yang berguna, atau mencegah terjadinya penggarapan tanah tanpa izin
yang berhak atau kuasanya. Pada kasus-kasus yang dikemukakan di atas,
menunjukkan bahwa semua peraturan dan kebijakan pemerintah yang telah ada
tidak dapat dilaksanakan atau telah menjadi peraturan hukum yang mati (dead
letter).
Perubahan peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh
pemerintah secara tambal sulam, cenderung hanya untuk kepentingan birokrasi
dan kepentingan pengusaha perkebunan. Musyawarah yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum, pihak perkebunan dan masyarakat hanya bergantung
pada persepsi penguasa hingga penerapan sanksi menjadi terbatas pada
masyarakat sebagai petani penggarap.
Faktor politik dan ekonomi merupakan salah satu faktor terjadinya
sengketa pertanahan di Sumatera Utara dan merupakan salah satu faktor
sulitnya menemukan penyelesaian sengketa tersebut, dimana sengketa lama
belum dapat diselesaikan, tetapi sengketa baru selalu muncul kembali. Adanya
persaingan politik (rivalitas politik) sejak zaman kesultanan dan zaman kolonial
sampai sekarang, merupakan salah satu penyebab timbulnya sengketa yang sulit
diselesaikan. Pada masa kesultanan adanya persaingan antara sultan dan
pemerintah kolonial dalam mempengaruhi masyarakat khususnya, mengenai
perlindungan hak ulayat masyarakat yang berada di areal konsesi onderneming.
Pada mulanya sultan dan pengusaha onderneming mewujudkan hak ulayat
masyarakat di atas areal konsesi dengan memberikan tanah jaluran kepada
masyarakat penunggu. Tetapi dalam pelaksanaan pembagian tanah jaluran,
ternyata sultan dan pihak onderneming telah berkoalisi ikut memanfaatkan tanah
jaluran. Sultan mengambil jatah tanah jaluran buat kerabat kerajaan dan juga
memberikannya kepada petani-petani pendatang yang membayar sewa baik
berupa hasil panen maupun uang. Sedangkan pihak onderneming memanfaatkan
tanah jaluran untuk diberikan kepada kuli kontrak suku Jawa dan China, dengan
mendapat imbalan dan membeli hasil panen dengan harga murah untuk
kepentingan kuli perkebunan serta menyewakan tanah jaluran kepada orang
China untuk kedai-kedai.
Akibat kondisi ini, posisi rakyat penunggu dari sudut ekonomi semakin
terjepit, karena tanah jaluran sebagai lahan pertanian untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka, semakin berkurang. Disamping itu pemerintah kolonial
mempunyai kepentingan politik untuk menanamkan kekuasaannya dan
menghancurkan hegomoni Sultan Deli, yaitu dengan membiarkan orang-orang
Imigran dari Batak Toba, suku Karo yang berasal dari pegunungan untuk
menggarap tanah jaluran, sehingga terjadi konflik antara para pendatang dengan
rakyat penunggu.
Situasi dan kondisi demikian itu, dalam pelaksanaannya pemerintah
kesultanan (Zelfbestuur) dan pemerintahan kolonial selalu bertindak mendua
terhadap rakyat penunggu, misalnya sultan di satu sisi melindungi hak ulayat
masyarakat, tapi di sisi lain dia juga melindungi kepentingan onderneming
sebagai pemasuk devisa bagi pemerintahan sultan, begitu juga sebaliknya yang
50
51
Sungai Ular Kabupaten Deli Serdang sampai Sungai Wampu Kabupaten Langkat.
Silih berganti penyelesaian telah dilakukan, tetapi bermunculan pula penggarappenggarap baru, disebabkan tidak adanya kepastian hukum dalam penyelesaian
sengketa tersebut.
52
D. Mencari Penyelesaian.
Masa pemerintahan Suharto yang dikenal dengan rejim Orde Baru
melandaskan semua pelaksanaan kebijakannya pada pilar birokrasi sipil dan
kekuatan militer. Aparat birokrasi dan pasukan militer menjadi para pelaku
utama kebijakan pemerintah yang diterapkan sebagai demi kepentingan negara.
Berdasarkan konsep bahwa ABRI adalah Bhayangkari negara yang siap
mengamankan semua kepentingan pemerintah dari segala ancaman, militer
memiliki peluang untuk terlibat dalam segala urusan yang menyangkut
101
Pemerintah Daerah Sumatera Utara, Kebijakan Pemerintah Sumatera Utara Untuk Mengatasi
Penyelesaian Konflik Pertanahan Di Sumatera Utara (Klaim Masyarakat Hak Ulayat, Masyarakat
Hukum Adat) Disampaikan pada acara Seminar Keberadaan Hak Ulayat Melayu di Sumatera
Utara, di Gedung Bina Graha Sumatera Utara, tanggal 2 Februray 2002, hal. 6.
