Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik yang dapat menimbulkan
berbagai komplikasi yang sangat memengaruhi kualitas hidup penyandangnya.
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya1.
Adapun komplikasi yang dapat disebabkan karena diabetes melitus ini dapat
berupa makrovaskular, mikrovaskular, maupun komplikasi neurologis2. Kelompok
penyakit yang merupakan komplikasi dari DM tipe makrovaskular contohnya seperti
penyakit jantung koroner dan stroke yang merupakan penyakit pembuluh darah besar
yang terjadi akibat dari pembentukan atherosklerosis pada kedua organ vital tersebut.
Sedangkan kelompok komplikasi penyakit yang termasuk tipe mikrovaskular yaitu
retinopati diabetik dan nefropati diabetik. Dan komplikasi terakhir yaitu berupa
komplikasi neurologis yang disebut dengan neuropati diabetik2.
Pada referat ini akan dijelaskan mengenai neuropati diabetik yang merupakan
komplikasi dari diabetes melitus tipe komplikasi neurologis, dimana neuropati ini
merupakan komplikasi yang bersifat kronis dan mengenai 50% dari sejumlah
penderita diabetes melitus setelah 25 tahun menderita diabetes melitus 3. Neuropati
jenis ini merupakan neuropati metabolik yang paling banyak terjadi. Jenis neuropati
sendiri berdasarkan penyebabnya yaitu karena intoksikasi (plumbum, arsen, talium,
isoniasid,dll) karena defisiensi dari diet (asupan alkohol, kaheksia, karsinoma, dan
kondisi lain), akibat infeksi (difteri, demam bintik atau spotted fever, tifoid dll) dan
gangguan metabolik (diabetes melitus, porfiria, pelagra, uremia, dll) dan penyebab
yang tidak dapat ditemukan yaitu disebut dengan neuropati idopatik4
Neuropati diabetik dapat berkembang menjadi ulkus diabetik pada 2,5%
penderita diabetes melitus5,yang tidak menutup kemungkinan dapat berkembang
menjadi hal yang lebih buruk lagi seperti terjadinya gangren dan meningkatkan angka
dari amputasi pada kaki penderita dengan diabetes, maka dari itu hal ini tentu saja
bukan merupakan suatu keadaan yang dapat dianggap sederhana terlebih lagi bagi
1

penderita yang kurang mengetahui informasi mengenai komplikasi kronik diabetes


melitus yang satu ini.
Seiring dengan perkiraan peningkatan angka kejadian diabetes melitus di
dunia (dari 8,4 juta tahun 2000 menjadi 20,2 juta tahun 2030) pada umumnya dan di
Indonesia khususnya (dari urutan ke-7 tahun 1995 di dunia menjadi urutan ke-5 tahun
2025 sebagai negara dengan angka kejadian DM tertinggi)1, kita sebagai tenaga
kesehatan yang bertugas dalam usaha tindakan kuratif tetapi juga sebagai usaha
tindakan promotif dan preventif sebaiknya mengetahui betul tentang apa saja yang
berhubungan dengan terjadinya neuropati diabetik.
1.2

Tujuan
Tujuan dari dibuatnya referat ini adalah untuk mengetahui definisi, epidemiologi,
penyebab, klasifikasi, patofisiologi, gejala klinis dan penanganan pada pasien
polineuropati diabetik. Sekaligus untuk mengetahui perbedaan polineuropati jenis lain
selain polineuropati akibat gangguan metabolik karena diabetes melitus.

BAB II
2

ISI
2.1

Definisi Polineuropati Diabetik


Neuropati adalah gangguan fungsional atau perubahan patologis pada sistem
saraf tepi, kadang terbatas hanya pada lesi non-inflamatorik, berlawanan dengan
neuritis yang patologinya mungkin diketahui mungkin juga tidak. Etiologi yang
diketahui meliputi komplikasi penyakit lain (seperti neuropati diabetic, neuropati
Amyloid,neuropati

posphyric) atau komplikasi kondisi toxic (neuropati arcen,

neuropati isoniazid, neuropati lead, neuropati nitroforantoin). Neuropati yang


mengenai saraf tertentu dapat diberi nama sesuai dengan nama saraf tersebut
(neuropati femoralis). Istilah mononeuropati atau polineuropati dapat digunakan
untuk menunjukkan apakah hanya satu atau beberapa saraf yang terkena.7
Polineuropati diabetik adalah adanya gejala dan atau tanda-tanda disfungsi
saraf perifer pada pasien dengan diabetes melitus dan bukan disebabkan oleh
penyebab lain6.
2.2

Anatomi Susunan Saraf Perifer


Sistem saraf perifer meliputi seluruh jaringan saraf lain dalam tubuh selain
otak dan medula spinalis. Sistem ini terdiri dari saraf cranial dan saraf spinal yang
menghubungkan otak dan medulla spinalis dengan reseptor dan efektor 4,8.
Secara fungsional sistem saraf perifer terbagi menjadi sistem :
a. Saraf aferen (sensorik) mentransmisi informasi dari reseptor sensorik ke SSP
Neuron sensorik berasal pada ganglia radix dorsal (yang berada di luar sumsum
tulang belakang) dan mengikuti jalur yang sama dengan motor neuron. Neuron
sensorik dibagi ke dalam kategori sesuai dengan modalitas sensorik yang mereka
sampaikan (lihat Tabel.1).
b. Saraf eferen (motorik) mentransmisi informasi dari SSP ke otot dan kelenjar.
Motor neuron berasal dari sistem saraf pusat (SSP) dan meluas ke kornu anterior
dari sumsum tulang belakang. Dari kornu anterior, lalu keluar dari sumsum tulang
belakang (melalui radix ventral) dan menggabungkan dengan serat lainnya dalam
pleksus brakialis atau lumbar dan menginnervasi organ target mereka melalui
saraf perifer.
Sistem eferen dari sistem saraf perifer memiliki dua sub divisi :

a. Divisi somatic (volunter) berkaitan dengan perubahan lingkungan


eksternal dan pembentukan respons motorik volunter pada otot rangka.
b. Divisi otonom (involunter) mengendalikan seluruh respon involunter pada
otot polos, otot jantung dan kelenjar dengan cara mentransmisi impuls
saraf melalui dua jalur :
- Saraf simpatis berasal dari area toraks dan lumbal pada
-

medulla spinalis
Saraf parasimpatis berasal dari area otak dan sacral pada
medulla spinalis.

Sebagian besar organ internal di bawah kendali otonom memiliki inervasi


simpatis dan parasimpatis.
Tabel 1. Saraf Cranial

a.
b.
c.
d.
e.
f.

N.I (olfaktorius)
N.II (optikus)
N. III (okulomotis)
N.IV (throklearis)
N.V (trigeminu)
N.VI (abdusen)

Saraf Cranial
g. N.VII (facial)
h. N.VIII(vestibulokoklearis)
i. N.IX (glosifaringeus)
j. N.X (vagus)
k. N.XI (assesorius)
l. N.XII (hypoglosus)

Saraf Spinal
31 pasang saraf spinal berawal dari korda melalui radiks dorsal (posterior) dan
ventral (anterior). Pada bagian distal radiks dorsal ganglion, dua radiks bergabung
membentuk satu saraf spinal. Semua saraf tersebut adalah saraf gabungan (motorik
dan sensorik), membawa informasi ke korda melalui neuron aferen dan meninggalkan
korda melalui neuron eferen.
Saraf spinal diberi nama dan angka sesuai dengan regio kolumna vertebra tempat
munculnya saraf tersebut.
Tabel 2. Saraf Spinal
Saraf Spinal
a. Saraf serviks ; 8 pasang, C1 C8.
b. Saraf toraks ; 12 pasang, T1 T12.
c. Saraf lumbal ; 5 pasang, L1 L5.
d. Saraf sacral ; 5 pasang, S1 S5.
e. Saraf koksigis, 1 pasang.
Setelah saraf spinal meninggalkan korda melalui foramen intervertebral, saraf
kemudian bercabang menjadi empat divisi yaitu : cabang meningeal, ramus dorsal,
cabang ventral dan cabang viseral.
Pleksus adalah jaring-jaring serabut saraf yang terbentuk dari ramus ventral seluruh
saraf spinal, kecuali TI dan TII yang merupakan awal saraf interkostal.
Sistem Saraf Otonom
SSO merupakan sistem motorik eferen visceral. Sistem ini menginervasi
jantung, seluruh otot polos, seperti pada pembuluh darah dan visera serta kelenjarkelenjar. SSO tidak memiliki input volunter, walaupun demikian, sistem ini
dikendalikan oleh pusat dalam hipotalamus, medulla dan korteks serebral serta pusat
tambahan pada formasi reticular batang otak.
Serabut aferen sensorik (visera) menyampaikan sensasi nyeri atau rasa
kenyang dan pesan-pesan yang berkaitan dengan frekwensi jantung, tekanan darah
dan pernapasan, yang di bawa ke SSP di sepanjang jalur yang sama dengan jalur
serabut saraf motorik viseral pada SSO.
Divisi SSO memiliki 2 divisi yaitu divisi simpatis dan divisi parasimpatis.
Sebagian besar organ yang diinervasi oleh SSO menerima inervasi ganda dari saraf

yang berasal dari kedua divisi. Divisi simpatis dan parasimpatis pada SSO secara
anatomis berbeda dan perannya antagonis.

