Anda di halaman 1dari 32

PRESENTASI CASE ANESTESI

Anestesi Umum untuk Ekstirpasi Epulis Gingiva dan


Ekstraksi Gigi 42.32

Pembimbing:
dr. Himawan, Sp.An
dr. Herry Kelana, Sp.An (KIC)
dr. Ignatius Haryanto, Sp.An

Oleh:
Kevin Stanley Halim (2012-061-120)
Debbie Rose Komala (2012-061-121)

BAGIAN ILMU ANESTESI


RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIKA ATMA JAYA JAKARTA
(PERIODE 17 Februari 22 Maret 2014)

BAB I
LAPORAN KASUS
I.

IDENTITAS PASIEN

II.

Nama pasien
Umur
Jenis Kelamin
No. RM
Bangsal/ kelas
Tanggal operasi
Diagnosis
Jenis operasi

: Tn. A
: 64 tahun
:Laki-laki
: 805235
: EGI/III
: 16 April 2014
: Epulis gingiva dan luxation gigi 42.32
: Ekstirpasi epulis gingiva dan ekstraksi gigi 42.32

KEADAAN PRABEDAH
ANAMNESIS
Keluhan Utama:
Gigi depan pasien (2 buah) pada rahang bawah dirasakan goyang sejak 2 bulan
SMRS
Keluhan Tambahan:
Benjolan di gusi bagian depan rahang bawah sejak 2 tahun SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan adanya gigi depan pada rahang bawah yang
dirasakan goyang sejak 2 bulan SMRS. Keluhan ini diawali dengan adanya
benjolan yang mulai timbul pada gusi bagian rahang bawah pasien sejak 2 tahun
SMRS. Saat itu pasien sempat ingin menjalani prosedur pembedahan untuk
mengangkat benjolan tersebut dengan menggunakan pembiusan secara lokal. Pada
saat dilakukan prosedur tersebut, pasien merasa ketakutan ketika harus disuntik,
sehingga muncul gejala-gejala seperti keram pada perut, merasa berdebar-debar,
hingga susah bernapas dan saat dilakukan pemeriksaan, tekanan darahnya mencapai
190/110.Hal ini menyebabkan pasien tidak jadi menjalani prosedur pembedahan dan
memutuskan untuk menundanya. Hingga saat pemeriksaan dilakukan, pasien
mengaku masih merasa takut apabila harus disuntik. Benjolan yang timbul berwarna

merah sedikit lebih tua daripada warna gusi, membesar perlahan-lahan hingga
mencapai diameter 3 cm dalam 2 tahun. Beberapa gigi depan pada rahang bawah
pasien yang berada di tempat adanya benjolan mulai dirasakan goyang sejak 6
bulan yang lalu, hingga tanggal sebanyak 2 buah kira-kira 3 bulan yang lalu.
Benjolan tersebut membuat pasien menjadi sulit makan, sehingga selama 1 bulan
terakhir pasien hanya dapat makan bubur. Keluhan adanya nyeri dan perdarahan
yang berasal dari benjolan tersebut disangkal.
Pasien mengetahui dirinya memiliki riwayat tekanan darah tinggi sejak 3
tahun yang lalu. Pasien menyangkal adanya keluhan seperti sakit kepala, pusing,
penglihatan kabur,nyeri dada ataupun kelemahan pada anggota gerak. BAK dan BAB
pasien lancar dan dirasakan tidak ada kelainan.
Pasien sempat beberapa kali memeriksakan dirinya ke dokter dan biasanya
diberikan obat Herbesser (1 x 1 caps, pagi hari) serta Catapres (1x1 tab sore hari).
Terakhir kali pasien kontrol ke dokter adalah 1 minggu SMRS. Pasien tidak rutin
mengkonsumsi obat-obatan yang diberikan dokter, melainkan hanya sesekali saja.
Pasien tidak pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya.
Riwayat Penyakit Dahulu:

Riwayat hipertensi (+) sejak 3 tahun SMRS


Riwayat alergi obat (-)
Riwayat asma (-)
Riwayat diabetes mellitus (-)
Riwayat penyakit jantung (-)
Riwayat penyakit ginjal (-)
Riwayat penyakit hati (-)
Riwayat operasi (-)

Riwayat Keluarga :
Riwayat keluarga yang mengalami tekanan darah tinggi, penyakit jantung, diabetes
mellitus, dan asma disangkal.
Riwayat Kebiasaan :
Kebiasaan mengkonsumsi alkohol dan rokok (-), riwayat berolahraga naik sepeda
setiap hari, yaitu pada pagi hari sekitar 15-20 menit.
PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum

: tampak tenang

Kesadaran

: compos mentis

Berat badan
Tinggi badan

: 70 kg
: 172 cm

TTV : TD
Nadi

: 160/90 mmHg

RR

: 16 x/menit

: 80 x/menit

Suhu : 36,80C

Status Generalis
Kepala

: Tak tampak adanya deformitas.