53
102
Periksa Brigjen Ismail: Dalam dekade 80-an masalah tanah sangat rawan dalam harian Waspada
tanggal 30 Januari 1980.
103
Meskipun penyebutan kelompok atau golongan atau pihak tertentu ini tidak memiliki definisi yang
jelas, namun konotasi umum pada saat itu mengarah pada kekuatan kiri atau eks-PKI yang
bergerak di bawah tanah sebagai bahaya laten dengan tujuan untuk menghambat pembangunan dan
bergerak di kalangan massa rakyat petani. Konotasi umum yang berlaku ini sangat berpengaruh
pada opini masyarakat bahwa mereka yang melakukan penyerobotan tanah ini bisa disamakan
dengan aksi-aksi sepihak oleh PKI sebelum tahun 1965. Periksa Hindari Kekerasan dalam Soal
Tanah dalam harian Sinar Indonesia Baru, tanggal8 Agustus 1979.
104
Menarik untuk disimak dalam hal ini tulisan dalam harian Analisa tanggal 3 September 1979
dengan judul 0perasi Sadar Berjalan Baik, yang menulis:Penyerobotan secara liar ini disinyalir
ada yang digerakan kelompok orang-orang tertentu untuk kepentingan ambisi politiknya.
Penyerobotan tanah secara masal ini bukan saja mengganggu kamtibmas tetapi juga berakibat
mengaburkan hak-hak petani penggarap lama yang sebenarnya sudah dilindungi UU.
54
106
Menurut keterangan dari harian Analisa tanggal 16 Agustus 1979, dengan judul BPRPI Tepung
Tawari Dan 0perasi Sadar , perwakilan para petani penggarap menyatakan mendukung usaha
operasi ini dan akan meninggalkan tanah-tanah garapan yang mereka garap. Sementara itu dari
pihak pelaksana, Kolonel Muchtar menyebutkan ada tiga tahap dalam operasi ini yakni operasi
Kamtibmas dan penindakan, operasi intelijen dan penerangan, kemudian operasi konsolidasi dan
stabilisasi.
Periksa Sering Terjadi Perkelahian antara Pemegang SIM dan yang tidak Mempunyai SIM,
dalam harian Sinar Indonesia Baru tanggal 23 September 1981. Hal ini terbukti dengan 11
keluarga desa Gunung Tinggi, Kecamatan Pancur Batu yang datang menghadap kepada bupati Deli
Serdang untuk mengadukan nasibnya sehubungan pembagian SIM bagi mereka yang ditampung di
lahan penampungan Glugur Rimbun Kecamatan Kutalimbaru, Deli Serdang yang berlangsung
tidak merata. Pada saat protes ini diajukan, tidak ada pejabat berwenang di kabupaten itu yang
bersedia menemui para petani desa ini.
55
Mereka yang diperiksa karena terlibat dalam kasus ini adalah camat Sei Bingai, kepala desa Pasar
IV dan beberapa aparat kecamatan serta pedesaan yang lain di lahan tanah perkebunan PTP IX di
Pasar Pinter Desa Purwobinangun, Kecamatan Sei Bingai, Kabupaten Langkat. Periksa 9 0knom
yang Diduga Memperjualbelikan SIM di Sei Bingei Langkat Diperiksa Laksusda Sumut dalam
Sinar Indonesia Baru, tanggal 28 Januari 1981.
108
Hal ini bisa dicermati dengan pernyataan Pangkopkamtib Laksamana Sudomo waktu itu yang menjelaskan
tentang masalah tanah warga desa Siriaria di Kecamatan Dolok Sanggul, Tapanuli Utara. Komentar pejabat
setingkat panglima nasional terhadap persoalan tanah di suatu desa menunjukan bahwa kepentingan pusat atas
persoalan agraria di wilayah ini ikut terlibat. Persoalan tanah-tanah di Sumatra Utara juga sering menjadi
bahan perbincangan di kalangan DPR RI meskipun ini hanya terjadi pada tingkat desa. Periksa Pengacara
Harus Kembalikan Uang Penduduk Siria-ria, dalam Sinar Indonesia Baru, tanggal 8 Agustus 1979.
Menurut teori hukum, ada dua macam kepastian hukum. Yang pertama adalah kepastian hukum dalam hukum
itu sendiri, dan yang kedua kepatian hukum karena hukum tersebut. Ketidakpastian hukum dalam hukum
disebabkan oleh ketidakjelasan kalimat yang ada dalam hukum itu sendiri, yang mengandung penafsiran
berbeda-beda antara orang yang satu dan yang lainnya. Sebagai akibatnya orang menerapkannya menurut
arah penafsiran dan selera kepentingannya masing-masing. Dari sini akan terjadi konflik yang masing-masing
merasa sudah dilandasi dengan hukum.
