Mini Project
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Program Internship Dokter Indonesia
Disusun Oleh:
dr. Boyke Triono Prabowo
Pendamping:
dr. Rohlina Agustriningtias
i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis haturkan pada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Mini Project dengan judul “PROFIL
KESEHATAN JIWA REMAJA DAN DAMPAKNYA PADA SISWA KELAS X SMAN 2 MADIUN
TAHUN AJARAN 2018-2019 WILAYAH KERJA PUSKESMAS PATIHAN”. Adapun tujuan
dari penulisan Mini Project ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan
Program Internship Dokter Indonesia di Puskesmas Patihan, Madiun.
Pada penyusunan Mini Project ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan bantuan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
yang tak terhingga kepada :
1. dr. Ulfa, selaku Kepala Puskesmas Patihan beserta jajaran yang telah memberikan segala
arahan, bimbingan, serta fasilitas selama menjalani program Internship.
2. dr. Rohlina Agustriningtias, selaku Dokter Pendamping di Puskesmas yang telah
memberikan bimbingan, masukan dan nasihat serta mendampingi selama kegiatan.
3. drg. Jenny Wulandari, selaku Pemegang Program UKS di Puskesmas Patihan yang telah
meluangkan waktu, memberikan data dan masukan selama kegiatan.
4. Sekolah, Kader dan Guru UKS SMAN 2 Madiun yang telah membantu menyediakan
waktu dan mengkondisikan siwa yang menjadi responden selama proses pengumpulan
data.
5. Semua pihak terkait yang telah memberikan bantuan serta dukungan.
Penulis berharap bahwa hasil mini project ini dapat digunakan penulis selanjutnya
sebagai acuan untuk mini project ataupun penelitian selanjutnya mengenai kesehatan mental-
emosional remaja, terutama di wilayah kerja Puskesmas Patihan. Penulis menyadari bahwa
laporan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis membuka diri untuk segala
kritik dan saran, apabila dalam penulisan ini terdapat kekurangan. Semoga dapat menambah
wawasan dan bermanfaat bagi semua pihak.
2.1 Remaja………………………………..…………………………………………….. 4
iii
2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Jiwa …….…………………… 6
iv
4.2 Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) ……………….................................................. 22
4.4.2.3 Hasil Tabulasi Silang Antara Total Skor Kesulitan dan Skor Perilaku
Prososial dengan Karakteristik Demografis Responden .…...…………. 28
BAB V DISKUSI………………………………………………………………………….... 38
5.1 Distribusi Karakteristik Demografik Responden ...................................................... 38
v
DAFTAR TABEL
Tabel 4.3 Kegiatan Peran Serta Masyarakat Puskesmas Patihan Tahun 2017........................ 23
Tabel 4.5 Skor SDQ Berdasarkan Laporan Hasil Skrining Tahunan UKS SMA/SMK di
Wilayah Kerja Patihan …………………………………………………………... 24
Tabel 4.8 Skor total kesulitan pada siswa kelas X SMAN 2 Madiun berdasarkan skoring
kuesioner SDQ .………………………….............................................................. 27
Tabel 4.9 Skor perilaku prososial pada siswa kelas X SMAN 2 Madiun berdasarkan skoring
kuesioner SDQ …………………………………………………………………... 28
Tabel 4.10 Tabulasi Silang Antara Total Skor Kesulitan Dan Jenis Kelamin ....................... 29
Tabel 4.11 Tabulasi Silang Antara Total Skor Kesulitan Dan Jurusan Pendidikan ………... 30
Tabel 4.12 Tabulasi Silang Antara Perilaku Prososisal dan Jenis Kelamin ………………... 31
Tabel 4.13 Tabulasi Silang Antara Perilaku Prososisal dan Jurusan ………………………. 32
Tabel 4.14 Gambaran setiap kelompok kesulitan pada sasaran intervensi berdasarkan hasil
penilaian kuesioner SDQ ……………………………………………………….. 33
vi
DAFTAR GRAFIK
Grafik 4.1 Skor total kesulitan pada siswa kelas X SMAN 2 Madiun berdasarkan skoring
kuesioner SDQ …………………………………………………………………. 27
Grafik 4.2 Tabulasi Silang Antara Total Skor Kesulitan Dan Jenis Kelamin ……………… 30
Grafik 4.3 Tabulasi Silang Antara Total Skor Kesulitan Dan Jurusan Pendidikan ………... 31
Grafik 4.4 Proporsi Positif Palsu dan Positif Sejati Berdasarkan Intervensi ………………. 34
Grafik 4.5 Menunjukkan Tanggapan Keluarga dan Guru Terhadap Responden …………... 35
Grafik 4.6 Menunjukan Derajat Kesulitan yang Dirasakan Responden Mengenai : Emosi,
Konsenstrasi, Perilaku, atau Hubungan Sosial dengan Orang Lain ……………. 35
Grafik 4.8 Menunjukan Seberapa Besar Kesulitan Membuat Responden Kecewa dan/atau
Tertekan ………………………………………………………………………… 36
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
BAB I
PENDAHULUAN
Kesehatan jiwa saat ini telah menjadi masalah kesehatan global bagi setiap negara,
dimana proses globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi informasi memberi dampak
terhadap nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat (Dinkes Kota Baru, 2008). Masyarakat
dihadapkan dengan cepatnya perubahan disegala bidang kehidupan. Perubahan tersebut
menyebabkan kehidupan semakin sulit dan komplek, akibatnya masyarakat tidak bisa
menghindari dan harus siap menghadapi tekanan-tekanan yang ditimbulkan. Hal ini
menyebabkan banyak orang tidak menyadari jika mereka mungkin mengalami masalah
kesehatan jiwa.
Hasil analisis dari WHO sekitar 450 juta orang menderita gangguan jiwa. WHO
menemukan prevalensi permasalahan psikiatri pada anak dan remaja berkisar antara 12%-29%
berdasarkan data yang didapat dari sembilan negara. Lebih lanjut lagi dari semua anak yang
datang ke lanyanan primer, rasio penemuan kasus psikiatri pada anak dan remaja hanya sekitar
10%-22% dari seluruh potensi kasus psikiatri anak dan remaja, sehingga sebagian besar anak
dan remaja yang berpotensi memenuhi kriteria diagnostik psikiatri tidak tersentuh layanan yang
tepat. (WHO, 2017).
Data Riskesdas 2013 menunjukkan prevalensi ganggunan mental emosional yang
ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas mencapai
sekitar 14 juta orang atau 6% dari jumlah penduduk Indonesia. Pada remaja ditemukan 6% dari
remaja di Indonesia mengalami gejala – gejala mental emosional maupun gangguan jiwa berat,
dengan distribusi yang lebih banyak di daerah perkotaan dibandingkan pedesaan.
(Kemenkes,2016). Sedangkan total pasien gangguan jiwa di wilayah Puskesmas Patihan
hingga Juni 2018 tercatat sebanyak 50 berdasarkan kunjungan, yang mana hamper semua
pasiennya adalah dewasa dan lansia, dengan tidak terdapat satupun remaja (Puskesmas Patihan,
2018).
Remaja dengan permasalahan emosi dan perilaku seringkali mengalami perilaku yang
tidak sesuai dan stigma negatif dari lingkungan sekitarnya, sehingga seringkali orang tua
cenderung memberikan kritik negatif sehingga membuat situasi lingkungan remaja semakin
tidak baik. Stigma negatif ini yang sering kali memuat remaja dengan permasalahan emosi
1
maupun perilaku terabaikan dan menjauhkan dari sarana kesehatan untuk penanganan yang
tepat. (Gelder MG et al, 2004)
Masalah mental dan emosional pada remaja dapat berdampak pada perkembangan,
menimbulkan hendaya maupun menurunkan produktifitas dari remaja itu sendiri. Wilayah
perkotaan menjadi faktor resiko tersendiri dengan lebih tingginya tuntutan dan tekanan sosial
selama perkembangan remaja. Stresor psikososial seringkali berkaitan erat dengan timbulnya
masalah emosi dan perilaku pada remaja, seperti pola asuh yang tidak sesuai, kekurangan fisik,
kekerasaan dalam rumah tangga, kegagalan dalam hubungan sosial dengan teman sebaya,
melihat atau mengalami kekerasan fisik, emosi, maupun seksual serta kemiskinan. Stresor
psikososial ini akan mempengaruhi perkembangan kognitif remaja sehingga mengarahkan
remaja kepada perilaku disruptif dan impulsif, persepsi negatif terhadap diri sendiri maupun
lingkungan, cara-cara interksi negatif yang mengganggu hubungan social. Gangguan pada
perkembangan kognitif remaja akibat permasalahan emosi dan perilaku berdampak negatif
terhadap produktifitas dari remaja dengan menurunnya konsentrasi, kemampuan mengingat,
dan pola penetuan keputusan, sehingga akan menimbulkan kenakalan dan kriminalitas. (Sari
Pediatri, 2016)
Melihat permasalahan ini akan sangat sulit untuk menemukan permasalahan emosi dan
perilaku remaja hanya melalui kesadaran diri remaja dan orang tua untuk mendatangi layanan
kesehatan ketika masalah ini muncul, maupun melalui penemuan kasus di layanan primer. Hal
ini menjadikan penting untuk dilakukan penjaringan secara aktif melalui skrining, untuk
menemukan remaja-remaja dengan perasalahan emosi dan perilaku, supaya intervensi sedini
mungkin dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya gangguan jiwa di kemudian hari,
maupun potensi perilaku negatif pada remaja.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka disusun rumusan masalah sebagai berikut:
“Perlunya skrining permasalahan emosi dan perilaku pada remaja di Wilayah Kerja Puskesmas
Patihan, Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun”
2
1.3 Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui prevalensi remaja dengan permasalahan emosi dan perilaku di
Wilayah Kerja Puskesmas Patihan, Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun,
sebelum dilakukan penyuluhan.
