Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH KIMIA KLINIS

GAGAL GINJAL KRONIS (GGK)

Nama kelompok :
1. Riska Putri Wartri 1343050012
2. Mega Fitria Ningrum 1343050049
3.Yenni R.B Butar Butar 1343050058
4.Nurmita Rohima Dewi 1343050066
5.Nurlita Sari 1343050075
6.Ana Ropiah 1343050077
7.Nurul Husnah 1343050099
8.Putri Yuniannigsih 1343050115

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945


TAHUN AJARAN 2014/2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
nikmat sehat dan waktu yang luang sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang
berjudul Diabetes untuk memenuhi tugas mata kuliah Patofisiologi dengan baik dan tepat
pada waktunya. Makalah ini dibuat sedemikian rupa sebagai tugas yang diberikan oleh Dosen
pembimbing kami.
Selain itu kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Diana selaku dosen pembimbing mata
kulih Patofisiologi. Dan juga saran dari teman teman yang telah membantu dalam proses
pembuatan makalah ini.
Harapan kami sebagai penyusun adalah semoga makalah ini dapat diterima dengan baik
oleh Dosen pembimbing serta dapat bermanfaat bagi semua pembaca.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan laporan yang kami buat ini masih jauh
dari kesempurnaan. Untuk itu kami sebagai penyusun mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini dan demi perbaikkan
dalam pembuatan tugas tugas selanjutnya.

Jakarta, 05 April 2015

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Di Amerika Serikat insiden penyakit GGK
diperkirakan 100 kasus per 4 juta penduduk per tahun dan akan meningkat sekitar 8%
setiap tahunnya. Di Indonesia jumlah penderita gagal ginjal kronik terus meningkat dan
diperkirakan pertumbuhannya sekitar 10% setiap tahun. Saat ini belum ada penelitian
epidemiologi tentang prevalensi penyakit ginjal kronik di Indonesia. Dari data di
beberapa pusat nefrologi di Indonesia diperkirakan prevalensi penyakit ginjal kronik
masing-masing berkisar 100 - 150/ 1 juta penduduk .
Penyakit ginjal dapat menyebabkan naiknya tekanan darah sebaliknya hipertensi
merupakan salah satu faktor pencetus gagal ginjal. Secara klinik kedua keadaan ini sukar
dibedakan terutama pada penyakit ginjal menahun. Apakah hipertensi yang menyebabkan
penyakit ginjal ataukah penyakit ginjal yang menyebabkan naiknya tekanan darah dan
untuk mengetahui keadaan ini diperlukan adanya catatan medik yang teratur dalam
jangka panjang.
Fungsi ginjal akan lebih cepat mengalami kemunduran jika terjadi hipertensi
berat. Selain itu komplikasi eksternal (misalnya, retinopati dan ensefalopati) juga dapat
terjadi . Sesuai anjuran dari The Seven Report of Join National Commitee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7),tekanan darah
target pada GGK adalah 130/80 mmHg untuk menahan progresi penurunan fungsi ginjal,
maka tekanan darah diusahakan diturunkan untuk mencapai target dengan kombinasi
obat-obat antihipertensi.

B. Tujuan
Menganalisa data hasil laboratorium suatu pasien
Memberikan rujukan terapi untuk pasien

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Ginjal adalah sepasang organ yang berbentuk seperti kacang yang terletak saling
bersebelahan dengan vertebra di bagian posterior inferior tubuh manusia yang normal. Setiap
ginjal mempunyai berat hampir 115 gram dan mengandungi unit penapisnya yang dikenali
sebagai nefron. Nefron terdiri dari glomerulus dan tubulus. Glomerulus berfungsi sebagai alat
penyaring manakala tubulus adalah struktur yang mirip dengan tuba yang berikatan dengan
glomerulus. Ginjal berhubungan dengan kandung kemih melalui tuba yang dikenali sebagai
ureter. Urin disimpan di dalam kandung kemih sebelum ia dikeluarkan ketika berkemih.
Uretra menghubungkan kandung kemih dengan persekitaran luar tubuh.
Ginjal adalah organ yang mempunyai fungsi vital dalam tubuh manusia. Fungsi
utama ginjal adalah untuk mengeluarkan bahan buangan yang tidak diperlukan oleh tubuh
dan juga mensekresi air yang berlebihan dalam darah. Ginjal memproses hampir 200 liter
darah setiap hari dan menghasilkan kurang lebih 2 liter urin. Bahan buangan adalah hasil
daripada proses normal metabolisme tubuh seperti penghadaman makanan, degradasi
jaringan tubuh, dan lain-lain. Ginjal juga memainkan peran yang penting dalam mengatur
konsentrasi mineral-mineral dalam darah seperti kalsium, natrium dan kalium. Selain itu ia
berfungsi untuk mengatur konsentrasi garam dalam darah dan keseimbangan asam-basa
darah, serta sekresi bahan buangan dan lebihan garam.
Keadaan dimana fungsi ginjal mengalami penurunan yang progresif secara perlahan
tapi pasti, yang dapat mencapai 60 % dari kondisi normal menuju ketidakmampuan ginjal
ditandai tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit, menyebabkan uremia disebut dengan gagal ginjal kronik. Gagal Ginjal Kronik
(GGK) atau penyakit ginjal tahap akhir (ESRD) adalah gangguan fungsi ginjal yang menahun
bersifat progresif dan irreversible.
Dimana kemampuan tubuh untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan
cairan dan elektrolit gagal, menyebabkan uremia yaitu retensi urea dan sampah nitrogen lain
dalam darah.

