Anda di halaman 1dari 8

makalah AIDS

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Lebih dari 60 juta orang dalam 20 tahun terakhir terinfeksi Human
Imunodeficiency Virus (HIV). Dari jumlah itu, 20 juta orang meninggal karena
Acquired Immune Dificiency Syndrome (AIDS). Gallo dan Montagnier (2003) :
Mengemukakan bahwa sindroma acquired immunodeficiency ini dikenal pertama kali
tahun 1987 pada sekelompok penderita yang mengalami gangguan pada imunitas
seluler dan menderita infeksi Pneumocystis carini. Steinbrook dkk (2004) : pada
tahun 2003 jumlah penderita AIDS diperkirakan 40 juta dengan tambahan 5 juta
kasus baru pertahun serta angka kematian yang berhubungan dengan HIV-AIDS
sekitar 3 juta jiwa pertahun. Centre for Disease Control and Preventions (2002b)
memperkirakan bahwa di US pada tahun 2001 terdapat 1.3 1.4 juta pasien yang
terinfeksi oleh HIV dan lebih dari 500.000 juta diantaranya meninggal dunia.
Ibu hamil dengan menderita penyakit HIV AIDS kemungkinan akan memperberat
kemilannya dan pada saat proses persalinan. Oleh karena itu akan perlu diketahui
bagaimana penanganan / penatalaksanaan pada ibu hamil dan bersalin yang
mengidap HIV AIDS, dan hal tersebut akan dibahas pada makalah ini.
1.2 Tujuan
Penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Mata Kuliah
Kebidanan 4A . Serta mahasiswa mampu menjelaskan tentang infeksi yang
menyertai kehamilan dan persalinan yaitu penyakit HIV / AIDS.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 HIV / AIDS


2.2.1 Pengertian AIDS
AIDS atau Acquired Immune Deficiency Sindrome merupakan kumpulan gejala
penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh virus yang disebut HIV.
Dalam bahasa Indonesia dapat dialih katakan sebagai Sindrome Cacat Kekebalan
Tubuh Dapatan. Acquired : Didapat, Bukan penyakit keturunan Immune : Sistem
kekebalan tubuh Deficiency : Kekurangan Syndrome : Kumpulan gejala-gejala
penyakit Kerusakan progresif pada sistem kekebalan tubuh menyebabkan ODHA
( orang dengan HIV /AIDS ) amat rentan dan mudah terjangkit bermacam-macam
penyakit. Serangan penyakit yang biasanya tidak berbahaya pun lama-kelamaan
akan menyebabkan pasien sakit parah bahkan meninggal. AIDS adalah sekumpulan
gejala yang menunjukkan kelemahan atau kerusakan daya tahan tubuh yang
diakibatkan oleh factor luar ( bukan dibawa sejak lahir ). AIDS diartikan sebagai
bentuk paling erat dari keadaan sakit terus menerus yang berkaitan dengan infeksi
Human Immunodefciency Virus ( HIV ). ( Suzane C. Smetzler dan Brenda G.Bare ).
AIDS diartikan sebagai bentuk paling hebat dari infeksi HIV, mulai dari kelainan
ringan dalam respon imun tanpa tanda dan gejala yang nyata hingga keadaan
imunosupresi dan berkaitan dengan pelbagi infeksi yang dapat membawa kematian
dan dengan kelainan malignitas yang jarang terjadi ( Center for Disease Control and
Prevention )
2.2.2 Etiologi
AIDS disebabkan oleh virus yang mempunyai beberapa nama yaitu HTL II, LAV,
RAV. Yang nama ilmiahnya disebut Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) yang
berupa agen viral yang dikenal dengan retrovirus yang ditularkan oleh darah dan
punya afinitas yang kuat terhadap limfosit T.
2.2.3 Patofisiologi
Sel T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans ( sel imun ) adalah sel-sel
yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) dan terkonsentrasi dikelenjar
limfe, limpa dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi
sel lewat pengikatan dengan protein perifer CD 4, dengan bagian virus yang
bersesuaian yaitu antigen grup 120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam
respon imun, maka Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lain
dengan meningkatkan reproduksi dan banyaknya kematian sel T 4 yang juga
dipengaruhi respon imun sel killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan
sel yang terinfeksi.
Dengan menurunya jumlah sel T4, maka sistem imun seluler makin lemah secara
progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi
sel T penolong. Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV )
dapat tetap tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-tahun.

