WAR, PEACE OR NEUTRALITY: AN OVERVIEW OF ISLAMIC POLITYS
BASIS OF INTER-STATE RELATIONS Kali ini saya akan me-review bacaan mengenai sudut pandang Islam terhadap hubungannya, baik dengan sesama negara muslim maupun nonmuslim yang ditulis oleh Muhammad Hanif Hasan. Dasar dari hubungan internasional dalam Islam dapat ditinjau dari tiga pilihan yang salah satunya mungkin bisa dijadikan acuan bagi negara Islam tersebut dalam menjalankan hubungan internasionalnya. Tiga pilihan tersebut ialah perang, perdamaian, dan netralitas. Kajian Islam dalam hubungan internasional tidak terlepas dari tingginya minat para akademisi untuk mempelajari lebih lanjut mengenai Islam itu sendiri. Berawal dari artikel berjudul Clash of Civilization yang ditulis oleh Samuel P Huntington, intensitas perdebatan mengenai Islam di kalangan para akademisi terus meningkat, ditambah lagi dengan peristiwa 9/11 yang semakin membuat nama Islam menjadi momok tersendiri bagi non-muslim. Sebelum mengkaji lebih jauh mengenai hubungan internasional dalam Islam, terlebih dahulu kita bahas bagaimana hubungan antara Islam dan politik. Politik adalah bagian tak terpisahkan dari Islam. Ada dua konsep yang membahas keterkaitan antara Islam dan politik, yaitu: 1. Islam adalah jalan hidup yang dimana semua aspek kehidupan manusia telah diatur didalamnya termasuk politik yang menjadi bagian dari aspek kehidupan manusia. 2. Manusia diciptakan Allah sebagai khalifah di muka bumi. Maka dari itu untuk menjalankan roda kehidupan di muka bumi manusia harus berpedoman pada Al-quran dan Hadist untuk menjalankan kehidupannya di bumi. Berdasarkan argumen di atas akademisi klasik mengklasifikan negara menjadi dua kategori, yaitu: 1. Dar Al-Islam: Dar yang menetapkan hukum Islam sebagai landasan hukum negaranya, mempunyai kekuasaan penuh atas wilayah tersebut, serta penduduknya aman dari ancaman eksternal. 2. Dar Al-Harb: Dar yang tidak menerapkan hukum Islam di wilayahnya serta warga muslim yang menetap di wilayah tersebut tidak merasa aman dari ancaman eksternal. Dalam memahami dasar relasi antara Dar Al-Islam dan non Dar AlIslam dapat ditinjau dari apakah perang, damai, atau netralitas yang menjadi dasar dari hubungan antara dua entitas politik tersebut. Tingkat individu menjadi dasar dalam memahami hubungan antara dua entitas politik ini, karena akademisi percaya bahwa hubungan internasional adalah perpanjangan tangan dari hubungan individu. Hubungan dua entitas politik yang didasarkan pada peperangan dirujuk pada hadist Nabi yang menyebutkan bahwa,Perangilah kaum
musyrik sampai mereka mengucapkanTiada Tuhan selain Allah. Dalam
hal ini jihad dipandang sebagai sebuah keharusan yang harus dilakukan oleh kaum muslim untuk memerangi orang musyrik sampai Islam tersebar ke seluruh dunia. Ide inilah yang menjadi awal munculnya kategori Dar AlIslam dan Dar Al-Harb. Kategori kedua adalah perdamaian yang dijadikan sebagai dasar hubungan dari dua entitas politik tersebut. Akademisi yang mendukung kategori ini berpendapat bahwa ayat-ayat jihad yang ditafsirkan oleh para penganut kategori pertama adalah kesalahan besar. Seharusnya dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut harus saling dikaitkan satu sama lain agar ditemukan konklusi yang tepat. Para penganut kategori kedua berpendapat bahwa Al-Quran dan Hadist harus ditafsirkan secara kondisional agar masalah yang ada pada saat itu dapat diselesaikan secara damai serta sesuai dengan apa yang diharapkan. Penganut kategori ini percaya bahwa perang bukanlah hal yang tepat dalam menyelesaikan permasalahan antara dua entitas politik ini pada masa modern. Islam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, cinta, dan kasih sayang. Dalam Al-Quran sendiri disebutkan bahwa tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam. Atas dasar dari argumen-argumen di atas dapat disimpulkan bahwa Islam lebih mengutamakan penyelesaian masalah dengan cara diplomasi terlebih dahulu dan menjadikan perang sebagai opsi terakhir apabila opsi-opsi lain mengalami kegagalan. Walaupun perang menjadi opsi terakhir akan tetapi perlu diperhatikan bahwa perang dilakukan apabila manfaat yang diperoleh lebih besar daripada kerugian yang ditimbulkan. Kategori selanjutnya adalah netralitas yang mengacu pada hukum internasional saat ini, menyatakan bahwa,Tidak berpihak pada siapapun dalam perang serta mepertahankan status netralnya dalam berhubungan dengan pihak yang sedang berperang. Dalam hukum internasional netralitas dibagi menjadi dua bagian yaitu netralitas permanen serta netralitas non-permanen dimana suatu negara menyatakan kenetralannya dalam perang tertentu. Dalam literatur Islam sendiri netralitas tidak dijelaskan secara rinci seperti peperangan dan perdamaian. Pada dasarnya akademisi sepakat bahwa netralitas tergantung pada sikap yang diambil oleh penguasa muslim dengan mempertimbangkan kemaslahatan umat Islam. Di akhir tulisannya penulis menjelaskan bahwa sebenarnya dasar dari hubungan antara Dar Al-Islam dan non Dar Al-Islam yang asli adalah perdamaian. Perang hanya diperbolehkan saat umat muslim benar-benar dalam kondisi sangat terdesak dan tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh selain mengobarkan peperangan. Walaupun peperangan diperbolehkan dalam keadaan tertentu, para pemimpin muslim harus mempertimbangkan esensi islam yang sangat fundamental yaitu perdamaian, harmoni, dan toleransi sebelum melakukan peperangan.