109
56
110
111
Pengerahan massa sebagai suatu mobilisasi sering terjadi dalam kaitannya dengan sengketa
penguasaan lahan, khususnya di antara lapisan rakyat bawah petani yang tidak memiliki tanah
(petani penggarap atau petani buruh). Hal ini bisa dibuktikan dalam uraian Bab III sub 4 di mana
PKI sering menggunakan alasan demi perjuangan rakyat untuk mencapai kepentingannya, yang
terkenal dengan slogan tanah untuk rakyat.
Rekayasa social yang dipaksakan atau social maintenance menurut Friedmann dijelaskan
sebagai berikut : We should not push the term social engineering too far . This gives the
legal system too much of an active . Refeorming flavor . Most of the time, legal allocations
57
58
Menteri
59
60
hukum yang tidak tertulis (hukum adat). Terlebih lagi, apabila hakim ataupun
penegak hukum yang mengadili, hanya berorientasi pada aliran positivisme
yang legalistik, yang ditafsirkan sering berdasarkan Hukum Barat (BW-KUH
Perdata ), yang pada dasarnya sangat bertentangan dengan sistem hukum
adat yang hidup dalam masyarakat.
Dengan kata lain, proses legitasi secara formal, melakukan legalisasi
sengketa, artinya
membuat
kerangka dalam
arti
konsep, bukti
dan
argumentasi legal yang dapat diproses oleh sistem hukum.121 Bukti-bukti dan
argumentasi legal yang diproses, tentunya dalam hal ini, bersandar pada
konsep hukum Barat. Di lain pihak, bukti-bukti dan argumentasi masyarakat,
hanya berdasarkan hukum adat . Kedua fakta ini menunjukkan adanya
perselisihan hukum yang menyangkut dua sistem hukum yang berbeda.
Sudah selayaknya hakim yang mengadili harus dapat menentukan, hukum
apa
dan hukum
mana yang
dapat
dijalankan dengan memperhatikan
kepentingan kedua belah pihak . Atau setidak-tidaknya, hakim harus dapat
menemukan
hukum (rechtsvinding), dan melakukan penafsiran-penafsiran
hukum, sesuai dengan kenyataan hukum yang berlaku.
Jika para hakim hanya terfokus pada sistem hukum Barat, sudah
tentu sangat merugikan masyarakat yang secara filosofis menghilangkan
rasa keadilan dalam masyarakat. Akibatnya banyak keputusan pengadilan
yang tidak dapat dijalankan. Walaupun ada yang dapat dijalankan tetapi
masyarakat dengan segala daya upaya
mereka, tetap menduduki dan
menggarap tanah yang dipersengketakan. Masyarakat menganggap bahwa
keputusan pengadilan tersebut, sangat bertentangan dengan keyakinan
hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.
Dalam penyelesaian
sengketa
pertanahan
melalui
pengadilan,
seyogyanya hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti
dan
memahami, nilai-nilai
hukum
yang
hidup dalam
masyarakat.122 Dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak
tertulis serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan. Oleh karena itu,
hakim merupakan perumus, dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam
kalangan rakyat. Khusus mengenai masalah pertanahan di Sumatera Utara
sesuai dengan undang-undang tersebut, hakim harus terjun ke tengahtengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami
perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan
demikian, hakim baru dapat memberikan putusan yang sesuai dengan
hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Jika hakim hanya bersandar kepada hukum tertulis saja apalagi hanya
berorientasi pada sistem hukum barat, maka keputusannya sudah tentu
akan merugikan masyarakat
penggarap, sebaliknya, keputusan
akan
cenderung menguntungkan pihak pengusaha perkebunan. Sebaiknya, hakim
dalam penyelesaian sengketa pertanahan di Sumatera Utara, harus dapat
menentukan mana yang hukum dan mana yang tidak, bilamana undangundang yang dihadapkan dengan peristiwa konkrit tidak dapat dilaksanakan.
Dengan inisiatifnya sendiri, hakim harus dapat menemukan hukum dan
121
122
Ibid,
Lihat pasal 27 (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
61
Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, PT. Penerbit dan Balai Buku Ichtiar, Jakarta,
1961, hal 230.
124
Lihat Sudikno Mertokusumo, Op cit , hal 32.
125
William Chambliss dan Robert B.Seidman, dalam Muhammad Bakri dkk,Op.cit, hal. 23.
62
63
tidak sama dengan pemikiran yang dikemukakan oleh para penegak hukum,
yang hanya bertitik tolak dari substansi norma hukum formil, yang ada
dalam undang-undang yang bersangkutan. Penekanannya disini harus bertitik
tolak pada hukum yang hidup (living law), bukan hanya pada peraturan
yang ada pada Kitab Hukum (law in books). Lebih jauh, untuk
memperjelas makna dari substansi hukum itu, harus diperhatikan budaya
hukum, dalam arti memahami sikap, kepercayaan, nilai dan harapan serta
pemikiran masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum yang berlaku.
Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954, jo. Undang-Undang No. 51
Prp Tahun 1960, dengan segala peraturan pelaksanaannya, tidak berlaku
secara efektif. Karena pelaksanaan dari undang-undang itu, ternyata tanpa
mempertimbangkan semua kekuatan sosial dan individu sebagai wujud dari
budaya hukum dalam masyarakat, maka hukum itu tidak akan berdaya.
Sebagaimana dikatakan
oleh Friedman Without legal culture, the legal
system is inert, a dead fish lying in a basket, not a living fish swimming in
its sea.130 Tanpa budaya hukum, maka hukum itu seperti ikan mati
terkapar di keranjang, bukan seperti ikan yang hidup di laut.
Seluruh peraturan undang-undang mengenai penyelesaian sengketa
pertanahan di Sumatera Utara, sebagaimana yang diuraikan di atas, jika
dianalisa berdasarkan pendapat Friedman tersebut, maka pelaksanaan dari
undang-undang itu, tidak dapat berlaku secara efektif atau tidak dapat
berfungsi untuk menyelesaikan sengketa pertanahan di Sumatera Utara,
khususnya di atas
areal perkebunan antara petani penggarap dengan
pengusaha perkebunan. Karena implementasi dari peraturan perundangundangan tersebut, sama sekali tidak memperhatikan budaya hukum dan
hukum yang hidup dalam masyarakat.
Bertitik tolak dari kajian atas dasar pendapat William Chambliss dan
Robert B. Seidman serta Lawrence Friedman yang dikemukakan di atas,
maka pola penyelesaian pertanahan di Sumatera Utara, harus terlebih
dahulu menginventarisasikan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
sengketa pertanahan di Sumatera Utara dan yang mempengaruhi tidak
berdayanya hukum, yaitu menyangkut kekuatan sosial ( social force ) dan
individu berupa budaya hukum dan hukum yang hidup dalam masyarakat
misalnya hukum adat dan peraturan perundang-undangan yang
terkait,
lembaga pembentuk undang-undang, lembaga penegak hukum, dan rakyat
sebagai pemakai hukum.
Berdasarkan penelitian B-Plus telah diperoleh data, bahwa PTPN-II telah
memohon perpanjangan HGUnya seluas 62.140,1800 Ha terdiri dari Eks. PTP-IX
seluas 43.607,4900 Ha dan Eks. PTP-II Seluas 18.532,6900. Tetapi di atas areal
tersebut telah digugat oleh masyarakat penggarap dari berbagai kelompok seluas
23.528,9937 Ha, maka areal PTPN-II yang dimohonkan perpanjangan HGUnya
yang bersih dari tuntutan para penggarap adalah 62.140,1800 Ha - 23.528,9937
Ha = 38.611,1863 Ha. Jumlah ini yang dinyatakan bersih, untuk dapat
dimajukan perpanjangan HGUnya. Sedangkan sisanya seluas 62.140,1800 Ha 38.611,1863 Ha = 23.528,9937 Ha ditangguhkan sementara perpanjangan
HGUnya, karena di atasnya terdapat tuntutan/garapan/permohonan rakyat.
130
Ibid, hal 7.
64
51/HGU/BPN/2000
52/HGU/BPN/2000
53/HGU/BPN/2000
57/HGU/BPN/2000
58/HGU/BPN/2000
tanggal
tanggal
tanggal
tanggal
tanggal
12 Oktober 2000.
12 Oktober 2000.
24 Oktober 2000.
6 Desember 2000.
6 Desember 2000.
Semua Surat Keputusan Pemberian HGU tersebut telah diserahkan kepada pihak
PTPN-II berdasarkan berita acara tanggal 6 February 2001.
Tuntutan masyarakat hukum adat, atas HGU perkebunan di Provinsi
Sumatera Utara, pada umumnya berasal dari badan-badan atau lembagalembaga tertentu yang mengatasnamakan kelompok masyarakat hukum
adat seperti :
1.
Khusus di areal HGU PTPN-II yang sebahagian besar berasal dari Eks
HGU PTP-IX, tuntutan masyarakat hukum adat yang berkaitan dengan tanah
ulayat pada dasarnya terdapat dua pola tuntutan yaitu tuntutan dengan latar
belakang tanah jaluran (BPRPI), dan tuntutan dengan latar belakang konsesi
(BKMAD).132
Tuntutan
atas HGU
Perkebunan
oleh
BPRPI,
terlihat
adanya
penafsiran bahwa pemberian tanah jaluran secara turun-temurun kepada
rakyat
penunggu
adalah
merupakan
suatu bentuk
pengakuan
dari
Perusahaan Perkebunan pada waktu itu, atas tanah ulayat mereka yang
telah diserahkan penguasaannya kepada perusahaan perkebunan melalui
pemberian hak konsesi oleh pihak Kesultanan (Sultan Deli, Sultan Serdang
dan Sultan Langkat).
