Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan kongenital yang paling
umum dan sebagai jenis penyakit jantung terbanyak pada anak. Insidens PJB di dunia
memiliki angka yang konstan, sekitar 8-10 dari 1000 kelahiran hidup. 1 Di antara
semua kasus penyakit jantung bawaan, penyakit jantung bawaan non-sianotik
merupakan bagian terbesar dan sering ditemukan.1, 2
Bergantung pada ada tidaknya pirau, penyakit jantung bawaan non-sianotik
dapat dibagi dalam dua kelompok. Pertama, penyakit jantung bawaan non-sianotik
dengan pirau kiri ke kanan yang meliputi defek septum ventrikel, defek septum atrium
dan duktus arteriosus persisten. Kedua, penyakit jantung bawaan non-sianotik tanpa
pirau yang meliputi stenosis pulmonal, stenosis aorta dan koarktasio aorta).3
Defek Septum Ventrikel (DSV) merupakan penyakit jantung bawaan tertinggi
di antara semua kasus penyakit jantung bawaan yaitu 30-35%. Peringkat kedua dan
ketiga yaitu Defek Septum Atrium (DSA) dan Duktus Arteriosus Persisten (DAP)
masing-masing mencakup 6 8% dari semua kasus kelainan kongenital jantung.
Selanjutnya disusul oleh koarktasio aorta dan Tetralogy of Fallot (ToF) yang
mencakup 5 7%.1 Sementara itu, penelitian di RSUP M. Djamil pada tahun 2008
2011 menunjukkan kasus PJB terbanyak adalah DSV (35,4%), DSA (35,4%),
dilanjutkan DAP (33,3%), dan dilanjutkan ToF (15,2%).2
Penyakit jantung bawaan non-sianosis tidak menimbulkan gejala atau tanda
sianosis.3 Oleh sebab itu, malformasi dapat tidak terdeteksi dengan mudah pada
periode neonatus. Di negara maju hampir semua pasien telah dapat dideteksi dalam
masa bayi, sedangkan di negara berkembang masih banyak yang dibawa berobat

setelah anak besar, hal tersebut berarti bahwa banyak neonatus dan bayi muda dengan
penyakit jantung bawaan berat telah meninggal sebelum diperiksa oleh dokter atau
pun PJB ringan tidak sampai di diagnosis secara adekuat.2
Manifestasi klinis sianosis memang tidak terlihat pada penyakit jantung
bawaan sianotik, namun masalah kesehatan lain sering timbul akibat penyakit ini.
Masalah pernapasan adalah masalah yang sering terlihat menyertai kelainan jantung.
Malnutrisi, kegagalan yang menetap dari pertumbuhan berkaitan juga dengan
meningkatnya morbiditas dan mortalitas.1,2
Selain itu, komplikasi pada PJB dapat terjadi baik cepat maupun lambat.
Hipertensi pulmonal, aritmia, kelainan katup, endokarditis infeksiosa, pneumonia
berulang maupun gagal jantung merupakan konsekuensi yang dapat terjadi. dan
meningkatnya kematian.1-3
1.2 Batasan Masalah
Referat ini membahas tentang definisi, epidemiologi, etiopatogenesis, diagnosis,
tatalaksana, komplikasi dan prognosis penyakit jantung bawaan asianotik
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan penulis mengenai
definisi, epidemiologi, etiopatogenesis, diagnosis, tatalaksana, komplikasi dan prognosis
penyakit jantung bawaan asianotik
1.4 Metode Penulisan
Penulisan referat ini menggunakan metode tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada
berbagai literatur.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2

2.1

Definisi dan Klasifikasi PJB Asianotik


Penyakit jantung bawaan (PJB) non sianotik adalah kelainan struktur dan fungsi

jantung yang dibawa lahir yang tidak ditandai dengan sianosis; misalnya lubang di sekat
jantung sehingga terjadi pirau dari kiri ke kanan, kelainan salah satu katup jantung dan
penyempitan alur keluar ventrikel atau pembuluh darah besar tanpa adanya lubang di sekat
jantung. Masing-masing mempunyai spektrum presentasi klinis yang bervariasi dari ringan
sampai berat tergantung pada jenis dan beratnya kelainan serta tahanan vaskuler paru.1,3
PJB asianotik dapat dibagi menjadi dua, yang pertama yaitu lesi yang menimbulkan
beban volume dan yang paling sering dari keadaan ini adalah lesi shunt dari kiri ke kanan.
Golongan lesi kedua yaitu lesi yang menyebabkan penambahan beban tekanan, dan paling
sering akibat obstruksi aliran keluar dari ventrikel atau penyempitan salah satu pembuluh
darah besar. Untuk membedakan kedua golongan lesi tersebut dapat digunakan radiografi
dada dan elektrokardiogram.1,3,4
Tabel 2.1 Klasifikasi PJB Asianotik 4
Lesi shut kiri ke kanan
Defek Septum Ventrikel
Defek Septum Atrium (ASD)
Paten Duktus Arteriosus (PDA)
Defek septum atrioventrikularis (endocardial
crushion defect = ECD)

2.2

Pirau kiri-kanan

2.4.1

Defek Septum Ventrikel

Lesi Obstruktif
Stenosis Aorta
Stenosis Pulmonal
Koarktasio Aorta
Prolaps katup mitral

a. Definisi
3

Defek Septum Ventrikel (DSV) atau Ventricular Septal Defect (VSD) adalah
kelainan jantung kongenital berupa adanya celah yang menghubungkan ventrikel
kanan dan ventrikel kiri yang disebabkan adanya defek pada dinding yang
membatasi kedua ventrikel ini yaitu pada septum interventrikel (interventricular
septum / IVS).5
b. Insidensi
Insidensi DSV diperkirakan sekitar 2 dari 1000 kelahiran bayi hidup dan
prevalensi pada anak-anak usia sekolah diperkirakan 1 dari 1000 anak. Kejadian DSV
pada laki-laki dan perempuan adalah seimbang.6
DSV yang paling sering ditemukan, mencakup 25% dari seluruh kelainan
jantung kongenital.7 Di antara semua tipe DSV, DSV membranosa merupakan jenis
yang paling sering ditemukan (70%). Tipe DSV lainnya yaitu DSV outlet mencakup
5% dari semua kasus DSV, DSV inlet mencakup 5% dari semua kasus DSV dan DSV
muskular terjadi pada 20% dari semua kasus DSV.8
c. Patofisiologi
Septum ventrikel merupakan suatu struktur kompleks yang dapat dibagi
menjadi empat komponen yaitu septum muskular, septum inlet, septum suprakrista
(subarterial) dan septum membranosa.7 Oleh sebab itu, DSV dapat dibagi berdasarkan
lokasi defek menurut empat komponen septum di atas. Pembagiannya yaitu:
1.

Defek pada septum membranosa


Septum membranosa merupakan area yang relatif kecil berada di bawah
katup aorta.1,4 Defek membranosa melibatkan sejumlah jaringan muskular
yang berdekatan dengan septum membranosus (perimembranosus DSV).
Defek perimembranosus adalah defek yang sering terjadi (70%).4

2.

Defek pada septum muskular (trabecular defects)

Septum muscular adalah komponen terbesar pada septum interventrikular.1


Defek pada muskular ini terjadi 5 20 % dari seluruh DSV. Biasanya
terlihat multipel apabila dilihat dari sisi kanan. Defek midmuskular berada
di belakang septal band. Defek muskular apikal berada dekat dengan
apeks jantung dan sulit terlihat dan diperbaiki. Defek anterior (marginal)
biasanya multipel, kecil dan melengkung. Tipe Swiss Cheese yaitu defek
pada muscklar dan juga melibatkan seluruh komponen septum ventrikular
sangat sulit ditutup dengan tindakan bedah.4
3.

Defek septum inlet (AV canal)


Defek inlet ini terjadi sekitar 5 8% dari keseluruhan DSV. Defek berada
di posterior dan inferior dari defek perimembranosus, dibawah jaringan
septal katup tricuspid.4

4.