The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the National Kidney
Foundation (NKF) menyatakan gagal ginjal kronik terjadi apabila berlaku kerusakan jaringan
ginjal atau menurunnya glomerulus filtration rate (GFR) kurang dari 60 mL/min/1.73 m 2
selama 3 bulan atau lebih. Berikut adalah tahap yang telah ditetapkan menerusi (K/DOQI)
pada tahun 2002.
Stage 1: Kidney damage with normal or increased GFR (>90 mL/min/1.73 m 2)
Stage 2: Mild reduction in GFR (60-89 mL/min/1.73 m 2)
Stage 3: Moderate reduction in GFR (30-59 mL/min/1.73 m 2)
Stage 4: Severe reduction in GFR (15-29 mL/min/1.73 m 2)
Stage 5: Kidney failure (GFR <15 mL/min/1.73 m 2 or dialysis)
B. Etiologi Gagal Ginjal Kronik

Etiologi dari gagal ginjal kronik adalah glomerulonefritik, nefropati analgesik, nefropati
refluks, ginjal polikistik, nefropati, diabetik, serta penyebab lain seperti hipertensi, obstruksi,
gout, dan penyebab yang tidak diketahui. Menurut (Price, 1995), penyebab GGK adalah :
1. Infeksi seperti pielonefritis kronik.
2. Penyakit peradangan seperti glomerulonefritis.
3. Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis dan stenosis arteri renalis.
4. Gangguan kongenital dan herediter seperti penyakit polikistik ginjal, dan asidosis tubulus.
5. Penyakit metabolik seperti diabetes melitus, gout, hiperparatiroidisme, dan amiloidosis.
6. Penyakit ginjal obstruktif seperti pembesaran prostat, batu saluran kemih, dan refluks
ureter.
Walau bagaimanapun, penyebab utama GGK adalah diabetes dan tekanan darah yang
tinggi. Diabetes terjadi apabila kadar gula darah melebihi paras normal, menyebabkan
kerusakan organ-organ vital tubuh seperti jantung dan ginjal, serta pembuluh darah, syaraf
dan mata.
Tekanan darah yang tinggi atau hipertensi, terjadi apabila tekanan darah pada pembuluh
darah meningkat dan jika tidak dikawal, hipertensi bisa menjadi punca utama kepada
serangan jantung, strok dan gagal ginjal kronik. Gagal ginjal kronik juga bisa menyebabkan
hipertensi.

C. Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik

Laju filtrasi glomerulus (LFG) menentukan terjadinya kerusakan pada ginjal. Tanpa
mengambil kira penyebab kerusakan jaringan ginjal, yang progresif dan menahun, ginjal
mempunyai keupayaan untuk terus mempertahankan LFG menerusi hiperfiltrasi dan
mekanisme kompensasi kerja yaitu hipertrofi pada nefron yang masih berfungsi. Ke upayaan
ginjal ini dapat meneruskan fungsi normal ginjal untuk mensekresi bahan buangan seperti
urea dan kreatinin sehingga bahan tersebut meningkat dalam plasma darah hanya setelah
LFG menurun pada tahap 50% dari yang normal. Kadar kretinin plasma akan mengganda
pada penurunan LFG 50%. Walaupun kadar normalnya adalah 0,6 mg/dL menjadi 1,2
mg/dL, ia menunjukkan penurunan fungsi nefron telah menurun sebanyak 50% .
Bagian nefron yang masih berfungsi yang mengalami hiperfiltrasi dan hipertrofi, walaupun
amat berguna, tetapi telah menyebabkan kerusakan ginjal yang progresif. Ini dipercayai
terjadi karena berlaku peningkatan tekanan pada kapilari glomerulus, yang seterusnya bisa
mengakibatkan kerusakan kapilari tersebut dan menjadi faktor predisposisi terhadap
kejadian glomerulosklerosis segmental dan fokal.
Antara faktor-faktor lain yang menyebabkan kerusakan jaringan ginjal yang bersifat
progresif adalah :
1. Hipertensi sistemik
2.Nefrotoksin dan hipoperfusi ginjal
3. Proteinuria
4. Hiperlipidemia

