Anda di halaman 1dari 124

PRODI TEKNIK LINGKUNGAN

FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
Jl. Achmad Yani Km. 36 Fakultas Teknik UNLAM Banjarbaru 70714,
Telp : (0511) 4773868 Fax: (0511) 4781730,Kalimantan Selatan,
Indonesia

Ucapan terimakasih kami ucapkan kepada

Rektor Universitas
Lambung Mangkurat
Prof. Dr. H. Sutarto Hadi,
M.Si, M.Sc.
Dekan Fakultas
Teknik
Universitas
Lambung
Mangkurat DrIng Yulian

Kepala Prodi Teknik

Firmana Arifin,

Lingkungan

S.T., M.T.

Universitas
Lambung Mangkurat
Dr. Rony Riduan,
ST.,MT.
Dosen Mata Kuliah
Kesehatan Lingkungan

Dosen Mata Kuliah

Kerja Prof. Dr.

Kesehatan Lingkungan

Qomariyatus Sholihah,

Kerja Rd. Indah Nirtha

Amd. Hyp., S.T., Mkes.

NPS, ST., M.Si

Anggota Kelompok :
Tanty Puspa Sari
Elsa Nadia Pratiwi
Rifda Iklila Ananda

TUGAS BESAR KESEHATAN LINGKUNGAN KERJA


ANALISA KUALITAS LIMBAH CAIR RUMAH SAKIT
UMUM DAERAH BANJARBARU

Dosen :
Prof. Dr. Qomariyatus Sholihah, Amd. Hyp. ST. Mkes

Oleh :
Tanty Puspa Sari

H1E113011

Elsa Nadia Pratiwi

H1E113014

Rifda Iklila Ananda

H1E113236

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2015

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Skripsi
SAKIT

: ANALISA KUALITAS LIMBAH CAIR RUMAH


UMUM DAERAH BANJARBARU

Nama Mahasiswa

: TANTY PUSPA SARI

H1E113011

ELSA NADIA PRATIWI

H1E113014

RIFDA IKLILA ANANDA

H1E113236

Program Studi

: Teknik Lingkungan

Peminatan

: Kesehatan Lingkungan Kerja

Disahkan Oleh
Dosen Pembimbing

Prof. Dr.Qomariyatus Sholihah,Amd.Hyp.ST.MKes

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang mana atas berkat
dan Rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas besar ini
dengan judul Analisa Kualitas Limbah Cair Rumah Sakit Umum Daerah
Banjarbaru. Tugas besar ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan
kelulusan mata kuliah Kesehatan Lingkungan Kerja di Fakultas Teknik (FT)
Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM).
Tersusunnya tugas besar ini, tidak terlepas dari dukungan dan bantuan serta
bimbingan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan terima kasih, kepada :
1. Prof. Dr. Qomariyatus Sholihah, Amd. Hyp. ST. Mkes selaku dosen
pembimbing mata kuliah Kesehatan Lingkungan Kerja yang telah
memberikan waktu dan bimbingan dalam proses penulisan skripsi ini.
2. Pihak Rumah Sakit Umum Daerah Banjarbaru yang telah bersedia
memberikan izin untuk melaksanakan observasi dalam rangka penyusunan
tugas besar ini.
3. Semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyeleseian tugas besar ini.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih
membutuhkan banyak masukkan dan kritikan dari berbagai pihak yang sifatnya
membangun dalam memperkaya tugas besar ini.
Namun demikian, penulis berharap semoga ini menjadi sumbangan berguna
bagi ilmu pengetahuan khususnya ilmu Kesehatan Lingkungan Kerja.

Banjarbaru, Desember 2015

Penulis

ii

RINGKASAN
Limbah cair rumah sakit mempunyai potensi untuk mencemari
lingkungan. Mengingat dampak yang mungkin timbul, maka diperlukan upaya
pengelolaan yang baik meliputi pengelolaan sumber daya manusia, alat dan
sarana. Begitu besarnya resiko yang dihadapi oleh tenaga penanganan limbah
medis ini, maka perlu perlindungan bagi tenaga kerja terhadap kesehatan dan
keselamatan kerja (K3) agar tidak terjadi resiko penyakit akibat kerja (PAK) dan
kecelakaan akibat kerja, alat pelindung diri (APD) yang seharusnya digunakan
oleh petugas. tidakdilaksanakan secara optimal. Padahal K3 sangat penting untuk
mencegah kecelakaan kerja.
Dari hasil observasi yang dilakukan pada Rumah Sakit Banjarbaru,
penerapan K3 petugas dalam pengolahan limbah cair Rumah Sakit Banjarbaru
tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor PER.08/MEN/VII/2010 karena APD yang disediakan sesuai
dengan SNI yaitu pemakaian masker khusus, sarung tangan dan sepatu safety
sedangkan petugas pengolahan limbah cair Rumah Sakit memakai masker biasa,
sarung tangan biasa dan sepatu boot saja.
Dalam uji coba lab limbah cair Rumah Sakit Banjarbaru yang diolah IPAL
oleh Badan Riset dan Standardisasi Banjarbaru, dapat diketahui hasil inlet limbah
rumah sakit adalah pH 7,52, Timbal (Pb) <0,001 Mg/l dan E. Coli 150000
CFU/100ml. Sedangkan hasil outletnya adalah pH 7,94, Timbal (Pb) <0,001 Mg/l
dan E. Coli 0 CFU/100ml. Dari hasil lab tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa
pengolahan limbah cair Rumah Sakit Banjarbaru menggunakan IPAL sangat baik
karena baik kandungan timbal dan E. Coli berkurang dan dibawah baku mutu
yang ditetapkan sehingga aman bagi lingkungan. Walaupun pH naik, hal itu tidak
berbahaya karena masih dibawah baku mutu yang ditetapkan pemerintah.

iii

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
RINGKASAN ........................................................................................................ iii
DAFTAR ISI.......................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL.................................................................................................. ix
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................................x
DAFTAR GRAFIK................................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................2
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................2
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................4
2.1 Rumah Sakit ...........................................................................................4
2.1.1 Definisi Rumah Sakit ..........................................................................4
2.1.2 Tujuan Rumah Sakit............................................................................6
2.1.3 Funsi Rumah Sakit ..............................................................................7
2.1.4 Klasifikasi Rumah Sakit......................................................................8
2.1.5 Tugas Rumah Sakit .............................................................................9
2.1.6 Kewajiban Rumah Sakit....................................................................10
2.2 Limbah Rumah Sakit ...........................................................................11
2.2.1 Definisi Limbah ................................................................................11
2.2.2 Definisi Limbah rumah Sakit ............................................................12
2.2.3 Macam Macam Limbah Rumah Sakit............................................13
2.2.4 Karateristik Limbah Rumah Sakit.....................................................16
2.2.5 Sumber Limbah Rumah Sakit ...........................................................22
2.2.6 Peraturan dan Baku Mutu Limbah Rumah Sakit ..............................24
2.2.7 Peraturan Perundang Undangan Tentang Pengolahan Limbah Cair
Rumah Sakit ...............................................................................................26

iv

2.2.8 Pengelolaan Air Limbah Rumah Sakit..............................................27


2.2.9 Teknik Pengolahan Limbah Medis ...................................................28
2.2.10 Penggunaan Incenerator Dalam Limbah Rumah Sakit ...................30
2.2.11 Fungsi Incenerator...........................................................................32
2.2.12 Prinsib Kerja Incenerator ................................................................33
2.2.13 Keuntungan Menggunakan Incenerator ..........................................33
2.2.14 Kelemahan Menggunakan Incenerator ...........................................33
2.2.15 Dampak Penggunaan Incenerator pada Limbah Rumah Sakit........34
2.2.16 Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Rumah Sakit..................35
2.2.16.1 Definisi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) ......................35
2.2.16.2 Peraturan Tentang Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) ......36
2.2.16.3 Tujuan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) ........................37
2.2.16.4 Manfaat dan Fungsi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) ...38
2.2.16.5 Klasifikasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) ..................38
2.2.16.6 Petugas Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) .......................38
2.2.17 Pengolahan Air Limbah Menurut Tingkatannya.............................39
2.2.18 Pengolahan Air Limbah Menurut Karateristiknya..........................41
2.2.19 Teknologi Pengolahan Air Limbah.................................................47
2.2.20 Pengolahan Air Limbah dengan Proses Lumpur Aktif ...................49
2.2.21 Pengolahan Air Limbah dengan Proses Reaktor Biologis Putar
(Rotating Biological Contractor, RBC) .....................................................51
2.2.22 Pengolahan Air Limbah dengan Proses Aerasi Kontak ..................56
2.2.23 Pengolahan Air Limbah dengan Proses Biofilter Up Flow .........58
2.2.24 Pengolahan Air Limbah dengan Proses Biofilter Anaerob-Aerob..61
2.2.25 Keuntungan Proses Biofilter Anaerob-Aerob..............................63
2.2.26 Pengaruh Pengelolaan Limbah Rumah Sakit Terhadap Masyarakat
dan Lingkungan Sekitar .............................................................................65
2.2.27 Dampak Negatif Pengelolaan Limbah Rumah Sakit ......................65
2.3.1 Pengertian Kesehatan dan Keselamatan Kerja..................................66
2.3.2 Pengertian Penyelenggara Kesehatan dan Keselamatan Kerja .........66
2.3.3 Peraturan Kesehatan dan Keselamatan Kerja Rumah Sakit (K3RS) 67
2.3.3.1 Peraturan Kesehatan Kerja ............................................................67

2.3.4 Regulasi Undang undang K3RS ....................................................68


2.3.5 Manajemen Keselamatan dan Kesehatan..........................................69
2.3.5.1 Planning/Perencanaan ....................................................................69
2.3.5.2 Organizing/Organisasi ...................................................................70
2.3.5.3 Actuating/Pelaksanaan ...................................................................71
2.3.5.4 Controlling/Pengawasan ................................................................72
2.3.6 Peningkatan Pengetahuan Tenaga Kerja Terhadap Keselamatan
Kerja...........................................................................................................73
2.3.7 Potensi Bahaya di Rumah Sakit ........................................................73
2.3.8 Analisa Sebab dan Akibat Kecelakaan .............................................74
2.3.9 Pemasangan Peringatan Bahaya Kecelakaan di Tempat Kerja.........75
2.3.10 Sistem Pelaporan dan Statistik Data Kecelakaan Kerja ..................76
2.3.11 Pencegahan dan Penanggulangan Kecelakaan Kerja ......................77
2.3.11.1 Pengamatan Resiko Bahaya di Tempat Kerja..............................77
2.3.11.2 Pelaksanaa SOP Secara Benar di Tempat Kerja ..........................78
2.3.11.3 Pengendalian Faktor Bahaya di Tempat Kerja.............................78
2.4 Alat Pelindung Diri ..............................................................................78
2.4.1 Pengertian Alat Pelindung Diri .........................................................78
2.4.2 Fungsi dan Jenis Alat Pelindung Diri ...............................................79
2.4.2.1 Alat Pelindung Kepala ...................................................................79
2.4.2.1.1 Fungsi..........................................................................................79
2.4.2.1.2 Jenis.............................................................................................79
2.4.2.2 Alat Pelindung Mata dan Muka .....................................................79
2.4.2.2.1 Fungsi..........................................................................................79
2.4.2.2.2 Jenis.............................................................................................79
2.4.2.3 Alat Pelindung Telinga ..................................................................79
2.4.2.3.1 Fungsi..........................................................................................79
2.4.2.3.2 Jenis.............................................................................................79
2.4.2.4 Alat Pelindung Pernapasan Beserta Perlengkapannya ...................80
2.4.2.4.1 Fungsi..........................................................................................80
2.4.2.4.2 Jenis.............................................................................................80
2.4.2.5 Alat Pelindung Tangan...................................................................80

vi

2.4.2.5.1 Fungsi..........................................................................................80
2.4.2.5.2 Jenis.............................................................................................80
2.4.2.6 Alat Pelindung Kaki.......................................................................80
2.4.2.6.1 Fungsi..........................................................................................80
2.4.2.6.2 Jenis.............................................................................................81
2.4.2.7 Pakaian Pelindung..........................................................................81
2.4.2.7.1 Fungsi..........................................................................................81
2.4.2.7.2 Jenis.............................................................................................81
2.4.2.8 Alat Pelindung Jatuh Perorangan ...................................................81
2.4.2.8.1 Fungsi..........................................................................................81
2.4.2.8.2 Jenis.............................................................................................81
2.4.2.9 Pelampung......................................................................................81
2.4.2.9.1 Fungsi..........................................................................................81
2.4.2.9.2 Jenis.............................................................................................82
2.4.3 Tempat Kerja Yang Wajib Menggunakan Alat Pelindung Diri........82
2.4.3.1 Tempat Kerja Yang Wajib APD 1 .................................................82
2.4.3.2 Tempat Kerja Yang Wajib APD 2 .................................................82
2.4.3.3 Tempat Kerja Yang Wajib APD 3 .................................................83
BAB III METODOLOGI.......................................................................................84
3.1 Hipotesis...............................................................................................84
3.2 Metodologi Penelitian ..........................................................................84
3.2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................84
3.2.2 Desain Penelitian...............................................................................84
3.2.3 Variabel Penelitian ............................................................................85
3.2.4 Objek Penelitian ................................................................................85
3.2.5 Metodologi Penelitian .......................................................................85
3.2.6 Instrumen Penelitian..........................................................................85
3.3 Teknik Analisa .....................................................................................85
3.4 Jadwal Kegiatan ...................................................................................86
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................87
4.1 Hasil .....................................................................................................87

vii

4.1.1 Perbandingan Kualitas Inlet dan Outlet Air Limbah RSUD


Banjarbaru .................................................................................................87
4.1.1.1 Kualitas Inlet Air Limbah RSUD Banjarbaru................................87
4.1.1.2 Kualitas Outlet Air Limbah RSUD Banjarbaru .............................88
4.2 Pembahasan..........................................................................................90
4.2.1 pH......................................................................................................90
4.2.2 Timbal (Pb) .......................................................................................90
4.2.3 Total E. Coli ......................................................................................91
4.2.4 Penerapan K3 pada Petugas Pengolahan Limbah Cair RSUD
Banjabaru ...................................................................................................91
BAB V PENUTUP.................................................................................................93
5.1 Kesimpulan ..........................................................................................93
5.2 Saran.....................................................................................................93
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
STUDI KASUS

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Perbandingan BOD dengan COD .........................................................19


Tabel 2.2 Sumber limbah berdasarkan golongan ..................................................22
Tabel 2.3 Jenis limbah/sampah menurut sumbernya .............................................23
Tabel 2.4 Baku mutu limbah cair rumah sakit ......................................................25
Tabel 2.5 Tahun penerbitan, isi regulasi dan bentuk regulasi K3RS .....................67
Tabel 2.6 Tabel bahaya potensial di rumah sakit...................................................73
Tabel 3.1 Jadwal kegiatan ......................................................................................86
Tabel 4.1 Tabel hasil pemeriksaan pertama kualitas air limbah ...........................87
Tabel 4.2 Tabel hasil pemeriksaan kedua kualitas air limbah ..............................87
Tabel 4.3 Tabel hasil pemeriksaan pertama kualitas air limbah ...........................88
Tabel 4.4 Tabel hasil pemeriksaan kedua kualitas air limbah ..............................89

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Proses pengolahan air limbah dengan proses lumpur aktif ................50
Gambar 2.2 Proses pengraian senyawa organic oleh mikroorganisme di dalam
RBC........................................................................................................................52
Gambar 2.3 Diagram pengolahan limbah dengan sistem RBS ..............................53
Gambar 2.4 Diagram pengolahan air limbah dengan aerasi kontak ......................57
Gambar 2.5 Diagram pengolahan air limbah dengan sistem biofilter Up Flow.59
Gambar 2.6 Proses dengan biofilter Anaerob Aerob.......................................63

DAFTAR GRAFIK

Grafik 4.1. Perbandingan parameter inlet dan outlet .............................................89


Grafik 4.2 Perandingan pH inlet dan outlet .........................................................90
Grafik 4.3 Perbandingan TDS inlet dan outlet......................................................90
Grafik 4.4 Perbandingan E. Coli inlet dan outlet ..................................................91

xi

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Berdasarkan

Keputusan

Menteri

Kesehatan

Republik

Indonesia

Nomor

983/MenKes/SK/1992, rumah sakit merupakan suatu unit yang mempunyai organisasi


teratur, tempat pencegahan dan penyembuhan penyakit, peningkatan dan pemulihan
kesehatan penderita yang diakukan secara multidisiplin oleh berbagai kelompok
professional terdidik dan terlatih, yang menggunakan prasarana dan sarana fisik. Dalam
pelaksanaan kegiatan rumah sakit pasti akan menghasil limbah. Sumber limbah cair rumah
sakit antara lain ruang perawatan, ruang pemeriksaan, ruang laboratorium, ruang laundry
dan dapur. Limbah cair rumah sakit, baik medic maupun penunjang medic perlu dikelola
dengan cermat, karena limbah cair rumah sakit mempunyai potensi untuk mencemari
lingkungan seperti badan air, sumber air minum, disamping gangguan bau dan keindahan.
Mengingat dampak yang mungkin timbul, maka diperlukan upaya pengelolaan yang baik
meliputi pengelolaan sumber daya manusia, alat dan sarana, keuangan dan tata laksana
pengorganisasian yang ditetapkan dengan tujuan memperoleh kondisi rumah sakit yang
memenuhi syarat.
Begitu besarnya resiko yang dihadapi oleh tenaga penanganan limbah medis ini,
maka perlu perlindungan bagi tenaga kerja terhadap kesehatan dan keselamatan kerja (K3)
agar tidak terjadi resiko penyakit akibat kerja (PAK) dan kecelakaan akibat kerja, alat
pelindung diri (APD) yang seharusnya digunakan oleh petugas.Keselamatan dan kesehatan
kerja (K3) yang termasuk dalam suatu wadah hygiene perusahaan dan kesehatan kerja
(hiperkes) terkadang terlupakan oleh para pengusaha atau manajemen. Keselamatan dan
kesehatan kerja bukan hanya untuk industry tetapi untuk seluruh pegawai disetiap tempat
kerja, Begitu juga di sector pelayanan kesehatan. Di Indonesia, sampai saat ini belum
banyak peraturan keselamatan dan kesehatan kerja di laksanakan dirumah sakit. Mengingat
besarnya paparan dirumah sakit maka rumah sakit sebagai tempat pelayanan kesehatan
sangat perlu untuk diterapkan Manajemen Keselamatan danKesehatanKerja (MK3) untuk
memberikan perlindungan kepada para pegawai. Namun, Keselamatan, Kesehatan Kerja
1

(K3) pada rumah rumah sakit khususnya di Kalimantan Selatan tidakdilaksanakan secara
optimal. Padahal K3 sangat penting untuk mencegah kecelakaan kerja. Dari hasil observasi
yang dilakukan pada Rumah Sakit Banjarbaru, penerapan K3 petugas dalam pengolahan
limbah cair Rumah Sakit Banjarbaru tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.08/MEN/VII/2010 karena APD yang
disediakan sesuai dengan SNI yaitu pemakaian masker khusus, sarung tangan dan sepatu
safety sedangkan petugas pengolahan limbah cair Rumah Sakit memakai masker biasa,
sarung tangan biasa dan sepatu boot saja. Padahal limbah cair rumah sakit sangat berbahaya
karena mengandung mikrooganisme, bahan kimia beracun dan darah-darah pasien yang
bisa jadi infeksius yang apabila terpapar dapat berbahaya bagi kesehatan. Dalam uji coba
lab limbah cair Rumah Sakit Banjarbaru yang diolah IPAL oleh Badan Riset dan
Standardisasi Banjarbaru, dapat diketahui hasil inlet limbah rumah sakit adalah pH 7,52,
Timbal (Pb) <0,001 Mg/l dan E. Coli 150000 CFU/100ml. Sedangkan hasil outletnya
adalah pH 7,94, Timbal (Pb) <0,001 Mg/l dan E. Coli 0 CFU/100ml. Dari hasil lab tersebut
dapat diambil kesimpulan bahwa pengolahan limbah cair Rumah Sakit Banjarbaru
menggunakan IPAL sangat baik karena baik kandungan timbal dan E. Coli berkurang dan
dibawah baku mutu yang ditetapkan sehingga aman bagi lingkungan. Walaupun pH naik,
hal itu tidak berbahaya karena masih dibawah baku mutu yang ditetapkan pemerintah.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana kualitas air limbah RSUD Kota Banjarbaru?
2. Bagaimana penerapan K3 dalam pengelolaan limbah RSUD Kota Banjarbaru?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui kualitas air limbah RSUD Kota Banjarbaru.
2. Untuk mengetahui peneratan K3 dalam pengelolaan limbah RSUD Kota
Banjarbaru.

1.4. Manfaat Penelitian


Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Hasil dari penelitian ini bisa menjadi evaluasi bagi RSUD Kota Banjarbaru untuk
hasil kedepan.
2. Menambah pengalaman bagi penulis.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rumah sakit
2.1.1

Definisi Rumah Sakit


Menurut WHO (World Health Organization), Rumah Sakit adalah bagian
integral dari suatu organisasi sosial dan kesehatan dengan fungsi menyediakan
pelayanan kesehatan paripurna, kuratif dan preventif kepada masyarakat serta
pelayanan rawat jalan yang diberikannya guna menjangkau keluarga di rumah.
Rumah sakit juga merupakan pusat pendidikan dan latihan tenaga kesehatan serta
pusat penelitian bio-medik.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
983/MenKes/SK/1992, rumah sakit merupakan suatu unit yang mempunyai
organisasi teratur, tempat pencegahan dan penyembuhan penyakit, peningkatan dan
pemulihan kesehatan penderita yang diakukan secara multidisiplin oleh berbagai
kelompok profesional terdidik dan terlatih, yang menggunakan prasarana dan sarana
fisik. Rumah sakit umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan
yang

bersifat

dasar,

spesialistik

dan

subspesialistik

(Kepmenkes

RI

No.983/Meskes/SK/1992).
Beberapa pengertian rumah sakit yang dikemukakan oleh para ahli
diantaranya:
a. Menurut Assosiation of Hospital Care (1947) Rumah sakit adalah pusat dimana
pelayanan

kesehatan

masyarakat,

pendidikan

serta

penelitian

kedokteran

diselenggarakan.
b. Menurut American Hospital Assosiation (1974) Rumah sakit adalah suatu alat
organisasi yang terdiri dari tenaga medis profesional ynag terorganisir serta sarana
kedokteran yang permanen menyelenggarakan pelayanan kedokteran, asuhan
keperawatan yang berkesinambungan, diagnosis serta pengobatan penyakit yang
diderita oleh pasien.

c. Wolper dan Pena (1997) berpendapat bahwa Rumah sakit adalah tempat dimana
orang sakit mencari dan menerima pelayanan kedokteran serta tempat dimana
pendidikan klinik untuk mahasiswa kedokteran, perawat dan tenaga profesi
kesehatan lainnya diselenggarakan.
(Azrul Azwar, 1996).
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan dengan kegiatan inti
berupa pelayanan medis. Pelayanan rumah sakit pada hakekatnya merupakan
sistem proses yang aktivitasnya saling tergantung satu dengan lainnya. Unsur-unsur
yang saling berinteraksi dalam mendukung terciptanya pelayanan prima adalah
sumber daya manusia (medis, paramedis dan non medis), sarana dan prasarana,
peralatan, obat-obatan, bahan pendukung dan lingkungan. Sedangkan lingkungan
rumah sakit meliputi lingkungan dalam gedung (indoor) dan luar gedung (outdoor)
yang dibatasi oleh pagar lingkungan. Lingkungan indoor yang harus diperhatikan
adalah udara, lantai, dinding, langit-langit, peralatan termasuk mebel air, serta
obyek lain yang mempengaruhi kualitas lingkungan seperti air, makanan, air
limbah, serangga dan binatang pengganggu, sampah dan sebagainya. Sedangkan
lingkungan outdoor meliputi selasar, taman, halaman, parkir terutama terhadap
kebersihan dan keserasiannya (Subekti, 2012).
Dari beberapa pengertian diatas, maka dapat diartikan bahwa rumah sakit
merupakan salah satu sarana kesehatan yang mempunyai misi memberikan
pelayanan kesehatan yang bermutu untuk masyarakat dalam rangka meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat. Selain itu, Rumah sakit merupakan fasilitas
kesehatan yang paling kompleks diantara berbagai fasilitas kesehatan yang ada
dengan

adanya

tempat

menyelenggarakan

upaya

kesehatan

dengan

memberdayakan berbagai kesatuan personel terlatih dan terdidik dalam


menghadapi dan menangani masalah medik untuk pemulihan dan pemeliharaan
kesehatan yang baik.
Upaya kesehatan yakni setiap kegiatan yang dilakukan untuk memelihara
dan meningkatkan kesehatan yang bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan
yang

optimal

bagi

masyarakat.