Defek septum outlet (suprakristal / subarterial / infundibular / conal)


Defek outlet ini terjadi sekitar 5 7% dari seluruh DSV di negara Barat
dan 30% di negara Timur. Defek ini berada di septum outlet dan meliputi
bagian cincinnya yang terdiri dari annulus aorta dan pulmonal. Jaringan
aorta dapat prolaps karena DSV dan menyebabkan insufisiensi aorta.4

Gambar 1. Lokasi Defek pada DSV 5


5

Kendati lokasi DSV penting dalam menentukan prognosis dan pendekatan


tindakan koreksi, jumlah aliran darah melalui defek bergantung pada ukuran defek
dan resistensi vaskular paru. DSV besar tidak menunjukkan gejala saat lahir karena
resistensi vaskular paru normalnya masih tinggi pada masa ini. Seiring dengan
menurunnya resistensi vaskular paru pada usia 6 8 minggu pertama kehidupan,
jumlah pirau meningkat dan gejala mulai muncul.1
Pada defek yang kecil hanya terjadi pirau dari kiri ke kanan yang minimal,
sehingga tidak terjadi gangguan hemodinamik yang berarti. Kira-kira 70% pasien
dengan defek kecil menutup spontan dalam 10 tahun, sebagian besar dalam 2 tahun
pertama. Bila setelah usia 2 tahun tidak menutup, maka kemungkinannya menutup
secara spontan adalah kecil.9
Pada defek sedang dan besar terjadi pirau yang bermakna dari ventrikel kiri ke
ventrikel kanan. Pirau kiri ke kanan yang besar menyebabkan meningkatnya tekanan
ventrikel kanan. Bila tidak terdapat obstruksi jalan keluar ventrikel kanan, maka
tekanan ventrikel kanan yang tinngi tersebut akan diteruskan ke arteri pulmonalis.
Dengan pertumbuhan pasien, maka dapat terjadi beberapa kemungkinan, yakni: 9
1. Defek mengecil, sehingga pirau dari kiri ke kanan berkurang. Pasien
biasanya tampak membaik.
2. Defek menutup.
3. Terjadi stenosis infundibular sehingga pirau kiri ke kanan berlanjut,
menyebabkan tekanan yang selalu tinggi pada sirkulasi paru. Akibatnya
terjadi perubahan vaskular paru (dari derajat I sampai VI). Bila tekanan di
ventrikel kanan melampaui tekanan ventrikel kiri maka akan terjadi pirau
yang terbalik (dari kanan ke kiri), sehingga pasien menjadi sianotik.

Keadaan ini dapat terjadi pada anak berumur 1 tahun, bahkan pada pasien
sindrom Down hipertensi pulmonal tersebut dapat terjadi lebih dini.

Gambar 2. Pirau pada DSV 10

D. Diagnosis

Anamnesis
DSV yang ukurannya kecil dapat muncul sebagai asimtomatik dengan
pertumbuhan dan perkembangan yang normal. DSV dengan ukuran yang sedang
atau besar, keluhan yang dapat muncul adalah pertumbuhan yang terlambat,
penurunan toleransi olahraga, infeksi paru berulang dan gagal jantung kongestif
umumnya relatif terjadi pada masa infant. Apabila sudah terjadi hipertensi
pulmonal yang lama, riwayat sianosis dan penurunan toleransi aktivitas dapat

ditemukan.4
Pemeriksaan Fisik

Ukuran DSV mempengaruhi presentasi klinis. DSV kecil dengan pirau


sedikit seringkali asimptomatik, namun memberikan suara murmur atau bising
jantung yang keras, kecuali pada neonatus. Bayi baru lahir dengan DSV kecil dapat
berkembang dengan baik dan asianotik.1,4
DSV sedang hingga besar mengakibatkan sirkulasi paru meningkat dan
gagal jantung kongestif yang memberikan gejala mudah lelah, diaphoresis saat
menetek/makan, dan hambatan pertumbuhan.1 Sianosis dan clubbing finger dapat
terlihat pada pasien dengan obstruksi pembuluh darah pulmonal (Eisenmengers
syndrome).4
Temuan fisis yang khas untuk DSV adalah murmur pansistolik, biasanya
terdengar paling keras di tepi sternum kiri bawah (sela iga 3 4 garis parasternal
kiri). Selain itu, dapat ditemukan pula thrill atau getaran bising di bagian bawah
sternalis kiri. Penonjolan dan hiperaktivitas daerah prekordial dapat terlihat pada
pasien dengan aliran pirau yang banyak.1,4 Pirau yang besar meningkatkan aliran
darah melalui katup mitral yang dapat menghasilkan murmur mid-diastolik di
apeks (stenosis mitral relatif). Adanya bunyi jantung kedua yang pecah (splitting)
dan intensitas P2 tergantung pada tekanan arteri pulmonal dimana intensitas bunyi
P2 normal pada defek yang kecil dan meningkat pada defek yang lebih besar.1,4
Bunyi jantung S2 terdengar keras dan tunggal pada pasien dengan
hipertensi pulmonal atau penyakit obstruksi pada pembuluh darah pulmonal.
Bising sistolik regurgitasi grade 2 sampai 5/6 dapat terdengar di garis sternalis kiri
bawah. Bising dapat berupa holosystolic atau early systolic. Bising early diastolic

drescendo dari regurgitasi aorta dapat terdengar pada DSV infundibular.4


Pemeriksaan Penunjang
1) Elektrokardiogrami (EKG)
Temuan pada EKG tergantung pada ukuran DSV. DSV kecil biasanya
tidak menimbulkan kelainan.1,4 Pada DSV ukuran sedang dapat ditemukan
8

hipertrofi ventrikel kiri atau dapat juga disertai hipertrofi atrium kiri. Pada
defek yang besar gambaran EKG bisa menunjukkan biventricular hypertrophy
dengan atau tanpa hipertrofi atrium kiri. Jika telah terjadi obstruksi pembuluh
darah pulmonal maka dapat ditemukan gambaran hipertrofi ventrikel kanan
saja.4
2) Rontgen thoraks
Gambaran foto rontgen toraks juga bergantung pada ukuran DSV.3
Kardiomegali dengan derajat yang beragam yang melibatkan atrium kiri dan
ventrikel kiri dan kadang-kadang ventrikel kanan. Peningkatan corakan
vaskular pulmonal dan peningkatan siluet arteri pulmonal juga dapat
ditemukan. Adanya kardiomegali dan peningkatan vaskularisasi pulmonal
berhubungan dengan adanya pirau dari kiri ke kanan.1,2,4
Gambar 3. Foto Rontgen Pasien dengan DSV

(Sumber: Nelson Textbook of Pediatrics Edisi 19) 1


3) Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi dua dimensi dan teknik doppler dapat
menentukan letak pasti serta ukuran defek dan juga untuk melihat adanya
kelainan penyerta. Teknik doppler juga dapat menentukan arah pirau serta dapat
memperkirakan secara kasar tekanan arteri pulmonalis dihitung dengan

persamaan Bernoulli, tekanan sistolik ventrikel kanan, serta rasio antara aliran
paru dengan aliran sistemik (Qp/Qs).,4,9 Pemeriksaan pada DSV sangat
diperlukan lokasi dan ukuran defek yang pasti bahkan bila perlu dapat
dilakukan pemeriksaan ekokardiografi dari berbagai sisi.4
E. Penatalaksanaan

Medikamentosa
Sekitar sepertiga DSV akan menutup secara spontan. DSV kecil biasanya
menutup spontan dan jika tidak menutup, tindakan penutupan DSV dengan
intervensi non-bedah atau secara bedah mungkin diperlukan. Tatalaksana awal
DSV sedang hingga besar meliputi pemberian diuretik, digoksin, dan reduksi
afterload.1
Pasien dengan defek yang kecil tidak memerlukan pengobatan apa pun,
kecuali pemberian profilaksis terhadap terjadinya endocarditis infektif terutama
apabila pasien akan dilakukan tindakan operatif di daerah rongga mulut (ekstraksi
gigi, tonsilektomi) atau tindakan pada traktus gastrointestinal atau urogenital
(misalnya sirkumsisi). Tidak diperlukan pembatasan aktivitas pada pasien dengan
defek yang kecil.9
Gagal jantung pada pasien dengan defek yang sedang atau besar biasanya
diatasi dengan digoksin (dosis rumatan 0,01 mg/kgBB/hari, dalam 2 dosis).
Diuretik lebih jarang diperlukan. Infeksi saluran napas diatasi dengan pemberian

antibiotik dini dan adekuat.9


Intervensi dan Indikasi Pembedahan
Gangguan pertumbuhan atau hipertensi pulmonal yang terus berlanjut
meskipun terapi medikamentosa telah diberikan merupakan indikasi penutupan
defek. Sebagian besar DSV ditutup dengan tindakan operasi, namun beberapa tipe
terutama defek muskular dan tipe perimembran yang rim subaortiknya lebih dari 2
mm dapat ditutup dengan alat (device) yang dipasang dengan kateterisasi jantung.1
10