Pada gagal ginjal kronik fungsi normal ginjal menurun, produk akhir metabolisme protein
yang normalnya diekskresi melalui urin tertimbun dalam darah. Ini menyebabkan uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh penderita. Semakin banyak timbunan produk bahan
buangan, semakin berat gejala yang terjadi. Penurunan jumlah glomerulus yang normal
menyebabkan penurunan kadar pembersihan substansi darah yang seharusnya dibersihkan

oleh ginjal. Dengan menurunnya LFG, ia mengakibatkan penurunan pembersihan kreatinin


dan peningkatan kadar kreatinin serum terjadi. Hal ini menimbulkan gangguan metabolisme
protein dalam usus yang menyebabkan anoreksia, nausea dan vomitus yang menimbulkan
perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Peningkatan ureum kreatinin yang sampai ke
otak bisa mempengaruhi fungsi kerja, mengakibatkan gangguan pada saraf, terutama pada
neurosensori. Selain itu blood urea nitrogen (BUN) biasanya juga meningkat. Pada penyakit
ginjal tahap akhir urin tidak dapat dikonsentrasikan atau diencerkan secara normal sehingga
terjadi ketidakseimbangan cairan elektrolit. Natrium dan cairan tertahan meningkatkan risiko
terjadinya gagal jantung kongestif.
Penderita akan menjadi sesak nafas, akibat ketidakseimbangan asupan zat oksigen
dengan kebutuhan tubuh. Dengan tertahannya natrium dan cairan bisa terjadi edema dan
ascites. Hal ini menimbulkan risiko kelebihan volume cairan dalam tubuh, sehingga perlu
diperhatikan keseimbangan cairannya. Semakin menurunnya fungsi ginjal, terjadi asidosis
metabolik akibat ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang berlebihan. Juga terjadi
penurunan produksi hormon eritropoetin yang mengakibatkan anemia. Dengan menurunnya
filtrasi melalui glomerulus ginjal terjadi peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar
serum kalsium. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon dari
kelenjar paratiroid. Laju penurunan fungsi ginjal dan perkembangan gagal ginjal kronis
berkaitan dengan gangguan yang mendasari, ekskresi protein dalam urin, dan adanya
hipertensi.

D. Manifestasi Klinis Gagal Ginjal Kronik


Ginjal mempunyai peran yang sangat penting dalam mengatur keseimbangan

homeostasis tubuh, penurunan fungsi organ tersebut akan mengakibatkan banyak kelainan dan
mempengaruhi pada sistem tubuh yang lain. Antara gejala-gejala klinis yang timbul pada
GGK adalah :
1. Poliuria, terutama pada malam hari (nokturia).
2. Udem pada tungkai dan mata (karena retensi air).
3. Hipertensi.
4. Kelelahan dan lemah karena anemia atau akumulasi substansi buangan dalam tubuh.
5. Anoreksia, nausea dan vomitus.
6. Gatal pada kulit, kulit yang pucat karena anemia.
7. Sesak nafas dan nafas yang dangkal karena akumulasi cairan di paru.
8. Neuropati perifer. Status mental yang berubah karena ensefalopati akibat akumulasi bahan
buangan atau toksikasi uremia.
9. Nyeri dada karena inflamasi di sekitar jantung penderita.
10. Perdarahan karena mekanisme pembekuan darah yang tidak berfungsi.
11. Libido yang berkurangan dan gangguan seksual.

BAB III
DATA & PEMBAHASAN

A. Data
Data Umum Pasien :
Nama

: Tn. SJ

No. MR

: 756070-11

Umur

: 68 tahun

Jenis Kelamin

: laki-laki

Tanggal masuk

: 23 September 2011

Ruangan

: IRNA C Interne Ruangan Wing B bangsal Pria

Pekerjaan

: PNS

Alamat

: Padang Kandis Guguk, 50 Kota

Agama

: Islam

Berat Badan

: 63 kg

Tinggi

: 165 cm

Diagnosa

I.

Riwayat Penyakit Sekarang


Anamnesa

Sesak nafas telah dirasakan sejak 3 hari yang lalu, dan Sesak nafas semakin
meningkat sejak 2 hari yang lalu, sesak meningkat dipengaruhi oleh aktivitas dn

II.

