Anda di halaman 1dari 24

MELIBATKAN DAN MENUMBUHKEMBANKAN KEMAMPUAN

METAKOGNISI SISWA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA


Mario Jaya M Jusman
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika FMIPA
Universitas Negeri Makassar
mariojayamuhjusman@gmail.com
ABSTRAK
Tulisan ini merupakan studi kepustakaan yang bertujuan untuk mengetahui
upaya-upaya melibatkan dan menumbuhkembangkan kemampuan metakognisi
siswa dalam pembelajaran matematika. Berdasarkan studi kepustakaan dari
berbagai jurnal, skripsi, tesis, disertasi, dan buku, penulis menyimpulkan bahwa
upaya yang dapat dilakukan untuk melibatkan dan menumbuhkembangkan
kemampuan metakognisi siswa dalam pembelajaran matematika diantaranya
menerapkan (1) Problem Based Learning (PBL)/Pembelajaran Berbasis Masalah
(PBM), (2) PQ4R/SQ4R (Preview/Survey, Question, Read, Reflect, Recite, and
Review), (3) Pembelajaran Matematika Realistik (PMR), (4) pemecahan masalah
matematika, dan (5) self-questioning (bertanya kepada diri sendiri).
Kata Kuci: Metakognisi, Pembelajaran Matematika

PENDAHULUAN
Anderson dan Krathwohl (2001) merevisi Taksonomi Bloom tentang aspek
kognitif menjadi dua dimensi, yaitu: (1) dimensi proses kognitif dan (2) dimensi
pengetahuan. Hasil revisi dimensi proses kognitif meliputi: (1) pengetahuan
(knowledge), (2) pemahaman (comprehension), (3) aplikasi (application), (4)
analisis (analysis), (5) evaluasi (evaluation), dan (6) mencipta (create). Sementara
itu, aspek-aspek dari dimensi pengetahuan yang dikemukakan oleh Anderson dan
Krathwohl

meliputi:

(1) pengetahuan faktual (factual

knowledge), (2)

pengetahuan konseptual (conceptual knowledge), (3) pengetahuan prosedural


(procedural knowledge), dan (4) pengetahuan metakognitif.
Diantara aspek-aspek dimensi pengetahuan tersebut, aspek metakognitif
merupakan aspek yang paling kompleks dan paling tinggi tingkatannya dalam
Taksonomi Bloom. Namun, kenyataannya dalam pembelajaran matematika
dewasa ini, aspek metakognitif merupakan aspek yang kurang mendapat perhatian

baik dari guru maupun siswa sehingga berdampak pada kurangnya pelibatan
metakognisi siswa. Padahal metakognisi penting bagi siswa untuk menunjang
kulaitas proses dan hasil belajarnya. Dengan metakognisi siswa semakin
menyadari cara pikir mereka dan mengetahui kognisi mereka pada umumnya, dan
ketika bertindak berdasarkan kesadaran ini, mereka cenderung semakin baik
dalam belajar (Anderson & Krathwohl, 2001: 43). Pendapat Anderson &
Krathwohl tersebut didukung oleh hasil penelitian Kurniati (2012) yang
menyimpulkan bahwa hasil belajar matematika siswa mengalami peningkatan
setelah diberikan tindakan melalui pembelajaran metakognisi. Atas dasar tersebut,
aspek metakognisi menarik untuk dikaji lebih mendalam.
Kenyataan yang terjadi di lapangan saat ini adalah banyak siswa yang
kurang melibatkan atau memanfaatkan kemampuan metakognisi mereka dalam
belajar. Hasil penelitian Anggo (2012) menunjukkan bahwa beberapa kesulitan
yang dialami oleh subjek penelitian dalam memecahkan masalah matematika
kontekstual, ternyata berkaitan dengan ketidakmampuan dalam menerapkan
metakognisi. Kurangnya penerapan metakognisi tersebut terjadi ketika: (1)
menerjemahkan situasi kontekstual masalah yang dipecahkan, dan (2) penerapan
prosedur matematika formal yang tidak didasari kesadaran dan pengaturan
berpikir. Hasil penelitian yang dilakukan Tralisno dan Syafmen (2013) juga
menyimpulkan bahwa secara umum kesulitan yang dialami siswa dengan gaya
belajar reflektif dalam menyelesaikan masalah matematika pada materi peluang
dikarenakan faktor kurangnya pengetahuan tentang strategi, ketidaktepatan
strategi yang digunakan, dan kesalahan saat memformulasikan ke dalam bentuk
kalimat matematika.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa
dalam menyadari, mengatur, dan mengontrol proses kognitif yang dilakukan siswa
pada saat belajar, berpikir, dan memecahkan masalah, perlu melibatkan
kemampuan (pengetahuan dan keterampilan) metakognisi mereka. Dengan
metakognisi, mereka akan mengetahui bermacam-macam strategi yang tepat
untuk belajar serta strategi untuk memonitor dan mengecek pemahaman mereka.

Mereka juga mengetahui kekuatan dan kelemahan mereka, serta mengetahui


motivasi mereka untuk belajar sehingga mereka menjadi lebih siap belajar.
Dengan metakognisi, siswa diharapkan belajar lebih optimal sehingga mereka
juga memiliki hasil belajar yang lebih baik.
Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, fokus permasalahan yang
diangkat penulis adalah kurangnya pelibatan kemampuan metakognisi siswa
dalam pembelajaran matematika. Oleh karena itu penulis tertarik menyusun karya
tulis yang berjudul Upaya Melibatkan dan Menumbuhkembangkan Kemampuan
Metakognisi Siswa dalam Pembelajaran Matematika.
TINJAUAN PUSTAKA
John Flavell, pencetus metakognisi, mendefinisikan metakognisi sebagai
berpikir tentang berpikir, atau pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki
tentang proses kognitif diri sendiri serta pengetahuan tentang bagaimana belajar
(Livingston, 1997, Nur dkk, 2004: 56, Perfect & Schwartz, 2004: 1, Mavarech &
Fridkin, 2006: 86, Nurdin, 2007: 35, Israel dkk, 2008: 3, Awi, 2010: 35).
Metakognisi menurut Harris dan Hodges adalah awareness and knowledge
of ones mental processes such that one can monitor, regulate, and direct them as a
desired end; self-mediation (Israel dkk, 2008: 4).
ONeil & Brown (dalam Awi, 2010: 8) mengemukakan bahwa metakognisi
adalah proses berpikir seseorang tentang berpikir mereka sendiri dalam rangka
membangun strategi untuk memecahkan suatu masalah.
Menurut Nurdin (2007: 37), metakognisi merupakan proses seseorang
belajar bagaimana belajar dan berpikir tentang berpikir mereka sendiri untuk
membangun strategi kognitif dan menyadari penggunaannya dalam proses belajar.
Kemudian Awi (2010: 13) berpendapat bahwa metakognisi adalah berpikir tentang
berpikir (thinking about thinking) atau belajar bagaimana belajar (learn how to
learn) yang meliputi pengetahuan dan kesadaran siswa dalam merancang
(planning), memantau (monitoring), dan mengevaluasi (evaluating) proses dan
hasil berpikirnya.

Sementara menurut Mulbar (2009: 5), metakognisi adalah kesadaran


berpikir seseorang tentang proses berpikirnya sendiri. Kesadaran berpikir yang
dimaksud adalah refleksi diri seseorang tentang apa yang diketahuinya, apa yang
tidak diketahuinya, apa yang telah dilakukannya, dan apa yang akan
dilakukannya. Sejalan dengan pendapat Usman tersebut, metakognisi menurut
Anggo (2012) berkaitan dengan kesadaran seseorang terhadap berpikirnya dan
kemampuan mengatur berpikirnya dalam belajar atau memecahkan masalah.
Berdasarkan

beberapa

pengertian

metakognisi

di

atas,

penulis

menyimpulkan bahwa metakognisi adalah kesadaran diri seseorang terhadap


kegiatan atau proses berpikir dan belajar yang dilakukannya yang meliputi tentang
kekuatan dan kelemahannya, apa yang diketahui dan belum diketahuinya, apa
yang sudah dilakukan, belum dilakukan, dan yang akan dilakukannya, termasuk
pengecekan apakah tujuan kognitifnya sudah terpenuhi, serta penggunaan strategi
efektif yang membantunya dalam mengingat informasi, berpikir, belajar, dan
memecahkan masalah.
Metakognisi menurut Flavell terdiri dari (1) pengetahuan metakognitif dan
(2) pengalaman atau pengaturan metakognitif (Livingstone, 1997, Israel dkk,
2008: 4, Anggo, 2011a: 26). Sejalan dengan pendapat Flavell, metakognisi
menurut Anderson & Krathwohl (2001: 43) terdiri atas dua pengertian, yakni (1)
pengetahuan tentang kognisi dan (2) pengontrolan, pemonitoran dan pengaturan
proses-proses kognitif. Pengetahuan tentang kognisi juga disebut pengetahuan
metakognitif. Sedangkan pengertian yang kedua ini juga disebut pengontrolan dan
pengaturan metakognitif, serta regulasi diri (self-regulation).
Sementara menurut Desoete (dalam Usman, 2009: 8), komponen
metakognisi pada penyelesaian masalah matematika dalam pembelajaran yaitu:
(1) pengetahuan metakognitif, (2) keterampilan metakognitif, dan (3) kepercayaan
metakognitif.
Berdasarkan uraian tentang komponen metakognisi yang dikemukakan di
atas, komponen metakognisi yang menjadi fokus perhatian dalam penulisan ini

meliputi pengetahuan metakognitif dan keterampilan metakognitif. Berikut


diuraikan kedua komponen tersebut.
Bransford dkk (dalam Anderson & Krathwohl, 2001: 55) dan Pintrich
(dalam Krathwohl, 2002: 214 & 219) mengemukakan pengetahuan metakognitif
sebagai berikut.
Metacognitive knowledge is knowledge about cognition in general
as well as awareness of and knowledge about ones own cognition
. Students will become more aware of their own thinking as well
as more knowledgeable about cognition in general, and as they act
on this awareness they will tend to learn better.
Maksudnya, pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan tentang kognisi secara
umum, seperti kesadaran diri dan pengetahuan tentang kognisi diri sendiri .
Siswa semakin menyadari cara pikir mereka dan mengetahui kognisi mereka pada
umumnya, dan ketika bertindak berdasarkan kesadaran ini, mereka cenderung
semakin baik dalam belajar.
Lebih lanjut, pengetahuan metakognitif menurut Bransford dkk meliputi
tentang strategi umum yang dapat dipakai untuk beragam tugas, kondisi-kondisi
yang memungkinkan pemakaian strategi, tingkat evektivitas energi, dan
pengetahuan-diri (self-knowledge) (Anderson dan Krathwohl, 2001: 65). Pendapat
Bransford di atas sejalan dengan pendapat Flavell (Israel, 2008: 4, Zohar& Dori,
2012: 22, Anggo, 2012: 22) yang mengemukakan bahwa pengetahuan
metakognitif terdiri dari pengetahuan tentang (1) variabel diri, (2) variabel tugas,
dan (3) variabel strategi yang efektif digunakan dalam mencapai tujuan dari tugas
tersebut. Sebagai contoh kita diberi tahu bahwa guru akan memberi tes berbentuk
pilihan ganda. Kita pun tahu bahwa untuk mengerjakan tes pilihan ganda, tidak
perlu mengingat informasi yang dibutuhkan dalam tes esai. Kita hanya perlu
mengenali jawaban yang tepat dan tidak tepat. Pengetahuan metakognitif ini dapat
memengaruhi cara kita dalam menyiapkan diri dalam menghadapi tes. Berikut
akan diuraikan tentang contoh-contoh pengetahuan metakognitif yang meliputi (a)
pengetahuan strategis, (b) pengetahuan tentang tugas kognitif, dan (c)
pengetahuan diri.

Sebagai contoh pengetahuan strategis yaitu (1) pengetahuan bahwa


mengulang-ngulang informasi merupakan suatu cara untuk menanamkan
informasi, (2) pengetahuan perihal beraneka strategi mnemonik untuk menghafal
(misalnya, memakai akronim seperti mejikuhibiniu (merah jingga kuning hijau
biru nila ungu) untuk warna pelangi, (3) pengetahuan tentang beragam strategi
elaborasi seperti memparafrase, merangkum, dan memilih gagasan pokok dalam
teks, (4) pengetahuan tentang beragam strategi pengorganisasian seperti
menuliskan garis besar dan menggambar diagram, (5) pengetahuan untuk
merencanakan strategi seperti merumuskan tujuan membaca, pengetahuan tentang
strategi-strategi pemahaman-pemonitoran seperti mengetes diri sendiri dan
mengajukan petanyaan kepada diri sendiri.
Pengetahuan tentang tugas-tugas kognitif meliputi (1) pengetahuan bahwa
tugas mengingat kembali (misalnya soal jawaban singkat) berbeda dengan tugas
mengenali (misalnya, soal pilihan ganda), pada umumnya lebih banyak menuntut
kerja sistem memori, (2) pengetahuan bahwa strategi elaborasi seperti merangkum
dan memparafrasakan dapat membuahkan pemahaman yang mendalam, (3)
pengetahuan bahwa tugas sederhana untuk menghafal sederhana (misalnya,
mengingat sebuah nomor telepon) hanya membutuhkan strategi pengulangan.
Flavell (dalam Anderson dan Krathwohl, 2001) mengemukakan bahwa
pengetahuan diri meliputi pengetahuan tentang kekuatan

dan kelemahan diri

sendiri dalam kaitannya dengan kognisi belajar. Misalnya siswa tahu bahwa diri
mereka lebih mampu mengerjakan tes pilihan ganda dari pada tes esai berarti
mempunyai pengetahuan diri tentang keterampilan mereka dalam mengerjakan
tes. Pengetahuan ini akan bermanfaat bagi siswa yang mempersiapkan diri untuk
menghadapi dua jenis tes tersebut. Contoh lain pengetahuan-diri yaitu (1)
pengetahuan bahwa dirinya mempunyai pengetahuan yang mendalam pada
sebagian bidang, tetapi tidak pada sebagian bidang yang lainnya, (2) pengetahuan
tentang tujuan-tujuan pribadi dalam melakukan suatu tugas, (3) pengetahuan
bahwa dirinya cenderung mengandalkaan satu strategi dalam situasi tertentu, (4)

pengetahuan tentang minat pribadi pada tugas tertentu, (5) pengetahuan tentang
keputusan pribadi tentang manfaat suatu tugas.
Nur dkk (2004:56) menyatakan bahwa keterampilan metakognitif adalah
metode-metode untuk belajar, studi, atau memecahkan masalah. Lebih lanjut,
menurut Nur dkk, keterampilan berpikir dan keterampilan belajar adalah contohcontoh keterampilan metakognitif. Siswa dapat diajarkan strategi-strategi untuk
menilai pemahaman mereka sendiri, menghitung berapa waktu yang mereka
perlukan untuk mempelajari sesuatu, dan memilih rencana yang efektif untuk
belajar atau memecahkan masalah.
Sebagai contoh dalam membaca tulisan ini, Anda akan menjumpai suatu
paragraf yang dengan sekali membaca, Anda tidak akan mudah memahami makna
paragraf tersebut. Dengan kata lain Anda menyadari bahwa ada paragraf yang
membuat Anda bingung dan Anda membutuhkan klarifikasi sebelum membaca
lebih jauh. Apa yang akan Anda lakukan? Anda perlu menentukan langkah apa
yang tepat dilakukan untuk bisa memahami paragraf tersebut. Mungkin Anda
berhenti membaca, kemudian membuka kamus untuk mendapatkan banyak
informasi. Mungkin Anda memutuskan membaca ulang paragraf tersebut dengan
lebih lambat dan memikirkan makna kata per kata. Kemungkinan Anda akan
mencari petunjuk lain seperti gambar, grafik, atau istilah lain untuk membantu
Anda memahami paragraf tersebut. Kemungkinan Anda akan menanyakan pada
orang lain yang lebih ahli. Kemungkinan juga Anda akan membaca lebih jauh ke
paragraf berikutnya untuk mengetahui apakah kesulitan Anda timbul karena Anda
tidak memahami secara penuh sesuatu hal yang ditulis sebelumnya. Kesemuanya
ini merupakan contoh strategi metakognitif menurut Zimmerman dan Schunk
(dalam Nur dkk, 2004: 57) yaitu belajar bagaimana cara mengetahui ketika Anda
tidak memahami sesuatu dan bagaimana cara memperbaiki diri. Strategi
metakognitif yang lain menurut Nur dkk (2004: 57) adalah kemampuan untuk
menaksir/memprediksi

apa

yang

cenderung

akan

terjadi

atau

memutuskan/mengatakan mana yang dapat diterima oleh akal dan mana yang
tidak.

Keterampilan metakognisi sangat berpengaruh terhadap keterampilanketerampilan yang lain, menurut Imel (dalam Dewi dkk, 2013):
Keterampilan metakognitif sangat diperlukan untuk kesukses-an
belajar, mengingat keterampilan metakognitif memungkinkan siswa
untuk mampu memperoleh kecakapan kognitif dan mampu melihat
kelemahannya sehingga dapat dilakukan perba-kan pada tindakantindakan berikutnya. Lebih lanjut, dinyatakan bahwa siswa yang
menggunakan keterampilan metakognisinya memiliki prestasi yang
lebih baik dibandingkan siswa yang tidak menggunakan
keterampilan metakognisinya.
Mengajarkan strategi-strategi metakognitif kepada siswa dapat membawa ke
arah peningkatan hasil belajar mereka secara nyata. Siswa-siswa dapat belajar
berpikir tentang proses-prosses berpikir mereka sendiri, melakukan perencanaan,
mengikuti perkembangan dan membantu proses belajarnya, dan

menerapkan strategi-strategi belajar khusus untuk memikirkan sendiri tugas-tugas


yang sulit.

METODE PENULISAN
Metode penulisan yang digunakan penulis dalam menyusun karya tulis
ilmiah ini adalah studi kepustakaan,

yaitu menyintesis data/informasi dari

berbagai sumber hasil pengkajian orang lain seperti jurnal, buku, tesis, disertasi,
dan sumber lainnya yang relevan yang membantu penulis memperoleh informasi
tentang

upaya-upaya

yang

dapat

dilakukan

untuk

melibatkan

dan

menumbuhkembangkan kemampuan metakognisi siswa dalam rangka mengatasi


rendahnya keterlibatan metakognisi siswa dalam pembelajaran matematika.
Adapun objek dalam karya tulis ini berupa kemampuan metakognisi siswa
dalam pembelajaran matematika. Penyusunan karya tulis ini dimulai Bulan Maret
2016 hingga Mei 2016 bertempat di Jurusan Matematika, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Makassar.
Beberapa kekurangan dalam karya tulis ini yaitu (1) hasil pembahasan
merupakan ide yang dituangkan penulis secara subjektif dari berbagai referensi
sehingga memiliki kemungkinan untuk berbeda dengan tulisan lain yang

mengangkat tema yang sama, (2) keterbatasan penulis dalam mendapatkan


sumber dan sebagian besar sumber yang digunakan merupakan hasil penelitian
yang hanya berlaku pada ruang lingkup tertentu sehingga lingkup pembahasan
yang diangkat juga cenderung sempit, dan (3) penulis tidak melakukan penelitian
terkait penerapan dari upaya-upaya yang melibatkan dan menumbuhkembangkan
kemampuan metakognisi siswa, dan (4) tidak adanya pembimbingan secara
professional dalam penyusunan karya tulis ini memberikan kecenderungan
terjadinya kesalahan-kesalahan.
PEMBAHASAN
Berikut

akan

diuraikan

upaya-upaya

untuk

melibatkan

dan

menumbuhkembangkan kemampuan metakognisi siswa dalam pembelajaran


matematika. Upaya-upaya yang dimaksud terkait dengan penerapan model dan
pendekatan pembelajaran, penerapan strategi-strategi belajar, serta penggunaan
assesmen yang melibatkan dan menumbuhkembangkan kemampuan metakognisi
siswa.
Strategi atau langkah-langkah untuk meningkatkan keterampilan (perilaku)
metakognitif menurut Blakey & Spence yaitu (1) mengidntifikasi apa yang Anda
ketahui (what you know) dan apa yang Anda tidak ketahui (what you dont know),
(2) berbicara tentang berpikir (talking about thinking), (3) membuat jurnal
berpikir (keeping thinking journal), (4) membuat perencanaan dan regulasi-diri
(planning and selfregulation), (5) melaporkan kembali proses berpikir (debriefing
thinking process), dan (6) evaluasi diri (self-evaluation) (Nurdin 2007: 53).
Selanjutnya, strategi guru meningkatkan kemampuan metakognisi siswa
menurut Huitt (Nurdin 2007: 53) yaitu (1) meminta siswa untuk memonitor
belajar dan berpikir mereka sendiri, (2) meminta siswa mempelajari strategistrategi belajar SQ3R dan SQ4R, (3) meminta siswa membuat prediksi tentang
informasi yang akan dipresentasikan berdasarkan apa yang telah mereka baca, (4)
meminta siswa menghubungkan ide-ide untuk membentuk struktur pengetahuan,
(5) meminta siswa membuat pertanyaan, bertanya kepada diri mereka sendiri
terkait apa yang terjadi di sekeliling mereka, (6) membantu siswa untuk

mengetahui kapan bertanya untuk membantu, (7) menunjukkan siswa bagaimana


mentransfer.

1. Problem Based Learning (PBL)


Berdasarkan Kemendikbud (2013: 186), Model Pembelajaran Berbasis
Masalah (PBM) atau Problem Based Learning (PBL) merupakan suatu metode
pembelajaran yang menyajikan masalah kontekstual sehingga menantang
peserta didik untuk belajar bagaimana belajar, bekerja secara berkelompok
untuk mencari solusi atas permasalahan dunia nyata. PBL memunyai kelebihan
dapat menemukan, mengevaluasi dan menggunakan strategi belajar yang tepat,
bekerja sama secara efektif dalam tim dan kelompok kecil. Selain itu siswa
dapat berkomunikasi secara efektif baik verbal maupun tulisan dalam
kaitannya dengan keterampilan berkomunikasi, dan memberikan kesempatan
siswa untuk berpikir dan mendikusikan permasalahan secara terbuka.
Kemendikbud (2013: 194) menambahkan bahwa PBL yang berpusat pada
peserta didik menuntut peserta didik tersebut harus dapat menentukan sendiri
apa yang harus dipelajari dan dari mana informasi dapat diperoleh di bawah
bimbingan guru.
Adapun fase-fase model PBL adalah sebagai berikut.
a. Mengorientasikan peserta didik pada masalah
Pembelajaran dimulai dengan menjelaskan tujuan pembelajaran dan
aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan. Dalam penggunaan PBL, tahapan
ini sangat penting dimana guru harus menjelaskan dengan rinci apa yang
harus dilakukan oleh peserta didik dan juga oleh guru. serta dijelaskan
bagaimana guru akan mengevaluasi proses pembelajaran. Hal ini sangat
penting untuk memberikan motivasi agar peserta didik dapat mengerti
dalam pembelajaran yang akan dilakukan. Ada empat hal yang perlu
dilakukan dalam proses ini, yaitu sebagai berikut.

1) Tujuan utama pengajaran tidak untuk memelajari sejumlah besar informasi


baru, tetapi lebih kepada belajar bagaimana menyelidiki masalahmasalah penting dan bagaimana menjadi peserta didik yang mandiri.
2) Permasalahan dan pertanyaan yang diselidiki tidak memunyai jawaban
mutlak benar, sebuah masalah yang rumit atau kompleks memunyai
banyak penyelesaian dan seringkali bertentangan.
3) Selama tahap penyelidikan (dalam pengajaran ini), peserta didik didorong
untuk mengajukan pertanyaan dan mencari informasi. Guru akan
bertindak sebagai pembimbing yang siap membantu, namun peserta didik
harus berusaha untuk bekerja mandiri atau dengan temannya.
4) Selama tahap analisis dan penjelasan, peserta didik akan didorong untuk
menyatakan ide-idenya secara terbuka dan penuh kebebasan. Tidak ada
ide yang akan ditertawakan oleh guru atau teman sekelas. Semua peserta
didik diberi peluang untuk menyumbang kepada penyelidikan dan
menyampaikan ide-ide mereka.
Guru dapat mengajukan pertanyaan kepada siswa misalnya tentang (1)
apa yang Anda ketahui dari soal/masalah ini? (2) Apakah Anda pernah
melihat atau pernah mengerjakan soal ini sebelumnya? (3) Menurut Anda
pengetahuan matematika apa yang perlu Anda miliki untuk menjawab soal
ini? Misalnya materi atau rumus-rumus yang perlu Anda pelajari? (4)
Menurut Anda apakah soal ini mudah atau sukar? Mengapa kamu
mengatakan (mudah atau sukar)? (5) Apa yang Anda lakukan saat pertama
kali melihat soal ini dan untuk apa melakukannya? (6) Apakah hal itu selalu
Anda lakukan? (7) Apa yang Anda lakukan jika belum memahami atau tidak
menegrti maksud soal? Dan (8) informasi apa yang penting/perlu Anda ingat
dalam soal ini?
b. Mengorganisasikan peserta didik untuk belajar
Di samping mengembangkan keterampilan memecahkan masalah,
pembelajaran PBL juga mendorong peserta didik belajar berkolaborasi.

Pemecahan suatu masalah sangat membutuhkan kerjasama dan sharing


antar anggota. Oleh sebab itu, guru dapat memulai kegiatan pembelajaran
dengan membentuk kelompok-kelompok peserta didik dimana masingmasing kelompok akan memilih dan memecahkan masalah yang berbeda.
Prinsip-prinsip pengelompokan peserta didik dalam pembelajaran kooperatif
dapat digunakan dalam konteks ini seperti: kelompok harus heterogen,
pentingnya interaksi antar anggota, komunikasi yang efektif, adanya tutor
sebaya, dan sebagainya. Guru sangat penting memonitor dan mengevaluasi
kerja masing-masing kelompok untuk menjaga kinerja dan dinamika
kelompok selama pembelajaran.
Setelah peserta didik diorientasikan pada suatu masalah dan telah
membentuk kelompok belajar selanjutnya guru dan peserta didik
menetapkan subtopik-subtopik yang spesifik, tugas-tugas penyelidikan, dan
jadwal. Tantangan utama bagi guru pada tahap ini adalah mengupayakan
agar semua peserta didik aktif terlibat dalam sejumlah kegiatan penyelidikan
dan hasil-hasil penyelidikan ini dapat menghasilkan penyelesaian terhadap
permasalahan tersebut.

c. Membantu Penyelidikan Mandiri dan Kelompok


Penyelidikan adalah inti dari PBL. Meskipun setiap situasi
permasalahan memerlukan teknik penyelidikan yang berbeda, namun pada
umumnya tentu melibatkan karakter yang identik, yakni pengumpulan data
dan eksperimen, berhipotesis dan penjelasan, dan memberikan pemecahan.
Pengumpulan data dan eksperimentasi merupakan aspek yang sangat
penting. Pada tahap ini, guru harus mendorong peserta didik untuk
mengumpulkan data dan melaksanakan eksperimen (mental maupun aktual)
sampai mereka betul-betul memahami dimensi situasi permasalahan.

Tujuannya adalah agar peserta didik mengumpulkan cukup informasi untuk


menciptakan dan membangun ide mereka sendiri.
Guru membantu peserta didik untuk mengumpulkan informasi
sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber, dan ia seharusnya mengajukan
pertanyaan pada peserta didik untuk berifikir tentang masalah dan ragam
informasi yang dibutuhkan untuk sampai pada pemecahan masalah yang
dapat dipertahankan.
Setelah peserta didik mengumpulkan cukup data dan memberikan
permasalahan tentang fenomena yang mereka selidiki, selanjutnya mereka
mulai menawarkan penjelasan dalam bentuk hipotesis, penjelasan, dan
pemecahan. Selama pengajaran pada fase ini, guru mendorong peserta didik
untuk menyampaikan semua ide-idenya dan menerima secara penuh ide
tersebut. Guru juga harus mengajukan pertanyaan yang membuat peserta
didik berpikir tentang kelayakan hipotesis dan solusi yang mereka buat serta
tentang kualitas informasi yang dikumpulkan.
Pada tahap ini, guru dapat mengajukan pertanyaan misalnya (1)
Sebelum kamu menyelesaikan soal ini, apakah kamu melakukan prediksi?
Misalnya soal ini akan saya kerjakan sekian menit? (2) Apakah Anda
memang sudah merencanakan cara atau langkah-langkah apa yang akan
kamu gunakan untuk menyelesaikan soal ini? (3) Seperti apa perencanaan
kamu itu? (misalnya memikirkan bagaimana memulainya, informasi apa
yang akan digunakan, apa tujuannya) (4) Jelaskan cara/langkah-langkah
yang Anda lakukan dalam menyelesaikan soal ini? (5) Mengapa Anda
memilih/menggunakan cara itu dalam menyelesaikan soal ini? (6) Apa tidak
ada cara lain? (7) Apakah Anda yakin cara itu akan berhasil dan paling
efektif dan mengapa Anda yakin?
d. Mengembangkan
Memamerkannya

dan

Menyajikan

Artifak

(Hasil

Karya)

dan

Tahap penyelidikan diikuti dengan menciptakan artifak (hasil karya)


dan pameran. Artifak lebih dari sekadar laporan tertulis, namun bisa suatu
video tape (menunjukkan situasi masalah dan pemecahan yang diusulkan),
model (perwujudan secara fisik dari situasi masalah dan pemecahannya),
program komputer, dan sajian multimedia. Tentunya kecanggihan artifak
sangat dipengaruhi tingkat berpikir peserta didik. Langkah selanjutnya
adalah memamerkan hasil karyanya dan guru berperan sebagai organisator
pameran. Akan lebih baik jika dalam pemeran ini melibatkan peserta didikpeserta didik lainnya, guru-guru, orang tua, dan lainnya yang dapat menjadi
penilai atau memberikan umpan balik.
e.

Analisis dan Evaluasi Proses Pemecahan Masalah


Fase ini merupakan tahap akhir dalam PBL. Fase ini dimaksudkan
untuk membantu peserta didik menganalisis dan mengevaluasi proses
mereka sendiri dan keterampilan penyelidikan dan intelektual yang mereka
gunakan. Selama fase ini guru meminta peserta didik untuk merekonstruksi
pemikiran dan aktivitas yang telah dilakukan selama proses kegiatan
belajarnya.
Pada tahap ini , guru dapat mengajukan pertanyaan misalnya (1) Tadi
Anda melakukan sesuatu pada bagian ini, apa itu dan mengapa Anda
melakukan itu? (Misalnya adanya bekas hapusan pada lembar jawabannya,
menyadari kesalahan dan mampu membenarkannya, memberikan garis atau
tanda yang menunjukkan jawabannya, mengecek kebenaran langkah, dsb
(2) Apakah Anda yakin jawaban Anda benar? (3) Kegiatan apa yang Anda
lakukan setelah menyelesaikan soal ini dan apakah hal itu selalu Anda
lakukan?
Berdasarkan uraian tentang PBL tersebut, dapat dikemukakan bahwa

PBL

merupakan

model

pembelajaran

yang

dimulai

dengan

(1)

mengorientasikan masalah kepada peserta didik, (2) mengorganisasikan peserta


didik untuk belajar, (3) membimbing penyelidikan kelompok/mandiri, (4)
mengembangkan, menyajikan, dan memamerkan hasil karya, (5) dan

menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Tahap-tahap PBL


tersebut memberikan kesempatan siswa untuk mengatur dirinya dalam belajar,
menuntut peserta didik tersebut harus dapat menentukan sendiri apa yang harus
dipelajari, mengetahui dari mana informasi dapat diperoleh, mengetahui apa
yang mereka ketahui dan apa yang tidak mereka ketahui, dan mengecek apakah
tujuan kognitifnya sudah terpenuhi. Pengaturan belajar siswa hingga
pengecekan tujuan kognitifnya ini merupakan aktivitas metakognisi. Jadi,
penerapan PBL dapat melibatkan dan menumbuhkembangkan kemampuan
metakognisi siswa dalam pembelajaran matematika.

2. PQ4R/SQ4R (Preview/Survey, Question, Read, Reflect, Recite, and


Review)
Metode

PQ4R/SQ4R

merupakan

pengembangan

dari

metode

PQ3R/SQ3R, yang dikembangkan oleh F. P Robinson. Menurut Thomas dan


Robinson (Nur dkk, 2004: 64, Trianto, 2009: 151), metode PQ4R ini
merupakan salah satu teknik belajar yang paling dikenal untuk membantu
siswa memahami dan mengingat materi yang mereka baca/pelajari. Berikut
langkah-langkah PQ4R:
a. Preview/survey: mensurvei atau menskim materi pelajaran sacara cepat
untuk mendapatkan suatu ide tentang pengorganisasian umum dari topiktopik dan subtopik utama. Berikan perhatian judul dan subjudul, kalimatkalimat permulaan atau akhir suatu paragraph, atau ringkasan pada akhir
suatu bab. Jika hal itu tidak ada, siswa dapat memeriksa setiap halaman
dengan cepat, memeriksa satu atau dua kalimat untuk memperoleh sedikit
gambaran tentang apa yang akan dipelajarinya. Siswa juga diharapkan
memperhatikan ide pokok yang akan menjadi inti pembahasan dalam bahan
bacaan siswa sehingga memudahkan mereka memberi keseluruhan ide yang
ada (Trianto, 2009: 151-152).
b. Pertanyaan: Ajukan pertanyaan-pertanyaan kepada diri Anda, tentang materi
itu

pada

saat

membaca/mempelajarinya.

Gunakan

judul

untuk

mengajukan pertanyaan dengan menggunakan kata apa, siapa, mengapa ,


dimana, dan bagaimana. Menurut Trianto (2009: 152), pengalaman telah
menunjukkan bahwa jika seseorang membaca untuk menjawab sejumlah
pertanyaan, maka akan membuat dia membaca lebih hati-hati dan seksama
serta akan dapat membantu mengingat apa yang dibaca dengan baik.
c. Membaca (Read): Baca Materi itu dengan memberikan reaksi terhadap apa
yang Anda baca! Jangan membuat catatan-catatan yang panjang. Cobalah
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang Anda ajukan sebelumnya itu selama
membaca.
d. Refleksi (Reflect): Langkah ini merupakan langkah yang tidak terpisah
dengan langkah ketiga. Selama membaca, siswa tidak hanya cukup
mengingat dan membaca, tetapi cobalah untuk memahami informasi yang
dipresentasikan dengan cara (1) menghubungkan informasi itu dengan halhal yang telah Anda ketahui; (2) mengaitkan subtopik-subtopik di dalam
teks dengan konsep-konsep atau prinsip-prinsip utama; (3) cobalah untuk
memecahkan kontradiksi di dalam informasi yang disajikan; dan (4) cobalah
untuk menggunakan materi itu untuk memecahkan masalah-masalah yang
disimulasikan dan dianjurkan dari materi pelajaran tersebut.
e. Resitasi (Recite): latihan mengingat informasi dengan menyatakan butirbutir penting dengan nyaring dan dengan menanyakan dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan. Anda dapat menggunakan judul kata-kata yang
ditonjolkan, dan catatan tentang ide-ide utama dalam mengajukan
pertanyaan-pertanyaan tersebut.
f. Review: Di dalam langkah akhir reviulah secara aktif materi itu,
memusatkan pada menanyakan pada diri sendiri pertanyaan-pertanyaan dan
membaca ulang materi itu hanya jika Anda tidak yakin dengan jawaban
anda.
Berdasarkan langkah-langkah PQ4R tersebut akan terjadi pelibatan
kemampuan metakognisi siswa.

3. Pembelajaran Matematika Realistik (PMR)


Tahap-tahap Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) menurut
Mullbar (2009: 13) yaitu (1) memahami masalah kontekstual, (2)
menyelesaikan masalah kontektual, (3) membandingkan dan mendiskusikan
jawaban, (4) menyimpulkan.
Pada tahap memahami masalah kontekstual, guru memberikan masalah
kontekstual sesuai dengan materi pelajaran yang sedang dipelajari siswa.
Kemudian siswa diminta untuk memahami masalah kontekstual. Selama proses
memahami masalah kontekstual, diharapkan siswa sadar tentang tindakan yang
akan dilakukannya untuk mencapai tujuan permasalahan kontekstual, dan
berusaha mengenali permasalah kontekstual dalam pembelajaran. Karena itu,
siswa dapat melakukan pengklasifikasian (prediksi waktu), tahu apa yang
diketahui, tahu apa yang ditanyakan, dan melakukan pengawasan terhadap
aktivitas kognitifnya. Kemampuan metakognisi yang diterapkan meliputi
keterampilan prediksi, keterampilan perencanaan, dan keterampilan monitoring
pada saat memahami masalah.
Selanjutnya, pada tahap menyelesaikan masalah kontekstual, siswa
secara individu diminta untuk menyelesaikan masalah kontekstual di lembar
kegiatan siswa dengan caranya sendiri, sehingga dimungkinkan adanya
perbedaan penyelesaian. Selama proses menyelesaikan masalah kontekstual,
diharapkan siswa sadar untuk melakukan pengawasan terhadap strategi yang ia
gunakan, dan tahu akan kondisi yang memengaruhi belajarnya, yaitu: kapan
dan mengapa menerapkan suatu strategi dan kapan strategi tersebut tepat untuk
dipergunakan pada saat menyelesaikan masalah kontekstual dalam PMR.
Selain itu, berdasarkan pengetahuan fakta dan konsep-konsep matematika yang
dimilikinya, siswa tahu bagaimana, kapan, dan mengapa melakukan suatu
tindakan gunaa mencapai tujuan umum permasalah dalam menyelesaikan
masalah kontekstual.

Pada

tahap membandingkan dan mendiskusikan jawaban, guru

memberikan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan dan


mendiskusikan

jawaban

dari

masalah

kontekstual

dengan

teman

sekelompoknya, untuk selanjutnya dibandingkan dan didiskusikan pada diskusi


kelas. Selama proses mendiskusikan jawaban masalah kontekstual, diharapkan
siswa sadar untuk menerapkan strategi tersebut dalam menyelesaikan masalah
kontektual.
Terakhir yaitu pada tahap menyimpulkan jawaban masalah kontekstual,
guru mengarahkan siswa untuk mengambil kesimpulan dari hasil diskusi kelas,
sehingga diperoleh suatu ruusan konsep, prinsip, atau prosedur matematika.
Selama proses menyimpulkan jawaban masalah kontektual, siswa diharapkan
sadar untuk melakukan verbalisasi mundur (retrospective) untuk melihat
kembali strategi yang telah digunakannya dan apakah strategi tesebut
mengarahkannya pada hasil yang diinginkan atau tidak dalam PMR. Selama
proses ini, juga siswa diharapkan sadar untuk tetap melakukan pengawasan
terhadap srategi kognitifnya.
Berdasarkan uraian tentang PMR tersebut, penulis mengemukakan
bahwa PMR yaitu pendekatan pembelajaran yang meliputi tahap (1)
memahami masalah kontekstual, (2) menyelesaikan masalah kontektual, (3)
membandingkan dan mendiskusikan jawaban, (4) menyimpulkan. Pada tahap
memahami masalah kontektual siswa melibatkan kemampuan metakognisi
beruapa keterampilan prediksi, perencanaan, dan monitoring. Pada tahap
menyelesaikan masalah siswa melakukan pengawasan terhadap strategi yang ia
gunakan, dan tahu akan kondisi yang memengaruhi belajarnya, yaitu: kapan
dan mengapa menerapkan suatu strategi dan kapan strategi tersebut tepat untuk
dipergunakan. Selanjutnya, pada tahap membandingkan dan mendiskusikan
jawaban, siswa diharapkan mengetahui apakah strategi yang digunakan dan
jawaban yang diperolehnya sudah tepat atau belum serta mengecek apakah
langkah-langkah

yang

digunakan

sudah

tepat.

Terakhir

pada

tahap

menyimpulkan, siswa dituntut untuk melakukan pengecekan kembali apakah

tujuan kognitifnya sudah tercapai dan keyakinannya tentang kesimpulan yang


dibuatnya..

4. Pemecahan Masalah Matematika


Salah satu yang banyak dirujuk dalam pemecahan masalah matematika
adalah pentahapan oleh Polya, yang mengemukakan empat tahapan penting
yang perlu dilakukan yaitu: (1) memahami/mengerti masalah (understanding
the problem), (2) memikirkan rencana (devising a plan), (3) melaksanakan
rencana (carrying out the plan), dan (4) melihat kembali (looking back) (Anggo
2011a: 29, Anggo, 2011b: 37, Anggo, 2012: 23). Tahap memahami masalah
meliputi memahami berbagai hal yang ada pada masalah seperti apa yang tidak
diketahui, apa saja data yang tersedia, apa syarat-syaratnya, dan sebagainya.
Tahap memikirkan rencana meliputi berbagai usaha untuk menemukan
hubungan masalah dengan masalah lainnya atau hubungan antara data dengan
hal yang tidak diketahui, dan pada akhirnya seseorang harus memilih suatu
rencana pemecahan. Tahap pelaksanakan rencana termasuk memeriksa setiap
langkah pemecahan, apakah langkah yang dilakukan sudah benar atau dapatkah
dibuktikan bahwa langkah tersebut benar. Tahap melihat kembali meliputi
pengujian terhadap pemecahan yang dihasilkan. Langkah-langkah pemecahan
masalah oleh Polya tersebut, merupakan langkah yang memberikan dampak
yang cukup penting terhadap pengaturan kognisi dalam pemecahan masalah.
Brown mengemukakan bahwa kemampuan metakognisi yang esensial
bagi setiap pemecah masalah yang efisien meliputi kemampuan dalam: (1)
perencanaan (planning), meliputi pendugaan hasil, dan penjadwalan strategi,
(2) pemantauan (monitoring), meliputi pengujian, perevisian, dan penjadwalan
ulang strategi yang dilakukan, dan (3) pemeriksaan (checking), meliputi
evaluasi hasil dari pelaksanaan suatu trategi berdasarkan kriteria efisiensi dan
efektifitas. Sejalan dengan pandangan Brown, Cohors-Fresenborg & Kaune
mengelompokkan

aktifitas

metakognisi

dalam

memecahkan

masalah

matematika tediri atas (1) perencanaan (planning), (2) pemantauan

(monitoring), dan (3) refleksi (reflection) (Anggo 2011a: 30, Anggo 2011b:
37).
Hasil penelitian Anggo (2011) yang berjudul Pelibatan Metakognisi
dalam Pemecahan Masalah Matematika dengan mengambil subjek penelitian
mahasiswa semester 1 Program Studi S1 Pendidikan Matematika FKIP
Universitas Haluoleo Kendari, menyimpulkan bahwa (1) salah satu faktor yang
mendorong keterlaksanaan aktivitas metakognisi pada pemecahan masalah
matematika adalah penggunaan masalah matematika yang menantang kepada
siswa dan (2) pilihan untuk menggunakan masalah matematika kontekstual
ternyata memiliki keunggulan dalam mendorong siswa melibatkan kesadaran
dan pengaturan berpikirnya (metakognisi) ketika memecahkan masalah.
Berdasarkan beberapa uraian tentang pemecahan masalah di atas, dapat
dikatakan bahwa melalui pemecahan masalah matematika, siswa akan terlatih
untuk selalu melibatkan kemampuan metakognisinya mulai dari awal
pemecahan masalah hingga pada bagian akhir berupa rumusan jawaban serta
melakukan evaluasi dan melihat kembali untuk memastikan pencapaian tujuan
berkaitan dengan situasi kontekstual dari masalah yang dipecahkan. Melalui
pemecahan masalah matematika siswa diharapkan mengerahkan kesadaran dan
pengaturan kognisi atau proses berpikirnya dalam memecahkan masalah
matematika yang juga berarti melatih siswa mengerahkan kemampuan
metakognisinya sehingga akan terus terjadi penyempurnaan kemampuan
metakognisi. Jadi, dengan membiasakan siswa pada pemecahan masalah dalam
pembelajaran matematika dapat melibatkan dan menumbuhkembangkan
kemampuan metakognisinya.