Jika pada usia 3 atau 4 tahun defek belum menutup dan terdapat
pembesaran jantung, plethora paru, dan masih terdapat gejala maka dianjurkan
dilakukan penutupan defek. Defek yang tidak menutup hingga usia 4 6 tahun
maka perlu dilakukan koreksi. Namun, semakin muda usianya, semakin baik untuk
dilakukan tindakan operasi namun tetap perlu disesuaikan dengan kemampuan tim
bedah jantung dan kardiologi anak.9
Sebagian besar pasien dengan defek yang besar memerlukan tindakan
bedah korektif. Jika pasien dengan DSV yang mengalami gagal jantung yang
refrakter terhadap pengobatan medis, maka defek perlu dikoreksi berapa pun
usianya meskipun biasanya belum perlu dilakukan pada usia 3 6 bulan.9
Saat ini di beberapa pusat kardiologi anak telah digunakan AMVO atau
APMVO untuk menutup DSV tipe muskular dan perimembran secara transkateter,
sehingga penderita tidak perlu dioperasi. Namun, di Indonesia yaitu di Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, pengalaman penutupan DSV baru satu pasien
dengan hasil yang memuaskan.11

DSV

Gagal jantung

Gagal jantung

Medikamen
Gagal

Berha

Prolaps
katup
aorta

Stenosis
infundibul
um PV
Ka

HP
PV
D

Ka

PA
Rea

Evaluasi
dalam 6
bulan

Operasi tutup / Tanscatheter closure

11

Menut
up
spont
FR<

Non
reak
tifKonserva

Menge
Ka
FR>

Keterangan: PVD (Pulmonary Vascular Disease), FR (Flow Rate), Kath


(Kateterisasi), PAB (Pulmonary Artery Binding)
Diagram 1. Algoritma Tatalaksana DSV
(Sumber: Penanganan Penyakit Jantung pada Bayi dan Anak, 2005) 11
F. Komplikasi
Penyulit yang dapat timbul akibat keterlambatan tindakan bedah korektif
adalah hipertensi pulmonal, timbulnya stenosis pulmonal infundibular, dan prolaps
katup aorta (khususnya pada defek subarterial) dengan atau tanpa regurgitasi aorta
serta endokarditis infektif.9
Pada defek subarterial, kejadian prolaps katup aorta sangat tinggi. Pada
kelompok usia > 20 tahun prolaps katup aorta terdapat pada 76% kasus, usia 12 20
tahun sebanyak 73%, usia 6 12 tahun sebesar 75% dan dibawah 6 tahun sebesar
26%. Defek subarterial dengan prolaps katup aorta dan regurgitasi katup aorta yang
bermakna merupakan indikasi tindakan bedah. Apabila tidak dilakukan koreksi dapat
terjadi kerusakan katup aorta yang parah yang membutuhkan penggantian katup.1,4,9
Endokarditis infektif pada DSV dapat terjadi. Penyulit ini lebih sering
terjadi pada defek kecil, lebih sering diderita oleh pasien laki-laki dan akan meningkat
dengan bertambahnya usia.7,9

G. Prognosis
Kemungkinan penutupan spontan defek kecil cukup besar, terutama pada
tahun pertama kehidupan. Kemungkinan penutupan spontan sangat berkurang setelah
pasien berusia 2 tahun dan umumnya tidak ada lagi kemungkinan penutupan spontan
di atas usia 6 tahun.3
DSV yang besar dapat mengecil atau menutup spontan atau mengalami
stenosis infundibular oleh karena perubahan hemodinamik. Sebagian pasien dengan
12

DSV besar tetap stabil tanpa hipertensi pulmonal, dan sebagian lagi akan mengalami
hipertensi pulmonal dan pirau terbalik dari kanan ke kiri sehingga menyebabkan
sianosis dan jari tabuh (sindrom Eisenmenger).5

2.2.2

Defek Septum Atrium (ASD)

A. Definisi dan Klasifikasi


Defek septum atrium (DSA) adalah defek pada dinding yang memisahkan atrium kiri
dan kanan jantung. DSA dibagi atas empat macam yaitu, DSA primum, DSA sekundum, DSA
tipe sinus venosus, dan DSA tipe sinus coronarius.1,2
a.
DSA sekundum yaitu kelainan dimana terdapat lubang patologis di fossa ovalis.
b.
c.

d.

Ukuran defek dapat bervariasi mulai dari kecil sampai dengan besar.
DSA primum terdapat defek pada bagian bawah septum atrium.
DSA tipe sinus venosus defek septum terletak di dekat muara vena kava superior
atau vena kava inferior.
DSA tipe sinus coronarius defek septum terletak pada muara sinus koronarius,
pirau dari kiri ke kanan yang tejadi adalah dari atrium kiri ke sinus koronarius,
baru kemudian ke atrium kanan.

Septum Atrium 9

Gambar 2.3 Defek


B. Epidemiologi

Sepuluh persen dari total


kelainan

jantung bawaan merupakan

DSA.2 Delapan puluh persen dari total kelainan DSA merupakan merupakan DSA
sekundum. DSA primum merupakan jenis kedua terbanyak dari DSA. 1 DSA lebih
sering terjadi pada perempuan, dibandingkan laki-laki. Anak-anak dengan penyakit
jantung bawaan, sekitar 30-50% memiliki DSA sebagai kelainan jantung. 2 Salah satu
13

penelitian yang dilakukan di Pakistan menunjukkan bahwa DSA merupakan defek


ketiga terbanyak pada lesi asianotik.3 Sedikit berbeda dengan penelitian tersebut
penelitian di Yordania menunjukkan bahwa DSA merupakan defek kedua terbanyak
dari keseluruhan total kelainan penyakit jantung bawaan.4
C. Patofisiologi
Sepuluh persen dari total kelainan jantung bawaan merupakan DSA. 2 Delapan
puluh persen dari total kelainan DSA merupakan merupakan DSA sekundum. DSA
primum merupakan jenis kedua terbanyak dari DSA.1 DSA lebih sering terjadi pada
perempuan, dibandingkan laki-laki. Anak-anak dengan penyakit jantung bawaan,
sekitar 30-50% memiliki DSA sebagai kelainan jantung. 2 Salah satu penelitian yang
dilakukan di Pakistan menunjukkan bahwa DSA merupakan defek ketiga terbanyak
pada lesi asianotik.3 Sedikit berbeda dengan penelitian tersebut penelitian di Yordania
menunjukkan bahwa DSA merupakan defek kedua terbanyak dari keseluruhan total
D.

kelainan penyakit jantung bawaan. 4


Diagnosis
Defek atrium sekundum biasanya tidak menyebabkan gejala klinis
(asimptomatis) pada masa bayi dan anak kecil, tetapi dapat juga menimbulkan gejala
klinis. Hal ini dipengaruhi dari ukuran DSA. Pada DSA yang besar akan timbul gejala
klinis berupa sesak napas dan sering timbul infeksi paru. Gagal jantung pada bayi
sangat jarang dilaporkan. Tumbuh kembang biasanya normal, namun dengan
kebanyakan berat badan kurang dari persentil 10. 1,2
Pemeriksaan fisis jantung pada umumnya normal atau sedikit membesar
dengan pulsasi ventrikel kanan yang teraba. Komponen aorta dan pulmonal bunyi
jantung dua terbelah lebar (wide split) yang tidak berubah baik saat inspirasi maupun
ekspirasi (fix split). Split yang lebar disebabkan beban volume di ventrikel kanan
yang menyebabkan waktu untuk ejeksi ventrikel kanan bertambah lama. Split yang