131
Pemerintah Daerah Sumatera Utara, Kebijakan Untuk Mengatasi Penyelesaian Konflik (Klaim
Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat). Disampaikan dalam Seminar Keberadaan Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat Melayu di Sumatera Utara , Medan, 02 Februari 2002. Dan Hasil
Wawancara dengan Paniita B PLUS Sumatera Utara .
132
Berdasarkan hasil wawancara, dengan informan dan data dari PEMDASU dan ditambah
dengan data dari BPN Kanwil Provinsi Sumatera Utara dalam suratnya No.570.706/
Pan/BP/V/2001, tertanggal 2 Mei 2001, yang ditujukan kepada Gubernur Sumatera Utara, tentang
mohon petunjuk.
65
Kabupaten/
Kota Madya
1
2
3
Deli Serdang
Langkat
Binjai
JUMLAH
Permohonan
Perpanjangan
HGU
48 Kebun
12 Kebun
6 Kebun
66 Kebun
20.467.3893 Ha
18.143,6720 Ha
38.611,0613 Ha
20.287,4800 Ha
3.077,7280 Ha
238,5200 Ha
23. 603,7280 Ha
66
Berdasarkan dari data tersebut di atas (tabel 1), dapat diketahui bahwa
Luas areal PTPN-II di
Kabupaten Langkat yang ditangguhkan untuk
perpanjangan HGUnya dari seluas 3.077,7300 Ha, penyelesaiannya hanya
133
67
Tabel.3
Areal PTPN-II Kabupaten Langkat Yang Seluas 1.210,8700 Ha
Didistribusikan Kepada Masyarakat.
NO
1
PERUNTUKAN
JUMLAH AREAL
Tuntutan garapan rakyat untuk didistribusikan
588,3600 Ha
kepada rakyat
2
Masuk dalam RUTRWK
308,4700 Ha
3
Untuk tapak perumahan pensiunan karyawan
114,0400 Ha
4
Diberikan sebagai kompensasi kepada masyarakat
200,0000 Ha
adat Melayu
Jumlah
1. 210,8700 Ha
Sumber data diolah dari data Kanwil BPN Sumatera Utara Tahun 2002.
Kemudian berdasarkan data tersebut di dalam (tabel 1) tersebut di atas,
dapat disimpulkan bahwa Luas areal PTPN-II di Kota Madya Binjai yang
ditangguhkan untuk perpanjangan HGUnya dari seluas 238,5200 Ha,
penyelesaiannya hanya dapat direkomendasikan perpanjangan HGU seluas 0 Ha,
sedangkan yang tidak dapat diperpanjang HGUnya seluas 238,5200 Ha kemudian
didistribusikan kepada masyarakat dengan perincian sebagai berikut :
Tabel.4
Areal PTPN-II Kotamadya Binjai Yang Ditangguhkan
Dari 238,5200 Ha Tidak Dapat Diperpanjang
Kemudian Didistribusikan
Kepada Masyarakat.
NO
1
PERUNTUKAN
JUMLAH AREAL
Tuntutan garapan rakyat untuk didistribusikan
122,9000 Ha
kepada rakyat
2
Masuk dalam RUTRWK
113,3000 Ha
3
Untuk tapak perumahan pensiunan karyawan
2,3200 Ha
4
Diberikan sebagai kompensasi kepada masyarakat
50,0000 Ha
adat Melayu
Jumlah
238,5200 Ha
Sumber : data diolah dari hasil wawancara dengan Informan tahun 2002.
Berdasarkan data dari tabel (4) tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
luas areal PTPN-II di Kota Madya Binjai dari areal seluas 238,5200 Ha yang
ditangguhkan perpanjangan HGUnya, ternyata dalam taraf penyelesian sama
sekali tidak direkomendasikan untuk diperpanjang, tetapi dibagikan kepada
masyarakat.
68
69
pecaharian mereka. Dalam situasi dan kondisi ekonomi yang semakin tidak
kondusif, maka masyarakat yang sudah kehilangan lahan pertanian akan sulit
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, keadaan seperti ini mendorong
masyarakat akan kembali menggarap tanah areal perkebunan.