b. Mengetahui jenis permasalahan emosi dan perilaku remaja yang banyak ditemukan
di Wilayah Kerja Puskesmas Patihan, Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun,
sebelum dilakukan penyuluhan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Puskesmas Patihan,
Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun dalam rangka meningkatkan penemuan kasus
dan pelayanan kesehatan jiwa pada remaja.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Remaja
Remaja pada tingkat Sekolah Menengah Pertama berada pada tingkat perkembangan yang
disebut Masa Remaja atau Pubertas.(Suryani L et al, 2013) Masa remaja merupakan suatu
fase perkembangan yang dinamis dalam kehidupan seorang individu. Masa ini merupakan
periode transisi dari masa anak ke masa dewasa yang ditandai dengan percepatan
perkembangan fisik, mental, emosional dan sosial yang berlangsung pada dekade kedua
kehidupan.(IKA FKUI, 1985)
Proses tumbuh kembang anak harus diutamakan dan merupakan hal yang hakiki.
Pertumbuhan dan perkembangan merupakan proses yang terjadi pada setiap makhluk.
Pertumbuhan berkaitan dengan masalah perubahan dalam ukuran, besar, jumlah, atau dimensi
sel, organ atau individu yang bisa diukur berdasar ukuran berat (gram, pon, kilogram), ukuran
panjang (cm, m), umur tulang dan keseimbangan metabolik (retensi kalsium dan nitrogen
tubuh). Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan struktur dan fungsi tubuh yang
lebih kompleks dalam pola yang teratur yang merupakan hasil dari proses maturasi. Proses ini
menyangkut proses diferensiasi sel tubuh, organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga
masing masing dapat memenuhi fungsinya termasuk perkembangan emosi, intelektual dan
tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan.(Selina H et al, 2011)
4
Proses tumbuh kembang yang optimal merupakan interaksi timbal balik dari faktor
internal dalam diri seorang anak dan faktor eksternalnnya. Faktor internal berupa faktor
genetik yang merupakan ‘cetak biru’ bagi pertumbuhan dan perkembangan anak di kemudian
hari. Lingkungan tempat anak hidup dan bertumbuh, pola asuh orang tua, serta norma budaya
tempat ia dibesarkan merupakan faktor eksternal yang merupakan faktor di luar anak. Faktor
ini akan saling berhubungan secara dinamis, dalam arti faktor-faktor tersebut dapat
memperkuat atau melemahkan satu sama lain.(Wiguna T, 2006) Terdapat dua faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan remaja yaitu genetik dan lingkungan. Faktor
genetik merupakan faktor potensial yang menjadi ciri khas anak tersebut yang diturunkan dari
orangtuanya dan menentukan sifat bawaannya. Faktor genetik meliputi faktor bawaan yang
nomal dan patologik, jenis kelamin, serta suku bangsa. Faktor lingkungan adalah ruang
lingkup suasana tempat dimana anak tersebut berada yang berfungsi sebagai penyedia
kebutuhan dasar anak untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Lingkungan yang cukup
baik akan memungkinkan tercapainya potensi bawaan, sedangkan lingkungan yang kurang
baik akan menghambatnya. Lingkungan ini merupakan lingkungan bio-fisiko-psiko-sosial
yang mempengaruhi individu mulai dari konsepsi sampai akhir hayatnya.(Selina H et al,
2011)
1) Menerima dirinya apa adanya dengan kriteria mampu mengatasi perasaan-perasaan negatif
atau positif dengan baik, memiliki harga diri yang normal, tidak merendahkan maupun
menyombongkan dirinya, dan dapat menerima kehidupannya dengan baik.
2) Memiliki hubungan yang baik dengan orang lain dengan kriteria dapat mencintai dan
dicintai, tidak berbuat curang maupun dicurangi oleh orang lain, memiliki rasa kepercayaan
terhadap orang lain, tidak meremehkan pendapat orang lain, dan menjadi bagian dari
kelompok.
3) Mampu menjalani kehidupannya secara terarah dengan kriteria memiliki tujuan hidup yang
realistis, dapat mengambil keputusan, memiliki rasa tanggung jawab, dan menjalani
pekerjaannya dengan senang hati.
Kesehatan jiwa atau psikologis tidak hanya dipengaruhi oleh karakteristik individu saja,
tetapi juga dipengaruhi oleh keadaan sosial ekonomi serta lingkungan dimana orang tersebut
berada. Berikut ini penjabaran dari faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kesehatan jiwa
dan kesejahteraan menurut WHO (2012) :
6
emosional berhubungan dengan pembawaan seseorang serta kemampuan belajar untuk
menghadapi perasaan dan pikiran serta mengelola dirinya dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan kecerdasan sosial yaitu kapasitas untuk menghadapi dunia sosial disekitarnya
seperti mengambil bagian dalam kegiatan sosial, bertanggung jawab atau menghormati
pendapat orang lain. Dan faktor genetik yang mempengaruhi karakteristik dan perilaku
individu yaitu bawaan individu semenjak lahir, seperti kelainan kromosom misalnya
down’s syndrome, atau cacat intelektual yang disebabkan oleh paparan saat masih di
kandungan serta kekurangan oksigen ketika dilahirkan.
2) Keadaan sosial dan ekonomi
WHO juga menjelaskan bahwa kesehatan mental dan gangguan mental umum sebagian
besar dibentuk oleh lingkungan sosial, ekomomi, dan fisik tempat individu tersebut menetap
(WHO, 2014). Faktor-faktor di atas dapat mempengaruhi kondisi kesehatan jiwa seseorang,
sehingga dapat menjadi stresor bagi individu. Individu dengan jiwa yang sehat mampu
mengontrol dirinya untuk menghadapi stresor yang ada serta selalu memiliki pikiran yang
positif tanpa adanya tekanan fisik dan psikologis (Nasir & Muhith, 2011).