III.
IV.

V.
VI.

VII.

cuaca
Batuk-batuk sejak 1 minggu yang lalu
Pasien lebih suka tidur dengan bantal tinggi
Batuk berdahak
Mual (+) muntah (+)
Pasien sebelumnya dirawat di RS Suliki, dan dirujuk ke RS M. Djamil
BAB ada
BAK menurun
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat DM tipe II sejak 12 tahun yang lalu
Riwayat Hipertensi
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada kelurga pasien yang menderita penyakit ini
Riwayat Pekerjaan Sosial

Alergen
Obat
:
Makanan :
Masalah social yang berhubungan dengan obat
Alkohol
: Minum kopi
:
Merokok
:
Biaya pengobatan
Jamkesmas

VIII.

Hasil Laboratorium

Pemeriksaan
23/9
7,27
32
71
129

24/9

pH
pCO2
pO2
Na +
K+

4,6

4,5

Ca++
HCO3
GDP
GDS
Ureum
Darah
Kreatinin
Darah
Albumin
Globulin
SGOT
SGPT
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Trombosit

134

Tanggal
29/9
1/10
7,30
36
50
136

Nilai Rujukan
2/10
7,34
45
39
138

7,35-7,45.

41-57 mmHg
35-40 mmHg
135-148 mEq/lt.

4,6

4,2

3,5-5,5 mEq/lt.

0,47

0,2

0,63

1,3 2, 1 mEq/L

14,7
190
211

17,7

24,3

94
154

24-28 mmHg
< 140 mg/dl
20 mg

3,9

9,8

mg/dl
0,5 1,5 mg/dl

9,9
8300
63%
241.000

2,1
2,7
12
8
9,8
10.600
32%
268.000

40

3.5 to 5.5 g/dL

2.2 - 4.2 g/dl


10-42 U/L
0-35U/L

14 - 18 g/dl
4500-10000 sel/mm3

37%

40 - 54%
150.000-400.000
sel/mm3

Terapi Pengobatan :

Nama Obat /
Tanggal

23/9 24/9 25/9 26/9 27/9 29/9 30/9 1/10 2/10 3/10 4/10

Valsartan
1x 80 mg

Amlodipine
1 x 5 mg

Asam Folat
1 x 5 mg

Bicnat
3 x 500 mg

Ascardia
1 x 8 mg

Alprazolam
1 x 0,5 mg

Ambroxol
3 x 30 mg

Gluquidon
1x1

PCT 500 mg
3x1

Ceftriaxone
1 x 2 gram

Lasix
1x1 amp

EAS
pfrimmer

Tanda Vital Pasien


Tanda Vital

26/9

27/9

29/9

30/9

01/10

02/10

03/10

/tanggal
KU
Kesadaran
TD
Nadi
Nafas
Suhu

Sedang
CMC
120/100
80
24
-

Sedang
CMC
120/100
80
24
-

Sedang
CMC
140/90
80
25
36OC

Sedang
CMC
140/90
80
24
36OC

Sedang
Somnolen
140/90
80
30
36OC

Sedang
Somnolen
170/90
92
22
36, 8OC

Sedang
Somnolen
170/90
92
22
36, 8OC

B. Pembahasan
Berdasarkan hasil laboratorium, Tn SJ mengalami gangguan pada fungsi ginjal yaitu
gagal ginjal kronik. Selain itu, penyakit ini juga diikuti dengan hipertensi sebagai akibat dari
gagal ginjal tersebut.
Pada pasien gagal ginjal ditandai dengan adanya kadar ureum darah yang tinggi
dan kadar kreatinin darah yang tinggi. Keratin merupakan hasil metabolisme asam amino pada
otot yang di eksresikan dalam bentuk kreatinin melalui ginjal bersama urin. Kreatinin serum ini
akan berhubungan dengan LFG(laju filtrasi glomerulus), jumlah kreatinin yang tinggi
mengakibatkan kerja ginjal dalam memfiltrasi juga bertambah sehingga jumlah kreatinin klirens
akan turun karena kerja filtrasinya semakin berat. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada
pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi
ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin
clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu. ( Barbara C Long, 1996, 368).

Akibatnya fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap
sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat.
Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1448).
Selain dari gagal ginjal, pasien mengalami hipertensi. Hipertensi diketahui setelah pemeriksaan
tekanan darah berkepanjangan. Hipertensi terjadi pada gagal ginjal Hipertensi merupakan
keadaan di mana tekanan darah berada di atas batas normal, yaitu di atas 120/80. Peningkatan
tekanan darah berkepanjangan akan merusak pembuluh darah di sebagian besar tubuh. Di dalam
ginjal terdapat jutaan pembuluh darah kecil yang berfungsi sebagai penyaring guna
mengeluarkan produk sisa darah. Jika pembuluh darah di ginjal rusak, maka kemungkinan aliran
darah berhenti membuang limah dan cairan esktra dari tubuh. Bila ekstra cairan di dalam
pembuluh darah meningkat, maka bisa meningkatkan tekanan darah.
Namun setelah pemberian dari obat anti hipertensi, tekanan darah tidak mengalami
penurunan pada tekanan diastole. Hal ini, dikarenakan pasien tidak menghentikan kebiasaan
merokok sehingga kerja obat tidak efektif.
Pada Tn.Sj mengalami penurunan PH sebelum pemberian Natrium bicarbonate. Hari
pertama pasien masuk, pH darah 7,27 lebih rendah dari nilai normal yaitu 7,34 - 7,45. Penurunan
pH darah disebabkan karena pada penderita GGK ureum meningkat, dan pada saat proses filtrasi
oleh glomerulus ureum akan kembali ke aliran darah. Selain itu asidosis yang menyebabkan
hipoventilasi dengan Asidosis respiratorik adalah kondisi dimana pH rendah dengan kadar