Selama waktu ini, jumlah sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel perml darah
sebelum infeksi mencapai sekitar 200-300 per ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi.
Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi ( herpes zoster dan jamur
oportunistik ) muncul, Jumlah T4 kemudian menurun akibat timbulnya penyakit baru
akan menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya terjadi infeksi yang parah. Seorang
didiagnosis mengidap AIDS apabila jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per ml
darah, atau apabila terjadi infeksi opurtunistik, kanker atau dimensia AIDS.
2.2.4 Klasifikasi
Sejak 1 januari 1993, orang-orang dengan keadaan yang merupakan indicator
AIDS (kategori C) dan orang yang termasuk didalam kategori A3 atau B3 dianggap
menderita AIDS.
a. Kategori Klinis A
Mencakup satu atau lebih keadaan ini pada dewasa / remaja dengan infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV) yang sudah dapat dipastikan tanpa keadaan dalam
kategori klinis B dan C
1) Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang simptomatik.
2) Limpanodenopati generalisata yang persisten ( PGI : Persistent Generalized
Limpanodenophaty )
3) Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV ) primer akut dengan sakit yang
menyertai atau riwayat infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang akut.
b. Kategori Klinis B
Contoh-contoh keadaan dalam kategori klinis B mencakup :
1) Angiomatosis Baksilaris
2) Kandidiasis Orofaring / Vulvavaginal (peristen,frekuen / responnya jelek terhadap
terapi)
3) Displasia Serviks ( sedang / berat karsinoma serviks in situ )
4) Gejala konstitusional seperti panas ( 38,5o C ) atau diare lebih dari 1 bulan.
5) Leukoplakial yang berambut
6) Herpes Zoster yang meliputi 2 kejadian yang berbeda / terjadi pada lebih dari satu
dermaton saraf.
7) Idiopatik Trombositopenik Purpura
8) Penyakit inflamasi pelvis, khusus dengan abses Tubo Varii
c. Kategori Klinis C
Contoh keadaan dalam kategori pada dewasa dan remaja mencakup :
1) Kandidiasis bronkus,trakea / paru-paru, esophagus
2) Kanker serviks inpasif
3) Koksidiomikosis ekstrapulmoner / diseminata
4) Kriptokokosis ekstrapulmoner
5) Kriptosporidosis internal kronis
6) Cytomegalovirus ( bukan hati,lien, atau kelenjar limfe )
7) Refinitis Cytomegalovirus ( gangguan penglihatan )
8) Enselopathy berhubungan dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV)
9) Herpes simpleks (ulkus kronis,bronchitis,pneumonitis / esofagitis )
10) Histoplamosis diseminata / ekstrapulmoner
11) Isoproasis intestinal yang kronis
12) Sarkoma Kaposi
13) Limpoma Burkit , Imunoblastik, dan limfoma primer otak
14) Kompleks mycobacterium avium ( M.kansasi yang diseminata / ekstrapulmoner )

15) M.Tubercolusis pada tiap lokasi ( pulmoner / ekstrapulmoner )


16) Mycobacterium, spesies lain, diseminata / ekstrapulmoner
17) Pneumonia Pneumocystic Cranii
18) Pneumonia Rekuren
19) Leukoenselophaty multifokal progresiva
20) Septikemia salmonella yang rekuren
21) Toksoplamosis otak
22) Sindrom pelisutan akibat Human Immunodeficiency Virus ( HIV)

