Anda di halaman 1dari 12

2.

Teori Keagenan
Konsep Agency Theory (teori keagenan) menurut Anthony dan Govindarajan (1995:569) dalam
Widyaningdyah (2001) adalah hubungan atau kontrak antara manajer (agen) dengan pemilik (prinsipal).
Prinsipal mempekerjakan agen untuk melakukan tugas untuk kepentingan prinsipal, termasuk
pendelegasian otoritas pengambilan keputusan dari prinsipal kepada agen. Pada perusahaan yang
modalnya terdiri atas saham, pemegang saham bertindak sebagai prinsipal, dan CEO (Chief Executive
Officer) sebagai agen mereka. Pemegang saham mempekerjakan CEO untuk bertindak sesuai
kepentingan prinsipal.
Teori keagenan memiliki asumsi bahwa masing-masing individu semata-mata termotivasi oleh
kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara prinsipal dan agen. Pihak
prinsipal termotivasi mengadakan kontrak untuk mensejahterakan dirinya dengan profitabilitas yang
selalu meningkat. Agen termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan
psikologisnya, antara lain dalam hal memperoleh investasi, pinjaman, maupun kontrak kompensasi.
Konflik kepentingan semakin meningkat terutama karena prinsipal tidak dapat memonitor aktivitas CEO
sehari-hari untuk memastikan bahwa CEO bekerja sesuai dengan keinginan pemegang saham.
Prinsipal tidak memiliki informasi yang cukup tentang kinerja agen. Agen mempunyai lebih banyak
informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja dan perusahaan secara keseluruhan. Hal inilah yang
mengakibatkan

adanya

ketidakseimbangan

informasi

yang

dimiliki

oleh

prinsipal

dan

agen.

Ketidakseimbangan informasi inilah yang disebut dengan asimetri informasi. Adanya asumsi bahwa
individu-individu bertindak untuk memaksimalkan kepentingan dirinya sendiri, mengakibatkan agen
memanfaatkan adanya asimetri informasi yang dimilikinya untuk menyembunyikan beberapa informasi
yang tidak diketahui prinsipal. Asimetri informasi dan konflik kepentingan yang terjadi antara prinsipal dan
agen mendorong agen untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya kepada prinsipal, terutama jika
informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran kinerja agen.
Berdasarkan penelitian sebelumnya Watts dan Zimmerman (1986) dalam Rahmawati dkk. (2006)
secara empiris membuktikan bahwa hubungan prinsipal dan agen sering ditentukan oleh angka
akuntansi. Hal ini memicu agen untuk memikirkan bagaimana angka akuntansi tersebut dapat digunakan
sebagai sarana untuk memaksimalkan kepentingannya. Salah satu bentuk tindakan agen tersebut
dengan melakukan suatu tindakan yang disebut sebagai manajemen laba.

2.3.1

Asimetri Informasi
Asimetri informasi merupakan suatu keadaan dimana manajer memiliki akses informasi atas prospek
perusahaan yang tidak dimiliki oleh pihak luar perusahaan. Agency Theory mengimplikasikan adanya
asimetri informasi antara manajer (agen) dengan pemilik (prinsipal).
Jensen dan Meckling (1976) dalam Rahmawati dkk. (2006) menambahkan bahwa jika kedua kelompok
(agen dan prinsipal) tersebut adalah orang-orang yang berupaya memaksimalkan utilitasnya, maka
terdapat alasan yang kuat untuk meyakini bahwa agen tidak akan selalu bertindak yang terbaik untuk
kepentingan prinsipal. Prinsipal dapat membatasinya dengan menetapkan insentif yang tepat bagi agen
dan melakukan monitor yang didesain untuk membatasi aktivitas agen yang menyimpang.
Adanya pemilihan kebijakan akuntansi dalam standar yang dapat digunakan tersebut membuat manajemen
memiliki cukup keleluasaan untuk memanipulasi laporan keuangan tersebut. pilihan metode akuntansi yang secara sengaja dipilih
oleh manajemen untuk tujuan tertentu dikenal dengan sebutan manajemen laba.

Ada dua tipe asimetri informasi : adverse selection dan moral hazard.
1.