Tempat

yang

dapat

digunakan

untuk
5

menyelenggarakan upaya kesehatan disebut sarana kesehatan. Sarana kesehatan


berfungsi melakukan upaya kesehatan dasar, kesehatan rujukan dan atau upaya
kesehatan penunjang. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan,
pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif),
penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang
diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. (Depkes RI,
2004)

2.1.2

Tujuan Rumah Sakit


Rumah sakit adalah tempat di mana orang-orang yang sakit bisa mencari dan
menerima perawatan. Pada umumnya pembangunan rumah sakit diatur atau
dipengaruhi oleh Undang-undang Negara, peraturan Departemen Kesehatan,
Peraturan Daerah dan standar lainnya. Pembangunan rumah sakit juga mencakup
fasilitas dan ruangan untuk pelayanan pasien. Contohnya adalah ruangan pasien
rawat inap, laboratorium, dan lain-lain.
Selain memberi pelayanan dalam hal perawatan, rumah sakit juga
merupakan tempat yang dapat memberikan pendidikan klinis kepada para
mahasiswa-mahasiswa yang ingin mempelajari tentang kesehatan. Selain peran
pendidikannya, rumah sakit era modern juga bertujuan untuk memimpin studi
penyelidikan dan penelitian dalam ilmu pengetahuan kedokteran,baik tentang
catatan klinis maupun para pasien, serta penelitian dasar dalam ilmu fisika dan ilmu
kimia. (Bastian, 2008).
Pada dasarnya, rumah sakit bertujuan untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat dan meningkatkan angka kesehatan masyarakat secara mandiri dan
terpadu agar dapat kembali menjalankan aktivitas dan interaksi dengan masyarakat
lainnya. Sementara itu dikutip dari berbagai sumber menyatakan bahwa tujuan
khusus yang ingin dicapai yaitu :

1. Terwujudnya penyelenggaraan sistem kesehatan dalam organisasi kesehatan atau


rumah sakit yang mencakup sistem pembangunan kesehatan, sistem pelayanan
kesehatan dan sistem informasi kesehatan secara tepat, cepat serta akurat.
6

2. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau oleh


semua lapisan masyarakat dengan penggunaan obat secara rasional.
3. Meningkatkan kemampuan dan kemandirian individu, keluarga serta masyarakat
dalam pemeliharaan kesehatan, status gizi, pencegahan dan pemutusan rantai
penularan penyakit.
4. Meningkatkan pemakaian sarana sanitasi kesehatan dan pembangunan yang
berwawasan lingkungan.
5. Meningkatkan kemampuan dan keterampilan petugas dalam membentuk tenaga
kesehatan yang profesional.
6. Menjalin kemitraan lintas sektor, LSM/Lembaga Masyarakat maupun Pemda dan
lain sebagainya.
(Bastian, 2008)

2.1.3

Fungsi Rumah Sakit


Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
983/MenKes/SK/XI/1992, rumah sakit memiliki 4 fungsi, yakni:

1. Pelayanan Penderita
Pelayanan penderita yang langsung di rumah sakit terdiri atas pelayanan medis,
pelayanan farmasi dan pelayanan keperawatan. Di samping itu, untuk mendukung
pelayanan medis, rumah sakit juga mengadakan pelayanan berbagai jenis laboratorium.
2. Pendidikan dan Pelatihan
Pendidikan dan pelatihan merupakan fungsi penting dari rumah sakit modern, baik
yang berafiliasi atau tidak dengan suatu universitas, artinya rumah sakit dapat dijadikan
tempat untuk pendidikan, pengamatan, dan pelatihan bagi orang-orang terkait seperti
mahasiswa, dokter praktek, dan lain-lain.
3. Penelitian
Kegiatan penelitian dalam rumah sakit mencakup merencanakan prosedur
diagnosis yang baru, melakukan percobaan laboratorium dan klinik, pengembangan
dan menyempurnakan prosedur pembedahan yang baru, mengevaluasi obat investigasi
dan penelitian formulasi obat yang baru.
7

4. Kesehatan masyarakat
Tujuan utama dari fungsi rumah sakit ini adalah membantu komunitas dalam
mengurangi timbulnya kesakitan dan meningkatkan kesehatan umum penduduk.
Contoh kegiatan kesehatan masyarakat adalah partisipasi dalam program deteksi
penyakit, seperti tuber kulosis, diabetes, hipertensi dan kanker.
(KepMenKesRINo. 983/MenKes/SK/XI/1992)
Adapun berdasarkan Permenkes RI No.159b/MenKes/Per/1998, fungsi rumah
sakit adalah sebagai berikut :
a. Menyediakan dan menyelenggarakan pelayanan medik, penunjang medik,
rehabilitasi, pencegahan dan peningkatan kesehatan.
b. Menyediakan tempat pendidikan dan latihan tenaga medik dan paramedik.
c. Sebagai tempat penelitian dan pengembangan ilmu dan teknologi bidang
kesehatan.
(Permenkes RI No. 159b/MenKes/Per/1998)

2.1.4

Klasifikasi Rumah Sakit


Rumah sakit dapat diklasifikasikan berdasarkan kriteria sebagai berikut:
1. Klasifikasi berdasarkan kepemilikan, terdiri dari:
a. Rumah sakit pemerintah, terdiri dari:
Rumah sakit yang langsung dikelola oleh Departemen Kesehatan
Rumah sakit pemerintah daerah
Rumah sakit militer
Rumah sakit Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
b. Rumah sakit yang dikelola oleh masyarakat (swasta)
2. Klasifikasi berdasarkan jenis pelayanan, terdiri dari 2 jenis:
a. Rumah sakit umum, memberi pelayanan kepada berbagai penderita dengan
berbagai penyakit.
b. Rumah sakit khusus, memberi pelayanan diagnosa dan pengobatan untuk
penderita dengan kondisi medik tertentu baik bedah maupun non bedah. Contoh:
rumah sakit kanker maupun rumah sakit jantung.
8

3. Klasifikasi berdasarkan Lama tinggal


Berdasarkan lama tinggal, rumah sakit terdiri atas rumah sakit perawatan
jangka pendek yang merawat penderita kurang dari 30 hari dan rumah sakit
perawatan jangka panjang yang merawat penderita dalam waktu rata-rata 30 hari
atau lebih.
4. Klasifikasi berdasarkan Kapasitas tempat tidur
Rumah sakit pada umumnya diklasifikasikan berdasarkan kapasitas tempat
tidurnya sesuai pola berikut ; dibawah 50 tempat tidur, 50-99 tempat tidur, 100-199
tempat tidur, 200-299 tempat tidur, 300-399 tempat tidur, 400-499 tempat tidur, 500
tempat tidur atau lebih.
5. Klasifikasi berdasarkan afiliasi pendidikan, terdiri dari 2 jenis:
a. Rumah sakit pendidikan, yaitu rumah sakit yang menyelenggarakan program
latihan untuk berbagai profesi.
b. Rumah sakit nonpendidikan, yaitu rumah sakit yang tidak memiliki program
pelatihan profesi dan tidak ada afiliasi rumah sakit dengan universitas.
6. Klasifikasi Rumah Sakit Umum Pemerintah, dibagi menjadi:
a. Rumah Sakit Umum kelas A adalah rumah sakit umum yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik luas dan subspesialistik
luas.
b. Rumah Sakit Umum kelas B adalah rumah sakit umum yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan pelayanan medik sekurang-kurangnya 11 spesialistik
dan subspesialistik terbatas.
c. Rumah Sakit Umum kelas C adalah rumah sakit umum yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik dasar.
d. Rumah Sakit Umum kelas D adalah rumah sakit umum yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan pelayanan medik dasar.
(Siregar dan Lia, 2004).
2.1.5

Tugas Rumah Sakit


Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
983/MenKes/SK/XI/1992, tugas rumah sakit umum adalah melaksanakan upaya
9

kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya
penyembuhan dan pemeliharaan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu
dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan rujukan.
(KepmenkesRI No.983/Menkes/SK/XI/1992).
2.1.6

Kewajiban Rumah Sakit


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 dalam hal ini institusi
rumah sakit memiliki kewajiban didalam upaya pelaksanaan pengelolaan lingkungan
khususnya mengenai pengelolaan limbah merupakan bagian dari kegiatan
penyehatan lingkungan di rumah sakit yang bertujuan untuk melindungi masyarakat
dari bahaya pencemaran lingkungan yang bersumber dari limbah rumah sakit.
Kewajiban rumah sakit diantaranya adalah:
1. Perlu menerapkan kebijakan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja
dengan melaksanakan kegiatan pengelolaan dan monitoring limbah hasil
kegiatan, dimana pengelolaan itu meliputi : menghasilkan, mengangkut,
mengedarkan, menyimpan, dan menggunakan atau membuang.
2. Setiap kegiatan yang menimbulkan dampak besar seperti rumah sakit wajib
membuat AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup).
3. Menciptakan lingkungan yang sehat dan bersih seperti :
a. Penyehatan bangunan dan ruangan.
b.

Penyehatan air termasuk kualitasnya.

c.

Perlindungan radiasi.

d. Penyehatan makanan dan minuman.


e. Penyehatan tempat pencucian linen.
f. Penanganan sampah dan limbah.
g. Sterilisasi/desinfeksi.
h. Penyuluhan kesehatan lingkungan.
(UU No. 23 Tahun 1997)
Pada UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
khususnya pasal-pasal:

10

a. Pasal 5 : setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat,
berarti rumah sakit tidak boleh mencemari/merusak lingkungan dan
menurunkan derajat kesehatan masyarakat sekitarnya.
b. Pasal 6 : setiap orang berkewajiban memiliki kelestarian fungsi lingkungan
hidup serat mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan
lingkungan hidup, berarti rumah sakit berkewajiban untuk mengelola
dampak kegiatan terhadap lingkungan.
c. Pasal 15 : setiap usaha dan atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar
dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki Analisis Megenai
Dampak Lingkungan.
d. Pasal 16 : setiap penanggungjawab usaha dan atau kegiatan wajib melakukan
pengelolaan limbah hasil usaha atau jasa.
(UU No. 23 Tahun 1997)

2.2 Limbah Rumah Sakit


2.2.1

Definisi Limbah
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 18/1999 Jo PP 85/1999, limbah
didefinisikan sebagai sisa/buangan dari suatu usaha dan/atau kegiatan manusia.
Limbah (waste) adalah sesuatu yang tidak dipakai, tidak digunakan, tidak
disukai atau sesuatu yang tidak dipakai lagi, yang berasal dari kegiatan manusia dan
tidak terjadi dengan sendirinya (Kusnoputranto, 1986)
Menurut Wikipedia, Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu
proses produksi baik industri maupun domestik (rumah tangga). Di mana
masyarakat bermukim, di sanalah berbagai jenis limbah akan dihasilkan. Ada
sampah, ada (black water), dan ada air buangan dari berbagai aktivitas domestik
lainnya (grey water).
Sedangkan FKM-UI mendifinisikan limbah/sampah adalah benda bahan
padat yang terjadi karena ada hubungannya dengan aktifitas manusia yang tidak
dipakai lagi, tidak disukai dan dibuang dengan cara saniter kecuali buangan dari
tubuh-tubuh manusia.
11

Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat diartikan bahwa limbah


merupakan benda sisa atau buangan yang dihasilkan dari suatu usaha atau kegiatan
yang sudah tidak digunakan lagi dan tidak terjadi dengan sendirinya. Limbah sendiri
dari tempat asalnya bisa beraneka ragam, ada yang limbah dari rumah tangga,
limbah dari pabrik-pabrik besar dan ada juga limbah dari suatu kegiatan tertentu.
Dalam dunia masyarakat yang semakin maju dan modern, peningkatan akan jumlah
limbah semakin meningkat. Logika yang mudah seperti ini; dahulunya manusia
hanya menggunakan jeruk nipis untuk mencuci piring, namun sekarang manusia
sudah menggunakan sabun untuk mencuci piring sehingga peningkatan akan limbah
tak bisa dielakkan lagi.
2.2.2

Definisi Limbah Rumah Sakit


Pengertian limbah rumah sakit adalah semua limbah yang dihasilkan dari
kegiatan Rumah Sakit dalam bentuk padat, cair, pasta (gel) maupun gas yang dapat
mengandung mikroorganisme pathogen bersifat infeksius, bahan kimia beracun, dan
sebagian bersifat radioaktif (Depkes, 2006).
Secara khusus, limbah rumah sakit adalah hasil kegiatan rumah sakit dan
kegiatan penunjang rumah sakit lainnya yang berupa sampah dan limbah (Arifin,
2008).
Menurut Permenkes RI No.1204/Menkes/SK/X/2004, limbah rumah sakit
yaitu semua limbah yang dihasilkan dari kegiatan rumah sakit dalam bentuk padat,
gas dan cair (Kepmenkes RI No.1204/Menkes/SK/X/2004).
Berdasarkan pengertian diatas, dapat diartikan bahwa limbah rumah sakit
adalah limbah yang dihasilkan dari semua kegiatan rumah sakit termasuk kegiatan
medis dan non medis yang dapat berbentuk padat, cair dan gas. Limbah rumah sakit
cenderung bersifat infeksius dan kimia beracun yang dapat mempengaruhi
kesehatan manusia, memperburuk kelestarian lingkungan hidup apabila tidak
dikelola dengan baik.

12

2.2.3

Macam-macam Limbah Rumah Sakit


Jenis sampah dan limbah rumah sakit dapat dikategorikan dalam jenis yang
komplek, karena secara umum sampah dan limbah rumah sakit dibagi menjadi 2
kelompok besar yaitu :
1.

Limbah non klinis atau limbah yang berasal dari kantor atau administrasi

(berupa limbah kertas), unit pelayanan (berupa karton, kaleng, botol), sampah
dari ruang pasien, sisa makanan buangan serta sampah dari dapur (sisa
pembungkus, sisa makanan/bahan makanan, sayur dan lain-lain). Berbagai
macam limbah non klinis ini, meskipun tidak menimbulkan resiko sakit akan
tetapi limbah tersebut cukup merepotkan karena memerlukan tempat yang besar
untuk mengangkut dan membuangnya.
2.

Limbah klinis, yaitu limbah yang berasal dari pelayanan medis, perawatan,

gigi, veterinari, farmasi, pengobatan, perawatan, penelitian atau pendidikan yang


menggunakan

bahan-bahan

beracun,

infeksius

berbahaya

atau

bisa

membahayakan kecuali jika dilakukan pengamanan tertentu. Bentuk limbah


klinis ini bermacam-macam dan berdasarkan potensi yang terkandung
didalamnya, limbah klinis dapat dikelompokan sebagai berikut:
a.

Limbah benda tajam, yaitu suatu alat yang mempunyai sudut, sisi, atau
ujung yang tajam yang dapat memotong atau menusuk kulit seperti jarum
hipodermik, perlengkapan intravena,pipet pasteur, pecahan gelas, serta
pisau bedah. Semua benda tajam ini berbahaya dan dapat menyebabkan
cedera melalui sobekan atau tusukan. Benda-benda tajam yang telah
dibuang mungkin terkontaminasi oleh darah, cairan tubuh, bahan
mikrobiologi ataupun bahan beracun.

b. Limbah infeksius, yaitu semua limbah yang berkaitan dengan pasien yang
mengidap penyakit menular, diantaranya limbah laboratorium yang
berkaitan dengan pemeriksaan mikrobiologi dari poliklinik dan ruang
perawatan/isolasi penyakit menular.

13

c. Limbah jaringan tubuh, yaitu limbah yang meliputi organ, anggota badan,
darah dan cairan tubuh, biasanya dihasilkan pada saat pembedahan atau
otopsi.
d. Limbah sitotoksit, yaitu limbah yang berasal dari bahan yang telah
terkontaminasi atau mungkin terkontaminasi dengan obat sitotoksit selama
peracikan, pengangkutan atau tindakan terapi sitotoksit.
e. Limbah farmasi, yaitu limbah yang berasal dari obat-obatan yang telah
kadaluarsa, obat-obatan yang terbuang karena tidak memenuhi spesifikasi
atau kemasan yang telah terkontaminasi, obat-obat yang dibuang oleh
pasien atau masyarakat, obat-obatan yang tidak lagi diperlukan oleh
institusi yang bersangkutan serta limbah yang dihasilkan selama produksi
obat-obatan.
f. Limbah kimia, yaitu limbah yang dihasilkan dari penggunaan bahan kimia
dalam tindakan medis, dari laboratorium, proses sterilisasi, dan riset.
g. Limbah radioaktif, yaitu limbah yang berasal dari bahan yang
terkontaminasi dengan radioisotop yang berasal dari penggunaan medis
atau riset radio nukleida .Limbah ini dapat berasal dari tindakan kedokteran
nuklir.
(Satmoko Wisaksono, 2000).
Berdasarkan Kepmenkes Republik Indonesia No.1204/Menkes/SK/X/2004,
disebutkan bahwa Limbah Rumah Sakit terbagi menjadi 3 macam yakni;
1. Limbah padat
Limbah padat yaitu semua limbah rumah sakit yang berbentuk padat
sebagai hasil dari kegiatan rumah sakit yang terdiri dari limbah medis padat
dan limbah padat non medis.
Limbah medis padat adalah limbah yang berasal langsung dari
tindakandiagnosis dan tindakan medis terhadap pasien. Limbah medis padat
ini terdiri dari limbah infeksius, limbah patologi, limbah benda tajam, limbah
farmasi, limbah sitotoksis, limbah kimiawi, limbah radioaktif, limbah
kontainer bertekanan, dan limbah dengan kandungan logam berat yang tinggi.
14

Sedangkan limbah padat non medis artinya limbah padat yang dihasilkan dari
kegiatan di rumah sakit di luar medis misalnya limbah yang berasal dari
dapur, perkantoran, taman dan halaman yang dapat dimanfaatkan kembali
apabila ada teknologinya. Limbah padat non medis ini misalnya kertas-kertas
pembungkus atau kantong dan plastik yang tidak berkaitan dengan cairan
tubuh. Pewadahan limbah padat non medis dipisahkan dari limbah medis
padat dan ditampung dalam kantong plastik warna hitam khusus untuk limbah
medis non padat.
2. Limbah gas
Limbah gas yaitu semua limbah yang berbentuk gas yang dihasilkan dari
kegiatan pembakaran seperti di insenerator, dapur, perlengkapan generator,
anastesi, dan pembuatan obat sitotoksik
3. Limbah cair
Limbah cair artinya semua air buangan termasuk tinja yang berasal dari
kegiatan rumah sakit yang kemungkinan mengandung mikrooganisme,
bahan kimia beracun dan radioaktif yang apabila terpapar dapat berbahaya
bagi kesehatan.
(Kepmenkes Republik Indonesia No.1204/Menkes/SK/X/2004)
Menurut Depkes RI (1997) keterpaparan air limbah dapat dibedakan sebagai
berikut:

1.

Keterpaparan kimiawi
pemanfaatan hasil pembuangan limbah kimiawi sebagai makanan oleh
mikroba yang terdapat di lingkungan air, selain itu limbah kimiawi di dalam
air membentuk suspensi sebagai koloid atau partikel. Bahan organik dan
garam anorganik masuk kedalam air secara domestik atau industrial yang
pada

umumnya

memberikan

kontribusi

terhadap

pencemaran

air.

Pemeriksaan air secara kimiawi dapat melalui test BOD, COD, TSS dan pH.
Jika sekitar 5 (lima) hari limbah kimiawi menjadi karbon dioksida, secara

15

konvensional bahan organik mengalami dekomposisi yang menstabilisasi


polutan organik dalam lingkungan alamiahnya.
2.

Keterpaparan Fisik
keterpaparan fisik air dapat dilihat dari bau dan warna. Warna dari air
limbah keabu-abuan dan mengandung kerosin.

3.

Keterpaparan Biologi
keterpaparan secara biologis dapat dilihat dariadanya mikroorganisme
patogen yang endemik yang memberi dampak pada kesehatan masyarakat.
(Depkes RI ,1997).

2.2.4 Karakteristik Limbah Rumah Sakit


Berdasarkan karakteristiknya, limbah rumah sakit memiliki tiga jenis sifat
yang harus diketahui yaitu:
1. Sifat Fisika
a. Padatan
Ditemukan adanya zat padat dalam limbah yang secara umum
diklasifikasikan kedalam dua kelompok besar yaitu padatan terlarut dan
padatan tersuspensi. Padatan tersuspensi terdiri dari partikel koloid dan
partikel biasa. Jenis partikel dapat dibedakan berdasarkan diameternya.
Jenis padatan terlarut maupun tersuspensi dapat bersifat organis dan
anorganis tergantung dari mana sumber limbah. Disamping kedua jenis
padatan ini adalagi padatan terendap karena mempunyai diameter yang
lebih besar dan dalam keadaan tenang dalam beberapa waktu akan
mengendap sendiri karena beratnya. Zat padat tersuspensi yang
mengandung zat-zat organik pada umumnya terdiri dari protein, ganggang
dan bakteri.
b. Kekeruhan
Kekeruhan air dapat dilihat secara langsung karena terdapat partikel
koloidal yang terdiri dari tanah liat, sisa bahan-bahan, protein dan

16

ganggang yang terdapat dalam limbah. Kekeruhan inimerupakan sifat


optis larutan. Sifat keruh ini mengurangi nilai estetika.
c. Bau
Sifat bau dari limbah disebabkan karena zat-zat organik yang telah terurai
dalam limbah mengeluarkan gas-gas seperti sulfida atau amoniak yang
menimbulkan penciuman tidak enak yang disebabkan adanya campuran
dari nitrogen, sulfur dan fosfor yang berasal dari pembusukan protein yang
dikandung limbah. Timbulnya bau yang diakibatkan limbah merupakan
suatu indikator bahwa terjadi proses alamiah.
d. Temperatur
Limbah

yang

mempunyai

temperatur

panas

akan

mengganggu

pertumbuhan biota tertentu. Temperatur yang dikeluarkan suatu limbah


cair harus merupakan temperatur alami. Suhu berfungsi memperlihatkan
aktivitas kimiawi dan biologis. Pada suhu tinggi pengentalan cairan
berkurang dan mengurangi sedimentasi. Tingkat zat oksidasi lebih besar
daripada suhu tiggi dan pembusukan jarang terjadi pada suhu rendah.
e. Warna
Warna dalam air disebabkan adanya ion-ion logam besi dan mangan
(secara alami), humus, plankton, tanaman air dan buangan. Warna
berkaitan dengan kekeruhan dan dengan menghilangkan kekeruhan
kelihatan warna nyata. Demikian pula warna dapat disebabkan oleh zat-zat
terlarut dan zat tersuspensi. Warna menimbulkan pemandangan yang jelek
dalam air limbah meskipun warna tidak menimbulkan racun.
2. Sifat Kimia
Karakteristik kimia air limbah ditentukan oleh Biological Oxygen
Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD) dan logam-logam berat
yang terkandung dalam air limbah. Tes BOD dalam air limbah merupakan
salah satu metode yang paling banyak digunakan sampai saat ini. Metode
pengukuran limbah dengan cara ini sebenarnya merupakan pengukuran tidak
langsung dari bahan organik. Pengujian dilakukan pada temperatur 200 C
17

selama 5 hari. Kalau disesuaikan dengan temperatur alami Indonesia maka


seharusya pengukuran dapat dilakukan pada lebih kurang 300 C. Pengukuran
dengan COD lebih singkat tetapi tidak mampu mengukur limbah yang
dioksidasi secara biologis. Nilai-nilai COD selalu lebih tinggi dari nilai BOD.
a.

Biological Oxygen Demand (BOD)


Pemeriksaan BOD dalam limbah didasarkan atas reaksi oksidasi zat-zat
organis dengan oksigen dalam air dimana proses tersebut dapat
berlangsung karena ada sejumlah bakteri. Diperhitungkan selama dua hari
reaksi lebih dari sebagian reaksi telah tercapai. BOD adalah kebutuhan
oksigen bagi sejumlah bakteri untuk menguraikan semua zat-zat organik
yang terlarut maupun sebagian tersuspensi dalam air menjadi bahan
organik yang lebih sederhana. Nilai ini hanya merupakan jumlah bahan
organik yang dikonsumsi bakteri. Penguraian zat-zat organis ini terjadi
secara alami. Dengan habisnya oksigen terkonsumsi membuat biota lainnya
yang membutuhkan oksigen menjadi kekurangan dan akibatnya biota yang
memerlukan oksigen ini tidak dapat hidup. Semakin tinggi angka BOD
semakin sulit bagi makhluk air yang membutuhkan oksigen untuk bertahan
hidup.

b.

Chemical Oxygen Demand (COD)


Pengukuran kekuatan limbah dengan COD adalah bentuk lain pengukuran
kebutuhan oksigen dalam air limbah. Metode ini lebih singkat waktuya
dibandingkan dengan analisis BOD. Pengukuran ini menekankan
kebutuhan oksigen akan kimia dimana senyawa-senyawa yang diukur
adalah bahan-bahan yang tidak dipecah secara biokimia. Adanya racun atau
logam tertentu dalamlimbah pertumbuhan bakteri akan terhalang dan
pengukuran BOD menjadi tidak realistis. Untuk mengatasinya lebih tepat
meggunakan analisis COD. COD adalah sejumlah oksigen yang
dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat anorganis dan organis sebagaimana
pada BOD. Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat
anorganik. Semakin dekat nilai BOD terhadap COD menunjukkan bahwa
18

semakin sedikit bahan anorganik yang dapat dioksidasidengan bahan kima.