Mata

: konjungtiva anemis -/- , sklera ikterik -/pupil isokor, diameter 3 mm/3mm, refleks cahaya langsung dan tidak
langsung +/+

Hidung

: Septum nasi di tengah, sekret -/-

Mulut

: mukosa oral basah, bibir lembab, mukosa oral basah


faring tidak hiperemis, tonsil T1/T1

Airway

- Buka mulut

: >3 cm

- Jarak thyromental

: >3 jari

- Mallampati

:2

Leher

: Trakea di tengah, pembesaran KGB (-), massa (-)

Paru:

I: gerakan napas simetris dalam keadaan statis dan dinamis


P: gerakan napas teraba simetris
P: sonor di kedua lapangan paru
A: vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

Jantung

I : ictus cordis tidak terlihat


P : ictus cordis tidak teraba
P: kardiomegali (-)
A :bunyi jantung I dan II ireguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

I: tampak cembung
P: nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
P: timpani pada seluruh kuadran abdomen
A :BU (+) 4x/menit

Genitalia

: Tidak diperiksa

Anus dan rektum :Tidak diperiksa


Ekstremitas

: akral hangat , CRT < 2 detik, edema tungkai -/-

refleks fisiologis +/+/+/+, refleks patologis -/PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium (15 April 2014)
Pemeriksaan
HEMATOLOGI
Hemoglobin
Leukosit
Eritrosit
Hematokrit
Trombosit
HITUNG JENIS
LEUKOSIT
Eosinofil
Basofil
Neutrofil
Limfosit
Monosit
INDEKS
ERITROSIT
MCV
MCH
MCHC
RDW-CV
HEMATOLOGI
Koagulasi
Golongan darah ABO
Rhesus
Protrombin Time
Kontrol
Hasil
APTT
Kontrol
Hasil
FUNGSI HATI
SGOT
SGPT
FUNGSI GINJAL
Ureum
Kreatinin
GLUKOSA
Glukosa Darah
Sewaktu
ELEKTROLIT
Natrium

Hasil

Nilai normal

Satuan

13,6
6,3
4,84
39,7
247

13,0 17,0
4,0 11,0
4,50 6,50
40,0 54,0
150 450

g%
103/ul
106/ul
%
103/ul

0,8
0,2
75,9
16,0
7,1

16
12
40 80
20 40
2 10

%
%
%
%
%

82,0
28,1
34,3
13,3

80 96
27 31
32 36
11,6 18,4

fl
pg
g/dl
%

14,0
11,6

11,5 15,5
11,1 14,6

detik
detik

31,7
28,3

27 37
24,6 37,2

detik
Detik

24,0
40,0

0,0 - 38,0
0,0 41,0

U/l
U/l

29
1,20

10 50
0,70 1,20

mg/dl
mg/dl

97

70-110

mg/dl

139

136 145

mmol/l

O
Positif

Kalium
Klorida
IMUNOSEROLOG
I
HBsAg Rapid/Stick
Radiologi (15 April 2014)

3,8
106

3,3 5,4
98 106

Non Reaktif

Non Reaktif

mmol/l
mmol/l

EKG (15 April 2014)

III.

EVALUASI PRA BEDAH


Status fisik
: ASA II
Penyulit pra-anestesi
: Hipertensi grade II
Check-lists sebelum induksi
Ijin operasi
Cek mesin anestesi
Cek suction unit
Persiapan obat-obatan
Teknik anestesi
: General Anesthesia
Teknik khusus
:Monitoring :
EKG lead II
Heart rate
Non-Invasive Blood Pressure (NIBP)
SaO2

IV.

DURANTE ANESTESI
Mulai anestesi

: Pukul 07.20

Mulai pembedahan

: Pukul 07.30

Lama pembedahan

: 30menit

IV line

: Dorsum manus sinistra; no.20

Posisi
Premedikasi
Induksi

: Terlentang
:: Propofol 110 mg IV

Airway management

: Nasotracheal tube no. 7.5 (30)

Intubasi

Preoksigenisasi dengan O2 100% melalui face mask selama 3 menit


Dilakukan intubasi dan pemasangan nasotracheal tube no. 7.5 melalui nares
anterior sinistra
Ventilasi

: Kendali; TV: 500 cc, RR: 10 x/menit

Antiemetik

: Ondansentron 8mg IV

Obat-obatan lain

: Fentanyl100 mcg + 50 mcg


Rocuronium bromide 35 mg IV
Tramadol 100mg drip dalam RL
Sulfas Atropin 0,25 mg IV
Prostigmin 0,5 mg IV

Pemberian cairan

: Ringer laktat 300 cc


Ringerfundin 500 cc

V.

PASCA OPERASI
1. Ruang pemulihan
a. Masuk ruang pulih : Pukul 08.45

Skor ALDRETTE
Aktivitas (2) Sirkulasi (2) Pernafasan (2) Kesadaran (1) Warna kulit (2)
Total(9)

b. Observasi di ruang pulih

Tanda-tanda vital:
-

Tekanan darah
Sistolik

: 180 - 190 mmHg

Diastolik : 100 - 110 mmHg


-

Denyut jantung : 60 - 70 x / menit

Saturasi oksigen : 98-100 %

c. Keluar ruang pulih : Pukul09.45

Skor ALDRETTE = 10

2. Instruksi pasca operatif


Analgetika

: Ketorolac 30 mgIV

Infus

: Tutofusin 500 cc + (fentanyl 100 mcg + dexketoprofen 50 mg)

Minum

: boleh minum

Antimual

: Ondansentron 8 mg IV

Antibiotik

: -

Pantau TTV

: per 15 menit selama 1 jam.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HIPERTENSI
2.1.1 Definisi
Hipertensi dapat didiagnosa apabila terjadi peningkatan tekanan arterial
melebihi tekanan darah normal menurut umur, jenis kelamin dan ras. Menurut Joint
National Committee on Evaluation, Detection and Prevention of High Blood
Pressure, tekanan darah yang optimal pada dewasa adalah kurang dari sama dengan
120 mmHg untuk sistolik dan kurang dari sama dengan 80mmHg untuk tekanan
darah diastolik.
Tabel 2.1 Klasifikasi hipertensi pada dewasa