PCO2 tinggi dan kadar HCO3- juga tinggi sebagai kompensasi tubuh terhadap kondisi asidosis
tersebut. Ventilasi alveolar yang inadekuat dapat terjadi pada keadaan seperti kegagalan otot
pernafasan, gangguan pusat pernafasan, atau intoksikasi obat. Kondisi lain yang juga dapat
meningkatkan PCO2 adalah keadaan hiperkatabolisme. Ginjal melakukan kompensasi dengan
meningkatkan ekskresi H+ dan retensi bikarbonat. Setelah terjadi kompensasi, PCO2 akan
kembali ke tingkat yang normal.
Gangguan pernafasan pada pasien ditandai keluhan pasiean ini adanya sesak nafas dan
batuk disertai dengan dahak dan pasien tidur dengan bantal tinggi. Berdasarkan hasil
laboratorium yaitu

a.

pCO2
pada hari pertama kadar CO2 menurun, hal ini menandakan hiporventilasi yang
ditandai dengan sesak nafas dan nafas yang dangkal karena akumulasi cairan di paru
sehingga CO2 dikeluarkan sedikit.

b.

pO2
kadar O2 lebih tinggi dari normal, yaitu mengakibatkan oksigen yang terdapat dalam
darah tinggi dengan CO2 yang sedikit.

c.

HCO3
HCO3-, menggambarkan apakah telah terjadi gangguan metabolisme, seperti
ketoasidosis. Nilai yang rendah menggambarkan asidosis metabolik dan begitu pula
sebaliknya. HCO3- juga dapat menjadi abnormal ketika ginjal mengkompensasi
gangguan pernafasan agar pH kembali dalam rentang yang normal.

Selain itu terjadi asidosis metabolik.Ditandai dengan menurunnya kadar HCO3-, sehingga
pH menjadi turun. Biasanya disebabkan oleh kelainan metabolik seperti meningkatnya kadar
asam organik dalam darah atau ekskresi HCO3- berlebihan. Pada kondisi ini, paru-paru akan
memberi respon yang cepat dengan melakukan hiperventilasi sehingga kadar PCO2 turun.
Asidosis dengan peningkatan anion gap, disebabkan oleh adanya asam-asam organik lain seperti
laktat, keton, salisilat, atau etanol. Asidosis laktat biasanya akibat berkurangnya suplai oksigen
atau berkurangnya perfusi, sehingga terjadilah metabolisme anaerob dengan hasil sampingan
berupa laktat. Pada keadaan gagal ginjal, ginjal tidak mampu mengeluarkan asam-asam organik
sehingga terjadi asidosis dengan peningkatan anion gap.
Pasien gagal ginjal mengalami kekurangan dari elektrolit diantaranya Na+ dan Ca+2.
Natrium rendah dapat mengakibatkan dehidrasi apabila tidak segera diatasi. Hiponatremi dapat
terjadi pada hipovolemia, euvolemia dan hipervolemia. Pada kasus ini, hiponatremi disebabkan
karena hipervolemia (sesak nafas karena efusi pleura). Hipervolemia biasa terjadi pada CKD

karena penurunan produksi urin akibat penurunan. Penurunan jumlah urin dapat mempengaruhi
kerja hormone aldosteron. Hormone ini akan aktif dalam menjalankan system rennin
angiostensin, system RAA aktif pengeluaran cairan dihentikan akan mengalami vasokontriksi
yang menyebabkan hipertensi. Nilai Kalsium lebih rendah dari normal, hal ini dikarenakan
Hiperfosfatemia akan menghambat aktivasi vitamin D menjadi kalsitriol untuk meningkatkan
reabsorbsi Ca2+ di usus. Akibatnya di dalam plasma darah akan kekurangan Ca2+ sehingga
terjadi aktivasi hormon paratiroid (PTH) yang akan mengambil Ca2+ dari tulang ke darah untuk
memenuhi kadarnya di plasma darah. Ca2+ di tulang menurun sehingga tulang lebih mudah
rapuh dan pematangan sel darah akan terganggu.
Kelainan ginjal atau gagal ginjal dapat menyebabkan hipoalbumin. Hipoalbumin ini
dikarenakan adanya kerusakan pada glomerulus dalam proses filtrasi. Pada saat filtrasi di
glomerulus albumin sebagai protein dapat melewati pori-pori dari glomerulus akibat adanya
tekanan darah pada ginjal karena konsentrasi darah yang pekat akibat kurangnya cairan sehingga
tekanan osmotic pada ginjal lebih besar dan merusak glomerulus.