Adverse Selection
Adverse selection adalah jenis asimetri informasi dalam mana satu pihak atau lebih yang melangsungkan
atau akan melangsungkan suatu transaksi usaha, atau transaksi usaha potensial memiliki informasi lebih
atas pihak-pihak lain. Adverse selection terjadi karena beberapa orang seperti manajer perusahaan dan
para pihak dalam (insiders) lainnya lebih mengetahui kondisi kini dan prospek ke depan suatu
perusahaan daripada para investor luar.

2.

Moral Hazard
Moral hazard adalah jenis asimetri informasi dalam mana satu pihak yang melangsungkan atau akan
melangsungkan suatu transaksi usaha atau transaksi usaha potensial dapat mengamati tindakantindakan mereka dalam penyelesaian transaksi-transaksi mereka sedangkan pihak-pihak lainnya
tidak. Moral hazard dapat terjadi karena adanya pemisahan pemilikan dengan pengendalian yang
merupakan karakteristik kebanyakan perusahaan besar.

2.3.2

Teori Bid-Ask Spread


Eisenhardt (1989) Ketidakpastian yang dihadapi oleh dealer disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan
informasi (information asymmetry). Untuk mengurangi ketidakpastian tersebut dealer membutuhkan
informasi, dan untuk mendapatkan informasi tersebut diperlukan cost. Besarnya ketidakseimbangan
informasi

yang

dihadapi

oleh dealer tersebut

akan

tercermin

pada spread yang

ditentukannya. Dealer selalu berusaha untuk menentukan spread secara wajar dengan memperhatikan
kejadian tertentu,, kondisi atau informasi apa saja yang memberikan sinyal mengenai surat berharga
yang dimilikinya.
Bid-ask spread merupakan selisih harga beli tertinggi dengan harga jual terendah saham trader
(Greinstein dan Sami, 1994 dalam Ardi, 2006).
Stoll (1989) dalam Syahroni (2005) menyatakan bahwa bid-ask spread merupakan fungsi dari tiga
komponen biaya yang berasal dari:
1.

Pemilikan saham (inventory holding)

2.

Pemrosesan pesanan (order processing)

3.

Asimetri informasi (information asymmetry)

Dari sinilah muncul sebuah penyimpangan moral/jebakan moral (moral

penerapannnya akad
mudharabah sering kali disalahgunakan , baik dari pihak
hazard)

yang

di

mana

dalam

pemilik modal (shahibul mal) dalam hal ini perbankan syariah maupun
pengelola modal/nasabah (mudharib) .bentuk moral hazard dapat berupa
penyimpangan darimudharib yang menyalahgunakan modal yang di
berikan, ataupun dari shahibul mal itusendiri yang di mana pihak pemilik
modal tidak selektif dalam memberikan jaminan kepada mudharib.

Assymetric Information Theory


Asymmetric Informat atau ketidaksamaan informasi adalah situasi di mana manajer
memiliki informasi yang berbeda (yang lebih baik) mengenai kondisi atau prospek perusahaan
dari pada yang dimiliki investor. Dan Asymmetric Information muncul sebagai akibat adanya
distribusi informasi yang tidak sama, dalam hal ini antara pemilik modal (principal)/shahibul
mal dan pengelola modal (agent)/mudharib. Idealnya, principal memperoleh informasi yang
dibutuhkan

dalam

mengukur

tingkat

hasil

yang

diperoleh

dari

usaha agent. Tetapi

faktanya, ukuran-ukuran keberhasilan yang dikonsumsi principal justru tidak dapat menjelaskan
hubungan antara keberhasilan yang telah dicapai, dengan usaha yang telah dilakukan oleh agent.

Adanya Asymmetric information antara manajer/pengelola (agent) dengan pemilik (principal) dapat memberikan
kesempatan kepada manajer untuk melakukan manajemen laba (earnings management) dalam rangka menyesatkan pemilik
(prinsipal) mengenai kinerja ekonomi perusahaan (Richardson, 1998).

Asymmetric Information dibagi menjadi dua macam, yaitu:


a.