Pada limbah yang mengandung logam-logam pemeriksaan terhadap BOD
tidak memberi manfaat karena tidak ada bahan organik dioksida. Hal ini
bisa jadi karena logam merupakan racun bagi bakteri. Pemeriksaan COD
lebih cepat dan sesatannya lebih mudah mengantisipasinya. Perbandingan
BOD dengan COD pada umumnya bervariasi untuk berbagai jenis limbah.
Adapun perbandingan antara BOD dengan COD dapat dilihat pada Tabel
2.1
Tabel 2.1 Perbandingan BOD dengan COD
Jenis air buangan-0,65

BOD/COD

Air Sungai

0,1

Dari buangan Rumah Tangga

0,4 0,6

Buangan organik

0,5

Buangan anorganik

0,2

Sumber: Perdana Ginting, 2007

c. Metan
Gas metan terbentuk akibat penguraian zat-zat organik dalam kondisi
anaerob pada air limbah. Gas ini dihasilkan oleh lumpur yang membusuk
pada dasar kolam, tidak berdebu, tidak berwarna dan mudah terbakar.
Metan juga dapat ditemukan pada rawa-rawa dan sawah. Suatu kolam
limbah yang menghasilkan gas metan akan sedikit sekali menghasilkan
lumpur, sebab lumpur telah habis terolah menjadi gas metan dan air serta
CO2.
d. Keasaman Air
Keasaman air diukur dengan pH meter. Keasaman ditetapkan berdasarkan
tinggi rendahnya konsentrasi ion hidrogen dalam air. Air buangan yang
mempunyai pH tinggi atau rendah menjadikan air steril dan sebagai
akibatnya membunuh mikroorganisme air yang diperlukan untuk keperluan
biota tertentu.Demikian juga makhluk-makhluk lain tidak dapat hidup
19

seperti ikan. Air yang mempunyai pH rendah membuat air korosif terhadap
bahan-bahan konstruksi besidengan kontak air.
e.

Alkalinitas
Tinggi rendahnya alkalinitas air ditentukan air senyawa karbonat, garamgaram hidroksida, kalsium, magnesium, dan natrium dalam air. Tingginya
10 kandungan zat-zat tersebut mengakibatkan kesadahan dalam air.
Semakin tinggi kesadahan suatu air semakin sulit air berbuih. Untuk
menurunkan kesadahan air dilakukan pelunakan air. Pengukuran alkalinitas
air adalah pegukuran kandunganion CaCO3, ion Mg bikarbonat dan lainlain.

f. Lemak dan minyak


Kandungan lemak dan minyak yang terkandung dalam limbah bersumber
dari instalasi yang mengolah bahan baku mengandung minyak. Lemak dan
minyak merupakan bahan organis bersifat tetap dan sukar diuraikan
bakteri. Limbah ini membuat lapisan pada permukaan air sehingga
membentuk selaput.
g. Oksigen terlarut
Keadaan oksigen terlarut berlawanan dengan keadaan BOD. Semakin
tinggi BOD semakin rendah oksigen terlarut. Keadaan oksigen terlarut
dalam air dapat menunjukkan tanda-tanda kehidupan ikan dan biota dalam
perairan. Kemampuan air untuk mengadakan pemulihan secara alami
banyak tergantung pada tersedianya oksigen terlarut. Angka oksigen yang
tinggi menunjukkan keadaan air semakin baik. Pada temperatur dan
tekanan udara alami kandungan oksigen dalam air alami bisa mencapai 8
mg/liter. Aerator salah satu alat yang berfungsi meningkatkan kandungan
oksigen dalam air. Lumut dan sejenis ganggang menjadi sumber oksigen
karena proses fotosintesis melalui bantuan sinar matahari. Semakin banyak
ganggang semakin basar kandungan oksigennya.

20

h.

Klorida
Klorida merupakan zat terlarut dan tidak menyerap. Sebagai klor bebas
berfungsi desinfektan tetapi dalam bentuk ion yang bersenyawa dengan
ionnatrium menyebabkan air menjadi asin dan dapat merusak pipa-pipa
instalasi.

i. Phospat
Kandungan

phospat

yang

tinggi

menyebabkan

suburnya

algae

danorganisme lainnya yang dikenal dengan eutrofikasi. Ini terdapat pada


ketel uap yang berfungsi untuk mencegah kesadahan. Pengukuran
kandungan phospat dalam air limbah berfungsi untuk mencegah tingginya
kadar phospat sehingga tumbuh-tumbuhan dalam air berkurang jenisnya
dan pada gilirannya tidak merangsang pertumbuhan tanaman air.
Kesuburan tanaman ini akan menghalangi kelancaran arus air. Pada danau
suburnya tumbuh-tumbuhan air akan mengakibatkan berkurangnya oksigen
terlarut.
3. Sifat Biologi
Mikroorganisme ditemukan dalam jenis yang sangat bervariasi hampir
dalam semua bentuk air limbah, biasanya dengan konsentrasi 105-108
organisme/ml. Kebanyakan merupakan sel tunggal yang bebas ataupun
berkelompok dan mampu melakukan proses-proses kehidupan (tumbuh,
metabolisme, dan reproduksi).Secara tradisional mikroorganisme dibedakan
menjadi binatang dan tumbuhan. Namun, keduanya sulit dibedakan. Oleh
karena itu, mikroorganisme kemudian dimasukkan kedalam kategori protista,
status yang sama dengan\ binatang ataupun tumbuhan. Virus diklasifikasikan
secara terpisah. Keberadaan bakteri dalam unit pengolahan air limbah
merupakan kunci efisiensi proses biologis. Bakteri juga berperan penting
dalam mengevaluasi kualitas air.
a. MPN Coliform
Metode yang digunakan untuk mengetahui jumlah Coliform biasanya
adalah metode MPN (Most Probable Number) dengan cara fermentasi
21

tabung ganda. Metode ini lebih baik bila dibandingkan dengan metode
hitungan cawan karena lebih sensitif dan dapat mendeteksi Coliform
dalam jumlah yang sangat rendah.
Prinsip dari metode MPN adalah sifat bakteri yang berkembang
baik dalam waktu 24 sampai 72 jam pada suhu tertentu dan dalam
suasana yang cocok yaitu tersuspensi dalam kaldu (borth media) yang
mengandung gizi untuk pertumbuhannya. Bakteri-bakteri tersebut dapat
dideteksi karena jenis bakteri tersebut mampu meragikan (fermentasi)
salah satu unsur zat gizi seperti laktosa yng akibat proses peragian
tersebut terbentuklah gas, gelembung-gelembung gas ini menunjukkan
adanya bakteri tersebut (Basri, Hadi, dkk, 2014)
Parameter MPN Coliform adalah pemeriksaan bakteriologis air
bersih yang ditujukan untuk melihat adanya kemungkinan pencemaran
oleh kotoran maupun tinja. Bakteri yang termasuk jenis coliform antara
lain: Escheria coli, Aerobacter aerogenes, dan Eschericia freundii. Sifat
bakteri golongan coliform adalah berbentuk batang, tidak dapat
membentuk spora, gram negatif, hidup aerob atau anaerob fakultatif dan
dapat meragikan laktosa dengan membentuk gas. Ambang batas MPN
Coliform : 10.000 kuman/100ml.

2.2.5 Sumber Limbah Rumah Sakit


1.

Limbah cair
Tabel 2.2 Sumber limbah berdasarkan golongan

Golongan

Contoh

Golongan tindakan pelayanan

Sisa kumur, limbah cair pembersih alat medis

Golongan ekskresi manusia

Dahak, air seni, tinja, darah

Golongan penunjang pelayanan

Limbah cair dari instalasi gizi, limbah cair dari


kendaraan. Limbah cair dari laundry

Sumber: Sakti A. Siregar, 2005


22

Sumber limbah cair diatas dapat dikelompokkan menjadi 7 (tujuh) bagian


yang terdiri dari:
a.

Kegiatan dapur

b.

Kegiatan laundry

c.

Kegiatan rawat inap

d.

Kegiatan laboratorium

e.

Kegiatan instalasi gawat darurat

f.

Kegiatan bedah

g.

Kegiatan radiologi
Limbah cair yang dihasilkan dari kegiatan rumah sakit berasal dari semua

kegiatan yang ada didalamnya. Jenis kegiatan tersebut memiliki kekhususan


masing-masing dan diperlukan perhatian terhadap limbah cair yang berbahaya dan
limbah cair yang infeksius.
2.

Limbah Padat
Berikut adapula tabel jenis limbah atau sampah menurut sumbernya

berdasarkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia :


Tabel 2.3. Jenis Limbah/Sampah Menurut Sumbernya
No Sumber/Area

Jenis limbah/Sampah

Kantor/Administrasi

Kertas

Unit

obstetric

obstretric

dan

ruang

perawatan Dressing (pembalut/pakaian), placenta,


sponge (sepon/penggosok)jarum syringe
(alat

semprot),

(masker

yang

masker

disposable

dapat

dibuang),

dosposable drapes (tirai/kain yang dapat


dibuang), sanitary napkin (serbet), blood
lancet disposable (pisau bedah)
3

Unit emergency dan bedah termasuk ruang Dressing (pembalut/pakaian), Dressing


perawatan

(pembalut/pakaian), placenta, sponge


(sepon/penggosok)jarum syringe (alat

23

semprot),
4

Unit Laboratorium, ruang mayat, patologi Gelas terkontaminasi, termasuk pipet


dan autopsi

patri dish, wadah specimen (contoh).


Slide

specimen

(kaca/alat

sorong),

jaringan tubuh, organ, tulang.


5

Unit Isolasi

Bahan-bahan kertas yang mengandung


buangan nasal (hidung) dan sputum
(dahak/air

liur),

(pembalut/pakaian)

dan

dressing
bandages

(perban), masker disposable (masker


yang dapat dibuang), sisa makanan,
perlengkapan makan.
6

Unit Perawatan

Ampul, jarum disposable dan syringe


(alat semprot), kertas dan lain-lain.

Unit Pelayanan

Karton< kertas bungkus, kaleng, botol,


sampah dari ruang umum dan pasien,
sisa makanan buangan

Unit gizi/dapur

Sisa pembungkus, sisa makanan/bahan


makanan sayuran dan lain-lain

Halaman Rumah Sakit

Sisa pembungkus, daun ranting, debu.

Sumber : Depkes RI (1995)


Limbah padat yaitu semua limbah rumah sakit yang berbentuk padat sebagai
hasil dari kegiatan rumah sakit yang terdiri dari limbah medis padat dan limbah
padat non medis.

2.2.5 Peraturan dan Baku Mutu Limbah Rumah Sakit


Pada dasarnya limbah yang dihasilkan rumah sakit mempunyai potensi besar
dapat mencemari lingkungan dan menimbulkan penyakit. Oleh karena itu, peraturan
dan penetapan baku mutu untuk limbah rumah sakit terutama untuk limbah cair
perlu diterapkan. Menurut KEPMENLH RI No. 58/MENLH/12/1995 mengenai
24

baku mutu limbah cair bagi kegiatan rumah sakit baku mutu limbah cair rumah sakit
adalah batas maksimal limbah cair yang diperbolehkan dibuang kelingkungan dari
suatu kegiatan rumah sakit. Baku mutu limbah cair rumah sakit dapat dilihat pada
tabel 2.4.
Tabel 2.4 Baku mutu limbah cair rumah sakit
Parameter

Kadar Maksimum

Suhu

30C

pH

6-9

BOD5

50 mg/L

COD

80 mg/L

TSS

30 mg/L

NH,Bebas

0.1 mg/L

PO

2 mg/L

MPN-Kuman Golongan

10.000

Fisika

Kimia

Mikrobiologik

Koli/100mL
Radioaktivitas
32

7 x 103 Bq/L

35

2 x 103 Bq/L

Ca

3 x 103 Bq/L

45

53

Cr

7 x 103 Bq/L

47

Ga

1 x 103 Bq/L

45
90

Sr

4 x 103 Bq/L

Mo

7 x 103 Bq/L

113

Sn

123

3 x 103 Bq/L
1 x 103 Bq/L

25

131

7 x 103 Bq/L

Ir

1 x 103 Bq/L

TI

1 x 103 Bq/L

192
201

Parameter

Kadar Maksimum

Sumber: KempenLH, 1995.


Baku mutu tersebut ditinjau secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam
5 tahun oleh penanggung jawab atau pengelola rumah sakit. (KepmenLH RI
No.58/MENLH/12/1995).
Setiap penanggung jawab atau pengelola rumah sakit wajib:
a.

Melakukan pengelolaan limbah cair sebelum dibuang ke lingkungan


sehingga mutu limbah cair yang dibuang kelingkungan tidak melampaui
baku mutu limbah cair yang telah ditetapkan

b.

Membuat saluran pembuangan limbah cair tertutup dan kedap air sehingga
tidak terjadi perembesan ketanah serta terpisah dengan saluran limpahan air
hujan

c.

Memasang alat ukur debit laju alir limbah cair dan melakukan pencatatan
debit harian limbah cair tersebut

d.

Memeriksakan kadar parameter baku mutu limbah cair kepada laboratorium


yang berwenang sekurang-kurangnya satu kali dalam sebulan

e.

Menyampaikan laporan tentang catatan debit harian dan kadar parameter


baku mutu limbah cair sekurang-kurangnya tiga bulan sekali kepada
gubernur dengan tembusan Menteri, Kepala Bapedal, atau instansi teknis
yang membidangai rumah sakit dan dianggap perlu sesuai dengan peraturan
perundang-undangan

yang

berlaku

(KepmenLH

RI

No.58/MENLH/12/1995).

2.2.7 Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pengelolaan Limbah Cair Rumah Sakit


Pentingnya pengelolaan limbah cair rumah sakit telah dijelaskan pada
beberapa peraturan perundang-undangn di Indonesia diantaranya adalah UU No.

26

20/1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air (pasal 17) yang bunyinya Setiap
orang atau badan yang membuang limbah cair wajib menaati baku mutu limbah
cair sebagaimana ditentukan dalam izin pembuangan limbah cair yang ditetapkan
baginya. Peraturan lain yang berkaitan dengan pengelolaan air limbah rumah sakit
ialah Undang-undang Republik Indonesia No. 23/1992 tentang Kesehatan,
Peraturan Menteri Kesehatan No.173/Menkes/Per/VIII/1997, tentang Pengawasan
Pencemaran Air dari Badan Air untuk Berbagai Kegunaan yang Berhubungan
dengan Kesehatan, Keputusan Direktur Jenderal PPM dan PLP No. HK.00.06.6.44
tentang Persyaratan & Petunjuk Teknis Tatacara Penyehatan Lingkungan. Undangundang dan peraturan lainnya yang mewajibkan rumah sakit memiliki IPAL adalah
UU No. 44/2009 tentang Rumah Sakit, Permenkes No. 147 tahun 2010 tentang
Perizinan Rumah Sakit dan Kepmenkes No. 1204 tahun 2004 tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit.

2.2.8 Pengelolaan Air Limbah Rumah Sakit


Pengelolaan air limbah rumah sakit merupakan bagian yang sangat penting
dalam upaya penyehatan lingkungan rumah sakit. Pengelolaan limbah ini bertujuan
untuk melindungi masyarakat dari bahaya pencemaran lingkungan. Air limbah yang
tidak ditangani secara benar akan mengakibatkan dampak negatif bagi lingkungan
maupun kesehatan. Maka dari itu, diperlukan pengelolaan yang baik agar apabila
limbah tersebut dibuang ke suatu areal tertentu (badan air) tidak menimbulkan
pencemaran. Pengelolaan limbah cair ini dikelola dengan bantuan Instalasi
Pengolahan Air limbah (IPAL) yang dimiliki oleh rumah sakit.
Setiap proses dalam pengelolaan limbah akan menghasilkan hasil olahan
limbah yang ramah lingkungan. Hasil olahan limbah merupakan buangan yang tidak
menghasilkan bahan-bahan pencemar karena sudah melewati tahapan treatment
untuk mengurangi bahkan menghilangkan bahan pencemar, menginngat zat
pencemar tersebut dapat membahayakan lingkungan terutama kesehatan maka
dilakukanlah pengolahan air limbah rumah sakit.

27

Pengolahan limbah rumah sakit dapat dilakukan dengan cara fisika, kimia
dan biologi atau gabungan dari ketiga sistem pengolahan tersebut. Pengolahan
limbah secara biologis dapat digolongkan menjadi dua pengolahan, yaitu
pengolahansecara aerob (menggunakan oksigen) dan pengolahan secara anaerob
(tidak menggunakan oksigen). Berdasarkan sistem unit operasinya teknologi
pengolahan limbah dibagi menjadi unit operasi fisika, unit operasi kimia dan unit
operasi biologi. Sedangkan bila dilihat dari tigkat perlakuanpengolahan maka sistem
perlakuan limbah diklasifikasikan menjadi: pretreatment system, primary treatment
system, secondarytreatment system dan tertiary treatment system (Perdana Ginting,
2007).

2.2.9 Teknik Pengolahan Limbah Medis


Ada beberapa cara yg dilakukan dalam pengolahan limbah medis
diantaranya adalah :

Chemical decontamination

Steam autoclaving

Inceneration

Landfilling

(Sulaiman, 2001)
Penanganan limbah medis lebih dominan menggunakan system inceneration,
karena dari segi biaya lebih murah selain itu dapat mengurangi massa dan volume
sehingga untuk penanganan berikutnya menjadi lebih mudah. Limbah dapat
ditangani dalam waktu yang relatif lebih singkat daripada pengolahan secara biologi
maupun sistem landfill dan area yang dibutuhkan relatif lebih kecil. Pada dasarnya
semua jenis sampah selain batu dan logam dapat diproses dengan incinerator dalam
segala kondisi basah maupun kering akan tetapi apabila yang dikehendaki hanya
sampah non degradable saja yang akan dibakar pada suhu yang tinggi maka akan
sangat menghemat bahan bakar. Bahan bakar yang akan digunakan diantaranya
adalah minyak bakar MFO, gasatau gasifikasi batubara, pemilihan bahan bakar akan
28

menentukan kost operasional. Oleh karena itu akan sangat tepat apabila dipilih
bahan bakar gas karena bila produksi metan dari kompos sudah berjalan dan sebagai
bahan bakar cadangan dari gasifikasi batubara. Apabila dipilih sejak awal untuk
pembakaran pada incinerator menggunakan bahan bakar gas maka tidak ada
perubahan pada burner sehingga akan menghemat biaya beli burner (Sulaiman,
2001).
Teknologi incinerator adalah salah satu alat pemusnah sampah yang
dilakukan pembakaran pada suhu tinggi, dan secara terpadu dapat aman bagi
lingkungan sehingga pengoperasiannya pun mudah dan aman, karena keluaran
emisi yang dihasilkan berwawasan lingkungan dan dapat memenuhi persyaratan
dari Kementerian Lingkungan Hidup sesuai dengan Kep.Men LH No.13/
MENLH/3/1995. Insinerator mengurangi volume sampah hingga 95-96%,
tergantung komposisi dan derajat recovery sampah. Ini berarti insinerasi tidak
sepenuhnya mengganti penggunaan lahan sebagai area pembuangan akhir, tetapi
insinerasi mengurangi volume sampah yang dibuang dalam jumlah yang signifikan.
Incinerator dilengkapi mesin pembakar dengan suhu tinggi yang dalam waktu relatif
singkat mampu membakar habis semua sampah tersebut hingga menjadi abu.
Pembakaran sampah ini digunakan dengan sistim pembakaran bertingkat (double
chamber ), sehingga emisi yang keluar melalui cerobong tidak berasap dan tidak
berbau, dan menggunakan sitem cyclon yang pada akhirnya hasil pembakaran tidak
memberikan pengaruh polusi pada lingkungan. Selain itu incinerator dilengkapi
dengan 2 sistem pembakaran yang dikendalikan secara otomatis.
Burner yang digunakan dapat menghasilkan panas dengan cepat, serta
dilengkapi dengan blower untuk mempercepat proses pembakaran hingga mampu
menghasilkan panas yang tinggi. Pemilihan incinerator yang akan digunakan
disesuaikan dengan keadaan lingkungan, jenis dan komposisi sampah, serta volume
sampah, sehingga dapat dilakukan secara lebih efisien baik prosesnya maupun
transportasi dan tenaga operasionalnya, serta pula penggunaan lahan lebih efisien.
Meminimalkan sampah yang berukuran besar dan berat untuk dapat dipilah masuk
ke dalam tempat tersendiri. Untuk menjaga kesempurnaan pembakaran di
29

incinerator dan mencegah kerusakan pada dinding pembakar, maka gelas dan logam
tidak ikut dibakar. Volume sampah yang berlebihan diatas mungkin tercecer
(tumpah keluar) sehingga menurunkan efesiensi pemilihan. Oleh karenanya pada
lokasi pembakaran perlu disediakan tempat, dan bila diperlukan diadakan
pengaturan pemulung yang akan menangani pemilahan sampah dengan limbah botol
dan gelas (Sulaiman, 2001)

2.2.10 Penggunaan Incinerator dalam Limbah Rumah Sakit


Penggunaan incinerator dalam limbah rumah sakit menghasilkan berbagai
macam jenis sampah yang berbentuk limbah padat, cair, dan gas atau uap. Limbah
cair berupa larutan kimia seperti detergen, pembersih, oli, minyak pelumas, dan air
panas. Limbah yang berbentuk gas atau uap yaitu gas kimia, bau dan uap panas.
Limbah padat terdiri dari limbah yang dapat membusuk atau bahan organik
(sampah, bagian tubuh manusia). Limbah yang berbahaya (granul atau gas yang
dapat meledak , korosif, zat yang cepat bereaksi dengan zat lainnya), dan yang
mudah terbakar, semua zat-zat kimia dalam laboratorium (fenol, formaldehid dan
Hg), dan limbah infeksiosa seperti kuman, bakteri, jamur dan bahkan virus
(Sulaiman, 2001).
Penggunaan incinerator biasanya hanya dilakukan untuk limbah berjenis
padat. Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan apabila incinerator akan
digunakan di rumah sakit antara lain adalah ukuran, desain, kapasitas yang
disesuaikan dengan volume. Sampah medis yang akan dibakar disesuaikan pula
dengan pengaturan pengendalian pencemaran udara, penempatan lokasi yang
berkaitan dengan jalur pengangkutan sampah dalam kompleks rumah sakit dan jalur
pembuangan abu serta perangkap untuk melindungi incinerator dari bahaya
kebakaran. Teknologi pembakaran ( incineration ) merupakan suatu alternatif yang
menarik teknologi pengolahan limbah. Insinerasi dapat mengurangi volume dan
massa limbah hingga sekitar 90% (volume) dan 75 % (berat). Selain itu insenerator
juga dapat diartikan sebagai alat untuk menghancurkan limbah berupa pembakaran
dengan kondisi terkendali. Limbah dapat terurai dari senyawa organik menjadi
30

senyawa sederhana seperti CO2 dan H2O. Insenarator efektif terutama untuk
buangan organik dalam bentuk padat, cair, gas, lumpur cair (slurries) dan lumpur
padat (sludge). Proses ini tidak biasa digunakan limbah organik seperti lumpur
logam berat (heavymetal sludge) dan asam anorganik. Zat karsinogenik patogenik
dapat dihilangkan dengan sempurna bila insinerator dioperasikan dengan benar.
Jenis insinerator yang paling umum diterapkan dalam membakar limbah padat B3
adalah rotary kiln, multiple hearth, fluidized bed, open pit, single chamber, multiple
chamber, aqueouswaste injection, dan starved air unit (Sulaiman, 2001).
Jenis insinerator yang biasanya digunakan untuk limbah rumah sakit adalah
jenis controlled-air, yang dikenal di pasaran sebagai pembakaran secara starved air
atau secara modular atau secara pyrolytic. Sistem ini disebut demikian karena jenis
ini dioperasikan dengan dua ruangan yang bekerja secara seri. Ruangan pertama
(bagian limbah padat) difungsikan pada kondisi substoichiometris (beberapa jenis
dijumpai juga pada model kiln), sedang ruangan kedua (bagian limbah gas) di
fungsikan pada kondisi udara yang berlebih. Menurut Brunner (1996) dalam Nadia
Paramita (2007) menyatakan bahwa untuk mengolah limbah infeksius hingga saat
ini telah dibuat insinerator dengan berbagai nama seperti insinerator medis,
insinerator infeksius ataupun insinerator limbah patologi. Akan tetapi 90% dari
instalansi yang dibangun untuk mengatasi limbah rumah sakit selama dua dekade ini
menggunakan prinsip Controlled Air Incinerator. Komponen-komponen utama
dalam insinerator ini terdiri dari Primary Combustion Chamber, Secondary
Combustion Chamber, Boiler, Air Pollution Control Devices Stack. Pada umumnya
incinerator dengan primary chamber mengkonversi limbah sehingga menghasilkan
emisi berupa partikulat. Untuk itu perlu pollution control device berupa wet dan dry
scrubbers pada insinerator rumah sakit yang manfaatnya adalah mengurangi emisi
partikel (0,01-0,03 grft), mengurangi gas asam HCL, mengurangi sifat patogen dan
mencegah racun terbebas di udara (Sabayang, 1999)

31

2.2.11 Fungsi Incinerator


Incinerator bahkan sudah menjadi sarana standar untuk menangani limbah
medis yang dihasilkan dari berbagai kegiatan medis di rumah sakit. Fungsi atau
kegunaan incinerator selain dapat mengurangi massa dan volumenya yg lebih utama
dan

penting

adalah

mendestruksi

materi-materi

yg

berbahaya

seperti

mikroorganisme pathogen dan meminimalisir pencemaran udara yg dihasilkan dari


proses pembakaran sehingga gas buang yg keluar dari cerobong menjadi lebih
terkontrol dan ramah lingkungan (Sabayang, 1996).
Sebuah incinerator dapat berfungsi dengan baik jika memenuhi kriteria
tersebut diatas dan ada beberapa parameter yang harus dipenuhi diantaranya yaitu
suhu, waktu dan turbulensi. Suhu : suhu menjadi faktor yang sangat berperan dalam
pembakaran, keberhasilan dari suatu proses pembakaran ditentukan oleh tercapainya
suhu yang diinginkan dari jenis materi limbah yg akan dibakar, hal ini juga
berhubungan erat dengan pasokan udara atau oksigen untuk mengoksidasi limbah,
bentuk ruang bakar, jenis refraktori yang digunakan dan ketebalan dinding
incinerator juga akan mempengaruhi suhu ruang bakar. Ruang bakar berbentuk
bulat rambatan suhunya menjadi lebih sempurna dibanding ruang bakar berbentuk
kotak, karenanya suhu yang tidak cukup akan menghasilkan pembakaran yang tidak
sempurna sehingga akan menimbulkan masalah baru yaitu pencemaran udara.
Waktu : materi-materi yang terdapat dalam limbah mempunyai nilai kalor yang
berbeda-beda, sampah yang basah tentu akan lebih panjang waktu pembakarannya
dibanding sampah kering, oleh sebab itu waktu ada kaitannya dengan kebutuhan
berapa lama suatu bahan harus dibakar dan berapa derajad temperatur yang
dibutuhkan agar dapat terbakar dengan sempurna. Turbulensi : untuk incenerator
kapasitas besar hal ini sangat perlu untuk diperhatikan karena berkaitan dengan
jumlah sampah yang akan dibakar dengan suplai oksigen yang masuk agar sampah
tersebut dapat terurai dengan sempurna (Sabayang, 1996).

32

2.2.12 Prinsip Kerja Insinerator


Proses insenerasi akan berlangsung melalui 3 tahapan, yaitu:
a. Tahapan pertama adalah membuat air dalam sampah menjadi uap air,
hasilnya limbah menjadi kering dan siap terbakar.
b. Selanjutnya terjadi proses pirolisis, yaitu pembakaran tidak sempurna,
dimana temperatur belum terlalu tinggi.
c. Fase berikutnya adalah pembakaran sempurna. Ruang bakar pertama
digunakan sebagai pembakar limbah, suhu dikendalikan antara 400C 600C. Ruang bakar kedua digunakan sebagai pembakar asap dan bau
dengan suhu antara antara 600 C - 1200 C. Suplay oksigen dari udara
luar ditambahkan agar terjadi oksidasi sehingga materi-materi limbah
akan teroksidasi dan menjadi mudah terbakar, dengan terjadi proses
pembakaran yang sempurna, asap yang keluar dari cerobong menjadi
transparan (Sabayang, 1996)
2.2.13 Keuntungan Menggunakan Incinerator
Keuntungan menggunakan incinerator tentunya dapat mengurangi volume
sampah, dapat membakar beberapa jenis sampah termasuk sampah B3 (toksik
menjadi non toksik, infeksius menjadi non infeksius), lahan yang dibutuhkan relatif
tidak luas, pengoperasiannya tidak tergantung pada iklim, dan residu abu dapat
digunakan untuk mengisi tanah yang rendah (Sabayang, 1996).

2.2.14 Kelemahan menggunakan incinerator


Tidak semua jenis sampah dapat dimusnahkan terutama sampah dari logam
dan botol, serta dapat menimbulkan pencemaran udara bila tidak dilengkapi dengan
pollution control berupa cyclon (udara berputar) atau bag filter (penghisap debu).
Hasil pembakaran berupa residu serta abu dikeluarkan dari incinerator dan ditimbun
dilahan yang rendah. Sedangkan gas/partikulat dikeluarkan melalui cerobong
setelah melalui sarana pengolah pencemar udara yang sesuai (Sabayang, 1996).

33

2.2.15 Dampak Penggunaan Incinerator pada Limbah Rumah Sakit


Rumah sakit yang besar mungkin mampu membeli insinerator sendiri.
Insinerator berukuran kecil atau menengah dapat membakar pada suhu 1300C
1500C atau lebih tinggi dan mungkin dapat mendaur ulang sampai 60% panas yang
dihasilkan untuk kebutuhan energi untuk melayani insinerasi limbah rumah sakit
yang berasal dari rumah sakit lain. Insinerator modern yang baik tentu saja memiliki
beberapa keuntungan antara lain kemampuannya menampung limbah klinik maupun
bukan klinik, termasuk benda tajam dan produk farmasi yang tidak terpakai.
Insinerasi memiliki banyak manfaat untuk mengolah berbagai jenis sampah seperti
sampah medis dan beberapa jenis sampah berbahaya di mana patogen dan racun
kimia bisa hancur dengan temperatur tinggi. Limbah padat yang berasal industri
yang berupa sludge, atau dari pemukiman yang berupa sampah domestik, maupun
limbah padat medis dari rumah sakit dapat dimusnahkan dengan sempurna
menggunakan teknik insinerasi.
Proses pembakaran dengan insinerator berlangsung pada suhu tinggi (600C
-800C), pada suhu tersebut limbah padat organik sudah dapat hancur terbakar dan
abu yang dihasilkan akan dalam keadaaan bersih /steril. Gas hasil pembakaran
limbah tersebut dibakar juga pada suhu yang lebih tinggi yaitu antara 800C 1000C, gas buangnya yang bersih dan emisinya terkendali berada dibawah ambang
batas ( Untuk keuntungan jika menggunakan incinerator adalah dapat mengurangi
volume sampah, dapat membakar beberapa jenis sampah termasuk sampah B3
(toksik menjadi nontoksik, infektius menjadi non infektius), lahan yang dibutuhkan
relative tidak luas, pengoperasiannya tidak tergantung pada iklim dan residu abu
dapat digunakan untuk mengisi tanah yang rendah. Selain itu insinerator pada
rumah sakit bermanfaat untuk mengurangi emisi partikel (0,01 0,03 gr/ft3),
mengurangi gas asam (HCL), mengurangi sifat patogen mencegah racun terbebas di
udara.
Sedangkan untuk kerugian jika menggunakan insinerator adalah tidak semua
jenis sampah dapat di hancurkan atau dimusnahkan terutama sampah dari logam dan
botol serta dapat menimbulkan pencemaran udara berupa emisi yang berbentuk
34

dioksin dan logam berat sepertiAs, Cd, Cr, Pb, Mn, Hg dan dapat menimbulkan
asap dengan kandungan debu (ash) juga particulate matter dengan berbagai ukuran.
Agar hal tersebut tidak terjadi maka sebaiknya incinerator dilengkapi dengan
pollution control berupa cyclone (udara berputar) atau bag filter (penghisap debu).
Hasil pembakaran berupa residu serta abu yang dikeluarkan dari insinerator
dan ditimbun dilahan yang rendah. Sedangkan gas/partikulat dikeluarkan melalui
cerobong setelah melalui sarana pengolah pencemar udara yang sesuai. Sedangkan
insinerator, yang menerapkan teknik pembakaran pada sampah medis, bukan berarti
tanpa cacat. Teknik insenerasi merupakan sumber utama zat dioksin yang sangat
beracun. Penelitian terakhir menunjukkan zat dioksin inilah yang menjadi pemicu
tumbuhnya kanker pada tubuh (Depkes RI, 2004).
Sebagaimana termaktub dalam Undang-undang No. 9 tahun 1990 tentang
Pokok-pokok Kesehatan, bahwa setiap warga berhak memperoleh derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya. Ketentuan tersebut menjadi dasar bagi pemerintah untuk
menyelenggarakan kegiatan yang berupa pencegahan dan pemberantasan penyakit,
pencegahan dan penanggulangan pencemaran, pemulihan kesehatan, penerangan
dan pendidikan kesehatan kepada masyarakat (Depkes RI, 2004).

2.2.16 Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Rumah Sakit


2.2.16.1 Definisi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
IPAL atau Instalasi Pengolahan Air Limbah adalah seperangkat peralatan
beserta perlengkapannya yang memproses/mengolah limbah cair sisa proses
kegiatan dari pabrik/industri, domestik, dan rumah sakit, sehingga limbah tersebut
layak di buang ke lingkungan ( Anonim1, 2011).
IPAL ialah suatu sistem pengolah yang mampu menurunkan kandungan
pencemar air limbah yang berpotensi mencemari lingkungan sampai batas yang
disyaratkan pemerintah sehingga layak dibuang ke lingkungan. Tujuannya untuk
mengurangi dampak buruk polutan di dalam air limbah dan mengendalikan
pencemaran lingkungan (Anonim2 , 2007).

35

2.2.16.2 Peraturan Tentang Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 986 / MENKES / PER / XI /
1992 tanggal 14 November 1992 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan
Rumah Sakit dan Keputusan Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular
dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman No. HK.00.06.44 tanggal 18 Februari
1993 tentang Persyaratan dan Petunjuk Teknis Tata Cara Penyehatan Lingkungan
Rumah Sakit mempersyaratkan fasilitas pembuangan limbah sebagai berikut :
1. Saluran pembuangan limbah harus menggunakan sistem saluran tertutup, kedap
air, dan limbah harus mengalir dengan lancar.
2. Rumah Sakit harus memiliki unit pengolahan limbah sendiri atau bersama-sama
secara kolektif dengan bangunan disekitarnya yang memenuhi persyaratan teknis,
apabila belum ada atau tidak terjangkau sistem pengolahan air limbah perkotaan.
3. Kualitas air limbah rumah sakit yang akan dibuang ke lingkungan harus
memenuhi persyaratan baku mutu sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Untuk melindungi lingkungan dari kegiatan rumah sakit, buangan air limbah
dari rumah sakit diatur oleh Keputusan Menteri Lingkungan Hidup. Dalam
keputusan ini, manajemen rumah sakit harus memeriksakan standar kualitas air
limbahnya pada laboratorium yang kompeten minimal sebulan sekali dan
melaporkan hasilnya kepada pemerintah setidaknya tiga bulan sekali (Permenkes
RI, 1992).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan nomor 1204 tahun 2004 tentang
persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit maka limbah Cair harus meengikuti
ketentuan sebagai berikut:
1. Limbah Cair harus dikumpulkan dalam kontainer yang sesuai dengan keterpaparan
bahan kimia dan radiologi, volume, dan prosedur penanganan dan penyimpangannya.
2. Saluran pembuangan limbah harus menggunakan sistem saluran tertutup, kedap
air, dan limbah harus mengalir dengan lancar, serta terpisah dengan saluran air hujan.

36

3. Rumah sakit harus memiliki instalasi pengolahan limbah cair sendiri atau bersamasama secara kolektif dengan bangunan disekitarnya yang memenuhi persyaratan
teknis, apabila belum ada atau tidak terjangkau sistem pengolahan air limbah
perkotaan.
4. Perlu dipasang alat pengukur debit limbah cair untuk mengetahui debit harian
limbah yang dihasilkan.
5. Air limbah dari dapur harus dilengkapi penangkap lemak dan saluran air limbah
harus dilengkapi/ditutup dengan gril.
6. Air limbah yang berasal dari laboratorium harus diolah di Instalasi Pengolahan Air
Limbah (IPAL), bila tidak mempunyai IPAL harus dikelola sesuai kebutuhan yang
berlaku melalui kerjasam dengan pihak lain atau pihak yang berwenang.
7. Frekuensi pemeriksaan kualitas limbah cair terolah (effluent) dilakukan setiap
bulan sekali untuk swapantau dan minimal 3 bulan sekali uji petik sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
8. Rumah sakit yang menghasilkan limbah cair yang mengandung atau terkena zat
radioaktif, pengelolaannya dilakukan sesuai ketentuan BATAN (Permenkes RI,
2004).
2.2.16.3 Tujuan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
Berdasarkan pengertian dari IPAL itu sendiri, dapat diketahui tujuan dari
Instalasi Pengolahan Air Limbah khususnya untuk Rumah Sakit. Adapun, tujuan
dari IPAL Rumah Sakit adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengolah air limbah/limbah cair rumah sakit,
2. Mengurangi/menghilangkan kadar dari bahan-bahan kimia berbahaya, mikroba
maupun zat radioaktif yang dapat membahayakan lingkungan dan makhluk hidup,
3. Meningkatkan kesehatan lingkungan rumah sakit, dan

37

4. Mengurangi resiko penyakit yang mungkin timbul akibat limbah yang dihasilkan
dari kegiatan rumah sakit.

2.2.16.4 Manfaat dan Fungsi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)


Instalasi Pengolahan Air Limbah Rumah Sakit memiliki beberapa manfaat
bagi lingkungan, masyarakat dan bagi rumah sakit itu sendiri. Berdasarkan
pengertian, peraturan perundang-undangan mengenai pentingnya IPAL rumah sakit
maka dapat diketahui manfaat dan fungsi IPAL rumah sakit, yaitu:
1. Mempermudah manusia dalam mengolah limbah cair rumah sakit,
2. Mengolah air limbah rumah sakit sehingga aman jika dibuang ke lingkungan, dan
3. Dapat mengurangi dampak pencemaran lingkungan (air dan tanah) akibat limbah
cair tersebut.

2.2.16.4 Klasifikasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)


Teknologi pengolahan air limbah adalah kunci dalam memelihara kelestarian
lingkungan.

Berbagai

teknik

pengolahan

air

limbah

untuk

mengurangi/mengilangkan bahan polutan telah dicoba dan dikembangkan selama


ini. Teknik-teknik pengolahan air limbah yang telah dikembangkan tersebut secara
umum dapat dibagi menjadi dua yaitu pengolahan air limbah menurut tingkatannya
(pre treatment, primary treatment, secondary treatment, dan tersier treatment) dan
pengolahan air limbah menurut karakteristiknya (pengolahan secara fisika,
pengolahan secara kimia, dan pengolahan secara biologi) (Suharto,2010).
2.2.16.5 Petugas Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
Seperti yang diketahui, IPAL merupakan suatu perangkat peralatan teknik
beserta perlengkapannya yang memproses/mengolah cairan sisa produksi pabrik,
rumah sakit maupun domestik sehingga cairan tersebut layak dibuang ke lingkungan
.

Kaitannya

dengan

pengelolaan

lingkungan

yang

meliputi

pencegahan,

penanggulangan kerusakan, pencemaran dan pemulihan kualitas lingkungan,

38

menuntut dikembangkannya berbagai perangkat kebijakan dan program kegiatan


yang didukung oleh sistem pendukung pengelolaan lingkungan.
Sistem pendukung pengelolaan lingkungan tersebut harus didukung oleh
Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkompeten sebagai operator pengolahan
limbah. Dimana operator tersebut akan memegang peran penting dalam
pengoperasionalan sistem IPAL dalam hal ini di rumah sakit dan mencegah
kemungkinan terjadinya kesalahan prosedur dalam mengoperasikan IPAL. Oleh
karena itu, bagi operator IPAL wajib untuk memahami bakuan kompetensi tata
keseimbangan yang menyeluruh dari pengetahuan, keterampilan, kearifan,
pengalaman, dan tatalaku yang perlu diketahui serta dikuasi oleh seorang Operator
IPAL.Untuk mewujudkan operator-operator yang paham dan profesional, maka
diperlukan pelatihan khusus mengenai cara pengoperasian IPAL, penanganan bila
ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, dan lain sebagainya.

2.2.17 Pengolahan Air Limbah Menurut Tingkatannya


Tingkatan dalam pengolahan limbah tergantung dari jenis dan kondisi
limbahnya. Secara umum, pengolahan limbah menurut tingkatannya dibagi menjadi
empat bagian, yaitu:
1. Pengolahan Pendahuluan
Dalam pengolahan pendahuluan ini air limbah akan dipisahkan dari padatan
kasar, minyak atau lemak dna proses penyetaraan fluktuasi aliran bak penampung.
Adapun unit-unit yang terdpaat dalam pengolahan pendahuluan ini adalah:
a. Saringan (bar screen/bar racks)
b. Pencacah (comminutor)
c. Bak penangkap pasir (grit chamber)
d. Penangkap lemak dan minyak (skimmer and grease trap)
e. Bak penyetaraan (equalization basin)

39

2. Pengolahan Tahap Pertama (Primery treatment )


Pengolahan tahap pertama (Primery treatment) bertujuan untuk mengurangi
kandungan padatan tersuspensi melalui proses pengendapan (sedimentation). Pada
proses pengendapan, partikel padat dibiarkan mengendap ke dasar tangki. Dalam
penetralisasian dan untuk meningkatkan kemampuan pengurangan padatan
tersuspensi amka perlu ditambahkan bahan kimia. Dalam unit ini hasil yang dpaat
dicapai adalah pengurangan terhadap BOD dapat mencapai 35% sedangkan padatan
tersuspensi berkurang sampai 60%. Pengurangan BOD dan padatan pada tahap
pertama ini selanjutnya akan membantu mengurangi beban pengolahan di tahap
kedua.
3. Pengolahan Tahap Kedua (Secondary treatment)
Pengolahan di tahap kedua ini umumnya mencakup proses biologis yang bertujuan
untuk mengurangi bahan-bahan organik dengan bantuan mikroorganisme. Proses
tahap kedua ini dapat terjadi secara aerobik maupun anaerobik. Proses aerobik terjadi
karena adanya diffuser yang mengalirkan udara dari bawah bak. Pada unit ini hasil
yang dapat dicapai adalah pengurangan kandungan BOD dalam rentang 35-95%
tergantung pada kapasitas unit pengolahannya. Reaktor pengolah lumpur aktif dan
saringan penjernih biasanya dipergunakan dalam tahap ini.
4. Pengolahan Tahap Ketiga (Tersier treatment) atau Pengolahan lanjutan
Beberapa efluen yang belum memenuhi standar membutuhkan pengolahan tahap
ketiga atau pengolahan lanjutan untuk menghilangkan kontaminan tertentu atau dapat
dimanfaatkan kembali. Pengolahan tahap ini lebih difungsikan sebagai upaya
peningkatan kualitas limbah cair dari pengolahan tahap kedua agar dapat dibuang ke
badan air/lingkungan. Pada pengolahan tahap ketiga ini dilakukan untuk menurunkan
kandungan BOD dan juga dimaksudkan untuk menghilangkan senyawa fosfor dengan
penambahan bahan kimia sebagai koagulan, menghilangkan sisa bahan organik dan
senyawa penyebab warna melalui proses absorbsi menggunakan karbon aktif,
menghilangkan padatan terlarut melalui proses pertukaran ion, osmosis balik maupun
elektrodialisis (Soeparman dan Soeparmin, 2002).

40

2.2.18 Pengolahan Air Limbah Menurut Karakteristiknya


Berdasarkan karakteristiknya, air limbah dapat diolah menggunakan 3
metode, yaitu:
1. Pengolahan secara Fisika (Physical treatment)
Modifikasi dari prinsip dalam metode ini adalah dengan menggunakan
radiasi ultra violet untuk mensterilkan effluent. Radiasi ultra violet mampu merusak
asam nuklear di sel-sel bakteri, virus dan juga organisme. Radiasi ultra violet itu
sendiri bisa di dapatkan dari sinar matahari. Dalam pengolahan secara fisika ini,
sinar matahari lah yang merupakan desinfektannya. Sinar matahari ini mampu
mengurangi konsentrasi bakteri patogen. Namun, dalam pengoperasiannya sering
ditemui kendala terutama untuk memperoleh penyinaran maksimum pada air
limbah.
Sinar matahari memiliki kemampuan dalam membunug patogen dan menonaktifkan kuman maupun vitus. Radiasi matahari di negara tropis sangatlah
menguntungkan karena cukup untuk membunuh semua fecal coliform (coliform
tinja) dengan syarat air harus encer, tidak keruh dan dapat ditembus oleh sinar
matahari. Pengolahan air limbah secara fisika ini merupakan tahap awal (Pre
treatment) dalam rangkaian proses pengolahan air limbah. Secara umum yang
termasuk ke dalam pengolahan fisika air limbah adalah:
1. Bar screen berfungsi untuk menyaring dan memisahkan sampah dari air limbah.
2. Grit Chamber berfungsi untuk menyaring partikel-partikel yang lebih kecil seperti
pasir, sampah berukuran kecil, sebelum masuk ke pengolahan berikutnya yaitu ke
bak kolam anaerobik, fakultatif, dan kolam matirasi. Mengenai sifat fisik dari air
limbah ini adalah sifat/karakteristik yang dapat langsung dirasakan oleh panca
indera seperti suhu, warna, bau, dan rasa. Dimana, secara garis besar dapat
digunakan untuk menentukan fisik dari air limbah secara umum. Bau, merupakan
hasil dari penguraian oleh bakteri yang menghaislkan gas-gas, misalnya .
Temperatu, merupakan sifat fisik yang dapat mempengaruhi kecepatan proses
penguraian, aktivitas, dan perkembangan mikroorganisme. Warna, merupakan sifat

41

fisik yang digunakan untuk menentukan tingkat kekeruhan air limbah. Rasa,
merupakan sifat fisik yang mungkin tidak dapat dirasakan secara langsung oleh
panca indera. Air bersih tidaklah berasa, tidak berbau, tidak berwarna dan memiliki
suhu 25C.

Air limbah sebagian besar kandungannya adalah partikel-partikel yang tidak


dapat larut (Suspended solid). Oleh karena itu diperlukan pengolahan fisika yang
pada umumnya betujuan untuk mengurangi/meghilangkan zat padat kasar
(berukuran besar), zat padat terlarut, pasir, dna zat padat terapung. Adapun unit-unit
pengolahan air limbah secara fisika ini meliputi:
1. Screening
2. Mixing
3. Sedimentasi/Pengendapan
4. Vacum Filtration
5. Pengeringan
6. Grit Chamber
7. Comunitor
(Met Celf & Eddy, 2003)
Langkah awal yang dilakukan pada pengolahan air limbah secara fisika ini
adalah screening. Dimana hasil yang diinginkan adalah bahan-bahan tersuspensi
berukuran besar dan yang mudah mengendap atau bahan-bahan yang terapung
disisihkan terlebih dahulu. Penyaringan (screening) merupakan cara yang efisien
dan murah untuk menyisihkan bahan tersuspensi yang berukuran besar. Bahan
tersuspensi yang mudah mengendap dapat disisihkan secara mudah dengan proses
pengendapan. Parameter desain yang utama untuk proses pengendapan ini adalah
kecepatan mengendap partikel dan waktu detensi hidrolis di dalam bak pengendap.

42

Kemudian dilanjutkan dengan proses filtrasi di dalam pengolahan air


buangan, biasanya dilakukan untuk mendahului proses adsorbsi atau proses reverse
osmosis-nya, akan dilaksanakan untuk menyisihkan sebanyak mungkin partikel
tersuspensi dari dalam air agar tidak mengganggu proses adsorbsi atau menyumbat
membran yang dipergunakan dalam proses osmosa.
Langkah berikutnya yaitu proses flotasi. Proses flotasi banyak digunakan
untuk menyisihkan bahan-bahan yang mengapung seperti minyak dan lemak agar
tidak mengganggu proses pengolahan berikutnya. Flotasi juga dapat digunakan
sebagai cara penyisihan bahan-bahan tersuspensi (clarification) atau pemekatan
lumpur endapan (sludge thickening) dengan memberikan aliran udara keatas (air
flotation).
Di akhir tahap pengolahan, dilakukan Proses adsorbsi. Pada proses ini
biasanya digunakan karbon aktif untuk menyisihkan senyawa aromatik (misalnya:
fenol) dan senyawa organik terlarut lainnya, terutama jika diinginkan untuk
menggunakan kembali air buangan tersebut. Apabila air limbah memungkinkan
untuk dapat diolah dan digunakan kembali maka dapat menggunakan teknologi
membran (reverse osmosis).Biasanya teknologi ini diaplikasikan untuk unit-unit
pengolahan kecil, terutama jika pengolahan ditujukan untuk menggunakan kembali
air yang diolah. Biaya instalasi dan operasinya sangat mahal (Dephut RI).
2. Pengolahan secara Kimia (Chemical treatment)
Pengolahan air limbah secara kimia bertjuan untuk memisahkan partikelpartikel koloid dalam air limbah dengan menambahkan bahan kimia. Pemisahan
partikel koloid ini dilakukan dengan cara menon-stabilkan partikel koloid,
menyatukan partikel-partikel koloid yang akhirnya membentuk flok-flok, dan
mengendapkan flok-flok tersebut.
Pada akhir pengolahan kimia, sebelum air hasil pengolahan dibuang ke
badan air (sungai) maka terlebih dahulu dilakukan penambahan bahan kimia sebagai
desinfektan untuk membunuh bibit-bibit penyakit (bakteri). Bahan kimia yang dapat
digunakan adalah gas chlor ( Cl2), ozon (O3) , kaporit ( OCl3).

43

Mengenai sifat kimia pada air limbah yang dapat dijadikan parameter
penentu kualitas air limbah adalah zat organik seperti C, H, O, N, S, P, zat organik
logam beracun seperti Hg, Cd, Pb, dan lain-lain. Oleh karena itu diperlukan
pengolahan kimia dalam mengurangi bahkan menghilangkan kandungan kimia
berbahaya pada air limbah. Berikut ini adalah unit-unit pengolahan kimia yang
meliputi:
1. Chemical Precipitation
2. Desinfeksi
(MJ. Hammer, 1986).
Pengolahan air limbah secara kimia dilakukan untuk menghilangkan
partikel-partikel yang tidak mudah mengendap (koloid), logam-logam berat,
senyawa fosfor, dan zat organik beracun. Pengolahan tersebut dilakukan dengan
membubuhkan bahan kimia tertentu yang diperlukan. Penyisihan bahan-bahan
tersebut pada prinsipnya berlangsung melalui perubahan sifat bahan-bahan tersebut,
yaitu dari tak dapat diendapkan menjadi mudah diendapkan (flokulasi-koagulasi),
baik dengan atau tanpa reaksi oksidasi-reduksi, dan juga berlangsung sebagai hasil
reaksi oksidasi.
Pengendapan bahan tersuspensi yang tak mudah larut dilakukan dengan
membubuhkan elektrolit yang mempunyai muatan yang berlawanan dengan muatan
koloidnya agar terjadi netralisasi muatan koloid tersebut, sehingga akhirnya dapat
diendapkan.Penyisihan logam berat dan senyawa fosfor dilakukan dengan
membubuhkan larutan alkali (air kapur misalnya) sehingga terbentuk endapan
hidroksida logam-logam tersebut atau endapan hidroksiapatit. Endapan logam
tersebut akan lebih stabil jika pH air > 10,5 dan untuk hidroksi apatit pada pH > 9,5.
Khusus untuk krom heksavalen, sebelum diendapkan sebagai krom hidroksida
[Cr(OH)3], terlebih dahulu direduksi menjadi krom trivalent dengan membubuhkan
reduktor (FeSO4, SO2, atau Na2S2O5).

44

Penyisihan bahan-bahan organik beracun seperti fenol dan sianida pada


konsentrasi rendah dapat dilakukan dengan mengoksidasinya dengan klor (Cl2),
kalsium permanganat, aerasi, ozon hidrogen peroksida. Pada dasarnya hasil yang
didapat memperoleh efisiensi tinggi dengan pengolahan secara kimia, akan tetapi
biaya pengolahan menjadi mahal karena memerlukan bahan kimia (Dephut RI).
3. Pengolahan secara Biologi (Biological treatment)
Pengolahan

biologi

dilakukan

dengan

tujuan

untuk

menyisihkan/memisahkan zat organik yang terkandung dalam air limbah dengan


memanfaatkan aktivitas mikroorganisme. Mikroorganisme tersebut akan melakukan
perombahakan zat organik yang dibantu oleh algae dan proses fotosintesis.
Pengolahan secara biologi ini dapat berlangsung secara aerob (memerlukan oksigen)
maupun anaerob (tidak memerlukan oksigen) (Mara D, 1976)
Adapun sifat biologi yang menunjukkan kandungan biologi dalam air limbah
adalah banyaknya mikroorganisme air seperti: bakteri, fungi, protozoa, algae dan
hewan air kecil lainnya. Mengenai karakteristik biologi untuk menentukan kualitas
air adalah kadar BOD, COD, TSS dan TDS. Berikut ini adalah unit-unit pengolahan
secara biologi:
1. anaerobik
2. aerobik
3. fakultatif
4. maturasi
Semua air buangan yang biodegradable dapat diolah secara biologi. Sebagai
pengolahan yang termasuk ke dalam pengolahan sekunder, pengolahan secara
biologi dipandang sebagai pengolahan yang paling murah dan efisien. Pada
dasarnya, reaktor pengolahan secara biologi dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu:
1. Reaktor pertumbuhan tersuspensi (suspended growth reaktor);
2. Reaktor pertumbuhan lekat (attached growth reaktor).

45

Pada reaktor pertumbuhan tersuspensi, mikroorganisme tumbuh dan


berkembang dalam keadaan tersuspensi. Proses lumpur aktif yang banyak dikenal
berlangsung dalam reaktor jenis ini. Proses lumpur aktif terus berkembang dengan
berbagai modifikasinya, antara lain: oxidation ditch dan kontak-stabilisasi.
Dibandingkan dengan proses lumpur aktif konvensional, oxidation ditch
mempunyai beberapa kelebihan, yaitu efisiensi penurunan BOD dapat mencapai
85%-90% (dibandingkan 80%-85%) dan lumpur yang dihasilkan lebih sedikit.
Selain efisiensi yang lebih tinggi (90%-95%), kontak stabilisasi mempunyai
kelebihan yang lain, yaitu waktu detensi hidrolis total lebih pendek (4-6 jam).
Proses kontak-stabilisasi dapat pula menyisihkan BOD tersuspensi melalui proses
absorbsi didalam tangki kontak sehingga tidak diperlukan penyisihan BOD
tersuspensi dengan pengolahan pendahuluan.
Kolam oksidasi dan lagoon, baik yang diaerasi maupun yang tidak, juga
termasuk dalam jenis reaktor pertumbuhan tersuspensi.Untuk iklim tropis seperti
Indonesia, waktu detensi hidrolis selama 12-18 hari di dalam kolam oksidasi
maupun dalam lagoon yang tidak diaerasi, cukup untuk mencapai kualitas efluen
yang dapat memenuhi standar yang ditetapkan. Di dalam lagoon yang diaerasi
cukup dengan waktu detensi 3-5 hari saja. Di dalam reaktor pertumbuhan lekat,
mikroorganisme tumbuh di atas media pendukung dengan membentuk lapisan film
untuk melekatkan dirinya. Berbagai modifikasi telah banyak dikembangkan selama
ini, antara lain:
1. trickling filter
2. cakram biologi
3. filter terendam
4. reaktor fludisasi
Seluruh modifikasi ini dapat menghasilkan efisiensi penurunan BOD sekitar
80%-90%.
Ditinjau dari segi lingkungan dimana berlangsung proses penguraian secara
biologi, proses ini dapat dibedakan menjadi dua jenis:

46

1. Proses aerob, yang berlangsung dengan hadirnya oksigen;


2. Proses anaerob, yang berlangsung tanpa adanya oksigen.
Apabila BOD air buangan tidak melebihi 400 mg/l, proses aerob masih dapat
dianggap lebih ekonomis dari anaerob. Pada BOD lebih tinggi dari 4000 mg/l,
proses anaerob menjadi lebih ekonomis (Dephut RI).
Pengelolaan air limbah rumah sakit merupakan bagian yang sangat penting
dalam upaya penyehatan lingkungan rumah sakit yang mempunyai tujuan
melindungi masyarakat dari bahaya pencemaran lingkungan. Air limbah yang tidak
ditangani secara benar akan mengakibatkan dampak negatif khususnya bagi
kesehatan,
sehingga perlu pengelolaan yang baik agar bila dibuang ke suatu areal
tertentu tidak menimbulkan pencemaran yang didukung dengan Instalasi
Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang dimiliki oleh rumah sakit itu sendiri (Giyatmi,
2003).
Dalam standar Organization for Standar (ISO) yang merupakan salah satu
sertifikasi

internasioanal

di

bidang

pengelolaan

lingkungan

menyebutkan

pengelolaan limbah adalah suatu usaha untuk meningkatkan kualitas dengan


menghasilkan limbah yang ramah lingkungan dan tidak tercemar dan aman bagi
masyarakat disekitarnya. Hasil olahan limbah yang ramah lingkungan merupakan
buangan yang tidak menghasilkan bahan-bahan pencemar. Bahan pencemar adalah
jumlah berat zat pencemar dalam satuan waktu tertentu yang merupakan hasil
perkalian dari kadar pencemar dengan debit limbah cair. Dalam pengolahan limbah
cair dapat dilakukan dengan menggunakan cara: 1) trickling filter, 2) kolam aerasi,
3) lumpur aktif, 4) anaerobic lagoon dan land spraying atau drain field.
2.2.19 Teknologi Pengolahan Air Limbah
Untuk mengolah air yang mengandung senyawa organik umumnya
menggunakan teknologi pengolahan air limbah secara biologis atau gabungan antara
proses biologis dengan proses kimia-fisika. Proses secara biologis tersebut dapat
dilakukan pada kondisi aerobik (dengan udara), kondisi anaerobik (tanpa udara)
47

atau kombinasi anaerobik dan aerobik. Proses biologis aeorobik biasanya digunakan
untuk pengolahan air limbah dengan beban BOD yang tidak terlalu besar,
sedangkan proses biologis anaerobik digunakan untuk pengolahan air limbah
dengan beban BOD yang sangat tinggi (Said, 2000).
Pengolahan air limbah secara bilogis aerobik secara garis besar dapat dibagi
menjadi tiga yakni proses biologis dengan biakan tersuspensi (suspended culture),
proses biologis dengan biakan melekat (attached culture) dan proses pengolahan
dengan sistem lagoon atau kolam. Proses biologis dengan biakan tersuspensi adalah
sistem

pengolahan

dengan

menggunakan

aktifitas

mikroorganisme

untuk

menguraikan senyawa polutan yang ada dalam air dan mikroorganime yang
digunakan dibiakkan secara tersuspesi di dalam suatu reaktor.
Beberapa contoh proses pengolahan dengan sistem ini antara lain : proses
lumpur aktif standar/konvesional (standard activated sludge), step aeration, contact
stabilization, extended aeration, oxidation ditch (kolam oksidasi sistem parit) dan
lainya. Proses biologis dengan biakan melekat yakni proses pengolahan limbah
dimana mikro-organisme yang digunakan dibiakkan pada suatu media sehingga
mikroorganisme tersebut melekat pada permukaan media. Beberapa contoh
teknologi pengolahan air limbah dengan cara ini antara lain : trickling filter atau
biofilter, rotating biological contactor (RBC), contact aeration/oxidation (aerasi
kontak) dan lainnnya (Said, 2000).
Proses pengolahan air limbah secara biologis dengan lagoon atau kolam
adalah dengan menampung air limbah pada suatu kolam yang luas dengan waktu
tinggal yang cukup lama sehingga dengan aktifitas mikro-organisme yang tumbuh
secara alami, senyawa polutan yang ada dalam air akan terurai. Untuk mempercepat
proses penguraian senyawa polutan atau memperpendek waktu tinggal dapat juga
dilakukam proses aerasi. Salah satu contoh proses pengolahan air limbah dengan
cara ini adalah kolam aerasi atau kolam stabilisasi (stabilization pond). Proses
dengan sistem lagoon tersebut kadang-kadang dikategorikan sebagai proses biologis
dengan biakan tersuspensi.

48

Secara garis besar klasifikasi proses pengolahan air limbah secara aerobik
karakteristik pengolahan, parameter perencanaan serta efisiensi pengolahan untuk
tiap-tiap jenis proses. Untuk memilih jenis teknologi atau proses yang akan
digunakan untuk pengolahan air limbah, beberapa hal yang perlu diperhatikan
antara lain yakni karakteristik air limbah, jumlah limbah serta standar kualitas air
olahan yang diharapkan (Said, 2000).
Teknologi proses pengolahan air limbah yang digunakan untuk mengolah air
limbah rumah sakit pada dasarnya hamper sama dengan teknologi proses
pengolahan untuk air limbah yang mengandung polutan organik lainnya. Pemilihan
jenis proses yang digunakan harus memperhatikan beberapa faktor antara lain yakni
kualitas limbah dan kualitas air hasil olahan yang diharapkan, jumlah air limbah,
lahan yang tersedia dan yang tak kalah penting yakni sumber energi yang tersedia.
Berapa teknologi proses pengolahan air limbah rumah sakit yang sering digunakan
yakni antara lain: proses lumpur aktif (activated sludge process), reaktor putar
biologis (rotating biological contactor, RBC), proses aerasi kontak (contact aeration
process), dan proses dengan biofilter Up Flow .
2.2.20 Pengolahan Air Limbah Dengan Proses Lumpur Aktif
Pengolahan air limbah dengan proses lumpur aktif secara umum terdiri dari
bak pengendap awal, bak aerasi dan bak pengendap akhir, serta bak khlorinasi untuk
membunuh bakteri patogen. Secara umum proses pengolahannya adalah sebagai
berikut, Air limbah yang berasal dari rumah sakit ditampung ke dalam bak
penampung air limbah. Bak penampung ini berfungsi sebagai bak pengatur debit air
limbah serta dilengkapi dengan saringan kasar untuk memisahkan kotoran yang
besar. Kemudian air limbah dalam bak penampung di pompa ke bak pengendap
awal. Bak pengendap awal berfungsi untuk menurunkan padatan tersuspensi
(Suspended Solids) sekitar 30 - 40 %, serta BOD sekitar 25 %. Air limpasan dari
bak pengendap awal dialirkan ke bak aerasi secara gravitasi. Di dalam bak aerasi ini
air limbah dihembus dengan udara sehingga mikro organisme yang ada akan
menguraikan zat organik yang ada dalam air limbah. Energi yang didapatkan dari

49

hasil penguraian zat rganik tersebut digunakan oleh mikrorganisme untuk proses
pertumbuhannya (Khairul, 2012).
Dengan demikian didalam bak aerasi tersebut akan tumbuh dan berkembang
biomasa dalam jumlah yang besar. Biomasa atau mikroorganisme inilah yang akan
menguaraikan senyawa polutan yang ada di dalam air limbah. Dari bak aerasi, air
dialirkan ke bak pengendap akhir. Di dalam bak ini lumpur aktif yang mengandung
massa mikroorganisme diendapkan dan dipompa kembali ke bagian inlet bak aerasi
dengan pompa sirkulasi lumpur. Air limpasan (over flow) dari bak pengendap akhir
dialirkan ke bak khlorinasi. Di dalam bak kontaktor khlor ini air limbah dikontakkan
dengan senyawa khlor untuk membunuh microorganisme patogen. Air olahan, yakni
air yang keluar setelah proses khlorinasi dapat langsung dibuang ke sungai atau
saluran umum. Dengan proses ini air limbah rumah sakit dengan konsentrasi BOD
250 -300 mg/lt dapat di turunkan kadar BOD nya menjadi 20 -30 mg/lt. Skema
proses pengolahan air limbah rumah sakit dengan sistem aerasi kontak dapat dilihat
pada Gambar di bawah ini.

Gambar 2.1 proses pengolahan air limbah dengan proses lumpur aktif

50

(Khairul, 2012).
Surplus lumpur dari bak pengendap awal maupun akhir ditampung ke dalam
bak pengering lumpur, sedangkan air resapannya ditampung kembali di bak
penampung air limbah. Keunggulan proses lumpur aktif ini adalah dapat mengolah
air limbah dengan beban BOD yang besar, sehingga tidak memerlukan tempat yang
besar. Proses ini cocok digunakan untuk mengolah air limbah dalam jumlah yang
besar. Sedangkan beberapa kelemahannya antara lain yakni kemungkinan dapat
terjadi bulking pada lumpur aktifnya, terjadi buih, serta jumlah lumpur yang
dihasilkan cukup besar (Khairul, 2012).
2.2.21 Pengolahan Air Limbah Dengan Proses Reaktor Biologis Putar (Rotating
Biological Contactor, RBC)
Reaktor biologis putar (rotating biological contactor) disingkat RBC adalah
salah satu teknologi pengolahan air limbah yang mengandung polutan organik yang
tinggi secara biologis dengan sistem biakan melekat (attached culture). Prinsip kerja
pengolahan air limbah dengan RBC yakni air limbah yang mengandung polutan
organik dikontakkan dengan lapisan mikroorganisme (microbial film) yang melekat
pada permukaan media di dalam suatu reaktor. Media tempat melekatnya film
biologis ini berupa piringan (disk) dari bahan polimer atau plastik yang ringan dan
disusun dari berjajar-jajar pada suatu poros sehingga membentuk suatu modul atau
paket, selanjutnya modul tersebut diputar secara pelan dalam keadaan tercelup
sebagian ke dalam air limbah yang mengalir secara kontinyu ke dalam reaktor
tersebut. Dengan cara seperti ini mikroorganisme miaslanya bakteri, alga, protozoa,
fungi, dan lainnya tumbuh melekat pada permukaan media yang berputar tersebut
membentuk suatu lapisan yang terdiri dari mikroorganisme yang disebut biofilm
(lapisan biologis) (Said, 2000). Mikro-organisme akan menguraikan atau
mengambil senyawa organik yang ada dalam air serta mengambil oksigen yang larut
dalam air atau dari udara untuk proses metabolismenya, sehingga kandungan
senyawa organik dalam air limbah berkurang. Pada saat biofilm yang melekat pada
media yang berupa piringan tipis tersebut tercelup kedalam air limbah,
51

mikroorganisme menyerap senyawa organik yang ada dalam air limbah yang
mengalir pada permukaan biofilm, dan pada saat biofilm berada di atas permuaan
air, mikroorganisme menyerap okigen dari udara atau oksigen yang terlarutdalam
air untuk menguraikan senyawa organik. Enegi hasil penguraian senyawa organik
tersebut digunakan oleh mikroorganisme untuk proses perkembang-biakan atau
metabolisme.
Senyawa hasil proses metabolisme mikro-organisme tersebut akan keluar
dari biofilm dan terbawa oleh aliran air atau yang berupa gas akan tersebar ke udara
melalui rongga-rongga yang ada pada mediumnya, sedangkan untuk padatan
tersuspensi (SS) akan tertahan pada pada permukaan lapisan biologis (biofilm) dan
akan terurai menjadi bentuk yang larut dalam air. Pertumbuhan mikro-organisme
atau biofilm tersebut makin lama semakin tebal, sampai akhirnya karena gaya
beratnya sebagian akan mengelupas dari mediumnya dan terbawa aliran air keluar.
Selanjutnya, mikro-organisme pada permukaan medium akan tumbuh lagi dengan
sedirinya hingga terjadi kesetimbangan sesuai dengan kandungan senyawa organik
yang ada dalam air limbah. Secara sederhana proses penguraian senyawa organik
oleh mikroorganisme di dalam RBC dapat digambarkan seperti pada gambar 2.2

Gambar 2.2 Proses penguraian senyawa organik oleh miroorganisme di dalam RBC
(Said, 2000).

52

1. Proses Pengolahan
Secara garis besar proses pengolahan air limbah dengan sistem RBC terdiri dari bak
pemisah pasir, bak pengendap awal, bak kontrol aliran, reaktor/kontaktor biologis putar
(RBC), Bak pengendap akhir, bak khlorinasi, serta unit pengolahan lumpur. Diagram
proses pengolahan air limbah dengan sistem RBC.

Gambar 2.3 Diagram pengolahan limbah dengan sistem RBC


(Said, 2000)
2. Bak Pemisah Pasir
Air limbah dialirkan dengan tenang ke dalam bak pemisah pasir, sehingga kotoran
yang berupa pasir atau lumpur kasar dapat diendapkan. Sedangkan kotoran yang
mengambang misalnya sampah, plastik, sampah kain dan lainnya tertahan pada sarangan
(screen) yang dipasang pada inlet kolam pemisah pasir tersebut. Bak Pengendap Awal dari
bak pemisah/pengendap pasir, air limbah dialirkan ke bak pengedap awal. Di dalam bak
pengendap awal ini lumpur atau padatan tersuspensi sebagian besar mengendap. Waktu
tinggal di dalam bak pengedap awal adalah 2 - 4 jam, dan lumpur yang telah mengendap
dikumpulkan daan dipompa ke bak pengendapan lumpur (Said, 2000).

53

3. Bak Kontrol Aliran


Jika debit aliran air limbah melebihi kapasitas perencanaan, kelebihan debit air
limbah tersebut dialirkan ke bak kontrol aliran untuk disimpan sementara. Pada waktu debit
aliran turun / kecil, maka air limbah yang ada di dalam bak kontrol dipompa ke
bakpengendap awal bersama-sama air limbah yang baru sesuai dengan debit yang
diinginkan. Kontaktor (reaktor) Biologis Putar Di dalam bak kontaktor ini, media berupa
piringan (disk) tipis dari bahan polimer atau plastik dengan jumlah banyak, yang dilekatkan
atau dirakit pada suatu poros, diputar secara pelan dalam keadaan tercelup sebagian ke
dalam air limbah. Waktu tinggal di dalam bak kontaktor kira-kira 2,5 jam. Dalam kondisi
demikian, mikro-organisme akan tumbuh pada permukaan media yang berputar tersebut,
membentuk suatu lapisan (film) biologis. Film biologis tersebut terdiri dari berbagai
jenis/spicies

mikroorganisme

misalnya

bakteri,

protozoa,

fungi,

dan

lainnya.

Mikroorganisme yang tumbuh pada permukaan media inilah yang akan menguraikan
senaywa organik yang ada di dalam air limbah. Lapsian biologis tersebut makin lama
makin tebal dan kerena gaya beratnya akan mengelupas dengan sedirinya dan lumpur
orgnaik tersebut akan terbawa aliran air keluar. Selanjutnya laisan biologis akan tumbuh
dan berkembang lagi pada permukaan media dengan sendirinya.
Bak Pengendap Akhir Air limbah yang keluar dari bak kontaktor (reaktor)
selanjutnya dialirkan ke bak pengendap akhir, dengan waktu pengendapan sekitar 3 jam.
Dibandingkan dengan proses lumpur aktif, lumpur yang berasal dari RBC lebih mudah
mengendap, karena ukurannya lebih besar dan lebih berat. Air limpasan (over flow) dari
bak pengendap akhir relaitif sudah jernih, selanjutnya dialirkan ke bak khlorinasi.
Sedangkan lumpur yang mengendap di dasar bak di pompa ke bak pemekat lumpur
bersama-sama dengan lumpur yang berasal dari bak pengendap awal (Said, 2000).
4. Bak Khlorinasi
Air olahan atau air limpasan dari bak pengendap akhir masih mengandung bakteri
coli, bakteri patogen, atau virus yang sangat berpotensi menginfeksi ke masyarakat
sekitarnya. Untuk mengatasi hal tersebut, air limbah yang keluar dari bak pengendap akhir
dialirkan ke bak khlorinasi untuk membunuh mikroorganisme patogen yang ada dalam air.
54

Di dalam bak khlorinasi, air limbah dibubuhi dengan senyawa khlorine dengan dosis dan
waktu kontak tertentu sehingga seluruh mikroorgnisme patogennya dapat di matikan.
Selanjutnya dari bak khlorinasi air limbah sudah boleh dibuang ke badan air (Said, 2000).
5. Bak Pemekat Lumpur
Lumpur yang berasal dari bak pengendap awal maupun bak pengendap akhir
dikumpulkan di bak pemekat lumpur. Di dalam bak tersebut lumpur di aduk secara pelan
kemudian di pekatkan dengan cara didiamkan sekitar 25 jam sehingga lumpurnya
mengendap, selanjutnya air supernatant yang ada pada bagian atas dialirkan ke bak
pengendap awal, sedangkan lumpur yang telah pekat dipompa ke bak pengering lumpur
atau ditampung pada bak tersendiri dan secara periodik dikirim ke pusat pengolahan lumpur
di tempat lain (Said, 2000).
Beberapa keunggulan proses pengolahan air limbah dengan sistem RBC antara lain :
a. Pengoperasian alat serta perawatannya mudah.
b. Untuk kapasitas kecil / paket, dibandingkan dengan proses lumpur aktif konsumsi energi
lebih rendah.
c. Dapat dipasang beberapa tahap (multi stage), sehingga tahan terhadap fluktuasi beban
pengoalahan.
d. Reaksi nitrifikasi lebih mudah terjadi, sehingga efisiensi
e. penghilangan ammonium lebih besar.
f. Tidak terjadi bulking ataupun buih (foam) seperti pada proses lumpur aktif.
(Said, 2000).
Sedangkan beberapa kelemahan dari proses pengolahan air limbah dengan sistem
RBC antara lain :
a. Pengontrolan jumlah mikro-organisme sulit dilakukan.
b. Sensitif terhadap perubahan temperatur.
c. Kadang-kadang konsentrasi BOD air olahan masih tinggi.

55

d. Dapat menimbulkan pertumbuhan cacing rambut, serta kadang-kadang timbul


bau yang kurang busuk. (Said, 2000)

2.2.22 Pengolahan Air Limbah Dengan Proses Aerasi Kontak


Proses ini merupakan pengembangan dari proses lumpur aktif dan proses
biofilter. Pengolahan air limbah dengan proses aerasi kontak ini terdiri dari dua
bagian yakni pengolahan primer dan pengolahan sekunder
1. Pengolahan Primer
Pada pengolahan primer ini, air limbah dialirkan melalui saringan kasar (bar
screen) untuk menyaring sampah yang berukuran besar seperti sampah daun, kertas,
plastik dll. Setelah melalui screen air limbah dialirkan ke bak pengendap awal,
untuk mengendapkan partikel lumpur, pasir dan kotoran lainnya. Selain sebagai bak
pengendapan, juga berfungasi sebagai bak pengontrol aliran (Said, 2000).
2. Pengolahan Sekunder
Proses pengolahan sekunder ini terdiri dari bak kontaktor anaerob (anoxic)
dan bak kontaktor aerob. Air limpasan dari bak pengendap awal dipompa dan
dialirkan ke bak penenang, kemudian dari bak penenang air limbah mengalir ke bak
kontaktor anaerob dengan arah aliran dari bawah ke atas (Up Flow). Didalam bak
kontaktor anaerob tersebut diisi dengan media dari bahan plastik atau kerikil/batu
split. Jumlah bak kontaktor anaerob ini bisa dibuat lebih dari satu sesuai dengan
kualitas dan jumlah air baku yang akan diolah (Said, 2000).
Air limpasan dari bak pengendap awal dipompa dan dialirkan ke bak
penenang, kemudian dari bak penenang air limbah mengalir ke bak kontaktor
anaerob dengan arah aliran dari bawah ke atas (Up Flow). Di dalam bak kontaktor
anaerob tersebut diisi dengan media dari bahan plastik atau kerikil/batu split.
Jumlah bak kontaktor anaerob ini bisa dibuat lebih dari satu sesuai dengan kualitas
dan jumlah air baku yang akan diolah. Air limpasan dari bak kontaktor anaerob
dialirkan ke bak aerasi. Di dalam bak aerasi ini diisi dengan media dari bahan
pasltik (polyethylene), batu apung atau bahan serat, sambil diaerasi atau dihembus

56

dengan udara sehingga mikro organisme yang ada akan menguraikan zat organik
yang ada dalam air limbah serta tumbuh dan menempel pada permukaan media.
Dengan demikian air limbah akan kontak dengan mikroorgainisme yang tersuspensi
dalam air maupun yang menempel pada permukaan media yang mana hal tersebut
dapat meningkatkan efisiensi penguraian zat organik.
Proses ini sering di namakan Aerasi Kontak (Contact Aeration). Dari bak
aerasi, air dialirkan ke bak pengendap akhir. Di dalam bak ini lumpur aktif yang
mengandung massa mikro-organisme diendapkan dan dipompa kembali ke bagian
inlet bak aerasi dengan pompa sirkulasi lumpur. Sedangkan air limpasan (over flow)
dialirkan ke bak khlorinasi. Di dalam bak kontaktor khlor ini air limbah dikontakkan
dengan senyawa khlor untuk membunuh mikroorganisme patogen. Air olahan,
yakni air yang keluar setelah proses khlorinasi dapat langsung dibuang ke sungai
atau saluran umum. Dengan kombinasi proses anaerob dan aerob tersebut selain
dapat menurunkan zat organik (BOD, COD), cara ini dapat menurunkan konsentrasi
nutrient (nitrogen) yang ada dalam air limbah.Dengan proses ini air limbah rumah
sakit dengan konsentrasi BOD 250 -300 mg/lt dapat di turunkan kadar BOD nya
menjadi 20 -30 mg/lt. Skema proses pengolahan air limbah rumah sakit dengan
sistem aerasi RTF4kontak dapat dilihat pada Gambar 2.4

Gambar 2.4 Diagram Pengolahan Air Limbah Dengan Aerasi Kontak


(Said, 2000).