7
2.3 Masalah Mental Emosional
Gangguan mental ditandai dengan perubahan dalam berpikir, perilaku atau suasana
hati (atau beberapa kombinasinya) terkait dengan tekanan yang bermakna dan gangguan
fungsi selama jangka waktu tertentu. Gejala gangguan mental bervariasi dari ringan sampai
berat, tergantung pada jenis gangguan mental, individu, keluarga dan lingkungan sosial
ekonomi, yang meliputi gejala somatik, gejala depresi, gejala ansietas, gejala kognitif, gejala
penurunan energi.(Isfandari S et al, 1997)
Prevalensi gangguan mental pada populasi penduduk dunia menurut WHO pada tahun
2000 diperoleh data gangguan mental sebesar 12%, tahun 2001 meningkat menjadi 13% dan
diprediksi pada tahun pada tahun 2015 menjadi 15%. Sedangkan di Indonesia hasil laporan
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, yang menggunakan SRQ untuk menilai kesehatan
jiwa penduduk, prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk Indonesia yang
berusia lebih dari 15 tahun sebesar 11.6%.(Isfandari S et al, 1997)
Gangguan mental dan tingkah laku remaja meliputi reaksi aktifitas berlebihan, reaksi
menarik diri berlebihan, reaksi kecemasan berlebihan, reaksi melarikan diri, reaksi agresif-
asosial, dan reaksi delingkuensi kelompok. Reaksi aktifitas berlebihan disebabkan oleh
gangguan fungsi otak dengan atau tanpa kelainan struktur otak dan dapat disertai atau tanpa
kelainan EEG. Dengan gejala klinis gangguan tingakah laku berupa hiperaktifitas, tidak bisa
tenang, tidak bias memusatkan perhatian pada satu hal dalam waktu yang lama, toleransi
8
terhadap frustasi rendah (cepat marah apabila kemauan tidak dituruti), emosi labil. Gangguan
belajar spesifik, yaitu karena gangguan persepsi, koordinasi, daya tangkap, orientasi, dan
daya mengingat. (Wiguna T, 2006)
Reaksi menarik diri berlebihan dapat ditunjukkan dengan sikap sering menyendiri,
pemalu, sangat sensitif dan pasif, mudah khawatir, dan sukar mengikat hubungan
interpersonal yang erat. Kelainan ini sering didapatkan pada remaja yang dibesarkan dalam
lingkungan keluarga yang terdapat unsur kekerasan didalamnya atau sering mendapatkan
hukuman atas aktifitasnya. Sering pula terjadi pada remaja yang mempunyai cacat jasmani
atau terlalu gemuk dan sebagainya. Dasar penarikan diri mereka adalah karena perasaan malu
dan bersalah. Reaksi kecemasan berlebihan ditandai dengan kegelisahan, ketakutan, sukar
tidur, mimpi buruk, terutama dalam menghadapi situasi baru. Banyak diantara mereka
mempunyai fantasi berlebih dan menganggap lingkungan baru sebagai sesuatu yang
membahayakan. Reaksi melarikan diri dilakukan anak apabila behadapan dengan situasi yang
dianggap membahayakan. Umumnya mereka merasakan penolakan dan tidak mempunyai
kawan dalam rumah.(Wiguna T, 2006)
Mereka seringkali memulai perkelahian, kejam terhadap remaja lain dan binatang,
menentang atasan, licik. Seringkali perbuatannya dilakukan tanpa perasaan bersalah.
Dasarnya adalah kekurangan dalam pembentukan kepribadian, yaitu defek kontrol impuls
(tidak dapat menahan ketegangan dan harus mendapat kepuasan segera) dan defek dalam
pembentukan superego. Umumnya mereka berasal dari keluarga yang orangtuanya menolak,
indiferen, tidak pernah memberikan kehangatan, kasih sayang dan disiplin sehingga remaja
tersebut tidak pernah belajar bersosialisasi dengan baik. Gangguan mental dan perilaku yang
terakhir adalah reaksi delingkuensi kelompok dimana remaja membentuk kelompok dan
bersama-sama melakukan tindakan agresif destruktif atau asosial. Remaja merasakan
sekuritas dengan identifikasi dan sokongan dalam kelompok tersebut.(IKA FKUI, 1985)
Ada beberapa jenis gangguan mental emosional, yaitu depresi, kesedihan (grief), post
traumatic stress disorder (PTSD), attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), gangguan
antisosial. Gangguan-gangguan ini memiliki etiologi, penanganan dan prognosis yang
berbeda. (Isfandari S et al, 1997)
9
Masalah mental emosional pada anak dan remaja dibagi menjadi dua kategori, yaitu
internalisasi dan eksternalisasi. Sikap yang tampak dalam gambaran masalah mental
emosional internalisasi yaitu temperamen bingung / cemas, khawatir berlebihan, pemikiran
pesimistis, perilaku menarik diri, kesulitan menjalin hubungan dengan teman sebaya
(terisolasi, menolak, bullied). Gambaran masalah mental emosional eksternalisasi meliputi
temperamen sulit, ketidakmampuan memecahkan masalah, gangguan perhatian,
hiperaktifitas, perilaku bertentangan (tidak suka ditegur/diberi masukan positif, tidak mau
ikut aturan), perilaku agresif.(Damayanti et al, 2011)
Terdapat lima perubahan pada perubahan fisik atau biologis pada remaja, yaitu,
pertambahan tinggi badan yang cepat, perkembangan seks sekunder, berkembangnya organ
reproduksi, perubahan komposisi tubuh, serta perubahan dari sistem sirkulasi dan respirasi
yang berhubungan dengan stamina tubuh.(Satgas Remaja IDAI, 2010)
Remaja yang telah memasuki masa pubertas mengalami perubahan yang pesat pada bagian-
bagian tubuh tertentu, seperti bahu, lengan, pinggang dan tungkai. Perubahan fisik yang cepat
dan tiba-tiba membuat remaja menjadi canggung, sensitif dan ketakutan terhadap perubahan
tubuh mereka. Hal ini menyebabkan remaja mengalami masalah dalam menyesuaikan diri
terhadap perubahan ukuran tubuh. Remaja yang memasuki masa pubertas ditandai dengan
pertumbuhan dan perkembangan ciri-ciri seks primer dan sekunder. Ciri seks primer ditandai
dengan mimpi basah pada laki-laki dan datangnya menstruasi pada perempuan, sedangkan
ciri seks sekunder ditandai dengan tumbunya kumis dan jakun pada laki-laki dan
membesarnya payudara pada wanita.(Suryani L et al, 2013)
Penampilan adalah aspek yang penting dan diutamakan oleh remaja. Remaja sangat
peduli terhadap penampilan badannya yang berdampak pada mengingkatnya self
consciousness sehingga mereka sering terobsesi untuk melakukan diet. (Satgas Remaja IDAI,
2010) Kegemukan atau, obesitas dapat mempengaruhi perkembangan psikososial seseorang.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa obesitas juga mempunyai keterkaitan dengan
kesehatan mental yang buruk. Remaja yang mengalami obesitas sering merasa dirinya
berbeda atau dibedakan dari lingkungan sosial dan lebih rentan mengalami berbagai masalah
psikologis.(Tiffin PA et al, 2011) Remaja mungkin saja membuat perbandingan antara
10
dirinya dengan teman sebayanya sehingga terkadang merasa kecewa jika perubahan tersebut
tidak seperti yang mereka harapkan. Remaja yang mampu menyesuaikan diri terhadap
perubahan fisik dengan baik ditandai dengan adanya penerimaan yang positif terhadap
dirinya dan dapat melakukan kegiatan yang bermanfaat untuk dirinya. (Suryani L et al, 2013)
Emosi adalah reaksi sesaat yang biasanya muncul dalam bentuk perilaku, sedangkan
perasaan adalah sesuatu yang sifatnya lebih menetap.(Marheni A et al, 2004) Gejolak emosi
yang cenderung tinggi sering dialami oleh remaja. Periode remaja cenderung memperlihatkan
tempramental atau beremosi tinggi, dalam arti emosi negatif mereka lebih mudah muncul.
Emosi negatif tersebut misalnya sedih, cemas, marah, cemburu dan kecewa. Emosi lain yang
dialami remaja adalah cinta, saying dan bahagia.(Suryani L et al, 2013)
11
dunia internal, dengan kemampuan untuk memahami pendapat orang lain yang
dikembangkan lebih lanjut dan membuat hipotesis dengan memanipulasi konsep internal
yang ada.(Selina H et al, 2011)
Cara berpikir yang membedakan remaja dengan masa sebelumnya terbagi menjadi 5
karakteristik, yaitu mampu berpikir tentang kemungkinan- kemungkinan yang telah maupun
yang akan terjadi, berpikir dengan hipotesis, berpikir jauh ke depan, membuat rencana, dan
strategi yang tepat, berpikir tanpa batas dan bersifat abstrak, misalnya tentang politik, agama,
atau keyakinan moral maupun hubungan antar manusia. Karakteristik lain yang ditemukan
adalah metakognisi, yaitu suatu proses berpikir, mampu mengukur kemampuan diri,
pengetahuan, tujuan, serta langkah-langkah untuk mencapainya, sehingga mampu membuat
suatu keputusan dan memilih strategi atau alternatif pemecahan masalah.(Suryawan W et al,
2004)
Perilaku remaja sangat rentan terhadap pengaruh lingkungan, disatu pihak remaja
mempunyai keinginan kuat untuk mengadakan interaksi sosial dalam upaya mendapatkan
kepercayaan dari lingkungan, di lain pihak ia mulai memikirkan kehidupan secara mandiri,
terlepas dari pengawasan orang tua dan sekolah. Salah satu bagian perkembangan masa
remaja yang tersulit adalah penyesuaian terhadap lingkungan sosial. Remaja harus
menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan interpersonal yang awalnya belum
pernah ada, juga harus menyesuaikan diri dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga
dan sekolah. Untuk mencapai tujuan pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat banyak
penyesuaian baru. Ia harus mempertimbangkan pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam
perilaku sosial, membentuk kelompok sosial baru dan nilai-nilai baru memilih teman.(Dinkes
Sulsel, 2014)
12
a. Lingkungan keluarga
b. Lingkungan sekolah
Peranan sekolah tidak kalah penting dalam pembangunan karakter, karena pada umumnya
anak yang sudah bersekolah menghabiskan waktu sekitar 7 jam di sekolahnya. Sering terjadi
masalah dalam sekolah karena adanya imaturitas, yang disebabkan kesukaran dalam
pengalaman sebelumnya. Tekanan untuk menentukan masa depan remaja atau pekerjaannya
terlalu cepat dan tergesa-gesa seharusnya tidak boleh diadakan. Remaja memerlukan waktu
untuk bereksperimen. Terkadang tekanan untuk membuat keputusan yang terlalu cepat
menyebabkan remaja mengalami ansietas yang besar.(IKA FKUI, 1985)
13
Tata tertib sekolah yang ketat, mengharuskan remaja untuk berperilaku disiplin.