Adverse selection, yaitu bahwa para manajer serta orang-orang dalam lainnya biasanya mengetahui
lebih banyak tentang keadaan dan prospek perusahaan dibandingkan investor pihak luar. Fakta yang
mungkin dapat mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh pemegang saham tersebut tidak
disampaikan informasinya kepada pemegang saham.

b. Moral hazard, yaitu bahwa kegiatan yang dilakukan oleh seorang manajer tidak seluruhnya diketahui
oleh pemegang saham maupun pemberi pinjaman. Sehingga manajer dapat melakukan tindakan
diluar pengetahuan pemegang saham yang melanggar kontrak dan sebenarnya secara etika atau
norma mungkin tidak layak dilakukan.

Mengenai penjelasan Assymetric Information, dalam akad mudharabah pihak pemilik


modal (principal)/shahibul mal dan pengelola modal (agent)/mudharib seharusnya dapat
mengetahui informasi-informasi terkait dengan kondisi keuangan dan usaha yang
dilakukan demi menghasilkan keuntungan bersama.

Moral Hazard pada pembiayaan mudharabah


Moral hazard dalam ekonomi adalah suatu tindakan pelaku ekonomi yang menimbulkan
kemudharatan baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Untuk mengetahui apakah suatu
tindakan ekonomi merupakan moral hazard ataukah bukan, perlu mempelajari prinsip-prinsip
dari transaksi yang Islami, yang dihalalkan ataupun yang diharamkan sayriat islam (Hariyanto,
2001). Selain

itu Moral

hazard dapat

juga diartikan

sebagai

suatu

tindakan

penyelewenangan amanah atau tanggung jawab karena adanya kesempatan untuk


melakukan hal tersebut tanpa diketahui oleh pihak lain (Mishkin, 2001).(Susanto, 2010)
mengatakan moral hazard akan muncul ketika seseorang atau sebuah lembaga/organisasi yang
tidak konsekuen secara penuh dan tidak bertanggungjawab atas perbuatannya, maka dari itu
cenderung untuk bertindak kurang hati-hati untuk melepas tanggung jawab atas konsekuensi dari
tindakannya kepada pihak lain.

Salah

satu

moral

hazard yang

sering

dilakukan

pada

pembiayaan mudharabahadalah dari pihak mudharib (pengelola modal) yang dimana


pihak mudharib tidak jujur dalam memberikan informasi kepada pemilik modal (shahibul
mal) terkait tentang usaha yang akan dijlankan kedepannya, dan pihak mudharib dapat
dengan sengaja menggunakan modal tersebut dengan cara yang tidak sewajarnya.
Sehingga pihak pengelola modal (shahibul mal) tidak dapat mengetahui sejauh mana
modal digunakan, dan pengelola modal enggan dalam memberikan jaminan karena tidak
dapat mengukur dengan pasti risiko terjadinya kerugian yang dilakukan oleh mudharib.
Teori Keagenan (Agency Theory) dalam mudharabah
Menurut (Sembiring, 2003) Agency theory menjelaskan tentang hubungan antara dua
pihak dimana salah satu pihak menjadi agen (pemilik modal) dan pihak yang satu bertindak
sebagai principal (pengelola). Pembiayaan mudharabah pada bank Islam dapat dipahami
melalui agency theory , dan dari hal itu pemikiran tentang strategic management dan berbagai
kebijakan bisnis secara umum, akhir-akhir ini dipengaruhi oleh teori keagenan (Donaldson,
1991). Yang dimaksud dengan principal adalah pemegang saham atau investor dalam hal ini
adalah shahibul mal, sedangkan yang dimaksud agent adalah manajemen yang mengelola
perusahaan ataumudharib. Menurut (Jensen, 1976) ada dua macam bentuk hubungan keagenan,
yaitu antara manajer dan pemegang saham (shareholders) dan antara manajer dan pemberi
pinjaman (bondholders). Dalam hubungannya dengan akad mudharabah adalah konflik
keagenan terjadi antara bank sebagai pemilik modal (shahibul maal atau principal) dengan
nasabah pengguna pembiayaan (mudharib atau agent).
Konflik keagenan dapat terjadi ketika salah satu pihak dalam akad mudharabah
melakukan suatu tindakan yang dapat mengakibatkan kerugian, baik dari pihak pemilik modal
(shahibul mal) ataupun pihak pengelola modal (mudharib). Salah satu dampak dari konflik
keagenan adalah memunculkan konflik kepentingan antara kepemilikan dan pengendalian
perusahaan yang akan menyebabkan manajer bertindak tidak sesuai dengan keinginanprincipal,
dan ini terjadi dikarenakan perbedaan tujuan dari masing-masing pihak. Ini terjadi karena