Gambar 2.2 Klasifikasi hipertensi sesuai umur dan jenis kelamin

2.1.2

Epidemiologi
Hipertensi merupakan kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit

seperti penyakit jantung, stroke, gagal ginjal bahkan kematian apabila tidak dideteksi
dan diterapi dengan baik. Prevalensi dari hipertensi ini meningkat seiring dengan
peningkatan usia, lebih dari setengah penderita hipertensi berusia 60 -69 tahun dan
kira kira tiga per empat dari orang berusia lebih dari 70 tahun terkena hipertensi.
Hipertensi terjadi pada kira kira 75 juta orang dewasa di Amerika Serikat.
Sebanyak 30 % orang di antaranya tidak sadar akan penyakit ini, sekitar 40 % orang
yang menderita hipertensi ini tidak mendapatkan terapi.
Secara ras prevalensi meningkat hipertensi pada orang dengan ras kulit hitam
(African American). Orang dengan ras kulit hitam ini,menderita hipertensi lebih
cepat dibandingkan ras lainnya.
2.1.3

Etiologi
Etiologi dari hipertensi dapat primer, yang terjadi akibat hasil dari gaya hidup

atau genetik. Sekunder yang mempunyai etiologi lain seperti ginjal, pembuluh darah,
endokrin, neurogenik, obat dan lain - lain. Penyebab yang berasal dari ginjal seperti
penyakit ginjal polikistik, gagal ginjal kronis, obstruksi traktur urinarius, tumor yang
memproduksi renin dan lain lain. Sedangkan penyebab vaskuler atau yang berasal
dair pembuluh darah seperti koartasio aorta, vaskulitis, dan penyakit kolagen
vaskuler. Penyakit endokrin yang menyebabkan hipertensi terbagi menjadi penyebab
ketidak seimbangan hormon endogen dan eksogen. Penyebab eksogen meliputi

pemberian steroid dan kontrasepsi oral. Penyebab hormonal endogen seperti


sindroma cushing, pheochromocytoma, hiperplasia adrenal kongenital, dan lain
lain. Selain itu hipertensi juga dapat disebabkan oleh penyakit neurogenik seperti
adanya tumor otak. Sedangkan obat yang paling sering menyebabkan hipertensi
seperti alkohol, kokain, eritropoetin, ephedrine,nikotin dan lain lain.
Hipertensi primer sering disebut juga sebagai hipertensi esensial merupakan
yang terbanyak diderita oleh orang dewasa saat ini, yakni sekitar 90 95 % kasus
dari hipertensi pada dewasa .
2.1.4

Patofisiologi
Patofisiologi dari hipertensi esensial sangat kompleks dan multi faktorial.

Multi faktorial yang mempengaruhi tekanan darah dapat berasal dari pefusi jaringan
termasuk mediator humoral, viskositas pembuluh darah, cardiac output, stimulasi
neural. Sedangkan kemungkinan patogenesis dari hipertensi esensial ini diduga
berasal dari bermacam macam faktor, seperti predisposisi genetik, konsumsi garam
berlebih, dan tonus adrenergik. Namun mekanisme pasti dari penyakit ini masih
belum diketahui.
Patogenesis pada komplikasi akibat hipertensi dapat terjadi karena laju aliran
pulsasi, disfungsi endotel, dan hipertrofi otot polos.
Perubahan hemodinamik yang terjadi pada hipertensi seperti
-

Peningkatan resistensi vaskuler sistemik dengan cardiac output normal


Peningkatan respon simpateteik terhadap stress seperti intubasi trakeal
Peningkatan tekanan darah hebat dengan vasokontrikstor dan penurunan
pada tekanan darah hebat dengan pemberian vasodilator karena terjadi
penebalan pada dinding arterial dan ratio yang tinggi dari penebalan

2.1.5

dinding terhadap diameternya.


Gejala klinis
Target organ akhir dari hipertensi yang lama dapat berupa gangguan pada

jantung, gangguan mata, gangguan ginjal, dan gangguan peredaran darah serebral.
Gangguan pada jantung dapat berupa pembesaran ventrikel kiri, aritimia, gagal
jantung kongestif. Gangguan pada ginjal seperti nephropathy hingga gagal ginjal
kronis. Gangguan peredaran darah serebral dapat berupa stroke perdarahan maupun
stroke iskemik.
2.1.6 Diagnosa
Anamnesa

Anamnesa yang ditanyakan meliputi pertanyaan seputar target organ


hipertensi seperti gejala penyakit jantung, ginjal, mata, otak, dan lain lain. Juga
ditanyakan apakah pasien juga menderita penyakit lain seperti diabetes melitus,
hiperkolesterolemia, dan apakah pasien merupakan pengguna obat obatan yang
dapat menyebabkan hipertensi , serta apakah pasien tersebut merokok. Juga
ditanyakan juga usia pasien, dan apakah mempunyai faktor genetik terhadap
hipertensi.

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik ditujukan pada pengukuran tekanan darah sebanyak paling
sedikit 3 kali dengan jarak tiap pemeriksaan sebanyak 2 menit. Pemeriksaan
tekanan darah paling baik menggunakan manometer raksa. Pada kunjungan
pertama tekanan darah sebaiknya diperiksa pada kedua lengan dan pada kaki
untuk menyingkirkan diagnosis koartasio aorta dan stenosis arteri subklavia.
Pasien sebaiknya dibiarkan istirahat selama 5 menit sebelum pemeriksaan
dimulai.
Juga dilakukan pemeriksaan terhadap berat badan, gula darah, pemeriksaan
kolesterol. Hal ini meruapakan komponen dari sindroma metabolik yang dapat
menjadi faktor risiko mayor terhadap penyakit jantung. Selain itu pemeriksaan
untuk mengetahui komplikasi juga dilakukan , seperti pemeriksaan funduskopi
untuk mata, ditemukan gambaran retinopathy hipertensi, seperti perdarhaan
retina, mikroaneurisma dan cotton wool spots. Pemeriksaan fisik jantung juga
sebaiknya dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat komplikasi seperti
pembesaran jantung kiri, bunyi jantung tambahan seperti S4.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjuang yang dapat membantu untuk diagnosa komplikasi
hipertensi

yang

terjadi.