a. DIVISI SIMPATIS / TORAKOLUMBAL


Memiliki satu neuron preganglionik pendek dan stu neuron postganglionic
panjang. Badan sel neuron preganglionik terletak pada tanduk lateral substansi abuabu dalam segemen toraks dan lumbal bagian atas medulla spinalis.
b. DIVISI PARA SIMPATIS / KRANIOSAKRAL
Memiliki neuron preganglionik panjang yang menjulur mendekati organ yang
terinervasi dan memiliki serabut postganglionic pendek. Badan sel neuron terletak
dalam nuclei batang otak dan keluar melalui CN III, VII, IX, X, dan saraf XI, juga
dalam substansi abu-abu lateral pada segmen sacral kedua, ketiga dan keempat
medulla spinalis dan keluar melalui radiks ventral.
Gambar 1. Susunan Saraf

Gambar 2. Saraf Kranial

Gambar 3. Susunan Saraf Otonom

Serat yang lebih kecil dipengaruhi pertama pada pasien dengan DM. Dengan terpapar
terus hiperglikemia, serat lebih besar menjadi terpengaruh. Serat dari ukuran yang
berbeda memediasi berbagai jenis sensasi, seperti yang ditunjukkan pada tabel di
bawah ini.
Tabel 3. Karakteristik Serat Saraf
Fiber Type
A-alpha (I)

Size
13-20

Modality
Limb proprioception

Myelination
Yess

A-beta (II)

micrometers
6-12 micrometers

Limb proprioception,

Yess

1-5 micrometers
0.2-1.5

vibration, pressure
Mechanical sharp pain
Thermal pain,

Yess
No

micrometers

mechanical burning pain

A-delta (III)
C (IV)

2.3

Patofisiologi Polineuropati Diabetik


Faktor-faktor

yang

mempengaruhi

perkembangan

neuropati

diabetik

sebenarnya masih belum dipahami sepenuhnya, namun ada beberapa hipotesis yang
telah diakui secara umumnya sebagai proses terjadinya neuropati diabetik.
9,10,11,12,13,14,15,16,17,18

Perkembangan tanda dan gejala neuropati diabetik tergantung dari banyak hal,
seperti seperti lamanya paparan dari hiperglikemi dan faktor risiko lain seperti
peningkatan kadar lipid, tekanan darah, merokok, peningkatan berat badan dan

tingginya paparan agen neurotoxic lain seperti etanol.8 Faktor genetik tentunya juga
memegang peranan.19
Kontribusi

mekanisme

biokimiawi

yang

penting

dalam

perkembangan

polineuropati diabetik dalam gejala yang simetris ini dapat dijelaskan pada jalur
polyol, peningkatan glikasi produk ahkir dan stress oksidatif.8
a. Polyol Pathway (Jalur Polyol)
Hiperglikemi menyebabkan peningkatan kadar glukosa dalam sel saraf, hal ini
dapat mengakibatkan kejenuhan jalur glikolisis normal dalam sel. Akibatnya
ekstra glukosa didorong ke jalur poliol dan akan dirubah menjadi sorbitol dan
fruktosa oleh enzim aldose reduktase dan sorbitol dehidrogenase.20 Akumulasi dari
sorbitol dan fruktosa ini menyebabkan myoinosito sel saraf berkurang, penurunan
aktivitas membran Na+/K+,ATP ase, gangguan transportasi aksonal, dan
kerusakan struktural dari saraf, menyebabkan propogasi potensial aksi yang
abnormal. Maka dari itu ini merupakan alasan pemberian obat-obatan inhibitor
aldose reduktase untuk meningkatkan konduksi saraf.21
b. Peningkatan Glikasi Produk Akhir
Reaksi nonenzimatik glukosa berlebih dengan protein, nukleotida, dan hasil lipid
dalam produk akhir glikasi lanjut, mungkin memiliki peran dalam mengganggu
integritas neuronal dan mekanisme perbaikan melalui gangguan metabolisme sel
saraf dan transportasi aksonal.22
c. Stress Oksidatif
Peningkatan produksi radikal bebas pada diabetes melitus memang dapat
merugikan melalui beberapa mekanisme yang belum sepenuhnya dipahami.
Seperti termasuk kerusakan langsung pada pembuluh darah yang mengakibatkan
ke iskemia saraf dan fasilitasi dari reaksi AGE. Meskipun pemahaman lengkap
dari proses-proses ini belum jelas,namun penggunaan antioksidan asam alphalipoic dapat menurnkan gejala neuropatik. 23,24,25
Dalam kasus sindrom diabetes fokal atau asimetris neuropati, cedera pembuluh
darah atau autoimunitas mungkin memainkan peran lebih penting. 26

2.4

Faktor Risiko Polineuropati Diabeetik

Faktor risiko yang berhubungan dengan tingkat keparahan polineuropati


diabetik yaitu sebagai berikut27 :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

Kontrol glikemia yang buruk


Peningkatan usia
Hipertensi
DM dalam jangka waktu yang lama
Dislipidemia
Merokok
Asupan alkohol yang berat
Fenotipe HLA-DR3/4
Tinggi badan

Perkembangan tanda dan gejala neuropati diabetik tergantung dari banyak hal,
seperti seperti lamanya paparan dari hiperglikemi dan faktor risiko lain seperti
peningkatan kadar lipid, tekanan darah, merokok, peningkatan berat badan dan
tingginya paparan agen neurotoxic lain seperti etanol.8 Faktor genetik tentunya juga
memegang peranan.19

2.5

Epidemiologi Polineuropati Diabetik


Penelitian besar di Amerika menyatakan bahwa sekitar 47% pasien dengan
DM menderitata neuropati perifer. Neuropati diperkirakan akan hadir dalam 7,5% dari
pasien pada saat diagnosis diabetes. Lebih dari separuh kasus dengan polineuropati
simetris distal. Focal sindrom seperti carpal tunnel syndrome sekitar 30-50%, dan
sisanya berupa radiculopathies / plexopathies dan neuropati kranial.
Dalam kohort 4400 pasien Belgia, Pirart et al menemukan bahwa 7,5% dari
pasien yang sudah memiliki neuropati ketika didiagnosis dengan diabetes.3 Setelah 25
tahun., Jumlah dengan neuropati naik menjadi 45%. Di Inggris, prevalensi neuropati
diabetes di antara populasi klinik rumah sakit tercatat menjadi sekitar 29%. 28
Tidak ada perbedaan predileksi ras tertentu pada neuropati diabetik. Namun,
anggota kelompok minoritas (misalnya, Hispanik, Afrika Amerika) memiliki
komplikasi sekunder yang lebih tinggi dari neuropati diabetik ini, seperti amputasi
ekstremitas bawah, dibandingkan kulit putih. Mereka juga memiliki angka rawat inap
lebih tinggi untuk komplikasi neuropati. 26

Jenis kelamin pada polineuropati diabetik frekuensinya sama antara wanita


dan pria, namun komplikasi ini akan timbul lebih awal pada pria dibandingkan wanita
dengan DM dan nyeri neuropati diabetik morbiditasnya legih tinggi pada wanita
dibandingkan dengan pria dengan DM. 29
Neuropati diabetik dapat terjadi pada semua usia tetapi umumnya akan
meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan tingkat keparahan serta lamanya
menderita diabetes.
Tabel 4. Presentasi Jenis Neuropati Diabetik

2.6

Jenis Neuropati Diabetika


Focal syndrome (CTS)

Presentasi
30-50%

Radiculopathies/plexopathies

14-30%

Neuropati Cranial

9-15%

Manifestasi Klinis
Pada diabetes mellitus tipe 1, polineuropati distal biasanya menjadi gejala
setelah bertahun-tahun mengalami hiperglikemia yang berkepanjangan. Sebaliknya,
pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 dapat hadir dengan polineuropati distal setelah
hanya beberapa tahun setelah kontrol glikemik yang buruk, kadang-kadang pasien ini
sudah memiliki neuropati pada saat diagnosis. Sejak neuropati diabetes dapat
bermanifestasi sebagai berbagai gejala sensorik, motorik, dan otonom, daftar
terstruktur mengenai gejala neuropati diabetik dapat digunakan untuk membantu
semua pasien diabetes yang mungkin menderita neuropati.

a. Gejala Sensoris
Neuropati sensorik biasanya onsetnya perlahan dan menunjukkan distribusi
stoking-dan-sarung tangan di ekstremitas distal. Gejala sensorik dapat berupa
gejala sensorik negatif atau positif, fokal atau difus.
Gejala sensorik negatif termasuk perasaan mati rasa atau deadness, dimana pasien
dapat merasakn seperti mengenakan sarung tangan atau kaus kaki. Kehilangan
keseimbangan, terutama dengan mata tertutup, dan tidak dapat merasakan lukaluka yang menyakitkan akibat hilangnya sensasi yang umum.