5. Self-Questioning dan Assesmen diri (self-assesment)


Strategi bertanya kepada diri sendiri (self-questioning) adalah strategi
dimana siswa bertanya kepada diri sendiri pertanyaan-pertanyaan siapa, apa,
dimana, mengapa, dan bagaimana pada saat mereka mempelajari suatu materi.

Penggunaan strategi ini memberikan kesempatan kepada siswa mengases


sendiri kekuatan (kelebihan) dan kelemahan (kekurangannya). Hasil penemuan
Paris dkk dan King mengungkapkan bahwa penguasaan siswa lebih baik jika
mereka diajarkan strategi bertanya untuk diri mereka sendiri (Nur dkk, 2004:
58). Presley dkk (dalam Nur dkk, 2004: 72) juga mengemukakan bahwa
mengajukan pertanyaan-pertanyaan merupakan salah satu strategi yang
membantu siswa belajar dari teks tertulis, kuliah, dan sumber-sumber informasi
yang lain, sehingga siswa harus berhenti dari waktu ke waktu untuk menilai
pemahaman mereka sendiri terhadap teks atau apa yang diucapkan gurunya.
Pintrich

mengungkapkan

bahwa

siswa

dapat

mendiskusikan

pandangannya tentang kekuatan dan kelemahannya dengan guru, kemudian


guru memberikan umpan balik (feedback). Menurutnya, jika siswa memiliki
banyak kesempatan untuk merefleksi belajarnya, maka mereka akan
menumbuhkembangkan pengetahuan-diri sebagai komponen kemampuan
metakognisinya yang akan sangat bermanfaat untuk mereka (Krathwohl, 2002:
224).
Strategi bertanya ini juga dapat dilakukan baik sebelum maupun setelah
mempelajari materi pelajaran tersebut. Hal ini bertujuan agar siswa mengetahui
sejauh mana keberhasilan yang telah mereka capai dalam memahami materi
serta mengecek pemahaman mereka terkait apa yang telah mereka ketahui dan
yang belum mereka ketahui. Jika siswa mengetahui apa yang telah mereka
ketahui maka mereka dapat merencanakan strategi untuk mengingat informasi
yang

telah

diketahuinya.

Demikian

halnya

jika

siswa

mengetahui

kekurangannya (apa yang belum mereka ketahui) maka mereka dapat


merencanakan dan memilih strategi lain yang tepat untuk membantu mereka
mengatasi kekurangannya. Melalui strategi ini pula mereka bisa mengetahui
apa yang telah dilakukan dan apa yang belum dilakukan.
Melalui strategi bertanya kepada diri sendiri berarti juga melibatkan
kemampuan metakognisi siswa baik sebelum belajar, pada saat proses belajar,

maupun setelah belajar. Bahkan dengan membiasakan menggunakan strategi


ini siswa dapat menumbuhkembangkan kemampuan metakognisinya. Jadi,
penggunaan strategi bertanya kepada diri sendiri dan asesmen diri merupakan
upaya dalam melibatkan dan menumbuhkembangkan kemampuan metakognisi
siswa.

KESIMPULAN
Berdasarkan

uraian

menumbuhkembangkan

sebelumnya,

kemampuan

untuk

metakognisi

melibatkan
dalam

dan

pembelajaran

matematika dapat dilakukan upaya menerapkan (1) model Pembelajaran Berbasis


Masalah (PBM) atau Problem Based Learning (PBL), (2) Pendekatan Realistik
Matematika (PMR), (3) strategi PQ3R/SQ3R dan PQ4R/SQ4R, (4) pemecahan
masalah matematika, dan (5) self-questioning (bertanya kepada diri sendiri).

SARAN
Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan di atas dan keterbatasan
penyusunan karya tulis ini, maka penulis mengajukan saran kepada peneliti
selanjutnya, terkhusus kepada guru matematika untuk melakukan penelitian lebih
lanjut terkait dengan upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan dan
menumbuhkembangkan kemampuan metakognisi siswa dalam pembelajaran
matematika serta melakukan pengkajian lebih mendalam tentang penerapan
upaya-upaya tersebut. Guru juga diharapkan memperbaiki sistem pengajaran
konvensional yang digunakan selama ini dengan memilih model dan/atau
pendekatan pembelajaran yang melibatkan kemampuan metakognisi siswa,
mengajarkan strategi belajar yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik
siswa, serta membimbing siswa menggunakan strategi bertanya kepada diri
sendiri untuk memudahkan siswa mencapai tujuan kognitifnya sehingga
menunjang kualitas proses dan hasil belajar siswa.

DAFTAR PUSTAKA
Anderson, L. W., & Krathwohl, D. R. (2001). A Taxonomy for Learning,
Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom's Taxonomy of
Educational Objectives. A Bridged Edition. New York: Addison
Wesley Longman, Inc.
Anggo, M. (2011a). Pelibatan Metakognisi dalam Pemecahan Masalah
Matematika. Edumatica Volume 01 Nomor 01 April, ISSN: 20882157, 25-32.
Anggo, M. (2011b). Pemecahan Masalah Matematika Kontekstual untuk
Meningkatkan Kemampuan Metakognisi Siswa. Dosen Pendidikan
Matematika FKIP Universitas Haluoleo Kendari. Edumatica
Volume 01 Nomor 02 Oktober, ISSN: 2088-2157, 35-42.
Anggo, M. (2012). Metakognisi dan Usaha Mengatasi Kesulitan dalam
Memecahkan Masalah Matematika Kontekstual. Aksioma Volume
01 Nomor 02 FKIP Universitas Haluoleo, 21-28.
Awi. (2010). Jenis-jenis Scaffolding Metakognitif yang Perlu Diberikan
dalam Pemecahan Masalah Siswa Kelas XI IPA SMA, Disertasi,
Program Studi Pendidikan Matematika, Program Pascasarjana
Universitas Negeri Surabaya. Surabaya: Tidak diterbitkan.
Dewi, R. K., Rosidin, U., & Nyeneng, I. P. (2013). Pengaruh Keterampilan
Metakognisi terhadap Keterampilan Berkomunikasi dan
Keterampilan Berpikir Kritis. Jurusan Fisika FKIP Unila: Tidak
dipublikasikan.
Israel, S. E., Block, C. C., Bauserman, K. L., & Welsch, K. K. (2008).
Metacognition in Literacy Learning: Theory, Assesment,
Instruction, and Professional Development. Mahwah, New Jersey:
Lawrence Erlbaum Associates Publishers.
Kemendikbud. (2013). Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum
2013 SMA Matematika. Jakarta: Badan Pengembangan Sumber
Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu
Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Krathwohl, D. R. (2002). A Revision of Bloom's Taxonomy: An Overview.
Theory into Practice, Volume 41, Number 4, Autumn, College of
Education, The Ohio State University, 213-225.
Kurniati. (2012). Meningkatkan Hasil Belajar Matematika SIswa Melalui
Pembelajaran Matematika yang melibatkan Metakognisi pada
Siswa Kelas XI MTs Negeri 1 Bangkala Barat Kabupaten
Jeneponto. Skripsi. Jurusan Matematika, FMIPA, Universitas
Negeri Makassar. Makassar: Tidak dipublikasikan.