Sebaliknya, kelonggaran tata tertib sekolah dapat membuat remaja bertingkah semaunya,
tidak memiliki sikap saling menghormati, menyebabkan remaja menjadi nakal dan brutal.
Selain mengajarkan ilmu yang ditetapkan oleh kurikulum, dalam proses belajar mengajar,
guru juga memberikan nilai-nilai kerjasama, sikap empati, menghargai sesama, dan sikap lain
yang membuahkan kecerdasan emosional. Karenanya peran guru sangatlah penting dalam
membina perkembangan mental emosional remaja.(Dinkes Sulsel, 2014)
d. Lingkungan masyarakat
Agar seorang anak secara psikososial dapat berkembang spontan dan wajar,
diperlukan rasa kasih sayang, pengertian, perasaan aman, disiplin, penghargaan, dan
penerimaan dari masyarakat sekitarnya.(IKA FKUI, 1985) Masyarakat merupakan
lingkungan terluas bagi remaja. Tuntutan agar remaja mengikuti aturan budaya, kecemasan
akan menghadapi hukuman, ancaman, dan tidak adanya kasih sayang merupakan dorongan
yang menyebabkan remaja terpaksa mengikuti tuntutan lingkungan budaya (socialized
anxiety). Apabila kecemasan ini terlalu berat, akibat yang ditimbulkan adalah hambatan
tingkah laku. Remaja menjadi serba ragu, takut, dan dapat menjurus kepada keadaan cemas
yang patologis. Akan tetapi, dalam kondisi yang tepat, kecemasan ini mendorong remaja
untuk lebih bertanggung jawab, hati-hati, dan menjaga tingkah lakunya agar sesuai dengan
norma yang berlaku.(Dinkes Sulsel, 2014)
14
2.4 Deteksi Dini Masalah Mental Emosional
Deteksi dini masalah mental emosional dapat dinilai atau diukur dengan berbagai
macam instrumen seperti Pediatric Symptom Checklist (PSC), CRAFFT, Child Behaviour
Checklist (CBC), Childrens’s Social Behaviour Questionaire (CSBQ), Computer Based
Screening for Adolescent, dan Strength Difficulties Quesioner (SDQ).(Satgas Remaja IDAI,
2010)
SDQ adalah kuesioner singkat yang terdiri dari 25 item yang meliputi 5 subskala yaitu
masalah emosional, masalah perilaku, hiperaktif-inatensi, dan masalah dengan teman sebaya
serta perilaku prososial. Masing-masing bagian tersebut terdiri dari lima pertanyaan. Setiap
pertanyaan mengandung tiga jawaban, yaitu : tidak benar, agak benar, dan benar yang dapat
dipilih oleh pengisi kuesioner dengan cara memberi tanda rumput ( ) pada pernyataan yang
sesuai. Setelah kuesioner terisi, jawaban diberi skor sesuai kelompok bagiannya masing-
masing sesuai dengan nilai yang telah ditentukan. Interpretasi hasil yang didapatkan adalah :
Normal, Borderline, atau Abnormal. (Goodman R et al, 2000)
15
Manfaat SDQ sebagai penilaian klinis yaitu dapat digunakan pelayanan kesehatan dan
gangguan mental sebagai bagian untuk menilai gangguan pada anak dan remaja, hasilnya
mempengaruhi assesment yang dibuat dan menentukan tenaga profesional apa saja yang
terlibat untuk membantu memecahkan masalah. Manfaat lain adalah sebagai bahan untuk
evaluasi yang dilakukan sebelum dan sesudah intervensi, dan hasil pemeriksaan sensitif
terhadap perubahan yang terjadi akibat intervensi. SDQ dapat diterima di berbagai komunitas
sehingga digunakan sebagai pengambilan data masalah remaja. SDQ mempunyai sensitivitas
63,3% dan spesifitas 94,6% untuk mendeteksi gangguan psikiatrik pada komunitas sehingga
dapat digunakan sebagai alat bantu penelitian di bidang perkembangan, genetik, sosial, klinis,
dan pendidikan.(Goodman R et al, 2000)
Penilaian SDQ dan alat skrining lain seperti CBC mempunyai korelasi yang baik
dalam membedakan sampel yang berasal dari komunitas atau klinik dan dapat digunakan
sebagai penilaian untuk menyingkirkan gangguan psikiatri anak usia 4 – 16 tahun.
Dibandingkan dengan CBC, SDQ dapat diselesaikan dalam waktu yang lebih cepat. SDQ
juga lebih baik dalam mendeteksi adanya gangguan hiperaktivitas, inatensi, mengenali
masalah internalisasi dan eksternalisasi, pemeriksaan tepat waktu dapat menjadi dasar untuk
intervensi yang efektif sebelum penyimpangan awal menjadi perilaku maladaptif yang
menetap. (Goodman R et al, 1998)
16
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian survei dengan pendekatan cross sectional, dimana
kegiatan pengumpulan data dilakukan dari responden pada satu waktu, dengan jenis penelitian
bersifat deskriptif dan analitik, yang bertujuan untuk menggambarkan prevalensi gangguan
mental dan emosional pada siswa SMAN 2 Madiun, yang merupakan wilayah kerja Puskesmas
Patihan.
Lokasi penelitian ini adalah SMAN 2 Madiun, Kelurahan Madiun Lor, Wilayah Kerja
Puskesmas Patihan, Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun.
Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, maka populasi dalam penelitian ini adalah
semua peserta siswa kelas X SMAN 2 Madiun yang masuk sekolah pada 31 Oktober 2018
Pada penelitian ini, penarikan sampel menggunakan teknik Purposive Sampling, yaitu
proses pengambilan sampel yang didasari secara langsung oleh pertimbangan peneliti.
Pengambilan sampel dilakukan dengan batasan kriteria inklusi dan eksklusi.
17
3.4 Kriteria Pemilihan Subjek Penelitian
Seluruh siswa kelas X SMAN 2 Madiun yang masuk sekolah 31 Oktober 2018.
3.4.2 Kriteria Eksklusi
Siswa kelas X SMAN 2 Madiun yang tidak kooperatif dalam pelaksanaan penelitian.
Siswa kelas X SMAN 2 Madiun yang sedang ijin untuk tidak masuk sekolah
Siswa kelas X SMAN 2 Madiun yang izin tidak masuk sekolah saat dilakukan
intervensi
Peserta yang tidak bersedia atau menolak berpartisipasi dalam penelitian.
1. Data Primer
Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah: data demografis (nama, tanggal lahir,
jenis kelasmin, kelas, nomor absen tingkat pendidikan, dan pekerjaan) dan data kesehatan
mental dan emosional siswa kelas X SMAN 2 Madiun, yang diperoleh dengan cara pengisian
kuesioner yang dilakukan secara manual.
2. Data Sekunder
Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah: demografi penduduk, gambaran
umum mengenai Puskesmas Patihan, laporan orang dengan gangguan jiwa di wilayah kerja
Puskesmas Patihan. Data sekunder ini didapatkan dari profil Puskesmas Patihan dan laporan
pemegang program terkait.
