BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
Selama waktu ini, jumlah sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel perml darah
sebelum infeksi mencapai sekitar 200-300 per ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi.
Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi ( herpes zoster dan jamur
oportunistik ) muncul, Jumlah T4 kemudian menurun akibat timbulnya penyakit baru
akan menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya terjadi infeksi yang parah. Seorang
didiagnosis mengidap AIDS apabila jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per ml
darah, atau apabila terjadi infeksi opurtunistik, kanker atau dimensia AIDS.
2.2.4 Klasifikasi
Sejak 1 januari 1993, orang-orang dengan keadaan yang merupakan indicator
AIDS (kategori C) dan orang yang termasuk didalam kategori A3 atau B3 dianggap
menderita AIDS.
a. Kategori Klinis A
Mencakup satu atau lebih keadaan ini pada dewasa / remaja dengan infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV) yang sudah dapat dipastikan tanpa keadaan dalam
kategori klinis B dan C
1) Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang simptomatik.
2) Limpanodenopati generalisata yang persisten ( PGI : Persistent Generalized
Limpanodenophaty )
3) Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV ) primer akut dengan sakit yang
menyertai atau riwayat infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang akut.
b. Kategori Klinis B
Contoh-contoh keadaan dalam kategori klinis B mencakup :
1) Angiomatosis Baksilaris
2) Kandidiasis Orofaring / Vulvavaginal (peristen,frekuen / responnya jelek terhadap
terapi)
3) Displasia Serviks ( sedang / berat karsinoma serviks in situ )
4) Gejala konstitusional seperti panas ( 38,5o C ) atau diare lebih dari 1 bulan.
5) Leukoplakial yang berambut
6) Herpes Zoster yang meliputi 2 kejadian yang berbeda / terjadi pada lebih dari satu
dermaton saraf.
7) Idiopatik Trombositopenik Purpura
8) Penyakit inflamasi pelvis, khusus dengan abses Tubo Varii
c. Kategori Klinis C
Contoh keadaan dalam kategori pada dewasa dan remaja mencakup :
1) Kandidiasis bronkus,trakea / paru-paru, esophagus
2) Kanker serviks inpasif
3) Koksidiomikosis ekstrapulmoner / diseminata
4) Kriptokokosis ekstrapulmoner
5) Kriptosporidosis internal kronis
6) Cytomegalovirus ( bukan hati,lien, atau kelenjar limfe )
7) Refinitis Cytomegalovirus ( gangguan penglihatan )
8) Enselopathy berhubungan dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV)
9) Herpes simpleks (ulkus kronis,bronchitis,pneumonitis / esofagitis )
10) Histoplamosis diseminata / ekstrapulmoner
11) Isoproasis intestinal yang kronis
12) Sarkoma Kaposi
13) Limpoma Burkit , Imunoblastik, dan limfoma primer otak
14) Kompleks mycobacterium avium ( M.kansasi yang diseminata / ekstrapulmoner )
2.2.5 Gejala Dan Tanda Pasien AIDS secara khas punya riwayat gejala dan tanda
penyakit. Pada infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) primer akut yang
lamanya 1 2 minggu pasien akan merasakan sakit seperti flu. Dan disaat fase
supresi imun simptomatik (3 tahun) pasien akan mengalami demam, keringat
dimalam hari, penurunan berat badan, diare, neuropati, keletihan ruam kulit,
limpanodenopathy, pertambahan kognitif, dan lesi oral. Dan disaat fase infeksi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) menjadi AIDS (bevariasi 1-5 tahun dari
pertama penentuan kondisi AIDS) akan terdapat gejala infeksi opurtunistik, yang
paling umum adalah Pneumocystic Carinii (PCC), Pneumonia interstisial yang
disebabkan suatu protozoa, infeksi lain termasuk meningitis, kandidiasis,
cytomegalovirus, mikrobakterial, atipikal.
1. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) Acut gejala tidak khas dan mirip
tanda dan gejala penyakit biasa seperti demam berkeringat, lesu mengantuk, nyeri
sendi, sakit kepala, diare, sakit leher, radang kelenjar getah bening, dan bercak
merah ditubuh.
2. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) tanpa gejala.
Diketahui oleh pemeriksa, kadar Human Immunodeficiency Virus (HIV) dalam darah
akan diperoleh hasil positif.
3. Radang kelenjar getah bening menyeluruh dan menetap, dengan gejala
pembengkakan kelenjar getah bening diseluruh tubuh selama lebih dari 3 bulan.
2.2.6 Komplikasi
a. Oral
Lesi Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis,
peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi, dehidrasi,
penurunan berat badan, keletihan dan cacat.
b. Neurologik
kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human Immunodeficiency
Virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan
motorik, kelemahan, disfasia, dan isolasi sosial.
Enselophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia,
ketidakseimbangan elektrolit, meningitis / ensefalitis. Dengan efek : sakit kepala,
malaise, demam, paralise total / parsial.
Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler, hipotensi sistemik, dan maranik
endokarditis.
Neuropati karena imflamasi demielinasi oleh serangan Human Immunodeficienci
Virus (HIV)
c. Gastrointestinal
Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan
Infeksi oleh sel dengan reseptor CD4 dalam vili chorialis dan sel endothel villi.
