Anda di halaman 1dari 22

KASUS KOMPREHENSIF 1

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN TETANUS DI RUANG/UNIT


GAWAT DARURAT RUMAH SAKIT BALUNG-JEMBER

Oleh
Eka Putri Widyaningtyas
NIM 142310101047

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS JEMBER
2016

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus komprehensif I yang dibuat oleh :


Nama : Eka Putri Widyaningtyas
NIM

: 142310101047

Judul : ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN TETANUS


DIRUANG/UNIT GAWAT DARURAT RUMAH SAKIT BALUNG-JEMBER
Telah diperiksa dan disahkan oleh pembimbing pada :
Hari

Tanggal

Jembet,

2016

TIM PEMBIMBING

Pembimbing Akademik,
Klinik,

NIP :

Pembimbing

NIP :

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..............................................................................................

LAPORAN PENDAHULUAN
A. Definisi
Tetanus adalah penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri dengan gangguan
neuromuskuler akut berupa trismus, kekauan dan kejang otot disebabkan oleh
eksotoksin spesifik (tetanospasmin) dari kuman anaerob Clostridium tetani. Terdapat
beberapa bentuk klinis tetanus termasuk di dalamnya tetanus neonatorum, tetanus
generalisata dan gangguan neurologis lokal.( Harrisons 2008. Jong, de Wim2005).
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan
berat.(5) Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang
disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi
oleh Clostridium tetani.(6,7) Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease ". Dan
pada tahun 1890, diketemukan toksin seperti strichnine, kemudian dikenal dengan
tetanospasmin, yang diisolasi dari tanah anaerob yang mengandung bakteri.
Lmunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut menghasilkan pencegahan dari
tetanus. (Nicalaier 1884, Behring dan Kitasato 1890 ).
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa
disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung,
tetapi sebagai dampak eksotoksin (tetanoplasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada
sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neuro muscular
(neuro muscular jungtion) dan saraf autonom. (Smarmo 2002).
Masa inkubasi tetanus umumnya antara 321 hari, namun dapat singkat hanya
12 hari dan kadangkadang lebih dari 1 bulan. Makin pendek masa inkubasi makin
jelek prognosanya. Terdapat hubungan antara jarak tempat invasi Clostridium Tetani
dengan susunan saraf pusat dan interval antara luka dan permulaan penyakit, dimana
makin jauh tempat invasi maka inkubasi makin panjang.
Secara klinis tetanus ada 3 macam :
1. Tetanus umum
2. Tetanus lokal
3. Tetanus cephalic.
Tetanus umum:
Bentuk ini merupakan gambaran tetanus yang paling sering dijumpai.
Terjadinya bentuk ini berhubungan dengan luas dan dalamnya luka seperti luka bakar
yang luas, luka tusuk yang dalam, furunkulosis, ekstraksi gigi, ulkus dekubitus dan

suntikan hipodermis.Biasanya tetanus timbul secara mendadak berupa kekakuan otot


baik bersifat menyeluruh ataupun hanya sekelompok otot. Kekakuan otot terutama
pada rahang (trismus) dan leher (kuduk kaku). Lima puluh persen penderita tetanus
umum akan menuunjukkan trismus.Dalam 2448 jam dari kekakuan otot menjadi
menyeluruh sampai ke ekstremitas. Kekakuan otot rahang terutama masseter
menyebabkan mulut sukar dibuka, sehingga penyakit ini juga disebut 'Lock Jaw'.
Selain kekakuan otot masseter, pada muka juga terjadi kekakuan otot muka sehingga
muka menyerupai muka meringis kesakitan yang disebut 'Rhisus Sardonicus' (alis
tertarik ke atas, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada
gigi), akibat kekakuan otototot leher bagian belakang menyebabkan nyeri waktu
melakukan fleksi leher dan tubuh sehingga memberikan gejala kuduk kaku sampai
opisthotonus. Selain kekakuan otot yang luas biasanya diikuti kejang umum tonik
baik secara spontan maupun hanya dengan rangsangan minimal (rabaan, sinar dan
bunyi). Kejang menyebabkan lengan fleksi dan adduksi serta tangan mengepal kuat
dan kaki dalam posisi ekstensi. Kesadaran penderita tetap baik walaupun nyeri yang
hebat serta ketakutan yang menonjol sehingga penderita nampak gelisah dan mudah
terangsang. Spasme otototot laring dan otot pernapasan dapat menyebabkan
gangguan menelan, asfiksia dan sianosis. Retensi urine sering terjadi karena spasme
sphincter kandung kemih. Kenaikan temperatur badan umumnya tidak tinggi tetapi
dapat disertai panas yang tinggi sehingga harus hatihati terhadap komplikasi atau
toksin menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu. Pada kasus yang berat
mudah terjadi overaktivitas simpatis berupa takikardi, hipertensi yang labil,
berkeringat banyak, panas yang tinggi dan ariunia jantung.
Menurut berat ringannya tetanus umum dapat dibagi atas:
1. Tetanus ringan: trismus lebih dari 3 cm, tidak disertai kejang umum walaupun
dirangsang.
2. Tetanus sedang: trismus kurang dari 3 cm dan disertai kejang umum bila
dirangsang.
3. Tetanus berat: trismus kurang dari 1 cm dan disertai kejang umum yang
spontan.
Cole dan Youngman (1969) membagi tetanus umum atas:
Grade 1: ringan
1. Masa inkubasi lebih dari 14 hari
2. Period of onset > 6 hari
3. Trismus positif tetapi tidak berat
4. Sukar makan dan minum tetapi disfagia tidak ada.