Gejala sensorik positif dapat digambarkan sebagai rasa terbakar, nyeri seperti
ditusuk-tusuk, kesemutan, perasaan seperti sengatan listrik, sakit, atau
hipersensitif terhadap sentuhan allodynia.
b. Gejala Motoris
Masalah motorik berupa kelemahan distal, proksimal, atau lebih fokus pada satu
bagian. Pada ekstremitas atas, gejala motorik distal mungkin termasuk gangguan
koordinasi tangan pada gerakan halus dan kesulitan dengan tugas-tugas seperti
membuka botol atau memutar kunci. Menendang kaki dan keluhan kaki sering
tersandung mungkin gejala awal dari kelemahan kaki. Gejala kelemahan
ekstremitas proksimal termasuk kesulitan naik dan turun tangga, kesulitan bangun
dari posisi duduk atau telentang, jatuh karena lutut tidak kuat menopang berat
badan, dan kesulitan mengangkat lengan di atas atau bahu.
Dalam presentasi yang paling umum dari neuropati diabetik dengan gejala
simetris sensorimotor, kelemahan kecil dari jari kaki dan kaki dapat dilihat,
kelemahan yang parah jarang terjadi dan bila adapun harus dilakuakn
penyelidikan untuk penyebab lain, seperti polyradiculoneuropathy demielinasi
inflamasi kronis (CIDP), atau vaskulitis. Kelemahan yang lebih parah dapat
diamati dalam sindrom neuropati diabetes asimetris. Neuropati motorik mungkin
terjadi bersama dengan neuropati sensorik (sensorimotor neuropati) 30
c. Gejala Autonom
Neuropati otonom mungkin melibatkan sistem kardiovaskular, gastrointestinal,
dan genitourinari serta kelenjar keringat. Pasien dengan neuropati otonom umum
dapat berupa ataksia, ketidakstabilan gaya berjalan, atau sinkop. Selain itu,
neuropati otonom memiliki gejala lanjut yang berhubungan dengan lokasi anatomi
dari kerusakan saraf-gastrointestinal, kardiovaskular, kandung kemih atau
sudomotor.
Neuropati otonom gastrointestinal dapat menghasilkan gejala berikut31:
1. disfagia
2. sakit perut
3. Mual / muntah
4. Malabsorpsi
5. inkontinensia alvi
6. diare
7. sembelit
Neuropati otonom kardiovaskular dapat menghasilkan gejala berikut32 :
1. Persistent sinus takikardi
2. hipotensi ortostatik

3. sinus aritmia
4. Penurunan variabilitas jantung dalam menanggapi pernapasan dalam
5. Mudah sinkop pada posisi berubah dari berbaring ke berdiri
Neuropati sistem urologi (yang harus dibedakan dari gangguan prostat atau tulang
belakang) dapat menghasilkan gejala-gejala berikut:
1. Aliran kemih yang buruk
2. Perasaan tidak lampias

Neuropati sudomotor dapat menghasilkan gejala berikut:


1. Intoleransi terhadap panas
2. Banyak berkeringat dari kepala, leher, dan badan dengan anhidrosis bagian
bawah dan ekstremitas
3. Berkeringan berlebih

Mononeuropati kompresi sering terjadi pada pasien dengan diabetes, terutama pada
nervus ulnaris, mediana, dan paroneal. Mononeuropati mediana bilateral juga sering
terjadi pada pasien diabetes, walaupun obesitas menjadi faktor risiko utama dalam
kejadian Carpal Tunnel Syndrome ini, dengan gejala mati rasa pada kedua
pergelangan tangan dan atau neuropati ulnar pada siku (sindroma terowongan
kubiti)65,66
Gambar 4. Kompresi Nervus Medianus

Gambar 5. Sindrom Pergelangan Tangan

Gambar 6. Sindrome kerusakan radix C6,C7,C8,L4,L5, dan S1

Gambar 7. Saraf Motorik Perifer

Gambar 8. Patomekanisme Ulkus Diabetik

Diabetes dikaitkan dengan beberapa komplikasi neuropati akut yaitu berupa Diabetes
Lumbosakral Radiculoplexus Neuropati (DLRPN atau "amyotrophy diabetes")
biasanya timbul dengan onset mendadak berupa nyeri paha yang parah pada satu sisi,
Hal ini diikuti oleh atrofi progresif dan kelemahan, yang melibatkan otot yang lebih

proksimal daripada otot distal. Pasien mungkin mengalami penurunan berat badan
yang dramatis dan banyak yang akhirnya tergantung pada kursi roda.67 Diabetes
neuropati lumbosakral radiculoplexus biasanya mempengaruhi pasien yang lebih tua
dengan diabetes tipe 2. DLRPN risiko tidak terkait dengan kontrol diabetes atau
durasi. Memang, pasien biasanya memiliki durasi DLRPN diabetes lebih pendek
dibandingkan dengan DSP (Distal Symetric Polyneuropathy), Studi elektrodiagnostik
menunjukkan bukti polyradiculoneuropathy melalui pemeriksaan cairan serebrospinal
yang ditandai oleh konsentrasi protein tinggi tanpa pleocytosis. Biopsi saraf
menunjukkan microvasculitis 68

Disfungsi Ereksi
Gamabar 9. Aliran Darah Penis

Patofisiologi sidfungsi ereksi diabetika diduga disebabkan mulifaktor, faktor


neuropati dan arteriopati dipercaya memegang peranan penting.
Patofisiologi DE-D adalah sebagai berikut : 69
1

Neurogik :
-

Neuropati autogenik

Neuropati perifer

Arteriogenik :
-

peningkatan resiko aterosklerosis

mikroangiopati

Endotel :
-

Gangguan relaksasi otot polos tergantung endotel

Miogenik :
-

Gangguan funsi otot polos

Faktor Neurogenik
Patogenesis neuropati diabetik sampai saat ini belum seluruhnya jelas, neuropati
autonomic diabetic dapat melibatkan berbagai organ termasuk didalamnya system urogenital,
gastrointestinal, kardiovaskuler, dan lain-lain. Berbagai teori dijelaskan dalam hal terjadinya
neuropati diabetik diantaranya : 70
Teori Hormon
Dijumpai tiga hormone yang mempengaruhi fungsi saraf perifer yaitu tiroksin,
testosterone, dan insulin. Ternyata pemberian tiroksin dapat memperbaiki kecepatan hantaran
saraf motorik dan memperbaiki konsentrasi dan inositol pada tikus diabetes. Kastrasi pada
tikus diabetes akan mencegah berkurangnya collagen solubility dan bertambahnya
permeabilitas vaskuler tetapi tentunya cara ini tidak dapat dilakukan pada manusia. Insulin di
samping berperan sebagai regulator gula darah juga berperan sebagai growth faktor pada
sejumlah jaringan saraf pusat maupun perifer. Dengan berkurangnya growth faktor tersebut
maka terjadi penurunan kemampuan proses regenerasi saraf sehingga mengakibatkan
gangguan fungsi dari sel saraf. Namun demikian pengalaman telah membuktikan bahwa tidak
ada hubungan langsung antara terjadinya DE dengan insulin. Pemberian insulin saja ternyata
tidak dapat memperbaiki gangguan DE pada penderita diabetes. 71
Teori Hipoksia

Pemeriksaan terhadap saraf perifer dari tikus diabetes tampak adanya pengurangan
aliran darah di saraf perifer yang disebabkan oleh hiperviskositas dan mikroangiopati.
Tekanan oksigen endoneural akan berkurang dan akhirnya akan menyebabkan berkurangnya
kecepatan hantaran pada saraf motorik. 70
Teori Glikosilasi
Diketahui bahwa molekul glukosa akan melekat pada protein sesuai dengan
konsentrasi glukosanya. Kolekul glukosa yang melekat ini akan membentuk fluorescent cross
linked protein. Ikatan ini menyebabkan jumlah glikosilasi mielin meningkat 5 kali.
Glikosilasi mielin ini mempunyai reseptor yang spesifik dan dimakan oleh makrofag. Dengan
demikian serangan makrofag ini akan menambah hilangnya mielin pada saraf perifer.