18
Gejala emosi (5 pertanyaan)
Masalah perilaku (5 pertanyaan)
Hiperaktivitas/inatensi (5 pertanyaan)
Masalah hubungan dengan teman sebaya (5 pertanyaan)
Perilaku prososial (5 pertanyaan)
Masalah ini kemudian akan diinterpretasikan menjadi “normal”, “borderline”, atau “abnormal”
sesuai kelompok masing-masing.
Keempat domain pertama digunakan untuk menilai kesulitan-kesulitan yang dihadapi anak,
sementara penilaian domain kelima menunjukkan kekuatan yang dimiliki anak dan remaja.
b. Pengkodean (coding)
Usaha mengklarifikasi jawaban-jawaban yang ada menurut jenis pertanyaan. Sehingga
menjadi bentuk lebih ringkas dengan menggunakan kode.
Pada penelitian ini digunakan analisa univariat, yaitu analisa yang dilakukan terhadap
setiap variabel dari hasil penelitian. Dalam analisa penelitian akan menghasilkan distribusi dan
persentase dari tiap variable yang diteliti, yaitu variabel pengetahuan dan variabel sikap.
19
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Kota Madiun berada di bagian barat wilayah Propinsi Jawa Timur, merupakan dataran
rendah, terletak antara 7–8 derajat Lintang Selatan dan 111–112 derajat Bujur Timur dengan
ketinggian lebih kurang 63 meter dari permukaan air laut. Dalam 1 kota Madiun, terdapat 3
kecamatan yaitu kecamatan Manguharjo, Kecamatan Kartoharjo, dan Kecamatan Taman. Kota
Madiun memiliki total 6 Puskesmas Induk yaitu Puskesmas Manguharjo, Patihan, Demangan,
Banjarejo, Oro – Oro Ombo, dan Tawang.
UPTD Puskesmas Patihan Kota Madiun merupakan Puskesmas yang terletak disebelah
utara dari Kota Madiun. Lokasinya bertempat di Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun. Letak
geografis Puskesmas Patihan Kota Madiun adalah di bagian barat wilayah Provinsi Jawa
Timur, merupakan dataran rendah dengan ketinggian lebih kurang 63 meter dari permukaan air
laut.
Secara administratif wilayah kerja UPTD Puskesmas Patihan Kota Madiun dibagi
menjadi 5 kelurahan, yaitu Kelurahan Patihan, Kelurahan Madiun Lor, Kelurahan
Pangongangan Kelurahan Sogaten dan Kelurahan Ngegong. Luas wilayah kerja UPTD
Puskesmas Patihan Kota Madiun seluruhnya 4,69 Km2 yang terbagi atas:
20
Berdasarkan hasil registrasi penduduk di Badan Pusat Statistik Kota Madiun, jumlah
penduduk di wilayah kerja UPTD Puskesmas Patihan Kota Madiun Tahun 2016 sebanyak
19.814 jiwa terdiri dari 10.001 laki-laki dan 9.813 perempuan. Jumlah rumah tangga (KK)
sebanyak 5.761 KK, rata-rata jumlah anggota keluarga tiap rumah tangga sebanyak 3,44 jiwa
dengan tingkat kepadatan penduduk di wilayah kerja UPTD Puskesmas Patihan Kota Madiun
mencapai 4.224,73 jiwa/Km2. Tingkat kepadatan penduduk tertinggi Kelurahan Madiun Lor
9.309,46 jiwa/Km2, selanjutnya Kelurahan Pangongangan 4.352,46 jiwa/Km2, Kelurahan
Patihan 4.702,38 jiwa/Km2, Kelurahan Sogaten 3.386,84 jiwa/Km2 dan tingkat kepadatan
penduduk terendah Kelurahan Ngegong sebesar 1.808,09 jiwa/Km2.
21
11 Tenaga Analis Laboratorium 2
12 Tenaga Penyuluh Kesehatan 1
13 Tenaga Administrasi 1
14 Sopir, Penjaga 2
Total 41
Tabel 4.3. Kegiatan Peran Serta Masyarakat Puskesmas Patihan Tahun 2017
No. Kegiatan Peran Serta Masyarakat Jumlah
1. Posyandu 29
2. Desa Siaga 5
3. Posbindu PTM 5
Jumlah 39
Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) adalah segala usaha yang dilakukan untuk
meningkatkan kesehatan anak usia sekolah pada setiap jalur, jenis dan jenjang pendidikan
mulai dari TK/RA sampai SMA/SMK/MA/MAK. Tujuan UKS adalah untuk meningkatkan
22
mutu pendidikan dan prestasi belajar peserta didik dengan meningkatkan perilaku hidup bersih
dan sehat serta derajat kesehatan peserta didik dan menciptakan lingkungan yang sehat,
sehingga memungkinkan pertumbuhan dan perkembangan yang harmonis dan optimal dalam
rangka pembentukan manusia Indonesia seutuhnya.
Berikut ini adalah laporan hasil skrining tahunan UKS siswa SMA/SMK di wilayah
kerja Puskesmas Patihan pada bulan tahun ajaran 2018 - 2019:
Tabel 4.5. Skor SDQ berdasarkan laporan hasil skrining tahunan UKS SMA/SMK di
wilayah kerja patihan
Skor SDQ
No Nama Sekolah
E C H P Pr
1 SMAN 2 30 9 10 3 1
2 SMAN 3 3 2 4 2 3
3 SMA ST BONAVENTURA 5 11 6 1 0
4 SMK INDUSTRI 0 1 0 0 0
5 SMK GAMALIEL 2 0 0 0 0 0
6 SMK ST BONAVENTURA 0 0 0 0 0
7 SMK PGRI 0 0 0 0 0
Tabel 4.5. menunjukkan dari hasil laporan di atas, didapatkan sebagian besar masalah mental-
emosional remaja banyak ditemukan di SMAN 2, SMAN 3, dan SMA St. Bonaventura.
23
4.4 Data Hasil Penelitian
Pada miniproject ini, peneliti menggambarkan data dan hasil penelitian tentang
kesehatan mental dan emosional pada remaja di siswa kelas X SMAN 2 Madiun. Penilaian
tentang kesehatan jiwa remaja adalah suatu proses yang memerlukan penelitian atau evaluasi
secara rutin dan berkesinambungan, serta intervensi lanjutan bagia temuan masalah. Hal ini
dikarenakan kesehatan jiwa remaja merupakan hal yang penting untuk ditindak lanjuti untuk
mencengah masalah kejiwaan yang lebih berat di kemudian hari.
Hasil pada penelitian ini diperoleh dari data pengisian pribadi kuesioner SDQ tentang
tingkat kesulitan yang dialami remaja dalam kaitannya dengan kesehatan mental-emosional
remaja. Peneliti menggunakan metode ini dengan harapan menjaring permasalahan mental-
emosional pada remaja untuk intervensi sedini mungkin, sehingga mencegah perkembangan
masalah kejiwaan lebih lanjut.
Terdapat total 274 peserta survei dari siswa kelas X SMAN 2 Madiun pada tanggal 31
Oktober 2018 yang memenuhi kriteria inklusi. Penelitian dilakukan melalui pengisian pribadi
kuesioner SDQ oleh responden. Kuesioner ini terdiri dari 25 pertanyaan yang diisi secara
pribadi oleh masing-masing responen dengan lama waktu sekitar 10-15 menit. Hasil
rekapitulasi data yang terkumpul akan dievaluasi, kemudian anak dengan skor total kesulitan
berada dala kategori abnormal akan dirujuk ke
Responden penelitian ini adalah 274 siswa SMAN 2 Madiun yang memenuhi kriteria
inklusi dengan 39 siswa menenuhi kriteria eksklusi, karena tidak hadir saat survey
dilaksanakan. Responden diambil dari populasi penelitian seluruh siswa kelas X SMAN 2
Madiun di Wilayah Kerja Puskesmas Patihan, Kota Madiun. Karakteristik responden penelitian
diuraikan lebih lanjut di bawah ini.
24
Tabel 4.6 Tabel Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 4.7 menunjukkan bahwa responden jurusan IPA sebanyak 83,2%, jurusan IPS
16,8%. Sedangkan tidak didapatkan responden dengan jurusan bahasa.
25
4.4.2. Hasil Penelitian
4.4.2.1. Distribusi Hasil Skoring Total Kesulitan Berdasarkan SDQ
Berikut ini merupakan gambaran kesulitan dan kendala mental-emosional pada siswa
kelas X SMAN 2 Madiun, seperti ditunjukkan pada tabel dan grafik di bawah ini.
Tabel 4.10 Skor total kesulitan pada siswa kelas X SMAN 2 Madiun berdasarkan skoring
kuesioner SDQ.