A. Kesimpulan.
Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, sengketa tanah di areal
perkebunan antara masyarakat petani penggarap dengan pengusaha perkebunan
PTPN-II dan PTPN-III, serta pemerintah, merupakan suatu peristiwa yang selalu
terjadi secara periodik. Hal ini khususnya menyangkut tentang hak konsesi yang
diberikan sultan, yang menyangkut hak ulayat masyarakat adat, mengenai
okupasi tanah perkebunan PTPN-II dan PTPN-III, mengenai tuntutan
berdasarkan hak ulayat masyarakat dari BPRPI dan tuntutan eks karyawan PTPNII terhadap perumahan dan perladangan mereka. Dapat disimpulkan sebagai
berikut :
Faktor-faktor penyebab timbulnya sengketa dalam penguasaan hak atas
tanah untuk kepentingan usaha perkebunan adalah :
Pertama, sengketa pertanahan yang terjadi tidak terlepas dari masa
pemerintahan kesultanan, yaitu tentang status pemilikan tanah dalam konsep
penguasaan yang berbeda. Menurut pandangan penguasa tradisional, sultan
adalah pemilik dari semua tanah di wilayah kesultanannya. Sementara itu
masyarakat adat mengakui bahwa tanah adalah milik adat yang bersifat komunal
sehingga diperuntukkan penggunaannya bagi semua warga masyarakat. Tanah
ini menjadi sumber penghidupan masyarakat, sehingga tidak bisa dialihkan
kepada warga lain di luar masyarakat tersebut. Dengan melihat konsep ini,
masyarakat memandang sultan sebagai pemangku adat yang dianggap wajib
berunding dengan para kepala adat dalam menyewakan tanah ulayat kepada
pihak konsesionaris.
Para pengusaha perkebunan Barat dan pemerintah Eropa, yang menganut
pandangan bahwa raja adalah pemilik semua tanah seperti di Barat,
menganggap sultan adalah penguasa semua tanah di kesultanannya. Oleh
karena itu mereka kemudian menghubungi sultan untuk meminta tanah konsesi.
Sultan Deli memberikan tanah konsesi kepada onderneming perkebunan swasta
Belanda dengan batas-batas yang tidak jelas, selama 99 tahun. Konsesi yang
diberikan oleh Sultan Deli tersebut, mencakup wilayah yang dikuasai para
Datuk, di wilayah Kesultanan Deli tanpa terlebih dahulu mendapat izin para
datuk-datuk. Akibatnya terjadi sengketa yang dikenal dengan perang Sunggal.
Kemudian setelah itu Pemerintah Belanda memerintahkan kepada sultan untuk
membagi tiga hasil uang sewa tanah konsesi, yaitu masing-masing untuk sultan,
datuk-datuk dan penghulu adat. Kepada masyarakat petani diberikan hak tanah
jaluran, tapi dalam pelaksanaannya tanah jaluran itu tidak dibagi seluruhnya
70
pada petani rakyat penunggu. Sultan dan pihak onderneming berkoalisi dan
berkolusi, membagi sebagian tanah jaluran untuk disewakan kepada kuli
perkebunan suku Jawa dan China serta kerabat sultan. Hal ini menyebabkan
terjadinya sengketa, dan pemberontakan dari petani. Kemudian dengan
keluarnya Undang-Undang Hak Erfacht pada tahun 1931, yang secara formal
menghapuskan tanah jaluran di dalam hak erfacht, menimbulkan kegelisahan
bagi para petani, dan akhirnya menimbulkan sengketa, antara rakyat penunggu
dengan pihak perkebunan.
Sengketa pertanahan terjadi karena adanya kompleksitas persoalan
tanah, yang disebabkan karena adanya penduduk yang heterogen, di Sumatera
Utara, terdiri dari Suku Melayu, Batak Karo dan Simalungun, dan Suku
Jawa bekas kuli kontrak, serta golongan China, yang sejak zaman Jepang, telah
melakukan penggarapan areal perkebunan Tembakau Deli, dan kemudian
diikuti pula pendatang baru atau imigran dari Tapanuli (Batak Toba). Akhirnya
tanah jaluran yang diperuntukkan untuk rakyat penunggu menjadi semakin
berkurang, mengakibatkan terjadi sengketa horizontal yaitu antara rakyat
penunggu dan kaum pendatang.
Untuk
menyelesaikan pendudukan tanah perkebunan oleh rakyat,
Belanda mengeluarkan Ordonansie Onrechtmatige Occupatie Van Dronden (Ord.
8 Juli 1948, S.1948-110). Kementrian Dalam Negeri juga mengeluarkan Surat
Edaran No.A.2.30/10/37 (Bijblad 15242). Kedua peraturan ini, bertujuan untuk
mengosongkan
tanah
perkebunan
dari
petani
penggarap
dan
memungkinkan kembali para pertani penggarap ke tempat baru yang
disediakan. Pemukiman kembali penghuni liar menimbulkan sengketa baru
antara pihak perkebunan dengan para petani penggarap.