asimetri informasi ketika manajer lebih mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di
masa yang akan datang dibandingkan pemegang saham danstakeholder lainnya (Nugroho,
2011).
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa hubungan keagenan adalah sebuah
kontrak antara satu atau lebih individu yang disebut pemilik (principals) yang
mempekerjakan individu lain (agent) untuk melakukan pekerjaan dan kemudian
mendelegasikan

otorisasi

pengambilan

keputusan

kepada

agent

tersebut.

Masalah keagenan (agency problem) dapat muncul ketika principals kesulitan untuk
memastikan bahwa agent bertindak untuk memaksimumkan kesejahteraan principals
(Wedari, 2004). Terkait dengan hipotesis dari positive accounting theory,
perilaku oportunistik agent seringkali terlihat saat agent memilih kebijakan
akuntansi yang sesuai dengan kepentingan mereka, meskipun kebijakan
tersebut bukan yang terbaik bagi principals (Sugiarto, 2009).
Teori

keagenan

memiliki

asumsi

bahwa

masing-masing

individu

semata-mata

termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan


antara principal dan agent. Pihak principals termotivasi mengadakan kontrak untuk
mensejahterakan dirinya dengan profitabilitas yang selalu meningkat. Agent termotivasi
untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan psikologinya, antara lain
dalam hal memperoleh investasi, pinjaman, maupun kontrak kompensasi (Maruf,
2006).
Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut manajer sebagai manusia
akan bertindak opportunistic, yaitu mengutamakan kepentingan pribadinya hal
ini yang menyebabkan tidak semua pembiayaan yang diberikan kepada nasabah akan
dikembalikan sesuai dengan kesepakatan (Haris, 2004 dalam Ujiyantho dan Pramuka,
2007).
Masalah terjadi ketika agent (tim manajemen) memiliki kepentingan pribadi yang
sebagian besar bertentangan dengan kepentingan pemilik perusahaan (principals),
sehingga

upaya

memaksimalkan

nilai

perusahaan

tidak

selalu

terpenuhi.

Masalah tipe kedua diungkapkan Sugiarto (2009) seperti pengambilalihan hak-hak


investor kecil oleh pemegang saham yang memiliki kontrol yang besar. Sementara

masalah ketiga, yaitu konflik antara pemegang saham dan pemberi pinjaman,
disebabkan oleh perbedaan sikap antara dua pihak (Choi, 1992 dalam Sugiarto, 2009).

Pemberi pinjaman selalu berharap agar bisnis perusahaan berjalan aman sehingga uang
yang dipinjamkan dapat kembali,namun pemegang saham bisa saja memilih

bisnis yang berisiko tinggi dengan harapan memperoleh return yang lebih
tinggi.
Hal lain yang dapat menyebabkan timbulnya masalah keagenan selain yang disebutkan
adalah adanya kesenjangan informasi antara principals dan agent yang biasa disebut
dengan

asimetri

informasi

(information

asymmetry).

Asimetri

informasi

adalah

ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh principals dan agent. Ketika prinsipals tidak
memiliki informasi yang cukup tentang kinerja agent, sementara agent memiliki lebih
banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja dan perusahaan secara
keseluruhan (Widyaningdyah, 2001 dalam Ningsaptiti, 2010). Asimetri antara manajemen
(agent) dengan pemilik (principals) dapat memberikan kesempatan kepada manajer untuk
melakukan

manajemen

laba

(earnings

management) dalam rangka menyesatkan pemilik (pemegang saham) mengenai kinerja


ekonomi perusahaan (Ujiyantho dan Pramuka, 2007).
Jensen dan Meckling (1976) mengidentifikasi dua cara untuk mengatasi masalah ini, yaitu investor
luar melakukan pengawasan (monitoring) dan manajer sendiri melakukan pembatasanpembatasan
atas tindakantindakannya (bonding). Pada satu sisi, kedua kegiatan tersebut akan mengurangi
kesempatan penyimpangan oleh manajer sehingga nilai perusahaan akan meningkat sedangkan pada
sisi yang lain keduanya akan memunculkan biaya sehingga akan mengurangi nilai perusahaan. Jensen
dan Meckling (1976) menyatakan bahwa calon investor akan mengantisipasi adanya kedua biaya
tersebut ditambah dengan kerugian yang masih muncul meskipun sudah ada monitoring dan bonding,
yang disebut residual cost. Antisipasi atas ketiga biaya yang didefinisikan sebagai biaya agensi ini
nampak

pada

harga

saham

yang

terdiskon

saat

perusahaan

menjual

sahamnya.

Hubungan kontrak keuangan seperti dalam mudharabah ini biasanya


dikenal dengan nama hubungan keagenan. Oleh karena itu, kontrak
seperti ini menuntut adanya transparansi bagi kedua belah pihak. Jika
salah satu pihak (utamanya nasabah) tidak menyampaikan secara
transparan tentang hal-hal yang berhubungan dengan perolehan hasil,
sehingga dapat terjadi aktivitas adverse selection yaitu masalah yang
timbul dalam menyeleksi nasabah yang akan diberikan pembiayaan, hal ini
disebabkan karena susahnya pihak bank untuk mengetahui dengan pasti
kriteria yang dimiliki calon nasabah, bank mungkin akan salah dalam
menilai kriteria nasabah. Sedangkan moral hazard yaitu masalah yang
dihadapi pihak bank ketika pembiayaan sudah dijalankan, adanya risiko
bahwa nasabah kemungkinan menggunakan dana yang diberikan tidak
untuk semestinya dan kemungkinan nasabah akan melaporkan hasil yang
didapatkan tidak sesuai dengan yang seharusnya. Dalam transaksi
keuangan,
masalah adverse
selection dan moral
hazard merupakan
masalahasymmetric information. Kontrak mudharabah adalah kontrak
keuangan yang sarat dengan aktivitas asymmetric information.
Rendahnya porsi pembiayaan mudharabah terkait dengan belum siapnya bank
syariah untuk menyalurkan pembiayaannya dalam bentuk akad mudharabah, hal ini
disebabkan masih kurangnya SDM yang menguasai hukum syariah Islam. Bank
syariah
menghadapi
masalah
yang
melekat
pada
kontrak mudharabah yaitu adanyaasymmetric information. Asymmetric
information adalah perbedaan informasi yang didapatkan antara pihak bank syariah
dan nasabah, dalam hal ini nasabah lebih banyak mengetahui tentang keadaan
usaha yang dijalankannya berbanding terbalik dengan pihak bank syariah sehingga
kemungkinan
terjadinya
penyimpangan
sangat
besar.
Pembiayaan mudharabah adalah pembiayaan yang menuntut kejujuran
dan amanah. Untuk mengatasi masalah keagenan yaitu masalah yang timbul
akibat terjadinya hubungan antara bank syariah sebagai shahibul maal dan
nasabah sebagai mudharib, dalam hubungan ini akan terjadi perbedaan informasi
yang didapat, dimana pihak nasabah lebih banyak mengetahui tentang informasi
mengenai usaha yang dibiayai oleh bank syariah. Bank syariah dapat menerapkan
beberapa solusi salah satunya, yaitu dengan mengoptimalisasi skema bagi hasil
pada pembiayaan mudharabah. Dengan skema bagi hasil yang optimal, diharapkan
permasalahan principal-agentdalam
kontrak mudharabah dapat
diminimalisir.
Optimalisasi skema bagi hasil merupakan suatu cara untuk berlaku adil dalam porsi
bagi hasil antara bank (shahibul mall) dan nasabah (mudharib) sehingga dapat
meminimalkan risiko terjadinya masalah keagenan dalam pembiayaan mudharabah.

