Anda di halaman 1dari 26

Barack Obama dalam Politik Luar Negeri AS pada Abad

XXI: Membangun sebuah Imperium Amerika?

Oleh:
Muhammad Darmawan Ardiansyah (1112113000007)
Muhammad Ismail (
Devi Hapsari (1112113000020)
Dosen Pengampu
Rahmi Fitriyanti, S. Sos., M. Si.

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013/2014

DAFTAR ISI

DAFTAR
ISI...................................................................................................
.........
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah.....................................................................
B. Rumusan
Masalah........................................................................
......
C. Tujuan
Penelitian.....................................................................
..........

BAB II

LANDASAN TEORI
A. Level
Analisis.........................................................................
...........
B. Teori Politik Luar
Negeri...................................................................

BAB III

PEMBAHASAN
A. Koridor Politik Luar Negeri
AS.........................................................
B. Visi dan Misi
Obama.........................................................................
C. Dibalik Visi dan Misi
Obama............................................................
D. Perubahan di Masa
Obama................................................................

BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan.................................................................................. ..
...
DAFTAR
PUSTAKA.......................................................................................
........

BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Berakhirnya

perang

dunia

kedua

menjadikan

Amerika

Serikat sebagai negara yang paling diuntungkan dalam perang


tersebut. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri karena AS menjadi
pemimpin dari blok barat yang menjadi pihak pemenang dalam
pertempuran

itu.

Kemenangan

AS

dan

sekutunya

menempatkannya sebagai negara superpower yang sangat


disegani dalam kancah perpolitikan dunia.
Jatuhnya Uni Soviet pasca perang dingin merupakan awal
dari runtuhnya era komunisme yang pada masanya berperan

sebagai penyeimbang dari ideologi liberalisme yang diusung oleh


Amerika Serikat dan sekutunya. Dengan jatuhnya ideologi
komunisme, semakin memperkuat dominasi Amerika Serikat
dalam percaturan politik internasional, sehingga hampir sangat
terasa

bahwa

kontrol

politik

internasional

berada

dalam

genggaman Amerika Serikat dan negara-negara di dunia harus


menyesuaikan politik luar negerinya dengan politik luar negeri
Amerika Serikat.
Setelah perang dingin usai, fokus dunia beralih pada
banyaknya isu-isu baru yang muncul, khususnya terorisme.
Puncak dari isu terorisme ini adalah saat gedung World Trade
Centre dan Pentagon di AS dihancurkan oleh para teroris yang
terindikasi berasal dari jaringan teroris Al-Qaeda di Afghanistan.
Publik dunia dibuat heran oleh peristiwa tersebut, karena AS
yang dikenal sebagai negara yang adidaya dalam segala hal
terutama militer dapat dengan mudah sistem keamanannya
ditembus oleh para teroris.
Serangan tersebut membuat citra AS di mata dunia tak
sedigdaya seperti apa yang telah dirumorkan selama ini.
Presiden George. W Bush yang menjabat pada saat peristiwa itu
terjadi langsung membuat kebijakan yang merubah besarbesaran jalur perpolitikan dunia pada saat itu. Doktrin Bush
dibuat oleh Presiden Bush sebagai reaksi atas peristiwa 9/11.
Doktrin ini dikeluarkan Bush dihadapan kongres AS pada 20
September 2001, dengan tegas dia mengatakan,either you with
us or you are with the terroris. Dia juga menegaskan bahwa,if
you are not with us, you are againts us(Kavoori, 2006: 168).
Dengan

dikeluarkannya

doktrin

tersebut

secara

tidak

langsung telah membagi dunia menjadi dua bagian, teroris dan

bukan teroris, serta memaksa negara-negara di dunia untuk


menentukan sikapnya terhadap pernyataan itu. Mau tidak mau
negara-negara

di

dunia

dipaksa

untuk

membuat

sebuah

kebijakan luar negeri yang menempatkan dirinya menjadi sekutu


AS dalam memerangi terorisme, atau sebagai musuh AS dan
mendukung gerakan terorisme tersebut.
Pernyataan tersebut dikeluarkan AS untuk mencari simpati
dunia internasional dalam memberantas jaringan terorisme di
seluruh dunia. Hal ini tidak lain dan tidak bukan adalah untuk
mengamankan kepentingannya di dalam dan di luar negeri serta
menciptakan rasa aman bagi warga negaranya yang tersebar di
seluruh dunia. Akan tetapi perang terhadap terorisme yang
diusungnya banyak menuai pro dan kontra, baik itu dari negaranegara maupun dari rakyatnya sendiri.
Sejak AS melancarkan invasinya ke timur tengah pada tahun
2003, pihak sipil menjadi pihak yang paling dirugikan. Hal
tersebut terjadi tidak lain adalah karena banyak sekali pihak sipil
yang menjadi korban dari pertempuran ini. Ide Hak Asasi
Manusia yang dikumandangkan AS ke seluruh dunia seakan-akan
hanya

dijadikan

sebagai

alat

politik

untuk

mencapai

kepentingannya terhadap negara lain, tanpa peduli apakah dia


melanggar ide tersebut atau tidak. Hal inilah yang paling banyak
disoroti oleh para pengamat politik internasional.
Akibat dari ketidak konsistenannya dalam menjaga nilai-nilai
HAM yang dianutnya, citra AS yang semula dianggap sebagai
pahlawan dalam perang dunia dua dan perang dingin berubah
menjadi penjahat perang yang tidak pandang bulu dalam
menyerang baik itu lawan maupun warga sipil, banyak yang
menjadi korban kebiadaban AS. Munculnya citra buruk AS di awal

