Anda di halaman 1dari 26

Fungsi Bank Indonesia

TUJUAN DAN TUGAS BANK INDONESIA

:: Tujuan Tunggal

Dalam kapasitasnya sebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek,
yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara
lain.

Aspek pertama tercermin pada perkembangan laju inflasi, sementara aspek


kedua tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain.
Perumusan tujuan tunggal ini dimaksudkan untuk memperjelas sasaran yang harus dicapai Bank
Indonesia serta batas-batas tanggung jawabnya. Dengan demikian, tercapai atau tidaknya tujuan
Bank Indonesia ini kelak akan dapat diukur dengan mudah.

:: Tiga Pilar Utama

Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia didukung oleh tiga pilar yang merupakan tiga bidang tugasnya. Ketiga bidang
tugas tersebut (klik pada gambar dibawah) perlu diintegrasi agar tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dapat
dicapai secara efektif dan efisien

PILAR 1. MENETAPKAN DAN MELAKSANAKAN KEBIJAKAN MONETER


Sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter untuk mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah. Arah kebijakan didasarkan
pada sasaran laju inflasi yang ingin dicapai dengan
memperhatikan berbagai sasaran ekonomi makro lainnya, baik
dalam jangka pendek, menengah, maupun panjang.
Implementasi kebijakan moneter dilakukan dengan
menetapkan suku bunga (BI Rate).

Perkembangan indikator tersebut dikendalikan melalui piranti moneter tidak langsung, yaitu
menggunakan operasi pasar terbuka, penentuan tingkat diskonto, dan penetapan cadangan wajib
minimum bagi perbankan.

Pendekatan pegendalian moneter secara tidak langsung ini telah dilakukan sejak 1983 dengan
mekanisme operasional yang disesuaikan dengan dinamika perkembangan pasar uang di dalam
negeri.

:: Operasi Pasar Terbuka

Operasi Pasar Terbuka (OPT) dilaksanakan untuk mempengaruhi likuiditas rupiah di pasar uang,
yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat suku bunga. OPT dilakukan melalui dua cara,
yaitu melalui penjualan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Intervensi Rupiah.
Penjualan SBI dilakukan melalui lelang sehingga tingkat diskonto yang terjadi benar-benar
mencerminkan kondisi likuiditas pasar uang. Sedangkan kegiatan intervensi rupiah dilakukan
oleh Bank Indonesia untuk menyesuaikan kondisi pasar uang, baik likuiditas maupun tingkat
suku bunga.
:: Penetapan Cadangan Wajib Minimum
Kebijakan ini mewajibkan setiap bank mencadangkan sejumlah aktiva lancar yang besarnya
adalah persentasi tertentu dari kewajiban segeranya. Saat ini, kebijakan ini tertuang dalam

ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 5% dari dana pihak ketiga yang diterima bank,
yang wajib dipelihara dalam rekening bank yang bersangkutan di Bank Indonesia.
Apabila Bank Indonesia memandang perlu untuk mengetatkan kebijakan moneter maka
cadangan wajib tersebut dapat ditingkatkan, dan demikian pula sebaliknya.
:: Peran sebagai Lender of The Last Resort
Bank Indonesia juga berfungsi sebagai lender of the last resort. Dalam melaksanakan fungsi ini,
Bank Indonesia dapat memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah kepada
bank yang mengalami kesulitan likuiditas jangka pendek yang disebabkan oleh terjadinya
mismatch dalam pengelolaan dana. Pinjaman tersebut berjangka waktu maksimal 90 hari, dan
bank penerima pinjaman wajib menyediakan agunan yang berkualitas tinggi serta mudah
dicairkan dengan nilai sekurang-kurangnya sama dengan jumlah pinjaman.
:: Kebijakan Nilai Tukar
Nilai tukar yang lazim disebut kurs, mempunyai peran penting dalam rangka tercapainya
stabilitas moneter dan dalam mendukung kegiatan ekonomi. Nilai tukar yang stabil diperlukan
untuk terciptanya iklim yang kondusif bagi peningkatan kegiatan dunia usaha.
Secara garis besar, sejak tahun 1970, Indonesia telah menerapkan tiga sistem nilai tukar, yaitu
sistem nilai tukar tetap mulai tahun 1970 sampai tahun 1978, sistem nilai tukar mengambang
terkendali sejak tahun 1978, dan sistem nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange
rate system) sejak 14 Agustus 1997.

Dengan diberlakukannya sistem yang terakhir ini, nilai tukar rupiah sepenuhnya ditentukan oleh
pasar sehingga kurs yang berlaku adalah benar-benar pencerminan keseimbangan antara
kekuatan penawaran dan permintaan.
Untuk menjaga stabilitas nilai tukar, Bank Indonesia pada waktu-waktu tertentu melakukan
sterilisasi di pasar valuta asing, khususnya pada saat terjadi gejolak kurs yang berlebihan.
:: Pengelolaan Cadangan Devisa
Cadangan devisa merupakan posisi bersih aktiva luar negeri Pemerintah dan bank-bank devisa,
yang harus dipelihara untuk keperluan transaksi internasional.
Dalam mengelola cadangan devisa ini, Bank Indonesia lebih mengutamakan tercapainya tujuan
likuiditas dan keamanan daripada keuntungan yang tinggi. Walaupun demikian, Bank Indonesia
tetap mempertimbangkan perkembangan yang terjadi di pasar internasional, sehingga tidak
tertutup kemungkinan terjadinya pergeseran dalam portfolio komposisi jenis penempatan
cadangan devisa.
Dalam mengelola cadangan devisa yang optimal, Bank Indonesia menerapkan sistem
diversifikasi, baik berdasarkan jenis valuta asing maupun berdasarkan jenis investasi surat
berharga. Dengan cara tersebut diharapkan penurunan nilai dalam salah satu mata uang dapat
dikompensasi oleh jenis mata uang lainnya atau penempatan lain yang mempunyai nilai yang
lebih baik.
:: Kredit Program

Dengan status Bank Indonesia sebagai otoritas moneter yang independen, pemberian kredit
program yang selama ini dilakukan selanjutnya berada di luar lingkup tugas Bank Indonesia.
Tugas pemberian kredit program akan dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang
ditunjuk Pemerintah. Pengalihan tugas ini dimaksudkan agar Bank Indonesia dapat lebih
memfokuskan perhatian pada pencapaian sasaran-sasaran moneter serta agar dapat tercipta
pembagian tugas yang baik antara Pemerintah dan Bank Indonesia.
PILAR 2. MENGATUR DAN MENJAGA KELANCARAN SISTEM PEMBAYARAN
Sesuai dengan Undang- Undang No. 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia, salah satu tugas Bank Indonesia adalah
mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Di
bidang sistem pembayaran Bank Indonesia merupakan satusatunya lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan
mengedarkan uang rupiah serta mencabut, menarik dan
memusnahkan uang dari peredaran. Disisi lain dalam rangka
mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran Bank Indonesia berwenang melaksanakan,
memberi persetujuan dan perizinan atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran seperti sistem
transfer dana baik yang bersifat real time, sistem kliring maupun sistem pembayaran lainnya
misalnya sistem pembayaran berbasis kartu.
Untuk mewujudkan suatu sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman dan handal, Bank
Indonesia secara terus menerus melakukan pengembangan sesuai dengan acuan yang ditetapkan
yaitu Blue Print Sistem Pembayaran Nasional. Pengembangan tersebut direalisasikan dalam

bentuk kebijakan dan ketentuan yang diarahkan pada pengurangan risiko pembayaran antar bank
dan peningkatan efisiensi pelayanan jasa sistem pembayaran.
Pada sistem pembayaran non tunai, saat ini penyediaan layanan jasa pembayaran sebagian besar
dilakukan oleh perbankan baik melalui rekening bank di Bank Indonesia, hubungan bilateral
antar bank maupun melalui jaringan internal bank yang dimilikinya. Layanan pembayaran dana
antar nasabah tersebut biasanya dilakukan melalui transfer elektronik, sistem kliring maupun
melalui sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS). Dari sisi piranti
pembayaran, secara historis sistem pembayaran non tunai di Indonesia didominasi oleh piranti
pembayaran berbasis warkat, namun dalam perkembangannya piranti elektronik mulai banyak
berperan terutama sejak dioperasikannya sistem BI-RTGS pada bulan November untuk
penyelesaian transaksi bernilai besar atau urgent.
Sementara itu dalam kaitannya dengan pengawasan sistem pembayaran, Bank Indonesia
memiliki tanggung jawab agar masyarakat luas dapat memperoleh jasa sistem pembayaran yang
efisien, cepat, tepat dan aman. Fungsi pengawasan sistem pembayaran ini selain berwenang
untuk memberikan izin operasional terhadap pihak yang menyelenggarakan kegiatan di bidang
sistem pembayaran juga berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan
sistem pembayaran baik yang dilakukan oleh Bank Indonesia maupun pihak lain di luar Bank
Indonesia.

PILAR 3. MENGATUR DAN MENGAWASI BANK

Dalam rangka tugas mengatur dan mengawasi perbankan, Bank


Indonesia menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut
izin atas kelembagaan atau kegiatan usaha tertentu dari bank,
melaksanakan pengawasan atas bank, dan mengenakan sanksi
terhadap bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
Dalam pelaksanaan tugas ini, Bank Indonesia berwenang
menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan dengan menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian.
Berkaitan dengan kewenangan di bidang perizinan, selain memberikan dan mencabut izin usaha
bank, Bank Indonesia juga dapat memberikan izin pembukaan, penutupan dan pemindahan
kantor bank, memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank, serta
memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu.
Di bidang pengawasan, Bank Indonesia melakukan pengawasan langsung maupun tidak
langsung. Pengawasan langsung dilakukan baik dalam bentuk pemeriksaan secara berkala
maupun sewaktu-waktu bila diperlukan. Pengawasan tidak langsung dilakukan melalui
penelitian, analisis dan evaluasi terhadap laporan yang disampaikan oleh bank.
:: Upaya Restrukturisasi Perbankan
Sebagai upaya membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan dan
perekonomian Indonesia, Bank Indonesia telah menempuh langkah restrukturisasi perbankan
yang komprehensif. Langkah ini mutlak diperlukan guna memfungsikan kembali perbankan

sebagai lembaga perantara yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi, disamping sekaligus
meningkatkan efektivitas pelaksanaan kebijakan moneter.
Restrukturisasi perbankan tersebut dilakukan melalui upaya memulihkan kepercayaan
masyarakat, program rekapitalisasi, program restrukturisasi kredit, penyempurnaan ketentuan
perbankan, dan peningkatan fungsi pengawasan bank.
STATUS DAN KEDUDUKAN BANK INDONESIA
:: Lembaga Negara yang Independen
Babak baru dalam sejarah Bank Indonesia sebagai Bank Sentral
yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
dimulai ketika sebuah undang-undang baru, yaitu UU No. 23/1999
tentang Bank Indonesia, dinyatakan berlaku pada tanggal 17 Mei
1999 dan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Republik Indonesia No. 6/ 2009. Undang-undang ini memberikan
status dan kedudukan sebagai suatu lembaga negara yang
independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas
dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk
hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini.
Bank Indonesia mempunyai otonomi penuh dalam merumuskan dan melaksanakan setiap tugas
dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tersebut. Pihak luar tidak
dibenarkan mencampuri pelaksanaan tugas Bank Indonesia, dan Bank Indonesia juga

berkewajiban untuk menolak atau mengabaikan intervensi dalam bentuk apapun dari pihak
manapun juga.
Status dan kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar Bank Indonesia dapat melaksanakan
peran dan fungsinya sebagai otoritas moneter secara lebih efektif dan efisien.
:: Sebagai Badan Hukum
Status Bank Indonesia baik sebagai badan hukum publik maupun badan hukum perdata
ditetapkan dengan undang-undang. Sebagai badan hukum publik Bank Indonesia berwenang
menetapkan peraturan-peraturan hukum yang merupakan pelaksanaan dari undang-undang yang
mengikat seluruh masyarakat luas sesuai dengan tugas dan wewenangnya. Sebagai badan hukum
perdata, Bank Indonesia dapat bertindak untuk dan atas nama sendiri di dalam maupun di luar
pengadilan.

Hubungan Kelembagaan
KEDUDUKAN BANK INDONESIA SEBAGAI LEMBAGA NEGARA

Dilhat dari sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, kedudukan BI sebagai


lembaga negara yang independen tidak sejajar dengan lembaga tinggi negara
seperti Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah
Agung. Kedudukan BI juga tidak sama dengan Departemen karena kedudukan BI
berada di luar pemerintahan. Status dan kedudukan yang khusus tersebut
diperlukan agar BI dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai Otoritas

Moneter secara lebih efektif dan efisien. Meskipun BI berkedudukan sebagai


lembaga negara independen, dalam melaksanakan tugasnya, BI mempunyai
hubungan kerja dan koordinasi yang baik dengan DPR, BPK, Pemerintah dan pihak
lainnya.
Dalam hubungannya dengan Presiden dan DPR, BI setiap awal tahun anggaran
menyampaikan informasi tertulis mengenai evaluasi pelaksanaan kebijakan
moneter dan rencana kebijakan moneter yang akan datang. Khusus kepada DPR,
pelaksanaan tugas dan wewenang setiap triwulan dan sewaktu-waktu bila diminta
oleh DPR. Selain itu, BI menyampaikan rencana dan realiasasi anggaran tahunan
kepada Pemerintah dan DPR. Dalam hubungannya dengan BPK, BI wajib
menyampaikan laporan keuangan tahunan kepada BPK.
:: Hubungan BI dengan Pemerintah : Hubungan Keuangan
Dalam hal hubungan keuangan dengan Pemerintah, Bank Indonesia membantu
menerbitkan dan menempatkan surat-surat hutang negara guna membiayai
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tanpa diperbolehkan membeli
sendiri surat-surat hutang negara tersebut.
Bank Indonesia juga bertindak sebagai kasir Pemerintah yang menatausahakan
rekening Pemerintah di Bank Indonesia, dan atas permintaan Pemerintah, dapat
menerima pinjaman luar negeri untuk dan atas nama Pemerintah Indonesia.
Namun demikian, agar pelaksanaan tugas Bank Indonesia benar-benar terfokus
serta agar efektivitas pengendalian moneter tidak terganggu, pemberian kredit
kepada Pemerintah guna mengatasi deficit spending - yang selama ini dilakukan
oleh Bank Indonesia berdasarkan undang-undang yang lama - kini tidak dapat lagi

dilakukan oleh Bank Indonesia.


:: Hubungan BI dengan Pemerintah : Independensi dalam Interdependensi
Meskipun Bank Indonesia merupakan lembaga negara yang independen, tetap
diperlukan koordinasi yang bersifat konsultatif dengan Pemerintah, sebab tugastugas Bank Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakankebijakan ekonomi nasional secara keseluruhan.
Koordinasi di antara Bank Indonesia dan Pemerintah diperlukan pada sidang kabinet
yang membahas masalah ekonomi, perbankan dan keuangan yang berkaitan
dengan tugas-tugas Bank Indonesia. Dalam sidang kabinet tersebut Pemerintah
dapat meminta pendapat Bank Indonesia.
Selain itu, Bank Indonesia juga dapat memberikan masukan, pendapat serta
pertimbangan kepada Pemerintah mengenai Rancangan APBN serta kebijakankebijakan lain yang berkaitan dengan tugas dan wewenangnya.
Di lain pihak, Pemerintah juga dapat menghadiri Rapat Dewan Gubernur Bank
Indonesia dengan hak bicara tetapi tanpa hak suara. Oleh sebab itu, implementasi
independensi justru sangat dipengaruhi oleh kemantapan hubungan kerja yang
proporsional di antara Bank Indonesia di satu pihak dan Pemerintah serta lembagalembaga terkait lainnya di lain pihak, dengan tetap berlandaskan pembagian tugas
dan wewenang masing-masing.
:: Kerjasama BI dengan Lembaga Lain
Menyadari pentingnya dukungan dari berbagai pihak bagi keberhasilan tugasnya, BI
senantiasa bekerja sama dan berkoordinasi dengan berbagai lembaga negara dan
unsur masyarakat lainnya. Beberapa kerjasama ini dituangkan dalam nota

kesepahaman (MoU), keputusan bersama (SKB), serta perjanjian-perjanjian, yang


ditujukan untuk menciptakan sinergi dan kejelasan pembagian tugas antar lembaga
serta mendorong penegakan hukum yang lebih efektif.
Beberapa Kerjasama dimaksud adalah dengan pihak-pihak sbb :

1. Departemen Keuangan (MoU tentang Mekanisme Penetapan Sasaran,


Pemantauan, dan Pengendalian Inflasi di Indonesia, MoU tentang BI sebagai
Process Agent di bidang pinjaman dan hibah luar negeri Pemerintah, SKB
tentang Penatausahaan Penerbitan Surat Utang Negara (SUN) dalam rangka
penyehatan perbankan)
2. Kejaksaan Agung & Kepolisian Negara : SKB tentang kerjasama penanganan
tindak pidana di bidang perbankan
3. Kepolisian Negara RI dan Badan Intelijen Negara : MoU tentang
Pemberantasan uang palsu
4. Menkokesra, Kementrian Koperasi dan UKM : MoU bidang Pemberdayaan dan
Pengembangan UMKM
5. Perhimpunan Pedagang SUN (Himdasun) : MoU tentang Penyusunan Master
Repurchase Agreement (MRA)
6. Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia tentang
Koordinasi Pengelolaan Uang Negara (.pdf)

SEJARAH BANK INDONESIA


Sebelum kedatangan bangsa barat, nusantara telah berkembang menjadi wilayah perdagangan
internasional. Pada saat itu terdapat dua jalur perniagaan internasional yang digunakan oleh para
pedagang, jalur darat dan jalur laut. Pada masa itu telah terdapat dua kerajaan utama di nusantara
yang mempunyai andil besar dalam meramaikan perniagaan internasional, yaitu Sriwijaya dan
Majapahit. Dalam maraknya perniagaan tersebut belum ada mata uang baku yang dijadikan nilai
standar. Meskipun masyarakat telah mengenal mata uang dalam bentuk sederhana.
Sementara itu pada abad ke-15 bangsa-bangsa Eropa sedang berupaya memperluas wilayah
penjelajahannya di berbagai belahan dunia, termasuk Asia dan Nusantara. sejak jatuhnya
Konstantinopel ke tangan kekuasaan Turki Usmani (1453), penjelajahan tersebut dipelopori oleh
Spanyol dan Portugis yang kemudian diikuti oleh Belanda, Inggris, dan Perancis. Kegiatan
penjelajahan tersebut telah mendorong munculnya paham merkantilisme di Eropa pada abad ke
1617.
Selanjutnya pada akhir abad ke-18 revolusi industri telah berlangsung di Eropa. Kegiatan
industri berkembang dan hasil produksi meningkat sehingga mendorong kegiatan ekspor ke
wilayah Asia dan Amerika. Pesatnya perdagangan di Eropa memicu tumbuhnya lembaga
pemberi jasa keuangan yang merupakan cikal-bakal lembaga perbankan modern, antara lain
seperti Bank van Leening di Belanda. Kemudian secara bertahap bank-bank tertentu di wilayah
Eropa seperti Bank of England (1773), Riskbank (1809), Bank of France (1800) berkembang
menjadi bank sentral.
Munculnya Malaka sebagai emporium perdagangan telah menarik perhatian bangsa Portugis
yang akhirnya pada 1511 berhasil menguasai Malaka. Mereka terus bergerak ke arah timur
menuju sumber rempah-rempah di Maluku. Di sana Portugis menghadapi bangsa Spanyol yang

datang melalui Filipina. Beberapa saat kemudian bangsa Belanda juga berusaha menguasai
sumber-sumber komoditi perdagangan di Jawa dan Nusantara. Dengan mengibarkan bendera
VOC yaitu perusahaan induk penghimpun perusahaan-perusahaan dagang Belanda, mereka
mengukuhkan kekuasaanya di Batavia pada 1619. Untuk memperlancar dan mempermudah
aktivitas perdagangan VOC di Nusantara, pada 1746 didirikan De Bank van Leening dan
kemudian berubah menjadi De Bank Courant en Bank van Leening pada 1752. Bank van
Leening merupakan bank pertama yang beroperasi di Nusantara. Pada akhir abad ke-18, VOC
telah mengalami kemunduran, bahkan kebangkrutan. Maka kekuasaan VOC di nusantara diambil
alih oleh pemerintah Kerajaan Belanda. Setelah masa pemerintahan Herman William Daendels
dan Janssen, Hindia Timur akhirnya jatuh ke tangan Inggris.
Ratu Inggris mengutus Sir Thomas Stamford Raffles untuk memerintah Hindia Timur. Tetapi
pemerintahan Raffles tidak bertahan lama, karena setelah usainya perang melawan Perancis
(Napoleon) di Eropa, Inggris dan Belanda membuat kesepakatan bahwa semua wilayah Hindia
Timur diserahkan kembali kepada Belanda. Sejak saat itu Hindia Timur disebut sebagai Hindia
Belanda (Nederland Indie) dan diperintah oleh Komisaris Jenderal (18151819) yang terdiri dari
Elout, Buyskes, dan van der Capellen. Pada periode inilah berbagai perbaikan ekonomi mulai
dilaksanakan di Hindia Belanda. Hingga nantinya Du Bus menyiapkan beberapa kebijakan yang
mempersiapkan didirikannya De Javasche Bank pada 1828.
Perkembangan II.
Gagasan pembentukan bank sirkulasi untuk Hindia Belanda dicetuskan menjelang keberangkatan
Komisaris Jenderal Hindia Belanda Mr. C.T. Elout ke Hindia Belanda. Kondisi keuangan di
Hindia Belanda dianggap telah memerlukan penertiban dan pengaturan sistem pembayaran

dalam bentuk lembaga bank. Pada saat yang sama kalangan pengusaha di Batavia, Hindia
Belanda, telah mendesak didirikannya lembaga bank guna memenuhi kepentingan bisnis mereka.
Meskipun demikian gagasan tersebut baru mulai diwujudkan ketika Raja Willem I menerbitkan
Surat Kuasa kepada Komisaris Jenderal Hindia Belanda pada 9 Desember 1826. Surat tersebut
memberikan wewenang kepada pemerintah Hindia Belanda untuk membentuk suatu bank
berdasarkan wewenang khusus berjangka waktu, atau lazim disebut oktroi.
Dengan surat kuasa tersebut, pemerintah Hindia Belanda mulai mempersiapkan berdirinya DJB.
Pada 11 Desember 1827, Komisaris Jenderal Hindia Belanda Leonard Pierre Joseph Burggraaf
Du Bus de Gisignies mengeluarkan Surat Keputusan No. 28 tentang oktroi dan ketentuanketentuan mengenai DJB. Kemudian pada 24 Januari 1828 dengan Surat Keputusan Komisaris
Jenderal Hindia Belanda No. 25 ditetapkan akte pendirian De Javasche Bank (DJB). Pada saat
yang sama juga diangkat Mr. C. de Haan sebagai Presiden DJB dan C.J. Smulders sebagai
sekretaris DJB.
Oktroi merupakan ketentuan dan pedoman bagi DJB dalam menjalankan usahanya. Oktroi DJB
pertama berlaku selama 10 tahun sejak 1 Januari 1828 sampai 31 Desember 1837 dan
diperpanjang sampai dengan 31 Maret 1838. Pada periode oktroi keenam, DJB melakukan
pembaharuan akte pendiriannya di hadapan notaris Derk Bodde di Jakarta pada 22 Maret 1881.
Sesuai dengan akte baru DJB, status bank diubah menjadi Naamlooze Vennootschap (N.V.).
Dengan perubahan akte tersebut, DJB dianggap sebagai perusahaan baru. Oktroi kedelapan
adalah oktroi DJB terakhir hingga berlakunya DJB Wet pada 1922. Pada periode oktroi terakhir
ini, DJB banyak mengeluarkan ketentuan baru dalam bidang sistem pembayaran yang mengarah
kepada perbaikan bagi lalu lintas pembayaran di Hindia Belanda. Oktroi kedelapan berakhir
hingga 31 Maret 1921 dan hanya diperpanjang selama satu tahun sampai dengan 31 Maret 1922.

Perkembanngan III..
Pada 31 Maret 1922 diundangkan De Javasche Bankwet 1922 (DJB Wet). Bankwet 1922 ini
kemudian diubah dan ditambah dengan UU tanggal 30 April 1927 serta UU 13 November 1930.
Pada dasarnya De Javasche Bankwet 1922 adalah perpanjangan dari oktroi kedelapan DJB yang
berlaku sebelumnya. Masa berlaku Bankwet 1922 adalah 15 tahun ditambah dengan
perpanjangan otomatis satu tahun, selama tidak ada pembatalan oleh gubernur jenderal atau
pihak direksi. Pimpinan DJB pada periode DJB Wet adalah direksi yang terdiri dari seorang
presiden dan sekurang-kurangnya dua direktur, satu di antaranya adalah sekretaris. Selain itu
terdapat jabatan presiden pengganti I, presiden pengganti II, direktur pengganti I, dan direktur
pengganti II. Penetapan jumlah direktur ditentukan oleh rapat bersama antara direksi dan dewan
komisaris. Pada periode ini DJB terdiri atas tujuh bagian, di antaranya bagian ekonomi statistik,
sekretaris, bagian wesel, bagian produksi, dan bagian efek-efek.
Pada periode ini DJB berkembang pesat dengan 16 kantor cabang, antara lain: Bandung,
Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Malang, Kediri, Kutaraja, Medan, Padang,
Palembang, Banjarmasin, Pontianak, Makassar, dan Manado, serta kantor perwakilan di
Amsterdam, dan New York. DJB Wet ini terus berlaku sebagai landasan operasional DJB hingga
lahirnya Undang-undang Pokok Bank Indonesia 1 Juli 1953.
Perkembangan IV
Pecahnya Perang Dunia II di Eropa terus menjalar hingga ke wilayah Asia Pasifik. Militer
Jepang segera melebarkan wilayah invasinya dari daratan Asia menuju Asia Tenggara.
Menjelang kedatangan Jepang di Pulau Jawa, Presiden DJB, Dr. G.G. van Buttingha Wichers,
berhasil memindahkan semua cadangan emasnya ke Australia dan Afrika Selatan. Pemindahan

tersebut dilakukan lewat pelabuhan Cilacap. Setelah menduduki Pulau Jawa pada bulan FebruariMaret 1942, tentara Jepang memaksa penyerahan seluruh aset bank kepada mereka. Selanjutnya,
pada bulan April 1942, diumumkan suatu banking-moratorium tentang adanya penangguhan
pembayaran kewajiban-kewajiban bank. Beberapa bulan kemudian, pimpinan tentara Jepang
untuk Pulau Jawa, yang berada di Jakarta, mengeluarkan ordonansi berupa perintah likuidasi
untuk seluruh bank Belanda, Inggris, dan beberapa bank Cina. Ordonansi serupa juga
dikeluarkan oleh komando militer Jepang di Singapura untuk bank-bank di Sumatera, sedangkan
kewenangan likuidasi bank-bank di Kalimantan dan Great East diberikan kepada Navy Ministry
di Tokyo.
Fungsi dan tugas bank-bank yang dilikuidasi tersebut, kemudian diambil alih oleh bank-bank
Jepang, seperti Yokohama Specie Bank, Taiwan Bank, dan Mitsui Bank, yang pernah ada
sebelumnya dan ditutup oleh Belanda ketika mulai pecah perang. Sebagai bank sirkulasi di Pulau
Jawa, dibentuklah Nanpo Kaihatsu Ginko yang melanjutkan tugas tentara pendudukan Jepang
dalam mengedarkan invansion money yang dicetak di Jepang dalam tujuh denominasi, mulai
dari satu hingga sepuluh gulden. Sampai pertengahan bulan Agustus 1945, telah diedarkan
invansion money senilai 2,4 milyar gulden di Pulau Jawa, 1,4 milyar gulden di Sumatera, serta
dalam nilai yang lebih kecil di Kalimantan dan Sulawesi. Sejak tanggal 15 Agustus 1945, juga
masuk dalam peredaran senilai 2 milyar gulden, yang sebagian berasal dari uang yang ditarik
dari bank-bank Jepang di Sumatera serta sebagian lagi dicuri dari De Javasche Bank Surabaya
dan beberapa tempat lainnya. Hingga bulan Maret 1946, jumlah uang yang beredar di wilayah
Hindia Belanda berjumlah sekitar delapan milyar gulden. Hal tersebut menimbulkan hancurnya
nilai mata uang dan memperberat beban ekonomi wilayah Hindia Belanda.

Perkembangan V.
Setelah Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945, Indonesia segera memproklamasikan
kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Keesokan harinya, pada 18 Agustus 1945 telah disusun
Undang-Undang Dasar 1945. Dalam penjelasan UUD 1945 Bab VIII pasal 23 Hal Keuangan
yang menyatakan cita-cita membentuk bank sentral dengan nama Bank Indonesia untuk
memperkuat adanya kesatuan wilayah dan kesatuan ekonomi-moneter. Sementara itu dengan
membonceng tentara Sekutu, Belanda kembali mencoba menduduki wilayah yang pernah
dijajahnya. Maka dalam wilayah Indonesia terdapat dua pemerintahan yaitu: pemerintahan
Republik Indonesia dan pemerintahan Belanda atau Nederlandsche Indische Civil Administrative
(NICA). Selanjutnya NICA membuka akses kantor-kantor pusat Bank Jepang di Jakarta dan
menugaskan DJB menjadi bank sirkulasi mengambil alih peran Nanpo Kaihatsu Ginko. Tidak
lama kemudian DJB berhasil membuka sembilan cabangnya di wilayah-wilayah yang dikuasai
oleh NICA. Pembukaan cabang-cabang DJB terus berlanjut seiring dengan dua agresi militer
yang dilancarkan Belanda kepada Indonesia. Sementara itu di wilayah yang dikuasai oleh
Republik Indonesia, dibentuk Jajasan Poesat Bank Indonesia (Yayasan Bank Indonesia) yang
kemudian melebur dalam Bank Negara Indonesia sebagai bank sirkulasi berdasarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2/1946. Namun demikian situasi perang kemerdekaan
dan terbatasnya pengakuan dunia sangat menghambat peran BNI sebagai bank sirkulasi. Namun
demikian pada 30 Oktober 1946, pemerintah dapat menerbitkan Oeang Repoeblik Indonesia
(ORI) sebagai uang pertama Republik Indonesia. Periode ini ditutup dengan Konferensi Meja
Bundar (KMB) 1949 yang memutuskan DJB sebagai bank sirkulasi untuk Republik Indonesia
Serikat (RIS) dan Bank Negara Indonesia sebagai bank pembangunan.
Perkembangan VI.

Pada Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia sebagai bagian dari
Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada saat itu, sesuai dengan keputusan Konferensi Meja
Bundar (KMB), fungsi bank sentral tetap dipercayakan kepada De Javasche Bank (DJB).
Pemerintahan RIS tidak berlangsung lama, karena pada tanggal 17 Agustus 1950, pemerintah
RIS dibubarkan dan Indonesia kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pada saat itu, kedudukan DJB tetap sebagai bank sirkulasi. Berakhirnya kesepakatan KMB
ternyata telah mengobarkan semangat kebangsaan yang terwujud melalui gerakan nasionalisasi
perekonomian Indonesia. Nasionalisasi pertama dilaksanakan terhadap DJB sebagai bank
sirkulasi yang mempunyai peranan penting dalam menggerakkan roda perekonomian Indonesia.
Sejak berlakunya Undang-undang Pokok Bank Indonesia pada tanggal 1 Juli 1953, bangsa
Indonesia telah memiliki sebuah lembaga bank sentral dengan nama Bank Indonesia.
Sebelum berdirinya Bank Indonesia, kebijakan moneter, perbankan, dan sistem pembayaran
berada di tangan pemerintah. Dengan menanggung beban berat perekonomian negara pasca
perang, kebijakan moneter Indonesia ditekankan pada peningkatan posisi cadangan devisa dan
menahan laju inflasi. Sementara itu, pada periode ini, pemerintah terus berusaha memperkuat
sistem perbankan Indonesia melalui pendirian bank-bank baru. Sebagai bank sirkulasi, DJB turut
berperan aktif dalam mengembangkan sistem perbankan nasional terutama dalam penyediaan
dana kegiatan perbankan. Banyaknya jenis mata uang yang beredar memaksa pemerintah
melakukan penyeragaman mata uang. Maka, meski hanya untuk waktu yang singkat, pemerintah
mengeluarkan uang kertas RIS yang menggantikan Oeang Republik Indonesia dan berbagai jenis
uang lainnya. Akhirnya, setelah sekian lama berlaku sebagai acuan hukum pengedaran uang di
Indonesia, Indische Muntwet 1912 diganti dengan aturan baru yang dikenal dengan Undangundang Mata Uang 1951.

UANG
Uang dalam ilmu ekonomi tradisional didefinisikan sebagai setiap alat tukar yang dapat diterima
secara umum. Alat tukar itu dapat berupa benda apapun yang dapat diterima oleh setiap orang di
masyarakat dalam proses pertukaran barang dan jasa. Dalam ilmu ekonomi modern, uang
didefinisikan sebagai sesuatu yang tersedia dan secara umum diterima sebagai alat pembayaran
bagi pembelian barang-barang dan jasa-jasa serta kekayaan berharga lainnya serta untuk
pembayaran utang.Beberapa ahli juga menyebutkan fungsi uang sebagai alat penunda
pembayaran.
Keberadaan uang menyediakan alternatif transaksi yang lebih mudah daripada barter yang lebih
kompleks, tidak efisien, dan kurang cocok digunakan dalam sistem ekonomi modern karena
membutuhkan orang yang memiliki keinginan yang sama untuk melakukan pertukaran dan juga
kesulitan dalam penentuan nilai. Efisiensi yang didapatkan dengan menggunakan uang pada
akhirnya akan mendorong perdagangan dan pembagian tenaga kerja yang kemudian akan
meningkatkan produktifitas dan kemakmuran.
Pada awalnya di Indonesia, uang dalam hal ini uang kartal diterbitkan oleh pemerintah Republik
Indonesia. Namun sejak dikeluarkannya UU No. 13 tahun 1968 pasal 26 ayat 1, hak pemerintah
untuk mencetak uang dicabut. Pemerintah kemudian menetapkan Bank Sentral, Bank Indonesia,
sebagai satu-satunya lembaga yang berhak menciptakan uang kartal. Hak untuk menciptakan
uang itu disebut dengan hak oktroi.
SEJARAH UANG

Uang yang kita kenal sekarang ini telah mengalami proses perkembangan yang panjang. Pada
mulanya, masyarakat belum mengenal pertukaran karena setiap orang berusaha memenuhi
kebutuhannnya dengan usaha sendiri. Manusia berburu jika ia lapar, membuat pakaian sendiri
dari bahan-bahan yang sederhana, mencari buah-buahan untuk konsumsi sendiri; singkatnya, apa
yang diperolehnya itulah yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhannya.
Perkembangan selanjutnya mengahadapkan manusia pada kenyataan bahwa apa yang diproduksi
sendiri ternyata tidak cukup untuk memenuhui seluruh kebutuhannya. Untuk memperoleh
barang-barang yang tidak dapat dihasilkan sendiri, mereka mencari orang yang mau menukarkan
barang yang dimiliki dengan barang lain yang dibutuhkan olehnya. Akibatnya muncullah sistem
barter, yaitu barang yang ditukar dengan barang.
Namun pada akhirnya, banyak kesulitan-kesulitan yang dirasakan dengan sistem ini. Di
antaranya adalah kesulitan untuk menemukan orang yang mempunyai barang yang diinginkan
dan juga mau menukarkan barang yang dimilikinya serta kesulitan untuk memperoleh barang
yang dapat dipertukarkan satu sama lainnya dengan nilai pertukaran yang seimbang atau hampir
sama nilainya. Untuk mengatasinya, mulailah timbul pikiran-pikiran untuk menggunakan bendabenda tertentu untuk digunakan sebagai alat tukar. Benda-benda yang ditetapkan sebagai alat
pertukaran itu adalah benda-benda yang diterima oleh umum (generally accepted), benda-benda
yang dipilih bernilai tinggi (sukar diperoleh atau memiliki nilai magis dan mistik), atau bendabenda yang merupakan kebutuhan primer sehari-hari; misalnya garam yang oleh orang Romawi
digunakan sebagai alat tukar maupun sebagai alat pembayaran upah. Pengaruh orang Romawi
tersebut masih terlihat sampai sekarang; orang Inggris menyebut upah sebagai salary yang
berasal dari bahasa Latin salarium yang berarti garam.

Meskipun alat tukar sudah ada, kesulitan dalam pertukaran tetap ada. Kesulitan-kesulitan itu
antara lain karena benda-benda yang dijadikan alat tukar belum mempunyai pecahan sehingga
penentuan nilai uang, penyimpanan (storage), dan pengangkutan (transportation) menjadi sulit
dilakukan serta timbul pula kesulitan akibat kurangnya daya tahan benda-benda tersebut
sehingga mudah hancur atau tidak tahan lama.
Kemudian muncul apa yang dinamakan dengan uang logam. Logam dipilih sebagai alat tukar
karena memiliki nilai yang tinggi sehingga digemari umum, tahan lama dan tidak mudah rusak,
mudah dipecah tanpa mengurangi nilai, dan mudah dipindah-pindahkan. Logam yang dijadikan
alat tukar karena memenuhi syarat-syarat tersebut adalah emas dan perak. Uang logam emas dan
perak juga disebut sebagai uang penuh (full bodied money). Artinya, nilai intrinsik (nilai bahan)
uang sama dengan nilai nominalnya (nilai yang tercantum pada mata uang tersebut). Pada saat
itu, setiap orang berhak menempa uang, melebur, menjual atau memakainya, dan mempunyai
hak tidak terbatas dalam menyimpan uang logam.
Sejalan dengan perkembangan perekonomian, timbul kesulitan ketika perkembangan tukarmenukar yang harus dilayani dengan uang logam bertambah sementara jumlah logam mulia
(emas dan perak) sangat terbatas. Penggunaan uang logam juga sulit dilakukan untuk transaksi
dalam jumlah besar sehingga diciptakanlah uang kertas.
Mula-mula uang kertas yang beredar merupakan bukti-bukti pemilikan emas dan perak sebagai
alat/perantara untuk melakukan transaksi. Dengan kata lain, uang kertas yang beredar pada saat
itu merupakan uang yang dijamin 100% dengan emas atau perak yang disimpan di pandai emas
atau perak dan sewaktu-waktu dapat ditukarkan penuh dengan jaminannya. Pada perkembangan

selanjutnya, masyarakat tidak lagi menggunakan emas (secara langsung) sebagai alat pertukaran.
Sebagai gantinya, mereka menjadikan kertas-bukti tersebut sebagai alat tukar.
FUNGSI UANG
Secara umum, uang memiliki fungsi sebagai perantara untuk pertukaran barang dengan barang,
juga untuk menghidarkan perdagangan dengan cara barter. Secara lebih rinci, fungsi uang
dibedalan menjadi dua: fungsi asli dan fungsi turunan.
Fungsi asli uang ada tiga, yaitu sebagai alat tukar, sebagai satuan hitung, dan sebagai penyimpan
nilai.
Fungsi turunan itu antara lain uang sebagai alat pembayaran, sebagai alat pembayaran utang,
sebagai alat penimbun atau pemindah kekayaan (modal), dan alat untuk meningkatkan status
sosial.
SYARAT-SYARAT UANG
Suatu benda dapat dijadikan sebagai uang jika benda tersebut telah memenuhi syarat-syarat
tertentu. Pertama, benda itu harus diterima secara umum (acceptability). Agar dapat diakui
sebagai alat tukar umum suatu benda harus memiliki nilai tinggi atau setidaknya dijamin
keberadaannya oleh pemerintah yang berkuasa. Bahan yang dijadikan uang juga harus tahan
lama (durability), kualitasnya cenderung sama (uniformity), jumlahnya dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat serta tidak mudah dipalsukan (scarcity). Uang juga harus mudah dibawa,
portable, dan mudah dibagi tanpa mengurangi nilai (divisibility), serta memiliki nilai yang
cenderung stabil dari waktu ke waktu (stability of value).

JENIS UANG
Uang yang beredar dalam masyarakat dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu uang kartal (sering
pula disebut sebagai common money) dan uang giral. Uang kartal adalah alat bayar yang sah dan
wajib digunakan oleh masyarakat dalam melakukan transaksi jual-beli sehari-hari. Sedangkan
yang dimaksud dengan uang giral adalah uang yang dimiliki masyarakat dalam bentuk simpanan
(deposito) yang dapat ditarik sesuai kebutuhan. Uang ini hanya beredar di kalangan tertentu saja,
sehingga masyarakat mempunyai hak untuk menolak jika ia tidak mau barang atau jasa yang
diberikannya dibayar dengan uang ini. Untuk menarik uang giral, orang menggunakan cek.
UANG DALAM EKONOMI
Uang adalah salah satu topik utama dalam pembelajaran ekonomi dan finansial. Monetarisme
adalah sebuah teori ekonomi yang kebanyakan membahas tentang permintaan dan penawaran
uang. Sebelum tahun 80-an, masalah stabilitas permintaan uang menjadi bahasan utama karyakarya Milton Friedman, Anna Schwartz, David Laidler, dan lainnya.
Kebijakan moneter bertujuan untuk mengatur persediaan uang, inflasi, dan bunga yang kemudian
akan mempengaruhi output dan ketenagakerjaan. Inflasi adalah turunnya nilai sebuah mata uang
dalam jangka waktu tertentu dan dapat menyebabkan bertambahnya persediaan uang secara
berlebihan. Interest rate, biaya yang timbul ketika meminjam uang, adalah salah satu alat penting
untuk mengontrol inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Bank sentral seringkali diberi tanggung
jawab untuk mengawasi dan mengontrol persediaan uang, interest rate, dan perbankan.
Krisis moneter dapat menyebabkan efek yang besar terhadap perekonomian, terutama jika krisis
tersebut menyebabkan kegagalan moneter dan turunnya nilai mata uang secara berlebihan yang

menyebabkan orang lebih memilih barter sebagai cara bertransaksi. Ini pernah terjadi di Rusia,
sebagai contoh, pada masa keruntuhan Uni Soviet.

Anda mungkin juga menyukai