Pasien gagal ginjal akan mengalami kekurangan darah yaitu ditandai adanya hasil
hematocrit yang rendah. Hematocrit merupakan hasil perbandingan jumlah sel darah merah
terhadap volume darah. Hematocrit rendah karena ginjal yang rusak maka produksi ertitropoetin
oleh ginjal juga terhambat. Eritropoetin yaitu hormone yang membentuk sel darah merah.
Sedangkan nilai hemoglobin turun karena terbentuknya sel darah merah yang berkurang dengan
Hb turun kompartemen ke sel minim dengan oksigen. Pasien gagal ginjal diberikan asam folat
sebagi pengganti eritropoetin yang hilang.

BAB III
TERAPI
A. Terapi obat-obatan pada gagal ginjal komplikasi hipertensi
1. Asam folat sebagai pengganti eritropoetin yang hilang.
2. Hipertensi
Terapi hipertensi digunakan obat anti hipertensi golongan ACE-i. Kombinasi dari
ACE-i dan CCBs telah menunjukkan efek penurunan tekanan darah yang lebih besar
bila dibandingkan dengan penggunaan monoterapi. Kombinasi ACE-i/CCBs telah
menunjukkan penurunan tekanan darah yang efektif pada pasien hipertensi dan gagal
ginjal, tanpa mempengaruhi fungsi renal yang tersisa, serta pada pasien dengan
diabetes melitus tipe 2.
Penggunaan kombinasi ACE-i dan CCBs juga menunjukkan hasil insiden edema
yang lebih rendah dibandingkan penggunaan CCBs sebagai monoterapi. ACE-i secara
umum mudah diterima pasien, meskipun terkadang terdapat efek samping batuk kering
kronis yang dapat menjadi permasalahan pada 20% dari pasien.
Contoh :
Captopril dan Nifedipin
Kombinasi lain yaitu golongan ARB dengan CCBs yaitu valsatran dengan
amlodipin.
Valsatran

Indikasi:
Untuk mengobati tekanan darah tinggi (hipertensi).
Dosis:
Dosis awal: 40 mg melalui mulut (per oral), 2 kali sehari
Menetapkan kadar hingga 80-160 mg melalui mulut (per oral), 2 kali sehari
menggunakan dosis paling tinggi yang diterima oleh pasien.
Dosis maksimum: 320 mg/hari

Efek Samping:
Biasanya menetap dan ringan: Efek CNS (kepeningan); Efek Cv (hipotensi orthostatik
yang berhubungan dengan dosis, yang mungkin terjadi secara khusus pada pasien yang
kekurangan volume); kerusakan ginjal.
Efek lainnya yang agak jarang: ruam, angioedema, mengangkat LFTs (liver function
tests); myalgia.
Amlodipin
Indikasi :.
Amlodipine digunakan untuk pengobatan hipertensi, angina stabil kronik, angina
vasospastik (angina prinzmetal atau variant angina). Amlodipine dapat diberikan
sebagai terapi tunggal ataupun dikombinasikan dengan obat antihipertensi dan
antiangina lain.
Efek Samping :.
Secara umum amlodipine dapat ditoleransi dengan baik, dengan derajat efek samping
yang timbul bervariasi dari ringan sampai sedang. Efek samping yang sering timbul
dalam uji klinik antara lain : edema, sakit kepala.

Secara umum

: fatigue, nyeri, peningkatan atau penurunan berat badan.

Pada keadaan hamil dan menyusui : belum ada penelitian pemakaian amlodipine pada
wanita hamil, sehingga penggunaannya selama kehamilan hanya bila keuntungannya
lebih besar dibandingkan risikonya pada ibu dan janin. Belum diketahui apakah
amlodipine diekskresikan ke dalam air susu ibu. Karena keamanan amlodipine pada
bayi baru lahir belum jelas benar, maka sebaiknya amlodipine tidak diberikan pada ibu
menyusui.
Efektivitas dan keamanan amlodipine pada pasien anak belum jelas benar.
Interaksi Obat :.
Amlodipine dapat diberikan bersama dengan penggunaan diuretik golongan tiazida, bloker, -bloker, ACE inhibitor, nitrat, nitrogliserin sublingual, antiinflamasi nonsteroid, antibiotika, serta obat hipoglikemik oral.
Pemberian bersama digoxin tidak mengubah kadar digoxin serum ataupun bersihan
ginjal digoxin pada pasien normal.
Amlodipine tidak mempunyai efek terhadap ikatan protein dari obat-obat : digoxin,
phenytoin, warfarin dan indomethacin.
Pemberian bersama simetidin atau antasida tidak mengubah farmakokinetik amlodipine.