abad 21 ini menjadi tantangan tersendiri bagi presiden Barack


Obama di awal masa kepemimpinannya.
Sejak terpilihnya Barrack Obama sebagai presiden AS yang
ke-44 serta lengsernya Bush menjadi awal baru bagi AS untuk
merubah arah kebijakan politik luar negerinya, khususnya yang
berkaitan dengan isu HAM. Obama ingin mengembalikan citra AS
sebagai penjunjung tinggi HAM dan Demokrasi yang sebelumnya
hancur akibat invasi AS ke timur tengah.
Momen pada saat dilantiknya Barrack Obama sebagai
presiden AS yang ke-44 pada tanggal 20 januari 2009 menjadi
momen bersejarah yang disaksikan oleh dunia internasional dan
publik AS, karena selain menjadi orang kulit hitam pertama yang
menjabat sebagai presiden AS, rakyat AS juga bersuka cita
dengan berakhirnya masa kepemimpinan Bush yang banyak
dianggap gagal dan terburuk.
Terpilihnya Presiden Barrack Obama pada pemilu 2008
menjadi awal dari perubahan-perubahan arah kebijakan luar
negeri AS. Arah kebijakan luar negeri yang semula sangat kental
dengan unsur-unsur militeristik di bawah kepemimpinan presiden
Bush, berubah drastis menuju ke arah isu-isu kerjasama di segala
bidang dalam menjalin hubungan luar negeri dengan negaranegara lainnya di bawah kepemimpinan Obama (Carter, 2013:
156).
Untuk menghapus citra buruk AS di mata dunia, Obama
menjalin hubungan baik khususnya dengan negara-negara Islam,
dengan cara meningkatkan kerjasama dalam bidang ekonomi,
sosial, dan budaya. Usahanya dalam memperbaiki citra AS tidak
sampai disitu saja. Di awal masa kepemimpinannya Obama
menutup penjara Guantanamo yang pada saat itu dicap sebagai

penjara yang sangat tidak berprikemanusiaan serta tidak ada


jaminan HAM bagi para tahanannya.
Peristiwa tersebut menjadi awal yang positif bagi perjalanan
kepemimpinannya

di

masa

yang

akan

datang

untuk

mengembalikan kepercayaan dunia Islam kepada AS. Usahanya


dalam mengembalikan kepercayaan dunia Islam terhadap AS
tidak berhenti disitu saja, pada bulan April dia melakukan
kunjungan kenegaraan ke Turki. Dalam isi pidatonya di Ankara
dia menyampaikan bahwa AS tidak akan dan tidak pernah akan
berperang dengan umat Islam.
Komitmen Obama untuk mengembalikan citra baik AS
dimata dunia patut diberi apresiasi yang sebesar-besarnya.
Karena

butuh

usaha

yang

besar

dalam

mengembalikan

kepercayaan dunia terhadap AS. Usaha yang paling banyak


dilakukan oleh Obama dalam hal ini terfokus dalam menjalin
hubungan kerjasama yang baru dengan negara-negara di dunia
khusunya Islam.
Perubahan kebijakan politik luar negeri AS di bawah
kepemimpinan Obama sangat signifikan sekali. Kebijakan politik
luar negeri AS yang semula dikenal sangat dominan dengan
unsur-unsur militeristik dibawah pimpinan Bush, secara perlahanlahan

berubah

di

bawah

pimpinan

Obama

yang

lebih

mengedepankan soft diplomacy dalam menjalankan politik luar


negerinya untuk menghapus citra buruknya dimata dunia.
B. Rumusan Masalah
1) Bagaimana

pengaruh

presiden

Brrack

Obama

terhadap perubahan politik luar negeri AS di abad ke


21 ini?

2) Perubahan apa saja yang telah dilakukan oleh


presiden Barack Obama di masa kepemimpinannya?
C. Tujuan Penelitian
1) Untuk dapat lebih memahami arah kebijakan politik
luar negeri AS.
2) Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai perubahan
arah

kebijakan

politik

luar

negeri

AS

di

era

kepemimpinan Obama.
3) Untuk memenuhi tugas kelompok Politik Luar Negeri
Amerika Serikat.

BAB II
Landasan Teori
A. Level Analisis
Untuk memahami serta menganalisis perubahan sifat politik
luar negeri Amerika Serikat pada masa pemerintahan Barrack
Obama,

kami

menggunakan

level

analisis

individu

untuk

mengetahui bagaimana pengaruh Obama dalam pembuatan


kebijakan politik luar negeri AS di masa pemerintahannya. Dalam
hal ini Obama sebagai individu dilihat sebagai aktor yang dapat
mempengaruhi kebijakan politik luar negeri AS dengan hak-hak
yang diperolehnya sebagai presiden.
Sebelum kita beranjak lebih jauh mengenai hal di atas, kami
ingin memaparkan pengertian dari level analisis individu itu
sendiri. Level analisis individu mempunyai fokus penelitian yang
berpusat pada seorang manusia yang berperan sebagai aktor
penting

dalam

hal

tersebut.

