Anda di halaman 1dari 5

AKARTA, KOMPAS.

com - Mantan Deputi Perencanaan Satuan Kerja Khusus Kegiatan


Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) Aussie Gautama menyatakan tidak tepat jika
pembangunan kilang di Blok Masela, Maluku dengan sistem LNG terapung (floating
LNG/offshore) tidak akan memberikan dampak terhadap industri lokal di sekitar wilayah
tersebut.
Menurut Aussie, meskipun kapal yang akan digunakan dibuat di luar negeri, namun
seluruh perangkat kilang akan dibangun di Indonesia.
"Jika floating LNG ditengarai tidak akan beri nilai tambah kepada industri lokal, itu tidak
tepat," ucap Aussie dalam diskusi "Polemik" yang diadakan Radio Sindo Trijaya di
Jakarta, Sabtu (2/1/2016).
"Karena dengan floating LNG, kapalnya memang dibuat di luar, tapi seluruh perangkat
kilang akan dilakukan di Indonesia," kata dia.
Aussie memandang pembangunan kilang dengan sistem floating LNG justru akan
menjadi katalis kebangkitan industri maritim di Tanah Air.
Selain itu, hal ini pun menjadi satu kesempatan Indonesia untuk membangun
kilang floating LNG terbesar di Indonesia.
"Ini satu kesempatan kita, kita sudah pernah bangun kilangonshore (di darat) terbesar
di Indonesia, dan sekarang satu kesempatan untuk bangun kilang floating LNG terbesar
di Indonesia," ujar Aussie.
Sebelumnya, Menteri Koordinator (Menko) bidang KemaritimanRizal Ramli bersikeras
pembangunan kilang di Blok Masela, Maluku, menggunakan sistem pipanisasi
(onshore).
Rizal mengaku akan terus berjuang agar pembangunan kilang di Blok Masela dapat
menggunakan sistem pipanisasi seperti keinginannya.
Dengan demikian, masyarakat akan mendapatkan manfaat lebih besar ketimbang
menggunakan LNG floating unit.

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat energi Faturahman mengatakan, Indonesia saat


ini sedang menghadapi tantangan energi.
Adanya Blok Masela di Laut Arafuru seharusnya dapat menjadi solusi untuk
menyelesaikan tantangan tersebut.
Menurut dia, pengelolaan Blok Masela seharusnya dapat dilakukan di darat
atau onshore.
Hal itu perlu dilakukan agar pembangunan blok tersebut dapat berintegrasi dengan
pembangunan sektor lain.
"Kalau di darat, pemanfaatannya lebih luas. Tidak hanya LNG, tetapi juga bisa
pupuk, petrochemical. Bahkan petrochemical itu turunannya juga plastik," kata
Faturahman saat diskusi bertajuk "Gaduh Blok Masela" di Jakarta, Sabtu (2/1/2016).
Ia mengatakan, nilai impor produk plastik Indonesia dari luar negeri mencapai Rp 100
triliun. Padahal, industri tersebut dapat dikembangkan di dalam negeri.
Faturahman menambahkan, keberadaan blok Masela ke depan dapat menjadi poros
distribusi energi untuk wilayah timur Indonesia.
Dengan adanya pembangunan yang terintegrasi, bahkan dapat mewujudkan cita-cita
Presiden Joko Widodo yang menginginkan agar Indonesia menjadi negara poros
maritim dunia.
"Dengan adanya poros energi, maka akan menguatkan industri maritim kita. Bagaimana
mengelola industri perikanan, rumput laut," kata Faturahman.
"Selama ini kan rumput laut masih belum terkelola dengan baik," ujarnya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo akan meminta penjelasan kontraktor kontrak kerja
sama Blok Masela, Inpex Masela Ltd, terkait rencana pengelolaan Blok Masela di Laut
Arafuru, Maluku.
Keputusan pengelolaan akan diambil setelah Jokowi mendengar penjelasan dari
kontraktor.

Pengelolaan Blok Masela dengan "Floating


LNG" Dinilai Lebih Murah
JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya Yudha berharap agar
pemerintah memberikan keputusan tepat terkait rencana pengelolaan blok Masela di
Laut Arafuru, Maluku.
Hingga kini, pemerintah belum menentukan langkah apa yang akan diambil terkait
rencana pengelolaan tersebut.
Menurut politisi Partai Golkar itu, pembangunan kilang gas alam cair (LNG) di tengah
laut (floating) atau offshore, lebih murah daripada membangun kilang LNG di darat
atau onshore.
"Mengenai blok Masela ini, kita harus berbicara mengenai masalah teknis apakah
menggunakan floating LNG atau onshore LNG," kata Satya saat diskusi bertajuk
"Gaduh Blok Masela" di Jakarta, Sabtu (2/1/2016).
Ia mengatakan, jika menggunakan floating LNG maka biaya yang perlu dikeluarkan
sekitar 17 miliar dollar AS.
Sementara, jika menggunakan onshore, biaya yang dikeluarkan sekitar 19 miliar dollar
AS.

Ia menambahkan, keuntungan yang nantinya akan diperoleh negara terkait rencana


pengelolaan blok tersebut tidak akan serta-merta diperoleh setelah blok tersebut
dibangung.
Sebab, pemerintah tentu perlu mengembalikan biaya yang dikeluarkan atas investasi
yang telah dikeluarkan.
"Biasanya keuntungan akan kita nikmati setelah beban negara dipenuhi," ujarnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo akan meminta penjelasan kontraktor kontrak kerja
sama Blok Masela, Inpex Masela Ltd, terkait rencana pengelolaan Blok Masela di Laut
Arafuru, Maluku.
Keputusan pengelolaan akan diambil setelah Jokowi mendengar penjelasan dari
kontraktor.

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli mengusulkan agar


sidang kabinet dengan agenda bahasan pengembangan Blok Masela disiarkan secara
langsung. Hal itu menyusul masih alotnya pembahasan nasib lapangan gas abadi itu.
"Kalau bisa saya usulkan nanti sidang kabinetnya live aja nanti di tv sekalian, lebih asyik," ujar
Rizal diacara diskusi kebangsaan, Jakarta, Kamis (14/1/2016).
Dia menjelaskan, sebenarnya sidang kabinet membahas Blok Masela sudah digelar beberapa
hari lalu. Namun, Presiden Jokowi belum mengambil keputusan dan memberikan kesempatan
sidang kabinet untuk membahas hal serupa.
Rizal menceritakan, dalam sidang kabinet pertama, ada tiga orang yang mendukung
pengembangan Blok Masela dengan membangun kilang gas alam cair (LNG) di tengah laut
(floating) atau offshore.
Ketiga orang itu yakni Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Sudirman Said, Menteri
Ristek Dikti Muhammad Nasir, dan Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi.
Sementara itu, Rizal Ramli sebagai menteri koordinator yang membawahi Kementerian ESDM

justru mendukung pengembangan Blok Masela dengan membangun kilang LNG di darat
atauonshore.
Menurut dia, ketiga orang yang disebutkan terus mendukung pembangunan floating dengan
membayar konsultan asing.
Padahal, tutur Rizal, pihaknya justru menggunakan konsultan lulusan ITB yang tidak dibayar.

Anda mungkin juga menyukai