Normal Borderline Abnormal Total
Kriteria
n % n % n % n %
Total Skor Kesulitan 224 81,7 38 13,9 12 4,4 274 100,0
- Gejala Emosional 222 81 22 8 30 11 274 100,0
- Masalah Perilaku 243 88,7 20 7,3 11 4 274 100,0
- Hiperaktivitas 224 81,7 31 11,3 19 7 274 100,0
- Masalah Pertemanan 225 82,1 43 15,7 6 2,2 274 100,0
Tabel 4.10 menunjukkan bahwa terdapat 12 siswa atau 4,4% dari responden dengan
total skor kesulitan masuk kategori abnormal, 38 siswa atau 13,9% dari responden kategori
borderline, dan sisanya 224 orang atau 81,7% dari responden kategori normal.
Grafik 4.01 Skor total kesulitan pada siswa kelas X SMAN 2 Madiun berdasarkan
skoring kuesioner SDQ.
4.4
13.9
81,7
Grafik 4.01 menunjukan 4,4% responden masuk kategori abnormal, 13,9% responden
masuk kategori borderline, 81,7% responden masuk kategori normal
26
4.4.2.2. Distribusi Hasil Skoring Perilaku Prososial Berdasarkan SDQ
Berikut ini merupakan gambaran skor perilaku prososial pada siswa kelas X SMAN 2
Madiun, seperti ditunjukkan pada tabel dan grafik di bawah ini.
Tabel 4.02 Skor perilaku prososial pada siswa kelas X SMAN 2 Madiun berdasarkan skoring
kuesioner SDQ.
Jumlah
Perilaku Prososial
n %
Normal 250 91,2
Borderline 13 4,7
Abnormal 11 4,1
Total 274 100
Tabel 4.02 menunjukkan bahwa terdapat 11 siswa atau 4,1% dari responden dengan
perilaku prososial masuk kategori abnormal, 13 siswa atau 4,7% dari responden kategori
borderline, dan sisanya 250 orang atau 91,2% dari responden kategori normal.
27
4.4.2.3 Hasil Tabulasi Silang Antara Total Skor Kesulitan Dan Karakteristik Demografis
Responden.
Pada penelitian kali ini, peneliti melakukan tabulasi silang antara hasil total skor
kesulitan dan karakteristik demografis tiap-tiap responden. Tabulasi silang ini dilakukan pada
hasil kuesioner SDQ yang diuraikan berdasarkan jenis kelamin dan jurusan yang diambil
responden, lebih lanjut akan dijabarkan di bawah ini.
Tabel 4.10 Tabulasi Silang Antara Total Skor Kesulitan Dan Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan
Kriteria Kategori
n % n %
Total Skor Kesulitan Borderline 10 10,3 28 15,8
Abnormal 5 5,1 7 4,0
- Gejala Emosional Borderline 3 3,1 19 10,7
Abnormal 11 11,3 19 10,7
- Masalah Perilaku Borderline 7 7,2 13 7,3
Abnormal 3 3,1 8 4,5
- Hiperaktivitas Borderline 10 10,3 21 11,9
Abnormal 7 7,2 12 6,8
- Masalah Pertemanan Borderline 14 14,4 29 16,4
Abnormal 2 2,1 4 2,2
Tabel tabulasi 4.10 menunjukkan bahwa tampak pada responden laki-laki dan
perempuan didominasi oleh masalah emosional
28
Grafik 4.2. Tabulasi Silang Antara Total Skor Kesulitan Dan Jenis Kelamin
Tabulasi Silang Antara Total Skor Kesulitan Dan Jenis Kelamin
28 29
30
25 21
19 19
20
Axis Title
13 14
15 11 12
10 10
10 7 7 8 7
5 4
5 3 3 2
0
Total Skor Gejala Masalah Hiperaktivita Masalah
Kesulitan Emosional Perilaku s Pertemanan
L(BORDERLINE) 10 3 7 10 14
P(BORDERLINE) 28 19 13 21 29
L(ABNORMAL) 5 11 3 7 2
P(ABNORMAL) 7 19 8 12 4
Grafik 4.2. menunjukkan bahwa terdapat jumlah total skor kesulitan kategori abnormal
dengan jumlah yang seimbang antara repsonden laki-laki dan perempuan. Tampak pada
responden laki-laki dan perempuan kesulitan didominasi masalah emosional.
Tabel 4.11. Tabulasi Silang Antara Total Skor Kesulitan Dan Jurusan Pendidikan
MIPA IPS
Kriteria Kategori
n % N %
Total Skor Kesulitan Borderline 29 12,7 9 19,5
Abnormal 8 3,5 4 8,7
- Gejala Emosional 19 8,3 3 6,5
Borderline
24 10,5 6 13,0
Abnormal
- Masalah Perilaku 16 7,0 4 8,7
Borderline
7 3,1 4 8,7
Abnormal
- Hiperaktivitas 25 10,9 6 13,0
Borderline
14 6,1 5 10,9
Abnormal
- Masalah Pertemanan 34 14,9 9 19,6
Borderline
2 0,8 4 8,7
Abnormal
Tabel 4.11. menunjukkan bahwa masalah berdasarkan total skor kesulitan sebagian
besar dari kelompok jurusan IPA (Abnormal 8, Borderline 29), dibandingkan dari kelompok
29
IPS (Abnormal 4, Borderline 9). Tampak pada responden jurusan IPA dan IPS kesulitan
terutama didonimasi kelompok masalah pertemanan.
Grafik 4.3. Tabulasi Silang Antara Total Skor Kesulitan Dan Jurusan Pendidikan
20 16
14
15
9 8 9
10 6 7 6
4 4 4 5 4
3 2
5
0
Total Skor Gejala Masalah Hiperaktivita Masalah
Kesulitan Emosional Perilaku s Pertemanan
IPA(BORDERLINE) 29 19 16 25 34
IPS(BORDERLINE) 9 3 4 6 9
IPA(ABNORMAL) 8 24 7 14 2
IPS(ABNORMAL) 4 6 4 5 4
Grafik 4.3. menunjukkan bahwa masalah berdasarkan total skor kesulitan sebagian
besar dari kelompok jurusan IPA (Abnormal 8, Borderline 29), dibandingkan dari kelompok
IPS (Abnormal 4, Borderline 8). Tampak pada responden jurusan IPA dan IPS kesulitan
terutama didonimasi kelompok masalah pertemanan.
Tabel 4.12. Tabulasi Silang Antara Perilaku Prososial dan Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan
Perilaku Prososial
n % N %
Borderline 2 2,1 11 6,2
Abnormal 4 4,1 7 3,9
Tabel tabulasi 4.12. menunjukkan bahwa terdapat jumlah total skor prilaku Prososial
yang abnormal secara persentase lebih tinggi pada siswa laki laki dibandingkan siswa
perempuan.
30
Tabel 4.13. Tabulasi Silang Antara Perilaku Prososial dan Jurusan
IPA IPS
Perilaku Prososial
n % n %
Borderline 8 3,5 5 10,9
Abnormal 11 4,8 0 0,0
Tabel tabulasi 4.13. menunjukkan bahwa terdapat jumlah total skor kesulitan kategori
prososial yang abnormal pada pelajar IPA lebih tinggi dibandingkan pelajar IPS
Berikut ini merupakan gambaran siswa yang menjadi sasaran intervensi, yaitu siswa
dengan total skor kesulitan abnormal, dan siswa yang menjadi sasaran follow up adalah siswa
dengan skor borderline ataupun skor normal namun memiliki salah satu kelompok kesulitan
dengan kategori abnormal atau lebih. Bagi siswa dengan total kesulitan borderline atau normal
dengan salah satu kelompok kategori abnormal akan diberikan intervensi ulang berupa follow
up dengan test ulang saat skrining berikutnya. Bagi siswa dengan total skor kesulitan abnormal
akan diminta untuk datang ke puskesmas untuk dilakukan wawancara psikiatrik untuk
menentukan apakah temuan merupakan positif sejati atau positif palsu, apabila positif sejati,
akan dicari diagnosis psikiatrik patologis yang ditemukan pada responden tersebut dan
dilakukan pengobatan sesuai indikasi. Pada responden sasaran follow up akan dilakukan
pemeriksaan SDQ ulang pada skrining di tahun berikutnya.