Lestari, Y. D. (n.d.). Metakognisi Siswa dalam Memecahkan Masalah


Matematika berdasarkan Gaya Kognitif. Pendidikan Matematika,
FMIPA, Universitas Negeri Surabaya. Surabaya: Tidak
dipublikasikan.
Livingstone, J. (1997). Metacognition: An Overview (online)
http://gse.buffalo.edu/fas/shuell/cep564/metacog.htm.
Mavarech, Z., & Fridkin, S. (2006). The Effects of Improve on
Mathematical Knowledge, Mathematical Reasoning, and
Metacognition. In Metacognition Learning (pp. 85-97). Springer
Science + Business Media, Inc.
Mulbar, U. (2009). Pembelajaran Matematika Realistik yang Melibatkan
Metakognisi Siswa di Sekolah Menengah Pertama, (Ringkasan
Disertasi). Program Studi Pendidikan Matematika, Program
Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya. Surabaya.
Nur, M., Wikandari, P. R., & Sugiarto, B. (2004). Teori-teori
Pembelajaran Kognitif. Surabaya: Pusat Sains dan Matematika
Sekolah Universitas Negeri Surabaya.
Nurdin. (2007). Model Pembelajaran Matematika yang
Menumbuhkembangkan Kemampuan Metakognitif untuk
Menguasai Bahan Ajar, Disertasi, Program Studi Pendidikan
Matematika, Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya.
Surabaya: Tidak dipublikasikan.
Perfect, T. J., & Schwartz, B. L. (2004). Applied Metacognition. United
Kingdom: Cambridge University Press.
Tralisno, A., & Syafmen, W. (2013). Analisis Pengetahuan Metakognisi
Siswa dengan Gaya Belajar Reflektif pada Pemecahan Masalah
Matematika. Jambi: P.MIPA FKIP Universitas Jambi.
Zohar, A., & Dori, Y. J. (2012). Metacognition in Science Education,
Trends in Current Research. New York: Springer.

Anda mungkin juga menyukai

  • Devi Laila (Sampul)
    Devi Laila (Sampul)
    Dokumen17 halaman
    Devi Laila (Sampul)
    Mario Jaya Muhammad Jusman
    Belum ada peringkat
  • Buku Petunjuk Pendaftaran SSCN 2018 Signed
    Buku Petunjuk Pendaftaran SSCN 2018 Signed
    Dokumen38 halaman
    Buku Petunjuk Pendaftaran SSCN 2018 Signed
    Rahmi Desti
    Belum ada peringkat
  • JP Mate Ma Tik Add 090056
    JP Mate Ma Tik Add 090056
    Dokumen21 halaman
    JP Mate Ma Tik Add 090056
    Izinkan Aq Mencintaimu
    Belum ada peringkat
  • Bab2
    Bab2
    Dokumen30 halaman
    Bab2
    Nandi Ibrahim
    Belum ada peringkat
  • Hijab Pakaian Muslimah Dalam Shalat PDF
    Hijab Pakaian Muslimah Dalam Shalat PDF
    Dokumen79 halaman
    Hijab Pakaian Muslimah Dalam Shalat PDF
    al-fathan
    Belum ada peringkat
  • Skripsi - 1311041016 - Mario Jaya M Jusman
    Skripsi - 1311041016 - Mario Jaya M Jusman
    Dokumen219 halaman
    Skripsi - 1311041016 - Mario Jaya M Jusman
    Mario Jaya Muhammad Jusman
    Belum ada peringkat
  • Soal Psikotest - Menggambar PDF
    Soal Psikotest - Menggambar PDF
    Dokumen1 halaman
    Soal Psikotest - Menggambar PDF
    Mario Jaya Muhammad Jusman
    Belum ada peringkat
  • JP Mate Ma Tik Add 090056
    JP Mate Ma Tik Add 090056
    Dokumen21 halaman
    JP Mate Ma Tik Add 090056
    Izinkan Aq Mencintaimu
    Belum ada peringkat
  • Penilaian Pengetahuan
    Penilaian Pengetahuan
    Dokumen18 halaman
    Penilaian Pengetahuan
    Mario Jaya Muhammad Jusman
    Belum ada peringkat
  • Media Pembelajaran
    Media Pembelajaran
    Dokumen3 halaman
    Media Pembelajaran
    Mario Jaya Muhammad Jusman
    Belum ada peringkat
  • Isi PDF
    Isi PDF
    Dokumen30 halaman
    Isi PDF
    Mario Jaya Muhammad Jusman
    Belum ada peringkat
  • 12 SMA IPS Ekonomi - Metode Pencatatan Akutansi Perusahaan Dagang
    12 SMA IPS Ekonomi - Metode Pencatatan Akutansi Perusahaan Dagang
    Dokumen89 halaman
    12 SMA IPS Ekonomi - Metode Pencatatan Akutansi Perusahaan Dagang
    Eko Herkamoyo
    Belum ada peringkat
  • LKPD2
    LKPD2
    Dokumen8 halaman
    LKPD2
    Mario Jaya Muhammad Jusman
    Belum ada peringkat
  • Penilaian Sikap
    Penilaian Sikap
    Dokumen6 halaman
    Penilaian Sikap
    Mario Jaya Muhammad Jusman
    Belum ada peringkat
  • Artikel
    Artikel
    Dokumen17 halaman
    Artikel
    Mario Jaya Muhammad Jusman
    Belum ada peringkat
  • Instrumen Metakognitif
    Instrumen Metakognitif
    Dokumen4 halaman
    Instrumen Metakognitif
    Mario Jaya Muhammad Jusman
    Belum ada peringkat
  • KTI Edit11
    KTI Edit11
    Dokumen24 halaman
    KTI Edit11
    Mario Jaya Muhammad Jusman
    Belum ada peringkat
  • LKPD1
    LKPD1
    Dokumen8 halaman
    LKPD1
    Mario Jaya Muhammad Jusman
    Belum ada peringkat
  • KTI
    KTI
    Dokumen20 halaman
    KTI
    Mario Jaya Muhammad Jusman
    Belum ada peringkat
  • Metakognisi Livingstone Terjemahan
    Metakognisi Livingstone Terjemahan
    Dokumen7 halaman
    Metakognisi Livingstone Terjemahan
    ian15young
    Belum ada peringkat
  • KTI Edit8
    KTI Edit8
    Dokumen30 halaman
    KTI Edit8
    Mario Jaya Muhammad Jusman
    Belum ada peringkat
  • KTI Edit10
    KTI Edit10
    Dokumen24 halaman
    KTI Edit10
    Mario Jaya Muhammad Jusman
    Belum ada peringkat
  • KTI Edit9
    KTI Edit9
    Dokumen22 halaman
    KTI Edit9
    Mario Jaya Muhammad Jusman
    Belum ada peringkat
  • KTI Edit6
    KTI Edit6
    Dokumen27 halaman
    KTI Edit6
    Mario Jaya Muhammad Jusman
    Belum ada peringkat
  • KTI Edit4
    KTI Edit4
    Dokumen19 halaman
    KTI Edit4
    Mario Jaya Muhammad Jusman
    Belum ada peringkat
  • KTI Edit7
    KTI Edit7
    Dokumen29 halaman
    KTI Edit7
    Mario Jaya Muhammad Jusman
    Belum ada peringkat
  • KTI Edit4
    KTI Edit4
    Dokumen19 halaman
    KTI Edit4
    Mario Jaya Muhammad Jusman
    Belum ada peringkat
  • KTI Edit3
    KTI Edit3
    Dokumen18 halaman
    KTI Edit3
    Mario Jaya Muhammad Jusman
    Belum ada peringkat
  • KTI Edit2
    KTI Edit2
    Dokumen11 halaman
    KTI Edit2
    Mario Jaya Muhammad Jusman
    Belum ada peringkat