Teori Vaskuler
Pada otopsi yang dilakukan diperoleh adanya iskemia dari saraf perifer yang
menyebabkan neuropati diabetic. Iskemia dapat terjadi akibat :
1

Kerusakan Vasa Vasorum akibat hiperglikemia

Edema neural diserat-serat saraf sensoris

Teori Edema Saraf (Teori Osmotik)


Saat ini banyak penulis menganut teori osmotik dalam hal terjadinya neuropati
diabetik. 70
Spektroskopi resonansi magnetic sangant sensitive terhadap keadaan hidrasi dari
jaringan dan oleh karena itu dipakai untuk menentukan kadar air di saraf perifer. Pada
pemeriksaan in vivo menunjukkan bahwa hidrasi saraf lebih tinggi pada neuropati diabetik
daripada nilai yang didapatkan pada penderita control. Untuk menjelaskan teori edema saraf
ini dikenal ada dua teori: 70
1

Teori Inositol. Hiperglikemia diduga dapat menurunkan konsentrasi dari mioinositol


melalui dua jalan yaitu glukosa bersaing menghambat transport aktif dari mioinositol,
dan aktifitas polyol pathway di dalam sel-sel saraf merangsang hilangnya mioinositol
dari sel tersebut.

Teori Sorbitol. Beberapa penelitian mendapatkan bahwa terjadinya penambahan kadar


glukosa, fruktosa, dan sorbitol di saraf perifer penderita diabetes. Bila terjadi
penambahan dari endoneural sorbitol ini maka osmotik gradient menyebabkan edema
saraf.

Faktor Arteriogenik 69
Aterosklerosis pada arteri besar dan mikroangiopati lebih sering dan lebih
cepat muncul pada penderita diabetes disbanding bukan diabetes. Mikroangiopati
ditandai dengan penebalan kapiler basement membrane. Bila dilakukan arteiografi
terlihat stenosis di arteri pudenda interna. Dengan pemeriksaan ultrasound dupleks
akan tampak diameter arteri penis yang lebig kecil dan aliran darah lebih lambat.
Banyak penelitian membuktikan adanya hubungan yang erat antara DE-D dengan
manifestasi vaskuler lain pada diabetes seperti retinopati, penyakit jantung iskemik,
klaudikasio intermiten, dan resiko amputasi. Penurunan aliran darah ke penis akan
mengakibatkan iskemik dalam corpora.
Faktor Endotel dan Miogenik
Pada tahun 1992 Sanzes dan Tejadin menemukan secara rinci mekanisme
terjadinya ereksi, dimana peran endotel sel pembuluh darah dan sel otot polos
kavernosummemegang peranan penting. Penderita dengan diabetes menunjukkan
perubahan-perubahan yang nyata pada fungsi endotel. Endotel mempunyai peranan
penentu dalam mengatur kontraktilitas dinding pembuluh darah dengan mensekresi
bahan-bahan vasoaktif. Sel-sel endotel yang rusak mula-mula mengurangi pelepasan
neurotransmitter yang menyebabkan vasorelaksasi terutama NO. Produksi prostasiklin
juga berkurang pada sel-sel endotel penderita diabetes. Glukosa mempunyai efek
langsung pada sel-sel endotel. Kadar glukosa yang tinggi dapat menghambat
proliferasi sel-sel endotel dan meningkatkan permiabelitas lapisan sel endotel
sehingga menyebabkan influks lebih besar bahan-bahan dari darah yang beredar ke
dalam tunika interna dan media.

18

Jadi gangguan relaksasi otot polos tergantung

endotel dan gangguan neurogenikdapat disebabkan oleh : 69


1

Hiperglikemia

Produksi radikal bebas yang berlebihan

Produksi sorbitol yang meningkat

Pembentukan Advance Glycation End Products (AGEs)

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam gambar berikut :

Gambar 10. Patofisiologi Pengaruh Otot Polos dan Disfungsi Endotel Pada DM

Gambar 11. Prevalesni Penderita Disfungsi Ereksi

2.7

Pemeriksaan Fisik dan Penunjang


a. Test Neuropati Perifer
Pengujian untuk neuropati perifer dimulai dengan penilaian sentuhan ringan
dan sensasi tajam tumpul. Tanda klinis pertama yang biasanya berkembang di
diabetes simetris sensorimotor polineuropati adalah penurunan atau hilangnya sensasi
getaran dan tajam tumpul di atas jari-jari kaki. Seiring perkembangan penyakit,
tingkat penurunan sensasi mungkin bergerak ke bagian atas kaki dan kemudian dari
jari-jari tangan ke lengan bagian atas, pola ini sering disebut sebagai kehilangan
sensoris"kaus kaki dan sarung tangan". Pasien yang sangat parah dari dampak ini,
berupa kehilangan sensasi dalam distribusi "perisai" di dada.
Pemeriksaan uji getar pada kaki diuji dengan garpu tala 128 Hz-ditempatkan
di tulang ibu jari kaki. Uji sensasi raba dengan menggunakan 5,07 Semmes-Weinstein
monofilamen, yang disentuhkan tegak lurus pada permukaan plantar kaki.
Ketidakmampuan untuk merasakan garpu tala atau monofilament mengidentifikasi
pasien dengan risiko yang meningkat (yaitu, 60% dalam 3 tahun ke depan) dapat
berkembang pada kemungkinan terjadi ulkus kaki.33 Jenis pemeriksaan ini harus
dilakukan minimal setiap tahun.34
Pada uji refleks tendon dalam, ini umumnya menjadi hypoactive atau sampai
tidak ada reflex.Test kekuatan otot dan memeriksa ada tidaknya atrofi otot ekstremitas
distal intrinsik, karena kelemahan otot kecil kaki dapat timbul. Periksa pada dorsum
pedis mengenai pulsasi dari a.tibialis posterior. Periksa kulit ada tidaknya kekeringan,
tinea pedis, retak, onychomycosis, eritema akut, dan ada tidaknya kalus.
Lakukan pengujian Tinel. Parestesia atau nyeri menunjukkan cedera saraf median.
Lakukan pengujian saraf kranial. Ada tidaknya gaya berjalan dengan tumit dan jari
kaki. Lakukan test keseimbangan.
Perkins et al dianjurkan melakukan skrining tahunan untuk nyeri neuropati
diabetes menggunakan pengujian sensasi dangkal, pengujian monofilamen, atau
pengujian getaran dengan metode on-off. Para peneliti juga membuat sistem scoring
untuk mendokumentasikan dan memantau neuropati klinik 35

b. Test Neuropati Autonom


Pengujian untuk neuropati otonom dilakukan secara objektif di laboratorium
khusus, dengan cara mengevaluasi cardiovagal, adrenergik, dan fungsi sudomotor.
Tekanan darah dan pengukuran denyut jantung dengan posisi pasien terlentang dan
tegak, kemudian dibandingkan. Pengukuran tekanan darah pada pasien dengan
neuropati otonom mungkin menunjukkan hipotensi ortostatik dengan kompensasi
takikardia yang berkurang. Pengujian untuk hipotensi ortostatik sangat penting pada
pasien dengan diabetes mellitus lama.36
Ratio sinus aritmia (SA) diukur dengan pernapasan pasien 6 kali per menit,
sementara denyut jantung dipantau dengan strip EKG terus menerus. Interval RR
terpanjang selama ekspirasi dan interval RR terpendek selama inspirasi diukur, dan
rata-rata dari 6 napas diambil. Rasio SA adalah R-R ekspirasi/ R-R inspirasi dengan
rasio normal 1:2.
c.Test Neurofisiologi
Pada seorang penderita dengan neuropati perifer diabetik, jauh sebelum
merasakan adanya keluhan-keluhan pada susunan sarafnya sudah terdapat kelainankelainan apabila dilakukan pemeriksaan dengan cara elektroneurofisiologi. Salah satu
teknik elektroneurofisiologi yang sampai saat ini masih terus berkembang dan dapat
membantu mengidentifikasi abnormalitas saraf dan otot yang berhubungan dengan
neuropati perifer adalah "electromyonervegraphy (EMNG) . Pemeriksaan EMNG
merupakan pilihan diagnostik untuk membantu menunjukkan distribusi lesi pada
penderita yang diduga menderita neuropati perifer, mempunyai nilai spesifikasi yang
tinggi, sensitif dan non invasif . 72
Secara morfologi kelainan sel saraf pada neuropati perifer diabetik terdapat
pada sel-sel Schwann, selaput myelin dan akson. Kelainan yang terjadi tergantung
pada lamanya mengidap DM . Dengan mikroskop elektron pada neuropati perifer
diabetik yang masih dini akan tampak gambaran karasteristik berupa demyelinisasi
segmental, kerusakan akson dan penebalan membran basal yang mengelilingi
permukaan sel Schwann. Pada tingkat lanjut, akson sel saraf dapat hilang sama sekali.
Disamping kelainan morfologi dijumpai pula adanya kelainan fungsional dan
biokoimiawi. Kelainan fungsional yang terjadi berupa gangguan kemampuan
penghantaran impuls, baik motorik maupun sensorik. Sedangkan secara biokimiawi

ditemukan adanya kelainan dalam jumlah bentuk protein-protein sel saraf yang
terkena .
Pemeriksaan EMNG mencakup pemeriksaan kecepatan hantar saraf sensoris
maupun motoris dan aksi potensial. Pemeriksaan EMNG selain dapat menentukan
adanya suatu neuropati perifer, juga dapat membantu untuk menentukan lokasi yang
tepat dari serabut saraf yang terkena.

2.8

Penatalaksanaan Polineuropati Diabetik


Pasien dengan neuropati perifer diabetik memerlukan tindak lanjut yang lebih sering,
dengan perhatian khusus pada pemeriksaan kaki. Penyediaan pelayanan pemeriksaan
kaki secara teratur dan pendidikan menegnai perawatan kaki telah ditunjukkan dalam
beberapa studi untuk secara signifikan mengurangi tingkat ulserasi dan bahkan
amputasi.37
Dokter pelayanan primer bertanggung jawab untuk edukasi pasien tentang komplikasi
akut dan kronis dari diabetes38, termasuk dampak psikologis dari disfungsi seksual
baik pada pria maupun wanita. Pentingnya melibatkan seorang ahli saraf (sebaiknya
dengan keahlian dalam neuropati perifer) dalam pengobatan pasien dengan neuropati
diabetes tidak bisa terlalu ditekankan.
Kontrol Kadar Glukosa Darah
Dari semua perlakuan, kontrol glikemik yang ketat dan stabil mungkin yang paling
penting untuk memperlambat perkembangan neuropati.39 Karena perubahan cepat dari
hipoglikemia-hiperglikemia dapat menginduksi dan memperburuk nyeri neuropatik,
stabilitas kontrol glikemik mungkin sama pentingnya dalam mengurangi nyeri
neuropatik. Control Diabetes dan Komplikasi Trial (DCCT) menunjukkan bahwa
kontrol gula darah yang ketat pada pasien dengan diabetes tipe 1 mengalami
penurunan risiko neuropati sebesar 60% dalam 5 tahun.40

41

Sedangkan pengaruh

kontrol glikemik yang ketat pada polineuropati pada pasien dengan tipe 2 diabetes
atau orang-orang dengan gangguan toleransi glukosa / glukosa puasa terganggu
adalah tidak jelas dan memerlukan studi prospektif yang lebih lanjut prospektif.42
Sebuah kajian Cochrane 2012 menunjukkan bahwa kontrol glikemik yang ketat
mencegah perkembangan neuropati klinis dan mengurangi konduksi saraf dan

kelainan sensasi getar pada pasien dengan baik diabetes melitus tipe 1 atau diabetes
tipe 2. Namun, kontrol glukosa ketat juga meningkatkan risiko episode hipoglikemia
parah, dan ini harus dipertimbangkan ketika menilai rasio manfaat / risiko. 43

Penatalaksanaan neuropati diabetik pada kasus akut mungkin dapat menggunakan


analgesik standar, namun beberapa agen lain dapat membuat timbulnya gejala nyeri
kronik. Muscle relaxant mungkin dapat bermanfaat pada 2 minggu pengobatan.
Bebepa agen farmakologi yang dapat digunakan untuk pengobatan simptomatik pada
neuropati diabetik, walaupun kebanyakan pemakaian obat-obatan ini tidak spesifik
dijelaskan pada United States Food and Drug Administration44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 :
a. Non-Steroid Anti Inflamatory Drugs (NSAIDs)
Pada pasien dengan akut neuropati dapat diberikan analgetik sederhana seperti
golongan obat anti inflamasi nonsteroid dan acetaminofen dalam mengontrol
nyeri

54

ini merupakan first line dari pengobatan neuropati diabetik akut dengan

gejala nyeri. Pada kasus kronik digunakan obat-obatan seperti :


- Ibuprofen (Advil, Motrin, Ibuprin)
- Naproxen (Naprosyn, Anaprox, Naprelan) dengan cara menghambat
reaksi

inflamasi

dan

nyeri

dengan

cara

menurunkan

enzim

cyklooxigenase dalam mensintesis prostaglandin


b. Analgesic Topical
Mengidentifikasi jenis nyeri dapat menunjukan jenis terapi, krim topikal dapat
digunakan krim capsaisin (Dolorac, Capsin, Zostrix), lidocain gel.
Capsaicin krim berasal dari bahan kimia natural dari famili Solanaceae, bekerja
dengan cara mencegah akumulasi dan menipiskan substansi P di neuron sensorik
perifer, sehingga membuat kulit dan send menjadi tidak sensitif terhadap nyeri,
karena zat P ini dianggap chemoradiator transmisi rasa sakit dari perifer ke
sentral.55 obat ini digunakan untuk daerah neuropati yang kecil, beberapa pasien
mentoleransi terapi capsaicin krim dengan tiga sampai empat kali sehari
menggunakan sarung tangan karet untuk menghindari dalam mempengaruhi kulit
c.

atau mukosa yang tidak nyeri.


Antikonvulsan
- Gabapentin (Neurontin) dapat digunakan untuk penanganan nyeri
disestetik, seperti rasa terbakar, seperti tertusuk-tusuk jarum kecil. Yang
merupakan

obat

anti

konvulsif

generasi

kedua,

bekerja

dengan

meningkatkan GABA dalam otak, mengikat subunit alfa 2- delta dalam

pintu ion kalsium dan menghambat cabang dari asam amino transferase.
Hai ini dapat menurunkan influx dari kalsium ke dalam sel-sel yang
hipersensitif.
Dalam beberapa percobaan, plasebo terkontrol memeriksa secara acak
pasien dengan neuropati yang menyakitkan, gabapentin telah terbukti secara
signifikan mengurangi nyeri neuropatik dan meningkatkan tidur.56 Dalam uji
klinis terbesar, dosis lebih dari 1800 mg dibagi tiga kali sehari. Sering
diperlukan untuk mengurangi nyeri. Dosis eskalasi gabapentin harus
dimulai pada 300 mg, 2 jam sebelum tidur, meningkat 300 mg bertahap
setiap 3 sampai 7 hari untuk 600 mg tiga kali sehari. Ini jadwal eskalasi
konservatif dalam meminimalkan efek samping. Sebuah uji coba terapi
harus melibatkan setidaknya 4 minggu dengan dosis terapi, dengan
beberapa pasien yang memerlukan 4800 mg sehari dalam dosis terbagi.
Gabapentin umumnya ditoleransi dengan baik, dan diekskresi di ginjal
berarti tidak ada interaksi dengan obat yang mengalami metabolisme hati.
Pusing dan mengantuk adalah efek samping hanya dilaporkan terjadi lebih
sering pada pasien yang memakai gabapentin dibandingkan mereka yang
-

menerima plasebo
Carbamazepine (Tegretol, Carbatrol, Epitol) , yang biasa digunakan pada
pengobatan kejang parsial ini juga dapat digunakan pada pengobatan

neuropati diabetik dan efektif untuk nyeri kronik pada neuropati diabetik
Pregabalin (lyrica) dapat digunakan sebagai penanganan neuropati perifer
karena diabetik yang bersifat generalisata dan ini diajdikan sebagai pilihan
utama dalam menangani nyeri neuropati diabetik. Obat ini merupakan obat
yang bekerja mirip dengan gabapentin dalam menangani kejang.
Secara struktural mirip dengan gabapentin dan farmakokinetik,
metabolisme dan efek samping profil sangat mirip, dengan onset agak lebih
cepat dalam mengurangi nyeri neuropati diabetik. Pregabalin telah disetujui
oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk pengobatan nyeri
neuropatik pada diabetes, dan untuk pengobatan fibromyalgia.57 Dosis
eskalasi pregabalin bisa. Dimulai pada 75 mg dua kali sehari, dan

meningkat sebesar 75 mg bertahap sampai 150 mg dua kali sehari.


Menurut Guide Line The 2011 American Academy of Neurology
(AAN)/American Association of Neuromuscular and Electrodiagnostic
Medicine (AANEM)/American Academy of Physical Medicine and

Rehabilitation (AAPMR), lamotrigine (Lamictal) tidak direkomendasikan


untuk neuropati diabetik karena relatif tidak efektif dalam menangani nyeri
dibandingkan dengan plasebo.
d. Antidepresan, Tricyclic
Antidepresan trisiklik (amitriptilin, nortriptyline, desipramine) telah
andalan pengobatan nyeri neuropatik, dengan keberhasilan yang terbukti
baik pada beberapa penelitian.58Antidepresan trisiklik tidak mahal, dan
karena memilki waktuparuh yang panjang dengan dosis sederhana. Ketika
diberikan 2 jam sebelum tidur, amitriptyline sering membantu dalam
inisiasi tidur, bahkan pada dosis rendah. Efek obat penenang ini tahan lama,
dan memberi manfaat yang signifikan bagi pasien yang melaporkan bahwa
kenaikan nyeri neuropatik membuat sulit untuk tertidur di malam hari.
Dosis khas amitriptyline adalah 50-200 mg, 2 jam sebelum tidur. Untuk
meminimalkan efek samping, pasien secara bertahap harus meningkatkan
dosis mereka, dimulai pada 10 mg, dan meningkat 10 mg setiap kenaikan 5
hari dengan dosis dataran awal 50 mg malam hari. Meningkat Dosis
kemudian dapat dilanjutkan di tahap 25 mg. Karena risiko blok jantung
parsial

atau

lengkap,

pasien

yang

lebih

tua

harus

dipantau

elektrokardiogram dalam evaluasi cacat konduksi. Hipotensi ortostatik,


gangguan berkemih, kelelahan, mengantuk, dan kebingungan juga umum
terkait dengan efek samping.
Amitriptilin, bekerja dengan cara menghambat ambilan serotonin dan atau
norefinefrin dari membran presinaptik neuronal, ini dapat meningkatkan
-

konsentrasi sinaptik di susunan saraf pusat.


Nortiptilin, telah terbukti dalam menangani nyeri kronik akibat neuropati
diabetik, dengan cara menghambat ambilan serotonin dan atau norefinefrin,
sama halnya dengan amitriptilin, dengan efek farmakodinamik seperti
desensitisasi dari adenil siklase dan down-regulation dari receptor beta
adrenergik dan reseptor serotonin dan tampaknya terlibat dalam mekanisme

aksi.
e. Synthetic Adrenocortical Steroids
Fludrocortisone acetate, digunakan dalam hipotensi ortostatik dengan gejala yang
berat dan tidak berespon terhadap pemberian tablet garam dan tekanan stocking
dalam menangani hipotensi. Obat ini digunakan untuk meningkatkan tekanan
darah saat berdiri pada hipotensi ortostatik dengan cara meningkatkan retensi
natrium sehingga meningkatkan volume plasma

f. Cholinergic Agent
Bethanechol hydrochloride, digunakan untuk stimulasi selektif dari kandung
kemih untuk menghasilkan kontraksi sfingter uretra interna untuk memulai
berkemih,dapat digunakan pada pasien yang memiliki hipokrontraktilitas dari
kandung kemih.
g. Laxative
Polyethylene glycol (PEG) solution (MiraLax, GlycoLax), digunakan pada
konstipasi yang sesekali, karena obat ini tidak menyebabkan dehidrasi dan ketidak
seimbangan elektrolit yang berlebihan.

2.9

Pencegahan Pada Komplikasi Neuropati Diabetik


Pasien dengan neuropati daibetik memiliki risiko tinggi untuk terjadinya
komplikasi berupa kejadian jatuh dan berkembang menjadi ulkus diabetik. Diantara
60 pasien dengan diabetes yang berusia diatas 55 tahun, lebih dari 1/3 nya memiliki
angka kejadian jatuh yang tinggi di setiap tahunnya, ini disebabkan karena neuropati
yang mengalami hilangnya sensasi sensoris dan kelemahan pada ekstremitas bagian
distal.59
Disamping pentingnya pemeriksaan gaya berjalan pada setiap pasien dengan
neuropati diabetik dalam mengantisipasi risiko kejadian terjatuh, pasien juga
sebaiknya dilakukan pemeriksaan rutin berupa penilaian kekuatan otot pada
ekstremitas bawah dan pemeriksaan presepsi getar, dan perlunya edukasi pada pasien
mengenai risiko terjatuh pada setiap pemeriksaan ini

60

Selain itu, ulkus diabetik juga

merupakan komplikasi neuropati diabetik umumnya yang perlu diperhatikan. Diantara


248 pasien dengan diabetes, pada pemeriksaan podiatrik klinik tersier, didapatkan
29% pasien memiliki perkembangan menjadi ulkus diabetik dan 19% berkembang
pada 30 bulan masa follow-up.61 Polineuropati distal yang simetris memiliki
peningkatan risiko sampai 7x lipat dalam kejadian ulkus diabetik dan memberikan
kontribusi lebih dari 60% untuk dilakukan amputasi ekstremitas bawah. 62 Peningkatan
risiko ini karena kombinasi dari kurangnya pemakaian pelindung kaki, kelainan aliran
darah yang diperparah oleh penyakit arteri perifer, berkeringat yang abnormal, dan
penyembuhan luka yang buruk. 63
Ulkus diabetik dan risiko amputasi juga terkait dengan durasi dan keparahan
neuropati dengan hiperglikemi, maka dari itu dibutuhkan pemeriksaan harian diri,

konsultasi Podiatric dalam pemeliharaan kaki, penggunaan pelindung kaki yang baik,
debridemen luka pada kaki, pemakaian antibiotik yang sesuai untuk luka dan usaha
lain dalam menjaga kaki diabetik tetap sehat sepertinya merupakan pencegahan yang
penting pada pasien dengan neuropati diabetik. 64

2.10

Prognosis Polineuropati Diabetik


Pasien dengan diabetes yang tidak diobati atau diobati namun tidak adekuat
memiliki morbiditas dan tingkat komplikasi yang lebih tinggi yang berhubungan
dengan neuropati dibandingkan pasien dengan diabetes yang dikontrol ketat. Trauma
berulang-ulang di daerah yang terkena dapat menyebabkan kerusakan kulit, ulserasi
progresif, dan infeksi. Amputasi dan kematian dapat terjadi.
Mengobati neuropati diabetik adalah tugas yang sulit bagi dokter dan pasien.
Sebagian besar obat-obatan yang disebutkan di bagian pengobatan tidak mengarah
untuk melengkapi bantuan gejala. Uji klinis sedang dilakukan untuk membantu
menemukan cara-cara baru untuk mengobati penyakit dengan perkembangan gejala
yang tertunda.
Angka kematian lebih tinggi pada orang dengan Cardiovaskular Autonomic
Neuropathy (CAN), Angka kematian keseluruhan selama periode hingga 10 tahun
adalah 27% pada pasien dengan DM yang terdeteksi CAN, dibandingkan dengan
tingkat kematian 5% pada mereka tanpa disertai CAN. Penyebab paling umum pasien
dengan neuropati diabetik yang dirawat di RS adalah pasien dengan ulkus kaki dan
amputasi tungkai bawah. Sakit parah, pusing, diare, dan impotensi merupakan gejala
umum yang menurunkan kualitas hidup pasien dengan DM. Pada pasien dengan
neuropati perifer diabetes, prognosis yang baik, tetapi kualitas hidup pasien tentunya
akan berkurang.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Polineuropati Diabetik merupakan salah satu komplikasi dari diabetes
melitus yang sebaiknya tidak dianggap menjadi satu hal yang kurang serius
dalam menangani pasien dengan Diabetes Melitus, karena terkait dengan efek
fungsional dari keempat ektremitas yang sering kali memberika gejala yang
mengganggu bahkan dapat sampai mengurangi kemandirian pasien dalam

melakukan aktifitas sehari-hari apabila komplikasi ini telah mencapai stadium


yang cukup berat dan tidak ditangani secara komperhensip.
Pencegahan dalam hal ini merupakan suatu usaha yang paling penting
dalam perkembangan komplikasi lebih lanjut pada pasien dengan diabetes
melitus, diperlukan perhatian dan penjelasan informatif dari tenaga kesehatan
khususnya dokter yanjg merawat pasien dalam edukasi kemungkinankemungkinan yang dapat terjadi pada pasien, dan tentunya dangat ditunjang
oleh perhatian pasien sendiri mengenai pencegahan ini terutama suatu sikap
kedisiplinan dalam menjaga dan mengontrol kadar gula darah pasien selama
seumur hidupnya.