Tabel 4.14. Gambaran setiap kelompok kesulitan pada sasaran intervensi berdasarkan
hasil penilaian kuesioner SDQ
Total Skor No Gejala Masalah Hiperaktivitas Masalah
31
135 Abnormal Normal Normal Borderline
164 Abnormal Normal Borderline Abnormal
167 Normal Borderline Borderline Borderline
254 Borderline Borderline Abnormal Abnormal
257 Abnormal Abnormal Abnormal Abnormal
261 Abnormal Abnormal Abnormal Borderline
269 Normal Abnormal Abnormal Abnormal
Borderline 5 Normal Normal Normal Borderline
6 Normal Normal Abnormal Normal
17 Borderline Normal Normal Borderline
20 Abnormal Normal Normal Borderline
21 Abnormal Normal Normal Borderline
25 Abnormal Normal Borderline Normal
40 Abnormal Normal Borderline Borderline
48 Borderline Borderline Normal Borderline
56 Borderline Borderline Normal Borderline
86 Normal Normal Abnormal Normal
89 Abnormal Normal Normal Borderline
98 Normal Abnormal Normal Normal
99 Abnormal Normal Normal Normal
109 Abnormal Normal Borderline Normal
114 Abnormal Borderline Borderline Normal
122 Borderline Abnormal Normal Borderline
123 Normal Normal Abnormal Normal
127 Normal Abnormal Abnormal Normal
137 Normal Normal Normal Borderline
141 Abnormal Normal Normal Normal
147 Abnormal Borderline Normal Normal
154 Normal Normal Borderline Borderline
184 Normal Borderline Abnormal Normal
195 Borderline Normal Borderline Normal
197 Borderline Normal Normal Borderline
200 Abnormal Normal Normal Borderline
201 Normal Normal Borderline Normal
211 Borderline Normal Normal Normal
223 Normal Borderline Normal Normal
249 Abnormal Normal Normal Normal
252 Borderline Normal Normal Borderline
253 Normal Normal Normal Abnormal
255 Abnormal Normal Normal Borderline
262 Normal Borderline Borderline Borderline
263 Abnormal Normal Abnormal Normal
264 Normal Abnormal Borderline Normal
265 Normal Borderline Borderline Normal
272 Abnormal Normal Normal Normal
Normal 36 Normal Normal Abnormal Normal
42 Abnormal Normal Normal Normal
47 Abnormal Normal Normal Normal
51 Normal Abnormal Normal Normal
32
55 Abnormal Normal Normal Normal
59 Normal Abnormal Normal Normal
68 Normal Normal Abnormal Normal
76 Abnormal Normal Normal Normal
77 Abnormal Normal Normal Normal
108 Abnormal Normal Normal Normal
170 Normal Abnormal Normal Normal
172 Normal Normal Abnormal Normal
178 Abnormal Normal Normal Borderline
182 Borderline Normal Abnormal Normal
189 Normal Abnormal Normal Normal
204 Normal Normal Abnormal Normal
228 Normal Normal Normal Abnormal
Tabel 4.14. menunjukan bahwa siswa yang menjadi sasaran intervensi merupakan siswa
dengan salah satu atau lebih kelompok kesulitan kategori abnormal. Bagi siswa dengan total
kesulitan borderline atau normal dengan salah satu kelompok kategori abnormal akan
diberikan intervensi ulang berupa follow up dengan test ulang saat skrining berikutnya.
Grafik 4.4. menunjukkan proporsi positif palsu dan positif sejati berdasarkan intervensi
33
Grafik 4.4. menunjukan bahwa berdasarkan hasil intervensi ditemukan 2 responden
dengan positif palsu dan 8 responden positif sejati.
Berikut ini merupakan gambaran hasil isian kuesioner lanjutan SDQ mengenai dampak
kesulitan terhadap kehidupan sehari-hari responden, yang diisi oleh responden sasaran
intervensi yang ada dalam kategori positif sejati.
4
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
Keluhan dari Guru Keluhan dari Keluarga
Tidak Pernah 4 4
Terkadang 2 0
Sering 0 2
34
Grafik 4.6. Menunjukan Derajat Kesulitan yang Dirasakan Responden Mengenai :
Emosi, Konsenstrasi, Perilaku, atau Hubungan Sosial dengan Orang Lain.
1
Tidak Ada Kesulitan
1-5 Bulan
5 2 6-12 Bulan
≥ 1 Tahun
Grafik 4.7. menunjukan bahwa sebagian besar reponden telah mengalami kesulitan ini
lebih dari 1 tahun.
35
Grafik 4.8. Menunjukan Seberapa Besar Kesulitan Membuat Responden Kecewa
dan/atau Tertekan
2
3 Tidak Sama Sekali
Sedikit
Sedang
Berat
Grafik 4.8. menunjukan bahwa sebagian besar responden merasakan kesulitan ini
menimbulkan perasaan tertekan yang cukup besar
Grafik 4.9. menunjukan bahwa kesulitan cukup berpengaruh terhadap hubungan dengan
orang sekitar
36
Grafik 4.10. Menunjukkan Seberapa Kesulitan Mempengaruhi Kehidupan Sehari-hari
dari berbagai bidang.
5
4.5
4
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
Kehidupan di Pertemanan Pelajaran di Aktivitas di
Rumah Kelas Waktu Luang
Tidak Sama Sekali 4 4 4 5
Sedikit 2 1 1 3
Sedang 1 3 1 0
Berat 1 0 2 0
Grafik 4.10. menunjukan bahwa sebagian besar masalah timbul merupakan masalah
pertemanan dan pelajaran di kelas.
37
BAB V
DISKUSI
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan jumlah sampel sebanyak
274 responden yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak melanggar kriteria eksklusi.
Responden diambil dari seluruh siswa kelas X SMAN 2 Madiun, yang merupakan Wilayah
Kerja Puskesmas Patihan, Kota Madiun pada tanggal 31 Oktober 2018. Penelitian dilakukan
untuk mengetahui gambaran kesehatan mental-emosional remaja di wilayah kerja Puskesmas
Patihan.
Pada penelitian ini dilakukan tabulasi Total Skor Kesulitan dan Skor Perilaku Prososial,
berdasarkan hasil pengisian kuesioner pribadi oleh responden melalui penjumlahan skala gejala
emosional, skala masalah perilaku, skor hiperaktivitas, skor masalah pertemanan. Dari hasil
tabulasi didapatkan 12 reponden (4,4%) dengan dengan hasil skor abnormal, 38 responden
(13,9%) borderline, dan 224 responden (81,7%) normal. Dari hasil ini kemudian dilakukan
pengelompokan hasil berdasarkan jenis kelamin responden, sehingga didapatkan data
responden dengan kategori abnormal dengan persentase lebih tinggi pada responden laki-laki
dibandingkan perempuan, dengan hasil 5,1% laki-laki dan 4,0% perempuan. Dari responden
dengan hasil hasil borderline tampak gambaran persebaran perempuan lebih banyak, yaitu
10,3% laki-laki, dan 15,8% perempuan. Lebih lanjut lagi dilakukan pengelompokan hasil
38
berdasarkan jurusan responden dan didapatkan data responden dengan kategori abnormal pada
jurusan IPS lebih tinggi dibandingkan MIPA, yaitu 8 responden atau 3,5% dari seluruh
responden jurusan MIPA dan 4 responden atau 8,7% dari seluruh responden jurusan IPS, dari
kategori borderline juga didapatkan distribusi yang lebih banyak pada jurusan IPS, yaitu 9
responden atau 19,5% dari seluruh responden jurusan IPS, dan dari jurusan MIPA ditemukan
29 responden dengan hasil borderline atau 12,7% dari seluruh responden jurusan MIPA.
Berdasarkan penilaian Skor Perilaku Prososial didapatkan 250 reponden (91,2%) kategori
normal, 13 responden (4,7%) kategori borderline, 11 responden (4,1%) kategori abnormal. Dari
hasil tersebut Skor Perilaku Prososial dengan kategori abnormal dan borderline ditemukan pada
responden jurusan MIPA dan IPS, dengan distribusi 3,5% responden jurusan MIPA borderline
dan 4,8% responden abnormal.pada jurusan IPS terdapat 10,9% responden jurusan IPS kategori
borderline. Berdasarkan jenis kelamin dengan hasil abnormal 4,1% dari responden laki-laki
dan 3,9 % dari responden perempuan, dengan hasil borderline 2,1% pada responden laki-laki
dan 6,2% dari responden perempuan.