14

tidak bervariasi dengan siklus pernapasan terjadi karena pirau dari kiri ke kanan
bervariasi sesuai dengan berubahnya aliran balik ke atrium kanan.1
Bunyi jantung I normal pada defek yang kecil sampai sedang. Bunyi
jantung I mengeras pada defek yang besar. Bising ejeksi sistolik terdengar di daerah
katup pulmonal dan sering terdengar pada anak yang lebih tua.1,2 Hal ini terjadi akibat
aliran darah yang berlebih yang melalui katup pulmonal. Aliran darah yang memintas
dari atrium kiri ke atrium kanan tidak menimbulkan bising karena perbedaan tekanan
antara kedua atrium kecil. Bising diastolik di daerah trikuspid dapat terdengar karena
aliran darah yang berlebih yang melalui katup trikuspid. Bising dapat terdengar keras
pada saat inspirasi dan melemah saat ekspirasi.1
Pasien dengan defek septum primum biasanya mempunyai berat badan yang
kurang dibanding anak sebayanya, serta memiliki prekordium yang menonjol akibat
pembesaran ventrikel kanan. Pada pemeriksaan fisik biasanya jantung membesar
dengan peningkatan aktivitas ventrikel kiri maupun kanan. Pada auskultasi terdengar
bunyi jantung 1 normal atau mengeras dan bunyi jantung 2 split lebar dan menetap. Di
daerah pulmonal terdengar bising ejeksi sistolik akibat stenosis pulmonal relatif.
Sering terdengar bising pansistolik apikal akibat regurgitasi mitral.1,2
E. Pemeriksaan penunjang
- Rontgen dada
Pada foto torak tampak pembesaran ventrikel kanan dengan atau tanpa
pembesaran atrium kanan (foto lateral). Pada foto PA tampak konus pulmonalis
menonjol. Terdapat peningkatan vaskularisasi paru baik di hilus maupun daerah
perifer. Jikalau terdapat regurgitasi mitral maka terdapat pembesaran ventrikel serta
atrium kiri. Kardiomegali lebih sering terjadi pada defek primum dibandingkan
sekundum.1

15

Gambar. X ray dari anak usia 3 tahun dengan defek ostium primum non restriktif dengan
regurgitasi moderate dari katup atrioventrikular kiri. Vaskularisasi paru meningkat,
pulmonary trunk dilatasi, pembesaran ventrikel kanan, aorta asenden tidak terlihat, tidak
dapat dipastikan ventrikel mana yang menempati apex8
-

Elektrokardiografi
Elektrokardiogram menunjukkan pola RBBB pada 95% kasus DSA sekundum.

Hal ini menunjukkan penambahan beban volume pada ventrikel kanan. Juga terdapat
deviasi sumbu QRS ke kanan (right axis deviation). Blok AV derajat 1 ( pemanjangan
inerval PR) terdapat pada 10% kasus DSA sekundum. Hipertrofi ventrikel kanan
sering ditemukan, tetapi pembesaran atrium kanan jarang ditemukan.1
Elektrokardiografi pada defek septum primum sangat khas yaitu adanya
deviasi sumbu QRS ke kiri (left axis deviation) yang menyertai hipertrofi ventrikel
kanan. Terdapat pola rsR di V1 dan Vaf (dikenal sebagai IRBBB). Interval PR
memanjang pada lebih 50% kasus. Deviasi sumbu ke kiri pada defek septum primum
ini disebabkan oleh left anterior hemiblock akibat tidak terbentuknya sebagian cabang
anterior kiri dari bundle his.1

Ekokardiografi

16

Ekokardiografi 2 dimensi dapat menunjukkan letak dan ukuran DSA. Pada


pirau yang bermakna tampak pelebaran arteri pulmonalis, atrium kanan, dan ventrikel
kanan, sementara itu atrium dan ventrikel kiri normal atau terkesan lebih kecil
daripada normal. Mungkin pula terlihat prolaps katup mitral yang merupakan penyulit
pada DSA sekundum. Angka kejadian prolaps katup mitral mencapai 20%.
Pemeriksaan dengan menggunakan doppler dapat menunjukkan dengan jelas pirau
dari kiri dan kanan, serta sering terdapat insufisiensi trikuspid ringan yang terjadi
akibat dilatasi ventrikel dan atrium kanan yang meregangkan katup trikuspid.1,2
-

Kateterisasi Jantung
Kateterisasi jantung masih dilakukan pada pasien dengan DSA primum
yang akan dioperasi. Namun sebagian pusat kardiologi telah melakukan operasi
DSA primum tanpa kateterisasi lebih dahulu. Prosedur ini dilakukan untuk
memastikan diagnosis, mengukur tekanan arteria pulmonalis, flow ratio, serta
menyingkirkan kelainan kardiovaskular lain yang mungkin menyertainya.1
Diagnosis

anatomik

dan

fisiologik

yang

dapat

akurat

dengan

ekokardiografi dan doppler memungkinkan kateterisasi prabedah tidak diperlukan


pada sebagian besar kasus. Kateterisasi dilakukan hanya bila ada keraguan
mengenai penyakit penyerta atau adanya hipertensi pulmonal.1
F. Penatalaksanaan
DSA primum memerlukan tindakan bedah korektif jika terdapat
pembesaran jantung yang progresif pada pemeriksaan foto toraks berkala. Karena
defek primum biasanya lebih cepat memburuk daripada defek skundum, maka
dianjurkan untuk melakukan koreksi pada usia lebih dini yaitu pada usia 2-3
tahun. Hasil operasi pada umumnya baik dengan atau tanpa sisa regurgitasi mitral
ringan. Risiko operasi pada DSA primum besar lebih besar dibandingkan pada
17

defek atrium sekundum karena kompleksnya kelainan dan risiko blok jantung
pascabedah. Operasi tidak dianjurkan pada pasien tanpa gejala dan pasien yang
jantungnya normal atau hanya sedikit saja membesar. Pencegahan terhadap
endocarditis dengan antibiotik perlu diberikan terutama bila terdapat regurgitasi
mitral. 1,2
Pengobatan definitive DSA sekundum adalah operasi. Penentuan indikasi
operasi pada saat ini sudah berubah, oleh karena pada waktu yang lalu indikasi
operasi ditentukan oleh hasil kateterisasi. JIka Qp/Qs lebih besar dari 2:1, defek
harus ditutup pada usia 4-5 tahun. Apabila ditunda mungkin terjadi penyulit
seperti hipertensi pulmonal, prolaps katup mitral yang memerlukan reparasi, atau
regurgitasi tricuspid yang memerlukan anuloplasti. Jika Qp/Qs kurang dari 1,5:1
maka defek septum sekundum umumnya tidak perlu dikoreksi, melainkan
dibiarkan dengan pengawasan. Risiko bedah korektif DSA sekundum pada pusat
yang maju adalah sangat kecil, lebih kurang 0,5%. Pasien pascabedah DSA
sekundum tidak memerlukan tindakan profilaksis terhadap endocarditis infektif.
1,2

Akhir-akhir ini telah diperkenalkan penutupan DSA dengan kateterisasi


jantung. Prinsipnya, dengan kateter dimasukkan alat yang berbentuk seperti
payung tertutup dari atrium kanan ke atrium kiri, kemudian dibuka dan ditarik
sampai menutup defek dan septum atrium membonjol ke atrium kanan. Alat
kedua yang berada di atrium kanan dibuka, kemudian didorong sampai menempel
pada alat pada sisi atrium kiri.1 Metode seperti ini hanya diaplikasikan pada DSA
tipe sekundum. Syarat penutupan dengan metode kateterisasi yaitu, pada shunt
yang masih signifikan (Qp:Qs 1,5:1), diameter defek 5-32mm, serta dengan
ketebalan septum sekitar masih cukup (4mm).2

18

Gambar . Algoritma tatalaksana DSA7


Keterangan: HP: Hipertensi Pulmonal, PVD: Pulmonary vascular disease, Kat: kateterisasi
G. Komplikasi ASD
Komplikasi yang dapat terjadi yaitu berupa hipertensi pulmonal, yang sering
terjadi pada dekade 2 atau 3. Gagal jantung dapat terjadi namun sangat jarang
dilaporkan. Endokarditis juga dapat terjadi namun juga cukup jarang dilaporkan.1, 7
H. Progosis ASD
Prognosis DSA sekundum kecil dan sedang pada anak dapat dikatakan baik.
Masalah akan timbul pada dekade 2 atau 3 dan pada masa mengandung bagi wanita.
Hipertensi pulmonal dapat terjadi pada usia tersebut. Endokarditis jarang terjadi pada
defek sekundum.7
2.2.3 Paten Duktus Arteriosus (PDA)

19

A. Definisi
Duktus arteriosus adalah sebuah arteri yang menghubungkan arteri pulmonaris
proksimal kiri dengan bagian atas aorta desending kira kira 2-10 mm dari arteri
subclavia kiri.1 duktus arteriosus memungkinkan adanya aliran darah dari arteri
pulmonal ke aorta selama masa kehidupan janin. 3 patent duktus arteriosus berarti
kegagalan penutupan pembuuh darah ini secara normal sehingga duktus arteriosus
menetap.3 paten duktus arteriosus biasanya sering dtiemukan tanpa kelainan jantung
bawaan lain, akan tetapi dapat juga ditemukan dengan kelainan jantung bawaan
seperti atresia trikuspid atau atresia pulmonal.4