2.2.5 Gejala Dan Tanda Pasien AIDS secara khas punya riwayat gejala dan tanda
penyakit. Pada infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) primer akut yang
lamanya 1 2 minggu pasien akan merasakan sakit seperti flu. Dan disaat fase
supresi imun simptomatik (3 tahun) pasien akan mengalami demam, keringat
dimalam hari, penurunan berat badan, diare, neuropati, keletihan ruam kulit,
limpanodenopathy, pertambahan kognitif, dan lesi oral. Dan disaat fase infeksi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) menjadi AIDS (bevariasi 1-5 tahun dari
pertama penentuan kondisi AIDS) akan terdapat gejala infeksi opurtunistik, yang
paling umum adalah Pneumocystic Carinii (PCC), Pneumonia interstisial yang
disebabkan suatu protozoa, infeksi lain termasuk meningitis, kandidiasis,
cytomegalovirus, mikrobakterial, atipikal.
1. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) Acut gejala tidak khas dan mirip
tanda dan gejala penyakit biasa seperti demam berkeringat, lesu mengantuk, nyeri
sendi, sakit kepala, diare, sakit leher, radang kelenjar getah bening, dan bercak
merah ditubuh.
2. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) tanpa gejala.
Diketahui oleh pemeriksa, kadar Human Immunodeficiency Virus (HIV) dalam darah
akan diperoleh hasil positif.
3. Radang kelenjar getah bening menyeluruh dan menetap, dengan gejala
pembengkakan kelenjar getah bening diseluruh tubuh selama lebih dari 3 bulan.
2.2.6 Komplikasi
a. Oral
Lesi Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis,
peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi, dehidrasi,
penurunan berat badan, keletihan dan cacat.
b. Neurologik
kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human Immunodeficiency
Virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan
motorik, kelemahan, disfasia, dan isolasi sosial.
Enselophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia,
ketidakseimbangan elektrolit, meningitis / ensefalitis. Dengan efek : sakit kepala,
malaise, demam, paralise total / parsial.
Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler, hipotensi sistemik, dan maranik
endokarditis.
Neuropati karena imflamasi demielinasi oleh serangan Human Immunodeficienci
Virus (HIV)
c. Gastrointestinal
Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan

sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan, anoreksia, demam,


malabsorbsi, dan dehidrasi.
Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma, sarcoma Kaposi, obat illegal, alkoholik.
Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik, demam atritis.
Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang
sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal
dan diare.
d. Respirasi Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus influenza,
pneumococcus , dan strongyloides dengan efek nafas pendek ,batuk, nyeri,
hipoksia, keletihan, gagal nafas.
e. Dermatologik Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis
karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri,
gatal, rasa terbakar, infeksi skunder dan sepsis.
f. Sensorik
Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan
Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran
dengan efek nyeri.
2.2.7 Penatalaksanaan
Belum ada penyembuhan untuk AIDS, jadi perlu dilakukan pencegahan Human
Immunodeficiency Virus (HIV) untuk mencegah terpajannya Human
Immunodeficiency Virus (HIV), bisa dilakukan dengan :
Melakukan abstinensi seks / melakukan hubungan kelamin dengan pasangan
yang tidak terinfeksi.
Memeriksa adanya virus paling lambat 6 bulan setelah hubungan seks terakhir
yang tidak terlindungi.
Menggunakan pelindung jika berhubungan dengan orang yang tidak jelas status
Human Immunodeficiency Virus (HIV) nya.
Tidak bertukar jarum suntik,jarum tato, dan sebagainya.
Mencegah infeksi ke janin / bayi baru lahir.
Diagnosis penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV) dengan melalui
pemeriksaan serologic dengan metode ELISA (enzyme-linked immunosorbent
assay) dan Western Born
Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka terapinya yaitu :
1. Pengendalian Infeksi Opurtunistik Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan
pemulihan infeksi opurtunistik, nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian
infeksi yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab
sepsis harus dipertahankan bagi pasien dilingkungan perawatan kritis.
2. Terapi AZT (Azidotimidin) Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral
AZT yang efektif terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim pembalik traskriptase.
AZT tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya <3> 500 mm3
3. Terapi Antiviral Baru Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas sistem
imun dengan menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus pada
prosesnya. Obat-obat ini adalah : Didanosine Ribavirin Diedoxycytidine
Recombinant CD 4 dapat larut
4. Vaksin dan Rekonstruksi Virus Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen
tersebut seperti interferon, maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat
menggunakan keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian untuk

menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.