Dalam

hal

ini

diperlukan

pemahaman

mengenai

beragam

faktor

yang

dapat

mempengaruhi aktor dalam mengambil sebuah keputusan,


terutama faktor idiosinkratik yang mempunyai pengaruh besar
dalam pengambilan kebijakan luar negeri (Rourke, 1995: 76).
Kenapa dalam hal ini kami lebih memfokuskan penelitian
pada level individu, karena pada dasarnya negara tidak bisa
mengambil tindakan dalam menentukan kebijakan luar negeri,
yang melakukannya adalah pemimpin atau aktor penting negara
tersebut. Maka dari itu individu dianggap sebagai unit analisis
yang paling dasar dalam analisis politik luar negeri.
Dalam setiap pengambilan keputusan kebijakan politik luar
negeri negara adalah otoritas tertinggi. Akan tetapi, pengambilan
keputusan tersebut tetap dipengaruhi oleh aktor-aktor individu
yang mempunyai peran penting mengenai hal tersebut. Dalam
hal ini peran individu perlu dilihat dari tiga sudut pandang yaitu,
sifat

dasar

alami

organisasional

manusia

(organizational

(human

nature),

behaviour),

dan

perilaku
perilaku

idiosinkratik (idiosyncratic behaviour) (Rourke, 1995: 70).


Variabel individu mencangkup beberapa aspek nilai, bakat, pengalaman, dan
personalitas dari elit politik yang mempengaruhi persepsi dan perilaku terhadap
politik

luar

negeri.

Rosenau

menyebutkan

beberapa

ketentuan

yang

mempengaruhi proses pembentukan politik luar negeri yang berasal dari proses
idiosinkratik, yaitu :
a) Personality
b) Experience (pengalaman)
c) Leadership Style (GayaKepemimpinan)
Sehingga tindakan luar negeri mengacu pada perilaku politik. Secara umum
perilaku politik luar negeri suatu negara dapat berbentuk pernyataan-pernyataan

politik luar negeri pemerintah, dan juga tindakan-tindakan politik luar negeri yang
dilakukan pemerintah. (Holsti, 1992: 26).
B. Teori Politik Luar Negeri
Politik luar negeri merupakan suatu studi yang kompleks
karena pada kenyataannya tidak saja melibatkan faktor-faktor
eksternal negara, akan tetapi juga aspek-aspek internal negara
tersebut (Rosenau, 1976: 15). Seperti istilah yang dikemukakan
oleh Henry Kissinger menyatakan bahwa,foreign policy begins
when domestic policy ends(Wolfram, 1971: 22). Negara yang
merupakan aktor dalam melakukan politik luar negeri, tetap
menjadi aktor utama dalam sistem internasional, walaupun telah
banyak sekali aktor-aktor non-negara yang bermunculan.
Kajian teori politik luar negeri diartikan sebagai sebuah
rangsangan

dari

lingkungan

eksternal

dan

domestik

yang

dijadikan sebagai input untuk mempengaruhi politik luar negeri


negara tersebut yang dikonversi terlebih dahulu oleh para
pembuat keputusan menjadi sebuah output. Proses konversi
yang dilakukan oleh para pembuat keputusan untuk merumuskan
politik luar negeri negara tersebut mengacu pada kondisi baik
yang berlangsung dalam negeri maupun di luar negeri, serta
menetapkan tujuan yang akan dicapai yang disesuaikan dengan
kapabilitas negara tersebut dalam mencapai tujuan itu (Rosenau,
1980: 171-173).
Politik luar negeri dapat disebut sebagai sebuah strategi,
rencana, tindakan, atau respon yang dibuat oleh para pengambil
keputusan negara sebagai jawaban dari politik luar negeri negara
lain.

Politik

luar

negeri

ditujukan

untuk

mencapai

dan

mengamankan kepentingan nasional suatu negara terhadap

negara lain (Plano & Olton, 1999: 5), walaupun pada prakteknya
kepentingan nasional suatu bangsa bergantung pada aktor yang
berkuasa pada saat itu (Masoed, 1994: 184).
Pengertian dari politik luar negeri itu sendiri adalah upaya
yang dilakukan oleh suatu negara melalui keseluruhan sikap dan
aktivitasnya dalam mengatasi dan memperoleh keuntungan dari
lingkungan eksternalnya. Dalam hal ini politik luar negeri
ditujukan untuk memelihara dan mempertahankan kelangsungan
hidup suatu negara (Rosenau, 1976: 27). Sehingga negara akan
selalu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan eksternalnya
untung mencapai kepentingan nasional negara tersebut.
Tujuan dari politik luar negeri itu sendiri sebenarnya adalah
manifestasi dari kepentingan nasional sebuah negara. Tujuan
tersebut juga dipengaruhi oleh masa lalu dan keinginan yang
dicapai di masa yang akan datang. Dalam hal ini tujuan dari
politik luar negeri dibedakan dalam tiga kategori yaitu, tujuan
jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek. Pada
dasarnya hampir seluruh tujuan jangka panjang politik luar
negeri

negara-negara

di

dunia

adalah

untuk

mencapai

perdamaian, keamanan, dan kekuasaan (Rosenau, 1969: 167).


Tujuan politik luar negeri dapat dikatakan sebagai citra mengenai
keadaan

dan

kondisi

masa

depan

suatu

negara,

dimana

pemerintah melalui para perumus kebijakan dapat mencapai


tujuan tersebut semaksimal mungkin.