57

Surplus lumpur dari pengendap awal maupun akhir ditampung ke dalam bak
pengering lumpur, sedangkan air resapannya ditampung kembali di bak penampung
air limbah (Said, 2000).
Keunggulan Proses Aerasi Kontak :
1. Pengelolaannya sangat mudah.
2. Biaya operasinya rendah.
3. Dibandingkan dengan proses lumpur aktif, lumpur yang dihasilkan relatif
sedikit.
4. Dapat menghilangkan nitrogen dan phospor yang dapat menyebabkan
euthropikasi.
5. Suplai udara untuk aerasi relatif kecil.
6. Dapat digunakan untuk air limbah dengan beban BOD yang cukup besar.
(Said, 2000)
2.2.23 Pengolahan Air Limbah Dengan Proses Biofilter Up Flow
Proses pengolahan air limbah dengan biofilter up flow ini terdiri dari bak
pengendap, ditambah dengan beberapa bak biofilter yang diisi dengan media kerikil
atau batu pecah, plastik atau media lain. Penguraian zat-zat organik yang ada dalam
air limbah dilakukan oleh bakteri anaerobik atau facultatif aerobik Bak pengendap
terdiri atas 2 ruangan, yang pertama berfungsi sebagai bak pengendap pertama,
sludge digestion (pengurai lumpur) dan penampung lumpur sedangkan ruang kedua
berfungsi sebagai pengendap kedua dan penampung lumpur yang tidak terendapkan
di bak pertama, dan air luapan dari bak pengendap dialirkan ke media filter dengan
arah aliran dari bawah ke atas (Ningsih, 2009).
Setelah beberapa hari operasi, pada permukaan media filter akan tumbuh
lapisan film mikroorganisme. Mikroorganisme inilah yang akan menguraikan zat
organik yang belum sempat terurai pada bak pengendap. Air luapan dari biofilter
kemudian dibubuhi dengan khlorine atau kaporit untuk membunuh mikroorganisme

58

patogen, kemudian dibuang langsung ke sungai atau saluran umum. Skema proses
pengolahan air limbah dengan biofilter Up Flow dapat dilihat seperti terlihat
dalam Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Diagram Pengolahan Air Limbah dengan Sistem Biofilter Up Flow
(Ningsih, 2009).
Biofilter Up Flow ini mempunyai 2 fungsi yang menguntungkan dalam
proses pengolahan air buangan yakni antara lain :
a. Adanya air buangan yang melalui media kerikil yang terdapat pada biofilter lama
kelamaan mengakibatkan timbulnya lapisan lendir yang menyelimuti kerikil atau
yang disebut juga biological filmAir limbah yang masih mengandung zat organik
yang belum teruraikan pada bak pengendap bila melalui lapisan lendir ini akan
mengalami proses penguraian secara biologis. Efisiensi biofilter tergantung dari luas
kontak antara air limbah dengan mikro-organisme yang menempel pada permukaan
media filter tersebut. Makin luas bidang kontaknya maka efisiensi penurunan
konsentrasi zat organiknya (BOD) makin besar. Selain menghilangkan atau
mengurangi konsentrasi BOD cara ini dapat juga mengurangi konsentrasi padatan
tersuspensi atau suspended solids (SS) dan konsentrasi total nitrogen dan posphor.

59

b. Biofilter juga berfungsi sebagai media penyaring air limbah yang melalui media
ini. Sebagai akibatnya, air limbah yang mengandung suspended solids dan bakteri
E.Coli setelah melalui
filter ini akan berkurang konsentrasinya. Efesiensi penyaringan akan sangat
besar karena dengan adanya biofilter up flow yakni penyaringan dengan sistem
aliran dari bawah ke atas akan mengurangi kecepatan partikel yang terdapat pada air
buangan dan partikel yang tidak terbawa aliran ke atas akan mengendapkan di dasar
bak filter. Sistem biofilter Up Flow ini sangat sederhana, operasinya mudah dan
tanpa memakai bahan kimia serta tanpa membutuhkan energi. Proses ini cocok
digunakan untuk mengolah air limbah dengan kapasitas yang tidak terlalu besar.
(Ningsih, 2009).
Kriteria perencanaan bak pengendap harus memenuhi persyaratan tertentu
antara lain:
1. Bahan bangunan harus kuat terhadap tekanan atau gaya berat yang mungkin
timbul dan harus tahan terhadap asam serta harus kedap air.
2. Jumlah ruangan disarankan minimal 2 (dua) buah.
3. Waktu tinggal (residence time) 1s/d 3 hari.
4. Bentuk Tangki empat persegi panjang dengan perbandingan panjang dan lebar 2
s/d 3 : 1.
5. Lebar Bak minimal 0,75 meter dan panjang bak minimal 1,5 meter.
6. Kedalaman air efektif antara 1-2 meter, tinggi ruang bebas air 0,2 - 0,4 meter dan
tinggi ruang .
7. Untuk penyimpanan lumpur 1/3 dari kedalaman air efektif (laju produksi lumpur
sekitar 0,03 - 0,04 M3/orang /tahun ).
8. Dasar bak dapat dibuat horizontal atau dengan kemiringan tertentu untuk
memudahkan pengurasan lumpur.
9. Pengurasan lumpur minimal dilakukan setiap 2 - 3 tahun. (Ningsih, 2009).

60

Kriteria perencanaan biofilter Up Flow harus memenuhi beberapa


persyaratan atara lain yakni :
a. Bak biofilter terdiri dari 1 (satu) ruangan atau lebih.
b. Media filter terdiri dari kerikil atau batu pecah atau bahan plastik dengan ukuran
diameter rata-rata 20 -25 mm , dan ratio volume rongga 0,45.
c. Tinggi filter (lapisan kerikil) 0,9 -1,2 meter.
d. Beban hidrolik filter maksimum 3,4 M3/m2/hari.
e. Waktu tinggal dalam filter 6 -9 jam (didasarkan pada volume rongga filter).
(Ningsih, 2009).

2.2.24 Pengolahan Air Limbah Rumah Sakit Dengan Proses Biofilter AnaerobAerob
Proses ini pengolahan dengan biofilter anaerob-aerob ini merupakan
pengembangan dari proses proses biofilter anaerob dengan proses aerasi kontak
Pengolahan air limbah dengan proses biofilter anaerob-aerob terdiri dari beberapa
bagian yakni bak pengendap awal, biofilter anaerob (anoxic), biofilter aerob, bak
pengendap akhir, dan jika perlu dilengkapi dengan bak kontaktor khlor. Air limbah
dialirkan melalui saringan kasar (bar screen) untuk menyaring sampah yang
berukuran besar seperti sampah daun, kertas, plastik dll. Setelah melalui screen air
limbah dialirkan ke bak pengendap awal, untuk mengendapkan partikel lumpur,
pasir dan kotoran lainnya. Selain sebagai bak pengendapan, juga berfungasi sebagai
bak pengontrol aliran, serta bak pengurai senyawa organik yang berbentuk padatan,
sludge digestion (pengurai lumpur) dan penampung lumpur.
Air limpasan dari bak pengendap awal selanjutnya dialirkan ke bak
kontaktor anaerob dengan arah aliran dari atas ke bawah dan bawah ke atas. Di
dalam bak kontaktor anaerob tersebut diisi dengan media dari bahan plastik atau
kerikil/batu split. Jumlah bak kontaktor anaerob ini bisa dibuat lebih dari satu sesuai
dengan kualitas dan jumlah air baku yang akan diolah. Penguraian zat-zat organik

61

yang ada dalam air limbah dilakukan oleh bakteri anaerobik atau facultatif aerobic
(Said, 2000).
Setelah beberapa hari operasi, pada permukaan media filter akan tumbuh
lapisan film mikroorganisme. Mikroorganisme inilah yang akan menguraikan zat
organik yang belum sempat terurai pada bak pengendap Air limpasan dari bak
kontaktor anaerob dialirkan ke bak kontaktor aerob. Di dalam bak kontaktor aerob
ini diisi dengan media dari bahan kerikil, pasltik (polyethylene), batu apung atau
bahan serat, sambil diaerasi atau dihembus dengan udara sehingga mikroorganisme
yang ada akan menguraikan zat organik yang ada dalam air limbah serta tumbuh
dan menempel pada permukaan media. Dengan demikian air limbah akan kontak
dengan mikroorganisme yang tersuspensi dalam air maupun yang menempel pada
permukaan media yang mana hal tersebut dapat meningkatkan efisiensi penguraian
zat organik, deterjen serta mempercepat proses nitrifikasi, sehingga efisiensi
penghilangan ammonia menjadi lebih besar.
Proses ini sering di namakan Aerasi Kontak (Contact Aeration). Dari bak
aerasi, air dialirkan ke bak pengendap akhir. Di dalam bak ini lumpur aktif yang
mengandung massa mikroorganisme diendapkan dan dipompa kembali ke bagian
inlet bak aerasi dengan pompa sirkulasi lumpur. Sedangkan air limpasan (over flow)
dialirkan ke bak khlorinasi. Di dalam bak kontaktor khlor ini air limbah dikontakkan
dengan senyawa khlor untuk membunuh microorganisme patogen. Air olahan, yakni
air yang keluar setelah proses khlorinasi dapat langsung dibuang ke sungai atau
saluran umum. Dengan kombinasi proses anaerob dan aerob tersebut selain dapat
menurunkan zat organik (BOD, COD), ammonia, deterjen, padatan tersuspensi
(SS), phospat dan lainnya. Skema proses pengolahan air limbah rumah sakit dengan
sistem biofilter anaerob-aerob dapat dilihat pada Gambar 2.6

62

Gambar 2.6 Proses dengan Biofilter Anaerob-Aerob


(Said, 2000).
2.2.25 Keuntungan Proses dengan Biofilter Anaerob-Aerob
Adanya air buangan yang melalui media kerikil yang terdapat pada biofilter
mengakibatkan timbulnya lapisan lendir yang menyelimuti kerikil atau yang disebut
juga biological film. Air limbah yang masih mengandung zat organik yang belum
teruraikan pada bak pengendap bila melalui lapisan lendir ini akan mengalami
proses penguraian secara biologis. Efisiensi biofilter tergantung dari luas kontak
antara air limbah denganmikroorganisme yang menempel pada permukaan media
filter tersebut. Makin luas bidang kontaknya maka efisiensi penurunan konsentrasi
zat organiknya (BOD) makin besar. Selain menghilangkan atau mengurangi
konsentrasi BOD dan COD, cara ini dapat juga mengurangi konsentrasi padatan
tersuspensi atau suspended solids (SS) , deterjen (MBAS), ammonium dan posphor.
Biofilter juga berfungsi sebagai media penyaring air limbah yang melalui
media ini. Sebagai akibatnya, air limbah yang mengandung suspended solids dan
bakteri E.coli setelah melalui filter ini akan berkurang konsentrasinya. Efesiensi
penyaringan akan sangat besar karena dengan adanya biofilter up flowyakni
penyaringan dengan sistem aliran dari bawah ke atas akan mengurangi kecepatan
partikel yang terdapat pada air buangan dan partikel yang tidak terbawa aliran ke
atas akan mengendapkan di dasar bak filter. Sistem biofilter anaerob-aerob ini
sangat sederhana, operasinya mudah dan tanpa memakai bahan kimia serta tanpa

63

membutuhkan energi. Poses ini cocok digunakan untuk mengolah air limbah dengan
kapasitas yang tidak terlalu besar
Dengan kombinasi proses Anaerob-Aerob, efisiensi penghilangan senyawa
phospor menjadi lebih besar bila dibandingankan dengan proses anaerob atau proses
aerob saja. Selama berada pada kondisi anaerob, senyawa phospor anorganik yang
ada dalam sel-sel mikrooragnisme akan keluar sebagi akibat hidrolosa senyawa
phospor. Sedangkan energi yang dihasilkan digunakan untuk menyerap BOD
(senyawa organik) yang ada di dalam air limbah. Efisiensi penghilangan BOD akan
berjalan baik apabila perbandingan antara BOD dan phospor (P) lebih besar 10.
Selama berada pada kondisi aerob, senyawa phospor terlarut akan diserap oleh
bakteria/mikroorganisme

dan

akan

sintesa

menjadi

polyphospat

dengan

menggunakan energi yang dihasikan proses oksidasi senywa organik (BOD).


Dengan demikian dengan kombinasi proses anaerob-aerob dapat menghilangkan
BOD maupun phospor dengan baik. Proses ini dapat digunakan untuk pengolahan
air limbah dengan beban organik yang cukup besar. (Said, 2000)
Keunggulan Proses Biofilter Anaerob-Aerob Beberapa keunggulan proses
pengolahan air limbah dengan biofilter anaerob-aerob antara lain yakni:
1. Pengelolaannya sangat mudah.
2. Biaya operasinya rendah.
3. Dibandingkan dengan proses lumpur aktif, Lumpur yang dihasilkan relatif
sedikit.
4. Dapat menghilangkan nitrogen dan phospor yang dapat menyebabkan
euthropikasi.
5. Suplai udara untuk aerasi relatif kecil.
6. Dapat digunakan untuk air limbah dengan beban BOD yang cukup besar.
7. Dapat menghilangan padatan tersuspensi (SS) dengan baik.
( Said, 2000)

64

2.2.26 Pengaruh Pengelolaan Limbah Rumah Sakit Terhadap Masyarakat dan


Lingkungan Sekitar
Ada beberapa kelompok masyarakat yang mempunyai resiko untuk
mendapat gangguan karena buangan rumah sakit: 1) pasien yang datang ke Rumah
Sakit untuk memperoleh pertolongan pengobatan dan perawatan Rumah Sakit.
Kelompok ini merupakan kelompok yang paling rentan. 2) karyawan rumah sakit
dalam melaksanakan tugas sehari-harinya selalu kontak dengan orang sakit yang
merupakan sumber agen penyakit, 3) pengunjung/pengantar orang sakit yang
berkunjung ke rumah sakit, resiko terkena gangguan kesehatan akan semakin besar,
4) masyarakat yang bermukim di sekitar Rumah Sakit, lebih-lebih lagi bila Rumah
sakit membuang hasil buangan Rumah Sakit tidak sebagaimana mestinya ke
lingkungan sekitarnya. Dampak buangan air limbah rumah sakit yang tidak
memenuhi aturan mengakibatkan mutu lingkungan menjadi turun kualitasnya,
dengan akibat lanjutannya adalah menurunnya derajat kesehatan masyarakat di
lingkungan tersebut (Kusnoputranto, 1986)
2.2.27 Dampak Negatif Pengelolaan Limbah Rumah Sakit
Berikut ini adalah dampak negatif yang dapat timbul akibat pengelolaan
limbah rumah sakit:
a. Merosotnya mutu lingkungan rumah sakit yang dapat mengganggu dan
menimbulkan masalah kesehatan bagi masyarakat yang tinggal dilingkungan rumah
sakit maupun masyarakat luar.
b. Limbah medis yang mengandung berbagai macam bahan kimia beracun,
buangan yang terkena kontaminasi serta benda-benda tajam dapat menimbulkan
gangguan kesehatan berupa kecelakaan akibat kerja atau penyakit akibat kerja.
c. Limbah medis yang berupa partikel debu dapat menimbulkan pencemaran
udara yang akan menyebabkan kuman penyakit menyebar dan mengkontaminasi
peralatan medis ataupun peralatan yang ada.

65

d. Pengelolaan limbah medis yang kurang baik akan menyebabkan estetika


lingkungan yang kurang sedap dipandang sehingga mengganggu kenyamanan
pasien, petugas, pengunjung serta masyarakat sekitar.
e. Limbah cair yang tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan
pencemaran terhadap sumber air (permukaan tanah) atau lingkungan dan menjadi
media tempat berkembangbiaknya mikroorganisme pathogen, serangga yang dapat
menjadi transmisi pernyakit terutama cholera, disentri, dan thypus abdominalis.
f. Air limbah yang mempunyai sifat fisik, kimiawi, dan bakteriologi yang
dapat menjadi sumber pengotoran dan menimbulkan bau yang tidak enak serta
pemandangan yang tidak menyenangkan, bila tidak dikelola dengan baik
(Kusnoputranto, 1986).
2.3 Kesehatan dan Keselamatn Kerja (K3)
2.3.1 Pengertian Kesehatan Dan Keselamatan Kerja (K3)
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) menurut WHO/ILO Joint Safety and Health
Committee adalah promosi dan pemeliharaan tingkat tertinggi fisik, mental dan
kesejahteraan sosial semua pendudukan; pencegahan pekerja dari kesehatan yang
disebabkan oleh kondisi kerja mereka; perlindungan pekerja dalam pekerjaan dari resiko
akibat faktor yang merugikan pekerja; menempatkan dan pemeliharaan pekerja dalam
lingkungan kerja yang disesuaikan untuk peralatan fisiologis dan psikologis dan meringkas
adaptasi dari bekerja untuk manusia dan setiap orang dalam pekerjaan.Kemudian, K3
adalah suatu bentuk usaha atau upaya bagi para pekerja untuk memperoleh jaminan atas
keselamatan dan kesehatan kerja dalam melakukan pekerjaan yang dapat mengancam
dirinya baik berasal dari individu maupun lingkungan kerjanya. Ditarik kesimpulan
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah upaya pemeliharaan fisik, mental dan
kesejahteraan social untuk mrmperoleh jaminan keselamatan dan kesehatan kerja dari
factor yang merugikan pekerja dari lingkungannya kerjanya.
2.3.2 Pengertian Penyelenggara Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
Penyelenggaraan program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah
merupakan salah satu bentuk perlindungan kepada tenaga kerja yang bertujuan untuk
66

mewujudkan produktivitas kerja yang optimal serta melindungi tenaga kerja dari risiko
yang membahayakan kesehatan dan keselamatannya, atau salah satu bentuk upaya untuk
menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga
dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada
akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja. Sebagaimana UndangUndang No.23/1992 tentang Kesehatan, bahwa tempat kerja wajib menyelenggarakan
upaya kesehatan kerja apabila tempat kerja tersebut memiliki risiko bahaya kesehatan dan
atau mempunyai pekerja paling sedikit 10 orang. Dalam penyelenggaraan program K3 di
industri atau jasa tidak terlepas dari peranan manajemen melalui pendekatan yang
berbentuk kebijakan pihak pengelola dalam penerapan K3 (Metrison,2000).
2.3.3 Peraturan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah sakit (K3RS)
2.3.3.1 Peraturan Kesehatan Kerja
UU Kesehatan Nomor 23 tahun 2002 pasal 23 tentang kesehatan kerja
menyatakan bahwa setiap tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan atas
keselamatan dan kesehatan. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.05/Men. 2006 juga
mengatur bahwa setiap perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 100 orang atau
lebih dan atau yang mengandung potensi bahaya wajib menerapkan sistem
manajemen K3 (Bab III Pasal 3). Rumahsakit tidak terlepas dari peraturan-peraturan
ini karena teknologi dan sarana kesehatan, kondisi fisik rumah sakit dapat
membahayakan pasien, keluarga, serta pekerja. Jika tidak dikelola, rumahsakit tidak
terhindar dari kebakaran, bencana, atau dampak buruk pada kesehatan.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesahatan, pasal 23
menyatakan bahwa upaya K3 harus diselengarakan disemua tempat kerja,
khususnya tempat kerja yang mempunyairesiko bahaya kesehatan. Fasilitas
kesehatan,

termasuk

di

dalamnya

rumah

sakit,

puskesmas,

balai

kesehatanmasyarakat, klinik, laboratorium klinik, dan laboratorium kesehatan,


merupakan tempat kerja yang sangat sarat dengan potensi bahaya kesehatan dan
keselamatan pekerjanya. Risiko terjadinya gangguan kesehatan dan kecelakaan
menjadi semakin besar mengingat fasilitas kesehatan merupakan tempat kerja yang

67

padat tenaga kerja. Dan dari berbagai penelitian menunjukan bahwa prevalensi
gangguan kesehatan yang terjadi di fasilitas kesehatan lebih tinggi dibandingkan
tempatkerja lainnya (Mansyur, 2007).

2.3.4 Regulasi Undang Undang K3RS


Tabel 2.5 Tahun Penerbitan, Isi Regulasi dan Bentuk Regulasi K3RS
TAHUN

REGULASI

Jenis

1970

Keselamatan Kerja

Undang-undang

1975

Keselamatan kerja terhadap radiasi

Peraturan Pemerintah

1975

Izin pemakaian zat radioaktif

Peraturan Pemerintah

1980

Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja dalam

Peraturan Menteri

penyelenggaraan K3
1980

Syarat-syarat pemasangan dan pemeliharaan alat Peraturan Menteri


pemadam api ringan

1981

Kewajiban melapor penyakit akibat kerja

Peraturan Menteri

1983

Pelayanan kesehatan tenaga kerja

Peraturan Menteri

1989

Ketentuan KK terhadap radiasi

Keputusan Dirjen

1992

Kesehatan

Undang-undang

1992

Persyaratan Kesling RS

Peraturan Menteri

1993

Penyakit yang timbul karena hubungan kerja

Keputusan Presiden

1993

Komite K3

Keputusan Menteri

1993

Persyaratan kesehatan lingkungan ruang Keputusan Dirjen


& Bangunan serta fasilitas sanitasi rumah
sakit

Persyaratan kesehatan konstruksi ruang di


rumah sakit.