Gambar 1. Aliran darah paten duktus arteriosus.3


B. Insidensi
Paten duktus arteriosus sering ditemukan pada bayi prematur dengan berat
badan lahir rendah.4 insidensi paten duktus arteriosus pada neonatus preterm berkisar
40-60 persen pada hari ketiga kehidupan.5 angka kejadian paten duktus arteriosus
sekitar 5-10 persen dari total penyakit jantung bawaan. 3 paten duktus arteriosus lebih
sering terjadi pada wanita dibanding pria dengan rasio 3:1.2
C. Patofisiologi

20

Normal nya penutupan duktus arteriosus menutup secara fungsional pada 1015 jam setelah lahir,karena adanya kontraksi otot polos duktus arterious dan
pemendekan struktur serta penebalan dinding.1 terjadinya penutupan diperkirakan
karena adanya perubahan PaO2 dari keadaan fetal menjadi neonatus. Perubahan PaO2
ini akan memicu oksigen sensor pada duktus arteriosus untuk menghasilkan reaktif
oksigen spesies (ROS), yang kemudian ROS memicu kerusakan jaringan duktus
arteriosus dan menyebabkan penutupan duktus arteriosus.6 penutupan sempurna dan
permanen terjadi pada usia 2-3 minggu.4 kegagalan penutupan duktus arteriousus
diperkiraan karena adanya hipoksia.6
D. Manifestasi klinis
Gejala yang timbul pada paten duktus arteriosus tergantung pada jumlah aliran
darah pulmonal.3 pada awal kelahiran paten duktus arteriosus bisa tidak terdeteksi
dikarenakan tingginya resistensi pembuluh pulmonal.1 Paten duktus arteriosus yang kecil
bersifat asimptomatik, sedangkan paten duktus arteriosus sedang sampai yang besar dapat
menyebabkan gejala gagal jantung seiring menurun nya resistensi pembuluh pulmonal. 3
selain itu gejala yang timbul pada paten duktus arteriosus yang besar adalah nafas cepat,
tidak mau menyusu, dan gagal tumbuh.1
E. Diagnosis
- Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Paten duktus arteriosus biasanya akan mengeluhkan gejala yang tidak spesifik
seperti nafas cepat, tidak mau menyusu ataupun adanya gagal tumbuh.1 Dari
pemeriksaan fisik paten duktus arteriosus tampak peningkatan aktifitas prekordium
yang dapat teraba getaran nya pada palpasi, tekanan nadi melebar dengan tekanan
diatolik yang rendah dan bounding pada pulsasi perifer.4 tekanan nadi yang melebar
diakibatkan lari nya darah ke sirkulasi pulmonal saat fase diatolik. 3 kemudian
didapatkan juga bising jantung yang kontinyu
21

seperti suara mesin (machinery

murmur), bising ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan antara aorta dan arteri
pulmonal,

bising ini paling jelas terdengar parasternal kiri atas pada area infra

clavikula.1
-

Pemeriksaan penunjang

Elektrokardiografi
Gambaran EKG pada paten duktus arteriosus serupa dengan ventrikel septal
defek. Gambaran normal EKG atau pembesaran ventrikel kiri dapat terlihat pada
paten duktus arteriousus yang kecil atau menengah. 2 Pada paten duktus arteriosus
yang besar dapat tampak gambaran hipertrofi ventrikel kanan.4
Radiologi
Gambaran foto thoraks pada paten duktus arteriosus tidak spesifik. 1 tergantung
dari jumlah aliran darah ke pulmonal. Pada paten duktus arteriosus yang kecil dapat
menunjukan gambaran yang normal, sedangkan pada paten duktus arteriosus yang
besar dapat menunjukan pembesaran jantung yang bervariasi.2
Ekokardiografi
Ekokardiografi dapat secara langsung memperlihatkan duktus arteriosus.
dengan teknik doppler dapat dilihat gambaran aliran yang khas pada paten duktus
arteriosus.4 ukuran dari paten duktus arteriosus juga dapat dinilai melalui
ekokardiografi melalui penilaian dua dimensi eko pada gambaran parasternal tinggi.2
Kateterisasi jantung dan Angiografi
Kateterisasi juga bisa mengkonfirmasi adanya paten duktus arteriosus dengan
menunjukan peningkatan saturasi oksigen pada arteri pulmonal. Kateter mengukur
tekanan arteri pulmonal bersama dengan penghitungan aliran darah arteri pulmonal
yang akan mengestimasi resistensi pembuluh pulmonal. Yang akhirnya kateter bisa
22

melewati arteri pulmonal menuju aorta atau dari aorta ke arteri pulmonal, yang
membuktikan adanya duktus arteriosus. Dengan aortogram dapat menunjukan
diameter dan panjang duktus arteriosus.1
F. Penatalaksanaan
Tatalaksana paten duktus arteriosus meliputi nonintervensi, intervensi bedah
dan intervensi kardiologi non bedah.4
Tatalaksana non intervensi biasanya dilakukan pada bayi prematur dengan
cara mempertahankan hematokrit pada kadar 45%. Dengan tujuan mencegah anemia
karena anemia akan menyebabkan iskemia miokardium. Selain itu dapat juga
dilakukan terapi medika mentosa yaitu dengan pemberian indometacin (analog
prostaglandin) yang diberikan sebelum usia 10 hari. Dosis indometacin yang di
berikan 0,2mg/kgBB melalui pipa nasogastrik atau intravena. Pemberian dosis
selanjutnya tergantung usia pada saat awal terapi :

<48jam dilanjutkan dengan dosis 0,1mg/kgBB


2-7 hari dilanjutkan dengan 2 dosis 0,2mg/kgBB
> 7hari dilanjutkan dengan 2 dosis > 0,25mg/kgBB
Dosis ketiga diberikan setelah 12-24 jam tergantung urin yang keluar. Jika urin
yang keluar sedikit, dosis dapat dikurangi dan waktu pemberian dapat diperlambat,
indometasin tdak diberikan apabila terdapat gangguan ginjal, perdarahan, syok,
Necroting Enterocolitis, EKG menunjukan iskemia miokardium. 4 indometasin tidak
efektif pada neonatus cukup bulan dan sebaik nya tidak diberikan.2
Selain itu juga dilakukan restriksi cairan dan natrium untuk mecegah
terjadinya gagal jantung.1 pada bayi dengan usia diatas 10 hari menurut penelitian
terbaru, dapat diberikan paracetamol intravena untuk membantu penutupan duktus
arteriosus, dosis paracetamol intra vena yang diberikan 60mg/kgbb/hari dibagi dalam
4 dosis, diberikan selama3- 6 hari tergantung dari ukuran duktus arteriosus.7

23

Untuk tatalaksana non surgical dilakukan dengan pemansangan coil ,umbrella,


atau ADO (Amplatzer Duct Occluder) secara transkateter.4 penggunaan peralatan
yang berbeda memiliki derajat kesuksesan yang berbeda , pada beberapa pusat
kesehatan, duktus kecil dengan diameter <4mm ditutp dengan coil, dan untuk yang
lebih besar digunakan ADO.2
Untuk tatalaksana surgikal dilakukan prosedur ligasi duktus melalui
torakotomi tanpa cardiopulmonary bypass, atau dengan teknik thorachoscopic klip
ligasi.2

Gambar 2. Amplatzer duct occluder

24

Gambar 3. Alur tatalaksana pada paten duktus arteriosus.4

G. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada paten duktus arteriosus adalah gagal jantung.4

2.3

Lesi Obtruktif

2.3.1

Stenosis Aorta

A. Insidensi
Angka kejadian stenosis aorta sebanyak 5% dari semua kasus PJB. Prevalensi
kejadian 4 kali lebih banyak pada laki-laki dari pada perempuan. Pada kebanyakan
kasus, stenosis aorta adalah valvuler, daun katup menebal dan komisura berfusi
sampai bertingkat.1,2
B. Patofisiologi