5. Pendidikan untuk menghindari alcohol dan obat terlarang, makan-makanan sehat,
hindari stress, gizi yang kurang, alcohol dan obat-obatan yang mengganggu fungsi
imun.
6. Menghindari infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel T dan
mempercepat replikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV).
2.2 HIV / AIDS dalam Kehamilan dan Persalinan
Selama kehamilan, banyak perubahan sistemik yang terjadi pada tubuh ibu. Hal ini
tentunya akan memperberat kerja organ organ dalam tubuh. Apalagi apabila ibu
tersebut mengidap HIV positif. Tentunya akan memperparah kondisi penyakit dan
kehamilannya. Transmisi vertical virus MTCT)AIDS dari ibu kepada janinnya
(mother to child transmission telah banyak terbukti, akan tetapi belum jelas
diketahui kapan transmisi perinatal tersebut terjadi. Penelitian di AS dan Eropa
menunjukkan bahwa risiko transmisi perinatal pada ibu hamil adalah 20 - 40%.
Transmisi dapat melalui plasenta, perlukaan dalam proses persalinan atau melalui
ASI. Walaupun demikian WHO masih menganjurkan agar ibu dengan HIV (+) tetap
menyusui bayinya mengingat manfaat ASI yang lebih besar dibandingkan dengan
resiko penularannya. Jika seorang wanita tertular HIV, maka risiko menularkan ke
bayi akan rendah jika kondisi tubuh di pertahankan sesehat mungkin. Faktor-faktor
yang bisa meningkatkan risiko penularan adalah: merokok, narkoba, kekurangan
vitamin A, kurang gizi, infeksi seperti STD, menyusui dll. Transmisi perinatal pada
plasenta adalah sebagai berikut ;
1. Mekanisme transmisi virus perinatal

Invasi langsung pada trofoblas dan vili chorialis.

Masuknya limfosit maternal yang terinfeksi kedalam sirkulasi janin.

Infeksi oleh sel dengan reseptor CD4 dalam vili chorialis dan sel endothel villi.

2. Peran plasenta dalam proses transmisi virus

Pemeriksaan invitro menunjukkan bahwa HIV-1 dapat melakukan infeksi pada


trofoblas manusia dan sel Hofbauer pada setiap usia kehamilan

Tidak jelas apakah infeksi HIV-1 pada plasenta dapat memfasilitasi infeksi
HIV-1 pada janin atau justru dapat mencegah infeksi terhadap janin dengan
melakukan tindakan isolasi terhadap virus.

Kecepatan penularan HIV dari ibu ke janin, tergantung sejumlah faktor :


1) Faktor yang meningkatkan penularan
a. Ibu menderita AIDS
b. CD4 rendah ( < 200 sel / mm3)
c. Adanya p24 antigenemia
d. Adanya chorioamnionitis histologis