Pada

hipertensi

esensial,

pemeriksaan

seperti

pemeriksaan EKG, pemeriksaan gula darah, pemeriksaan urinalisis, pemeriksaan


elektrolit, fungsi ginjal, kadar kolesterol mampu membantu untuk menentukan
kemungkinan komplikasi yang terjadi pada pasien. Sedangkan pada hipertensi

sekunder, pemeriksaan penunjang dibutuhkan untuk menentukan penyebab dari


hipertensi
Tabel 2.1 Penyebab hipertensi sekunder dan jenis tes yang diperlukan
Condition

Screening Test

Chronic kidney disease

Estimated glomerular filtration rate

Coarctation of the aorta

Computed tomography angiography

Cushing syndrome; other states of Dexamethasone suppression test


glucocorticoid excess (eg, chronic steroid
therapy

Drug-induced/drug-related hypertension*

Drug screening

Pheochromocytoma

24-hour
urinary
normetanephrine

metanephrine

and

Primary aldosteronism, other states of 24-hour urinary aldosterone level, specific


mineralocorticoid excess
mineralocorticoid tests

Renovascular hypertension

Doppler flow ultrasonography, magnetic


resonance
angiography,
computed
tomography angiography

Sleep apnea

Sleep study with oxygen saturation (screening


would also include the Epworth Sleepiness
Scale [ESS])

Thyroid/parathyroid disease

Thyroid stimulating hormone level, serum


parathyroid hormone level

Adapted from: Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al, and the Joint National
Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure;
National Heart, Lung, and Blood Institute; National High Blood Pressure Education

Program Coordinating Committee. Seventh report of the Joint National Committee on


Prevention,
Detection,
Evaluation,
and
Treatment
of
High
Blood
Pressure. Hypertension. Dec
2003;42(6):1206-52.[4]

Some examples of agents that induce hypertension include nonsteroidal anti-inflammatory


drugs (NSAIDs) and cyclooxygenase-2 (COX-2) inhibitors; illicit drugs; sympathomimetic
agents; oral contraceptive or adrenal steroid hormones; cyclosporine and tacrolimus;
licorice; erythropoietin; and certain over-the-counter dietary supplements and medicines,
such as ephedra, ma huang, and bitter orange. Drug-related causes of hypertension may
be due to nonadherence, inadequate doses, and inappropriate combinations.
*

2.1.7

Tatalaksana
Tujuan dari terapi antihipertensi adalah untuk mengurangi komplikasi,

menurunkan morbiditas dan mortalitas. Rekomendasi dari guidelines JNC 8 yang


berbeda dari pendahulunya JNC 7 adalah target tekanan darah yang lebih rendah dan
batas terapi inisiasi pada pasien usia tua dan pada pasien yang kurang dari 60 tahun
dengan diabetes dan penyakit ginjal, lalu terapi inisial pada kebanyakan pasien tidak
lagi direkomendasikan pemberian diuretik tipe thiazide saja, Angiotensin converting
enzyme (ACE) inhibitors, Angiotensin receptor blockers (ARBs), calcium channel
blockers (CCBs) atau diuretik direkomendasikan.
Rekomendasi dari JNC 8 meliputi :
o Pada pasien berusia 60 tahun atau lebih muda, terapi inisiasi pada mereka
dengan tekanan darah sistolik 150 mmHg atau lebih atau tekanan darah
diastolik 90 mmHg atau lebih. Target terapi adalah menurunkan tekanan
darah di bawah batasan tersebut
o Pada pasien yang berusia kurang dari 60 tahun, namun berusia di atas 18
tahun dengan gagal ginjal kronis atau diabetes, target tekanan darah adalah
140/90 mmHg
o Pada ras kulit bukan hitam dengan hipertensi, terapi dimulai dengan diuretik
tipe tiazid, CCBs, ACE Inhibitor, ARB
o Pada pasien ras kulit hitam dengan hipertensi, terapi dimulai dengan diuretik
tipe tiazid atau CCBs
o Tanpa memperhatikan ras dan status diabetes, semua pasien yang berusia
kurang dari sama dengan 18 tahun dengan gagal ginjal kronis, terapi inisial
atau tambahan harus mengandung ACE inhibitor dan ARBs
o Jangan menggunakan ACE inhibitor bersamaan dengan ARBs.

o Jika target tekanan darah tidak tercapai dalam waktu 1 bulan terapi,
peningkatan dosis dari agen inisial atau tambahan obat lain diperlukan.
Apabila dengan kombinasi 2 obat tidak berhasil, maka sebaiknya
ditambahkan obat ketiga dari kelas obat yang direkomendasikan.
o Pada pasien dengan target tekanan darah tidak tercapai dengan 3 obat maka
sebaiknya digunakan obat golongan lain diluar 3 golongan obat kombinasi
dan atau dirujuk kepada spesialis hipertensi.
Modifikasi gaya hidup juga penting dalam mencegah peningkatan tekanan darah,
dan merupakan langkah umum yang utama untuk tatalaksana hipertensi. Sebagai
contoh yakni menurunkan berat badan, mengurangi konsumsi alkohol, garam,
makanan berlemak, stop merokok. Selain itu juga diperlukan latihan yang bersifat
aerobik paling sedikit 30 menit per hari.
Apabila secara modifikasi gaya hidup tidak berhasil, maka dapat digunakan obat
untuk menurunkan tekanan darah.

Tabel 2.3 Berbagai rekomendasi untuk terapi farmakologis pada hipertensi

Tabel 2.4 Obat antihipertensi oral

Gambar 2.1 Algoritme Penatalaksanaan hipertensi menurut JNC 8


2.1.8

Hipertensi pada pasien pembedahan

Hipertensi yang tidak terkontrol terkait dengan fluktuasi tekanan darah yang
luas selama induksi anestesi dan intubasi, dan dapat meningkatkan kejadian iskemia

perioperative. Tekanan darah yang melebihi 180/110 mmHg harus diturunkan


terlebih dahulu apabila ingin melakukan pembedahan. Jika pembedahan elektif,
tekanan darah dapat dicapai dalam waktu beberapa hari hingga minggu. Pada situasi
yang darurat obat penurun tekanan darah kerja cepat secara parenteral seperti natrium
nitropruside, nikardipin dan labetalol dapat diberikan untuk mengontrol tekanan
darah secara efektif dalam waktu singkat.
Pasien yang ingin melakukan pembedahan dengan hipertensi terkontrol harus
tetap menjalankan pengobatannya sampai ketika waktu operasi dan terapi harus
dilanjutkan segera setelah pembedahan selesai.
Kejadian hipertensi intraoperative ditangani dengan cara yang sama dengan
hipertensi emergensi, yakni dengan obat antihipertensif parenteral. Nitrogliserin
merupakan obat yang pilihan pada pasien dengan iskemia koroner, sedangkan
esmolol yang merupakan bloker kerja cepat berguna pada pasien yang mengalami
takikardia intraoperative.
Hipertensi sangat sering juga terjadi pada saat postoperative dan terkait
dengan peningkatan tonus simpatik dan resistensi vaskuler. Faktor yang terkait
termasuk nyeri dan peningkatan volume intravaskuler, yang mana membutuhkan
loop diuretic seperti furosemide secara intravena.

Tabel 2 .5 Obat Antihipertensi Parenteral

2.2.

ANESTESI PADA HIPERTENSI


2.2.1.

PREOPERATIF
Riwayat dan pemeriksaan fisik
Dalam evaluasi preoperatif (dari anamnesis dan pemeriksaan fisik), halhal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut; yaitu: etiologi dan tingkat
keparahan hipertensi, subtipe hipertensi, terapi yang didapatkan saat ini, serta
kerusakan target organ dari hipertensi kronis.
Penyebab yang mendasari hipertensi harus jelas. Mortalitas pembedahan
relatif tinggi pada pasien dengan hipertensi renovaskular. Selain itu, kegagalan
diagnosis feokromositoma preoperatif (meskipun jarang) dapat berakibat fatal
karena zat-zat anestesi diketahui dapat menyebabkan krisis pada pasien tersebut.

Tingkat keparahan hipertensi dapat mengubah risiko anestesi.


Obat-obat antihipertensi memiliki implikasi yang berbeda. Diuretik
sering menyebabkan hypokalemia dan hipomagnesemia kronis, yang dapat
meningkatkan risiko aritmia. Maka, sebaiknya dilakukan pemeriksaan elektrolit
serum preoperatif.
Adanya kerusakan target organ yaitu otak, jantung dan ginjal
menunjukkan hipertensi jangka panjang yang tidak terkontrol. Marker dari
kerusakan organ baru akan terlihat hanya jika kerusakan target organ yang
signifikan telah terjadi.
Untuk evaluasi jantung, minimal dilakukan foto thorax dan EKG, dapat
juga disertai echocardiography. Adanya hipertrofi ventrikel kiri (LVH) dapat
meningkatkan risiko iskemia miokardial perioperative karena terjadi ketidak
seimbangan dari suplai dan kebutuhan dari oksigen, terlepas dari ada atau
tidaknya suatu penyakit arteri coroner. Ada korelasi yang kuat antara LVH,
isolated systolic hypertension (ISH) dan pulse pressure hypertension (PPH) dan
tidak dapat dipastikan mana yang muncul terlebih dahulu. Hipertensi tanpa bukti
adanya LVH atau factor risiko lain meununjukan risiko jantung perioperative
yang rendah dan tidak membutuhkan evaluasi lebih lanjut untuk sebagian besar
pembedahan. Pasien dengan hipertensi yang berat juga mengalami peningkatan
risiko disfungsi diastolic yang menyebabkan gagal jantung kongestif.
Untuk evaluasi renal, sebaiknya dilakukan pemeriksaan urinalisis,
kreatinin serum, dan BUN untuk menentukan adanya penyakit parenkim ginjal.
Jika ditemukan gagal ginjal kronis, hyperkalemia dan peningkatan volume
plasma harus diperhatikan. Cairan intravena kristaloid normal saline disarankan
pada kasus-kasus tersebut.
Untuk evaluasi serebrovaskular, riwayat dari penyakit serebrovaskular
dan transient ischemic attacks (TIA) serta adanya retinopati hipertensi
sebaiknya diperhatikan.

Target tekanan darah


Bila tekanan darah mencapai 230/120 mmHg sebaiknya operasi elektif
ditunda. Pada pasien ini harus dicurigai adanya hipertensi emergensi, apabila
adanya sekuel kerusakan target organ tambahan. Pada hipertensi urgensi
disarankan untuk menempatkan pasien di lingkungan yang tenang dengan

istirahat dan pemberian antihipertensi oral. Pasien diinstruksikan untuk kontrol


hipertensinya dan sebelum menjadwalkan operasi berikutnya, tekanan darah
harus diturunkan secara bertahap yaitu selama 6-8 minggu dengan target kurang
dari 140/90 mmHg. Kontrol mendadak yang hanya berjarak beberapa jam saya
sebelum operasi elektif tidak disarankan karena dapat berisiko terhadap sirkulasi
serebral untuk terjadi iskemia.
Pada hipertensi tingkat sedang dengan kerusakan target organ yang berat,
tekanan darah preoperative sebaiknya diturunkan senormal mungkin, meskipun
pada pasien asimtomatik dengan hipertensi ringan-sedang (diastolik< 110
mmHg) dapat dilakukan operasi elektif tanpa peningkatan risiko kardiovaskular.
Pasien-pasien dengan hipertensi ringan-sedang tidak memiliki peningkatan
risiko komplikasi vascular kecuali mereka memiliki faktor risiko untuk penyakit
jantung koroner. Sebagian besar pasien dengan hipertensi yang akan menjalani
pembedahan adalah pasien usia lanjut dengan ISH atau PPH. Perubahan tekanan
darah yang akut pada preoperatif memiliki outcome yang tidak dapat dipastikan
karena perubahan patologis yang terjadi bersifat kronik dan tidak mudah kembali
normal dengan pengobatan. Pada pasien dengan penyakit koroner refrakter yang
membutuhkan operasi coronary artery bypass grafting (CABG), PPH terkait
dengan peningkatan risiko komplikasi mayor vaskular.