Mudharabah Sebagai Produk Pembiayaan Bank Syariah

Dalam pembiayaan mudharabah dikenal dengan principal-agent adalah hubungan yang


dimana principal mendelegasikan wewenang kepada agent dalam hal pengelolaan usaha
sekaligus pengambil keputusan dalam perusahaan (Jensen dan Meckling, 1976 dalam Maharani,
2008). Maharani (2008) menyebutkan permasalahan yang timbul dalam hubungan principalagent yaitu,

(1)

Ketika

pihak agent memiliki

kepentingan

yang

berbeda

dengan principal sehingga masing-masing pihak berusaha untuk memaksimalkan kepentingan


mereka. Agentyang seharusnya menjalankan amanah principal telah melanggar komitmen
dengan tidak selalu bertindak untuk kepentingan terbaik principal. (2) Sulit dan mahalnya
bagi principal untuk membuktikan usaha yang dilakukan agent. (3) Masalah pembagian risiko
ketika principal dan agent memiliki perbedaan risiko yang ditanggung.
Masalah principal-agent dalam
kepentingan mudharib bertentangan

akad mudharabah terjadi


dengan

kepentingan

pemilik

dana.

ketika
Dalam

hal

ini mudharib bertindak mengabaikan hubungan kontraktual dan akan bertindak tidak
berdasarkan kepentingan pemilik dana. Sedangkan dalam akad mudharabah, pemilik dana
tidak

diperbolehkan

untuk

ikut

campur

dalam

masalah

pengelolaan

usaha

sehingga mudharib memiliki informasi yang lebih banyak dan menciptakan peluang
terjadinya asymmetric information.
Dalam akad mudharabah ada risiko bahwa pembiayaan yang telah diberikan
kepada mudharib tidak dipergunakan sebagaimana mestinya untuk memaksimalkan
keuntungan kedua belah pihak. Ketika dana dikelola oleh mudharib, maka akses informasi
bank terhadap usaha mudharib menjadi terbatas. Dengan demikian terjadi asymmetric
information di mana mudharib mengetahui informasi-informasi yang tidak diketahui oleh
pihak

bank.

Hal

ini

yakni mudharib melakukan

dapat

memicu

hal-hal

yang

timbulnya moral
hanya

hazard dari mudharib,

menguntungkan mudharib dan

merugikan shahibul maal. Di antaranya:


1. Side streaming, nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang disebut dalam kontrak
2. Lalai dan kesalahan yang disengaja
3. Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur.

Kurangnya informasi menciptakan masalah dalam sistem keuangan pada dua hal, yaitu
sebelum transaksi dilakukan yaitu adverse selection dan sesudah transaksi terjadi yaitumoral
hazard.
Adverse selection merupakan permasalahan yang timbul ketika pemilik dana memilih
entrepreneur yang akan diberikan kredit/pembiayaan (Tarsidin, 2010). Hal ini dikarenakan
pemilik dana/shahibul maal tidak mengetahui dengan pasti karakteristik mudharib. Mishkin
(2008) menjelaskan bahwa adverse selection dalam pasar keuangan terjadi ketika peminjam
potensial yang kemungkinan besar membuahkan hasil yang tidak diinginkan (adverse) yaitu
risiko kredit yang buruk.
Tarsidin (2010) menjelaskan bahwa Moral hazard merupakan permasalahan yang timbul
ketika mudharib menggunakan pembiayaan yang diterimanya tidak sesuai dengan yang
diperjanjikan. Tarsidin (2010) yang dikutip dari Holmstrom (1979) menyebutkan sumber
dari moral hazard adalahasymmetric information, yakni tindakan agent tidak dapat diobservasi.
Masalah moral hazard nasabah ini menurut Chapra (2001) lambat laun akan teratasi apabila mekanisme kekuatan
pasar berjalan, karena menurutnya, tidak hanya satu dua orang pengusaha yang akan meminjam dari bank. Akan ada ribuan
pengusaha dan mereka yang bertindak curang akan tercermin dari hasil yang mereka umumkan, dibandingkan dengan mereka
yang jujur. Jadi mereka akan merusak sendiri kepentingan jangka panjang mereka akibat peringkat kredit yang buruk. Ini akan
menyulitkan mereka mendapatkan pembiayaan dimasa datang, karena peringkat ini bukan hanya akan beredar dikalangan bank
tapi juga terbuka bagi umum.
alasannya beberapa pemilik dana (shahibul maal) menolak menggunakan skema bagi hasil antara lain disebabkan anggapan
bahwa skema bagi hasil itu tidak efisien, sedangkan dari pihak pelaksana usaha (mudharib) disebabkan skema bagi hasil dinilai
tidak incentive compatible. Tarsidin (2010) menyebutkan bahwa penerapan skema bagi hasil tersebut diasosiasikan dengan
tingginya biayamonitoring dan verifikasi, karena dengan skema bagi hasil standar (yang tidak didesain sedemikian rupa untuk
mencapai optimalisasi pihak-pihak yang berkontrak) memang permasalahan moral hazard yang ditimbulkan besar dan sebagai
implikasinya biaya monitoring dan verifikasi juga besar. Oleh karena itu, tentunya perlu di desain skema bagi hasil yang optimal,
yang secara efisien dapat mendorong mudharib untuk menggunakan dananya dengan cara-cara dan upaya terbaik
serta. Beberapa