e. Persalinan preterm
2) Faktor yang menurunkan penularan
a. Adanya antibodi terhadap protein HIV gp 120
b. Perawatan prenatal yang berkualitas
c. Pemberian ZDV ( zidovudine )
Berikut perawatan ibu hamil dengan HIV ;
Pada prinsipnya pemeriksaan HIV adalah merupakan bagian dari pemeriksaan
antenatal yang bersifat sukarela. Konseling adalah bagian penting dari perawatan
bagi penderita HIV.
Strategi perawatan bagi ibu hamil berbeda dengan strategi perawatan pada ibu tidak
hamil.
Tujuan terapi :
Menekan jumlah virus.
Restorasi dan preservasi fungsi imunologis.
Pada pasien tak hamil, terapi ditawarkan bila CD4+ T cells , 350 sel/mm3 atau kadar
HIV RNA plasma > 55.000 copi/mL. Pada wanita hamil, terapi harus lebih agresif
oleh karena penurunan kadar RNA adalah penting bagi penurunan transmisi
perinatal tanpa memperhitungkan CD4+ atau kadar HIV-RNA plasma.
Sampai saat ini belum ada pengobatan AIDS yang memuaskan. Pemberian AZT
(Zidovudine) dapat memperlambat kematian dan menurunkan frekuensi serta
beratnya infeksi oportunistik. Pengobatan infeksi HIV dan penyakit oportunistiknya
dalam kehamilan merupakan masalah, karena banyak obat belum diketahui dampak
buruknya dalam kehamilan. Zidovudine (juga di kenal dengan ZDV, AZT atau
Retrovir) merupakan obat pertama yang di lisensi untuk mengobati HIV. Saat ini
penggunannya dikombinasikan dengan obat anti-virus lainnya dan sering
dipergunakan untuk mencegah penularan ke bayi. ZDV harus diberikan sejak
trimester II dan dilanjutkan terus selama kehamilan dan persalinan. Efek samping
berupa mual, muntah dan sel darah merah dan putih yang menurun. Jika tidak
diambil langkah langkah pencegahan, risiko penularan HIV setelah kelahiran
diperkirakan 10-20%. Kemungkinan penularan lebih besar lagi jika bayi terekspos
darah atau cairan yang ada HIVnya. Penolong persalinan harus menghindarkan
memecahkan ketuban, episiotomi, serta prosedur - prosedur lain yang mengekspos
bayi dengan darah atau cairan darah ibu. Penurunan resiko penularan ketika
kelahiran dengan seksio sesaria. Penularan kepada penolong persalinan dapat
terjadi dengan rate 0-1% pertahun exposure. Oleh karena itu dianjurkan untuk
melaksanakan upaya pencegahan terhadap penularan infeksi bagi petugas kamar
bersalin sebagai berikut:
1. Gunakan pakaian, sarung tangan dan masker yang kedap air dalam menolong
persalinan
2. Gunakan sarung tangan saat menolong bayi
3. Cucilah tangan setelah selesai menolong penderita AIDS
4. Gunakan pelindung mata (kacamata)
5. Peganglah plasenta dengan sarung tangan dan beri label sebagai barang
infeksius
6. Jangan menggunakan penghisap lendir bayi melalui mulut
7. Bila dicurigai adanya kontaminasi, lakukan konseling dan periksa antibody
terhadap HIV serta dapatkan AZT sebagai profilaksis
Perawatan pascapersalinan perlu diperhatikan yaitu kemungkinan penularan melalui
pembalut wanita, lochea, luka episiotomi ataupun luka SC.
Suatu penelitian tahun 1994 oleh National Institutes of Health (AS) mendapatkan

bahwa dengan pemberian ZDV pada bumil yang HIV-positif saat hamil dan pada
bayinya (dalam 8-12 jam setelah lahir) akan menurunkan risiko penularan kebayi
sebesar 66 persen. Bayi harus diberikan ZDV selama 6 minggu pertama
kehidupannya. Delapan persen bayi masih akan terkena infeksi jika ibunya diobati
dengan ZDV, dibandingkan 25 persen jika tidak diobati. Tidak ada gejala efek
samping yang berarti pada bayi selain adanya anemia ringan yang akan segera
membaik ketika pemberian obat dihentikan.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Penyakit HIV AIDS merupakan penyakit yang menyerang sistem imun / kekebalan
tubuh yaitu pada Limfosit T-helper, dengan gejala gejala yang disertai dengan
infeksi oportunistik. Pada kehamilan dan persalinan terdapat resiko yang cukup
tinggi dengan tertularnya virus dari ibu dengan HIV (+) kepada bayinya dengan cara
melalui plasenta, pada saat persalinan dan menyusui. Tetapi hal ini dapat diturunkan
resikonya dengan pemberian Zidovudine selama kehamilan dan menghindari
melakukan tindakan tindakan yang dapat membuat bayi terpajan dengan darah ibu
HIV (+).
3.2 Saran
Saran dan kritik dari pembaca atas makalah yang telah kami tulis ini sangat
diperlukan agar dapat diperbaiki pada penulisan makalah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Wiknyosastro, H. 1999. Ilmu Kebidanan Edisi 3. YBP SP : Jakarta.


Varney. Helen. 2003. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Edisi 4 Volume 1. EGC. Jakarta
Saifuddin, A. 2006. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. YBP SP. Jakarta
http://www.americanpregnancy.org
http://www.odhaindonesia.org/trackback/44

Anda mungkin juga menyukai