Tabel 1. Keuntungan dari mekanisme multipel terapi CCB/ARB, seperti amlodipine/valsartan

(Sverre E. Kjeldsen, Drug Evaluation Therapy, 2007).


Efek
Meningkatkan efek penurunan
tekanan darah

Dampak Klinis
Potensiasi efek antihipertensi
Efek aditif
Menyeimbangkan mekanisme regulasi balik

Peningkatan toleransi

Pengurangan efek samping


Tidak memerlukan penambahan dosis, sehingga
mengurangi efek samping
Pengurangan efek samping (ex : amlodipine-edema
perifer)

Efek protektif

Keuntungan karena penurunan tekanan darah:


- mengurangi resiko diabetes melitus
- efek anti angina

Peningkatan toleransi

Menyederhanakan regimen terapi


Menawarkan kenyamanan pada pasien
Dosis satu kali/hari
Mengurangi kerumitan regimen terapi

Efek terhadap ekonomi

Biaya lebih murah dibandingkan penggunaan 2


monoterapi mengurangi pengeluaran melalui :

- penurunan tekanan darah yang cepat dan


menghindari efek samping kardiovaskuler
- mengurangi biaya kesehatan secara langsung
dan tidak langsung
- meningkatkan toleransi terhadap penderita
ARB : Angiotensin II receptor blocker; CCB : calcium channel blocker.
3. Diuretik Lasix (Furosemid)
Diuretik menurunkan tekanan darah dengan menyebabkan diuresis. Pengurangan
volume plasma dan Stroke Volume (SV) berhubungan dengan dieresis dalam
penurunan curah jantung (Cardiac Output, CO) dan tekanan darah pada akhirnya.

Penurunan curah jantung yang utama menyebabkan resitensi perifer. Pada terapi
diuretik pada hipertensi kronik volume cairan ekstraseluler dan volume plasma
hampir kembali kondisi pretreatment.
Pemilihan furosemid dikarenakan pasien mengalami penimbunan cairan dalam paruparu sehingga pasien sulit bernafas.
4. Bicnat (Natrium Bicarbonat)
Penggunaan Bicnat diakrenakan pada hari pertama pasien masuk ke rumah sakit
pasien mengalami asidosi, penggunaan Bicnat sebagai buffer pH.
5. Pengeluaran secret dari saluran pernafasan
Ambroxol
Indikasi
Penyakit saluran napas akut dan kronis yang disertai sekresi bronkial yang abnormal,
khususnya pada eksaserbasi dan bronkitis kronis, bronkitis asmatik, asma bronkial.
Efek Samping

Ambroxol umumnya ditoleransi dengan baik.


Efek samping yang ringan pada saluran pencernaan dilaporkan pada

beberapa pasien.
Reaksi Alergi

Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap ambroxol.
Interaksi Obat
Kombinasi ambroxol dengan obat-obatan lain dimungkinkan, terutama yang
berhubungan dengan sediaan yang digunakan sebagai obat standar untuk sindroma
bronkitis (glikosida jantung, kortikosteroid, bronkospasmolitik, diuretik dan
antibiotik).

6. Pemberian antibiotic karena penumpukan secret atau dahak pada saluran pernafasan
dapat menjadi tempat perkembangan bakteri dan virus.
Ceftriaxone
Indikasi :.
Infeksi-infeksi yang disebabkan oleh patogen yang sensitif terhadap Ceftriaxone,
seperti: infeksi saluran nafas, infeksi THT, infeksi saluran kemih, sepsis, meningitis,
infeksi tulang, sendi dan jaringan lunak, infeksi intra abdominal, infeksi genital
(termasuk gonore), profilaksis perioperatif, dan infeksi pada pasien dengan
gangguan pertahanan tubuh.

Interaksi Obat :.
Kombinasi dengan aminoglikosid dapat menghasilkan efek aditif atau sinergis,
khususnya pada infeksi berat yang disebabkan oleh P.aeruginosa & Streptococcus
faecalis.