Medikasi antihipertensi
Secara umum, saat ini pendapat yang dianut adalah untuk melanjutkan mediaksi
antihipertensi terutama -blocker hingga saatnya menjalani pembedahan.
Penghentian medikasi ini secara mendadak akan memperberat terjadinya iskemia
miokardial. Blokade tidak memperbaiki respons hemodinamik terhadap
perdarahan dan tidak mempengaruhi respons terhadap hipoksia, maka medikasi
ini dapat dilanjutkan. Gejala withdrawal ditandai dengan peningkatan
sensitivitas terhadap stimulasi simpatis dan dipengaruhi beberapa factor, seperti
overaktivitas simpatis dan peningkatan triiodothyronine, tetapi kemungkinan
merupakan hasil dari peningkatan densitas reseptor . Tingkat keamanan dari blockerdan keuntungannya (pencegahan respons hipertensi, disritmia dan
iskemia miokard) telah lama diketahui. Sama halnya terapi dengan Ca channel
blocker, ACE-inhibitor, statin dan diuretik juga dapat diteruskan. Respons
terhadap induksi anestesi akan sedikit berbeda pada pasien yang medapatkan
terapi -blocker, Ca channel blocker, ACE-inhibitor atau diuretik.Withdrawal

dari klonidin terkait dengan rebound hypertension.


Klonidin adalah agonis 2 sentral, menurunkan aliran simpatis dan
mengurangi katekolamin plasma, level aldosteron, dan aktivitas renin. Dosis
tunggal klonidin, 5 g/kgBB per oral 2 jam sebelum operasi menurunkan
kebutuhan anestetik dan labilitas hemodinamik secara signifikan pada pasien
dengan hipertensi ringan-sedang. Klonidin yang diberikan preoperatif tidak
meningkatkan labilitas tekanan darah selama pembedahan aorta. Penggunaan
klonidin perioperative juga menunjukkan keuntungan baik jangka pendek
maupun panjang terkait dengan morbiditas jantung dan survival.
Terapi yang paling baik mungkin adalah -blockerkardioselektif. Dosisadrenergicblocking(seperti labetalol, atenolol atau lopressor) yang kecil, tunggal
dan per oral yang diberikan preoperatif pada pasien hipertensi ringan yang
asimtomatik akan menurunkan takikardia yang terjadi pada intubasi trakea dan
emergensi. Insidens iskemia miokard menurun pada 28% grup kontrol menjadi
2% pada grup -blocker. Dosis oral dari ACE-inhibitor seperti enalapril yang
diberikan preoperatif juga mengurangi respons hemodinamik terhadap intubasi
dan stimulasi pembedahan.

Koreksi hipokalemia
Hypokalemia sering ditemukan pada pasien hipertensi yang mendapatkan
terapi diuretic tiazid. Penting untuk menjaga keseimbangan elektrolit normal
pada pasien dengan penyakit jantung koroner. Kalium yang rendah (3,0-3,5
mEq/L pada pasien-pasien ini menyebabkan aritmia, peningkatan sensitivitas
terhadap digitalis dan depresi fungsi neuromuskular. Bila pasien tidak memiliki
risiko komplikasi jantung pada pembedahan atau anestesi, penurunan yang
ringan seperti diatas tidak memerlukan penundaan operasi atau penggantian
kalium segera. Pasien dengan penurunan kalium yang lebih berat (2,9 mEq/L)
sebaiknya diterapi dan/atau menjalani pemeriksaan yang mendalam. Pada
pasien-pasien ini, selama 1 minggu menjelang operasi sebaiknya diberikan
suplemen kalium apabila fungsi ginjal baik. Pada pembedahan emergensi,
kalium dapat diberikan tidak melebihi 0,5 mEq/kgBB/jam. Pemberian sebaiknya
dihentikan selama operasi dan dimulai lagi setelah operasi selesai.

Koreksi hipomagnesemia
Level normal magnesium adalah 1,5-2,5 mEq/L. Ion magnesium penting
untuk fungsi system enzim. Deplesi adalah karakteristikdari hipereksitabilitas

neuromuskular dan system saraf pusat. Tanda-tanda ini mirip dengan defisiensi
kalsium. Abnormalitas kardiovaskular termasuk spasme arteri koroner, gagal
jantung dan disritmia. Pada tahap yang berat, hipomagnesemia dapat memicu
terjadinya kejang, konfusi dan koma. Terapi pengganti sebaiknya diberikan
hanya pada kasus deplesi berat. Magnesium sebaiknya tidak diberikan pada
pasien oliguria dan diberikan secara hati-hati pada pasien dengan insufisiensi
ginjal. Sebaiknya diberikan dosis kecil intravena dengan observasi yang ketat
dari toksisitas (letargi, kelemahan, penurunan refleks tendon).

Asymptomatic carotid bruit


Pada pasien dengan bruit karotis, terjadi peningkatan insidens stroke,
walaupun stroke kemungkinan bukan akibat trombotik atau terkait dengan arteri
karotis dimana bruit tersebut terdengar. Bruit adalah prediktor umum dari
penyakit vaskular dan dapat menjadi prediktor dari stroke perioperatif. Penting
untuk dicatat pada pasien dengan stenosis karotis asimtomatik, endarterektomi
tidak langi direkomendasikan. Topik ini masih banyak diperdebatkan.

Sebagian besar pasien hipertensi tetap mengalami peningkatan tekanan darah


walaupun telah diberikan terapi, maka harus dipertimbangkan mengenai tingkat
anxietas pasien. Premedikasi seperti diazepam, lorazepam, atau midazolam dapat
diberikan agar pasien tiba di ruangan operasi dibawah pengaruh sedasi. Pada
pasien usia lanjut pemberian benzodiazepine tidak disarankan karena ditemukan
tingginya kejadian delirium. Hal ini membantu pencegahan agar tekanan darah
awal tidak diatas level optimal.

2.2.2.

INTRAOPERATIF
Selama operasi, pasien yang telah dipasang dengan montior EKG dipantau
hasil EKG, tekanan darah, saturasi oksigen dan suhu. Pemantauan EKG di lead
II mendeteksi apakah terdapat gangguan jantung yang disebabkan oleh
hipertensi, seperti terdapatnya gangguan segmen ST yang menunjukkan adanya
iskemia pada miokardium. Pemantauan tekanan darah yang kontinu penting
karena ketidakstabilan tekanan darah pada pasien.
Pemasangan kateter arteri pulmonal (PAC) juga berguna pada pasien dengan
riwayat gagal jantung kongestif atau infark miokard sebelumnya. PAC sangat

membantu dalam pengaturan pemberian cairan penggatni dan memantau fungsi


ventrikular. Jika terdapat pembesaran ventrikel kiri, maka terdapat gangguan
compliance ventrikular yang mengakibatkan meningkatnya tekanan oklusi arteri
pulmonalis (PAOP), baik pada volume ventrikular yang normal ataupun
menurun dan kontraktilitas yang normal. Keadaan CHF pada pasien hipertensi
sering digambarkan sebagai akibat dari disfungsi diastolik, bukan disfungsi
sistolik.
Tujuan dari anestesi pada pasien dengan hipertensi adalah meminimalisir
ketidakstabilan tekanan darah terhadap respon pada stimulus intubasi
endotrakeal, insisi operasi dan manipulasi area operasi.. Hal ini bertujuan untuk
mencegah terjadinya iskemia miokardial, hipoperfusi dan hipotensi pada
serebral, perdarahan serebral dan ensefalopati hipertensif yang diakibatkan oleh
adanya hipertensi atau stroke emboli dari ruptur plak pada tempat lain di tubuh,
seperti pada pembuluh darah aorta dan pembuluh darah pada leher. Anestesi
juga ditujukan untuk mencegah terjadinya gagal ginjal akibat dari hipoperfusi
renal.
Manajemen anastesi umum pada pasien hipertensi
Selama pasien diberikan preoksigenasi, pemberian fentanyl 7-8 mcg per
kg secara pelan diperlukan untuk mencapai perasaan mengantuk. Kemudian
dapat ditambahkan agen induksi seperti thiopental sebanyak 50 mg atau
propofol 30 50 mg hingga pasien tidak sadar. Dapat juga diberikan
suksinilkolin 1 mg per kg atau pelumpuh otot yang bersifat non depolarizing
untuk memfasilitasi intubasi trakeal.
Semua agen anastesi dapat diberikan kecuali ketamine, karena berakibat
dapat menimbulkan hipertensi dan takikardia yang signifikan. Anastesi yang
dalam dengan agen inhalasi yang poten untuk mengurangi takikardia dan
hipertensi harus dilakukan dengan hati hati karena tingginya insiden hipotensi.
Jika setelah diinduksi dan diintubasi ternyata terjadi hipotensi, maka dapat
dikoreksi dengan penggantian volume dan vasopresor seperti ephedrine 5 - 10
mg .

Hipotensi dapat terjadi akibat kombinasi dari vasodilatasi, hipovolemi


dan depresi jantung. Vasodilatasi disebabkan oleh agen induksi seperti
thiopental, propofol atau midazolam, obat golongan narkotik dengan dosis
menengah hingga tinggi dan agen inhalasi yang potent. Hipovolemia terjadi
disebabkan oleh vasokonstriksi yang kronik dan/ atau terapi diuretik. Puasa
preoperatif juga berhubungan dengan hipovolemia. Sedangkan penggunaan
barbiturate, benzodiazepin dan agen inhalasi dapat menyebabkan depresi
terhadap jantung.
Jika saat dalam operasi, ada kemungkinan tekanan darah pasien
meningkat menjadi severe hypertension. Hal ini sering diakibatkan karena
anestesi yang inadekuat dalam penghambatan input sensoris. Jika hal ini terjadi,
maka apabila menggunakan agen inhalasi maka konsentrasi agen harus
ditingkatkan. Golongan narkotik tidak mengendalikan tekanan darah dan
digunakan kemungkinan untuk meningkatkan potensi agen inhalasi anestesia.
Hydralazine sebesar 5 mg dapat dititrasi untuk menurunkan tekanan darah
secara aman . Onset obat ini selama 10 15 menit dengan durasi 1 2 jam.
Labetalol dengan dosis 5 10 mg dapat ditingkatkan, sangat berguna
dalam mengendalikan hipertensi dan takikardia. Penggunaan bloker disini
dimaksdukan untuk secara langsung sebagai antagonis efek dari katekolamin.
Dapat juga digunakan continuous infusion dari nikardipin, nitrogliserin atau
nitroprusside untuk mengendalikan hipertensi selama anastesia.
Intubasi trakeal
Intubasi trakea translaringeal merangsang reseptor laringeal dan trakeal,
yang menghasilkan peningkatan terhadap sympathomimetic amines. Stimulasi
simpatis ini menghasilkan takikardia dan peningkatan tekanan darah. Pada orang
dengan tekanan darah normal , peningkatan terjadi sebanyak 20 sampai 25
mmHg, lebih tinggi pada pasien hipertensi dengan pengobatan bloker , karena
stimulasi terjadi tanpa perlawanan.
Peningkatan tekanan darah dan laju jantung ini terjadi selama kurang
lebih 14 detik setelah laringoskop dimasukkan dan menjadi maksimal saat 30
45 detik setelah laringoskopi langsung. Jika dimungkinkan, waktu laringoskopi