25

Stenosis subvalvuler (subaorta) dengan kerangka fibrosa tersendiri di bawah


katup aorta merupakan bentuk obtruksi saluran aliran ventrikel kiri. Lesi ini juga
sering disertai penyakit jantung kongenital lainnya. 1 Stenosis aorta subvalvuler dapat
menjadi jelas sesudah pembedahan defek jantung kongenital (koartasio aorta, PDA
dan DSV).3]
C. Manifestasi klinis
Stenosis aorta pada masa bayi awal disebut stenosis aorta kritis dan disertai gagal
ventrikel kiri berat. Bayi ini datang dengan curah jantung rendah. Gagal jantung
kongestif, kardiomegali, edema paru dan nadi lemah pada semua ekstermitas. Bisa
juga terdapat curah urin berkurang. Pada anak lebih besar ditemukan bising jantung
pada saat pemeriksaan rutin. Biasanya anak tampak sesak, rasa sakit substernal pada
saat latihan, sinkop atau dizziness. Kemtian mendadak dapat terjadi apabila penderita
dengan obtruksi aliran keluar ventrikel berat yang pembedahannya di tunda.1,4
Pasien tampak asianotik dan nadi normal, kecuali pada stenosis berat nadi teraba
lemah. Pada anak getaran bising sistolik teraba jelas suprasternal dan sekitar karotis
serta pada sela iga 2 kanan.2
D. Diagnosis :
- Pemeriksaan fisik
Uji latihan fisik yang digradasi berguna dalam mengevaluasi keparahan
obstruksi saluran aliran keluar ventrikel kiri pada anak yang lebih tua. Semakin berat
kenaikan perbedaan tekanan, kapsitas kerja semakin berkurang, tekanan darah sistolik
tidak mampu naik dengan cukup, tekanan darah diastolik dapat naik dan depresi
segmen ST dapat terjadi.1
Elektrokardiogram
Pada stenosis katup aorta ringan ekg tampak normal. Pada kasus berat
ditemukan hipertrofi ventrikel dan strain kiri (missal gelombang T inversi di hantaran
prekordial kiri).2,3
- Echokardiografi
Dilakukan untuk melihat katup aorta yang bicuspid. Dengan Doppler dapat
dinilai perbedaan tekanan pada aorta asceden dan ventrikel kiri, dengan M-mode

26

tampak garis koaptasi katup terletak eksentris. Juga dapat melihat apabila terjadi
stenosis pada subvalvular atau supravalvular.2,4
- Foto rontgen
Pada kasus stenosis aorta bisa juga ditemukan dilatasi aorta asenden atau
aortic knobs yang menonjol, yang disebabkan oleh post stenotik dilatasi. Biasanya
tidak ada kardiomegali kecuali jika disertai gagal jantung.2

Gambar. Tanda kardiomegali dengan disposisi apex ventrikel kiri ke dinding dada
kiri. Atrium kiri mendisposisi esofagus ke kanan. Tanda vaskularitas pulmonal normal
kateterasi jantung
Kateterisasi jantung kiri menampakan besar perbedaan tekanan dari ventrikel
kiri ke aorta. tampak obstruksi paling baik di identifikasi dengan ventrikulografi
selektif kurva tekanan aorta abnormal jika obstruksi berat. pada penderita dengan
obstruksi berat dan kelenturan ventrikel kiri berkurang. tekanan atrium kiri naik dan
mungkin ada hipertensi pulmonal. kebanyakan bayi dengan stenosis aorta berat tidak
memerlukan kateterasi jantung, fungsi ventrikel kiri menurun secara mencolok.1
E. Penatalaksanaan

27

Gambar. Algoritma Tatalaksana Stenosis Aorta


keterangan : BAV : ballon aortic valvuloplasty, PG : preassure gradient, kat :
kateterisasi
-

Intervensi pembedahan
Apabila terjadi komisurotomi pada tempat terjadinya stenosis.2 Prosedur tindakan

yang dilakukan adalah dengan BAV (ballon aortic valvulotomy) secara transkateter.
Dilakukan apabila perbedaan tekanan sistolik puncak antara ventrikel kiri dan aorta
melebihi 60mmHg pada saat istirahat.1,2
Apabila pergantian katup aorta diperlukan, pilihan prosedur sering tergantung
pada umur penderita. Katup homograf dan katup babi cenderung berkalsifikasi lebih
cepat pada anak yang lebih muda; namun, mereka tidak memerlukan anti koagulasi
yang terus menerus. Operasi yang banyak digunakan translokasi aorto-pulmonalprosedur

ross.

Prosedur

ini

meliputi

pengambilan

katup

pulmonal

dan

menggunakannya untuk mengganti katup aorta abnormal. Katup homograf kemudian


28

ditempatkan pada posisi pulmonal. Manfaat pada prosedur ini adalah potensi untuk
pertumbuhan katup neo-aortik translokasi dan umur katup homograf lebih lama bila
ditempatkan pada tekanan sirkulasi pulmonal yang lebih rendah.1
F

Prognosis stenosis aorta


Pada kasus stenosis aorta ringan sampai sedang prognosisnya baik. Namun
pada kasus yang menderita obstruksi berat dapat terjadi kematian mendadak.1

2.3.2

Stenosis Pulmonal

a. Definisi
Obstruksi pada jalan keluar ventrikel kanan atau arteri pulmonalis dan cabangcabangnya. Penyempitan pada stenosis pulmonal dapat terjadi di bawah katup yaitu di
infundibulum (stenosis subvalvular atau infundibular), pada (valvular) atau di atas katup
(supravalvular).
b. Insidensi
Menurut penelitian di Brazil, prevalensi stenosis katup pulmonal berada di urutan
keempat terbanyak pada lesi kongenital asianotik. 1 Beberapa penelitian di Arab
saudi juga menunjukkan bahwa stenosis katup pulmonal juga cukup sering terjadi.
Stenosis pulmonal pada beberapa penelitian tersebut berada pada urutan ketiga
ataupun keempat paling banyak.2
b. Patogenesis

c. Manifestasi Klinik
Penderita

stenosis

pulmonal

derajat

ringan

sedang

sering

tidak

memperlihatkan adanya gejala. Jika stenosis pulmonal derajat berat, biasanya


akan terlihat tanda-tanda kegagalan ventrikel kanan seperti hepatomegali,
edema perifer, dan intoleransi terhadap latihan. 2 Pasien stenosis pulmonal
biasanya tampak seperti anak sehat, tumbuh kembangnya normal, bahkan
29

tampak bergizi baik dengan wajah moon face. Toleransi latihan normal, dan tidak
terdapat infeksi saluran napas berulang.

Pada pemeriksaan didapatkan tekanan darah dan denyut jantung normal.


Jantung tidak membesar, impuls normal, dan impuls ventrikel kanan tidak
teraba.

Pada stenosis pulmonal derajat sedang, tekanan darah sedikit

meningkat. Pada anak yang lebih besar terlihat peningkatan tekanan vena
jugularis. Ventrikel kanan kuat angkat teraba di perbatasan sternum kiri bawah.
Dalam stenosis pulmonal derajat berat, terdapat adanya sianosis ringan sampai
sedang pada pasien dengan defek septum atrium atau pasien dengan kelainan
paten foramen ovale. Jika terdapat adanya pembesaran hepar dan edema
perifer, hal ini menandakan adanya kegagalan dari jantung kanan. jantung
sedikit atau sangat membesar dan kuat angkat pada parasternal kanan. Kadang
didapatkan meluas ke garis midklavikula kiri.

1,2

Pada palpasi dada pasien stenosis sedang atau berat teraba getaran
bising di sela iga II parasternal kiri. Bunyi jantung I normal diikuti oleh bunyi klik
ejeksi, yang menandakan bahwa daun katup pulmonal masih cukup leluasa
geraknya. Klik terdengar di sela iga II parasternal kiri dan terdengar lebih keras
pada saat ekspirasi. Bila klik tidak terdengar lagi, hal ini menandakan bahwa
katup pulmonal displastik dan tidak leluasa geraknya. Bunyi jantung II terdengar
split yang makin lebar dengan bertambah beratnya obstruksi, karena bertambah
lamanya waktu ejeksi ventrikel kanan. Namun berbeda dengan defek septum
atrium, pada stenosis pulmonal tidak terdapat split yang menetap, melainkan
bervariasi dengan respirasi, split lebih lebar pada saat inspirasi dan menyempit
saat ekspirasi.1,2
Akibat gangguan gerakan katup, komponen pulmonal yaitu bunyi jantung
II (P2) terdengar lemah, makin berat obstruksi, makin lemah bunyi jantung II,
30

sehingga bila obstruksi sangat berat, maka bunyi jantung II terdengar tunggal,
yaitu hanya A2.
Bising sistolik selalu terdengar pada stenosis pulmonal, sifatnya kasar,
derajat 3 sampai 6/6, pungtum maksimum di sela iga II parasternal kiri dan
menjalar ke sepanjang garis sternum kiri dan apeks. Pada stenosis pulmonal
murni ini derajat bising bergantung kepada derajat stenosis, makin berat
stenosis, makin keras bisingnya. Hal ini berbeda dengan stenosis pulmonal pada
tetralogy Fallot, karena terdapat defek septum ventrikel, bila stenosis pulmonal
bertambah berat maka darah akan mencari jalan yang tahanannya lebih kecil,
yakni melintas defek septum ventrikel ke ventrikel kiri kemudian menuju ke
aorta. Dengan demikian maka arus turbulen pada obstruksi jalan keluar ventrikel
kanan sedikit dan bising terdengar makin lemah. 1,2