Persyaratan & petunjuk teknis tata cara


penye hatan lingkungan RS

68

1996

Sistem Manajemen K3 (SMK3)

Peraturan Menteri

1996

Pengamanan bahan berbahaya bagi Kesehatan

Peraturan Menteri

1997

Pelaksanaan Audit system manajemen K3

Peraturan Menteri

1997

Penyelenggaraan pelayanan radiology

Peraturan Menteri

1997

Pembentukan Panitia K3 Rumah Sakit

Surat Edaran

1997

Inspeksi K3

Keputusan Menteri

1998

Persyaratan kesling kerja

Keputusan Menteri

1999

Perubahan PP18 /1999 terhadap pemgelolaan

PP

limbah B3
2003

Komite Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Keputusan Menteri

(Sumber Depkes RI, 1991)


2.3.5 Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan
Manajemen adalah pencapaian tujuan yang sudah ditentukan sebelumnya, dengan
mempergunakan bantuan orang lain. Hal tersebut diharapkan dapat mengurangi dampak
kelalaian atau kesalahan ( malprektek) serta mengurangi penyebaran langsung dampak dari
kesalahan kerja.
Untuk mencapai tujuan tersebut, dimembagi kegiatan atau fungsi manajemen
tesebut menjadi :
A. /Planning /(perencanaan)
B. /Organizing/ (organisasi)
C. /Actuating /(pelaksanaan)
D. /Controlling /(pengawasan)
2.3.5.1 Planning/ (Perencanaan)
Fungsi perencanaan adalah suatu usaha menentukan kegiatan yang akan
dilakukan di masa mendatang guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam
hal ini adalah keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit dan instansi
kesehatan.perencanaan ini dilakukan untuk memenuhi standarisasi kesehatan pacsa

69

perawatan dan merawat ( hubungan timbal balik pasien perawat / dokter, serta
masyarakat umum lainnya ). Dalam perencanaan tersebut, kegiatan yang ditentukan
meliputi:
a. Hal apa yang dikerjakan
b. Bagaiman cara mengerjakannya
c. Mengapa mengerjakan
d. Siapa yang mengerjakan
e. Kapan harus dikerjakan
f. Dimana kegiatan itu harus dikerjakan
g. hubungan timbal balik ( sebab akibat)
Kegiatan kesehatan ( rumah sakit / instansi kesehatan ) sekarang tidak lagi
hanya di bidang pelayanan, tetapi sudah mencakup kegiatan-kegiatan di bidang
pendidikan dan penelitian, juga metode-metode yang dipakai makin banyak
ragamnya. Semuanya menyebabkan risiko bahaya yang dapat terjadi dalam ( rumah
sakit / instansi kesehatan ) makin besar. Oleh karena itu usaha-usaha pengamanan
kerja di rumah sakit / instansi kesehatan harus ditangani secara serius oleh
organisasi keselamatan kerja rumah sakit / instansi kesehatan.
2.3.5.2 Organizing/ (Organisasi)
Organisasi keselamatan dan kesehatan kerja rumah sakit / instansi kesehatan
dapat dibentuk dalam beberapa jenjang, mulai dari tingkat rumah sakit / instansi
kesehatan daerah (wilayah) sampai ke tingkat pusat atau nasional. Keterlibatan
pemerintah dalam organisasi ini baik secara langsung atau tidak langsung sangat
diperlukan. Pemerintah dapat menempatkan pejabat yang terkait dalam organisasi
ini di tingkat pusat (nasional) dan tingkat daerah (wilayah), di samping
memberlakukan Undang-Undang Keselamatan Kerja. Di tingkat daerah (wilayah)
dan tingkat pusat (nasional) perlu dibentuk Komisi Keamanan Kerja rumah sakit /
instansi yang tugas dan wewenangnya dapat berupa :

70

1. Menyusun garis besar pedoman keamanan kerja rumah sakit / instansi kesehatan .
2. Memberikan bimbingan, penyuluhan, pelatihan pelaksana- an keamanan kerja
rumah sakit / instansi kesehatan .
3. Memantau pelaksanaan pedoman keamanan kerja rumah sakit / instansi kesehatan
.
4. Memberikan rekomendasi untuk bahan pertimbangan penerbitan izin rumah sakit
/ instansi kesehatan.
5. mengatasi dan mencegah meluasnya bahaya yang timbul dari suatu rumah sakit /
instansi kesehatan.
6. Dan lain-lain.
Perlu juga dipikirkan kedudukan dan peran organisasi /Cermin Dunia
Kedokteran No. 154, 2007 5/ Manajemen keselamatan kerja profesi (PDS-Patklin)
ataupun organisasi seminat (Patelki, HKKI) dalam kiprah organisasi keselamatan
dan kesehatan kerja rumah sakit / instansi kesehatan ini. Anggota organisasi profesi
atau seminat yang terkait dengan kegiatan rumah sakit / instansi kesehatan dapat
diangkat menjadi anggota komisi di tingkat daerah (wilayah) maupun tingkat pusat
(nasional). Selain itu organisasi-organisasi profesi atau seminar tersebut dapat juga
membentuk badan independen yang berfungsi sebagai lembaga penasehat atau
Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit / Instansi
Kesehatan.
2.3.5.3 Actuating/ (Pelaksanaan)
Fungsi pelaksanaan atau penggerakan adalah kegiatan mendorong semangat
kerja, mengerahkan aktivitas, mengkoordinasikan berbagai aktivitas yang akan
menjadi aktivitas yang kompak (sinkron), sehingga semua aktivitas sesuai dengan
rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Pelaksanaan program kesehatan dan
keselamatan kerja rumah sakit / instansi kesehatan sasarannya ialah tempat kerja
yang aman dan sehat. Untuk itu setiap individu yang bekerja maupun masyarakat
dalam rumah sakit / instansi kesehatan wajib mengetahui dan memahami semua hal

71

yang diperkirakan akan dapat menjadi sumber kecelakaan kerja dalam rumah sakit /
instansi kesehatan, serta memiliki kemampuan dan pengetahuan yang cukup untuk
melaksanakan pencegahan dan penanggulangan kecelakaan kerja tersebut.
Kemudian mematuhi berbagai peraturan atau ketentuan dalam menangani berbagai
spesimen reagensia dan alat-alat. Jika dalam pelaksanaan fungsi penggerakan ini
timbul permasalahan, keragu-raguan atau pertentangan, maka menjadi tugas semua
untuk mengambil keputusan penyelesaiannya.
2.3.5.4 Controlling/ (Pengawasan)
Fungsi pengawasan adalah aktivitas yang mengusahakan agar pekerjaanpekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan atau hasil yang
dikehendaki. Untuk dapat menjalankan pengawasan, perlu diperhatikan 2 prinsip
pokok, yaitu :
a. Adanya rencana
b. Adanya instruksi-instruksi dan pemberian wewenang kepada bawahan.
Dalam fungsi pengawasan tidak kalah pentingnya adalah sosialisasi tentang
perlunya disiplin, mematuhi segala peraturan demi keselamatan kerja bersama di
rumah sakit / instansi kesehatan. Sosialisasi perlu dilakukan terus menerus, karena
usaha pencegahan bahaya yang bagaimanapun baiknya akan sia-sia bila peraturan
diabaikan. Dalam rumah sakit / instansi kesehatan perlu dibentuk pengawasan
rumah sakit / instansi kesehatan yang tugasnya antara lain:
1. Memantau dan mengarahkan secara berkala praktek- praktek rumah sakit / instansi
kesehatan yang baik, benar dan aman.
2. Memastikan semua petugas rumah sakit / instansi kesehatan memahami cara- cara
menghindari risiko bahaya dalam rumah sakit / instansi kesehatan.
3. Melakukan penyelidikan / pengusutan segala peristiwa berbahaya atau kecelakaan.
4. mengembangkan sistem pencatatan dan pelaporan tentang keamanan kerja rumah
sakit / instansi kesehatan .

72

5. Melakukan tindakan darurat untuk mengatasi peristiwa berbahaya dan mencegah


meluasnya bahaya tersebut.
6. Dan lain-lain.( Allen, carol Vestal, 1998)
2.3.6 Peningkatan pengetahuan tenaga kerja terhadap keselamatan kerja
Tenaga kerja adalah sumber daya utama dalam proses produksi yang harus dilindungi,
untuk memperkecil kemungkinan terjadinya kecelakaan perlu memberikan pengetahuan
kepada tenaga kerja tentang pentingnya pelaksanaan keselamatan kerja saat melakukan
aktivitas kerja agar mereka dapat melaksanakan budaya keselamatan kerja di tempat kerja.
Peningkatan pengetahuan tenaga kerja dapat dilakukan dengan memberi pelatihan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada awal bekerja dan secara berkala untuk penyegaran
dan peningkatan wawasan. Pelatihan ini dapat membantu tenaga kerja untuk melindungi
dirinya sendiri dari faktor bahaya yang ada ditempat kerjanya.( Allen, carol Vestal, 1998)

2.3.7 Potensi Bahaya di Rumah Sakit


Rumah sakit adalah salah satu sektor kesehatan. Rumah sakit adalah tempat yang sangat
kompleks, mengingat banyaknya peralatan-peralatan medis yang mempunyai potensi
bahaya besar tidak hanya untuk pasien saja, melainkan juga untuk para pekerja (tenag
medis). Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Bina
Kesehatan Masyarakat, jenis-jenis bahaya tersebut adalah sebagai berikut.
2.6 Tabel Bahaya Potensial Di Rumah Sakit
Faktor Bahaya Penyebab Bahaya yang

Penyebab Bahaya yang Potensial

Potensial
Bahaya Fisik

Radiasi pengion, radiasi non-pengion,suhu


panas, suhu dingin, getaran,pencahayaan dll

Bahaya Kimia

Ethylene Oxide,
formaldehyde,glutaraldehye, obat Ca, gas
Anesetesi,mercury, chlorine dll

Bahaya Biologi

Virus, hepatitis B, hepatitis C, HIV, SARS,


jamur dan parasit

73

Bahaya Ergonomi

Posisi statis, mengangkat,


membungkuk, mendorong dll

Bahaya Psikososial

Kerja shift, stress dll

Bahaya Mekanik

Berasal dari mesin, terjepit, terpotong,


terpukul, tergulung, tersayat, tertusuk
benda tajam dll

Bahaya Listrik

Sengatan listrik, hubungan arus


pendek, kebakaran, petir, listrik statis
dll

Sumber : Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009


Menurut KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 1087/MENKES/SK/VIII/2010, bahwa bahaya potensial di Rumah Sakit yang
disebabkan oleh faktor biologi, faktor kimia, faktor ergonomi, faktor fisik, faktor
psikososial dapat mengakibatkan penyakit dan kecelakaan akibat kerja bagi pekerja,
pengunjung, pasien dan masyarakat di lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, pekerja
Rumah Sakit mempunyai risiko lebih tinggi dibanding pekerja indutri lain untuk terjadinya
Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Akibat Kerja (KAK), sehingga perlu dibuat
standar perlindungan bagi pekerja yang ada di Rumah Sakit.
2.3.8 Analisa Sebab dan akibat kecelakaan
Ada tiga penyebab utama kecelakaan kerja yaitu :
1.

Peralatan kerja dan perlengkapannya

2.

Tidak tersedianya alat pengaman dan pelindung bagi tenaga kerja.

3.

Tempat kerja

Keadaan tempat yang tidak memenuhi syarat, seperti faktor fisik dan faktor kimia yang
tidak sesuai dengan persyaratan yang tidak diperkenankan.
3.

Pekerja

Kurangnya pengetahuan dan pengalaman tentang cara kerja dan keselamatan kerja serta
kondisi fisik dan mental pekerja yang kurang baik.

74

Kecelakaan ada penyebabnya dan dapat dicegah dengan mengurangi faktor bahaya
yang bisa mengakibatkan terjadinya kecelakaan, dengan demikian akar penyebabnya dapat
diisolasi dan dapat menentukan langkah untuk mencegah terjadinya kecelakaan kembali.
Akar penyebab kecelakaan dapat dibagi menjadi 2 kelompok :
1. Immediate causes
Kelompok ini terdiri dari 2 faktor yaitu :
a. Unsafe Acts ( pekerjaan yang tidak aman ) misalnya penggunaan alat pengaman
yang tidak sesuai atau tidak berfungsi, sikap dan cara kerja yang kurang baik,
penggunaan peralatan yang tidak aman, melakukan gerakan berbahaya.
b. Unsafe Condition ( lingkungan yang tidak aman ) misalnya tidak tersedianya
perlengkapan safety atau perlengkapan safety yang tidak efektif, keadaan tempat
kerja yang kotor dan berantakan, pakaian yang tidak sesuai untuk kerja, faktor fisik
dan kimia dilingkungan kerja tidak memenuhi syarat.
2. Contributing causes
a. Safety manajemen system, misalnya instruksi yang kurang jelas, tidak taat pada
peraturan, tidak ada perencanaan keselamatan, tidak ada sosialisasi tentang
keselamatan kerja, faktor bahaya tidak terpantau, tidak tersedianya alat pengaman dan
lain-lain.
b. Kondisi mental pekerja, misalnya kesadaran tentang keselamatan kerja kurang,
tidak ada koordinasi, sikap yang buruk, bekerja lamban, perhatian terhadap
keselamatan kurang, emosi tidak stabil, pemarah dan lain-lain.
c. Kondisi fisik pekerja, misalnya sering kejang, kesehatan tidak memenuhi syarat,
tuli, mata rabun dan lain-lain. (Nanang Fattah, 1996)

2.3.9 Pemasanngan peringatan bahaya kecelakaan di tempat kerja


Banyak sekali faktor bahaya yang ditemui di tempat kerja, pada kondisi tertentu
tenaga kerja atau pengunjung tidak menyadari adanya faktor bahaya yang ada ditempat
kerja, untuk menghindari terjadinya kecelakaan maka perlu dipasang rambu-rambu
peringatan berupa papan peringatan, poster, batas area aman dan lain sebagainya.

75

Selain upaya pencegahan juga perlu disediakan sarana untuk menanggulangi


kecelakaan yang terjadi di tempat kerja yaitu :
a. Penyediaan P3K
Peralatan P3K yang ada sesuai dengan jenis kecelakaan yang mungkin terjadi di
tempat kerja untuk mengantisipasi kondisi korban menjadi lebih parah apabila terjadi
kecelakaan, peralatan tersebut harus tersedia di tempat kerja dan mudah dijangkau, petugas
yang bertanggung jawab melaksanakan P3K harus kompeten dan selalu siap apabila terjadi
kecelakaan di tempat kerja.
b. Penyediaan peralatan dan perlengkapan tanggap darurat
Kecelakaan kerja yang terjadi di tempat kerja terkadang tanpa kita sadari seperti
terkena bahan kimia yang bersifat korosif yang dapat menyebabkan iritasi pada kulit / mata
atau terjadinya kebakaran, untuk

menanggulangi keadaan tersebut perencanaan dan

penyediaan perlatan / perlengkapan tanggap darurat di tempat kerja sangat diperlukan


seperti pemadam kebakaran, hidran, peralatan emergency shower, eye shower dengan
penyediaan air yang cukup, semua peralatan ini harus mudah dijangkau. (Nanang Fattah,
1996)
2.3.10 Sistem Pelaporan dan Statistik Data Kecelakaan Kerja
Pelaporan dan statistik data kecelakaan dilakukan dengan penilaian dan analisa
kecelakaan yang ditemukan di tempat kerja, hal ini di tujukan untuk upaya pencegahan
kecelakaan, data ini juga berguna untuk menilai besarnya biaya penggantian perawatan bagi
korban kecelakaan, data ini juga berguna untuk menilai besarnya biaya penggantian
perawatan bagi korban kecelakaan. Adapun tujuan utamanya yaitu :
1.

Memperkirakan penyebab dan besarnya permasalahan kecelakaan yang terjadi.

2.

Mengidentifkasi pencegahan utama yang dibutuhkan.

3.

Mengevaluasi efektivitas pencegahan yang dilakukan.

4.

Memonitor resiko bahaya, peringatan bahaya dan kampanye keselamatan kerja.

5.

Mencari masukan informasi dari pencegahan yang dilakukan.

76

Informasi tentang kecelakaan kerja yang harus di catat sebagai berikut :


1. Identifikasi dimana kecelakaan terjadi.
2. Gambaran bagaimana kecelakaan itu terjadi.
3. Penentuan tingkat jenis kecelakaan yang terjadi.
Informasi ini harus didokumentasikan dengan benar untuk langkah-langkah pencegahan
selanjutnya.
Pengumpulan informasi kecelakaan kerja mempunyai 3 fungsi yaitu :
1. Ditempat kerja, data kecelakaan kerja digunakan untuk peringatan bagi tenaga kerja
agar berhati-hati saat melakukan aktivitas.
2. Di bidang hukum, data ini digunakan untuk membuat peraturan tentang lingkungan
kerja dan ketentuan penerapan keselamatan di tempat kerja.
3. Di bidang asuransi kecelakaan, data ini berguna untuk menentukan tingkat
kecelakaan dan besarnya santunan yang harus diberikan sesuai tingkat kecelakaan
yang terjadi.
2.3.11 Pencegahan dan Penanggulangan Kecelakaan kerja
Pencegahan kecelakaan kerja dapat dilakukan dengan :
2.3.11.1 Pengamatan resiko bahaya di tempat kerja
Pengamatan resiko bahaya di tempat kerja merupakan basis informasi yang
berhubungan dengan banyaknya dan tingkat jenis kecelakaan yang terjadi ditempat
kerja.Ada 2 ( dua ) tipe data untuk mengamati resiko bahaya di tempat kerja :
a.

Pengukuran resiko kecelakaan, yaitu mengkalkulasi frekwensi kecelakaan dan

mencatat tingkat jenis kecelakaan yang terjadi sehingga dapat mengetahui hari kerja yang
hilang atau kejadian fatal pada setiap pekerja.
b.

Penilaian resiko bahaya, yaitu mengindikasikan sumber pencemaraan, faktor bahaya

yang menyebabkan kecelakaan, tingkat kerusakaan dan kecelakaan yang terjadi. Misalnya
bekerja di ketinggian dengan resiko terjatuh dan luka yang diderita pekerja atau bekerja di
pemotongan dengan resiko terpotong karena kontak dengan benda tajam dan lain-lain.

77

2.3.11.2 Pelaksanaan SOP secara benar di tempat kerja


Standar Opersional Prosedur adalah pedoman kerja yang harus dipatuhi dan
dilakukan dengan benar dan berurutan sesuai instruksi yang

tercantum dalam SOP,

perlakuan yang tidak benar dapat menyebabkan kegagalan proses produksi, kerusakaan
peralatan dan kecelakaan.

2.3.11.3 Pengendalian faktor bahaya di tempat kerja


Sumber pencemaran dan faktor bahaya di tempat kerja sangat ditentukan oleh
proses produksi yang ada, teknik/metode yang di pakai, produk yang dihasilkan dan
peralatan yang digunakan. Dengan mengukur tingkat resiko bahaya yang akan terjadi, maka
dapat diperkirakan pengendalian yang mungkin dapat mengurangi resiko bahaya
kecelakaan.
Pengendalian tersebut dapat dilakukan dengan :
a.

Eliminasi dan Substitusi, yaitu mengurangi pencemaran atau resiko bahaya yang

terjadi akibat proses produksi, mengganti bahan berbahaya yang digunakan dalam proses
produksi dengan bahan yang kurang berbahaya.
b.

Engineering Control, yaitu memisahkan pekerja dengan faktor bahaya yang ada di

tempat kerja, membuat peredam untuk mengisolasi mesin supaya tingkat kebisingannya
berkurang, memasang pagar pengaman mesin agar pekerja tidak kontak langsung dengan
mesin, pemasangan ventilasi dan lain-lain.
c.

Administrative control, yaitu pengaturan secara administrative untuk melindungi

pekerja, misalnya penempatan pekerja sesuai dengan kemampuan dan keahliannya,


pengaturan shift kerja, penyediaan alat pelindung diri yang sesuai dan lain-lain.
2.4 Alat Pelindung Diri
2.14.1 Pengertian Alat Pelindung Diri
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor PER.08/MEN/VII/2010 Tentang Alat Pelindung Diri Pasal 1 ayat 1 bahwa Alat
Pelindung Diri selanjutnya disingkat APD adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan

78

untuk melindungi seseorang yang fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari
potensi bahaya di tempat kerja.
2.4.2 Fungsi dan Jenis Alat Pelindung Diri
2.4.2.1 Alat pelindung kepala
2.4.2.1.1 Fungsi
Alat pelindung kepala adalah alat pelindung yang berfungsi untuk melindungi
kepala dari benturan, terantuk, kejatuhan atau terpukul benda tajam atau benda keras yang
melayang atau meluncur di udara, terpapar oleh radiasi panas, api, percikan bahan-bahan
kimia, jasad renik (mikro organisme) dan suhu yang ekstrim.
2.4.2.1.2 Jenis
Jenis alat pelindung kepala terdiri dari helm pengaman (safety helmet), topi atau
tudung kepala, penutup atau pengaman rambut, dan lain-lain.
2.4.2.2 Alat pelindung mata dan muka
2.4.2.2.1 Fungsi
Alat pelindung mata dan muka adalah alat pelindung yang berfungsi untuk
melindungi mata dan muka dari paparan bahan kimia berbahaya, paparan partikel-partikel
yang melayang di udara dan di badan air, percikan benda-benda kecil, panas, atau uap
panas, radiasi gelombang elektromagnetik yang mengion maupun yang tidak mengion,
pancaran cahaya, benturan atau pukulan benda keras atau benda tajam.
2.4.2.2.2 Jenis
Jenis alat pelindung mata dan muka terdiri dari kacamata pengaman (spectacles),
goggles, tameng muka (face shield), masker selam, tameng muka dan kacamata pengaman
dalam kesatuan (full face masker).
2.4.2.3 Alat pelindung telinga
2.4.2.3.1 Fungsi
Alat pelindung telinga adalah alat pelindung yang berfungsi untuk melindungi alat
pendengaran terhadap kebisingan atau tekanan.
2.4.2.3.2 Jenis
Jenis alat pelindung telinga terdiri dari sumbat telinga (ear plug) dan penutup telinga (ear
muff).
79

2.4.2.4 Alat pelindung pernapasan beserta perlengkapannya


2.4.2.4.1 Fungsi
Alat pelindung pernapasan beserta perlengkapannya adalah alat pelindung yang
berfungsi untuk melindungi organ pernapasan dengan cara menyalurkan udara bersih dan
sehat dan/atau menyaring cemaran bahan kimia, mikro-organisme, partikel yang berupa
debu, kabut (aerosol)
uap, asap, gas/ fume, dan sebagainya.
2.4.2.4.1 Jenis
Jenis alat pelindung pernapasan dan perlengkapannya terdiri dari masker, respirator,
katrit, kanister, Re-breather, Airline respirator, Continues Air Supply Machine=Air Hose
Mask Respirator, tangki selam dan regulator (Self-Contained Underwater Breathing
Apparatus /SCUBA), Self-Contained Breathing Apparatus (SCBA), dan emergency
breathing apparatus.
2.4.2.5 Alat pelindung tangan
2.4.2.5.1 Fungsi
Pelindung tangan (sarung tangan) adalah alat pelindung yang berfungsi untuk
melindungi tangan dan jari-jari tangan dari pajanan api, suhu panas, suhu dingin, radiasi
elektromagnetik, radiasi mengion, arus listrik, bahan kimia, benturan, pukulan dan tergores,
terinfeksi zat patogen (virus, bakteri) dan jasad renik.
2.4.2.5.2 Jenis
Jenis pelindung tangan terdiri dari sarung tangan yang terbuat dari logam, kulit, kain
kanvas, kain atau kain berpelapis, karet, dan sarung tangan yang tahan bahan kimia.
2.4.2.6 Alat pelindung kaki
2.4.2.6.1 Fungsi
Alat pelindung kaki berfungsi untuk melindungi kaki dari tertimpa atau berbenturan
dengan benda-benda berat, tertusuk benda tajam, terkena cairan panas atau dingin, uap
panas, terpajan suhu yang ekstrim, terkena bahan kimia berbahaya dan jasad renik,
tergelincir.

80

2.4.2.6.2 Jenis
Jenis Pelindung kaki berupa sepatu keselamatan pada pekerjaan peleburan,
pengecoran logam, industri, kontruksi bangunan, pekerjaan yang berpotensi bahaya
peledakan, bahaya listrik, tempat kerja yang basah atau licin, bahan kimia dan jasad renik,
dan/atau bahaya binatang dan lain-lain.
2.4.2.7 Pakaian pelindung
2.4.2.7.1 Fungsi
Pakaian pelindung berfungsi untuk melindungi badan sebagian atau seluruh bagian
badan dari bahaya temperatur panas atau dingin yang ekstrim, pajanan api dan benda-benda
panas, percikan bahan-bahan kimia, cairan dan logam panas, uap panas, benturan (impact)
dengan mesin, peralatan dan bahan, tergores, radiasi, binatang, mikro-organisme patogen
dari manusia, binatang, tumbuhan dan lingkungan seperti virus, bakteri dan jamur.
2.4.2.7.2 Jenis
Jenis pakaian pelindung terdiri dari rompi (Vests), celemek (Apron/Coveralls),
Jacket, dan pakaian pelindung yang menutupi sebagian atau seluruh bagian badan.
2.4.2.8 Alat pelindung jatuh perorangan
2.4.2.8.1 Fungsi
Alat pelindung jatuh perorangan berfungsi membatasi gerak pekerja agar tidak
masuk ke tempat yang mempunyai potensi jatuh atau menjaga pekerja berada pada posisi
kerja yang diinginkan dalam keadaan miring maupun tergantung dan menahan serta
membatasi pekerja jatuh sehingga tidak membentur lantai dasar.
2.4.2.8.1 Jenis
Jenis alat pelindung jatuh perorangan terdiri dari sabuk pengaman tubuh (harness),
karabiner, tali koneksi (lanyard), tali pengaman (safety rope), alat penjepit tali (rope
clamp), alat penurun (decender), alat penahan jatuh bergerak (mobile fall arrester), dan
lain-lain.
2.4.2.9 Pelampung
2.4.2.9.1 Fungsi
Pelampung berfungsi melindungi pengguna yang bekerja di atas air atau
dipermukaan air agar terhindar dari bahaya tenggelam dan atau mengatur keterapungan
81

(buoyancy) pengguna agar dapat berada pada posisi tenggelam (negative buoyant) atau
melayang (neutral buoyant) di dalam air.
2.14.2.9.2 Jenis
Jenis pelampung terdiri dari jaket keselamatan (life jacket), rompi keselamatan ( life
vest), rompi pengatur keterapungan (Bouyancy Control Device). (Peraturan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.08/MEN/VII/2010).

2.4.3 Tempat Kerja Yang Wajib Menggunakan Alat Pelindung Diri


2.4.3.1 Tempat kerja yang wajib APD I
NAB faktor Kimia dan Fisika melebihi ketentuan yang berlaku; dibuat, dicoba,
dipakai atau dipergunakan mesin, pesawat, alat perkakas, peralatan atau instalasi yang
berbahaya yang dapat menimbulkan kecelakaan, kebakaran atau peledakan; tempat yang
dikelola asbes, debu dan serat berbahaya, api, asap, gas, kotoran, hembusan angin yang
keras,dan panas matahari; dibuat, diolah, dipakai dipergunakan, diperdagangkan, diangkut
atau disimpan bahan atau barang yang dapat meledak, mudah terbakar, korosif, beracun,
menimbulkan infeksi , bersuhu tinggi atau bersuhu sangat rendah; dikerjakan
pembangunan, perbaikan, perawatan, pembersihan atau pembongkaran rumah, gedung atau
bangunan lainnya termasuk bangunan perairan, saluran atau terowongan di bawah tanah
dan sebagainya atau dimana dilakukan pekerjaan persiapan; dilakukan usaha: pertanian,
perkebunan, pembukaan hutan, pengerjaan hutan, pengolahan kayu atau hasil hutan
lainnya, peternakan, perikanan; dilakukan usaha kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas,
klinik dan pelayanan kesehatan kerja.