Responden yang menjadi sasaran intervensi adalah siswa dengan total skor kesulitan
abnormal, dan siswa yang menjadi sasaran follow up adalah siswa dengan skor borderline
ataupun skor normal namun memiliki salah satu kelompok kesulitan dengan kategori abnormal
atau lebih. Bagi siswa dengan total kesulitan borderline atau normal dengan salah satu
kelompok kategori abnormal akan diberikan intervensi ulang berupa follow up dengan test
ulang saat skrining berikutnya. Bagi siswa dengan total skor kesulitan abnormal akan diminta
untuk datang ke puskesmas untuk dilakukan wawancara psikiatrik untuk menentukan apakah
temuan merupakan positif sejati atau positif palsu, apabila positif sejati, akan dicari diagnosis
psikiatrik patologis yang ditemukan pada responden tersebut dan dilakukan pengobatan sesuai
indikasi. Pada responden sasaran follow up akan dilakukan pemeriksaan SDQ ulang pada
skrining di tahun berikutnya. Dari hasil rekapitulasi data kuesioner SDQ ditemukan 12 orang
responden menjadi sasaran intervensi.
Intervensi dilakukan pada tanggal 12 November 2018 melalui wawancara psikiatri pada
tanggal 12 November 2018, dan menghasilkan 8 orang responden positif sejati dan 2 orang
responden positif palsu, dengan distribusi temuan diagnosis pada posistif sejati, yaitu depresi
berat dengan gejala psikotik 1 orang, gangguang cemas menyeluruh 2 orang, gangguan depresi
39
sedang 2 orang, gangguan bipolar 2 orang, dan gangguan penyesuaian 1 orang. Kemudian
dilakukan kuesioner SDQ lanjutan mengenai dampak kesulitan terhadap kehidupan sehari-hari
responden. Dari segi tanggapan orang tua dan guru didapati keluhan berkaitan kesulitan
responden ditemukan berasal dari keluarga sama dengan dari guru. Dari segi Derajat kesulitan
yang dirasakan responden mengenai emosi, konsentrasi, perilaku, dan hubungan dengan orang
lain, didapatkan 1 responden merasakan kesulitan berat, 5 responden merasakan kesuitan yang
bermakna, dan 2 responden mengalami kesulitan bermakna. Dari segi durasi kesuitan dirasakan
5 pasien telah mengalami kesulitan ini lebih dari 1 tahun, 2 responden merasakan kesulitan 6-
12 bulan, dan 1 responden merasakan kesulitan antara 1 sampai 5 bulan. Berdasarkan besarnya
kesulitan membuat responden kecewa dan/atau tertekan, didapati 2 responden merasakan
tekanan dan/atau kekecewaan berat, 3 responden merasakan tekanan dan/atau kekecewaan
sedikit dan 4 responden merasakan tekanan dan/atau kekecewaan sedang. Dari segi pengaruh
kesulitan terhadap hubungan dengan keluarga, teman, guru, dan orang sekitar, 3 reponden
merasakan perngaruh sedang, 3 responden merasakan pengaruh sedikit, dan 2 responden
merasakan tidak ada pengaruh sama sekali. Berdasarkan pengaruh kesulitan terhadap berbaagai
bidang kehidupan sehari-hari, ditemukan sebagian besar responden merasakan adanya
pengaruh kesulitan yang bermakna terhadap kehidupan pertemanan dan proses belajar di kelas
40
BAB VI
6.1 Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan di SMAN 2 Madiun, di Wilayah Kerja Puskesmas
Patihan, Kota Madiun pada tanggal 31 Oktober 2018, didapatkan kesimpulan sebagai berikut:
1. Berdasarkan kuesioner SDQ ditemukan 4,4% siswa sasaran intervensi dan 13,9% siswa
sasaran follow up
2. Dari seluruh responden abnormal ditemukan 80% merupakan positif sejati dengan dan 20%
positif palsu
5. Dari responden dengan positif sejati didapati, sebagian besar keluhan mengenai kesulitan
muncul dari keluarga responden, dan sebagian besar responden merasakan kesulitan berat
terkait emosi, konsentrasi, preilaku, dan hubungan social, serta membuat sebagian besar
responden merasa kecewa dan tertekan.
6. Sebagian besar responden telah mengalami kesulitan ini lebih dari 1 tahun, dan kesulitan ini
terutaman berpengaruh terhadapa kehidupan pertemanan dan proses belajar di kelas.
41
6.2 Saran
Saran yang dapat diberikan setelah pelaksanaan penelitian mini proyek ini adalah:
42
DAFTAR PUSTAKA
1. Organization WH. Mental health status of adolescents in South-East Asia: evidence for
action. 2017;
2. Dasar RK. RISKESDAS 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2013;
3. Gelder MG, Juan J, Nancy A. New Oxford textbook of psychiatry, Vol 1 & 2. Oxford:
Oxford university press; 2004.
4. Wiguna T, Manengkei PSK, Pamela C, Rheza AM, Hapsari WA. Masalah emosi dan
perilaku pada anak dan remaja di poliklinik jiwa anak dan remaja RSUPN dr.
Ciptomangunkusumo (RSCM), Jakarta. Sari pediatri. 2016;12(4):270–7.
5. Sulistyowati N, Senewe FP. Pola Pencarian dan Perilaku Beresiko Remaja di Indonesia.
Jurnal Ekologi Kesehatan. 2010;9(4):1347-1356.
6. Suryani L, Syahniar, Zikra. Penyesuaian Diri pada Masa Pubertas. Jurnal Ilmiah
Konseling. 2013;2(1):136-140.
9. Selina H, Hartanto F, Rahmadi FA. Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh
Kembang Anak dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro 2011.
11. Kementrian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2012. Jakarta 2013.
12. Nasir A, Muhith A. Dasar-dasar Keperawatan jiwa, Pengantar dan Teori. Jakarta:
Salemba Medika; 2011.
43
13. WHO. Mental health: a state of well-being. Available from:
http://www.who.int/features/factfiles/mental_health/en/ (accessed 11 October 2018).
14. Wiguna T. Peran Faktor Internal dan Eksternal dalam Timbulnya Gangguan Jiwa pada
Anak dan Remaja. Indonesian Psychiatric Quarterly. Jakarta: Yayasan Kesehatan Jiwa
"Dharmawangsa" 2006.
15. Wiguna T, Manengkei PSK, Pamela C, et al. Masalah Emosi dan Perilaku pada Anak
dan Remaja di Poliklinik Jiwa Anak dan Remaja RSUPN dr. Ciptomangunkusumo
(RSCM), Jakarta. Sari Pediatri. 2010;12(4):270-277.
16. Damayanti M. Masalah Mental Emosional pada Remaja : Deteksi dan Intervensi. Sari
Pediatri. 2011;13(1):45-51.
18. Isfandari S, Suhardi. Gejala Gangguan Mental Emosional pada Anak. Buletin Penelitian
Kesehatan. 1997;25(3&4):53-60.
19. Satgas Remaja IDAI. Masalah Mental Emosional Remaja dalam Bunga Rampai
Kesehatan Remaja. Jakarta: Badan Penerbit Badan Ikatan Dokter Anak Indonesia 2010.
20. Tiffin PA, Arnott B, Moore HJ, et al. Modelling the Relationship Between Obesity and
Mental Health in Children and Adolescents:Findings from the Health Survey for
England 2007. Child and Adolescent Psychiatry and Mental Health. 2011;5(31).
21. Marheni A. Perkembangan Psikososial dan Kepribadian Remaja dalam Buku Ajar
Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Jakarta: Sagung Seto 2004.
22. Suryawan W. Regulasi Neuroendokrin pada Remaja dalam Buku Ajar Tumbuh
Kembang Remaja dan Permasalahannya. Jakarta: Sagung Seto 2004.
23. Kusuma R. Perkembangan Kognitif pada Remaja dalam Buku Ajar Tumbuh Kembang
Remaja dan Permasalahannya. Jakarta: Sagung Seto 2004.
24. Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan. Pedoman Kesehatan Jiwa Remaja [homepage on
internet] cited 15 February 2014. Available from
http://dinkessulsel.go.id/new/images/pdf/pedoman/pedoman%20kes%20jiwa%20remaj
a.pdf.
44
25. Goodman R, Ford T, Simmons H, et al. Using the Strengths and Difficulties
Questionnaire (SDQ) to Screen for Child Psychiatric Disorders in a Community
Sample. British Journal of Psychiatry. 2000;177:534-539.
26. Goodman R, Scott S. Comparing the Strengths and Difficulties Questionnaire and the
Child Behavior Checklist : Is Small Beautiful? Journal of Abnormal Child Psychology.
1998;27(1):17-24.
45