D. Diagnosis :
- Anamnesis
Gejala bergantung pada derajat obstruksi. Bayi dan anak dengan stenosis pulmonal
ringan tidak menunjukkan gejala. Stenosis sedang hingga berat dapat menyebabkan dyspnea
saat beraktivitas dan mudah lelah. Bayi baru lahir dengan stenosis berat dapat lebih
simptomatik dan bahkan mengalami sianosis akibat pirau kanan ke kiri di tingkat atrium.3
-

Pemeriksaan Fisik

Stenosis pulmonal menyebabkan murmur ejeksi sistolik yang terdengar di sela iga
kedua garis parasternal kiri dan menjalar ke punggung. Getaran bising mungkin juga
ditemukan. Bunyi jantung II dapat terdengar wide split disertai komponen pulmonal yang
terdengar pelan/lemah. Pada stenosis yang lebih berat, dapat terlihat impuls di tepi kiri bawah
sternum yang disebabkan oleh hipertrofi ventrikel kanan. Stenosis valvular dapat
menyebabkan timbulnya klik yang bervariasi dengan respirasi. Semakin berat stenosis,

31

semakin lama durasi murmur dan semakin tinggi frekuensinya. Murmur akibat stenosis
pulmonal perifer bervariasi menurut lokasi lesi. Murmur ejeksi sistolik terdengar di bagian
distal obstruksi sepanjang aliran darah di sirkulasi pulmonal yang dapat mengalami radiasi
penjalaran ke punggung.3

- Pemeriksaan Penunjang
1. Elektrokardiogram
Gambaran EKG normal pada stenosis ringan. Stenosis sedang hingga berat
dapat menyebabkan deviasi aksis QRS ke kanan dan hipertrofi ventrikel kanan yang
dapat ditunjukkan dengan adanya gelombang R yang tinggi di hantaran dada kanan
dan gelombang S yang dalam di V5 dan V6. 3,5 Pada stenosis sedang dan berat
didapatkan dilatasi atrium kanan (gelombang P pulmonal).5
2. Foto Rontgen
Foto rontgen toraks normal pada stenosis ringan. Ukuran jantung biasanya
normal pada foto rontgen toraks walaupun segmen arteri pulmonal utama dapat
menonjol akibat dilatasi pascastenotik arteri pulmonalis utama. 3

32

Gambar. Foto Rontgen Pasien dengan Stenosis Pulmonal


(Sumber: Nelson Textbook of Pediatrics 19th Edition, 2011)
3. Ekokardiografi
Ekokardiografi dapat memperlihatkan lokasi stenosis, derajat hipertrofi, dan
morfologi katup serta estimasi gradien tekanan.3 Pada ekokardiografi tampak
pelebaran ruang ventrikel kanan dengan atau tanpa pelebaran atrium kanan.
Pemeriksaan ekokardiografi 2 dimensi memperlihatkan adanya dooming katup
pulmonal (daun katup berbentuk seperti kubah) dan dapat pula dideteksi adanya
dysplasia katup pulmonal serta dilatasi pascastenosis. Dengan teknik Doppler dapat
ditentukan perbedaan tekanan antara ventrikel kanan dan arteria pulmonalis dan dari
nilai tersebut dapat ditentukan derajat stenosis.5
4. Kateterisasi dan Angiokardiografi
Kateterisasi jantung diperlukan untuk menentukan perbedaan tekanan antara
ventrikel kanan dan arteri pulmonalis utama untuk memastikan derajat stenosis.
Dengan kateterisasi jantung juga dapat diketahui adanya stenosis infundibular.
Perbedaan tekanan antara ventrikel kanan dan arteri pulmonalis dapat berkisar antara
20-100 mmHg bahkan dapat mencapai 200 mmHg pada stenosis yang sangat berat.
Perbedaan tekanan ini dipakai sebagai kriteria klasifikasi derajat stenosis. Dengan
perbedaan tekanan 20-40 mmHg stenosis pulmonal disebut ringan, 40-60 mmHg
sedang, dan lebih dari 60 mmHg derajat berat. Sebagian ahli menganggap stenosis
ringan bila perbedaan tekanan antara 25-50 mmHg, sedang bila 50-75 mmHg, dan
berat bila lebih dari 75 mmHg.5

E. Penatalaksanaan

33

Pada stenosis pulmonal ringan tidak perlu dilakukan tindakan apa pun selain
pemantauan secara berkala (pemeriksaan fisik, elektrokardiografi, ekokardiografi
Doppler) untuk mengetahui apakah stenosis bertambah berat. Tindakan untuk
mengurangi atau menghilangkan stenosis perlu dilakukan bila obstruksi cukup berat
(lebih dari 40-50% mmHg), atau bila tekanan sistolik ventrikel kanan lebih besar dari
40% tekanan ventrikel kiri, atau jika terjadi penyulit stenosis infundibular sekunder.
Dilatasi katub pulmonal dengan balon (ballon pulmonary valvulotomy) pada saat ini
merupakan prosedur dilatasi balon yang paling banyak dilakukan, karena relatof
sederhana, efektif, dan murah. Namun penyempitan ulang dilaporkan cukup tinggi
sehingga pemantauan pascadilatasi balon harus dilakukan dengan ketat. pada semua
pasien dengan stenosis pulmonal perlu diberikan pencegahan terhadap endokarditis
infektif.

f. komplikasi stenosis aorta


g. Progosisa stensis aort

2.3.3

Koarktasio aorta

a. Insidensi
Koarktasio aorta terjadi pada sekitar 6-10% kasus PJB dimana terjadi kontriksi pada
tempat duktus bermuara pada aorta. Insidensi koarktasio aorta terjadi dua kali lebih sering
pada laki-laki daripada wanita. Lebih dari separuh pasien dengan koarktasio aorta disertai
dengan kelainan lain, seperti DSV, kelainan katup mitral dan stenosis aorta. 1,2 Sekitar 30%
koarktasio aorta terjadi pada penderita sindrom Turner (XO). 4 Koarktasio aorta hampir selalu
terjadi (98% kasus) tepat di distal permulaan arteria subklavia kiri pada permulaan duktus
arteriosus, atau biasa disebut posisi jukstaduktal, tetapi juga bisa terjadi pada praduktal atau

34

pascaduktal. Saat perkembangan arkus aorta, derah disekitar insersi duktus arteriosus gagal
berkembang secara normal sehingga terjadi penyempitan lumen aorta.1,3
b. Patofisiologi
Koarktasio aorta dapat terjadi hanya karena obstruksi jukstaduknal saja, ataupun
sebagai hipoplasia tubuler aorta transversum mulai pada salah satu pembuluh darah kepala
atau leher dan meluas kedaerah duktus, atau yang biasanya disebut koarktasio preduktal.
Terjadinya koarktasio aorta sering kali dihubungkan dengan kelainan jantung yang
menyebabkan aliran darah melalui katub aorta berkurang, contohnya pada DSV. 1,4
Penyempitan pada jukstaduktal menyebabkan rendahnya tekanan darah pada distal
tubuh dan meningkatnya tekanan darah pada proksimal tubuh. Rendahnya tekanan darah pada
distal tubuh diakibatkan kurangnya aliran darah ke organ abdominal dan ekstremitas bawah
akibat kontriksi pada jukstaduktal, dimana dapat terjadi iskemik pada organ bagian bawah
tersebut. Hipertensi pada bagian tubuh menyebabkan aliran darah ke otak dan ekstremitas
atas meningkat.1,4,6
Efek hemodinamik koartasio aorta bervariasi tergantung derajat obstruksi, lesi jantung
dan mekanisme kompensasi. Koartasio aorta menyebabkan kenaikan afterload pada ventrikel
kiri akibat meningkatnya tekanan pada proksimal tubuh, menyebabkan tekanan dinding yang
meningkat, hipertrofi ventrikel kiri kompensata, disfungsi ventrikel kiri dan pembentukan
arteri kolateral. Pada fetus, gangguan hemodinamik yang terjadi ringan dikarenakan hanya
10% dari cardiac output yang melewati istmus. Namun setelah lahir, akibat penutupan duktus
arteriosus menyebabkan obstruksi aorta hingga terjadi pengurangan output ventrikel kiri,
peningkatan tekanan pada diastolik akhir dari ventrikel kiri, dilatasi miokard, dan gejala dari
gagal jantung. Pada obstruksi berat akan terjadi disfungsi miokard, pengurangan stroke
volume dan terjadi syok kardiogenik.1,5
35