2.4.3.2 Tempat kerja yang wajib APD II


Dilakukan usaha pertambangan dan pengolahan mineral dan logam, minyak bumi
dan gas alam; dilakukan pengangkutan barang, binatang atau manusia, baik di darat, laut
dan udara; dikerjakan bongkar muat barang muatan di pelabuhan laut, bandar udara,
terminal, setasiun kereta api atau gudang; dilakukan penyelaman dan pekerjaan lain di
dalam air; dilakukan pekerjaan di ketinggian di atas permukaan tanah; dilakukan pekerjaan
dengan tekanan udara atau suhu di bawah atau di atas normal (ekstrem); dilakukan
82

pekerjaan yang mengandung bahaya tertimbun tanah, kejatuhan, terkena pelantingan benda,
terjatuh atau terperosok, hanyut atau terpelanting;dilakukan pekerjaan dalam tangki, sumur
atau lubang dan ruang tertutup; dilakukan pembuangan atau pemusnahan sampah atau
limbah; dibangkitkan, dirubah, dikumpulkan, disimpan, dibagi-bagikan atau disalurkan
listrik, gas, minyak dan air.
2.4.3.3 Tempat kerja yang wajib APD III
Dilakukan pekerjaan di dekat atau di atas air. Penggunaan alat pelindung diri
merupakan cara terakhir pengendalian bahaya setelah bentuk pengendalian teknis dan
administratif telah dilakukan. Penggunaan alat pelindung diri disesuaikan dengan potensi
bahaya dan jenis pekerjaan.Berdasarkan identifikasi potensi bahaya, pengusaha atau
pengurus menetapkan tempat kerja wajib menggunakan alat pelindung diri. (Safety.do.tim.
2010).

83

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Hipotesis
Adapun hipotesis pada penelitian ini a dalah sebagai berikut:
1. Hipotesis Mayor
a. Kualitas air limbah ditentukan oleh kualitas sarana penampung dan
pengolahan air limbah, perilaku, pendidikan, dan status ekonomi.
2. Hipotesis Minor
a. Semakin tinggi pendidikan, semakin baik pula kualitas air limbahnya.
b. Semakin baik kualitas sarana penampung dan pengolahan air limbah, maka
semakin baik pula kualitas air limbahnya.
c. Semakin baik perilaku, semakin baik kualitas air limbahnya.
d. Semakin tinggi tingkat ekonomi, maka semakin baik kualitas air limbahnya

3.2 Metodologi Penelitian


3.2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Banjarbaru Provinsi
Kalimantan Selatan.Uji laboratorium dilaksanakan di Laboratorium Pengujian
Komoditi dan Lingkungan Balai Riset dan Standarisasi Industri. Penelitian
dilaksanakan pada tanggal 22 Oktober 2015.

3.2.2 Desain Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dengan metode deskriptif
untuk mengetahui kualitas air limbah di Rumah Sakit Umum Daerah Banjarbaru
tahun 2015.

84

3.2.4 Variabel Penelitian


Variabel dalam penelitian ini adalah kualitas air limbah (effluen) yang dilihat
dari parameter kimia air limbah yaitu pH dan Pb (timbal). Sedangkan yang dilihat
dari parameter biologi air limbah yaitu E.Coli.

3.2.5 Objek Penelitian


Objek pada penelitian ini adalah seluruh air limbah dari kegiatan yang ada di
RSUD Banjarbaru yang berasal dari berbagai sumber seperti dari laundry, ruang
dapur, laboratorium, ruang perawatan (anak, penyakit dalam, VIP), ruang rawat
jalan, ruang UGD, ruang radiologi, ruang operasi, laboratorium, dan apotik yang
akhirnya terkumpul pada tempat penampungan dan kolam pengendapan yang
tersedia.

3.2.6 Instrumen Penelitian


Untuk data primer dilakukan di Laboratorium Pengujian Komoditi dan
Lingkungan Balai Riset dan Standarisasi Industri dengan pemeriksaan sampel di
terhadap parameter pH, Pb (timbal), E. Coli yang akan dibandingkan dengan
PERMENKES No. 416 Tahun 1990.

3.3 Teknik Analisa


Analisa Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis univariat yang
dilakukan pada tiap variabel dari hasil penelitian, dengan menggunakan tabel
distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel. Data yang telah diperoleh dari
hasil pemeriksaan laboratorium terhadap kualitas air limbah dianalisa secara
deskriptif dengan menggunakan tabel kemudian dibandingkan dengan baku mutu air
limbah rumah sakit menurut PERMENKES No. 416 Tahun 1990 dan diuraikan
dalam bentuk narasi dan selanjutnya dibuat suatu kesimpulan.

85

3.4 Jadwal Kegiatan


Tabel 3.1 Jadwal Kegiatan
No

Waktu

Kegiatan

Senin, 28 September 2015

Konsultasi

Selasa, 29 September 2015

Perizinan Observasi

Jumat, 02 Oktober 2015

Persiapan Observasi

Senin, 05 Oktober 2015

Observasi IPAL dan Insenerator

Selasa, 06 Oktober 2015

Pengamatan Hasil Limbah

Jumat, 09 Oktober 2015

Observasi Ruang Sanitasi Gizi

Rabu, 21 Oktober 2015

Pengambilan Sampel Limbah

86

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
4.1.1Perbandingan Kualitas Inlet Dan Outlet Air Limbah RSUD Kota Banjarbaru
4.1.1.1 Kualitas Inlet Air Limbah RSUD Kota Banjarbaru
Air limbah RSUD Kota Banjarbaru berasal dari hasil kegiatan pada ruang
laundry, ruang dapur, laboratorium, ruang perawatan (anak, penyakit dalam, VIP),
ruang rawat jalan, ruang UGD, ruang radiologi, ruang operasi, laboratorium, dan
apotik. Sampel yang diambil sebagai inlet dalam penelitian ini berasal dari salah satu
tempat penampungan air limbah. Kemudian dilakukan pengujian parameter kualitas air
limbah rumah sakit di UPT Laboratorium Kesehatan Air Kabupaten Banjar. Berikut
adalah hasil Laboratorium mengenai Kualitas Air Limbah RSUD Kota Banjabaru:
4.1 Tabel Hasil Pemeriksaan Pertama Kualitas Air Limbah
No

Parameter Uji

Satuan

Hasil Uji

Kadar
Maksimum yang
Diperbolehkan

pH

Timbal (Pb)

E. Coli

6,0

6-9

Mg/l

0,05

CFU/100ml

1898

50

4.2 Tabel Hasil Pemeriksaan Kedua Kualitas Air Limbah


No

Parameter Uji

Satuan

Hasil Uji

Metode Uji

P. 4753 (Inlet)
1

pH*)

Timbal (Pb)

E. Coli

7,52

SNI 06-6989.11-2004

Mg/l

<0,001

AAS

CFU/100ml

150000

Plate Count

87

Data hasil pemeriksaan pertama merupakan data primer yang di dapat hasil
penelitian sampel air limbah RSUD Banjarbaru yang dilakukan di UPT
Laboratorium Kesehatan Air Kabupaten Banjar pada 2 -3 November 2014.
Sedangkan hasil pemeriksaan kedua merupakan data primer yang di dapatkan
dengan meneliti sampel air limbah di Laboratorium Pengujian Komoditi dan
Lingkungan Balai Riset dan Standarisasi Industri. Penelitian dilaksanakan pada
tanggal 22 Oktober 2015.

4.1.1.2 Kualitas Outlet Air Limbah RSUD Kota Banjarbaru


Air limbah RSUD Kota Banjarbaru berasal dari hasil kegiatan pada ruang
laundry, ruang dapur, laboratorium, ruang perawatan (anak, penyakit dalam, VIP),
ruang rawat jalan, ruang UGD, ruang radiologi, ruang operasi, laboratorium, dan
apotik. Air limbah rumah sakit dari berbagai sumber tersebut kemudian dialirkan ke
IPAL dan dilakukan pengolahan.Sampel yang diambil sebagai outlet dalam
penelitian ini merupakan air limbah yang sudah diolah oleh IPAL. Kemudian
dilakukan pengujian parameter kualitas air limbah rumah sakit di Laboratorium
Pengujian Komoditi dan Lingkungan Balai Riset dan Standarisasi Industri. Berikut
adalah hasil Laboratorium mengenai Kualitas Air Limbah RSUD Kota Banjabaru:
4.3 Tabel Hasil Pemeriksaan Pertama Kualitas Air Limbah
No

Parameter Uji

Satuan

Hasil Uji

Kadar
Maksimum yang
Diperbolehkan

pH

Timbal (Pb)

E. Coli

6,0

6-9

Mg/l

0,05

CFU/100ml

1898

50

88

4.4 Tabel Hasil Pemeriksaan Kedua Kualitas Air Limbah


No

Parameter Uji

Satuan

Hasil Uji

Metode Uji

P. 4753 (Inlet)
1

pH*)

Timbal (Pb)

E. Coli

7,94

SNI 06-6989.11-2004

Mg/l

<0,001

AAS

CFU/100ml

Plate Count

Data hasil pemeriksaan pertama merupakan data primer yang di dapat


hasil penelitian sampel air limbah RSUD Banjarbaru yang dilakukan di UPT
Laboratorium Kesehatan Air Kabupaten Banjar pada 2 -3 November 2014.
Sedangkan hasil pemeriksaan kedua merupakan data primer yang di dapatkan
dengan meneliti sampel air limbah di Laboratorium Pengujian Komoditi dan
Lingkungan Balai Riset dan Standarisasi Industri. Penelitian dilaksanakan pada
tanggal 22 Oktober 2015.
Dari data-data yang diatas, maka dapat dibuat kurva perbandingan
antara inlet dan outlet dari proses pengolahan air limbah sebagai acuan dalam
penelitian ini.
Kurva 4.1 Perbandingan Parameter Inlet dan Outlet
150000
100000
50000
0
pH

Timbal (Pb)

E. Coli

89

4.2 Pembahasan
4.2.1 pH
Hasil pemeriksaan laboratorium sebelum dan setelah pengolahan air limbah
adalah 7.52 dan 7.94. Hal tersebut menunjukkan walaupun nilai pH naik setelah
dilakukan pengolahan air limbah, namun nilai pH masih dalam standar baku mutu dan
menunjukkan bahwa air limbah bersifat basa, sehingga masih aman jika dibuang
kelingkungan.
Kurva 4.2 Perbandingan pH Inlet dan Outlet

8
7,8

Inlet

7,6

Outlet

7,4
7,2

pH

4.2.2 Timbal (Pb)


Berdasarkan hasil inlet dan outlet nilai Timbal (Pb) tidak mengalami
perubahan yaitu sebesar <0,001 mg/l. nilai Timbal (Pb) tersebut masih dalam
standar baku mutu, sehingga masih aman jika dibuang kelingkungan.
Kurva 4.3 Perbandingan TDS Inlet dan Outlet

1
0,8

INLET

0,6

OUTLET

0,4
0,2
0

TIMBAL (Pb)

90

4.2.3 Total E. Coli


Hasil pemeriksaan total E.Coli menunjukkan banyaknya bakteri E.Coli pada
air limbah inlet yaitu sekitar 150000 CFU/100 ml. Menurut Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor : Kep-58/MENLH/12/1995 Tentang Baku
Mutu Limbah Cair Kegiatan Rumah Sakit jumlah Coliform yang diperbolehkan
dalam air limbah adalah sebesar 10.000 / 100 ml, Dari peraturan tersebut dapat
diketahui bahwa jumlah E. coli yang terdapat pada air limbah inlet melebihi dari
batas yang diperbolehkan. Namun setelah dilakukan pengolahan terhadap air
limbah tersebut total E. Coli pada air limbah outlet yaitu 0 CFU/100 ml. Angka
tersebut menunjukan bahwa air limbah tersebut sudah aman dibuang ke
lingkungan.
Kurva 4.4 Perbandingan E.Coli Inlet dan Outlet

150000

Inlet

100000

Outlet

50000
0

E. Coli

Berdasarkan hasil observasi pada instalasi penampung dan pengolahan air


limbah di RSUD Kota Banjarbaru dapat diketahui bahwa sanitasi dan higiene
yang dimiliki sudah baik atau memenuhi syarat. Sesuai dengan hasil
laboratorium yang didapatkan maka dapat diketahui bahwa RSUD Kota
Banjarbaru sudah melakukan pengolahan air limbah rumah sakit dengan IPAL
Biofilter dimana kadar zat pencemar dalam air limbah dapat berkurang dan
aman apabila dibuang ke lingkungan.
4.2.4 Penerapan K3 Petugas Pengolahan Limbah Cair dan Padat RSUD
Banjarbaru
Berdasarkan hasil observasi dilapangan, penerapan K3 di Rumah Sakit
Banjarbaru tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan

91

Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.08/MEN/VII/2010. Selain itu,


petugas pengolahan limbah cair Rumah Sakit Banjarbaru hanya satu orang.
Selain sebagai petugas pengolahan limbah cair, petugas tersebut juga penangani
pengolahan limbah padat menggunakan incinerator. Dalam melaksanakan
tugasnya baik dalam pengolahan limbah cair maupun limbah padat petugas
tersebut tidak menggunakan APD standar yang sesuai SNI karena APD yang
digunakan baik dalam pengolahan limbah cair maupun limbah padat adalah
sama. Padahal APD dalam pengolahan limbah cair dan limbah padat berbeda.
APD yang digunakan petugas tersebut adalah masker biasa, sarung tangan bisa
dan sepatu bot saja. Hal ini sangat berbahaya karena baik dalam limbah cair
maupun limbah padat terkandung bahan berbahaya yang apabila terkena
petugas tersebut berakibat fatal bahkan kematian.

92

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari Tugas Besar ini adalah :
a. Pengolahan limbah cair Rumah Sakit Banjarbaru menggunakan IPAL
dengan 4 tangki sehingga dalam proses pengolahan limbah cair tersebut
kualitas air limbah yang diolah menjadi dibawah standar baku mutu yaitu
yang semula pH 7,52, Timbal (Pb) <0,001 Mg/l dan E. Coli 150000
CFU/100ml hasilnya menjadi pH 7,94, Timbal (Pb) <0,001 Mg/l dan E. Coli
0 CFU/100ml. sehingga air limbah tersebut aman bila dibuang
kepemukiman karena tidak berbahaya bagi masyarakat.
b. Penerapan K3 dalam pengelolaan limbah RSUD Kota Banjarbaru tidak
sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor PER.08/MEN/VII/2010 karena alat APD yang disediakan
tidak memenuhi standar SNI.
5.2 Saran
Saran dari penulis adalah pemerintah dan pengelola Rumah Sakit Banjarbaru harus
lebih memperhatikan K3 dan APD dari petugas pengolah limbah baik cair maupun padat
karena sedikit kesalahan saja bisa berakibat fatal sehingga kematiaan pada petugas
tersebut..

93

DAFTAR PUSTAKA

Anonim1, 2007, Anaerobic Reactor Technology.


http://www.airlimbahku.com/2007/07/anaerobic-reactor-technology.html
Diakses pada tanggal 24 September 2015
Anonim2, 2011, Definisi Instalasi Pengolaahan Air Limbah.
http://recyclingwater.wordpress.com/2011/12/20/instalasi-pengolhan-air-limbah-definisi/
Diakses pada tanggal 24 September 2015
Anonim3, 2014, Petugas Instalasi Pengolahan Air Limbah.
http://www.cit-system.com/index.php/training-operator-instalasi-pengolahan-air-limbahipal/
Diakses pada tanggal 24 September 2015
Allen, carol Vestal, 1998, Memahami Proses keperawatan dengan pendekatan latihan ,
alih bahasa Cristantie Effendy, Jakarta : EGC

Arifin, 2008, Jurnal : Pengaruh Limbah Rumah Sakit Terhadap Kesehatan, Jakarta.

Azrul Azwar, 1996, Pengantar Administrasi Kesehatan, Penerbit Binarupa Aksara, edisi
ketiga.

Bastian, Indra. 2008. Akuntansi Kesehatan. Edisi 1. Cetakan Pertama. Penerbit


Erlangga:Jakarta

Depkes RI, 1991, pedoman uraian tugas tenaga keperawatan dirumah sakit,
Jakarta.:Depkes RI

Depkes RI, 1995. Keputuan Menteri Lingkungan Hidup No.58/MENLH/12/1995 tentang


Baku Mutu Limbah Cair Bagi Rumah Sakit, Depkes RI : Jakarta.

Depkes RI 2004. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor128/MENKES/SK/II/2004


tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat. Jakarta.

Dephut RI, Pengolahan Air Limbah.

Giyatmi,

2003.

Efektivitas

Pengolahan

Limbah

Cair

Rumah

Sakit

Dokter

Sardjito.Yogyakarta Terhadap Pencemaran Radioaktif. Yogyakarta : Pasca Sarjana


Universitas Gadjah Mada
Ginting, Ir. Perdana. 2007. Sistem Pengelolaan Lingkungan Dan Limbah Industri, Cetakan
pertama. Bandung: Yrama Widya.

Ginting, Ir. Perdana. 2007. Sistem Pengelolaan Lingkungan Dan Limbah Industri,.
Cetakan pertama. Yrama Widya : Bandung.

Hammer M.J. 1986. Water and Wastewater Technology. Prentice-Hall Int. Inc., New
Jersey.

Kepmenkes 1204/Menkes/SK/X/2004 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah


Sakit, Menkes RI : Jakarta

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 983/MenKes/SK/1992.

Khairul-Kesling.blogspot.com/2012/12/proses-air-limbah-rumah-sakit-memakai.html
Kusnoputranto, 1986. Kualitas Limbah Rumah Sakit dan dampaknya Terhadap Lingkungan
dan Kesehatan. Jakarta : Seminar Limbah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan
Universitas Indonesia. Fakultas Kesehatan menyangkut PPSM dan lingkungan

Kusnoputranto, Haryanto, 1986. Kesehatan Lingkungan. Penerbit Fakultas Kesehatan


Masyarakat Univesritas Indonesia : Jakarta.

Kusnoputranto, Haryoto, 1986. Kesehatan Lingkungan. Depdikbud, Fakultas Kesehatan


Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta.

Mara, Duncan, 1976, law-cost urban sanitation, university of Dundee, scotlandia.

Met Calf dan Eddy Inc, Waste Water Engineering, Treatment, Disposal, Re use, Mc GrawHill Book Co 1979

Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung : Rosdakarya, 1996.

Ningsih, D.P. 2009. Penggunaan Up Flow Anaerob Biofilter Dalam Menurunkan Kadar
BOD Air Limbah Tahu di Desa Ngepos, Kecamatan Tegalrejo, Kabupaten Magelang.
Semarang : Eprints Undip
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor
PER.08/MEN/VII/2010
Permenkes RI No. 159b/MenKes/Per/1998 Tentang Rumah Sakit.
Sabayang P, dkk. 1996. Konstruksi dan Evaluasi Insinerator Untuk Limbah Padat Rumah
Sakit. Bandung
Safety.do.tim. 2010. Dasar Hukum Alat Pelindung Diri
Said, Nusa Idaman. 2000. Pengelolaan Air Limbah Domestik di DKI Jakarta. Jakarta :
Pusat Teknologi Lingkungan
Satmoko Wicaksono. Jurnal : Karakteristik Limbah Rumah Sakit dan Pengaruhnya
Terhadap Kesehatan dan Lingkungan. Jakarta.

Siregar, Charles J.P., dan Lia A. (2004). Farmasi Rumah Sakit: Teori dan Penerapan.
Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Siregar A., 2005. Instalasi Pengolahan Air Limbah, Yogyakarta : Kanisius

Soeparman dan Soeparmin, 2002, Pembuangan Tinja dan Limbah Cair, Suatu
Pengantar, Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Soeparman dan Suparmin, 2002. Pembuangan Tinja dan Limbah Cair. Penerbit. Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
Subekti.2012. Pengaruh Dampak Limbah Cair Rumah Sakit Terhadap Kesehatan Serta
Lingkungan. Universitas Pandanaran. Semerang.
Suharto. 2010. Limbah Kimia Dalam Pencemaran Air dan Udara, Andi, Yogyakarta.
Sulaiman. F, 2001. Jurnal Kajian Teknologi : Studi Pemeliharaan Bangunan
Pengolahan.Air Limbah dan Incinerator Pada Rumah Sakit di Jakarta. Jakarta
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

LAMPIRAN

Gambar 1 Penulis dengan pembimbing lapangan Senin, 5 Oktober 2015 Pukul 12.15
Wita

Gambar 2 Kolam IPAL Senin, 5 Oktober 2015 pukul 11.45 Wita

Gambar 3 Keterangan IPAL Senin, 5 Oktober 2015 pukul 11.46 Wita

Gambar 4 Tangki IPAL Senin, 5 Oktober 2015 pukul 11.47 Wita

Gambar 5 Mesin IPAL Senin, 5 Oktober 2015 pukul 11.48 Wita

Gambar 6 Keterangan Incenerator Senin, 5 Oktober 2015 pukul 11.49 Wita

Gambar 7 Petugas kebersihan memilah sampah Senin, 5 Oktober 2015 pukul 11.50
Wita

Gambar 8 Pemasukan sampah pada incinerator Senin, 5 Oktober 2015 pukul 11.55
Wita

Gambar 9 Asap proses pembakara incinerator Senin, 5 Oktober 2015 pukul 12.00
Wita

Gambar 10 Sisa pembakaran incinerator Selasa, 6 Oktober 2015 pukul 11.00 Wita

Gambar 11 Kolam limbah instalasi gizi Jumat, 9 Oktober 2015 pukul 10.30 Wita

Gambar 12 Kolam limbah laundry Jumat 9 Oktober 2015 pukul 10.31 Wita

Gambar 13 Pembukaan tangki inlet, Rabu, 21 Oktober 2015 pukul 11.25 Wita

Gambar 14 Pengambilan sampel inlet, Rabu, 21 Oktober 2015 pukul 11.30 Wita

Gambar 15 Pengambilan sampel Outlet, Rabu, 21 Oktober 2015 pukul 11.35 Wita

Surat Observasi

STUDI KASUS
Di tempat kerja, ancaman terhadap kesehatan reproduksi bisa datang dari
penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya. Salah satu profesi yang rentan mengalami
gangguan

reproduksi

akibat

penggunaan

bahan-bahan

tersebut

adalah

tenaga

kesehatan. Pakar kesehatan kerja dari Universitas Indonesia, Dr dr Astrid W Sulistomo,


MPH, SpOk (spesialis okupansi atau spesialis kesehatan dan keselamatan kerja)
mengatakan pejanan gas-gas anestesi di rumah sakit dalam jangka panjang bisa memicu
ketidaksuburan baik pada pria maupun wanita. Pada ibu hamil, risikonya adalah kelainan
kongenital atau pertumbuhan struktur organ pada janin.
Ancaman bagi kehamilan juga bisa datang dari pejanan obat-obat kanker atau
antineoplastik dalam waktu yang lama dan terus menerus. Selain memicu kelainan
kongenital seperti halnya gas anestesi, obat-obat antineoplastik juga bisa memicu
keguguran atau abortus spontan. berdasarkan penelitian, pekerja di sektor kesehatan dan
manufaktur paling rentan mengalami gangguan reproduksi. Khusus di negara berkembang,
yang paling rentan adalah pertanian akibat penggunaan pestisida.
Selain akibat pejanan bahan-bahan kimia, ancaman di tempat kerja bisa datang dari
pejanan fisik seperti suhu yang terlalu panas. Pejanan fisik berupa temperatur tinggi antara
lain mengancam para pekerja di peleburan baja, tukang las dan koki atau juru
masak. Risikonya memang lebih banyak mengancam pria, antara lain memicu
ketidaksuburan atau oligospermia serta menurunkan libido atau gairah seks. Namun ada
juga pejanan fisik yang mengancam wanita, misalnya getaran mesin yang bisa memicu
keguguran atau kelahiran prematur.
Meski demikian tidak semua risiko tersebut didukung dengan bukti ilmiah yang
kuat, beberapa di antaranya masih berupa dugaan. Misalnya gas anestesi, pengaruhnya
terhadap kesehatan reproduksi masih inkonklusif atau belum disimpulkan sementara obat
antineoplastik pengaruhnya sudah didukung bukti kuat.
Soal :
1. Di tempat kerja, ancaman terhadap kesehatan reproduksi bisa datang dari ?
a. Obat
b. Getaran mesin

c. Dokter
d. Bahan-bahan kimia berbahaya
e. Juru masak rumah sakit

2. Pakar kesehatan kerja dari Universitas Indonesia, Dr dr Astrid W Sulistomo,


MPH, SpOk (spesialis okupansi atau spesialis kesehatan dan keselamatan kerja)
mengatakan pejanan gas-gas anestesi di rumah sakit dalam jangka panjang bisa
memicu ?
a. Ketidak suburan bagi pria/wanita
b. Alergi
c. Gangguan pernapasan
d. Gangguan pencernaan
e. Maag

3. Pada ibu hamil, ancaman gas-gas anastesi di rumah sakit dalam jangka panjang
bisa mengakibatkan ?
a. Bayi lahir kembar
b. Bayi lahir normal
c. Bayi mati dalam perut
d. Bayi lahir premature
e. Kelainan kongenital
4. Menurut penelitian, pekerja di sektor kesehatan dan manufaktur paling rentan
mengalami gangguan ?
a. Gangguan pencernaan
b. Gangguan pendengaran
c. Gangguan reproduksi
d. Gangguan ginjal
e. Gangguan usus

5. Selain akibat bahan-bahan kimia, apa ancaman fisik yang mengancam wanita
hamil saat berada di tempat kerja ?

a.
b.
c.
d.
e.

Kematian ibu bayi


Keguguran
Bayi lahir cacat
Meninggalnya ibu dan bayi
Ibu bayi terkena HIV

Anda mungkin juga menyukai