Lokalisasi kekakuan dekat dengan luka berupa spasme disekitar luka dan kekakuan
umum terjadi beberapa jam atau hari.
Grade II: sedang
1. Masa inkubasi 1014 hari
2. Period of onset 3 had atau kurang
3. Trismus ada dan disfagia ada.
Kekakuan umum terjadi dalam beberapa hari tetapi dispnoe dan sianosis tidak ada.
Grade III: berat
1. Masa inkubasi < 10 hari
2. Period of onset 3 hari atau kurang
3. Trismus berat
4. Disfagia berat.
Kekakuan umum dan gangguan pernapasan asfiksia, ketakutan, keringat banyak dan
takikardia.
Tetanus lokal
Bentuk ini sebenarnya banyak akan tetapi kurang dipertimbangkan karena gambaran
klinis tidak khas.Bentuk tetanus ini berupa nyeri, kekakuan otototot pada bagian
proksimal dari tempat luka. Tetanus lokal adalah bentuk ringan dengan angka
kematian 1%, kadangkadang bentuk ini dapat berkembang menjadi tetanus umum.
Bentuk cephalic
Merupakan salah satu varian tetanus lokal. Terjadinya bentuk ini bila luka mengenai
daerah mata, kulit kepala, muka, telinga, leper, otitis media kronis dan jarang akibat
tonsilectomi. Gejala berupa disfungsi saraf loanial antara lain: n. III, IV, VII, IX, X,
XI, dapat berupa gangguan sendirisendiri maupun kombinasi dan menetap dalam
beberapa hari bahkan berbulanbulan.Tetanus cephalic dapat berkembang menjadi
tetanus umum. Pada umumnya prognosa bentuk tetanus cephalic jelek.
B. Epidemiologi
Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non imun,
individu dengan imunitas penuh dan kemudian gagal mempertahankan imunitas
secara adekuat dengan vaksinasi ulangan. Walaupun tetanus dapat dicegah dengan
imunisasi, tetanus masih merupakan penyakit yang membebani di seluruh dunia. Pada
tahun 2002, jumlah estimasi yang berhubungan dengan kematian pada semua
kelompok adalah 213.000, yang terdiri dari tetanus neonatorum sebanyak 180.000
(85%).

Tetanus

neonatorum

menyebabkan

50%

kematian

perinatal

dan

menyumbangkan 20% kematian bayi. Angka kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di


perkotaan dan 11-23/100 kelahiran hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian
tetanus pada anak di rumah sakit 7-40 kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-9

tahun, 30% kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok > 10 tahun, dan sisanya pada bayi Di
Amerika Serikat sebagian besar kasus tetanus terjadi akibat trauma akut, seperti luka
tusuk, laserasi atau abrasi. Tetanus didapatkan akibat trauma di dakam rumah atau
selama bertani, berkebun dan aktivitas luar ruangan yang lain. Trauma yang
menyebabkan tetanus bisa berupa luka besar tetapi dapat juga berupa luka kecil,
sehingga pasien tidak mencari pertolongan medis, bahkan pada beberapa kasus pasien
tidak dapat diidentifikasi adanya trauma. Tetanus dapat pula berkaitan dengan luka
bakar, infeksi teling tengah, pembedahan, aborsi, dan persalinan. Resiko terjadinya
tetanus paling tinggi pada populasi usia tua. Survey serologis skala luas terhadap
antibodi tetanus dan difteri yang dilakukan antara tahun 19881994 menunjukkan
bahwa secara keseluruhan, 72% penduduk Amerika Serikat di atas 6 tahun terlindungi
terhadap tetanus. Sedangkan pada anak antara 6-11 tahun sebesar 91%, persentase ini
menurun dengan bertambahnya usia; hanya 30% individu berusia di atas 70 tahun
(pria 45%, wanita 21%) yang mempunyai tingkat antibodi yang adekuat.
(Sudoyo, Aru. W 2006. Emedicine 2008.)