BAB III
Pembahasan
A. Koridor Politik Luar Negeri AS

Pada

konteks

politik

luar

negeri

AS,

dalam

menjalin

hubungan ataupun kerjasama dengan negara-negara di dunia


dalam mencapai kepentingan nasionalnya AS mempunyai empat
kerangka kerja utama. Kerangka kerja politik luar negeri AS untuk
mencapai

kepentingan

nasional

terdiri

dari

power,

peace,

prosperity, dan principles (Ikenberry, 2007: 8). Di bawah ini akan


dijelaskan masing-masing dari keempat poin di atas.
1. Power: Merupakan sebuah keharusan yang dimiliki
oleh AS dalam merumuskan dan mempertimbangkan
setiap kebijakan yang dikeluarkannya. Tanpa power
kepentingan AS di seluruh dunia tidak akan pernah
terwujud adanya. Dengan power setiap aktor negara
dapat mengontrol segala hal agar sesuai dengan
kepentingan yang dimiliki oleh negaranya.
2. Peace: Secara makna perdamaian diartikan sebagai
sebuah kondisi dimana tidak ada perang. Dalam
konteks politik luar negeri AS, sebagai sebuah negara
yang superpower AS memposisikan dirinya sebagai
polisi dunia yang berhak melakukan apa saja demi
terwujudnya dunia yang damai dan yang paling
utama

adalah seluruh kepentingannya di dunia

berada dalam kondisi aman. Apabila AS merasa


kepentingannya
mengeluarkan

terancam
seluruh

maka
power

dia
nya

akan
demi

menyelamatkan kepentingannya tersebut dengan


dalih ingin menjaga ketertiban dunia dan segala
bentuk alasan yang dibuat-buat.
3. Prosperity: Setiap negara dalam

kepentingan

nasionalnya pasti mempunyai salah satu tujuan yang


terpenting

bagi

bangsanya,

yaitu

kemakmuran.

Dalam konteks AS, politik luar negerinya ditujukan

untuk mencapai keuntungan dalam hal ekonomi.


Mereka melakukan apapun demi kepentingan ini
tercapai.
4. Principles: Dalam poin keempat ini, tujuan dari politik
luar

negeri

AS

adalah

menyebarkan

dan

menanamkan prinsip-prinsipnya ke seluruh penjuru


dunia. Konteks prinsip dalam hal ini adlaah nilai-nilai
yang dianut oleh AS sendiri. Nilai-nilai itu tidak lain
adalah demokrasi yang selalu dikumandangkan AS ke
seluruh dunia. Hal ini dilakukan agar kepentingannya
di wilayah-wilayah yang ditargetkan dapat tercapai
semaksimal mungkin dengan adanya penyebaran
nilai-nilai demokrasi di negara yang dituju.
Keempat prinsip di atas inilah yang menjadi pedoman
sekaligus

koridor

bagi

para

pemimpin

AS

agar

dalam

menjalankan politik luar negerinya mereka tidak keluar dari jalur


dan cita-cita yang telah dibuat oleh AS sejak dulu. Walaupun
sebenarnya setiap presiden AS mempunyai kebijakan yang
cenderung berbeda-beda, akan tetapi secara tidak langsung
kebijakan luar negeri yang mereka tetapkan tidak pernah lepas
dari empat kerangka kerja di atas.
B. Visi-Misi Barack Obama
Barack Obama dalam kampanye menuju calon presiden
Amerika Serikat tahun 2008 menulis sebuah artikel yang berjudul
Renewing American Leadership, dimana dalam artikel ini ia
memaparkan visi-misi yang akan dipenuhi jika terpilih menjadi
presiden Amerika Serikat. Hal pertama yang ditekankan Obama
adalah adanya perbedaan ancaman dalam dan luar negeri yang
sangat signifikan dari masa lalu. Ancaman di abad ke-21 ini lebih

berbahaya dan lebih kompleks karena adanya perkembangan


teknologi yang lebih maju.
Ancaman-ancaman tersebut dapat berasal dari negara yang
beraliansi dengan sekelompok teroris tertentu maupun dari
sebuah kekuatan baru yang berani menantang kekuatan AS.
Ancaman juga dapat berasal dari negara-negara yang lemah
dalam

mengontrol

menyediakan

batasan

kebutuhan

teritorinya

pokok

atau

rakyatnya

lemah

dalam

sehingga

timbul

kelompok ancaman bagi AS. Hal ini dapat terlihat dari konflik
yang melanda negara-negara Timur Tengah karena rakyat
menuntut kebebasan berekspresi melalui sistem demokrasi.
Obama juga menekankan bahwa dalam menghadapi
ancaman terkini, seorang pemimpin tidak seharusnya bersikap
pesimis, namun harus dihadapi dengan aksi nyata (Obama,
2008: 3). Aksi nyata dalam penyelesaian ancaman di abad ke-21
tidak boleh disamakan dengan penyelesaian masalah seperti di
masa lalu. Obama secara terang-terangan mengkritik respons
pemerintahan George W. Bush dalam menghadapi serangan 9/11
dengan pemikiran konvensional, yaitu dengan cara melihat
keseluruhan masalah berorientasikan negara dan satu-satunya
solusi adalah dengan cara militer (Obama, 2008: 4).
Enam visi-misi utama Barack Obama dalam kampanyenya
menuju kursi presiden Amerika Serikat yang mencakup beberapa
topik penting permasalahan dalam dan luar negeri AS adalah
sebagai berikut (Obama, 2008: 4-15):
1. Untuk memperbaharui kepemimpinan Amerika di dunia,
Obama harus mengakhiri Perang Iraq dengan cara yang
bertanggung jawab dan akan membuat ulang fokus
Amerika terhadap wilayah Timur Tengah secara lebih
luas dan tidak terpaku hanya pada satu wilayah saja.
2. Untuk memperbaharui kepemimpinan Amerika di dunia,
Obama harus segera menghidupkan kembali militer AS

karena militer yang kuat itu sangatlah diperlukan demi


mempertahankan perdamaian dunia. Sementara itu,
Angkatan Darat Amerika Serikat dan Kesatuan Angkatan
Laut menurut pemimpin militer AS sedang mengalami
krisis.

Dengan

pergantian

kepemimpinan,

nantinya

momentum ini akan digunakan untuk memperbaiki


kemiliteran dan mempersiapkannya untuk misi di masa
depan. Obama juga memiliki rencana akan menambah
kekuatan darat sebanyak 65.000 tentara ke bagian
angkatan darat dan 27.000 pelaut ke bagian angkatan
laut. Namun penambahan anggota kemiliteran saja
tidak cukup, sebagai pemimpin Obama berjanji akan
menggunakan kekuatan bersenjata dengan bijaksana.
3. Untuk memperbaharui kepemimpinan Amerika di dunia,
Obama harus menghadapi ancaman paling mendesak
terhadap

keamanan

Amerika

dan

dunia,

yaitu

penyebaran senjata nuklir, bahan-bahan pembuatnya,


teknologi, serta resiko alat-alat nuklir akan jatuh ke
tangan

teroris.

Obama

sendiri

sudah

menyiapkan

rencana akan menyediakan 50 miliar dolar untuk


pembuatan International Atomic Energy Agency (IAEA),
yaitu badan untuk mengontrol persediaan bahan bakar
pembuatan senjata nuklir dan untuk terus memperbarui
Perjanjian Non-Pengembangbiakan Nuklir. Dan yang
terakhir,

pemerintahan

Obama

nantinya

akan

mengembangkan koalisi internasional yang kuat untuk


mencegah Iran mengembangkan senjata nuklirnya dan
mengeliminasi program senjata nuklir Korea Utara.
Dalam menangani ancaman nuklir, tentu opsi militer
tidak akan ditinggalkan oleh Obama. Namun cara yang
diutamakan adalah dengan diplomasi terus-menerus,

langsung dan agresif, sebuah cara yang tidak dilakukan


pada masa kepemimpinan Bush.
4. Untuk memperbaharui kepemimpinan Amerika di dunia,
Obama

harus

membina

dan

menempa

respos

internasional yang efektif mengenai terorisme. Ancaman


dunia yang baru berupa sekelompok teroris yang sama
sekali menolak modernitas, menentang Amerika secara
keras, dan menyimpang dari ajaran agama Islam telah
membunuh ribuan orang pada dekade ini. Para teroris
beroperasi secara global, maka harus pula dihadapi
secara global sehingga pemerintahan Obama akan
mengutamakan

pembentukan

menghadapinya.

Obama

sekutu

juga

akan

dalam

memusatkan

kembali upayanya di Afghanistan dan Pakistan, yaitu


bidang sentral dalam perang melawan Al-Qaeda. Untuk
mengalahkan

Al-Qaeda,

Obama

akan

membangun

militer abad ke-21 dan menjalin persekutuan yang kuat.


Sementara itu di dalam negeri sendiri Obama akan
memperkuat

keamanan

tanah

air

dan

menjaga

infrastruktur yang dilihat penting. Upayanya dapat


dengan cara menginvestasikan sumber penghasilan
yang lebih banyak untuk mempertahankan mass transit,
mempertinggi keamanan penerbangan dengan cara
menyaring kargo para penumpang serta mengawasi
semua

penumpang

dalam

segala

hal,

serta

memperbarui keamanan bandara dengan memastikan


kargo yang diawasi dengan radiasi.
5. Untuk memperbaharui kepemimpinan Amerika di dunia,
Obama bermaksud untuk membangun kembali aliansi,
persekutuan,

dan

institusi

yang

dibutuhkan

untuk

mengatasi ancaman serta memperketat keamanan.

Terkait masalah aliansi, AS membutuhkan kerjasama


yang tetap atau konstan dan diperlukan adanya revisi
jika

persekutuan

relevan.

Sebagai

membuat

tersebut

ingin

tetap

efektif

contoh,

yaitu

NATO

yang

langkah

hebat

dengan

dan
telah

melakukan

transformasi dirinya sendiri dari awalnya yaitu sebagai


struktur keamanan pada masa Perang Dingin menjadi
sebuah

persekutuan

yang

memperjuangkan

perdamaian. Selain memperkuat NATO, AS juga harus


membangun aliansi dan sekutu baru di wilayah vital
lainnya, seperti kebangkitan China, timbulnya Jepang
dan

Korsel

internasional.

yang

menonjolkan

Obama

juga

diri

di

nantinya

kancah

akan

terus

mengupayakan kerangka kerjasama efektif di Asia


melalui perjanjian bilateral dan rangkaian ad-hoc.
6. Untuk memperbaharui kepemimpinan Amerika di dunia,
Obama akan memperkuat keamanan umum dengan
menginvestasikan

dana

pada

bidang

kemanusiaan.

Demi menciptakan dunia yang lebih baik, Obama


berpikir harus berperilaku yang mencerminkan kelakuan
baik dan menjadi aspirasi bagi masyarakat Amerika.
Masyarakat

dimana

pun

harus

bisa

dan

diberi

kesempatan untuk dapat memilih pemimpin mereka


sendiri dalam suasana bebas rasa takut. Amerika juga
harus

berkomitmen

untuk

memperkuat

pilar

dari

masyarakat dunia yang adil.


C. Dibalik Visi & Misi Obama
Terlepas dari visi misi tersebut, dalam merumuskannya
Obama tidak melakukannya sendirian. Dia dibantu oleh beberapa
penasehat dalam membuat kebijakan-kebijakan tersebut. Dalam

artikelnya Jafar menyebutkan ada lima belas penasehat terdekat


yang bisa

memberikan gambaran kepada

kita

bagaimana

pemerintahan Obama di masa-masa awal pemerintahannya


(ANTARANews). Banyak dari para pengamat kebijakan luar negeri
menerka bahwa agenda kebijakan luar negeri di era Obama akan
lebih menekankan pada kerjasama baik itu bilateral maupun
multilateral

serta

lebih

mengedepankan

diplomasi

untuk

menjaga dan mengamankan kepentingan AS di wilayah-wilayah


tertentu.

Singkatnya

presiden

Obama

akan

lebih

mengedepankan cara-cara tersebut dalam menjalin hubungan di


dunia internasional.
Hal terpenting yang didapat Obama dari para penasehat
keamanan, politik luar negeri, dan ekonominya adalah bahwa
Amerika Serikat harus menjalin hubungan tidak hanya dengan
para sekutu dan sahabatnya, akan tetapi jalinan hubungan itu
juga perlu dibentuk dengan musuh-musuh AS. Sehingga dengan
adanya jalinan komunikasi dengan pihak musuh, AS akan dapat
lebih mudah dalam mengontrol gejolak perlawanan yang ada di
pihak musuh, serta menurunkan intensitas ketegangan di antara
kedua belah pihak.
Apabila kita kembali pada masa pemerintahan Bush Jr,
kebijakan yang dikeluarkan olehnya sangat berbeda sekali
dengan apa yang dirumuskan oleh Obama. Adanya perbedaan
tersebut tidak terlepas dari watak masing-masing presiden, yang
di mana Bush lebih bertindak agresif dalam menjalankan politik
luar negerinya yang mengakibatkan sentimen luas di benak
dunia tentang Amerika. Di masa kepemimpinannya Obama ingin
menghapus

citra

tersebut

dengan

lebih

mengedepankan

kerjasama dan diplomasi untuk menarik kembali simpati dunia


terhadap AS.

Seluruh prinsip dasar kebijakan yang dikeluarkan Obama


tidak terlepas dari lima belas orang penting yang selalu berada di
sekelilingnya untuk meminta nasehat terkait dengan apa yang
harus

dilakukannya

dalam

menghadapi

fenomena

politik

internasional pada saat itu. Kelima belas orang itu dibagi menjadi
tiga tim, yaitu tim penasehat keamanan, tim kebijakan luar
negeri, serta tim kebijakan ekonomi.
Penasehat keamanan yang berada di lingkaran utama
Obama

disebut-sebut

sebagai

orang-orang

yang

menolak

perang, dan lebih mengedepankan diplomasi dalam menjalankan


kebijakannya.

Ada

enam

orang

yang

menjadi

penasehat

keamanannya, yaitu:
1) Denis McDonough: Dia merupakan seorang penasehat
keamanan Obama yang sangat lantang bersuara mengenai
global warming serta sangat aktif bersuara mengenai
penarikan pasukan AS dari Irak demi menyelamatkan
perekonomian negara yang porak-poranda akibat perang.
2) Richard Danzig: Merupakan seorang mantan menteri
angkatan laut dan pakar di CSIS Washington yang bersuara
keras untuk mengakhiri konflik-konflik di seluruh dunia.
3) Jonathan Scott Gration: Seorang veteran perang teluk yang
aktif berkampanye mengenai anti kemiskinan global, dia
juga menjadi salah satu orang yang bersuara keras dalam
penarikan pasukan AS di Irak.
4) Sam Nunn: Merupakan pakar perlucutan senjata yang
diharapkan

mampu

menjadi

negosiator

ulung

dalam

mengatasi krisis nuklir dengan Korea Utara dan Iran.


5) William J. Perry: Seorang mantan penasehat keamanan di
masa presiden Clinton yang aktif bersuara mengenai
perlucutan senjata nuklir serta sangat menentang sekali
penggunaan militer di wilayah Irak.

6) Sarah

Sewall:

Merupakan

seorang

mantan

Deputi

Pertahanan di masa presiden Clinton, dia juga adalah


seorang pakar strategi militer AS.
Dalam urusan kebijakan luar negeri, ada lima penasehat
yang mempunyai komitmen tinggi dalam hal demokratisasi,
kerjasama internasional, dan penegakan HAM. Kelima orang itu
adalah:
1) Anthony Lake: Mantan penasehat keamanan di masa
Clinton, yang sangat pro terhadap multilateralisme dan
juga mengupayakan NATO untuk terus mengeksistensikan
dirinya di Eropa.
2) Mark Lippert: Adalah seorang yang merancang kampanye
Obama mengenai masalah internasional.
3) Susan E. Rice: Seorang pakar ekonomi global yang juga
sekaligus

menjadi

orang

terdepan

yang

selalu

mengkampanyekan kemanusiaan global serta pengentasan


kemiskinan.
4) Gregory B.

Craig:

Adalah

orang

yang

menginginkan

terjalinnya kembali hubungan baik antara AS dan Amerika


Latin.
5) Madeleine K. Albright: Seorang mantan menteri luar negeri
di masa presiden Clinton. Dia dikenal sebagai pejuang yang
aktif menyuarakan Hak Asasi Manusia.
Dibidang ekonomi ada empat orang penasehat Obama yang
cenderung pada kebijakan ekonomi yang protektif tetapi tidak
juga menafikan terbentuknya pasar bebas. Mereka itu adalah:
1) Austan

Goolsbee:

Adalah

seorang

ekonom

Universitas Chicago serta peneliti utama di NBER.

lulusan

2) Jason Furman: Seorang peneliti ekonomi senior, serta


pernah menjabat sebagai pegawai di menteri keuangan di
masa presiden Clinton.
3) William M. Daley: Seorang ekonom yang terlibat aktif
dalam pembentukan NAFTA.
4) Daniel K. Tarullo: Merupakan seorang spesialis hukum
dagang internasional, hukum internasional, dan hukum
perbankan.
Apabila kita lihat dan perhatikan lebih lanjut analisis yang
dilakukan oleh Jafar paling tidak telah memberikan gambaran
kepada kita bagaimana alur politik luar negeri yang akan
dijalankan oleh Obama di masa kepemimpinannya. Sehingga dari
analisis tersebut kita bisa menebak walaupun tebakan kita tidak
100% bisa dibenarkan akan tetapi dapat mewakili prediksiprediksi yang telah dilakukan sebelumnya.
D. Perubahan di Masa Obama
Perubahan sifat kepemimpinan Barack Obama terlihat jelas
jika dibandingkan dengan mantan Presiden AS sebelumnya yaitu
George W. Bush. Perubahan fundamental tersebut berupa
perubahan strategi kemiliteran, dimana Amerika Serikat dituntut
untuk merubah ulang sikap militer globalnya. Apalagi saat ini
China dan India mengalami kebangkitan sehingga telah merubah
pergerakan kekuasaan di Asia dan dunia secara keseluruhan.
Administrasi Obama telah menegaskan untuk membuat
sikap AS di masa depan supaya lebih efektif dan efisien. Terkait
perubahan ini, pada 2009 pemerintahan Obama meluncurkan
review besar mengenai sikap militer AS ke depan secara global.
Militer diharapkan dapat ditempatkan secara lebih strategis,
efisien, dan berkelanjutan dalam bidang politik. Tidak seperti

sifat pemerintahan Bush yang kurang efektif dan terkesan


konvensional dalam menghadapi konflik.
Penempatan kekuatan Amerika di luar negeri haruslah
bertujuan

untuk

mencegah

konflik,

membina

dan

mempertahankan aliansi utama, mengembangkan kekuatan dari


partner penting, serta memastikan kekuatan militer AS untuk
dapat menjadi penjaga kepentingan Amerika di wilayah kritis.
Sifat kepemimpinan Obama disini terlihat bersifat lebih kepada
cara yang soft way karena mengutamakan menjaga aliansi atau
sekutu dengan negara lain.
Sikap yang signifikan ditunjukkan Obama dalam pemusatan
perhatian pada negara-negara di Asia Pasifik, dan Obama sendiri
telah menjelaskan bahwa Amerika Serikat adalah a Pacific
nation dan AS akan memainkan peran besar dan berskala
waktu jangka panjang dalam membentuk wilayah Pasifik dan
masa depannya (Michele Flournoy & Janine Davidson, 2012).
Ketegasan Obama juga terlihat dari sebuah dokumen
panduan

strategis

yang

dikeluarkan

oleh

Departemen

Pertahanan pada Januari 2012. Dokumen tersebut menyatakan


bahwa kepentingan ekonomi dan keamanan AS akan terhubung
pada pembangunan yang meluas dari Pasifik Barat dan Asia
Timur sampai ke wilayah Laut Indiana dan Asia Selatan (Michele
Flournoy & Janine Davidson, 2012).
Amerika Serikat juga hadir di negara yang baru menonjolkan
diri di kancah internasional yaitu Jepang dan Korea Selatan.
Kehadiran Amerika di dua negara ini merupakan langkah awal
strategi Amerika di Asia Pasifik. Namun AS juga membangun
hubungan baik dengan negara-negara Asia lainnya, terutama
dengan negara-negara di Asia Tenggara (Michele Flournoy &
Janine Davidson, 2012).
Terkait negara-negara Timur Tengah, Amerika Serikat di
bawah kepemimpinan Obama juga sudah menentukan sikap.

Salah satunya adalah AS masih akan terus memegang teguh


komitmen pada keamanan Israel. Tindakan strategis AS di Timur
Tengah juga harus dapat dipercaya untuk dapat menghadapi
ancaman seperti Iran, tanpa menghalangi batasan toleransi
negara tuan rumah dalam menyikapi kekuatan asing yang masuk
wilayah negara mereka (Michele Flournoy & Janine Davidson,
2012).
Terkait peran militer AS, Obama kembali menyusun strategi
ulang dalam hal penempatan peran militer. Hal ini dilakukan
dalam

rangka

mempromosikan

stabilitas

dan

menjaga

kepentingan nasional AS di seluruh dunia. Keberadaan militer AS


di wilayah vital telah terbukti menjamin stabilitas global serta
dapat memperkuat angkatan bersenjata di banyak negara
sekutu. Melindungi kepentingan Amerika Serikat saat ini dan
masa depan membutuhkan pemikiran dalam waktu jangka
panjang, yaitu perjanjian strategis ke depan.

BAB IV
Kesimpulan
Barack Obama sebagai presiden AS yang ke-44 dan menjadi
orang kulit hitam pertama yang menjabat sebagai presiden telah
membawa perubahan yang sangat signifikan di awal masa
kepemimpinannya. Hal tersebut tidak terlepas dari faktor-faktor
individu yang dimilikinya, yang tentunya sangat berbeda sekali
dengan faktor individu yang dimiliki oleh G. W. Bush.

Walaupun

terdapat

perbedaan

yang

sangat

signifikan

diantara kedua presiden tersebut, akan tetapi sebenarnya tujuan


setiap presiden AS, khususnya mereka berdua tidak jauh
berbeda. Tujuan tersebut yaitu tetap menjadikan AS sebagai
negara

adidaya

serta

mengamankan

kepentingan-

kepentingannya yang tersebar di seluruh dunia. Tetapi patut kita


ketahui bahwa setiap presiden AS mempunyai cara tersendiri
dalam mewujudkan hal-hal tersebut.
Di bawah kepemimpinan Obama AS cenderung bersikap
lebih halus ketimbang di bawah pemerintahan Bush. Hal tersebut
dilakukan

tidak

lain

dan

tidak

bukan

adalah

untuk

mengembalikan citra AS yang hancur di mata dunia akibat invasi


AS ke Irak dan Afghanistan. Dengan selalu mengedepankan
diplomasi dan kerjasama dalam setiap menjalin hubungan
kenegaraan dengan negara lain, Obama optimis dengan cara itu
pandangan dunia akan berubah terhadap AS, yang dimana
sebelumnya selalu bertindak agresif dalam setiap kebijakan luar
negerinya, sekarang cenderung lebih bersahabat dalam setiap
tindakannya.
Terlihat jelas di bawah kepemimpinan Obama, dia ingin
mempertahankan dominasi AS terhadap dunia seperti yang telah
dilakukan

oleh

presiden-presiden

sebelumnya.

Akan

tetapi

Obama mempunyai cara tersendiri dalam mencapai hal tersebut,


yaitu dengan menciptakan sebuah image/citra bahwa AS adalah
negara yang bersahabat yang sangat menjunjung tinggi nilainilai demokrasi dan HAM, untuk menghapus stigma pelanggar
HAM yang muncul sejak invasi AS ke Irak dimasa pemerintahan
presiden Bush.
Daftar Pustaka

Carter G Ralph,Contemporary Cases in US Foreign Policy: From


Terrorism to Trade, SAGE Publications Ltd, United Kingdom:
2014.
Hanrieder Wolfram F,Comparative Foreign Policy: Theoretical
Essays, David McKay Co, New York: 1971.
Holsti K J,Politik International: Suatu Kerangka Analisis, Bina
Cipta, Bandung: 1992.
Ikenberry G John,American Foreign Policy Theoretical Essay,
W.W. Norton & Company Inc, New York: 2007.
Kavoori P Anandam & Tood Fraley,Media, Terrorism, and Theory:
A Reader, Rowman &Littlefield publishers Inc, USA: 2006.
Masoed Moechtar,Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan
Metodologi, LP3ES, Jakarta: 1994.
Plano C Jack & Roy Olton,Kamus Hubungan Internasional,
Abardin, Bandung: 1999.
Rosenau N James,International Politics and Foreign Policy: A
Reader in Research and Theory, The Free Press, New York:
1969.
Rosenau N James,The Scientific Study of Foreign Policy, The
Free Press, New York: 1980.
Rosenau N James, Gavin Boyd, Kenneth W. Thompson,World
Politics: An Introduction, The Free Press, New York: 1992.
T. Rourke John,International Politics on The World Stage, The
Dushkin Publishing Group Inc, London: 1991.
Ernst

Douglas,

http://www.washingtontimes.com/news/2014/aug/28/signific

ant-increase-in-terror-chatter-as-911-near/,

diakses

pada

tanggal 7 September 2014, pukul 12:33.


Marzuq

Achmad,

http://www.bbc.co.uk/indonesian/indepth/story/2009/04/090
414-obama-muslim-.shtml,

diakses

pada

tanggal

September 2014, pukul 12:45.


Robinson

Eugene,

http://www.washingtonpost.com/opinions/eugene-robinsonpaying-for-bushs-2003-invasion-ofiraq/2014/08/11/2eee77ac-218a-11e4-86ca6f03cbd15c1a_story.html,

diakses

September 2014, pukul 12:30.

pada

tanggal

Anda mungkin juga menyukai