DAFTAR PUSTAKA
1. PERKENI. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia. Jakarta. PB: PERKENI
2. Permana, Hikmat. (2009). Komplikasi Kronik dan Penyakit Penyerta pada Diabetesi.
Diakses pada tanggal 13 Februari 2013 dari http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/
uploads/2009/09/kompilasi_kronik_dan_penyakit_penyerta_pada_diabetesi.pdf
3. Pirart J. [Diabetes mellitus and its degenerative complications: a prospective study of
4,400 patients observed between 1947 and 1973 (3rd and last part) (author's transl)].
Diabete Metab. Dec 1977;3(4):245-56. Diakses pada tanggal 13 Februari 2013 dari
http://emedicine.medscape.com/article/1171051-overview#a0199

4. Duus, Peter. 1996. Diagnosis Topik Neurologi Anatomi, Fisiologi, Tanda dan Gejala.
Jakarta. EGC
5. Comi G, Corbo M. Metabolic neuropathies. Curr Opin Neurol. Oct 1998;11(5):523-9.
[Medline].
Diakses
pada
tanggal
13
februari
2013
dari
http://emedicine.medscape.com/article/1171051-overview#a0199
6. Boulton AJ, Malik RA. Diabetic neuropathy. Med Clin North Am. Jul 1998;82(4):90929.
[Medline].
Diakses
pada
tanggal
13
februari
2013
dari
http://emedicine.medscape.com/article/1170337-overview#showall
7. Dorland. 2002. Kamus Kedokteran. Jakarta. EGC.
8. http://emedicine.medscape.com/article/1170337-overview#showall
9. Bromberg MB. Peripheral neurotoxic disorders. Neurol Clin. Aug 2000;18(3):681-94.
[Medline].
Diakses
pada
tanggal
13
februari
2013
dari
http://emedicine.medscape.com/article/1170337-overview#showall
10. Goetz CG, Pappert EJ. Textbook of Clinical Neurology. Philadelphia: WB Saunders
Co;
1999.
Diakses
pada
tanggal
13
februari
2013
dari
http://emedicine.medscape.com/article/1170337-overview#showall
11. Pourmand R. Diabetic neuropathy. Neurol Clin. Aug 1997;15(3):569-76. [Medline].
Diakses
pada
tanggal
13
februari
2013
dari
http://emedicine.medscape.com/article/1170337-overview#showall
12. Sugimoto K, Murakawa Y, Sima AA. Diabetic neuropathy--a continuing enigma.
Diabetes Metab Res Rev. Nov-Dec 2000;16(6):408-33. [Medline]. Diakses pada
tanggal 13 februari 2013 dari http://emedicine.medscape.com/article/1170337overview#showall
13. Vinik AI, Park TS, Stansberry KB, Pittenger GL. Diabetic neuropathies. Diabetologia.
Aug 2000;43(8):957-73. [Medline]. Diakses pada tanggal 13 februari 2013 dari
http://emedicine.medscape.com/article/1170337-overview#showall
14. Wilson JD. Williams Textbook of Endocrinology. 9th ed. Philadelphia: WB Saunders
Co;
1998.
Diakses
pada
tanggal
13
februari
2013
dari
http://emedicine.medscape.com/article/1170337-overview#showall
15. Zochodne DW. Diabetic polyneuropathy: an update. Curr Opin Neurol. Oct
2008;21(5):527-33. [Medline]. Diakses pada tanggal 13 februari 2013 dari
http://emedicine.medscape.com/article/1170337-overview#showall
16. Calcutt NA, Dunn JS. Pain: Nociceptive and Neuropathic Mechanisms.
Anesthesiology Clinics of North America.; 1997. Diakses pada tanggal 13 februari
2013 dari http://emedicine.medscape.com/article/1170337-overview#showall
17. Malik RA. Pathology and pathogenesis of diabetic neuropathy. Diabetes Reviews.
1999;7:253-60.
Diakses
pada
tanggal
13
februari
2013
dari
http://emedicine.medscape.com/article/1170337-overview#showall

18. Shigeta H, Yamaguchi M, Nakano K, Obayashi H, Takemura R, Fukui M. Serum


autoantibodies against sulfatide and phospholipid in NIDDM patients with diabetic
neuropathy. Diabetes Care. Dec 1997;20(12):1896-9. [Medline]. Diakses pada tanggal
13
februari
2013
dari
http://emedicine.medscape.com/article/1170337overview#showall
19. Tavakkoly-Bazzaz J, Amoli MM, Pravica V, Chandrasecaran R, Boulton AJ, Larijani
B. VEGF gene polymorphism association with diabetic neuropathy. Mol Biol Rep.
Mar 30 2010;[Medline]. Diakses pada tanggal 13 februari 2013 dari
http://emedicine.medscape.com/article/1170337-overview#showall
20. Carrington AL, Litchfield JE. The aldose reductase pathway and nonenzymatic
glycation in the pathogenesis of diabetic neuropathy: a critical review for the end of
the 20th century. Diabetes Reviews. 1999.;7:275-99.
21. Greene DA, Arezzo JC, Brown MB. Effect of aldose reductase inhibition on nerve
conduction and morphometry in diabetic neuropathy. Zenarestat Study Group.
Neurology. Aug 11 1999;53(3):580-91.
22. Ryle C, Donaghy M. Non-enzymatic glycation of peripheral nerve proteins in human
diabetics. J Neurol Sci. Mar 1995;129(1):62-8.
23. Ziegler D, Ametov A, Barinov A, Dyck PJ, Gurieva I, Low PA. Oral treatment with
alpha-lipoic acid improves symptomatic diabetic polyneuropathy: the SYDNEY 2
trial. Diabetes Care. Nov 2006;29(11):2365-70.
24. Figueroa-Romero C, Sadidi M, Feldman EL. Mechanisms of disease: The oxidative
stress theory of diabetic neuropathy. Rev Endocr Metab Disord. Dec 2008;9(4):30114.
25. Ziegler D, Reljanovic M, Mehnert H, Gries FA. Alpha-lipoic acid in the treatment of
diabetic polyneuropathy in Germany: current evidence from clinical trials. Exp Clin
Endocrinol Diabetes. 1999;107(7):421-30.
26. Krendel DA, Zacharias A, Younger DS. Autoimmune diabetic neuropathy. Neurol
Clin. Nov 1997;15(4):959-71.
27. Dorsey RR, Eberhardt MS, Gregg EW, Geiss LS. Control of risk factors among
people with diagnosed diabetes, by lower extremity disease status. Prev Chronic Dis.
Oct 2009;6(4):A114.
28. Young MJ, Boulton AJ, MacLeod AF, Williams DR, Sonksen PH. A multicentre study
of the prevalence of diabetic peripheral neuropathy in the United Kingdom hospital
clinic population. Diabetologia. Feb 1993;36(2):150-4.
29. Aaberg ML, Burch DM, Hud ZR, Zacharias MP. Gender differences in the onset of
diabetic neuropathy. J Diabetes Complications. Mar-Apr 2008;22(2):83-7. [Medline].
30. Galer BS, Gianas A, Jensen MP. Painful diabetic polyneuropathy: epidemiology, pain
description, and quality of life. Diabetes Res Clin Pract 2000;47(2):123128
31. Johnson DA, Vinik AI. Gastrointestinal Disturbances. In: Therapy for Diabetes
Mellitus. American Diabetes Association; 1998
32. Ziegler D. Cardiovascular autonomic neuropathy: clinical manifestations and
measurement. Diabetes Reviews. 1999;7:342-57.
33. Hokkam EN. Assessment of risk factors in diabetic foot ulceration and their impact on
the outcome of the disease. Prim Care Diabetes. Nov 2009;3(4):219-24

34. Coppini DV, Wellmer A, Weng C, Young PJ, Anand P, Snksen PH. The natural
history of diabetic peripheral neuropathy determined by a 12 year prospective study
using vibration perception thresholds. J Clin Neurosci. Nov 2001;8(6):520-4
35. Perkins BA, Olaleye D, Zinman B, Bril V. Simple screening tests for peripheral
neuropathy in the diabetes clinic. Diabetes Care. Feb 2001;24(2):250-6
36. Biaggioni I. Postural hypotension. In: Therapy for Diabetes Mellitus. American
Diabetes Association; 1998:423-30
37. O'Brien SP, Schwedler M, Kerstein MD. Peripheral neuropathies in diabetes. Surg
Clin North Am. Jun 1998;78(3):393-408.
38. Hokkam EN. Assessment of risk factors in diabetic foot ulceration and their impact on
the outcome of the disease. Prim Care Diabetes. Nov 2009;3(4):219-24
39. Skyler JS. Diabetic complications. The importance of glucose control. Endocrinol
Metab Clin North Am. Jun 1996;25(2):243-54
40. Martin CL, Albers J, Herman WH, et al. Neuropathy among the diabetes control and
complications trial cohort 8 years after trial completion. Diabetes Care. Feb
2006;29(2):340-4
41. Diabetes control and complications trial research group. The effect of intensive
treatment of diabetes on the development and progression of long-term complications
in insulin-dependent diabetes mellitus. The Diabetes Control and Complications Trial
Research Group. N Engl J Med. Sep 30 1993;329(14):977-86.
42. Sumner CJ, Sheth S, Griffin JW, et al. The spectrum of neuropathy in diabetes and
impaired glucose tolerance. Neurology. Jan 14 2003;60(1):108-11
43. Callaghan BC, Little AA, Feldman EL, Hughes RA. Enhanced glucose control for
preventing and treating diabetic neuropathy. Cochrane Database Syst Rev. Jun 13
2012;6:CD007543.
44. Ziegler D, Ametov A, Barinov A, Dyck PJ, Gurieva I, Low PA. Oral treatment with
alpha-lipoic acid improves symptomatic diabetic polyneuropathy: the SYDNEY 2
trial. Diabetes Care. Nov 2006;29(11):2365-70
45. [Best Evidence] Chou R, Carson S, Chan BK. Gabapentin versus tricyclic
antidepressants for diabetic neuropathy and post-herpetic neuralgia: discrepancies
between direct and indirect meta-analyses of randomized controlled trials. J Gen
Intern Med. Feb 2009;24(2):178-88
46. Kawai T, Takei I, Tokui M, Funae O, Miyamoto K, Tabata M, et al. Effects of
epalrestat, an aldose reductase inhibitor, on diabetic peripheral neuropathy in patients
with type 2 diabetes, in relation to suppression of N(varepsilon)-carboxymethyl
lysine. J Diabetes Complications. Aug 26 2009
47. Schemmel KE, Padiyara RS, D'Souza JJ. Aldose reductase inhibitors in the treatment
of diabetic peripheral neuropathy: a review. J Diabetes Complications. Sep 10 2009
48. Apfel SC. Neurotrophic factors in the therapy of diabetic neuropathy. Am J Med. Aug
30 1999;107(2B):34S-42S
49. Harati Y. Diabetes and the nervous system. Endocrinol Metab Clin North Am. Jun
1996;25(2):325-59.
50. Ziegler D, Reljanovic M, Mehnert H, Gries FA. Alpha-lipoic acid in the treatment of
diabetic polyneuropathy in Germany: current evidence from clinical trials. Exp Clin
Endocrinol Diabetes. 1999;107(7):421-30.
51. Backonja M, Beydoun A, Edwards KR, Schwartz SL, Fonseca V, Hes M, et al.
Gabapentin for the symptomatic treatment of painful neuropathy in patients with
diabetes mellitus: a randomized controlled trial. JAMA. Dec 2 1998;280(21):1831-6.

52. Bennett GJ, Dworkin RH, Nicholson B. Anticonvulsant Therapy in the Treatment of
Neuropathic Pain. In: Neurology Treatment Update. 2000.
53. Bomholt SF, Mikkelsen JD, Blackburn-Munro G. Antinociceptive effects of the
antidepressants amitriptyline, duloxetine, mirtazapine and citalopram in animal
models of acute, persistent and neuropathic pain. Neuropharmacology. Feb
2005;48(2):252-63.
54. Possidente CJ, Tandan R. A survey of treatment practices in diabetic peripheral
neuropathy. Prim Care Diabetes. Nov 2009;3(4):253-7
55. Forst T, Pohlmann T, Kunt T, et al. The influence of local capsaicin treatment on small
nerve fibre function and neurovascular control in symptomatic diabetic neuropathy.
Acta Diabetol 2002;39(1):16
56. Backonja M, Beydoun A, Edwards KR, et al. Gabapentin for the symptomatic
treatment of painful neuropathy in patients with diabetes mellitus: a randomized
controlled trial. JAMA 1998;280(21):18311836
57. Arezzo JC, Rosenstock J, Lamoreaux L, Pauer L. Efficacy and safety of pregabalin
600 mg/d for treating painful diabetic peripheral neuropathy: a double-blind placebocontrolled trial. BMC Neurol 2008;8:33
58. MaxMB, Lynch SA,Muir J, Shoaf SE, Smoller B, Dubner R. Effects of desipramine,
amitriptyline, and fluoxetine on pain in diabetic neuropathy. N Engl J Med
1992;326(19):1250125
59. Macgilchrist C, Paul L, Ellis BM, Howe TE, Kennon B, Godwin J. Lower-limb risk
factors for falls in people with diabetes mellitus. Diabet Med 2010;27(2):162168
60. DeMott TK, Richardson JK, Thies SB, Ashton-Miller JA. Falls and gait
characteristics among older persons with peripheral neuropathy. Am J Phys Med
Rehabil 2007;86(2):125132
61. Pham H, Armstrong DG, Harvey C, Harkless LB, Giurini JM, Veves A. Screening
techniques to identify people at high risk for diabetic foot ulceration: a prospective
multicenter trial. Diabetes Care 2000;23(5):606611
62. Ramsey SD, Newton K, Blough D, et al. Incidence, outcomes, and cost of foot ulcers
in patientswith diabetes. Diabetes Care 1999;22(3):382387
63. Gregg EW, Sorlie P, Paulose-Ram R, et al; 19992000 national health and nutrition
examination survey. Prevalence of lowerextremity disease in the US adult population
> = 40 years of age with and without diabetes: 19992000 national health and
nutrition examination survey. Diabetes Care 2004;27(7):15911597
64. Ndip A, Ebah L, Mbako A. Neuropathic diabetic foot ulcer -evidence-to-practice. Int J
Gen Med 2012;5:129134
65. Zambelis T, Tsivgoulis G, Karandreas N. Carpal tunnel syndrome: associations
between risk factors and laterality. Eur Neurol 2010;63(1):4347
66. Becker J, Nora DB, Gomes I, et al. An evaluation of gender, obesity, age and diabetes
mellitus as risk factors for carpal tunnel syndrome. Clin Neurophysiol
2002;113(9):14291434

67. Barohn RJ, Sahenk Z,Warmolts JR, Mendell JR. The Bruns-Garland syndrome
(diabetic amyotrophy). Revisited 100 years later. Arch Neurol 1991;48(11):11301135
68. Tracy JA, Engelstad JK, Dyck PJ. Microvasculitis in diabetic lumbosacral
radiculoplexus neuropathy. J Clin Neuromuscul Dis 2009;11(1):4448
69. Eardley I, Sethia K. Erectile Disfunction : Current Investigation and Management,
London, Mosby-Wolfe, 1998 : 1-38

70. Poewardi T. Neuropati Diabetik. Dalam : Tjokoprawiro A, Sukahatya M, Budhianto


FX, Sutjahyo A, Tandra H. (ed) Kongres Nasional II Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia (PERKENI), Surabaya, 1989 : 192-212
71. Adimoelja A. Pengobatan Disfungsi Seksual pada DM dengan suntikan obat vasoaktif
dan oral dengan Protodioscin. Dalam : Adam JF, Sanusi H, Tandean P, Lawrence G,
Aman M. Kumpulan Naskah Lengkap Kongres Nasional II Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia (PERKENI), Ujung Pandang, 1997 : 7-11
72. Harry A, Aliah A, Abadi D : Pemeriksaan Elektroneurofisiologi pada neuropati, Di

dalam: Kumpulan Makalah Simposium Penatalaksanaan Neuropati Masa Kini,


PERDOSSI Cab.Makassar Bagian Ilmu Penyakit Saraf FK-UNHAS, Makassar,
Desember 1993, 25-35.

Anda mungkin juga menyukai