C. Etiologi
Agen penyebab tetanus adalah Clostridium tetani yaitu bakteri gram positif yang
bersifat anaerob, berbentuk batang, ramping, berukuran 2-5 x 0,4-0,5 milimikro. Di
luar tubuh bakteri ini berbentuk spora. Spora ini mampu bertahan dalam lingkungan
panas antiseptic, dan jaringan tubuh hingga berbulan-bulan. Spora tetanus dapat
bertahan hidup dalam air mendidih tetapi tidak di dalam autoklaf, tetapi sel vegetatif
terbunuh oleh antibiotik, panas dan desinfektan baku. Tidak seperti banyak klostridia,
Clostridium
menyebabkan

Tetani

bukan

penyakit

organisme

melalui

toksin

yang

menginvasi

tunggal

yang

jaringan,

malahan

dihasilkannya,

yaitu

tetanospasmin yang lebih sering disebut sebagai toksin tetanus. Toksin tetanus adalah
bahan kedua yang paling beracun yang diketahui setelah toksin botulinum. Jika dalam
kondisi yang baik, kuman ini akan mengeluarkan toksin (eksotoksin) yaitu
tetanuspasmin yang bersifat neurotoksik. Mula-mula toksin akan menyebabkan
kejang otot dan saraf perifer setempat (Vanessa, 2007).
D. Tanda dan Gejala

Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata-rata 7-10
hari dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala pertama dengan
spasme pertama) bervariasi antara 1-7 hari. Minggu pertama: regiditas, spasme otot.
Gangguan ototnomik biasanya dimulai beberapa hari setelah spasme dan bertahan
sampai 1-2 minggu tetapi kekakuan tetap bertahan lebih lama. Pemulihan bisa
memerlukan waktu 4 minggu. (Sudoyo, Aru 2009).
Pemeriksaan fisis (Sumarmo, 2002)
1. Trismus adalah kekakuan otot mengunyah sehingga sukar membuka mulut.
2. Risus sardonicus, terjadi sebagai kekakuan otot mimic, sehingga tampak dahi
mengkerut, mata agak tertutup, dan sudut mulut tertarik keluar kebawah.
3. Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti: otot
punggung, otot leher, otot badan, dan trunk muscle. Kekakuan yang sangat
berat dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.
4. Otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti papan
5. Bila kekakuan semakin berat, akan timbul kejang umum yang awalnya hanya
terjadi setelah dirangsang misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, atau
terkena sinar yang kuat.
6. Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernapasan akibat kejang yang
terusmenerus atau oleh kekakuan otot laring yang dapat menimbulkan anoksia
dan kematian.
(WOC)
Secara umum tanda dan gejala yang akan muncul:
1. Spasme dan kaku otot rahang (massester) menyebabkan kesukaran membuka
mulut (trismus)
2. Pembengkakan, rasa sakit dan kaku dari berbagai otot:
a) Otot leher
b) Otot dada
c) Merambat ke otot perut
d) Otot lengan dan paha
e) Otot punggung, seringnya epistotonus
3. Tetanik seizures (nyeri, kontraksi otot yang kuat)
4. Iritabilitas
5. Demam
Gejala penyerta lainnya:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Keringat berlebihan
Sakit menelan
Spasme tangan dan kaki
Produksi air liur
BAB dan BAK tidak terkontrol
Terganggunya pernapasan karena otot laring terserang

E. Patofisiologi dan Clinical Pathway


Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Gram positif anaerob,
Clostridium tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu setelah inokulasi bentuk
sporake dalam tubuh yang mengalami cedera/luka (masa inkubasi). Penyakit ini
merupakan 1 dari 4 penyakit penting yang manifestasi klinis utamanya adalah hasil
dari pengaruh kekuatan eksotoksin (tetanus, gasganggren, dipteri, botulisme). Tempat
masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan dengan
kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan kontaminasi
tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma
pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka
pada pembedahan dan pemotongan tali pusat yang tidak steril. Pada keadaan
anaerobik , spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi sel vegetatif bila dalam
lingkungan yang anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah.
Selanjutnya,toksin akan diproduksi dan menyebar ke seluruh bagian tubuh melalui
peredaran darah dan system limpa. Toksin tersebut akan beraktivitas pada tempattempat tertentu seperti pusat sistem saraf termasuk otak. Gejala klinis timbul sebagai
dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta
syaraf autonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah
masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal ke dalam sel saraf tepi,
kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang. Akhirnya menyebar ke SSP.
Gejala klinis yang ditimbulkan dari eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan
pusat tersebut adalah dengan memblok pelepasan dari neurotransmiter

sehingga

terjadi kontraksi otot yang tidak terkontrol / eksitasi terus menerus dan spasme.
Neuron ini menjadi tidak mampu untuk melepaskan neurotransmitter. Neuron yang
melepaskan gamma aminobutyric acid (GABA) dan glisin, neurotransmitter inhibitor
utama,

sangat

sensitif

terhadap

tetanospasmin,

menyebabkan

kegagalan

penghambatan refleks respon motorik terhadap rangsangan sensoris. Kekakuan mulai


pada tempat masuknya kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin
masuk kesumsum tulang belakang terjadi kekakuan yang berat, pada extremitas, otototot bergari pada dada, perut dan mulai timbul kejang. Bilamana toksin mencapaI
korteks serebri, menderita akan mulai mengalami kejang umum yang spontan.
Karakteristik dari spasme tetani ialah menyebabkan kontraksi umum kejang otot
agonis dan antagonis. Racun atau neurotoksin inipertama kali menyerang saraf tepi
terpendek yang berasal dari system saraf kranial, dengan gejala awal distorsi wajah

dan punggung serta kekakuan dari otot leher. Tetanospasmin pada system saraf
otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi gangguan pernapasan, metabolisme,
hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan neuromuscular.
Spasme larynx, hipertensi, gangguan irama jantung, hiperflexi, hyperhidrosis
merupakan penyulit akibat gangguan saraf ototnom, yang dulu jarang karena
penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam
dosis tinggi dan pernapasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf
otonom harus dikenali dan di kelola dengan teliti.
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme,bekerja pada beberapa
level dari susunan syaraf pusat, dengan cara :
1. Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat
pelepasanacethyl-choline dari terminal nerve di otot.
2. Karakteristi spasme dari tetanus terjadi karena toksin mengganggu fungsi dari
reflekssynaptik di spinal cord.
3. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh
cerebral ganglioside.

Beberapa penderita mengalami gangguan dari

Autonomik Nervous System (ANS ) dengan gejala : berkeringat, hipertensi


yang

fluktuasi,periodisiti

takikhardia,

aritmia

jantung,

peninggian

cathecholamine dalam urine.


Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal,yang menyebabkan
meningkatnya aktifitas dari neuron yang mensarafi otot masetter sehingga terjadi
trismus. Oleh karena otot masetter adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin
tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi
yang kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis dan antagonis sehingga
timbul spasme otot yang khas. Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin,
yaitu :
1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik
dibawa kekornuanterior susunan syaraf pusat
2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah
arteri kemudian masuk kedalam susunan syaraf pusat. Akibat dari tetanus
adalahrigid paralysis(kehilangan kemampuan untuk bergerak) pada
voluntary muscles (otot yang geraknya dapat dikontrol), sering disebut
lockjaw karena biasanya pertama kali muncul pada otot rahang dan wajah.

Kematian biasanya disebabkan oleh kegagalanpernafasan dan rasio


kematian sangatlah tinggi.
F. Penatalaksanaan medis
Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni:
1. membuang sumber tetanospasmin;
2. menetralisasi toksin yang tidak terikat;
3. perawatan penunjang (suportif) sampai tetanospasmin yang berikatan dengan
jaringan telah habis dimetabolisme.

Membuang Sumber Tetanospasmin


Luka harus dibersihkan secara menyeluruh dan didebridement untuk mengurangi
muatan bakteri dan mencegah pelepasan toksin lebih lanjut. Antibiotika diberikan
untuk mengeradikasi bakteri, sedangkan efek untuk tujuan pencegahan tetanus secara
klinis adalah minimal. Pada penelitian di Indonesia, metronidazole telah menjadi
terapi pilihan di beberapa pelayanan kesehatan. Metronidazole diberikan secara iv
dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari setiap 6 jam
selama 7-10 hari. Metronidazole efektif mengurangi jumlah kuman C. tetani bentuk
vegetatif. Sebagai lini kedua dapat diberikan penicillin procain 50.000-100.000
U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika hipersensitif terhadap penicillin dapat diberi
tetracycline 50 mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8 tahun). Penicillin
membunuh bentuk vegetatif C. tetani. Sampai saat ini, pemberian penicillin G
100.000 U/kgBB/hari iv, setiap 6 jam selama 10 hari direkomendasikan pada semua
kasus tetanus. Sebuah penelitian menyatakan bahwa penicillin mungkin berperan
sebagai agonis terhadap tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam
aminobutirat gama (GABA).
Netralisasi toksin yang tidak terikat
Antitoksin harus diberikan untuk menetralkan toksin-toksin yang belum berikatan.
Setelah evaluasi awal, human tetanus immunoglobulin (HTIG) segera diinjeksikan
intramuskuler dengan dosis total 3.00010.000 unit, dibagi tiga dosis yang sama dan
diinjeksikan di tiga tempat berbeda. Tidak ada konsensus dosis tepat HTIG.
Rekomendasi British National Formulary adalah 5.00010.000 unit intravena. Untuk
bayi, dosisnya adalah 500 IU intramuskular dosis tunggal. Sebagian dosis diberikan
secara infi ltrasi di tempat sekitar luka; hanya dibutuhkan sekali pengobatan karena

waktu paruhnya 25-30 hari. Makin cepat pengobatan diberikan, makin efektif.
Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas terhadap imunoglobulin atau
komponen human immunoglobulin sebelumnya; trombositopenia berat atau keadaan
koagulasi lain yang dapat merupakan kontraindikasi pemberian intram uskular. Bila
tidak tersedia maka digunakan ATS dengan dosis 100.000200.000 unit diberikan
50.000 unit intramuskular dan 50.000 unit intravena pada hari pertama, kemudian
60.000 unit dan 40.000 unit intramuskuler masing-masing pada hari kedua dan ketiga.
Setelah penderita sembuh, sebelum keluar rumah sakit harus diberi immunisasi aktif
dengan toksoid, karena seseorang yang sudah sembuh dari tetanus tidak memiliki
kekebalan.
Pengobatan suportif
Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek toksin yang
telah terikat habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus sebaiknya ditangani di ICU
agar bisa diobservasi secara kontinu. Untuk meminimalkan risiko spasme paroksismal
yang dipresipitasi stimulus ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di ruangan gelap dan
tenang.Pasien diposisikan agar mencegah pneumonia aspirasi. Cairan intravena harus
diberikan, pemeriksaan elektrolit serta analisis gas darah penting sebagai penuntun
terapi.
Penanganan jalan napas merupakan prioritas. Spasme otot, spasme laring,
aspirasi, atau dosis besar sedatif semuanya dapat mengganggu respirasi. Sekresi
bronkus yang berlebihan memerlukan tindakan suctioning yang sering. Trakeostomi
ditujukan untuk menjaga jalan nafas terutama jika ada opistotonus dan keterlibatan
otot-otot punggung, dada, atau distres pernapasan.Kematian akibat spasme laring
mendadak, paralisis diafragma, dan kontraksi otot respirasi tidak adekuat sering
terjadi jika tidak tersedia akses ventilator.
Spasme otot dan rigiditas diatasi secara efektif dengan sedasi. Pasien tersedasi
lebih sedikit dipengaruhi oleh stimulus perifer dan kecil kemungkinannya mengalami
spasme otot. Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa menekan
pusat kortikal. Dosis diazepam yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB/ kali
dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis, dosis yang direkomendasikan untuk usia
<2 tahun adalah 8 mg/kgBB/hari oral dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam. Spasme harus
segera dihentikan dengan diazepam 5 mg per rektal untuk berat badan <10 kg dan 10

mg per rektal untuk anak dengan berat badan 10 kg, atau diazepam intravena untuk
anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah spasme berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan
dengan dosis rumatan sesuai keadaan klinis. Alternatif lain, untuk bayi (tetanus
neonatorum) diberikan dosis awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk menghilangkan
spasme akut, diikuti infus tetesan tetap 15-40 mg/ kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis
diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan melalui pipa
orogastrik. Dosis maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari. Tanda klinis membaik bila tidak
dijumpai spasme spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik (tidak koma), tidak
dijumpai gangguan pernapasan.Tambahan efek sedasi bisa didapat dari barbiturate
khususnya phenobarbital dan phenotiazine seperti chlorpromazine, penggunaannya
dapat menguntungkan pasien dengan gangguan otonom. Phenobarbital diberikan
dengan dosis 120-200 mg intravena, dan diazepam dapat ditambahkan terpisah
dengan dosis sampai 120 mg/hari. Chlorpromazine diberikan setiap 4-8 jam dengan
dosis dari 4-12 mg bagi bayi sampai 50-150 mg bagi dewasa. Morphine bisa memiliki
efek sama dan biasanya digunakan sebagai tambahan sedasi benzodiazepine. Jika
spasme tidak cukup terkontrol den gan benzodiazepine, dapat dipilih pelumpuh otot
nondepolarisasi dengan intermittent positive-pressure ventilation (IPPV). Tidak ada
data perbandingan obat-obat pelumpuh otot pada tetanus, rekomendasi didapatkan
dari

laporan

kasus.

Pancuronium

harus

dihindari

karena

efek

samping

simpatomimetik. Atracurium dapat sebagai pilihan. Vecuronium juga telah digunakan


karena stabil pada jantung. Pasien tetanus berat sering kali membutuhkan IPPV
selama 2 hingga 3 minggu sampai spasme mereda. Insiden ventilator-associated
pneumonia pada pasien-pasien tetanus sebesar 52,6%.1 Infeksi nosokomial umum
terjadi karena lamanya perjalanan penyakit tetanus dan masih merupakan penyebab
penting kematian. Pencegahan komplikasi respirasi meliputi perawatan mulut sangat
teliti, fisioterapi dada dan suction trakea. Sedasi adekuat selama prosedur invasif
mencegah provokasi spasme atau ketidakstabilan otonom Tetanus terbukti secara
klinis dan biokimia menyebabkan aktivitas simpatis berlebihan dan katabolisme
protein sehingga pemeliharaan nutrisi sangat diperlukan. Nutrisi buruk dan penurunan
berat badan terjadi cepat karena disfagia, gangguan fungsi gastrointestinal dan
peningkatan metabolisme, menurunkan daya tahan tubuh sehingga memperburuk
prognosis. Nutrisi parenteral total mengandung glukosa hipertonis dan insulin dalam
jumlah cukup untuk mengendalikan kadar gula darah, dapat menekan katabolisme
protein. Formula asam amino sangat membantu membatasi katabolisme protein. Pada

hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena sekaligus pemberian obatobatan, dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya
dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral. Setelah spasme mereda dapat
dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-obatan dengan perhatian khusus
pada risiko aspirasi.
G. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia
1. Pola nutrisi / metabolik
Tetanospasmin pada system saraf otonom juga berpengaruh pada metabolisme
yang menyebabkan ketidakmampuan menelan, keadaan kejang abdomen, serta
trismus.
2. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Oksigenasi
Oksigenasi adalah memenuhi kebutuhan oksigen dalam tubuh dengan cara
melancarkan saluran masuknya oksigen atau memberikan aliran gas oksigen (O2)
sehingga konsentrasi oksigen meningkat dalam tubuh. Pada pasien dengan tetanus
jalan nafas terganggu akibat adanya spasme otot-otot pernafasan serta peningkatan
produksi secret/mucus akibat adanya spasme otot laring. Sehingga pada penderita
tetanus pemenuhan kebutuhan dasar yang utama adalah pemenuhan oksigenasi.
3. Pola Persepsi dan tata laksana kesehatan
Pada pasien dengan tetanus terjadi perubahan persepsi dan tata laksana hidup
sehat

karena

kurangnya

pengetahuan

tentang

penanganan

penyakitnya

dikarenakan kurangnya informasi, yang menjadikan keluarga ataupun pasien tidak


dapat menangani dengan tepat.
4. Kurangnya perawatan diri
Pada pasien tetanus dalam pemenuhan perawatan dirinya masih kurang,
dikarenakan tirah baring yang lama serta sering mengalami aktivitas kejang
menjadikan pasien tersebut kurang dalam perawatan diri.
H. Penatalaksanaan Keperawatan
NO
.
1.

Diagnosa

Tujuan dan

Keperawatan
Gangguan

Kriteria hasil
Setelah dilakukan

pemenuhan

tindakan

pertahankan

yang

kebutuhan

keperawatan selama

NGT

dan adekuat akan

nutrisi; kurang 3x24


dari kebutuhan nutrisi
tubuh

normal

jam

status
pasien
dengan

Intervensi

Rasional

1. Pasang

dan 1. Intake
untuk

intake makanan.
2. Kaji bising usus
bila perlu, dan

nutrisi
seimbang

mempertahankan
kebutuhan nutrisi
tubuh Bising usus

berhubungan
dengan

indikator :
1. Intake
cukup,

ketidakmampua
n

menelan,

makan.
2. minuman

keadaan kejang

tidak
kembali lagi

sentuhan

menentukan

dapat

kejang.
3. Berikan

nutrisi

yang

tinggi

lewat mulut

trismus

membantu dalam

merangsang

yang masuk

abdomen,

hati-hati karena

kalori

dan

protein.
4. Timbang

berat

badan

sesuai

melalui
hidung,
3. BB

respon

untuk

makan

atau

mengetahui
kemungkinan
komplikasi

dan

mengetahui
penurunan
obsrobsi air
2. Suplai kalori dan

protokol

protein

meningkat
4. protein atau

yang

adekuat

albumin

mempertahankan

3,5 mg%

metabolisme
tubuh.
3. Mengevalusai
kefektifan

atau

kebutuhan
mengubah
2.

Gangguan pola Setelah

dilakukan 1. Monitor

nafas

tindakan

berhubungan

keperawatan selama

dengan

jalan 3x24 jam Pola nafas

pemberian nutrisi.
irama 1. Indikasi
adanya

pernafasan dan respirasi


rate
2. Atur

atau kelainan dari


posisi

luruskan

jalan nafas
nafas terganggu teratur dan normal
3. Observasi tanda dan
akibat spasme indikator :
gejala sianosis, dyspnea,
1. RR 16- 20
otot-otot
takikardi, CRT > 2 dtk
x/menit,
pernafasan.
4. Observasi tanda-tanda
retraksi
vital tiap 2 jam
dinding dada 5. Kolaborasi: Pemberian 2.
negatif.
2. gerakan
naik-turun
dinding dada

penyimpangan

oksigenasi

pernafasan

dapat

dilihat

dari

frekuensi,

jenis

pernafasan,
kemampuan

dan

irama nafas.
Jalan nafas yang
longgar tidak ada
sumbatan

proses

respirasi

dapat

berjalan

dengan

simetris,
3. pernafasan

lancar.
3. Dyspnea

dan

cuping

sianosis

hidung (-)

merupakan tanda
terjadinya
gangguan
disertai

nafas
dengan

kerja jantung yang


menurun

timbul

tacikardi

dan

capillary

reffil

time

yang

memanjang/lama
dan

untuk

menghindari
terjadinya
4.

henti

nafas.
TTV merupakan
respon tubuh yang
mudah

untuk

diamati.
5. Pemberian
oksigen

secara

adekuat

dapat

mensuplai

dan

memberikan
cadangan oksigen,
sehingga mncegah
terjadinya
3.

Bersihan jalan Setelah


nafas

dilakukan

tidak tindakan

pernafasan,

efektif

keperawatan selama

berhubungan

3x24

dengan

memperlihatkan

jam

1. Kaji

hipoksia.
status 1. Takipnu,

pasien

frekwensi,

pernafasan
irama,

setiap 2 4 jam.
2. Lakukan pengisapan

dangkal

dan

gerakan dada tak


simetris

sering

peningkatan

kepatenan

jalan

produksi

nafas indikator :
1. Sesak (-),
secret/mucus
2. ronchi (-),
akibat adanya
3. sianosis (-),
4. dyspnea (-),
spasme
otot
5. batuk
laring
dengan
sputum (-),
6. RR
16-20
x/menit

lendir

dengan

hatihati

dan

pasti

bila

ada

penumpukan secret.
3. Gunakan sudip lidah
saat kejang.
4. Miringkan

untuk

adanya sekret.
2. Menurunkan
resiko

aspirasi

atau aspeksia dan

tergigitnya
dan

oksigen

sesuai program.
6. Pertahankan
kepatenan

jalan

mulut.
7. Kolaborasi:

memberi

sokongan
jika

diperlukan.
4. Memudahkan dan
meningkatkan
aliran sekret dan

Pemberian sedativa
Diazepam drip 10
Amp (hari pertama
setiap

lidah

pernafasan

nafas dan bersihkan

dan

karena

osbtruksi.
ke 3. Menghindari

samping
drainage.
5. Observasi

terjadi

hari

dikurangi 1 amp)

mencegah

lidah

jatuh

yang

menyumbat jalan
nafas.
5. Memaksimalkan
oksigen

untuk

kebutuhan

tubuh

dan

membantu

dalam pencegahan
hipoksia
6. Memaksimalkan
fungsi pernafasan
untuk

memenuhi

kebutuhan
terhadap
dan

tubuh
oksigen

pencegahan

hipoksia
7. Mengurangi
rangsangan
kejang.

4.

Cemas

Setelah

dilakukan

berhubungan

tindakan

dengan kurang keperawatan selama


pengetahuan

3x24

jam

pasien

pasien tentang menunjukan


penanganan

cemas

penyakitnya

atau

dikarenakan

indikator :
1. Takut <<,
2. tegang (-),
3. gelisah (-),
4. nadi

kurangnya
informasi.

rasa

berkurang
hilang

aktifitas kejang yang

80-

mengulang

kecemasan
berbeda

butuh

penanganan yang

prosedur

berbeda pula.
tindakan 4. Dengan

yang akan dilakukan

prosedur
pasien

mengekspresikan
perasaannya
11. Gunakan
komunikasi

mengetahui semua
dan

kondisi tubuhnya,
pasien

akan

merasa

lebih

tenang dan rasa


dan

sentuhan terapeutik

cemas berkurang
5. Ekspresi perasaan
secara
dapat

yang

yang

terjadi dan semua

untuk

20x/menit, klien
6. keluarga dapat

diberikan.

tingkat 3. Tingkat

kecemasan pasien
9. Jelaskan
tentang

pada pasien
10. Ajarkan

100x/menit,
5. RR
16-

informasi

8. Kaji

verbal
membantu

mengurangi

rasa

cemas
6. Memberikan
ketenangan

rasa

nyaman

bagi

pasien

1. Kebutuhan seharihari

terpenuhi

secara
dapat

adekuat
membantu

proses
kesembuhan.
2. mempertahankan
status
dan

kesehatan
kebersihan

diri pasien.
3. Keluarga
dapat
5.

Kurangnya

Setelah

dilakukan

1. Pemenuhan

perawatan diri tindakan

kebutuhan

berhubungan

aktifitas

dengan
baring

keperawatan selama

tirah 3x24

jam

dan Kebutuhan aktifitas

meningkatkan
motivasi

untuk melakukan

seharihari.
2. Bantu
pasien

hari/perawatan diri
terpenuhi

dengan

indikator :
1. Kejang (-),
2. bed rest (-),
3. bau badan
(-),
4. gigi bersih,
5. rambut
bersih,
6. tempat tidur
bersih,
7. iritasi kulit
negatif.

aktivitas
kebersihan diri

dalam

aktifitas kejang. sehari-

pasien

memenuhi
kebutuhan
aktifitas

BAB/BAK,
membersihkan
tempat tidur dan
kebersihan

diri

juga

oral

hygiene.
3. Libatkan
keluarga

dalam

perawatan

diri

sehari-hari.
A. Pre Konvulsif
1. Faktor
resiko
dapat

dihindari

sehingga kejadian
6.

Resiko

injuri

kejang

berhubungan
dengan aktifitas
kejang

Setelah
tindakan

dilakukan

bisa

diminimalkan.
2. Menghindari
terjadinya cedera

keperawatan selama

lebih lanjut akibat

3x24 jam Cedera

A. Pre Konvulsif
kejang
1. Identifikasi
faktor 3. Perubahan status

tidak

terjadi,

Indikator :
1. Pasien tidak
merasa kaku
2. Kejang (-)

resiko

pre

konvulsif

untuk penyakit kejang


2. Singkirkan benda
benda yang melukai.
3. Monitor
cardiopulmonal secara
terus menerus
4. Sediakan dan dekatkan
peralatan suction
5. Sediakan O2 sesuai
dengan indikasi

cardiopulmonal
dapat
menunjukkan
terjadinya kejang
4. Keberadaan alatalat yang dekat
akan
mempersingkat
waktu

delay

dalam
penanganan

B. Konvulsif
1. Baringkan

pasien
pasien 5. Membantu

ditempat yang rata.


2. Catat waktu, durasi,
bagian

tubuh

memenuhi
kebutuhan O2

yang

terlibat dan frekuensi


kejang.

B. Konsulsif
1. Memudahkan
penanganan
pasien kejang
2. Dapat
menunjukkan

seberapa
parah

kejang

yang

terjadi

sehingga
tindakan yang

Referensi

Bab I Pendahuluan [Serial Online]


https://id.scribd.com/doc/103604200/Tetanus [Akses pada 8 Mei 2016]

Nanda NIC-NOC PSIK UMM [Serial Online]


http://s1keperawatan.umm.ac.id/files/file/NANDA%20NIC%20NOC%20PSIK
%20FIKES%20UMM.pdf [Akses pada 8 Mei 2016]
Asuhan Keperawatan Tetanus dengan Nanda NIC-NOC [Serial Online]
https://id.scribd.com/doc/135491757/Asuhan-Keperawatan-Tetanus-Dengan-Nanda
[Akses pada 8 Mei 2016]
Penatalaksanaan Tetanus [Serial Online]
http://www.kalbemed.com/Portals/6/09_222CPD-Penatalaksanaan
%20Tetanus.pdf

[Akses pada 8 Mei 2016]


TETANUS [Serial Online]
https://yogaiswara.files.wordpress.com/2009/02/tetanus4.pdf

[Akses pada 8 Mei 2016]\


TETANUS [Serial Online]
http://library.usu.ac.id/download/fk/penysaraf-kiking2.pdf

[Akses pada 8 Mei 2016]


Tinjauan Pustaka [Serial Online]
https://id.scribd.com/doc/32209929/Tetanus

[Akses pada 8 Mei 2016]


Bab I Pendahuluan [Serial Online]
https://id.scribd.com/doc/250039419/Makalah-Tetanus

[Akses pada 8 Mei 2016]

Anda mungkin juga menyukai