Tidak jelas apakah infeksi HIV-1 pada plasenta dapat memfasilitasi infeksi
HIV-1 pada janin atau justru dapat mencegah infeksi terhadap janin dengan
melakukan tindakan isolasi terhadap virus.
e. Persalinan preterm
2) Faktor yang menurunkan penularan
a. Adanya antibodi terhadap protein HIV gp 120
b. Perawatan prenatal yang berkualitas
c. Pemberian ZDV ( zidovudine )
Berikut perawatan ibu hamil dengan HIV ;
Pada prinsipnya pemeriksaan HIV adalah merupakan bagian dari pemeriksaan
antenatal yang bersifat sukarela. Konseling adalah bagian penting dari perawatan
bagi penderita HIV.
Strategi perawatan bagi ibu hamil berbeda dengan strategi perawatan pada ibu tidak
hamil.
Tujuan terapi :
Menekan jumlah virus.
Restorasi dan preservasi fungsi imunologis.
Pada pasien tak hamil, terapi ditawarkan bila CD4+ T cells , 350 sel/mm3 atau kadar
HIV RNA plasma > 55.000 copi/mL. Pada wanita hamil, terapi harus lebih agresif
oleh karena penurunan kadar RNA adalah penting bagi penurunan transmisi
perinatal tanpa memperhitungkan CD4+ atau kadar HIV-RNA plasma.
Sampai saat ini belum ada pengobatan AIDS yang memuaskan. Pemberian AZT
(Zidovudine) dapat memperlambat kematian dan menurunkan frekuensi serta
beratnya infeksi oportunistik. Pengobatan infeksi HIV dan penyakit oportunistiknya
dalam kehamilan merupakan masalah, karena banyak obat belum diketahui dampak
buruknya dalam kehamilan. Zidovudine (juga di kenal dengan ZDV, AZT atau
Retrovir) merupakan obat pertama yang di lisensi untuk mengobati HIV. Saat ini
penggunannya dikombinasikan dengan obat anti-virus lainnya dan sering
dipergunakan untuk mencegah penularan ke bayi. ZDV harus diberikan sejak
trimester II dan dilanjutkan terus selama kehamilan dan persalinan. Efek samping
berupa mual, muntah dan sel darah merah dan putih yang menurun. Jika tidak
diambil langkah langkah pencegahan, risiko penularan HIV setelah kelahiran
diperkirakan 10-20%. Kemungkinan penularan lebih besar lagi jika bayi terekspos
darah atau cairan yang ada HIVnya. Penolong persalinan harus menghindarkan
memecahkan ketuban, episiotomi, serta prosedur - prosedur lain yang mengekspos
bayi dengan darah atau cairan darah ibu. Penurunan resiko penularan ketika
kelahiran dengan seksio sesaria. Penularan kepada penolong persalinan dapat
terjadi dengan rate 0-1% pertahun exposure. Oleh karena itu dianjurkan untuk
melaksanakan upaya pencegahan terhadap penularan infeksi bagi petugas kamar
bersalin sebagai berikut:
1. Gunakan pakaian, sarung tangan dan masker yang kedap air dalam menolong
persalinan
2. Gunakan sarung tangan saat menolong bayi
3. Cucilah tangan setelah selesai menolong penderita AIDS
4. Gunakan pelindung mata (kacamata)
5. Peganglah plasenta dengan sarung tangan dan beri label sebagai barang
infeksius
6. Jangan menggunakan penghisap lendir bayi melalui mulut
7. Bila dicurigai adanya kontaminasi, lakukan konseling dan periksa antibody
terhadap HIV serta dapatkan AZT sebagai profilaksis
Perawatan pascapersalinan perlu diperhatikan yaitu kemungkinan penularan melalui
pembalut wanita, lochea, luka episiotomi ataupun luka SC.
Suatu penelitian tahun 1994 oleh National Institutes of Health (AS) mendapatkan
bahwa dengan pemberian ZDV pada bumil yang HIV-positif saat hamil dan pada
bayinya (dalam 8-12 jam setelah lahir) akan menurunkan risiko penularan kebayi
sebesar 66 persen. Bayi harus diberikan ZDV selama 6 minggu pertama
kehidupannya. Delapan persen bayi masih akan terkena infeksi jika ibunya diobati
dengan ZDV, dibandingkan 25 persen jika tidak diobati. Tidak ada gejala efek
samping yang berarti pada bayi selain adanya anemia ringan yang akan segera
membaik ketika pemberian obat dihentikan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penyakit HIV AIDS merupakan penyakit yang menyerang sistem imun / kekebalan
tubuh yaitu pada Limfosit T-helper, dengan gejala gejala yang disertai dengan
infeksi oportunistik. Pada kehamilan dan persalinan terdapat resiko yang cukup
tinggi dengan tertularnya virus dari ibu dengan HIV (+) kepada bayinya dengan cara
melalui plasenta, pada saat persalinan dan menyusui. Tetapi hal ini dapat diturunkan
resikonya dengan pemberian Zidovudine selama kehamilan dan menghindari
melakukan tindakan tindakan yang dapat membuat bayi terpajan dengan darah ibu
HIV (+).
3.2 Saran
Saran dan kritik dari pembaca atas makalah yang telah kami tulis ini sangat
diperlukan agar dapat diperbaiki pada penulisan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA