PENDAHULUAN
Anderson dan Krathwohl (2001) merevisi Taksonomi Bloom tentang aspek
kognitif menjadi dua dimensi, yaitu: (1) dimensi proses kognitif dan (2) dimensi
pengetahuan. Hasil revisi dimensi proses kognitif meliputi: (1) pengetahuan
(knowledge), (2) pemahaman (comprehension), (3) aplikasi (application), (4)
analisis (analysis), (5) evaluasi (evaluation), dan (6) mencipta (create). Sementara
itu, aspek-aspek dari dimensi pengetahuan yang dikemukakan oleh Anderson dan
Krathwohl
meliputi:
knowledge), (2)
baik dari guru maupun siswa sehingga berdampak pada kurangnya pelibatan
metakognisi siswa. Padahal metakognisi penting bagi siswa untuk menunjang
kulaitas proses dan hasil belajarnya. Dengan metakognisi siswa semakin
menyadari cara pikir mereka dan mengetahui kognisi mereka pada umumnya, dan
ketika bertindak berdasarkan kesadaran ini, mereka cenderung semakin baik
dalam belajar (Anderson & Krathwohl, 2001: 43). Pendapat Anderson &
Krathwohl tersebut didukung oleh hasil penelitian Kurniati (2012) yang
menyimpulkan bahwa hasil belajar matematika siswa mengalami peningkatan
setelah diberikan tindakan melalui pembelajaran metakognisi. Atas dasar tersebut,
aspek metakognisi menarik untuk dikaji lebih mendalam.
Kenyataan yang terjadi di lapangan saat ini adalah banyak siswa yang
kurang melibatkan atau memanfaatkan kemampuan metakognisi mereka dalam
belajar. Hasil penelitian Anggo (2012) menunjukkan bahwa beberapa kesulitan
yang dialami oleh subjek penelitian dalam memecahkan masalah matematika
kontekstual, ternyata berkaitan dengan ketidakmampuan dalam menerapkan
metakognisi. Kurangnya penerapan metakognisi tersebut terjadi ketika: (1)
menerjemahkan situasi kontekstual masalah yang dipecahkan, dan (2) penerapan
prosedur matematika formal yang tidak didasari kesadaran dan pengaturan
berpikir. Hasil penelitian yang dilakukan Tralisno dan Syafmen (2013) juga
menyimpulkan bahwa secara umum kesulitan yang dialami siswa dengan gaya
belajar reflektif dalam menyelesaikan masalah matematika pada materi peluang
dikarenakan faktor kurangnya pengetahuan tentang strategi, ketidaktepatan
strategi yang digunakan, dan kesalahan saat memformulasikan ke dalam bentuk
kalimat matematika.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa
dalam menyadari, mengatur, dan mengontrol proses kognitif yang dilakukan siswa
pada saat belajar, berpikir, dan memecahkan masalah, perlu melibatkan
kemampuan (pengetahuan dan keterampilan) metakognisi mereka. Dengan
metakognisi, mereka akan mengetahui bermacam-macam strategi yang tepat
untuk belajar serta strategi untuk memonitor dan mengecek pemahaman mereka.
beberapa
pengertian
metakognisi
di
atas,
penulis
sendiri dalam kaitannya dengan kognisi belajar. Misalnya siswa tahu bahwa diri
mereka lebih mampu mengerjakan tes pilihan ganda dari pada tes esai berarti
mempunyai pengetahuan diri tentang keterampilan mereka dalam mengerjakan
tes. Pengetahuan ini akan bermanfaat bagi siswa yang mempersiapkan diri untuk
menghadapi dua jenis tes tersebut. Contoh lain pengetahuan-diri yaitu (1)
pengetahuan bahwa dirinya mempunyai pengetahuan yang mendalam pada
sebagian bidang, tetapi tidak pada sebagian bidang yang lainnya, (2) pengetahuan
tentang tujuan-tujuan pribadi dalam melakukan suatu tugas, (3) pengetahuan
bahwa dirinya cenderung mengandalkaan satu strategi dalam situasi tertentu, (4)
pengetahuan tentang minat pribadi pada tugas tertentu, (5) pengetahuan tentang
keputusan pribadi tentang manfaat suatu tugas.
Nur dkk (2004:56) menyatakan bahwa keterampilan metakognitif adalah
metode-metode untuk belajar, studi, atau memecahkan masalah. Lebih lanjut,
menurut Nur dkk, keterampilan berpikir dan keterampilan belajar adalah contohcontoh keterampilan metakognitif. Siswa dapat diajarkan strategi-strategi untuk
menilai pemahaman mereka sendiri, menghitung berapa waktu yang mereka
perlukan untuk mempelajari sesuatu, dan memilih rencana yang efektif untuk
belajar atau memecahkan masalah.
Sebagai contoh dalam membaca tulisan ini, Anda akan menjumpai suatu
paragraf yang dengan sekali membaca, Anda tidak akan mudah memahami makna
paragraf tersebut. Dengan kata lain Anda menyadari bahwa ada paragraf yang
membuat Anda bingung dan Anda membutuhkan klarifikasi sebelum membaca
lebih jauh. Apa yang akan Anda lakukan? Anda perlu menentukan langkah apa
yang tepat dilakukan untuk bisa memahami paragraf tersebut. Mungkin Anda
berhenti membaca, kemudian membuka kamus untuk mendapatkan banyak
informasi. Mungkin Anda memutuskan membaca ulang paragraf tersebut dengan
lebih lambat dan memikirkan makna kata per kata. Kemungkinan Anda akan
mencari petunjuk lain seperti gambar, grafik, atau istilah lain untuk membantu
Anda memahami paragraf tersebut. Kemungkinan Anda akan menanyakan pada
orang lain yang lebih ahli. Kemungkinan juga Anda akan membaca lebih jauh ke
paragraf berikutnya untuk mengetahui apakah kesulitan Anda timbul karena Anda
tidak memahami secara penuh sesuatu hal yang ditulis sebelumnya. Kesemuanya
ini merupakan contoh strategi metakognitif menurut Zimmerman dan Schunk
(dalam Nur dkk, 2004: 57) yaitu belajar bagaimana cara mengetahui ketika Anda
tidak memahami sesuatu dan bagaimana cara memperbaiki diri. Strategi
metakognitif yang lain menurut Nur dkk (2004: 57) adalah kemampuan untuk
menaksir/memprediksi
apa
yang
cenderung
akan
terjadi
atau
memutuskan/mengatakan mana yang dapat diterima oleh akal dan mana yang
tidak.
Keterampilan metakognisi sangat berpengaruh terhadap keterampilanketerampilan yang lain, menurut Imel (dalam Dewi dkk, 2013):
Keterampilan metakognitif sangat diperlukan untuk kesukses-an
belajar, mengingat keterampilan metakognitif memungkinkan siswa
untuk mampu memperoleh kecakapan kognitif dan mampu melihat
kelemahannya sehingga dapat dilakukan perba-kan pada tindakantindakan berikutnya. Lebih lanjut, dinyatakan bahwa siswa yang
menggunakan keterampilan metakognisinya memiliki prestasi yang
lebih baik dibandingkan siswa yang tidak menggunakan
keterampilan metakognisinya.
Mengajarkan strategi-strategi metakognitif kepada siswa dapat membawa ke
arah peningkatan hasil belajar mereka secara nyata. Siswa-siswa dapat belajar
berpikir tentang proses-prosses berpikir mereka sendiri, melakukan perencanaan,
mengikuti perkembangan dan membantu proses belajarnya, dan
METODE PENULISAN
Metode penulisan yang digunakan penulis dalam menyusun karya tulis
ilmiah ini adalah studi kepustakaan,
berbagai sumber hasil pengkajian orang lain seperti jurnal, buku, tesis, disertasi,
dan sumber lainnya yang relevan yang membantu penulis memperoleh informasi
tentang
upaya-upaya
yang
dapat
dilakukan
untuk
melibatkan
dan
akan
diuraikan
upaya-upaya
untuk
melibatkan
dan
dan
Menyajikan
Artifak
(Hasil
Karya)
dan
PBL
merupakan
model
pembelajaran
yang
dimulai
dengan
(1)
PQ4R/SQ4R
merupakan
pengembangan
dari
metode
pada
saat
membaca/mempelajarinya.
Gunakan
judul
untuk
Pada
jawaban
dari
masalah
kontekstual
dengan
teman
yang
digunakan
sudah
tepat.
Terakhir
pada
tahap
aktifitas
metakognisi
dalam
memecahkan
masalah
(monitoring), dan (3) refleksi (reflection) (Anggo 2011a: 30, Anggo 2011b:
37).
Hasil penelitian Anggo (2011) yang berjudul Pelibatan Metakognisi
dalam Pemecahan Masalah Matematika dengan mengambil subjek penelitian
mahasiswa semester 1 Program Studi S1 Pendidikan Matematika FKIP
Universitas Haluoleo Kendari, menyimpulkan bahwa (1) salah satu faktor yang
mendorong keterlaksanaan aktivitas metakognisi pada pemecahan masalah
matematika adalah penggunaan masalah matematika yang menantang kepada
siswa dan (2) pilihan untuk menggunakan masalah matematika kontekstual
ternyata memiliki keunggulan dalam mendorong siswa melibatkan kesadaran
dan pengaturan berpikirnya (metakognisi) ketika memecahkan masalah.
Berdasarkan beberapa uraian tentang pemecahan masalah di atas, dapat
dikatakan bahwa melalui pemecahan masalah matematika, siswa akan terlatih
untuk selalu melibatkan kemampuan metakognisinya mulai dari awal
pemecahan masalah hingga pada bagian akhir berupa rumusan jawaban serta
melakukan evaluasi dan melihat kembali untuk memastikan pencapaian tujuan
berkaitan dengan situasi kontekstual dari masalah yang dipecahkan. Melalui
pemecahan masalah matematika siswa diharapkan mengerahkan kesadaran dan
pengaturan kognisi atau proses berpikirnya dalam memecahkan masalah
matematika yang juga berarti melatih siswa mengerahkan kemampuan
metakognisinya sehingga akan terus terjadi penyempurnaan kemampuan
metakognisi. Jadi, dengan membiasakan siswa pada pemecahan masalah dalam
pembelajaran matematika dapat melibatkan dan menumbuhkembangkan
kemampuan metakognisinya.
mengungkapkan
bahwa
siswa
dapat
mendiskusikan
telah
diketahuinya.
Demikian
halnya
jika
siswa
mengetahui
KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian
menumbuhkembangkan
sebelumnya,
kemampuan
untuk
metakognisi
melibatkan
dalam
dan
pembelajaran
SARAN
Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan di atas dan keterbatasan
penyusunan karya tulis ini, maka penulis mengajukan saran kepada peneliti
selanjutnya, terkhusus kepada guru matematika untuk melakukan penelitian lebih
lanjut terkait dengan upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan dan
menumbuhkembangkan kemampuan metakognisi siswa dalam pembelajaran
matematika serta melakukan pengkajian lebih mendalam tentang penerapan
upaya-upaya tersebut. Guru juga diharapkan memperbaiki sistem pengajaran
konvensional yang digunakan selama ini dengan memilih model dan/atau
pendekatan pembelajaran yang melibatkan kemampuan metakognisi siswa,
mengajarkan strategi belajar yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik
siswa, serta membimbing siswa menggunakan strategi bertanya kepada diri
sendiri untuk memudahkan siswa mencapai tujuan kognitifnya sehingga
menunjang kualitas proses dan hasil belajar siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, L. W., & Krathwohl, D. R. (2001). A Taxonomy for Learning,
Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom's Taxonomy of
Educational Objectives. A Bridged Edition. New York: Addison
Wesley Longman, Inc.
Anggo, M. (2011a). Pelibatan Metakognisi dalam Pemecahan Masalah
Matematika. Edumatica Volume 01 Nomor 01 April, ISSN: 20882157, 25-32.
Anggo, M. (2011b). Pemecahan Masalah Matematika Kontekstual untuk
Meningkatkan Kemampuan Metakognisi Siswa. Dosen Pendidikan
Matematika FKIP Universitas Haluoleo Kendari. Edumatica
Volume 01 Nomor 02 Oktober, ISSN: 2088-2157, 35-42.
Anggo, M. (2012). Metakognisi dan Usaha Mengatasi Kesulitan dalam
Memecahkan Masalah Matematika Kontekstual. Aksioma Volume
01 Nomor 02 FKIP Universitas Haluoleo, 21-28.
Awi. (2010). Jenis-jenis Scaffolding Metakognitif yang Perlu Diberikan
dalam Pemecahan Masalah Siswa Kelas XI IPA SMA, Disertasi,
Program Studi Pendidikan Matematika, Program Pascasarjana
Universitas Negeri Surabaya. Surabaya: Tidak diterbitkan.
Dewi, R. K., Rosidin, U., & Nyeneng, I. P. (2013). Pengaruh Keterampilan
Metakognisi terhadap Keterampilan Berkomunikasi dan
Keterampilan Berpikir Kritis. Jurusan Fisika FKIP Unila: Tidak
dipublikasikan.
Israel, S. E., Block, C. C., Bauserman, K. L., & Welsch, K. K. (2008).
Metacognition in Literacy Learning: Theory, Assesment,
Instruction, and Professional Development. Mahwah, New Jersey:
Lawrence Erlbaum Associates Publishers.
Kemendikbud. (2013). Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum
2013 SMA Matematika. Jakarta: Badan Pengembangan Sumber
Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu
Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Krathwohl, D. R. (2002). A Revision of Bloom's Taxonomy: An Overview.
Theory into Practice, Volume 41, Number 4, Autumn, College of
Education, The Ohio State University, 213-225.
Kurniati. (2012). Meningkatkan Hasil Belajar Matematika SIswa Melalui
Pembelajaran Matematika yang melibatkan Metakognisi pada
Siswa Kelas XI MTs Negeri 1 Bangkala Barat Kabupaten
Jeneponto. Skripsi. Jurusan Matematika, FMIPA, Universitas
Negeri Makassar. Makassar: Tidak dipublikasikan.