Sengketa pertanahan antara petani penggarap atau pendudukan liar
oleh rakyat, atau tanah-tanah konsesi onderneming perkebunan tembakau,
yang dimukimkan kembali, sejak zaman Jepang sampai pendudukan
Belanda, dilanjutkan pada masa RIS, KMB, kembali ke Negara Kesatuan RI,
hingga nasionalisasi. Setelah periode itu bermunculan bermacam-macam
tuntutan masyarakat terhadap tanah perkebunan diantaranya : tuntutan rakyat
penunggu atas tanah jaluran, tuntutan petani penggarap, terhadap tanah
perkebunan yang telah digarapnya sejak zaman Jepang. Sengketa pertanahan di
Sumtera Utara juga terjadi karena adanya rivalitas politik di Sumatera Timur,
antara pemerintahan RIS dan NST, yang sengaja memanfaatkan ketegangan
sosial di sana, masing-masing mempengaruhi masyarakat penggarap untuk
memenuhi kepentingan politik mereka. Dalam menyelesaikan masalah sengketa
pertanahan antara masyarkat dan perkebunan, RIS dan NST selalu bersifat
mendua sehingga terjadi persengketaan yang tidak mudah diselesaikan.
Disamping itu adanya partai-partai politik, yang bersaing terdiri atas berbagai
kelompok politik dengan ideologi dan pandangan yang berbeda-beda dan sering
bertentangan untuk mencapai kemenangan Politik mereka. Mereka berusaha
menggalang dukungan dari rakyat yang tersingkir atau terdesak (marginal)
dalam persaingannya menghadapi para penguasa lahan yang baru. Perubahan
struktur politik dan kebijakan pusat yang bersifat mendua, yaitu satu sisi
berusaha untuk membela rakyat penggarap dan di sisi lain membela pihak
perkebunan sebagai penghasil devisa negara. Hal ini mempengaruhi
perkembangan dan penyelesaian sengketa yang ada. Dalam prakteknya tidak
pernah selesai dan selalu muncul penggarap-penggarap baru. Sengketa ini tidak
71
72
73
disediakan bagi mereka. Perkebunan dalam hal ini menganggap dirinya lebih
berwenang daripada petani karena merasa bahwa Perusahaan Perkebunan
adalah Perusahaan Negara (BUMN) sehingga memperoleh dukungan dan
pengakuan dari Aparat Pemerintah.
Hal ini tentu saja berakibat pada rusaknya sistem dan budaya hukum
yang berlaku, sebab dengan berlarut-larutnya pelanggaran yang terjadi tanpa
penanganan
yang tuntas, sehingga
membentuk
prilaku hukum dalam
masyarakat menjadi tidak lagi percaya pada aparat penegak hukum dan
penerapan sistem hukum yang sudah ada. Masyarakat cenderung bertindak
menurut keinginan dan kepentingannya sendiri tanpa mengindahkan semua
norma dan kaidah hukum yang telah ditetapkan oleh negara. Sebagai
kelanjutannya maka konflik antara masyarakat dan pihak perkebunan terus
berlangsung secara periodik tanpa adanya penyelesaian hukum yang tuntas,
mengingat sistem dan norma hukum yang dianutnya sebenarnya sudah tidak lagi
berlaku dalam masyarakat.
Ketiga, keberadaan hak ulayat di Sumatera Utara, telah mengalami
pasang surut khususnya hak ulayat yang berada di atas tanah perkebunan,
sejak zaman kolonial telah diakui oleh pemerintah Hindia Belanda . Terbukti
dalam
klausula
akte konsesi, yang diberikan kepada onderneming
perkebunan, hak ulayat masyarakat adat diakui dan dilindungi . Kepada
masyarakat diberikan hak atas tanah jaluran di areal perkebunan, untuk
ditanami tanaman semusim.
Tetapi dalam perkembagan selanjutnya mulai akan dihilangkan oleh
pemerintah kolonial dengan keluarnya ordonansi hak erfacht 1931. Dalam
ketentuan ini ditegaskan, bahwa hak ulayat yang berada di areal hak erfacht
dihapuskan. Dan pemerintah kolonial mengizinkan para Imigran, untuk
menggarap tanah di luar areal perkebunan. Hal ini menimbulkan kegelisahan
petani rakyat penunggu sehingga terjadi konflik horizontal.
Keberadaan hak ulayat ini, merupakan alasan yang kuat bagi para
petani penggarap, untuk menduduki tanah perkebunan yang diklaim sebagai
hak ulayat masyarakat adat . Atas dasar itu, masyarakat menggarap dan
menduduki tanah areal perkebunan . Keadaan ini menimbulkan konflik dan
sengketa antara masyarakat dengan pihak perkebunan.
Hak ulayat dalam Undang-Undang Pokok Agraria, diakui sepanjang dalam
kenyataannya hak itu masih ada. Pengakuan hak ulayat ini, hanya secara
formil tetapi, secara materil hukum adat hanya dirumuskan secara umum dan
abstrak. Keberadaan hak ulayat tidak terlindungi dalam UUPA karena, para
penegak hukum melaksanakan substansi norma hukum yang terdapat dalam
UUPA, hanya berorientasi pada sistem hukum barat yang menganut aliran
positivisme, yang bersifat legalistik . Pemahaman seperti ini, sudah barang
tentu mengenyampingkan keberadaan hak ulayat yang berdasarkan hukum
adat. Dalam hal ini ada dua sistim hukum yang berbeda, menimbulkan konflik
jika dihadapkan dengan suatu peristiwa hukum, maka harus dapat ditentukan
hukum mana dan hukum apa yang berlaku.