diusahakan hanya 15 detik atau kurang untuk meminimalisir peningkatan


tekanan darah. Pemberian fentanyl dan thiopental atau propofol dapat mencegah
respon dari intubasi trakeal. Selain itu dapat diberikan obat seperti
-

Lidokain 1.5 mg per kg dalam 2 menit sebelum intubasi.


Esmolol sampai 2 mg per kg, efektif dalam terutama dalam proteksi

handal terhadap hipertensi dan takikardia akibat intubasi.


Labetalol 0.15 sampai 0.45 mg per kg sebanding dengan pemberian
esmolol 1.5 sampai 4.5 mg per kg dalam mencapai efek hemodinamik.
Waktu paruh dari esmolol IV dan labetalol adalah 9 menit dan 5 jam
secara berturut turut. Labetalol mempunyai efek minimal terhadap
jantung dan melalui stimulasi terhadap reseptor , obat ini dapat berperan

sebagai vasodilator.
Nicardipine, pemberian 1 mg intravena 2 menit sebelum intubasi traekal
mempertahankan stabilitas hemodinamik selama intraoperative. Dosis
0.015 dan 0.03 mg per kg.
Saat ekstubasi dan masa emergence, juga harus diberikan obat untuk

menjaga agar tekanan darah tidak meningkat. Pemberian obat pencegahan ini
dengan dosis rendah saat 2 menit sebelum ekstubasi seperti lidokain 1 mg per kg
atau esmolol atau labetalol 0.1 mg per kg. Jika tekanan darah melebihi level
yang diinginkan, maka dosis tambahan dapat diberikan untuk mengontrol
tekanan darah.
Pemilihan terapi cairan pada pasien hipertensi
Pasien dengan hipertensi esensial biasanya hipovolemia akibat dari
vasokonstriksi dan terapi diuretik. Hidrasipada pasien hipertensive seharusnya
dimulai sebelum induksi dari anesthesia dan untuk meminalkan efek roller
coaster yang biasa terjadi pada pasien hipertensi. Overhidrasi juga harus
dihindari karena berhubungan dengan hipertensi post operatif ketika efek
vasodilatasi dari obat anaestesi telah habis.
Anestesi regional pada pasien hipertensi
Regional anestesi dapat menghindari peningkatan tonus simpatik dan
perubahan hemodinamik yang terjadi saat intubasi dan ekstubasi. Spinal atau
epidural anestesia dipilih untuk pembedahan abdominal bagian bawah. Untuk

operasi cholecystectomy, atau regional anestesia yang lebih tinggi dapat


mengganggu fungsi respirasi. Sementara itu operasi yang lama dapat
menyebabkan kecemasan sehingga menghasilkan peningkatan tekanan darah
dan takikardia.

2.2.3.

PASCAOPERATIF
Penanganan dari hipertensi pascaoperatif tergantung pada etiologi dari
hipertensi, skenario klinis, dan derajat hipertensi tersebut. Pertama-tama,
penyebab dari hipertensi harus ditentukan dan ditangani segera; antara lain:
nyeri, emergence excitement, hipoksemia, hiperkarbia, reaksi terhadap ETT,
kandung kemih yang penuh, hipotermia, hypervolemia relatif dari pemberian
cairan intraoperatif yang berlebihan, medikasi kronis dan withdrawal.
Penyebab tersering dari hipertensi pascaoperatif adalah nyeri insisi. Saat pasien
sadar, nyeri menimbulkan peningkatan curah katekolamin. Labilitas tekanan
darah yang ekstrim pada sebagian besar pasien hipertensi akan menyebabkan
peningkatan sangat cepat dan kritis untuk dikontrol. Tergantung pada penyebab
hipertensi, analgesia intravena, dan antihipertensi atau diuretik sebaiknya
dititrasi untuk mengontrol hipertensi. Jika baik takikardia maupun hipertensi
terjadi pascaoperatif, Ca channel blocker seperti verapamil, diltiazem atau
nicardipin dan -blocker seperti propranolol, esmolol, labetalol atau metoprolol
merupakan pilihan. Hipertensi yang berasal dari nyeri dapat dicegah atau
dikurangi dengan injeksi anestesi lokal jangka panjang bersamaan dengan insisi
atau untuk melakukan blok saraf lokal.

DAFTAR PUSTAKA
1. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD, editor. Morgan &mikhails: clinical
anesthesiology. Edisi ke-5. New York: McGrawHill; 2013.
2. Yao FF, Malhotra V, Fontes ML, editor. Yao & Artrusio: anesthesiology. Edisi ke7. Lippincott Williams & Wilkins; 2011.
3. Miller RD, editor. Millers anesthesia. Edisi ke-7. USA: Elsevier; 2010.
4. Paul A James et al. 2014 Evidence Based Guideline for the Management of High
Blood Pressure in Adults. Report from the Panel Members Appointed to the
Eighth Joint National Committee (JNC 8). JAMA. February 2014
5. Barbara M. Alving et al. The Seventh Report of the Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. US
Department of Health and Human Services. August 2004
6. Meena S Madhur et al. Hypertension.Emedicine.medscape. March 2014

Anda mungkin juga menyukai