permasalahan

yang

dihadapi

dalam

penerapan

skema

bagi

hasil,

antara

lain

berupa

tingginya

biaya monitoring dan verifikasi untuk mengatasi permasalahan principal-agent berupa moral hazard. Di samping itu terdapat pula
permasalahan adverse selection.

Muhammad (2008) berpendapat bahwa kontrak mudharabah adalah kontrak keuangan


yang sarat dengan asymmetric information, bahkan asymmetric information merupakan suatu
yang pasti terjadi dalam kontrak mudharabah. Implikasi dari permasalahan asymmetric
information tersebut adalah bahwa biaya monitoring dan verifikasi pada skema bagi hasil
diperkirakan lebih besar daripada skema bunga. Monitoring dan verifikasi atas besarnya profit
sangat menentukan besarnya pendapatan bagi hasil sehingga tentunya perlu dilakukan lebih
intensif.
Permasalahan moral

hazard merupakan

masalah

terbesar

yang

dihadapi

pada

penerapan skema bagi hasil. Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan mendesain suatu
skema bagi hasil yang dapat dengan efisien mendorong pihak-pihak yang berkontrak
melakukan upaya terbaiknya.
Tarsidin (2010) menjelaskan skema bagi hasil yang optimal, yakni skema yang secara
efisien dapat mendorong mudharib untuk melakukan upaya atau tindakan terbaiknya dan
menekan permasalahan moral hazard. Hal-hal utama yang berpengaruh dalam skema bagi
hasil adalah pengungkapan karakter nasabah yang benar, jumlah bagi hasil yang diharapkan
oleh kedua belah pihak, level upaya nasabah dan pelaporan hasil profit yang dihasilkan yang
nantinya akan dibagikan antara shahibul maal dan mudharib. Jensen dan Meckling (1976)
dalam Muhammad (2008) menjelaskan dalam praktik keuangan modern, ada dua cara yang
dapat dilakukan pemilik dana (shahibul maal) untuk mengurangi risiko akibat tindakan nasabah
(mudharib) yang merugikan, yaitu: (1) pemilik modal melakukan pengawasan (monitoring) dan
(2) nasabah sendiri melakukan pembatasan atas tindakan-tindakannya (bonding). Implikasi
kedua kegiatan ini adalah: (1) dapat mengurangi kesempatan penyimpangan nasabah sehingga
nilai perusahaan (proyek) meningkat dan (2) akan memunculkan biaya sehingga akan
berdampak mengurangi nilai perusahaan/proyek.

Tarsidin

(2010)

mengungkapkan

karakter mudharib akan

menentukan

produktivitasnya dalam menghasilkan profit dan prioritas terhadap level upaya yang akan
dilakukannya. Kesalahan dalam penilaian produktivitas mudharib dalam menghasilkan profit

dan prioritas mudharib terhadap level upaya yang akan dilakukan akan berdampak langsung
pada utilitas shahibul maal, karena kedua hal tersebut akan sangat menentukan besarnya profit
dan pendapatan bagi hasil yang akan diterima shahibul maal.
.

Anda mungkin juga menyukai