Dosis :.
Dewasa dan anak > 12 tahun dan anak BB > 50 kg : 1 - 2 gram satu kali sehari. Pada
infeksi berat yang disebabkan organisme yang moderat sensitif, dosis dapat
dinaikkan sampai 4 gram satu kali sehari.
Bayi 14 hari : 20 - 50 mg/kg BB tidak boleh lebih dari 50 mg/kg BB, satu kali sehari.
Bayi 15 hari -12 tahun : 20 - 80 mg/kg BB, satu kali sehari. Dosis intravena > 50
mg/kg BB harus diberikan melalui infus paling sedikit 30 menit.
Lamanya pengobatan

Lamanya pengobatan berbeda-beda tergantung dari penyebab penyakit seperti


pengobatan dengan antibiotik pada umumnya, pemberian obat harus diteruskan
paling sedikit sampai 48 - 72 jam, setelah penderita bebas panas atau pembasmian
kuman tercapai dengan nyata.
Instruksi dosis khusus
Meningitis : Bayi dan anak-anak : pengobatan dimulai dengan dosis 100 mg/kg BB,
(jangan melebihi 4 gram) sekali sehari. Segera setelah organisme penyebab telah
diketahui dan sensitivitas ditentukan, dosis dapat diturunkan. Lama pengobatan :
Neisseria meningitidis 4 hari.
Haemophilus influenzae 6 hari
Streptococcus pneumoniae 7 hari
N. gonorrhoeae (strain penghasil penisilinase dan bukan penghasil penisilinase)
dosis tunggal 250 mg intramuskular.
Pencegahan perioperatif : Tergantung dari resiko infeksi : 1 - 2 gram dosis tunggal
diberikan 30 - 90 menit sebelum operasi.
Gangguan fungsi ginjal dan fungsi hati : Pada kasus payah ginjal preterminal
(bersihan kreatinin < 10 mL/menit), dosis tidak boleh melampaui 2 gram sehari.
Tidak perlu pengurangan dosis selama fungsi salah satu ginjal atau hati masih baik.

7. Terapi analgesic , sebagai pengurang rasa sakit karena pengeluaran dari cairan secret.
Ibuprofen
Indikasi
Terapi simptomatik rematoid artritis dan osteoartritis, mengurangi rasa nyeri setelah
operasi pada gigi dan dismenore.
Dosis
Dewasa : 200 400 mg , 3 4 kali sehari.

Efek Samping
Efek samping adalah ringan dan bersifat sementara berupa mual, muntah, diare,
konstipasi, nyeri lambung, ruam kulit, pruritus, sakit kepala, pusing dan heart burn.
Kontraindikasi
Penderita yang hipersensitif terhadap asetosal (aspirin) atau obat antiinflamasi non steroid
lainnya, wanita hamil dan menyusui, serta anak dibawah usia 14 tahun.
Penderita dengan syndroma nasal polyps, angioderma dan reaksi bronchospasma terhadap
asetosal (aspirin) atau antiinflamasi non steroid yang lain. Dapat menyebabkan reaksi
anafilaktik.
Interaksi Obat
Asetosal (aspirin).
Dosis ibuprofen lebih dari 2,4 g per hari, dapat menggantikan warfarin dari
ikatannya dengan protein plasma.

8. Pemberian infuse NaCl


9. Pengurangi rokok dan kopi
10. Olah raga dan makan-makanan rendah garam.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan analisa hasil laboratorium pasien Tn Sj. Menderita gagal ginjal
kronik
Pengobatan dari pasien diberikan yaitu :
1. Asam folat
2. Obat antihipertensi golongan ARB/ACE-I dikombinasi dengan golongan
CCB.
3. Obat diuretic furosemid
4. Bicnat
5. Obat batuk yaitu ambroxol
6. Obat analgesic Ibuprofen
7. Antibiotic Ceftriakson
8. Pemberian infuse NaCl
9. Pengurangi rokok dan kopi
10. Pola hidup sehat

DAFTAR PUSTAKA

1).Sverre E. Kjeldsen, Drug Evaluation Therapy, 2007


2).Buku ajar ilmu penyakit dalam,2006. Fakultas Ilmu Kedokteran Universitas Indonesia,Jakarta.
Nahas AM. Chronic Kidney Disease: The Global Challenge. Lancet 2005, 365:331-340.
Dirks JH, et al: Prevention of Chronic Kidney and Vascular Disease: Toward Global Health
Equity- The Bellagio 2004 Declaration. Kidney Int Suppl 2005.

National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease Outcome Quality Initiative (K/DOQI)
Advisory Board: K/DOQI Clinical Practise Guidlines for Chronic Kidney Disease: Evaluation,
Classification, and Stratification. Kidney Disease Outcome Quality Initiative. AM J Ki
3).https://gramediana.s3.amazonaws.com/uploads/preview_books/349/preview_850dcffe59fa420
956636475f38d45706067d148_preview_349_aedcbb9815bbfcb5e0594516861773da37108457.p
df
4).http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf

Anda mungkin juga menyukai