Jika tidak dioperasi pada masa bayi, koarktasio aorta biasanya menimbulkan
pertumbuhan sirkulasi kolateral yang luas, terutama dari cabang-cabang subklavia, intercostal
superior dan arteri mamaria interna. Cabang-cabang thoraks dan subskapuler arteria aksilaris
dapat juga membesar sebagai saluran kolateral. Pembuluh darah ini bergabung dengan
cabang-cabang epigastrik inferior arteria femoralis membentuk saluran darah arterial untuk
memintas daerah koarktasio. Pembuluh darah yang turut membentuk sirkulasi kolateral dapa
menjadi sangat besar dan berkelok-kelok pada awal masa dewasa.1

Gambar Metamorfosis koartasio A) Prototip janin, tidak ada obtruksi aliran. B)


Kehamilan akhir. Ventrikel menambah curahnya dan mendilatasi segmen, aliran masih bisa
masuk melalui duktus, C) Neonatus, duktus sudah mulai kontriksi, D) Stenosis jukstaduknal
dewasa. E) Prototip janin tipe infatil yang menetap. 1
c. Manifestasi Klinis
Bayi biasanya lahir dalam keadaan baik tetapi dalam beberapa hari mendadak menjadi
memburuk pada hari ke-2 sampai hari ke-10. Hal ini berhubungan dengan menutupnya
duktus arteriousus.2 Gejala koarktasio aorta pada neonatus biasanya lebih berat, seperti sesak
napas, anak tidak mau minum, nadi lemah, oliguria atau anuria, syok dapat timbul sebelum
36

usia 2 minggu. Apabila koarktasio aorta terdeteksi sebelum penutupan duktus arteriosus,
gejala yang mungkin terlihat adalah perbedaan sianosis tubuh, dimana hanya bagian tubuh
bagian bawah saja yang sianosis. Apabila koarktasio aorta didapatkan sesudah penutupan
duktus, biasanya pasien datang dengan tanda-tanda hipoperfusi tubuh bagian bawah, asidosis,
dan gagal jantung berat.1,3,4
Tanda klasik koartasio aorta adalah perbedaan nadi dan tekanan darah lengan dan
kaki. Nadi brakialis teraba normal dan kuat, sedangkan nadi femoralis serta dorsalis pedis
sangat lemah bahkan tidak teraba. Begitu juga tekanan darah di ekstremitas atas lebih tinggi
dibandingkan tekanan darah ekstremitas bawah. Pada orang normal, tekanan darah sistolik di
kaki lebih tinggi 10-20 mmHg dari pada tekanan darah di lengan. Untuk itu sangat perlu
dilakukan pemeriksaan nadi serta pemeriksaan tekanan darah pada keempat ekstremitas pada
setiap bayi yang dicurigai menderita penyakit jantung bawaan.1-4
Pada anak yang lebih besar jarang menunjukkan gejala yang berarti. Anak biasanya
datang dengan keluhan lemah dan atau nyeri pada kaki, sakit kepala ataupun epitaksis
sesudah latihan fisik. Pada koarktasio berat, setelah pasien berumur 4 tahun biasanya dapat
diraba kolateral di daerah subskapula dan di daerah interkostal.3
Tabel...... Manifestasi Klinis Koarktasio Aorta6
Neonatal
Postneonatal
Syok
Gejala hipertensi proksimal tubuh : sakit
kepala, LVH
Asidosis
Gejala hipotensi distal tubuh: nyeri pada
betis, pulsasi lemah
Perfusi kurang
Bruits/murmur akibat kolateral
Sianosis ekstremitas bawah
Sulit makan
Keringat berlebihan
D. Diagnosis

37

Pada bayi dengan koarktasio berat didapatkan adanya pembesaran jantung dan
kongesti pulmonal. Neonatus dan bayi muda akan menampakkan hipertrofi ventrikel kanan
atau biventrikuler. Diagnosis paling sering dibuat dengan mengevaluasi secara hati-hati
semua nadi perifer utama yang mudah dicapai dan dengan pengukuran tekanan darah pada
lengan dan kaki.1,3,4,6
Pada auskultasi jantung, bila koarktasio aorta tidak disertai dengan kelainan lain,
biasanya tidak ditemukan bising di daerah prekordium, namun terdapat bising yang lunak di
daerah subskapula. Apabila terdapat defek septum ventrikel, maka bising defek ini mudah
dikenali, tetapi jika kelainan yang menyertai adalah stenosis aorta maka bising tidak begitu
jelas.3
Pada pemeriksaan radiologi didapatkan gambaran pembesaran jantung yang
menyeluruh dan terdapat udem paru atau kongesti vena pulmonalis. 3-4 Pada anak yang lebih
besar akan didapatkan gambaran rontgen hipertrofi ventrikel kiri. Rib notching tampak pada
anak yang lebih besar akibat adanya kolateral arteria interkostali. Pada esofagus tampak
angka 3 terbalik yang disebabkan oleh penekanan dilatasi pascakoarktasio pada esofagus.3
Pada pemeriksaan EKG didapatkan gambaran hipertofi ventrikel kanan dan RBBB
(right bundle branch block) pada neonatus, sedangkan pada anak yang lebih besar didapatkan
hipertrofi ventrikel kiri. Selain itu koarktasio aorta juga bisa diperiksa dengan menggunakan
ekokardiografi dan katerisasi jantung. Ekokardografi dapat memperlihatkan lokasi dan derajat
koarktasio, adanya hipertrofi ventrikel kiri, serta fungsi dan morfologi katub aorta. 1,3 Pada
ekokardiogram berwarna dan Doppler menunjukkan gambaran khas: aliran turbulensi sistolik
dan diastolik di aorta desendens seperti gigi gergaji (seesaw).8
E. Penatalaksanaan

38

Pada neonatus dengan koarktasio aorta yang berat, penutupan duktus sering
menimbulkan hipoperfusi dan asidosis. Oleh karena itu perlu diberikan infus prostaglandin
E1 untuk mempertahankan duktus arteriosus selama minggu pertama kehidupan. Pemberian
short-acting inotropic seperti dopamin dan dobutamin, antidiuretik, dan oksigen juga perlu
diberikan pada pasien simptomatik.4 Bila diagnosis koarktasio aorta sudah pasti, perbaikan
secara bedah harus dilakukan. Bayi yang datang dengan gagal jantung kongestif harus
ditangani dengan cara-cara antikongestif sampai perbaikan sebelum dilakukan tindakan
bedah.1,2
Intervensi bila beda tekanan darah ekstremitas atas dan bawah 20 mmHg, dengan: 2
- Operasi segera pada bayi yang simptomatik atau bila asimptomatik koreksi saat usia
maksimum sebelum 2 tahun.
- Ballon angioplasty dilakukan hanya bila koarktasio aorta setempat (discrete) dan
tipis.
Anak yang telah melakukan prosedur operasi sebaiknya di follow up setiap 6 sampai
12 bulan sekali untuk melihat apakah terdapat kekambuhan, khususnya ketika operasi
dilakukan pada tahun pertama kehidupan. Antibiotik untuk endokarditis juga sebaiknya
diberikan setelah dilakukannya prosedur operasi.4

39

Gambar.... Ballon angioplasty pada Koarktasio Aorta 8


F. Komplikasi
Angka kematian pada pasien koarktasio aorta sekitar 5% dan kematian pada
pembedahan pasien koarktasio aorta dengan DSV adalah sekitar 10%. Komplikasi yang
sering terjadi pada pasien dengan koarktasio aorta adalah gagal ginjal.4
G. Prognosis
Berulangnya koarktasio aorta lebih jarang didapatkan pada tatalaksana pembedahan
dibandingkan dengan ballon angiplasty.4

40

Daftar Pustaka
1.
Kliegman RM, Stanton BF, Geme JW and Schor NF. Nelson textbook of
pediatrics. Philadelphia: Elsevier, 2015.
2.
Hariyanto D. Profil penyakit jantung bawaan di instalasi rawat inap anak
RSUP DR M Djamil Padang Januari 2008- Februari 2011. Sari Pediatri 2012; 3:
152-7.
3.
Sastroasmoro S. Kardiologi anak. Jakarta IDAI, 1994.

41

Anda mungkin juga menyukai