Dalam praktek penyelesaian
sengketa pertanahan di Sumatera
Utara, dari berbagai kasus yang terjadi misalnya kasus BPRPI versus PTPNII. Tuntutan para petani yang tergabung dalam BPRPI adalah mengenai
tanah hak ulayat mereka yang dikuasai oleh PTPN-II. Pihak Perkebunan tetap
74
75
B. Saran.
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat dipertimbangkan saransaran
yang didasarkan pada hasil analisa atas kajian kualitatif terhadap
fenomena yang muncul, sebagai berikut :
Pertama, berdasarkan
faktor-faktor
penyebab
terjadinya
sengketa
76
pertanahan di Sumatera Utara yang sampai saat ini tidak pernah selesai,
maka disarankan pada pemerintah untuk melakukan reformasi terhadap
UUPA. Sesuai dengan filosofi yang dianut oleh UUPA dengan berdasarkan
hukum adat, maka
seluruh
bentuk
peraturan pelaksanaannya
yang
menyangkut dengan pertanahan harus juga dibuat berdasarkan hukum adat,
misalnya tentang pemberian hak-hak atas tanah, perolehan hak atas tanah,
pendaftaran
tanah
dan
pembebasan
hak
atas
tanah, juga
dibuat
berdasarkan filosofi hukum adat.
Undang-undang juga perlu memberikan penjelasan yang lebih kontekstual
tentang batasan-batasan defenisi istilah dalam hukum adat, yang dimuat dalam
bentuk perundangan ini. Jika perlu, disusun bentuk perundangan baru yang
khusus mengatur persoalan ini dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat.
Pembentukan undang-undang tersebut, harus memperhatikan faktorfaktor kekuatan sosial
berupa budaya hukum dan hukum yang hidup
dalam masyarakat dengan umpan balik terhadap lembaga penegakan hukum
dan kondisi masyarakat yang akan dikenai dengan peraturan hukum itu.
Lembaga pembentuk hukum, lembaga penegak hukum dalam upaya untuk
memfungsikan atau bekerjanya hukum sebagai alat kontrol sosial, harus sesuai
dengan rasa keadilan masyarakat, maka faktor-faktor yang mempengaruhi
itu harus dilihat sebagai faktor yang saling mempengaruhi. Yang dapat
menimbulkan interaksi tertentu, meliputi struktur, substansi, budaya hukum
dalam masyarakat.
Kedua, untuk mencapai keseimbangan yang harmonis dalam penguasaan
hak atas tanah pemerintah harus lebih bersikap netral dalam menyelesaikan
sengketa, mengingat sejauh ini pemerintah cenderung bersikap represif terutama
dalam pengambilan keputusan akhir. Hal ini hanya bisa dicapai apabila
pemerintah lebih menggunakan pendekatan secara yuridis dan musyawarah
sehingga bisa tercapai jalan keluar yang bisa diterima oleh semua pihak.
Pemerintah jangan menggunakan sikap represif dan segera mengambil tindakan
tegas terhadap aparat negara yang terbukti melakukan penyelewengan dan
penyimpangan dari peraturan yang ada. Disarankan pula agar pemerintah daerah
atau instansi terkait harus bersikap proaktif terhadap adanya gerakan-gerakan
dalam penyerobotan tanah di areal perkebunan, yang mungkin dapat
diidentifikasi sebagai bahaya laten PKI. Pelaksanaan dan penegakan hukum
harus berjalan secara konsekwen.
Ketiga, untuk menentukan keberadaan hak ulayat dalam masyarakat,
disarankan agar pemerintah melakukan penelitian apakah hak ulayat itu
mengalami perubahan
dengan adanya perkembangan zaman, dalam arti
mengembang atau mengempisnya
hak ulayat dalam masyarakat, sesuai
dengan
sifat dinamisnya hukum adat itu. Peraturan itu harus dibuat
dalam bentuk undang-undang, bukan dalam bentuk Keputusan Menteri .
Peraturan itu harus akomodatif terhadap kepentingan masyarakat adat dan
kepentingan
nasional . Di samping
itu, pemerintah
harus
mengambil
kebijaksanaan yang tegas, tentang
apakah masih ada atau tidak hak
ulayat pada daerah tertentu
Keempat, penyelesaian sengketa antara masyarakat dan perkebunan
seharusnya dapat dilakukan dengan jalur penyelesaian secara yuridis formal
dengan pendekatan budaya hukum yang ditempuh dengan musyawarah dengan
77
78